IMPLEMENTASI MODEL ENTREPRENEURIAL GOVERNMENT DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Tinjauan Dalam Perspektif Sumberdaya Manusia) Oleh : Nur Efendi
A. Pendahuluan Pemikiran manajemen public dalam dua dekade terakhir mengalami kembangan yang sangat pesat. Isu globalisasi yang dihembuskan sejak tahun 1990-an ikut memacu para ahli dan praktisi administrasi untuk turut memikirkan cara mengantisipasi tuntutan perubahan yang terjadi. Globalisasi yang pada awalnya lebih bernuansa kepentingan ekonomi negara industri untuk memasarkan produk-produk mereka ternyata melanda hampir semua aspek kehidupan.
Demam globalisasi berdampak secara luas pada
berbagai aspek kehidupan baik ekonomi, politik, sosial budaya, dan lingkungan, yang didukung oleh penggunaan teknologi tinggi dibidang informasi. Dengan globalisasi, batas-batas negara menjadi semakin kabur karena saling terhubung satu sama lainnya melalui teknologi informasi. Perubahan lingkungan global yang menunjukkan turbulensi dan ketidakpastian ini mengharuskan pemerintah memberikan respon yang cepat dan melakukan berbagai penyesuaian agar organisasi pemerintahan tetap berjalan secara efektif dan efisien. Praktek-praktek manajemen publik yang selama ini dijalankan oleh birokrasi pemerintah dirasa tidak lagi mampu
beradaptasi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat
sebagai konsumen yang semakin meningkat. Dan bukan hanya itu, Osborne dan Gaebler (1992 : 108) mengatakan perlunya dilakukan transformasi dari Rule-Driven Organization menjadi Mission-Driven Organization, yang banyak dikritik karena sangat tidak mungkin organisasi publik berjalan tanpa peraturan. Namun seperti dikatakan Osborne dan Gaebler (1992 : 113-114), organisasi yang dikendalikan oleh misi ini memiliki beberapa keunggulan, yaitu “more efficient, more better, more innovative, more flexible, and have higher morale. Reinventing Government yang maksud oleh Osborne dan Gaebler
bermuara
pada
pemikiran
bagaimana
mentransformasikan
kewirausahaan pada sector publik (Entrepreneurial Government).
semangat
Pemikiran ini
didasarkan pada fakta bahwa kelambanan organisasi dan aparat birokrasi dalam merespon kebutuhan dan perkembangan masyarakat telah menyebabkan ketidakpuasan 1
para pembayar pajak. Oleh sebab itu dibutuhkan organisasi birokrasi yang smaller, better, faster, and cheaper (Osborne dan Gaebler,1992) Praktek birokrasi diberbagai lapisan manajemen organisasi pemerintahan menunjukkan kesan yang kurang lebih sama. Birokrasi seolah-olah memiliki kesan adanya suatu proses yang panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat akan menyelesaikan suatu urusan dengan aparatur pemerintah (Kristiadi,1994 : 93).
Hal ini tentunya bukan
sesuatu yang tidak beralasan. Status sebagai pegawai pemerintah telah menempatkan para birokrat pada posisi yang lebih tinggi dari masyarakat kebanyakan. Sikap mental yang minta dilayani muncul lebih dominan dibandingkan dengan kewajiban melayani yang seharusnya mereka lakukan. Dan orientasi loyalitas berpindah dari negara ke partai politik yang berkuasa. Netralitas birokrasi sudah tidak ada dan cenderung berafiliasi dengan partai yang berkuasa.
Akibatnya pelayanan kepada masyarakat menjadi
terabaikan, berjalan lambat, lama, dan seringkali berbau suap karena tidak adanya standar biaya pelayanan yang jelas. Dan tidak jarang aparat birokrasi menunjukkan sikap yang tidak ramah dalam melayani masyarakat. Hal ini terjadi karena, pelayanan birokrasi lebih berorientasi pada kepentingan pejabat public daripada masyarakat sebagai konsumen.
Sehingga dengan ukurannya maksimalis dan kualitas pelayanan yang
minimalis itu, organisasi birokrasi digambarkan sebagai seorang wanita tua yang gemuk, lamban, dan rewel. Perubahan lingkungan dan peningkatan kebutuhan masyarakat menuntut pelayanan birokrasi yang lebih efektif, efisien dan murah. Organisasi birokrasi harus tampil dengan paradigm baru, dimana kebutuhan masyarakat menjadi prioritas dan kinerja dinilai dengan indicator yang lebih terukur. Masih rendahnya kualitas pelayanan aparat birokrasi yang diterima oleh masyarakat dianggap tidak sesuai dengan kondisi lingkungan semakin kompleks dan kompetitif.
Dengan demikian, ide Enterpricing
Government yang dilontarkan oleh Osborne dan Gaebler (1992 : 1995) atau apa yang disebut sebagai The New Enterpricing Organization oleh Salaman (dalam Gay, 2005: 148) menjadi suatu yang sangat mungkin untuk diterapkan, termasuk di Indonesia. Dalam hal ini, birokrat dituntut untuk berpikir dan bertindak seperti seorang wirausaha. Dalam konteks keindonesiaan, pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah model Entrepreneurial Government ini dapat meningkatkan kualitas pelayanan public?
2
B. Pembahasan Memperhatikan judul makalah ini, kesan pertama yang muncul adalah terlalu jauhnya hubungan antara Entrepreneurial Government dengan kualitas pelayanan public. Hal ini ada benarnya karena ada banyak variabel yang saling berkaitan dalam menciptakan suatu layanan yang berkualitas. konsumen yang dilayani.
Salah satu variabel kunci adalah masyarakat sebagai Untuk mengetahui lebih jauh tentang bagaimana
Entrepreneurial Government memberi dampak positif terhadap kualitas pelayanan public, pembahasan selanjutnya dibagi dalam tiga sesi, yaitu Entrepreneurial Government, kualitas pelayanan, dan implementasi model Entrepreneurial Government untuk meningkatkan kualitas pelayanan public. 1. Entrepreneurial Government Sebelum pembahasan ini dilanjutkan, ada baiknya dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan entrepreneur.
American Heritage Dictionary mendefinisikan
entrepreneur sebagai “a person who organizes, operates, and assumes the risk for business ventura” (dalam Siropolis, 1994: 37). Sementara Bolton dan Thompson yang dikutip oleh Thompson (2001:425) mendefinisikan entrepreneur sebagai “a person who habitually creates and innovates to build something of recognized value around perceived opportunities” Kedua definisi ini meskipun berbeda namun saling melengkapi karena beranjak dari dua pendekatan yang berbeda. Siropolis lebih menekankan pengertian entrepreneur pada orang yang mengelola suatu bisnis, dan menanggung risiko untuk bisnisnya. Sedangkan definisi Bolton dan Thompson lebih menekankan pada sifat dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang entrepreneur, yaitu creates dan innovates untuk mendapatkan suatu peluang. Dengan demikian, apa yang dimaksud dengan entrepreneur adalah orang yang mengelola suatu bisnis dengan mengambil berbagai risiko dan ia menciptakan, berinovasi untuk membangun sesuatu yang lebih bernilai untuk mendapatkan peluang bisnis. Sedangkan entrepreneurship adalah “the capacity for innovation,investment, and expansion in new market, product, and techniques”( Siropolis, 1994: 41). Ada beberapa karakteristik yang dimiliki oleh seorang entrepreneur. Siropolis (1994: 43-49) mencatat beberapa ciri yaitu, innovation, risk taking, self-confidence, work hard, goal setting, dan accountability. Secara lebih rinci David McClelland yang dikutip oleh
3
Zimmerer dan Scarborough (2005:4-6) memberikan profil seorang entrepreneur sebagai berikut : a. Menyukai tanggung jawab. b. Lebih menyukai risiko menengah. c. Keyakinan atas kemampuan untuk meraih keberhasilan. d. Hasrat untuk langsung mendapatkan umpan balik. e. Tingkat energi yang tinggi. f. Orientasi ke depan g. Keterampilan mengorganisasi. h. Menilai prestasi lebih tinggi daripada uang. i.
Komitmen yang tinggi.
j.
Toleransi terhadap ketidakpastian.
k. Fleksibilitas. l.
Keuletan.
Ada satu hal yang harus diingat sebelum menerapkan entrepreneurial government, yaitu pengambilan risiko. Birokrasi tidak bisa mengambil risiko dengan uang pembayar pajak. Seorang entrepreneur government tidak mencari risiko tetapi mencari peluang ( Osborne dan Gaebler (1992). Dengan demikian tidak ada uang negara yang hilang untuk sebuah risiko, yang ada adalah dana untuk mendapatkan sebuah peluang. menutuoleh pajak yang dibayar Ada dua hal yang saling berkaitan yang harus dimiliki agar seorang entrepreneur sukses, yaitu inovasi dan kreatifitas. Inovasi adalah kemampuan untuk menerapkan solusi kreatif terhadap masalah dan peluang. Kreatifitas adalah kemampuan untuk mengembangkan gagasan-gagasan baru dan untuk menemukan cara-cara baru dalam melihat masalah dan peluang (Zimmerer dan Scarborough, 2005:40). Theodore Levitt mengemukakan bahwa kreatifitas adalah memikirkan hal-hal baru dan inovasi adalah mengerjakan hal-hal baru (Zimmerer dan Scarborough (2005:40). Dalam konteks organisasi public, pada bagian pengantar buku Reinventing Government, Osborne dan Gaebler menyatakan bahwa: “When we talk about Public Entrepreneurs, we means people who do …new ways to maximize productivity and effectiveness….When we talk about the entrepreneurial 4
model, we mean public sector institutions that habitually act this way – that constantly use their resources in new ways to heighten both their efficiency and their effectiveness”.
Dengan demikian, public entrepreneur seperti yang dimaksudkan oleh Osborne dan Gaebler adalah aparat birokrasi yang memiliki kreatifitas dan inovasi sehingga dapat memaksimalkan produktifitas dan efektifitas organisasi. Satu hal juga penting adalah bahwa, entrepreneurial government yang dimaksudkan bukan menjadikan organisasiorganisasi public sebagai sebuah unit bisnis yang bisa mendatangkan pendapatan bagi negara. Osborne dan Gaebler (1992: 22) mengatakan“The fact that government cannot be run just like business but does not mean it cannot become more entrepreneurial, of course. Apa yang dimaksud entrepreneurial government lebih pada “ the new ways to heighten both their efficiency and their effectiveness”. Artinya, konsep entrepreneurship yang diadopsi oleh organisasi-organisasi public terbatas pada semangat kewirausahaan (The entrepreneurial spirit).
Menurut Dawkins, “the entrepreneurial spirit is often difficult to define let alone examine in detail because of its perception as a highly creative and dynamic entity” (http://EzineArticles.com/?expert=J_Dawkins). Meskipun semangat kewirausahaan itu
abstrak dan sulit untuk di definisikan, namun menurut Dawkins, ada beberapa konsep yang melekat pada entrepreneurial spirit, yaitu : a. Uniqueness b. Creativity c. Risk Taking d. Business Savy e. Developing Potential f. Adaptability g. Ultimately Destructive (http://EzineArticles.com/?expert=J_Dawkins)
Meskipun entrepreneurial spirit banyak ditemukan pada sektor bisnis seperti dikatakan oleh Dawkins, namun tidak menutup kemungkinan bahwa semangat inipun ditemukan pada sector public, karena selain merupakan bakat, kreatifitas dapat juga diajarkan (Joyce Wycoff, dalam Zimmerer dan Scarborough, 2005:44) seperti juga halnya 5
entrepreneurship. Setiap orang mempunyai kreatifitas dan inovasi dengan kadar yang berbeda-beda. Karakter dan semangat kewirausahaan tidak hanya dimonopoli oleh orang yang menciptakan dan mengelola suatu bisnis, tetapi bisa juga dimiliki oleh seorang karyawan.
Karyawan yang memiliki entrepreneurial spirit ini adalah orang yang
dipekerjakan oleh seseorang entrepreneur atau dikenal dengan intrapreneur. Intrapreneur menurut Bridge et.al (1998) yang dikutip oleh Thompson (2011 : 463) adalah “…people with entrepreneurial talent who are motivated to use their abilities and initiative and do something on their own, but who may not want to start their own business. Intrapreneur tidak hanya ada di organisasi privat tetapi juga banyak terdapat di organisasi public.
Artinya, dalam organisasi birokrasi juga terdapat banyak orang
berprilaku sebagai intrapreneur.
Dengan demikian dalam konteks implementasi
pendekatan entrepreneurial government kita dapat kelompokkan aparat birokrasi dalam dua kategori, yaitu intrapreneur, dan pegawai biasa (employees). Berdasarkan kategori ini maka reinventing government yang dimaksudkan oleh Osborne dan Gaebler dapat dilakukan dalam bidang pelayanan public dengan menjadikan intrapreneur government sebagai ujung tombak. Definisi yang diberikan oleh Bridge et.al tentang intrapreneur secara jelas dapat dibedakan dengan entrepreneur. Intrapreneur adalah seseorang yang memiliki bakat sebagai seorang entrepreneur yang termotivasi untuk menggunakan kemampuan dan inisiatifnya dan melakukan sesuatu menurut caranya sendiri, tetapi tidak memiliki keinginan untuk memulai bisnisnya sendiri. Intrapreneur muncul pada saat seseorang mengajukan dan menjual ide-idenya pada organisasi dan membangun sebuah tim pendukung. Mereka mengendalikan perubahan (Thompson, 2001 : 463).
Seorang
intrapreneur memiliki karakter strategically aware, ideas-driven, creative, flexible, innovative, good networkers, individualistic but also able to work well in team, persistent and courageous (Thompson, 2001 : 463). Jadi jelas bahwa birokrat yang memiliki karakteristik seperti ini dapat disebut sebagai intrapreneur government. Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan bahwa intrapreneur government adalah seorang pegawai pemerintah yang memiliki motivasi dan inisiatif untuk menggunakan kemampuan dan ide-idenya dalam bekerja sehingga tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif dan efisien. Karakter yang dimiliki oleh seorang intrapreneur government adalah : 6
a. Kreatif dan inovatif. b. Memanfaatkan peluang c. Bekerja keras d. Berorientasi pada hasil e. Fleksibel f. Bertanggung jawab.
2. Kualitas Pelayanan Publik Dalam era kompetisi global seperti saat ini kualitas ditentukan oleh konsumen. Kualitas menurut Deming adalah adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar (dalam Nasution, 2001 : 16). Dan menurut Garvin (dalam Tjiptono, 1996: 52) kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia/tenaga kerja, proses dan tugas, serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau konsumen.
Ironisnya, kebanyakan organisasi publik tidak tahu siapa yang menjadi
konsumen mereka (Osborne dan Gaebler (1992 : 166). Akibatnya, kualitas dipersepsikan sesuai dengan willingness mereka masing-masing. Dan kita tidak akan menemukan standar kualitas yang sama dalam pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik.
Savas yang dikutip oleh Waluyo (2007 : 127) mengemukakan bahwa pada sektor publik, terminologi pelayanan pemerintah diartikan sebagai pemberian pelayanan oleh agen pemerintah melalui pegawainya. Sedangkan pelayanan menurut Davidow adalah hal-hal yang jika diterapkan terhadap sesuatu produk akan meningkat daya atau nilai terhadap pelanggan (Lovelock dalam Waluyo, 2007:127). Hal yang paling penting adalah membuat setiap orang dalam organisasi berorientasi pada kualitas. Dengan demikian, kualitas pelayanan publik seharusnya memenuhi standar nilai yang dibutuhkan dan diinginkan oleh publik sebagai konsumen. Secara praktis kita tidak mungkin menyamakan antara organisasi publik dengan privat. Ada banyak perbedaan yang menyebabkan kedua organisasi ini berbeda, seperti dalam misi, tujuan,sumber pendapatan, dan lain-lainnya.
Namun demikian, perkembangan
masyarakat menuntut kualitas pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik bisa disamakan dengan kualitas pelayanan organisasi privat. Kesulitan bagi sektor publik untuk memberikan pelayanan yang memenuhi standar kualitas sesuai dengan kebutuhan masyarakat adalah karena mereka dibelenggu oleh berbagai aturan yang tidak membuka 7
ruang untuk berimprovisasi dan berinovasi. Sebagai organisasi pemerintah mereka terikat pada jargon
rules-driven organization.
Setiap tindakan birokrasi dipantau
melalui berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Anti Korupsi, yang menyebabkan sebagian besar birokrat memilih untuk ”tiarap” dari pada beraksi tetapi dipenjarakan karena kesalahan prosedur. Kualitas pelayanan publik seharusnya mengacu pada indeks kepuasan masyarakat sesuai dengan KEPMENPAN Nomor 2 Tahun 2004, yaitu : 1. Persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenisnya. 2. Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan (nama, jabatan, wewenang dan tanggung jawab). 3. Kedispilinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan layanan terutama berkaitan dengan konsistensi waktu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 4. Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalm penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan. 5. Kemampuan petugas pelayanan, yaitu keahlian dan keterampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan pelayanan. 6. Kecepatan pelayanan, yaitu waktu pelayanan sesuai dengan target yang ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan. 7. Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani. 8. Kesopanan dan kerahamahan petugas, ayitu sikap dan prilaku dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati. 9. Kewajaran biaya pelayanan, yaitu biaya pelayanan yang ditetapkan oleh unit pelayanan dapat dijangkau oleh kemampuan ekonomi masyarakat. 10. Kepastian biaya pelayanan, yaitu keseuaian biaya pelayanan yang dibayarkan dengan biaya yang ditetapkan. 11. Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
8
12. Kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapi, dan teratur sehingga membeikan rasa nyaman kepada penerima layanan. 13. Keamanan
pelayanan,
yaitu
terjaminnya
keamanan
lingkungan
unit
penyelenggara pelayanan maupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan.
Dan kualitas pelayanan publik yang diukur melalui indeks kepuasan masyarakat ini dikuatkan lagi dengan dikeluarkannya KEPMENPAN Nomor 25 Tahun 2004 dimana pelayanan publik harus memenuhi standar sebagai berikut : 1. Prosedur pelayanan dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk prosedur pengaduan. 2. Waktu penyelesaian ditetapkan sejak saat pengajuan permohonsn sampai dengan penyelesaian pelayanan, termasuk pengaduan. 3. Biaya pelayanan meliputi tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan. 4. Produk pelayanan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 5. Sarana dan prasarana yang memadai bagi penyelenggaraan pelayanan publik. 6. Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan,keahlian, keterampilan, sikap, dan prilaku yang dibutuhkan.
Dengan dikeluarkannya Kepmenpan ini maka pelayanan publik diharapkan mampu memberikan kualitas pelayanan yang bernilai bagi masyarkat yang dilayani melalui pelayanan publik yang tepat, cepat, dan murah. Untuk mewujudkan kondisi seperti ini, Husaini menyarankan agar organisasi publik mulai mengenali dinamika customers need and wants, mengembangkan suatu kerangka pendekatan kearah pencapaian kepuasan pelanggan, dan mempertemuk tujuan organisasi dalam rangka pencapaian kepuasan pelanggan (dalam Waluyo, 2007 : 130) atau apa yang sebut Osborne dan Gaebler sebagai “meeting needs of customer, not the bureaucracy” (1992 : 138) Sebagai pembanding, Zethaml,dkk dalam Tangkilisan (2005 : 219) mengemukakan tolok ukur kualitas layanan dapat dilihat dari 11 (sebelas) dimensi, yaitu :
9
1. Kenampakan fisik (tangible), yang terdiri dari fasilitas fisik, peralatan dan personil. 2. Reliabilitas (reliability), yaitu kemampuan unit pelayanan untuk memberikan pelayanan secara tepat. 3. Responsivitas (responsibility), yaitu kecepatan petugas untuk merespon keluhan yang disampaikan konsumen. 4. Kompetensi (Competence), yaitu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh petugas pelayanan. 5. Kesopanan (Courtesey), yaitu sikap atau prilaku yang ramah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan konsumen dan mau melakukan kontak atau hubungan pribadi. 6. Kredibilitas (Credibility), yaitu sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat. 7. Keamanan (Security), yaitu pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas dari bahaya dan risiko. 8. Akses (Acces), yaitu adanya kemudahan untuk melakukan kontak dan pendekatan. 9. Komunikasi (Communication), yaitu kemauan petugas untuk mendengarkan keinginan dan aspirasi pelanggab sekaligus kesediaan untuk selalu memberikan informasi kepada pelanggan. 10. Pengertian (Understanding), yaitu mau melakukan berbagai usaha untuk memahami kebutuhan dan keinginan konsumen. 11. Akuntanbilitas (Accountability), yaitu pertanggungjawaban kepada pelanggan.
Lovelock (dalam Widodo, 2001 : 272) mengemukakan 5 (lima) dimensi kualitas jasa, yaitu : 1. Tangible. 2. Reliability. 3. Responsiveness. 4. Assurance 5. Empathy Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang dikutip oleh Widodo (2001 : 276) membuat beberapa kriteria pelayanan publik yang baik, yaitu : 1. Kesederhanaan. 2. Kejelasan dan kepastian. 10
3. Keamanan 4. Keterbukaan. 5. Efisiensi. 6. Ekonomis. 7. Keadilan yang merata. 8. Ketepatan waktu. 9. Kuantitatif. Dari uraian di atas jelas bahwa pelayanan public yang diinginkan oleh masyarakat adalah pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani dan memenuhi criteria kualitas. Dan dengan dengan dikeluarkannya Kepmenpan Nomor 2 dan 25 tahun 2004, serta kualitas pelayanan yang baik yang dikeluarkan oleh LAN, maka seharusnya kaulitas pelayanan public yang diterima masyarakat bisa lebih baik. 3. Implementasi Model Entrepreneurial Government Untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik Mengimplemantasikan model Entrepreneurial Government pada sector public bukanlah suatu hal yang mudah. Dalam perspektif sumberdaya manusia, ada beberapa factor yang bisa menjadi hkendala jika model ini diterapkan, yaitu : a. Ketidaksiapan aparatur pemerintah terutama di tingkat bawah. Masalah utama dalam dalam pelayanan public yang diberikan oleh birokrasi adaalah rendahnya kualitas yang lebih disebabkan oleh
ketidakmampuan aparatur dalam
memberikan pelayanan. Hal in bisa disebabkan oleh 2 hal, yaitu pertama, masalah karakter aparatur yang
lebih lebih banyak menempatkan diri sebagai “tuan”
dibandingkan sebagai “pelayan”. Aparatur yang seperti ini biasanya tidak menyukai perubahan karena dianggap mengamcam status quo. Kedua, masalah kompetensi sebagian besar aparatur yang masih rendah sehingga mereka gagal mengartikulasikan kepentingan public.
b. Ketidaksiapan peraturan pendukung. Perubahan lingkungan global yang demikian cepat, ternyata tidak bisa diikuti oleh peraturan perundangan-undangan yang ada untuk mendukung setiap upaya perbaikan yang harus dilakukan. Akibatnya, aparat birokrasi harus menunggu perubahan peraturan atau dibuatnya peraturan yang baru agar mereka tidak dipidanakan karena dianggap menyalahi prosedur hukum. 11
c. Peraturan kepegawaian yang tidak up date. Sebagian besar peraturan kepegawaian yang digunakan saat ini merupakan peraturan lama yang dibuat pada awal orde baru. Demikian “rigit”nya aturan kepegawaian kita sehingga semuannya dikeluarkan dalam bentuk undang-undang.
Meskipun undang-
undang dapat diubah, namun untuk mengubahnya dibutuhkan waktu yang lama sehingga selalu tertinggal dan tidak sesuai dengan kondisi pada saat diberlakukan.
Ketiga hal ini seharusnya menjadi suatu tantangan bagi pemerintah dalam rangka reformasi birokrasi sehingga organisasi public dan birokrasi dapat berjalan secara efektif dan efisien seiring dengan perkembangan masyarakat dan lingkungan. Tantangan ini semakin besar pada saat pemerintah masuk pada zona entrepreneurial government karena spirit yang diinginkan ada pada aparat birokrasi harus didukung dengan cara melakukan reformasi birokrasi secara besar-besaran.
Implementasi model entrepreneurial government membutuhkan prakondisi sebagai starting point sebagai berikut : a. Perubahan mindset aparatur birokrasi tentang konsep diri mereka dari “tuan” menjadi pelayan, dan kualitas pelayanan. Hal ini sangat penting karena apapun yang akan dilakukan selanjutnya tergantung pada mindset mereka. Ini bukan suatu hal yang mudah untuk dilakukan karena telah terpatri kuat dalam benak mereka dan diwujudkan dalam bentuk prilaku yang terkadang arogan. Muatan materi pendidikan dan pelatihan prajabatan dan teknis untuk birokrat harus mulai menempatkan masyarakat sebagai konsumen, dan bukan hanya sebagai “civil”. b. Melakukan desentralisasi kewenangan sehingga setiap organisasi public memiliki otonomi untuk menjalankan fungsinya.
Hal ini pada gilirannya akan memberi
keleluasaan kepada aparatur negara untuk mengeluarkan ide-ide kreatif dalam penyelenggaraan pelayanan publik. c. Melakukan penilaian kinerja dengan indicator yang terukur dan transparan. Penilaian kinerja aparatur negara dengan hanya menggunakan DP3 harus ditinggalkan dan diganti dengan sistem penilaian kinerja yang lebih berorientasi pada hasil dan dilakukan secara transparan. Suka atau tidak, penilaian kinerja melalui DP3 selama ini tidak mampu prestasi kerja pegawai secara riil. Berbagai penyimpangan terjadi, mulai dari pengisian nilai yang dilakukan sendiri oleh pegawai 12
yang bersangkutan sampai pada hasil penilaian yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. d. Menerapkan sistem kompensasi yang adil Penjenjangan kepangkatan sebagai dasar penggolongan ruang gaji pegawai sudah tidak bisa dipertahankan lagi karena ada unsure ketidakpuasan dikalangan pegawai karena mereka dibayar sama dengan pegawai yang kinerjanya rendah. Pemerintah harus mengubah bukan hanya standar gaji yang sudah tidak mencerminkan pertumbuhan kebutuhan, tetapi juga memberikan berbagai macam jenis imbalan dengan memperhatikan prestasi kerja, beban kerja, dan tingkat kerumitan kerja. e. Menerapkan konsep the right man on the right place dengan masa jabatan yang relative lama. Praktek manajemen kepegawaian yang dilakukan selama ini harus diakui meninggal banyak masalah karena penempatan pejabat yang tidak sesuai dengan minat, bakat dan kompetensinya. Sehingga tidak mengherankan jika ada pejabat public yang bingung tidak tahu apa yang harus dikerja dan tidak tahu tugas pokok dan fungsinya. Sistem penempatan pegawai yang sarat dengan aroma KKN yang ikut mewarnai praktek kepegawaian harus dipangkas dengan mengfungsikan Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat (Baperjakat) secara optimal
Kelima hal ini menjadi penting karena bisa memupuk dan meningkatkan semangat entrepreneur dan intrapreneur yang dimiliki oleh aparatur public dan menciptakan kepuasan kepada pemerintah. Robbins (2001 :77) mengatakan bahwa organisasi dengan pegawai yang puas cenderung menjadi lebih efektif daripada organisasi dengan kepuasan pegawai yang rendah. Dan dengan demikian produktifitas organisasinya juga lebih baik daripada organisasi yang kepuasan kerja pegawainya rendah. Organisasi public yang memiliki produktifitas yang tinggi dan efektif dalam menjalankan pelayanan akan menciptakan kepuasan masyarakat terhadap kualitas pelayanan public. Kerangka pemikiran dalam makalah ini secara jelas dapat dilihat pada gambar berikut ini.
13
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Mindset Desentralisasi Penilaian kinerja Sistem imbalan Sistem penempatan
Reinventing Government
Entrepreneurial /intrapreneurial Government
Efisiensi
Layanan cepat
Efektifitas
Kinerja layanan publik
Layanan murah
Kualitas Pelayanan Publik
Harapan publik
Reinventing Governmet yang dilakukan melalui entrepreneurial dan intrapreneurial government mengharuskan suatu prakondisi. Dalam perspektif sumberdaya manusia, yang harus dilakukan adalah mengubah mindset aparatur negara, desentralisasi kewenangan yang memungkinkan otonomi yang lebih luas, penilaian kinerja yang transparan, sistem imbalan dan kompensasi yang adil, dan penempatan pejabat yang tepat sesuai dengan minat, bakat dan kompetensinya. Jika hal ini telah dilakukan maka entrepreneur dan intrapreneur government akan bisa menjalankan organisasi public secara efektif dan efisien sehingga pelayanan kepada public juga dapat dilakukan secara cepat,tepat dan murah.
Kinerja organisasi pelayanan public ini diharapkan mampu
mengartikulasikan harapan public tentang pelayanan yang berkualitas. Seberapa besar perbandingan antara kinerja yang diberikan organisasi public dengan harapan public merupakan kualitas pelayanan yang diberikan oleh organisasi public. Semakin besar 14
hasil perbandingan semakin berkualitas pelayanan public yang diberikan menurut persepsi public. C. Kesimpulan Kondisi sumberdaya aparatur negara saat ini belum siap untuk menerima suatu gagasan baru yang disebabkan oleh karakter budaya birokrasi yang mereka warisi. Selain itu, implementasi model juga akan terkendala oleh rendahnya kompetensi aparat sehingga mereka tidak siap untuk memberikan pelayanan public yang lebih berkualitas. Entrepreneurial dan intrapreneurial spirit dapat diajarkan dan harus dimiliki oleh aparatur birokrasi yaitu (1) kreatif dan inovatif, (2) memanfaatkan peluang, (3) bekerja keras, (4) berorientasi pada hasil, (5) fleksibel, dan (6) bertanggung jawab. Spirit ini diharapkan mampu membawa aparatur birokrasi kearah kualitas pelayanan public yang semakin baik.
Rekomendasi Agar implementasi model entrepreneurial government ini berjalan secara optimal maka pemerintah harus membuat berbagai regulasi dan melakukan deregulasi dibidang kepegawaian terutama berkaitan dengan sistem penilaian prestasi kerja pegawai dan sistem imbalan yang adil dan kompetitif.
DAFTAR PUSTAKA 1. Gay, Paul Du. 2005. The Values of Bureaucracy. Oxford University Press. New York. 2. Kristiadi, JB. 1994. Administrasi/Manajemen Pembangunan. LAN-RI. Jakarta. 3. Nasution, MN. 2001. Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management). Ghalia Indonesia. Jakarta 4. Osborne, David dan Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government : How The Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector. Published by Plume. USA 5. Robbins, P. Stephen. 2001. Organizational Behavior.9 th edition. Prentice Hall New Jersey. 6. Siropolis, Nicholas, 1994. Small Business Management Entrepreneurship. 5th edition. Houhgton Miffin Company. USA 15
;
A Guide
to
7. Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2005. Manajemen Publik. PT. Grasindo. Jakarta 8. Thompsom. John. L. 2001. Strategic Management. 4 th edition. Thomson Learning. London. 9. Tjiptono, Fandy. 2006. Manajemen Jasa. Andi Yogyakarta 10. Waluyo. 2007. Manajemen Publik ; Konsep, Aplikasi, dan Implementasinya Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. CV.Mandar Maju. Bandung 11. Widodo, Joko. 2001. Good Governance : Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Insan Cendikia. Surabaya 12. Zimmer, Thomas W dan Norman M. Scarborough. 2005. Essential of Entrepreneurship And Small Business Management. 4th edition. PT. Indeks. Jakarta 13. KEPMENPAN Nomor 2 Tahun 2004 14. KEPMENPAN Nomor 25 Tahun 2004 15. (http://EzineArticles.com/?expert=J_Dawkins).
16