Prosiding Seminar Nasional ke-15 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir Surakarta, 17 Oktober 2009
ISSN : 0854 - 2910
IMPLEMENTASI METODE GENETIC ALGORITHM DALAM OPTIMASI SUSUNAN BAHAN BAKAR TERAS PWR MENGGUNAKAN CODE COREBN Petrus1, Alexander Agung1, Sihana1 1
Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika 2, Yogyakarta, 55281
ABSTRAK IMPLEMENTASI METODE GENETIC ALGORITHM DALAM OPTIMASI SUSUNAN BAHAN BAKAR TERAS PWR MENGGUNAKAN CODE COREBN. Banyaknya kombinasi peletakan susunan perangkat bahan bakar di dalam teras diawal operasi reaktor, maka perlu dilakukan optimasi agar dapat diperoleh konfigurasi teras yang optimum dengan nilai keff akhir siklus yang maksimum dan nilai faktor daya puncak (PPF) yang minimum. Terdapat dua metode Genetic Algorithm yang digunakan dalam optimasi ini yaitu objektif tunggal dan multiobjektif. Optimasi dilakukan pada model ¼ simetri teras (52 posisi perangkat bahan bakar) dengan 3 tipe perangkat bahan bakar yaitu perangkat dengan pengkayaan U-235 sebesar 1,5% sebanyak 13 buah, 2,5% sebanyak 15 buah dan 3% sebanyak 24 buah tanpa batang racun dapat bakar. Perhitungan neutronik tingkat perangkat bahan bakar menggunakan kode PIJburn, sedangkan tingkat teras menggunakan kode COREBN. Dari optimasi objektif tunggal didapatkan konfigurasi optimum dengan perpanjangan cycle length sebesar 8,9% (60 hari) dan penurunan PPF sebesar 23,31% terhadap konfigurasi model standar. Sedangkan dari optimasi multiobjektif berhasil didapatkan pareto front akhir sebanyak 47 solusi tidak terdominasi. Dengan metode standard deviation of the crowding distances didapatkan solusi tunggal yang memberi perpanjangan cycle length sebesar 10,45% (70 hari) dan penurunan PPF sebesar 27,7% terhadap konfigurasi model standar. Kedua metode optimasi berhasil mendapatkan solusi optimum dan memenuhi standar keselamatan. Kata kunci : susunan perangkat bahan bakar, keff, PPF, Genetic Algorithm¸ cycle length.
ABSTRACT IMPLEMENTATION OF GENETIC ALGORITHM METHOD FOR PWR FUEL LOADING PATTERN OPTIMIZATION USING COREBN CODE. Since the large number of possible combination for the fuel assembly loading in the core at the beginning of reactor operation, the core configuration optimized to find an optimal core configuration that will achieve maximum keff at end of cycle and minimum power peaking factor (PPF). This optimization has 2 Genetic Algorithm methods, the first method uses single objective and the second method uses multiobjective. The optimization uses ¼ symmetry reactor core model (52 fuel assemblies position), with 3 types of fuel assemblies consists 13 assemblies of 1,5%, 15 assemblies of 2,5% and 24 assemblies of 3% U-235 enrichment without burnable poisson rod. Neutronic calculation of fuel assembly using PIJBurn code and core calculation using COREBN code. From the single objective optimization is obtained the optimum configuration with 8,9% (60 days) cycle length extension and 23,31% decrease in PPF compared to standard model. For multiobjective optimization obtained a set pareto front containing 47 non-dominated solutions. By using standard deviation of the crowding distances method, a single final solutions is obtained. The solution gives 10,45% (70 days) cycle length extension and 27,7 % decrease in PPF compared to standard model. Both of optimization method success to obtain optimum solution and fulfill the safety standard. Key words: fuel assembly loading pattern, keff, PPF, Genetic Algorithm, cycle length.
111
Prosiding Seminar Nasional ke-15 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir Surakarta, 17 Oktober 2009
I. PENDAHULUAN Manajemen bahan bakar di dalam teras menjadi salah satu proses yang perlu diperhatikan, karena ketersediaan U-235 di alam cukup terbatas sehingga perlu dilakukan optimalisasi dalam penggunaannya. Manajemen bahan bakar di dalam teras bisa dilakukan dengan mengoptimasi susunan bahan bakar di dalam teras agar dapat diperoleh kinerja reaktor yang optimum. Kinerja reaktor ini digambarkan melalui panjang siklus dan distribusi daya reaktor. Panjang siklus dikatakan optimum apabila siklus secara relatif lebih panjang/lama dari siklus PWR konvensional (± 18 bulan) sedangkan distribusi daya reaktor dikatakan optimum apabila secara relatif rata sepanjang siklus. Penelitian ini dilakukan dengan 2 perlakuan objektif yaitu single objective dan multiobjective. Untuk optimasi single objective, perhitungan besarnya nilai faktor bobot yang tepat untuk penelitian ini perlu diperhatikan. Nilai faktor bobot ini digunakan dalam perhitungan fitness yang menjadi perwakilan dari nilai objektif ke dalam program optimasi. Kemudian program optimasi dijalankan untuk mencari susunan perangkat bahan bakar dalam teras yang optimum dengan nilai keff EoC yang maksimum dan PPF maksimum sebagai konstrain. Berbeda dengan single objective, pada optimasi multiobjective nilai keff EoC dan PPF maksimum digunakan sebagai objektif. Dari seluruh pareto front yang diperoleh, kemudian dipilih yang memenuhi batas standar keselamatan (kurang dari 2). Untuk pemilihan solusi akhir tunggal dilakukan dengan metode standard deviation of the crowding distances.
II. TEORI II.1. Manajemen Bahan Bakar dalam Teras Terdapat dua jenis skema pengisian ulang bahan bakar. II.1.1. Zonal Loading (In-Out Cycling) Pada skema ini, bahan bakar yang belum teriradiasi ditempatkan di daerah keliling teras. Bahan bakar yang telah teriradiasi di acak di daerah yang lebih dalam, sedang bahan bakar pada daerah tengah diambil dari teras. Tujuan dari pola ini adalah memanfaatkan pengurangan reaktivitas yang menyertai deplesi bahan bakar sebagai mekanisme pemerataan daya. Sebagai contoh, pola siklus dengan tiga daerah zona ditunjukan pada Gambar 1. Pola tersebut dapat juga diimplementasikan pada
112
ISSN : 0854 - 2910
awal pemuatan teras dengan menggunakan fuel assembly dengan pengkayaan yang beragam.
Gambar 1. Skema Pengisian Teras Alternatif [1] Bagaimanapun juga, zonal loading juga punya kekurangan. Kekurangan zonal loading adalah timbulnya distorsi distribusi fluks yang dapat mengarah pada tingginya PPF pada teras besar dengan burnup yang tinggi. II.1.2. Scatter (Roundelay) Loading Sebuah skema pengisian bahan bakar alternatif adalah pola terhambur atau acak untuk mencapai distribusi bahan bakar yang lebih seragam. Kita tetap akan mendapati perataan daya karena burnup rata-rata pada daerah tengah dari teras lebih nampak dari yang dikeliling teras. Distribusi daya sebagai karakterisasi scatter-loaded core memiliki bentuk yang rata dari distribusi sebagai karaktersasi pemuatan teras seragam. Bagaimanapun juga tetap terdapat kerutan yang jelas terlihat pada densitas daya lokal. Scatter-loading juga punya keuntungan tambahan yaitu tidak diperlukannya pengaturan ulang bahan bakar teriradiasi. Pada prakteknya, kebanyakan skema pengisian ulang bahan bakar mengikut sertakan beberapa kombinasi teknik zonal dan scatter. Sebagai contoh, banyak PWR diisi dengan cara bahan bakar segar diisi pada daerah luar, sedang bahan bakar teriradiasi dihambur pada daerah tengah [1]. II.2. Metode Genetic Algorithm (GA) Berdasarkan teori evolusi spesies yang menyertakan proses seleksi alam seperti reproduksi, persilangan, mutasi dan lainnya, GA memanipulasi populasi struktur simbolis, yang mewakili solusi, agar mendapatkan adaptasi yang terbaik yang menghasilkan solusi yang terbaik untuk suatu permasalahan. Sebuah solusi yang dibangkitkan dalam Genetic Algorithm disebut sebagai kromosom, sedangkan kumpulan kromosomkromosom tersebut disebut sebagai populasi. Kromosom dibentuk dari komponen-komponen penyusun yang disebut sebagai gen dan nilainya dapat berupa bilangan numerik, biner, simbol ataupun karakter tergantung dari permasalahan yang
Prosiding Seminar Nasional ke-15 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir Surakarta, 17 Oktober 2009
ingin diselesaikan. Kromosom-kromosom tersebut akan berevolusi secara berkelanjutan yang disebut dengan generasi. Dalam tiap generasi kromosomkromosom tersebut dievaluasi tingkat keberhasilan nilai solusinya terhadap masalah yang ingin diselesaikan (fungsi objektif) menggunakan ukuran yang disebut dengan fitness. Untuk memilih kromosom yang tetap dipertahankan untuk generasi selanjutnya dilakukan proses yang disebut dengan seleksi. Proses seleksi kromosom menggunakan konsep aturan evolusi Darwin yang telah disebutkan sebelumnya yaitu kromosom yang mempunyai nilai fitness tinggi akan memiliki peluang lebih besar untuk terpilih lagi pada generasi selanjutnya [2].
ISSN : 0854 - 2910
Kromosom-kromosom baru yang disebut dengan offspring, dibentuk dengan cara melakukan perkawinan antar kromosom-kromosom dalam satu generasi yang disebut sebagai proses crossover atau tukar silang. Gambar 2 menunjukkan proses tukar silang pada dua buah kromosom induk yang menghasilkan dua buah kromosom anak. Jumlah kromosom dalam populasi yang mengalami crossover ditentukan oleh paramater yang disebut dengan crossover rate.
Gambar 2. Partially Mapped Crossover (PMX) [3]
Gambar 3. Mutasi Mekanisme perubahan susunan unsur penyusun mahkluk hidup akibat adanya faktor alam yang
disebut dengan mutasi direpresentasikan sebagai proses berubahnya satu atau lebih nilai gen dalam kromosom dengan suatu nilai acak. Gambar 3 menampilkan proses mutasi satu titik pada sebuah kromosom. Jumlah gen dalam populasi yang mengalami mutasi ditentukan oleh parameter yang dinamakan mutation rate. Setelah beberapa generasi akan dihasilkan kromosom-kromosom yang nilai gen-gennya konvergen ke suatu nilai tertentu yang merupakan solusi terbaik yang dihasilkan oleh Genetic Algorithm terhadap permasalahan yang ingin diselesaikan. Pada sistem alamiah, keseluruhan paket genetik disebut genotip. Pada sistem genetik buatan,
113
Prosiding Seminar Nasional ke-15 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir Surakarta, 17 Oktober 2009
keseluruhan paket strings disebut sebuah struktur. Pada sistem alamiah, organisme dibentuk oleh interaksi dari keseluruhan paket genetik dengan lingkungannya yang disebut fenotip. Pada sistem genetik buatan, struktur di-decode untuk membentuk paket parameter, alternatif solusi, atau titik pada ruang solusi. Pada sistem alamiah, kromosom terdiri dari gen-gen, yang terdiri dari sejumlah nilai yang disebut alela. Pada genetik, posisi (locus) dari sebuah gen diidentifikasi secara terpisah dari fungsi gen [2].
III. TATAKERJA III.1. Pemodelan Teras Penyederhanaan yang dilakukan saat pemodelan teras adalah sebagai berikut: 1. Optimasi dilakukan pada siklus pertama dengan teras segar tanpa burnable poison. 2. Perhitungan dilakukan pada teras 2 dimensi radial (x-y) dengan asumsi fluks aksial konstan. 3. Terdapat 3 perangkat bahan bakar yang berbeda menurut tingkat pengkayaan 235U namun dengan desain kisi yang sama. Tipe A adalah perangkat bahan bakar dengan tingkat pengkayaan 1,5%, tipe B adalah perangkat bahan bakar dengan tingkat pengkayaan 2,5% sedangkan tipe C adalah perangkat bahan bakar dengan tingkat pengkayaan 235U 3,0%. 4. Jumlah perangkat yang digunakan selama proses optimasi tetap dimana tipe A berjumlah 13 buah, tipe B berjumlah 15 buah, dan tipe C berjumlah 24 buah. 5. Variasi peletakan fuel assembly dilakukan dalam simetri ¼ teras. 6. Perhitungan burnup dilakukan sebanyak 9 langkah, dengan tiap langkah memiliki interval 60 hari (EoC sama dengan 1,5 tahun). 7. Data-data termohidrolik hanya dibatasi pada kondisi operasi normal. Untuk menghemat waktu dalam menjalankan program optimasi, tampang lintang makroskopik berbagai tipe perangkat bahan bakar diperhitungkan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk menghindari pengulangan perhitungan tingkat perangkat yang tidak perlu dihitung kembali ketika optimasi susunan teras dilakukan. Perhitungan tingkat perangkat untuk masingmasing pengkayaan dilakukan dengan menggunakan modul PIJBurn. Kemudian berkas PDS dari hasil perhitungan tingkat perangkat dikonversi menjadi berkas PS. Informasi mengenai geometri teras, elemen bahan bakar dan non bahan bakar di dalam teras dimasukan dalam berkas history yang diedit pada modul HIST [4]. Sedangkan informasi yang
114
ISSN : 0854 - 2910
berhubungan dengan kondisi operasi seperti daya termal, periode operasi, dan susunan elemen bahan bakar di dalam teras diedit pada modul COREBN yang dijalankan bersamaan dengan program optimasi. Untuk langkah burn-up yang digunakan dalam penelitian ini adalah 9 langkah burn-up @ 60 hari (total 540 hari).
III.2. Adaptasi Problem Optimasi dengan Genetic Algorithm Dalam penelitian ini digunakan kombinasi penempatan posisi perangkat bahan bakar pada 1/4 teras (52 posisi perangkat bahan bakar) dengan 3 jenis perangkat dengan pengkayaan masing-masing 1,5 %, 2,5 % dan 3 %. Kemudian konfigurasi ini dikodekan pada Genetic Algorithm ke dalam susunan kromosom dengan panjang kromosom 52. Tiap kromosom mewakili 1 posisi (x-y) perangkat didalam teras dengan indeks 1 sampai 13 menunjukan perangkat berpengkayaan 1,5 %, indeks 14 sampai 28 menunjukan perangkat berpengkayaan 2,5 % dan indeks 29 sampai 52 menunjukan perangkat berpengkayaan 3 %. Gambar 4 berikut menunjukan proses pembentukan kromosom dari susunan perangkat di dalam teras.
Gambar 4. Pembentukan Kromosom
III.3. Penulisan Program Program algoritma dalam optimasi ini ditulis menggunakan bahasa pascal. Program optimasi ini bekerja dengan mengkopel algoritma optimasi dengan modul COREBN yang didalamnya terdapat susunan perangkat di dalam teras. Pada tahap awal, program optimasi akan membuat susunan perangkat awal (kromosom) yang diperoleh secara acak sebanyak jumlah populasi yang dimasukan sebagai parameter awal. Dari susunan perangkat yang diperoleh, kemudian dilakukan perhitungan keff pada 540 hari (9 x 60 hari) dan PPF maksimum yang terjadi pada BOC dengan menggunakan modul COREBN. Dari modul tersebut diperoleh keluaran
Prosiding Seminar Nasional ke-15 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir Surakarta, 17 Oktober 2009
berupa berkas CFT99 dari masing-masing variasi susunan perangkat. Oleh program optimasi, berkas ini dibaca pada nilai keff dan distribusi daya. Untuk optimasi single objective, nilai keff dijadikan sebagai objektif dan PPF sebagai konstrain yang kemudian digunakan untuk menghitung nilai fitness pada tiap susunan perangkat di dalam teras. Berbeda dengan single objective, optimasi multiobjective menjadikan nilai keff dan PPF sebagai objektif. Selanjutnya program melakukan proses seleksi. Pada penelitian ini digunakan seleksi jenis turnamen eliminasi, dimana pemilihan induk akan dilakukan menggunakan sistem pertandingan. Setiap turnamen akan mempertandingkan 2 individu yang dipilih secara acak dari seluruh anggota populasi. Pemenang pada seleksi ini masuk dalam ruang pembiakan untuk menjadi induk pada generasi berikutnya. Selanjutnya dua individu baru dipilih dari anggota populasi yang tersisa untuk dipertandingkan kembali hingga seluruh anggota populasi mendapat giliran. Untuk single objektif, pemenang diperoleh berdasarkan nilai fitness dari individu yang dipertandingkan, sedangkan multiobjevtive dikatakan sebagai pemenang apabila: 1. Mampu mendominasi individu lawan, dilihat dari kedua nilai fungsi objektif (dalam hal ini nilai keff EoC dan PPF maksimum pada BoC), yaitu nilai keff yang lebih besar dan nilai PPF yang lebih kecil. 2. Individu yang memiliki jarak terjauh dengan anggota populasi lain pada generasi tersebut dilihat dari nilai kedua fungsi objektif (Elitist) [5]. Pada setiap generasi dengan populasi yang beranggotakan sejumlah n-individu, akan dilakukan seleksi sebanyak n-turnamen dengan peserta sebanyak 2n-individu. Dengan begitu, jumlah populasi yang dihasilkan untuk tiap generasi berikutnya akan tetap berjumlah n-individu. Untuk operator crossover, digunakan partially mapped crossover dan operator mutasi yang akan mengubah posisi susunan perangkat bahan bakar di dalam teras. Besarnya crossover rate dan mutation rate yang digunakan pada penelitian ini masingmasing sebesar 0,9 dan 0,08. Proses optimasi ini berulang sebanyak jumlah generasi, dimana pada penelitian ini sebanyak 20 generasi dengan 50 anggota populasi ditambah dengan populasi awal. Sehingga total sebanyak 1050 konfigurasi teras yang akan dilakukan dalam satu kali proses optimasi.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Optimasi Single Objective Pada optimasi single objective, besarnya nilai fitness ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut :
ISSN : 0854 - 2910
F = keff – ∆PPF.w ∆PPF = PPF - PPFstandar
(1) (2)
dengan keff adalah faktor perlipatan neutron efektif, PPF adalah Power Peaking Factor (PPFstandar = 2) dan w adalah faktor bobot Penentuan faktor bobot yang sesuai dilakukan dengan memvariasikan nilai faktor bobot dengan rentang sebesar 0,01. Dari masing-masing variasi, diamati nilai keff dan PPF dari susunan yang diperoleh dalam optimasi menggunakan Genetic Algorithm. Perlakuan untuk setiap variasi dibuat sama, dilihat dari seleksi turnamen, crossover dan mutasi. Perubahan nilai PPF pada tiap variasi nilai faktor bobot ditunjukkan oleh Gambar 5.
Gambar 5. Perubahan nilai PPF terhadap variasi nilai faktor bobot Pada Gambar 5 diperlihatkan besarnya nilai PPF maksimum dari konfigurasi optimum Genetic Algorithm pada tiap variasi faktor bobot. Kecenderungan yang terjadi adalah semakin besar nilai faktor bobot, maka nilai PPF semakin kecil. Perlu diingat bahwa besarnya nilai PPF pada penelitian ini dibatasi oleh nilai PPF standar. Oleh karena itu dengan menggunakan persamaan trendline dari grafik perubahan PPF terhadap faktor bobot, dihitung nilai faktor bobot yang dapat menghasilkan nilai PPF sama dengan 2. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai faktor bobot sebesar 0,036 untuk nilai PPF sama dengan 2. Namun untuk alasan keselamatan, maka dipilih faktor bobot yang memberikan nilai PPF sedikit dibawah 2, yaitu nilai faktor bobot sebesar 0,04 dengan nilai PPF sebesar 1,974 dan nilai keff pada EOC sebesar 1,0627. Dari penelitian ini didapat nilai keff pada EoC dan PPF maksimum sebesar 1,07565 dan 1,819. Perbandingan nilai keff dan PPF optimum dengan standar ditunjukkan oleh Gambar 6 dan Gambar 7. Dari Gambar 6 ditunjukkan cycle length konfigurasi teras optimum lebih panjang 60 hari dari konfigurasi teras standar (peningkatan sekitar 8,9 %). Dari
115
Prosiding Seminar Nasional ke-15 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir Surakarta, 17 Oktober 2009
ISSN : 0854 - 2910
Gambar 7 terlihat nilai PPF maksimum terletak pada awal langkah burnup (BoC). Untuk konfigurasi teras standar besarnya PPF maksimum adalah 2,372 sedangkan konfigurasi teras optimum memiliki PPF maksimum sebesar 1,819 (penurunan sekitar 23,31 %) dan memenuhi batas keselamatan (kurang dari 2). Dengan melihat hasil penelitian ini, optimasi menggunakan single objektif Genetic Algorithm mampu menghasilkan solusi yang lebih baik dari konfigurasi teras standar.
memenuhi batas standar keselamatan (nilai PPF maksimum lebih kecil dari 2). Dalam pemilihan solusi tunggal terbaik, dipilih satu solusi dari 6 solusi pareto front akhir yang memenuhi batas standar keselamatan. Selanjutnya 6 solusi tersebut dibandingkan dengan konfigurasi teras KSNP-1000 model standar. Solusi yang mampu mendominasi konfigurasi standar dilihat dari nila keff dan PPF maksimum dipilih sebagai solusi akhir dari optimasi multiobjektif menggunakan Genetic Algorithm.
Gambar 6. Perbandingan nilai Keff hasil optimasi single objective terhadap model standar KSNP-1000
Gambar 8. Pareto front akhir optimasi
Gambar 7. Perbandingan nilai PPF hasil optimasi single objective terhadap model standar KSNP-1000
IV.2 Optimasi Multiobjective Proses seleksi dan crossover pada optimasi multiobjektif ini tetap sama dengan single objective yaitu seleksi turnamen dan double point partially mapped crossover. Pareto front pada akhir proses optimasi multiobjektif menggunakan Genetic Algorithm ditunjukkan pada Gambar 8. Banyaknya anggota pareto front akhir adalah 47 solusi yang tidak terdominasi. Dikatakan tidak terdominasi karena solusi yang diperoleh memiliki nilai keff kecil dan PPF maksimum kecil atau nilai keff tinggi dan PPF maksimum juga tinggi. Terdapat 6 solusi yang
116
Tabel 1. Satu set solusi optimum K-EFF
PPF
Jarak
Solusi 1
1.072
1.694
2.004
Solusi 2
1.073
1.701
2.011
Solusi 3
1.082
1.715
2.027
Solusi 4
1.082
1.875
2.165
Solusi 5
1.082
1.968
2.246
Solusi 6
1.087
1.972
2.251
Dari 6 solusi tersebut, semuanya mampu mendominasi konfigurasi standar. Jadi proses optimasi dari penelitian ini diperoleh satu set solusi yang ditunjukkan pada Tabel 1. Pemilihan solusi tunggal dilakukan dengan metode standard deviation of the crowding distances [6] . Metode ini dilakukan dengan menghitung standar deviasi dari jarak masing-masing solusi. Perhitungan jarak tiap solusi diperoleh menggunakan rumus pythagoras dengan berdasarkan pada nilai keff dan PPF maksimum terhadap sumbu simetri. Jarak dari masing-masing solusi ditunjukkan pada Tabel 1. Persamaan yang digunakan untuk menghitung standar deviasi adalah sebagai berikut : SDC
=
1 N
N
∑
i =1
(d i − d )2
(3)
Prosiding Seminar Nasional ke-15 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir Surakarta, 17 Oktober 2009
dengan N adalah Banyaknya solusi, di adalah jarak pada solusi i dan d adalah rata-rata jarak. Dari hasil perhitungan diperoleh rata-rata jarak 2,117 dengan standar deviasi sebesar 0,107, yang artinya sebaran solusi yang dihasilkan adalah kurang lebih 2,117 ± 0,107. Terdapat 2 solusi yang termasuk dalam rentang sebaran tersebut yaitu solusi 3 dan solusi 4. Kemudian dari kedua solusi tersebut dipilih solusi yang memiliki nilai PPF yang lebih kecil dengan pertimbangan aspek keselamatan. Jadi diperoleh solusi tunggal terbaik yaitu solusi 3 dengan nilai keff sebesar 1,08201 dan nilai PPF maksimum sebesar 1,715. Dari Gambar 9 diketahui bahwa cycle length untuk konfigurasi teras standar sebesar 670 hari, sedangkan untuk konfigurasi teras optimum sebesar 740 hari. Hal ini menunjukkan cycle length konfigurasi teras optimum lebih panjang 70 hari dari konfigurasi teras standar (peningkatan sekitar 10,45%).
Gambar 9. Perbandingan nilai keff hasil optimasi multiobjektif terhadap model standar KSNP1000
ISSN : 0854 - 2910
memiliki PPF maksimum sebesar 1,715 (penurunan sekitar 27,7%) dan memenuhi batas keselamatan (kurang dari 2). Dengan melihat hasil penelitian ini, dapat dikatakan bahwa optimasi menggunakan multiobjective Genetic Algorithm mampu menghasilkan solusi yang lebih baik dari konfigurasi teras standar, dengan cycle length yang lebih panjang dan PPF maksimum yang lebih rendah. IV.3. Perbandingan Proses Optimasi Single Objective dengan Multiobjective Perbandingan antara optimasi single objective dengan multiobjective dilakukan dengan mengamati evolusi rata-rata nilai keff dan PPF maksimum tiap generasi pada masing-masing metode. Dari rata-rata nilai keff dan PPF tiap generasi pada single objective terlihat lebih stabil kenaikan atau penurunannya bila dibandingkan rata-rata nilai keff dan PPF tiap generasi pada multiobjective. Hal ini bisa terjadi karena nilai PPF maksimum pada single objective hanya sebagai constraint yang memberikan penalti pengurangan atau penambahan nilai fitness, sedangkan pada optimasi multiobjective nilai keff dan PPF digunakan sebagai objektif yang artinya solusi yang diperoleh berikutnya dipertimbangkan dari kedua objektif tersebut. Metode elitist yang digunakan pada seleksi juga ikut berperan karena menimbulkan solusi yang semakin beragam. Kekurangan yang terjadi ini dapat diatasi dengan menambah banyaknya populasi dan memperpanjang generasi. Kedua metode sama-sama mampu menghasilkan solusi yang lebih baik terlihat dari rata-rata nilai keff pada akhir generasi lebih tinggi daripada awal generasi dan rata-rata nilai PPF maksimum di akhir generasi lebih rendah daripada generasi awal. Hasil optimasi dari kedua metode ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil optimasi dengan single objective dan multiobjective
Gambar 10. Perbandingan nilai PPF hasil optimasi multiobjektif terhadap model standar KSNP-1000 Dari Gambar 10 terlihat nilai PPF maksimum terletak pada awal langkah burnup (BoC). Untuk konfigurasi teras standar besarnya PPF maksimum adalah 2,372 sedangkan konfigurasi teras optimum
cycle length
PPF
Single Objective
730 hari
1,819
Multiobjective
740 hari
1,715
V. KESIMPULAN Genetic algorithm berhasil digunakan untuk optimasi susunan perangkat bahan bakar dilihat dari nilai Keff pada akhir siklus dan PPF maksimum sepanjang siklus, baik dengan single objective maupun multiobjektif. Pada penelitian ini, metode single objective mampu memberi perpanjangan cycle length sekitar 8,9% dan penurunan PPF sebesar
117
Prosiding Seminar Nasional ke-15 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir Surakarta, 17 Oktober 2009
23,31% sedangkan metode multiobjektif mampu memberi perpanjangan cycle length sekitar 10,45% dan penurunan PPF sebesar 27,7% terhadap model standar KSNP-1000.
VI. DAFTAR PUSTAKA [1] James J. Duderstadt dan Louis J. Hamilton. Nuclear Reactor Analysis. John Wiley & Sons, Inc., New York, 1976. [2] Thomas weise. Global Optimization Algorithms –Theory and Application-. Thomas Weise licensed under GNU FDL, Kassel, 2007. [3] Jonathan N. Carter. “Genetic Algorithm for Incore Fuel Management and other Recent Developments in Optimisation”. Advances in Nuclear Science and Technology, 25:113-154, 2002. [4] Keisuke Okumura. COREBN : A Core Burn-up Calculation Module for SRAC2006. Dokumen teknis, Department of Nuclear Energy System, Japan Atomic Energy Research Institute (JAERI), Japan, 2007. [5] Kalyanmoy Deb, Samir Agrawal, Amrit Pratap dan T Meyarivan. “A Fast Elitist NonDominated Sorting Genetic Algorithm for Multi-Objective : NSGA-II”. IEEE Transaction on Evolutionary Computation, 6:181-197, 2002. [6] Alfredo G. Hernandez-Diaz, Luis V. SantanaQuintero, Carlos A. Coello Coello dan Julian Molina. “Pareto-adaptive ε-dominance”. Evolutionary Computation, 15:493-517, 2007
TANYA JAWAB Pertanyaan : 1. Apakah hasil akhir konfigurasi teras ini dijamin dapat dilaksanakan? (Eddy Djatmiko – Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Pancasila, Jakarta) Jawaban : 1. Bisa dilaksanakan, namun perlu dilakukan penambahan lagi objektif yang ditinjau, misalnya burn up. Pada Code COREBN yang digunakan dapat dilihat nilai burn up per perangkat bahan bakar, sehingga berikutnya dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk refueling bahan bakar pada siklus berikutnya
118
ISSN : 0854 - 2910