IMPLEMENTASI SEGMENTASI HARD EXUDATES PADA DIABETIC RETINOPATHY UNTUK CITRA FUNDUS RETINA Noriandini Dewi Salyasari1, Handayani Tjandrasa2, Arya Yudhi Wijaya3 Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Informasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember email:
[email protected],
[email protected] 2,
[email protected] 3 ABSTRAK Diabetic retinopathy adalah salah satu komplikasi serius yang disebabkan penyakit diabetes melitus yang menyebabkan kurangnya daya penglihatan atau kebutaan. Kelainan diabetic retinopathy diantaranya adalah hard exudates dan cotton wool spots. Untuk dapat mendeteksi hard exudates dari awal, pasien diabetes melitus harus melakukan pemeriksaan manual secara berkelanjutan. Untuk itu diperlukan suatu metode yang dapat mendeteksi hard exudates secara cepat dan otomatis. Algoritma Fuzzy C Means dengan korelasi spasial mampu melakukan segmentasi hard exudates secara otomatis. Pada awalnya optik disk dieliminasi dengan mendeteksi area maksimal dengan nilai piksel tertinggi yang membedakannya dengan hard exudates. Kemudian citra fundus retina dengan optik disk yang sudah dieliminasi dilakukan proses local image feature. Setelah proses tersebut kemudian dilakukan pembobotan terhadap piksel-pikselnya. Pembobotan piksel dilakukan supaya piksel-piksel dalam citra tersebut mendapatkan pengaruh satu dengan lainnya. Hasil matriks citra yang telah mendapatkan pengaruh ketetanggaan, kemudian di segmentasi dengan mengelompokan setiap piksel ke dalam pusat cluster. Sehingga dari keseluruhan tahap pengelompokan piksel ke pusat cluster menggunakan FCM dengan Korelasi Spasial ini nantinya akan menghasilkan ekstraksi hard exudates. Hasil segmentasi hard exudates dapat didiagnosis lebih lanjut untuk pengobatan diabetic retinopathy. Dari hasil uji coba yang dilakukan, terbukti algoritma Fuzzy C Means dengan korelasi spasial mampu mendeteksi hard exudates dengan baik, dikarenakan proses pengklasifikasian hard exudates dengan algoritma ini berdasar pada parameter-parameter ukuran window, hubungan spatial dan hubungan gray antar piksel pada citra fundus retina . Dengan rata-rata hasil akurasi selalu diatas 75% , maka hasil segmentasi hard exudates menggunakan algoritma ini dikatakan tepat mendekati hasil manual oleh para ahli yang mungkin terjadi banyak kesalahan.
Kata kunci: hard exudates,diabetic retinopathy, fuzzy c means dengan korelasi spasial.
sebelah kanan, bintik putih itu merupakan cotton wool spots dan exudates.
1. Pendahuluan Salah satu dari kelainan diabetes mellitus mampu menyebabkan kurangnya daya penglihatan atau kebutaan [1]. Kelainan yang dinamakan diabetic retinopathy itu diantaranya adalah hard exudates dan cotton wool spots. Hard exudates dan cotton wool spots yang merupakan kelainan pada retina yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah dan kerusakan serabut saraf mata. Pada Gambar 1.1 dapat dilihat perbedaan antara mata normal dengan mata yang terkena diabetic retinopathy dimana mata yang tidak normal terdapat bintik-bintik putih yang tampak pada gambar citra fundus retina
Gambar 1.1 Perbedaan retina normal dengan retina yang terkena diabetic retinopathy
1
Sudah banyak metode yang ditawarkan untuk mendeteksi hard exudates secara otomatis. Setelah hasil segmentasi dilakukan secara otomatis, hasil akhir masih harus diperiksa oleh para ahli, untuk penanganan yang benar-benar sesuai. Segmentasi otomatis dilakukan untuk mempermudah clinicians (dokter) mengurangi waktu persiapan penanganan dan pengobatan diabetic retinopathy. Beberapa algoritma clustering banyak yang dikembangkan untuk melakukan segmentasi otomatis diantaranya adalah kmeans dan fuzzy c means. Fuzzy c means dianggap merupakan salah satu metode yang baik untuk melakukan segmentasi unsupervised. Hal tersebut dikarenakan fuzzy c means masih memperhatikan piksel pada ruang keabuan. Akan tetapi saat ini metode fuzzy c means dirasa kurang efisien untuk mengatasi variasi pola data. Variasi pola data dalam suatu citra adalah terklusternya piksel-piksel yang tidak memiliki kemiripan dengan cluster piksel yang berada disekitarnya. Untuk itu dikembangkan suatu metode fuzzy c means yang dimodifikasi pada proses pengelompokannya. Modifikasi tersebut berdasarkan korelasi antar piksel yang akan diimplementasikan dalam mengkluster citra fundus retina [2]. Optic disc dan pembuluh darah merupakan bagian dari citra fundus retina. Namun optic disc dan pembuluh darah bukan bagian dari kelainan diabetic retinopathy. Hasil segmentasi modifikasi fuzzy c means menyebabkan optic disc dan pembuluh darah dianggap sebagai bagian mata yang tidak sehat. Untuk mendapatkan hasil segmentasi bagian hard exudates yang baik dan optimal, maka optic disc dan pembuluh darah harus dieliminasi.
bright lesion (exudates) yang memiliki kemiripan karakteristik visual dengan OD . OD harus dipisahkan dari fitur-fitur penyakit agar tidak terjadi salah diagnosis yang bisa berakibat fatal. Keberhasilan segmentasi OD sangat diperlukan untuk melakukan berbagai macam analisa terutama untuk pendeteksian penyakit mata ataupun pengobatan. Hal itu akan ditangani lebih lanjut oleh dokter mata. Gambar 2.1 menunjukan optik disk pada gambar citra fundus retina.
Gambar 2. 1 Optik disk tampak pada bright area
2.2.
Exudates
Exudates dapat menyebabkan kehilangan penglihatan yang parah ketika terjadi pada bagian retina paling sensitif yaitu di bagian tengah retina atau makula. Secara visual exudates muncul dalam warna putih kekuning-kuningan atau dengan berbagai bentuk, ukuran dan lokasi . Biasanya tampak secara individual atau membentiuk suatu kluster. Exudates memiliki intensitas warna yang sama dengan optik disk namun dengan ukuran yang lebih kecil. Hard Exudates ditemukan di dalam berbagai ukuran, merupakan suatu bercak kecil disebabkan merembesnya cairan yang kaya lemak dan protein bersama darah ke mata. Hal ini dapat mencegah cahaya untuk mencapai retina, dan menyebabkan gangguan penglihatan [4]. Soft Exudates terdapat pada tahap ekstrem Diabetic Retinopathy dalam bentuk itik-titik tertentu pada citra fundus retina yang disebut juga dengan “cotton wol spot”. Gambar 2.2 menunjukkan perbedaan hard exudates dan soft exudates.
2. Tinjauan Pustaka 2.1. Optik Disk Optik disk (OD) atau pusat syaraf mata adalah daerah pada mata tempat syaraf mata memasuki retina dan merupakan pertemuan seluruh syaraf mata [3]. Optik disk juga merupakan titik masuk untuk pembuluh darah utama yang menyuplay retina. Kepala saraf optik di mata manusia normal membawa 1- 1,2 juta neuron dari mata ke otak. Deteksi OD merupakan salah satu langkah penting dalam sistem diagnosa diabetic retinopathy secara otomatis. Pada penelitian-penelitian sebelumnya, segmentasi OD selalu menjadi tahapan awal sebelum mendeteksi fitur-fitur penyakit. Deteksi OD diperlukan untuk membedakannya dengan
Gambar 2.2 Perbedaan hard exudates dan soft exudates
3. Metodologi dan Implementasi Secara umum implementasi segmentasi hard exudates pada diabetic retinopathy untuk
2
citra fundus retina ini terdiri dari dua tahap yaitu tahap preprocessing dan tahap segmentasi. Tahap preprocessing merupakan tahap yang dilakukan untuk menyiapkan citra agar dapat tersegmentasi dengan optimal. Dalam tahap ini terdapat beberapa proses antara lain memperbaiki citra dengan histogram equalization dan menghilangkan optik disk pada citra fundus retina. Hasil citra keluaran dari tahap preprocessing kemudian diproses dalam tahap segmentasi. Tahap segmentasi dilakukan untuk mengelompokkan bagian-bagian dari citra fundus retina tersebut sehingga didapatkan citra keluaran yang diinginkan. Setelah dilakukan pengelompokan setiap kluster ke dalam pusat kluster maka hasil tersebut kemudian diekstraksi untuk mendapatkan hard exudates. Dalam hal ini yang diekstrak adalah piksel yang memiliki nilai maksimum. Dikarenan hard exudates sebenarnya adalah suatu bright area pada citra fundus retina. Keseluruhan tahapan dalam Tugas Akhir ini akan digambarkan pada diagram alir pada Gambar 3.1.
3.1. Proses Eliminasi Optik Disk Untuk melakukan proses segmentasi menggunakan FCM dengan korelasi spasial adalah dengan menghilangkan terlebih dahulu bright area selain exudates pada citra fundus retina. Bright area tersebut adalah optik disk. Untuk menghilangkan optik disk, diperlukan suatu proses mencari area dengan piksel maksimum, kemudian memberi label pada area citra dengan piksel maksimum. Kemudian menggabungkan area yang diberi label. Dan mencari luas area dan centroid dari citra yang sudah diberi label tersebut menggunakan regionprops. Setelah didapat centroid area tersebut, kemudian area piksel maksimal tersebut dibatasi oleh lingkaran menggunakan midpoint circle algorithm dengan persamaan 1. 𝑥𝑥 + 𝑦𝑦 2 = 𝑟𝑟 2 (1) 𝑥𝑥 2 + 𝑦𝑦 2 − 𝑟𝑟 2 = 0
3.2
Pembentukan matriks ketetanggan sangat penting dilakukan untuk mencari pengaruh antar piksel matriks citra inputan. Dalam pembentukan matriks ini harus disesuaikan dengan ukuran window(ditentukan 3x3 atau 5x5) yang menjadi masukan. Dari ukuran window tersebut dapat ditentukan center dari window. Setelah didapat center dari window, maka piksel selain center merupakan piksel tetangga. Dan apabila piksel tetangga melebihi ukuran baris dan kolom citra inputan, maka piksel tetangga sama dengan 0. Hasil akhir dari matriks ketetanggaan ini adalah matriks dengan ukuran MxN (M merupakan ukuran window dan N merupakan jumlah piksel citra inputan).
start
Input : citra RGB 390 x 390
Preprocessing : citra RGB diubah ke dalam grayscale dan histogram equalization Preprocessing
Deteksi dan Eliminasi optik disk
3.3 Menetukan pusat kluster dengan FCM-basic
Menentukan pusat kluster dan keanggotaan dengan FCM Korelasi Spasial
Membentuk Matriks Ketetanggaan
Menentukan Local Image Feature
Pada umumnya piksel dalam suatu pencitraan gambar yang berdekatan tidak berdiri sendiri dengan piksel-piksel di sekitarnya. Interaksi korelasi antar piksel akan memberikan pengaruh lebih dalam pada klasifikasi objek. Pengaruh yang cukup besar pada interaksi korelasi antar piksel tersebut menyebabkan tidak sempurnanya suatu kluster, sehingga diperlukan suatu modifikasi metode clustering dalam hal ini adalah fuzzy c means yang dimodifikasi berdasarkan korelasi spasial. Salah satu bagian dari fuzzy c means dengan korelasi spasial adalah dengan menentukan terlebih dahulu local image feature. Local image feature bergantung pada local spatial dan local gray level suatu image.
Ekstraksi Hard Exudates
Segmentasi Output: Citra Hard Exudates ukuran 390 x 390 finish
Gambar 3.1 Diagram alir keseluruhan proses segmentasi hard exudates
3
Rumus di bawah ini mendefinisikan local image feature,
𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹 = 𝑠𝑠
𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹 𝑠𝑠 𝑥𝑥 𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹 𝐺𝐺 , 𝑗𝑗 ≠ 𝑖𝑖 0, 𝑗𝑗 = 𝑖𝑖
3.5
(2)
Untuk mengelompokkan matriks hasil pembobotan ke dalam pusat kluster diperlukan terlebih dahulu inisialisasi pusat kluster yang menjadi inputan awal untuk mengelompokkan data tersebut. Dalam hal ini digunakan FCMbasic untuk menentukan pusat kluster sebagai inisialisasi awal. Dengan masukan adalah data citra inputan yang telah mengalami preprocessing. Dari data citra inputan tersebut didapatkan suatu keanggotaan secara random. Hasil dari keanggotaan tersebut diperlukan untuk mencari pusat kluster dan keanggotaan baru. Sampai pada batas maksimum iterasi, akan diperoleh pusat kluster yang sudah tidak berubah lagi. Pusat kluster tersebut yang akan digunakan untuk menentukan pengelompokan matriks hasil pembobotan piksel yang telah mendapatkan pengaruh antar piksel ketetangaannya. Berikut merupakan jalannya FCM-basic untuk menentukan pusat cluster. 1. Inisialisasi pusat kluster(v) dan set posisi cluster(j) = 0 2. Inisialisasi matriks partisi fuzzy U(j=0) dengan persamaan
𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹 digunakan untuk mencari jarak piksel pusat dengan piksel ketetanggaannya sekitar piksel pusat, hal ini dapat dilihat pada persamaan (3). 𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹 𝑠𝑠 = exp �
−𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 (|𝑥𝑥𝑥𝑥 −𝑥𝑥𝑥𝑥 |,|𝑦𝑦𝑦𝑦 −𝑦𝑦𝑦𝑦 |) 𝜆𝜆𝜆𝜆
�
(3)
𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹 𝐺𝐺 menunjukkan hubungan dari piksel-piksel dalam satu window, yang dapat merefleksikan ketidaksamaan piksel-piksel yang bertetangga dalam satu window tersebut. 𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹 𝐺𝐺 = 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �
−‖𝑔𝑔(𝑥𝑥𝑥𝑥 ,𝑦𝑦𝑦𝑦 )−𝑔𝑔(𝑥𝑥𝑥𝑥 ,𝑦𝑦𝑦𝑦 )‖2 𝜆𝜆 𝐺𝐺 𝑥𝑥 𝜎𝜎𝜎𝜎 𝐺𝐺
2
�
(4)
Persamaan 𝜎𝜎𝜎𝜎 G diperoleh dari rumus dibawah ini: 𝜎𝜎𝜎𝜎 𝐺𝐺 = �
∑ 𝑗𝑗 ∈Ω 𝑖𝑖 ‖𝑔𝑔(𝑥𝑥𝑥𝑥 −𝑦𝑦𝑦𝑦 )−𝑔𝑔(𝑥𝑥𝑥𝑥−𝑦𝑦𝑦𝑦 )‖ 𝑁𝑁Ω 𝑖𝑖
(5)
Untuk penentuan nilai spatial scale(𝜆𝜆𝜆𝜆) dan gray level(𝜆𝜆𝐺𝐺 ) dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
3.
4. 5.
Gambar 3.2 Faktor skala dalam berbagai ukuran.
3.6
3.4
Melakukan Pembobotan Piksel
Pembobotan piksel merupakan suatu proses pergantian nilai piksel dari gambar asli yang telah mendapat pengaruh local image feature sehingga nilai piksel citra asli telah memiliki ketergantungan dari piksel-piksel di sekitarnya sesuai dengan window yang telah ditentukan. Persamaan untuk melakukan proses pembobotan piksel dengan mengubah nilai piksel dengan faktor pengaruh korelasi antar piksel ditunjukkan pada persamaan 6, 𝑤𝑤𝑤𝑤 = ∑𝑗𝑗 ∈Ω 𝑖𝑖 (𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹. 𝑔𝑔(𝑥𝑥𝑥𝑥, 𝑦𝑦𝑦𝑦))/ ∑𝑗𝑗 ∈Ω 𝑖𝑖 𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹
Inisialisasi Pusat Cluster dengan FCM-Basic
𝑢𝑢𝑘𝑘 (𝑖𝑖, 𝑗𝑗) = 1/ ∑𝑐𝑐−1 𝑝𝑝=0 �𝑑𝑑𝑘𝑘 (𝑖𝑖, 𝑗𝑗)/𝑑𝑑𝑝𝑝 (𝑖𝑖, 𝑗𝑗)�
2 𝑚𝑚 −1
(7)
Tambahkan j=j+1 lalu hitung pusat kluster dengan persamaan 𝑚𝑚
𝑣𝑣𝑘𝑘 = ∑𝑖𝑖,𝑗𝑗 �𝜇𝜇𝑘𝑘 (𝑖𝑖, 𝑗𝑗)� 𝑓𝑓(𝑖𝑖, 𝑗𝑗) / ∑𝑖𝑖,𝑗𝑗 �𝜇𝜇𝑘𝑘 (𝑖𝑖, 𝑗𝑗)�
𝑚𝑚
(8)
Hitung kembali membership u(j) Lakukan iterasi untuk step 3,4 hingga mencapai konvergensi setelah memenuhi kriteria persamaan 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚��𝑣𝑣𝑘𝑘 (𝑘𝑘+1) − 𝑣𝑣𝑘𝑘 (𝑘𝑘) �� < 𝜀𝜀 (9)
Menentukan Membership dan Pusat Cluster dengan Korelasi Spasial
Piksel yang telah mendapatkan pengaruh korelasi piksel ketetangaan dapat membantu dalam proses klusterisasi piksel. Pikse lyang memiliki keterkaitan dengan piksel tetangganya akan menjadikan kemungkinan suatu piksel dengan piksel tetangganya dalam proses pengelompokan dikelompokan dalam satu kluster yang sama. Berdasarkan piksel yang telah memiliki ketergantungan spasial maka perhitungan keanggotaan piksel ditunjukan pada persamaan berikut:
(6)
(𝑤𝑤𝑤𝑤 −𝑣𝑣𝑣𝑣)− 2/𝑚𝑚 −1 −2 ⁄𝑚𝑚 −1 𝑗𝑗 =0 (𝑤𝑤𝑤𝑤 −𝑣𝑣𝑣𝑣 )
𝜇𝜇𝜇𝜇(𝑥𝑥𝑥𝑥, 𝑦𝑦𝑦𝑦) = ∑𝑐𝑐−1
4
(10)
𝑣𝑣𝑣𝑣 =
−1 ∑𝑞𝑞𝑖𝑖=0 𝜇𝜇𝜇𝜇 (𝑥𝑥𝑥𝑥 ,𝑦𝑦𝑦𝑦 )𝑚𝑚 𝑤𝑤𝑤𝑤 −1 ∑𝑞𝑞𝑖𝑖=0 𝜇𝜇𝜇𝜇 (𝑥𝑥𝑥𝑥 ,𝑦𝑦𝑦𝑦 )𝑚𝑚
window ini sebatas pada nilai ukuran 3 x 3 dan 5x5.
(11)
proses melakukan pembentukan membership dan pusat kluster diulang sampai memenuhi stopping criterion sesuai persamaan 12 berikut, |𝑉𝑉𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛𝑛 − 𝑉𝑉𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜 | < 𝜀𝜀 (12)
4. Uji Coba 4.1 Data Masukan
Gambar 4.2 Citra image005.png
Data masukan adalah data awal yang akan diproses. Data tersebut berupa citra inputan yang akan dilakukan preprocessing dan segmentasi. Data masukan dalam tahap preprocessing adalah citra fundus mata berwarna dengan ukuran M x N dan berupa citra RGB. Selain itu diperlukan parameterparameter yang harus diinputkan oleh user untuk mendukung proses segmentasi citra hard exudates dengan FCM korelasi spasial. Parameter-parameter sebagai data masukan tersebut adalah jumlah cluster, ukuran window, maksimal iterasi, minimal error, faktor spatial dan faktor gray. Data yang digunakan pada uji coba ini adalah citra DIARETDB1 [5]. Tidak semua data pada DIARETDB dapat digunakan sebagai data masukan pada aplikasi segmentasi hard exudates ini. Hal ini dikarenakan tidak semua citra pada DIARETDB1 memiliki illuminasi atau pencayaan yang bagus dan merata.
Gambar 4.3 Hasil segmentasi dengan ukuran 3x3
Gambar 4.4 Hasil segmentasi dengan ukuran 5x5 Tabel 4.1 Hasil akurasi segmentasi citra pada uji coba I
2. Citra DIARETDB1 image016.png No Uku Akurasi( Run ran Win %) ning time dow (detik)
Gambar 4.1 Gambar yang dipakai sebagai data masukan
1
3
54.1
130.775
2
5
53.6
189.282
Pada skenario kedua, nilai spatial scale dan gray level akan diubah-ubah sesuai dengan pengambilan nilai secara manual. Pengambilan nilai-nilai uji coba ini menggunakan nilai 1,3 dan 10 untuk spatial scale dan gray level.
4.2 Hasil yang didapatkan Tujuan dari uji coba ini adalah untuk membuktikan FCM korelasi spasial mampu mensegmentasi hard exudates pada citra DIARETDB1. Skenario yang dilakukan adalah dengan jalan memasukkan inputan parameter yang berbeda mulai dari ukuran window, nilai faktor spasial dan faktor gray, nilai konvergensi error, dan jumlah cluster. Berikut dibawah ini adalah ujicoba yang dilakukan pada citra-citra fundus retina :
Gambar 4.5 Citra image016.png
1. Citra DIARETDB1 image005.png Pada skenario uji coba yang pertama ini akan dibandingkan nilai akurasi segmentasi citra yang dihasilkan dari dengan perubahan ukuran window yang berbeda-beda. Perubahan ukuran
5
Gambar 4.10 Nilai konvergensi error sebesar 0.01
Gambar 4.6 Spatial sca1e dan gray level bernilai 1
Gambar 4.11 Nilai konvergensi error sebesar 0.001 Gambar 4.7 Spatial sca1e dan gray level bernilai 3
Gambar 4.12 Nilai konvergensi error sebesar 0.001 Tabel 4.3 Hasil akurasi segmentasi citra pada uji coba III
Gambar 4.8 Spatial sca1e dan gray level bernilai 10
No Tabel 4.2 Hasil akurasi segmentasi citra pada uji coba II
No 1 2 3
Spatial scale , gray level 1 3 10
Akurasi(%) 83.5 67.4 61.8
Running time 134.928 136.818 135.78
1 2 3 4.
3. Citra im2.jpg
Nilai konver gensi 0.01 0.001 0.0001
Akurasi(%)
Running time
77.68 77.77 88.5
80.338 79.34 77.395
Citra im5.jpg
Pada skenario keempat, nilai jumlah cluster akan diubah-ubah sesuai dengan pengambilan nilai secara manual. Uji coba ini menggunakan nilai 10 dan 12 untuk jumlah cluster pada citra yang akan di segmentasi
Pada skenario ketiga, nilai konvergensi akan diatur pada nilai 0.01, 0.001 dan 0.0001. Nilai pengontrol konvergensi error, menentukan kapan proses kluster dalam segmentasi hard exudates akan mencapai pusat kluster dan keanggotaan yang optimal.
Gambar 4.13 Citra im5.jpg
Gambar 4.9 Citra im2.jpg
Gambar 4.14 Nilai jumlah cluster sebesar 10
6
5. Gambar 4.15 Nilai jumlah cluster sebesar 12 Tabel 4.4 Hasil Akurasi Segmentasi Citra pada Uji Coba IV
No 1 2 3 4
Jumlah Cluster 10 12 10 12
Akurasi(%)
Running time
91.9 83.6 70.43 65.7
100.055 135.249 123.743 152.461
menyebabkan iterasi perubahan pusat cluster dan membership akan berhenti ketika sudah optimal. Hal tersebut menyebabkan hasil hard exudates yang disegmentasi semakin bagus. Untuk mendapatkan hasil segmentasi yang optimal dibutuhkan jumlah cluster yang berbeda-beda pada masing-masing citra. Jumlah cluster yang optimal bergantung pada iluminasi dan warna dari citra tersebut. Illuminasi dan komposisi warna dalam suatu citra berpengaruh dalam penentuan partisi-partisi yang akan disegmentasi dalam suatu citra. Semakin tinggi jumlah cluster maka akan semakin homogen piksel yang dikelompokkan.
6. Daftar Pustaka [1] Cemal Kose, Ugur Sevik, Cevat Ikibas, hidayet Erdol. Simple methods for segmenting and measurement of diabetic retinopathy lession in retinal fundus images. Computer Methods and Program in Biomedicine. 2011. [2] Xiang-Yang Wang, Juan Bu. A Fast and robust image segmentation using FCM with spatial information. Digital Signal Processing. 2009. [3] Blindspot. Optic Disc. [Online] [Dikutip: 27 December 2011.] http://www.yorku.ca/eye/blndspot.htm. [4] S. Saheb Basa, Dr K Satya Prasad. Automatic Detection of Hard Exudates in Diabetic Retinopathy Using Morphological Segmentation and Fuzzy Logic. 2008, Vol. 8. [5] Hmed S. Abljtaleb, 1988. Automatic Thresholding of Gray-Level Picture Using Two-Dimensional Entropy, Temple University, Philadelphia. [6] DIARETDB1 Standard Diabetic Retinopathy Database Calibration Level 1. 2010. DIARETDB1 Dataset. [Online] [Dikutip: 4 October 2011.] http://www2.it.lut.fi/project/imageret/diar etdb1/diaretdb1_v_1_1.zip.
5. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan uji coba dan evaluasi yang telah dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Dengan melihat hasil uji coba yang dilakukan terbukti bahwa algoritma FCM dengan Korelasi Spasial dapat mensegmentasi dengan baik hard exudates pada citra fundus retina. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata hasil akurasi 10 citra dengan parameter terbaik mencapai 76,95%. 2. Perubahan ukuran window dalam segmentasi mempengaruhi hasil akurasi. Hal ini dikarenakan ukuran window mempengaruhi local image feature. Besarnya ukuran window berbanding terbalik dengan nilai local image feature. Semakin kecil ukuran window, maka semakin besar local image feature-nya yang berarti semakin tinggi korelasi antar pikselnya, begitu juga sebaliknya. 3. Nilai spatial scale dan gray level berpengaruh terhadap proses penentuan local image feature pada algoritma ini. Apabila nilai spatial scale dan gray level terlalu kecil, maka akan semakin tinggi korelasi antar pikselnya. Hal tersebut dikarenakan nilai local image feature yang besar. Nilai local image feature yang besar berarti jarak suatu piksel dengan piksel pusat semakin dekat. Sebaliknya, apabila nilai spatial scale dan gray level terlalu besar maka akan semakin kecil korelasi antar pikselnya dikarenakan nilai local image feature pada proses tersebut kecil. 4. Nilai konvergensi error berpengaruh pada cluster yang dihasilkan. Semakin kecil nilai konvergensi maka akan
7