IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DISEKOLAH DASAR BERBASIS MBS Dr. M.Th.S.R. Retnaningdyastuti, M.Pd. Drs. G. Rohastono Ajie, M.Pd.
[email protected] &
[email protected]
Abstrak Diperlukan pembaharuan dalam pendidikan di SD yang menekankan pentingnya pendidikan karakter secara holistik melalui MBS. Pendidikan karakter adalah usaha sadar dan terencana untuk memberikan pemahaman tentang nilai-nilai kebaikan, mengembangkan sikap menyenangi nilai-nilai kebaikan dan mengarahkan tindakan untuk melakukan nilai-nilai kebaikan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masayarakat dan bangsa. Implementasi pendidikan karakter di SD perlu menggunakan pendekatan MBS. Kepala sekolah secara otonom mengelola sekolah bersama dewan guru, komite sekolah, orang tua dan masyarakat melaksanakan program sekolah untuk mewujudkan peserta didik yang berkarakter. Implementasi pendidikan karakter berbasis MBS dilakukan melalui proses integrasi dalam mata pelajaran dengan menggunakan metode komprehensif, integrasi dalam kegiatan ekstrakurikuler, integrasi dalam budaya sekolah. Proses integrasi ini bersifat saling melengkapi. Agar berhasil mengimplementasikan pendidikan karakter berbasis MBS perlu melibatkan semua stakeholders; serta meningkatkan pemahaman, ketrampilan, komitmen dan kreativitas dalam mengimplementasikan pendidikan karakter berbasis MBS. Kata-kata kunci: implementasi, pendidikan karakter, MBS Pendahuluan Pendidikan di Sekolah Dasar (SD) merupakan bagian dari pendidikan dasar. Menurut Komisi Pendidikan untuk Abad 21, pendidikan dasar merupakan sebuah “paspor” bagi peserta didik untuk hidup di masa depan (Sa’ud dan Sumantri, 2007: 1113-1117). Pendidikan di SD memberikan pengalaman-pengalaman yang sangat penting dan bermakna bagi setiap orang untuk memasuki kehidupannya kelak di masyarakat. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa tujuan pendidikan di SD untuk mengembangkan sikap, pengetahuan dan ketrampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan tingkat menengah.
Sesuai dengan rumusan tujuan pendidikan di SD tersebut, maka yang menjadi sasaran pendidikan adalah pengembangan semua aspek kepribadian peserta didik secara utuh, yakni pengembangan aspek pengetahuan, ketrampilan dan karakter (Kemdikbud, 2013). Pendidikan di SD tidak cukup hanya menghasilkan peserta didik yang cerdas secara intelektual. Kesuksesan hidup seseorang lebih ditentukan oleh karakternya dari pada semata-mata kecerdasan intelektualnya saja. Beberapa negara yang berhasil dalam menerapkan pendidikan karakter dilakukan sejak pendidikan dasar. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga peserta didik suka menyontek, tawuran antar pelajar ataupun kenakalan lainnya. Selain itu, proses dan penilaian pendidikan pada aspek sikap cenderung lebih sukar jika dibandingkan aspek pengetahuan dan ketrampilan, sehingga pengembangan sikap cenderung kurang mendapat perhatian dalam pembelajaran. Oleh karena itu diperlukan pembaharuan pendidikan di SD melalui perubahan pendidikan dasar yang menekankan pentingnya implementasi pendidikan karakter di SD secara holistik. Dengan implementasi pendidikan karakter di SD diharapkan peserta didik dapat mengembangkan potensinya, menghayati nilai-nilai luhur, melakukan internalisasi nilai-nilai luhur ke dalam kepribadiannya, sehingga kelak diharapkan mampu berkontribusi produktif terhadap masyarakat dan mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat (Balitbang dan Pusat Kurikulum Kemendiknas, 2010). Dengan memberikan pendidikan karakter, diharapkan peserta didik berlatih memilih berbuat baik dan menghindari perbuatan yang tidak baik. Pelaksanaan pendidikan karakter di SD diintegrasikan dengan pengembangan pengetahuan dan ketrampilan. Dengan demikian diharapkan pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia pada peserta didik dapat diwujudkan secara utuh, terpadu dan seimbang sesuai standar kompetensi
lulusan,
akhirnya
diharapkan
dapat
meningkatkan
mutu
penyelenggaraan dan hasil pendidikan (Hasanah, 2013: 194). Untuk mencapai sasaran pendidikan di SD yang bermutu, peranan sekolah sangatlah menentukan. Hasil penelitian Gaziel (dalam Suparlan, 2010)
menunjukkan pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah telah mempunyai dampak positif terhadap motivasi dan komitmen guru terhadap keberhasilan sekolah. Pemberian otonomi yang besar dalam mengelola sekolah berhubungan dengan kebijakan pengelolaan satuan pendidikan yang berlaku sekarang dengan menggunakan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Dengan MBS pengelolaan peningkatan mutu SD dilakukan oleh pihak sekolah secara mandiri dengan melibatkan semua pihak yang terkait (Umiarso dan Gojali, 2011:
18-19). Diharapkan dengan menggunakan pendekatan MBS dapat
digunakan untuk mengimplementasikan pendidikan karakter di SD. Namun dari penelitian Zuchdi dkk (2010) yang dilaksanakan pada tahun 2006 menunjukkan bahwa konteks institusional sekolah masih belum secara optimal mendukung pelaksanaan pendidikan karakter. (Oleh karena itu yang menjadi permasalahan adalah bagaimanakah implementasi pendidikan karakter berbasis MBS di SD?
Pembahasan Pendidikan Karakter di SD Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani “chrassein” dan “kharax” yang artinya mengukir (Afandi, 2011: 87). Selanjutnya istilah ini masuk dalam Bahasa Inggris menjadi “character”. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan mendasari cara pandang, berpikir, sikap dan cara bertindak orang tersebut. Pandangan bahwa karakter mendasari cara pandang, bersikap dan bertindak didukung pendapat Samani dan Hariyanto (2011) yang mengatakan bahwa karakter merupakan cara berpikir dan berperilaku yang khas pada setiap individu dalam kehidupannya di lingkungan keluarga dan masyarakat. Soedarsono (2008) mengatakan bahwa karakter merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri individu melalui pendidikan, pengalaman, pengorbanan dan pengaruh lingkungan yang dipadukan dengan nilai-nilai dalam diri manusia. Perpaduan nilai-nilai ini melandasi pemikiran, sikap dan perilakunya, yang dibentuk dan dibangun secara sadar dan sengaja, berdasarkan jati diri masing-masing. Kemendiknas (2010) menjelaskan bahwa karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dengan demikian karakter merupakan nilai-nilai yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang khas pada setiap manusia dalam berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan
dibentuk serta dikembangkan
secara sadar dan sengaja melalui
perpaduan pengaruh lingkungan dan faktor internal individu. Berdasarkan Undang-undang No 20 Tahun 2003 istilah pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya utuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai kebaikan kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil (Kemendiknas, 2010). Pendidikan karakter adalah proses pengembangan potensi peserta didik, proses internalisasi dan penghayatan nilai-nilai kebaikan menjadi kepribadiannya dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat (Balitbang dan Pusat Kurikulum Kemendiknas, 2010: 4). Pendidikan karakter adalah suatu sistem pendidikan dengan penanaman nilai-nilai kebaikan sesuai dengan budaya bangsa pada aspek pengetahuan, sikap dan tindakan, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masayarakat maupun bangsa (Afandi, 2011: 88). Dengan demikian pendidikan karakter adalah usaha sadar dan terencana untuk memberikan pemahaman tentang nilai-nilai kebaikan, mengembangkan sikap menyenangi nilai-nilai kebaikan dan mengarahkan tindakan untuk melakukan
nilai-nilai kebaikan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masayarakat dan bangsa. Tujuan umum pendidikan karakter sejalan dengan tujuan pendidikan nasional seperti yang dimuat dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 pada pasal 3 yakni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan ini dijabarkan secara lebih khusus pada setiap satuan pendidikan termasuk juga pendidikan karakter di SD, yang menjadi dasar pendidikan karakter untuk
jenjang
pendidikan
menengah.
Balitbang
dan
Pusat
Kurikulum
Kemendiknas (2010: 7) menjelaskan tujuan pendidikan karakter meliputi: (1) mengembangkan potensi kalbu atau nurani atau afektif peserta didik manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai karakter; (2) mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius; (3) menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung
jawab
peserta
didik
sebagai
generasi
penerus
bangsa;
(4)
mengembangkan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif dan berwawasan kebangsaan; (5) mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas, persahabatan dan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan. Sesuai dengan
Undang-undang No 20 Tahun 2003
pasal 3, fungsi
pendidikan karakter secara umum adalah membentuk dan mengembangkan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Balitbang dan Pusat Kurikulum
Kemendiknas (2010: 7) menjelaskan fungsi pendidikan karakter meliputi fungsi: pengembangan, perbaikan dan penyaring. Fungsi pengembangan adalah mengembangkan perilaku yang baik bagi peserta didik dan perilaku yang mencerminkan karakter. Fungsi perbaikan adalah memperkuat kiprah pendidikan karakter untuk lebih bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat. Fungsi penyaring adalah untuk menyaring budayabudaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai karakter.
Nilai adalah sifat atau kualitas dari sesuatu. Nilai dalam kaitannya dengan pendidikan karakter menjadi pemandu, penuntun dan pengarah dalam kehidupan manusia untuk menjadi manusia yang berkarakter, menuju kepada tujuan akhir hidupnya yaitu kebenaran yang tertinggi, kebahagiaan sejati, kebahagiaan kekal, menyatu dengan Tuhan Sang Pencipta (Soegeng dkk, 2013: 2-3). Nilai-nilai dalam pendidikan karakter bersumber dari agama, Pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional (Balitbang dan Pusat Kurikulum Kemendiknas, 2010: 8-10). Berdasarkan keempat sumber nilai tersebut, maka teridentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan karakter yakni nilai-nilai religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, senang membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab. Pendidikan karakter disesuaikan dengan tingkat perkembangan mental peserta didik. Penanaman nilai-nilai pada peserta didik usia SD disesuaikan dengan karakteristik dan tingkatan perkembangannya. Oleh karena itu penanaman nilai-nilai karakter pada siswa SD berbeda dengan siswa SMP, demikian pula siswa SD kelas rendah (kelas 1-3) berbeda dengan siswa SD kelas tinggi (kelas 4-6). Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di SD Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan terjemahan dari School Based Management (SBM). SBM pertama kali dikenal di Amerika Serikat pada saat masyarakat mulai mempertanyakan relevansi dan korelasi hasil pendidikan sekolah dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Kinerja sekolah tidak mampu memberikan hasil sesuai tuntutan kehidupan ekonomi kompetitif, sehingga dilakukan reformasi pengelolaan pendidikan sekolah (Nurkolis, 2005: 1-2). MBS diimplementasikan di Indonesia seiring dengan diberlakukan Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yo Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang membawa konsekuensi desentralisasi pendidikan (Soegito, AT, 2011). Desentralisasi pendidikan diharapkan dapat memecahkan masalah pokok pendidikan yakni masalah mutu, pemerataan, relevansi, efisiensi dan manajemen. Untuk mencapai otonomi pendidikan, desentralisasi pendidikan tidak cukup hanya
sampai di pemerintah kota atau kabupaten, maka desentralisasi pendidikan dilaksanakan sampai pada satuan pendidikan di sekolah. MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school selfmanegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah. Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, namanama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya (Suparlan, 2010). Menurut Nurkolis (2005: 11) MBS adalah model pengelolaan sekolah dengan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sekolahnya sendiri secara langsung. Dimilikinya kewenangan sekolah itu karena terjadi pergeseran kekuasaan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah kepada sekolah langsung dalam pengelolaan sekolah. Dengan adanya kewenangan yang besar tersebut, maka sekolah memiliki otonomi, tanggung jawab dan partisipasi dalam menentukan program-program sekolah. MBS (Umiarso dan Gojali, 2011: 74) merupakan pemberian otonomi penuh kepada sekolah untuk secara aktif-kreatif serta mandiri dalam mengembangkan dan melakukan inovasi dalam berbagai program untuk meningkatkan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah yang tidak lepas dari kerangka tujuan pendidikan nasional dengan melibatkan yang berkepentingan (stakeholder), serta sekolah harus pula mempertanggungjawabkan. MBS pada hakikatnya penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian MBS merupakan model pengelolaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah dalam mengelola sekolahnya secara bertanggung jawab, sehingga sekolah mampu mandiri dan kreatif dalam mengembangkan dan melakukan inovasi dalam berbagai program untuk meningkatkan mutu pendidikan
sesuai dengan kebutuhan sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan nasional dengan melibatkan yang berkepentingan (stakeholder). Tujuan MBS (Ditjen Dikdasmen Depdiknas dan Satori dalam Soegito, AT, 2011: 32-33) adalah untuk: (1) meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola atau memberdayakan sumber daya yang tersedia; (2) meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; (3) meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah tentang mutu sekolah; dan (4) meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah untuk mencapai mutu pendidikan yang diharapkan. Menurut Sagala (2009: 158) tujuan MBS adalah: (1) menjamin terselenggaranya pelayanan belajar yang bermutu dan pemanfaatan sumber-sumber belajar yang tersedia di sekolah secara optimal; (2) meningkatkan kualitas transfer ilmu pengetahuan dan membangun karakter bangsa yang berbudaya, menggunakan strategi dan fasilitas yang memungkinkan untuk itu; (3) meningkatkan mutu sekolah dengan memantapkan kemandirian, kreativitas, inisiatif dan inovatif dalam mengelola sekolah mengacu pada kebijakan strategis pemerintah berkaitan standar pendidikan nasional; (4) meningkatkan kepedulian warga sekolah masyarakat maupun stakeholder dalam menyelenggarakan pendidikan melalui penetapan kebijakan dan pengambilan keputusan dengan mengakomodasi aspirasi bersama baik internal sekolah maupun eksternal; (5) meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah tentang mutu sekolah; dan (6) meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai. Penggunaan model MBS berdasarkan prinsip-prinsip umum (Satori dalam Sagala, 2009: 159) sebagai berikut: (1) memiliki visi, misi dan strategi ke arah pencapaian mutu pendidikan SD; (2) berpijak pada “power sharing” (berbagi kewenangan), pengelolaan pendidikan sepatutnya berlandaskan pada keinginan saling mengisi, saling membantu dan menerima berbagai kekuasaan /kewenangan sesuai fungsi dan peran masing-masing; (3) adanya profesionalisme semua bidang dan berbagai komponen baik para praktisi pendidikan, pengelola, dan menajer
pendidikan lainnya termasuk Dinas Pendidikan maupun Komite Sekolah; (4) meningkatkan partisipasi masyarakat yang kuat termasuk orang tua dan peserta didik; (5) Komite Sekolah sebagai institusi dapat menopang keberhasilan visi dan misi sekolah; dan (6) adanya transparansi dan akuntabilitas manajemen sekolah baik dilihat dari akuntabilitas manajemen maupun akuntabilitas finansial. Karakteristik MBS (Sagala, 2009: 161) ditandai oleh: (1) prestasi pembelajaran dan manajemen yang efektif; (2) kepemimpinan sekolah yang visioner dan berjiwa enterpreneurship; (3) menempatkan kewenangan yang bertumpu pada sekolah dan masyarakat; (4) senantiasa melakukan perubahan ke arah yang lebih baik; (5) melakukan analisis kebutuhan, perencanaan, pengembangan dan evaluasi kinerja sesuai visi dan misi untuk mencapai tujuan dan target sekolah; (6) kesejahteraan personal sekolah yang cukup; (7) pengelolaan dan penggunaan anggaran yang tepat sasaran dan dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan data di lapangan menunjukkan bahwa daerah yang sekolahnya sudah melaksanakan MBS, hasil pembelajarannya lebih baik dari pada daerah yang sekolahnya belum menerapkan MBS. Angka kelulusan siswa SD yang bagus diperoleh daerah yang sebagian besar sekolahnya menerapkan MBS (Zabadi, 2010: 40-41). Tantangan dalam menerapkan MBS antara lain: sebagian dari warga sekolah tidak berminat terlibat untuk mengerjakan tugas tambahan selain pekerjaan utamanya, pengambilan keputusan partisipatif kadang kala menunjukkan cara kerja yang tidak efisien, pihak yang berkepentingan kemungkinan tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk menerapkan MBS,
dan pihak yang
berkepentingan kemungkinan kebingungan atas peran dan tanggung jawab sebagai
konsekuensi
dari
penerapan
MBS.
Kegagalan
dalam
mengimplementasikan MBS antara lain oleh faktor-faktor: mengadopsi model MBS apa adanya tanpa upaya kreatif, kepala sekolah bekerja dengan agendanya sendiri tanpa memperhatikan aspirasi komite sekolah, kekuasaan pengambilan keputusan terpusat pada satu pihak dan cenderung semena-mena, dan
menganggap MBS merupakan hal biasa tanpa usaha yang serius dan berhasil dengan sendirinya (Zabadi, 2010: 43-45). /Implementasi Pendidikan Karakter di SD Berbasis MBS Implementasi model MBS adalah “back to basic education” yaitu kembali ke jati diri pendidikan sebagai proses penanaman nilai kemanusiaan yang baik (Sagala, 2009: 160). Proses penanaman nilai ini perlu memperhatikan konfigurasi karakter dalam totalitas proses psikologis dan sosial kultural yang dikelompokkan dalam: olah hati (spiritual and emotional development), olah pikir (intellectual development), olah raga raga dan kinestetik (physical and kinestetic development) dan olah rasa dan karsa (affective and creativity development) (Afandi, 2011: 9394). Proses penanaman nilai-nilai melalui olah pikir dilakukan dengan cara mengembangkan kemampuan memahami nilai-nilai kebaikan. Proses penanaman nilai-nilai melalui olah hati dilakukan dengan cara mengembangkan keyakinan dan perasaan menyenangi nilai-nilai kebaikan. Proses penanaman nilai-nilai melalui olah rasa dan karsa dengan cara mengembangkan minat dan dorongan untuk melakukan tindakan yang relevan dengan nilai-nilai kebaikan. Proses penanaman nilai-nilai melalui olah raga dilakukan dengan cara melaksanakan tindakan-tindakan nyata yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai kebaikan. Proses penanaman nilai-nilai kepada peserta didik tidak hanya dilakukan oleh kepala sekolah dan guru, tetapi melibatkan stakeholder antara lain orang tua dan masyarakat. Oleh karena itu implementasi pendidikan karakter di SD perlu menggunakan pendekatan MBS. Kepala sekolah secara otonom bersama dewan guru, komite sekolah, orang tua dan masyarakat melaksanakan program sekolah untuk mewujudkan peserta didik yang berkarakter. Implementasi pendidikan karakter
dengan menggunakan pendekatan MBS dilakukan melalui proses
integrasi dalam mata pelajaran, integrasi dalam kegiatan ekstrakurikuler, integrasi dalam budaya sekolah (Balitbang dan Pusat Kurikulum Kemendiknas, 2010). Proses integrasi ini bersifat saling melengkapi. 1. Diintegrasikan dalam mata pelajaran Implementasi pendidikan karakter di SD yang diintegrasikan dalam mata pelajaran lebih sesuai jika menggunakan pembelajaran tematik. Untuk
mencapai tujuan pendidikan karakter yang utuh perlu ditunjang oleh kurikulum yang bersifat holistik. Dalam kurikulum yang holistik menampilkan tema yang mendorong terjadinya eksplorasi terhadap kejadian-kejadian yang otentik dan alamiah. Dengan munculnya kejadian yang alami ini akan terjadi suatu proses pembelajaran yang bermakna dan materi yang dirancang akan saling terkait antar bidang pengembangan yang ada dalam kurikulum. Implementasi pendidikan karakter yang diintegrasikan dalam mata pelajaran diharapkan mampu membentuk manusia secara utuh (holistik) yang berkarakter, baik aspek sosial, spiritual, emosional, kreativitas, intelektual dan fisik siswa secara optimal. Menurut Zuchdi (2010) implementasi pendidikan karakter yang diintegrasikan mata pelajaran dilaksanakan dengan menggunakan metode komprehensif. Metode komprehensif meliputi: penanaman nilai dan pengetahuan bidang studi (inkulkasi), menjadi model dalam berbicara dan berperilaku (keteladanan), pemberian kesempatan berlatih membuat keputusan moral (fasilitasi), dan pengembangan keterampilan hidup (soft skills). 2. Integrasi dalam kegiatan ekstrakurikler Kegiatan ekstrakurikuler pada umumnya merupakan kegiatan pilihan yang disukai oleh siswa. Dalam kegiatan ekstrakurikuler dikembangkan pengalaman – pengalaman yang bersifat nyata yang dapat membawa siswa pada kesadaran atas pribadi, sesama, lingkungan dan Tuhan-nya, Kegiatan ekstrakurikuler dapat dikembangkan dalam beragam cara dan isi. Penyelenggaraan kegiatan yang memberikan kesempatan luas kepada pihak sekolah, pada gilirannya menuntut pimpinan sekolah, guru, siswa, dan pihak – pihak yang berkepentingan lainnya untuk secara kreatif merancang sejumlah kegiatan sebagai muatan kegiatan ekstrakurikuler. Muatan – muatan kegiatan yang dapat dirancang oleh guru/pembina antara lain: kegiatan keagamaan, pramuka, pecinta alam, OSIS, dokter kecil, menari, seni suara, olah raga, dan kegiatan sosial.
3. Integrasi dalam budaya sekolah Sekolah sebagai organisasi, memiliki budaya sendiri yang dibentuk dan dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut, sikap-sikap keteladanan, kebiasaankebiasaan yang ditampilkan dan tindakan-tindakan kepala sekolah dan guru. Selain itu juga kebijakan-kebijakan pendidikan berupa ketentuan-ketentuan, aturan, tata tertib sekolah, penghargaan dan sanksi. Selain berfungsi sebagai pendorong terbentuknya karakter yang diinginkan, budaya sekolah juga dharapkan menjadi salah satu benteng dalam menanggulangi berkembangnya karakter peserta didik yang tidak sejalan dengan budaya dasar bangsa. Budaya sekolah ditentukan perlu bersumber dan berimpit dengan nilai-nilai budaya dasar bangsa. Untuk itu tata tertib sekolah atau peraturan kehidupan siswa di sekolah
perlu memasukkan muatan
nilai-nilai
pengembangan karakter
budaya bangsa antara lain rasa cinta tanah air, toleransi antar umat beragama, tata krama, budaya tertib, bersih dan tepat waktu. Pembiasaan yang dilakukan di sekolah diharapkan mendapatkan penguatan dengan pembiasaan di rumah dan masyarakat. Oleh karena itu, perlu jalinan erat antar pemangku kepentingan pendidikan (stakeholders) antara lain sekolah, orang tua siswa dan komite sekolah, dewan pendidikan, dinas pendidikan, instansi pemerintah, masyarakat luas, dan pemerhati pendidikan.
Penutup Simpulan Dalam mengimplementasi pendidikan karakter berbasis MBS,
Kepala
sekolah secara otonom bersama dewan guru, komite sekolah, orang tua dan masyarakat melaksanakan program sekolah untuk mewujudkan peserta didik yang berkarakter. Implementasi pendidikan karakter dengan menggunakan pendekatan MBS dilakukan melalui pintegrasian dalam mata pelajaran dengan menggunakan metode komprehensif, pengintegrasian dengan berbagai kegiatan ekstrakurikuler, pengintegrasian dalam budaya sekolah yang bersifat saling melengkapi.
Saran Dalam proses pengintegrasi pendidikan karakter dalam MBS disarankan orang tua,
guru, kepala sekolah serta tokoh lainnya di masyarakat memberikan
keteladanan kepada peserta didik; membiasakan peserta didik melakukan tindakan yang baik; pemberian penghargaan kepada peserta didik yang melakukan tindakan yang baik dan mengimplementasikan tata tertib untuk mencegah tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai mulia dan memberikan sanksi untuk mengatasi tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai mulia. Agar berhasil mengimplementasikan pendidikan karakter berbasis MBS perlu melibatkan semua stakeholders sesuai dengan peran dan kewenangan masingmasing; serta meningkatkan pemahaman, ketrampilan, komitmen dan kreativitas dalam mengimplementasikan pendidikan karakter berbasis MBS.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Rifki. 2011. Integrasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar. Pedagogia. 1 (1): 85-98. Balitbang dan Pusat Kurikulum Kemendiknas. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Balitbang dan Pusat Kurikulum Kemendiknas. Hasanah. 2013. Implementasi Nilai-nilai Karakter Inti di Perguruan Tinggi. Jurnal Pendidikan Karakter. III (2): 186-195. Kemdikbud. 2013. Kurikulum 2013. Jakarta: Kemdikbud. Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Kemendiknas. Nurkholis. 2005. Manajemen Berbasis Sekolah. Teori, Model dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo. Sagala, Syaiful. 2009. Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2011. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sa’ud, Udin Syaefudin dan Sumantri, Mulyani. Pendidikan Dasar dan Menengah. dalam: Ali, Muhammad dkk. (Eds). 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Pedagogiana Press. Soedarsono, Soemarsono. 2008. Karakter Mengantar Bangsa: dari Gelap Menuju Terang. Jakarta: Elex Media Komputindo. Soegeng, Ysh. Dkk. 2013. Landasan Pendidikan Karakter. Semarang: IKIP PGRI Semarang Press. Soegito, AT. 2011. Kepemimpinan Manajemen Berbasis Sekolah. Semarang: Unnes Press. Suparlan. 2010. Beberapa Temuan Hasil Penelitian MBS (Manajemen Berbasis Sekolah. Suparlan.com (diakses 20 Desember 2011). Umiarso dan Gojali, Imam. 2011. Manajemen Mutu Sekolah di Era Otonomi Pendidikan. “Menjual” Mutu Pendidikan dengan Pendekatan Quality Control bagi Pelaku Lembaga Pendidikan. Yogyakarta: IRCiSoD.
Zabadi, Fairul. Manajemen Berbasis Sekolah: Strategi Jitu Meningkatkan Mutu Pendidikan. dalam: Emir dan Chan, Sam (Eds). 2010. Isu-isu Kritis Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Ghalia Indonesia. Zuchdi, Darmiyati dkk. 2010. Pengembangan Model Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran Bidang Studi di Sekolah Dasar. Cakrawala Pendidikan. Th. XXIX. Edisi Khusus Dies Natalis UNY. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.