ISSN 2338-9397
Volume 3 Nomor 2, September 2015
Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di MAN Darussalam Aceh Besar Nana Suraiya
1-14
Karakteristik Perilaku Kepemimpinan yang Efektif dalam Organisasi Pendidikan Nurasmah
15-22
Pembangunan Moralitas Bangsa Indonesia di Era Global Maimun
23-28
Kompetensi Profesional Guru dalam Mengintegrasikan Pendidikan Karakter di Sekolah Siraj
29-34
Penerapan Model Tari Pendidikan dalam Pembelajaran Seni Budaya dan Keterampilan di SD Negeri 54 Banda Aceh Putry Julia
35-43
Jurnal Serambi Edukasi
Volume 3
Nomor 2
Halaman 1-43
Banda Aceh September 2015
ISSN 2338-9397
ISSN 2338-9397
Volume 3 Nomor 2, September 2015
Jurnal Serambi Edukasi merupakan media informasi dan referensi ilmiah dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Jurnal ini memuat artikel dan hasil penelitian para akademisi, praktisi dan masyarakat yang menaruh minat terhadap permasalahan pendidikan. Jurnal ini terbit dua kali dalam setahun (Maret dan September)
Penanggung Jawab Ketua Program Studi Pendidikan Ekonomi Pemimpin Redaksi Martahadi Wakil Pemimpin Redaksi Khairul Aswadi Redaktur Pelaksana Azhari Marlina Zakaria Yenni Agustina Mitra Bestari Sanusi (Universitas Syiah Kuala) Bustamam (Universitas Syiah Kuala) Abubakar (Universitas Serambi Mekkah) Murtala (Universitas Malikussaleh) Anwar (Universitas Serambi Mekkah) Budi Azhari (Universitas Islam Negeri Ar-Raniry) Tata Usaha Khairul Rizal Alamat Redaksi: Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Serambi Mekkah Jl. Tgk. Imum Lueng Bata, Bathoh-Banda Aceh 23245 Telp. (0651) 26160, Faks. (0651) 22471 http://jurnal.serambimekkah.ac.id/ e-mail:
[email protected] Jurnal Serambi Edukasi diterbitkan sejak September 2013 oleh Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh. Redaksi menerima sumbangan naskah ilmiah populer yang belum pernah dimuat dalam media lain. Naskah diketik pada kertas HVS ukuran A4 dan diketik spasi ganda dengan panjang naskah 10-20 halaman, dengan format seperti tercantum pada panduan penulisan. Dicetak pada CV. Zoom, Jl. T. Nyak Arif No. 344 Darussalam-Banda Aceh (Isi diluar tanggungjawab percetakan)
Volume 3 Nomor 2, September 2015
ISSN 2338-9397
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol. 3 No. 2 Tahun 2015
SALAM REDAKSI Jurnal Serambi Edukasi Volume 3 Nomor 2 September 2015 di penghujung tahun ini hadir dengan lima artikel. Kelima karya tersebut merupakan sumbangan tulisan dari para dosen, guru dan mahasiswa.
prinsip-prinsip lokal yang hidup dan berkembang dalam suatu masyarakat yang berbeda dengan prinsip-prinsip yang ditawarkan oleh globalisasi, sedangkan tantangan dari segi eskternal yaitu adanya pola komunikasi dan arus informasi yang terlalu cepat berkembang serta tuntutan akan daya saing yang kuat, sehingga menyebabkan lunturnya nilai-nilai lokal dan bahkan nasional yang seyogiayanya sebagai karakter atau ciri khas dari suatu bangsa.
Penelitian pertama ditulis oleh Nana Suraiya mengenai Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di MAN Darussalam Aceh Besar. Hasil penelitian ini menunjukan kesiapan sekolah MAN Darussalam Aceh Besar dalam pengimplementasian manajemen berbasis sekolah dilihat dari ke empat komponen, hal ini dapat dilihat dari telah di implementasikannya manajemen berbasis sekolah oleh kepala sekolah MAN Darussalam Aceh Besar, dilihat dari penerapan kurikulum, waka kurikulum dan sekolah telah penerapan kurikulum 2013. Dilihat dari manajemen peserta didik, semakin meningkatnya jumlah calon siswa yang mendaftar untuk menjadi siswa MAN Darussalam Aceh Besar dan meningkatnya nilai siswa setiap tahunnya. Dan dilihat dari manajemen sarana dan prasarana adanya saran sebagai pendukung guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran.
Masih terkait dengan kajian di atas, tulisan keempat ditulis oleh Siraj tentang Kompetensi Profesional Guru dalam Mengintegrasikan Pendidikan Karakter di Sekolah. Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran dilaksanakan dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Pendidikan karakter yang dilaksanakan adalah dalam rangka transformasi dan pembudayaan nilai-nilai moral dasar. Tiga pilar utama yang sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter seseorang, yaitu pendidikan di lingkungan keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Pendidikan karakter lebih menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor).
Tulisan kedua ditulis oleh Nurasmah mengenai isu Karakteristik Perilaku Kepemimpinan yang Efektif dalam Organisasi Pendidikan. Kepemimpinan berkaitan dengan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mempengaruhi orang lain, karena itu intinya adalah hubungan antar manusia. Gaya kepemimpinan mempunyai peranan yang sangat penting dalam mencapai efektivitas kerja. Jika seorang pemimpin mampu menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat dan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, maka para anggota organisasi pun akan dapat bekerja dengan nyaman dan semangat yang tinggi.
Terkait dengan Penerapan Model Tari Pendidikan dalam Pembelajaran Seni Budaya dan Keterampilan di SD Negeri 54 Banda Aceh, diulas dalam tulisan kelima oleh Putry Julia. Hasil penelitian dengan menggunakan tari pendidikan pada pembelajaran tari menunjukkan, bahwa keterampilan siswa sangat baik secara keseluruhan setelah diterapkannya model tari pendidikan, yang dilihat dari unsur ekspresif dan kreatif siswa. Pada unsur ekspresif siswa terlihat hasil yang sangat baik dengan indikator intuisi gerak yang menunjukkan hasil dengan persentase 75%, dan indikator kealamiahan ekspresi dengan persentase 66,10%.diperoleh hasil 75% dan kealamiahan ekspresi 66,10%. Sedangkan pada unsur kreatif, dapat dilihat hasil yang baik pada indikator spontanitas gerak dengan persentase 78,6%,
Tulisan ketiga ditulis oleh Maimun mengenai Pembangunan Moralitas Bangsa Indonesia di Era Global. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan tantangan dan peluang yang dihadapi oleh suatu bangsa di era global dalam upaya membangun moralitas bangsa, baik tantangan yang terdapat dalam internal maupun eksternal. Tantangan internal berupa
i
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol. 3 No. 2 Tahun 2014
pengembangan respon gerak mencapai 82,1%, dan kemampuan memadukan gerak dengan persentase 82,1%. Berdasarkan hasil yang didapat selama penelitian pada pembelajaran tari dengan menggunakan mode tari pendidikan, dapat disimpulkan bahwa dengan penerapan model tari pendidikan sangat baik bagi pembelajaran tari sehingga tujuan dari pembelajaran tari tercapai.
Demikian ulasan singkat redaksi pada edisi September 2015 ini. Semoga hasil kajian yang dimuat di edisi penghujung tahun ini dapat menjadi referensi bagi pembaca.
Banda Aceh, September 2015 Salam Redaksi
ii iii
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol. 3 No. 2 Tahun 2014
DAFTAR ISI SALAM REDAKSI DAFTAR ISI
i iii
Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di MAN Darussalam Aceh Besar Nana Suraiya
1-14
Karakteristik Perilaku Kepemimpinan yang Efektif dalam Organisasi Pendidikan Nurasmah
15-22
Pembangunan Moralitas Bangsa Indonesia di Era Global Maimun
23-28
Kompetensi Profesional Guru dalam Mengintegrasikan Pendidikan Karakter di Sekolah Siraj
29-34
Penerapan Model Tari Pendidikan dalam Pembelajaran Seni Budaya dan Keterampilan di SD Negeri 54 Banda Aceh Putry Julia
35-43
INDEKS PENGARANG ................................................................................. PANDUAN PENULISAN ................................................................................
iv iii
44 45
Jurnal Serambi Edukasi│Vol.3 No.2 (2015): 1 – 14
ISSN 2338-9397
IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DI MAN DARUSSALAM ACEH BESAR Nana Suraiya Dosen Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP Universitas Syiah Kuala e-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini mengangkat masalah kesiapan sekolah dalam penerapan manajemen bebasis sekolah pada empat komponennya yaitu manajemen berbasis kurikulum, manajemen peserta didik, manajemen tenaga kerja, dan manajemen sarana dan prasarana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan kepala sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah, kesiapan sekolah dalam menerima perubahan kurikulum yang ada, pelayanan terhadap calon siswa dan juga siswa, kesiapan guru dalam proses belajar mengajar dan saran yang ada disekolah MAN Darussalam Aceh Besar dan kendala dalam penerapan manajemen berbasis sekolah di MAN Darussalam Aceh Besar. Data penelitian diperoleh dari wawancara dengan kepala sekolah, waka kurikulum, waka kesiswaan, guru dan waka saran dan prasarana sekolah MAN Darussalam Aceh Besar. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukan kesiapan sekolah MAN Darussalam Aceh Besar dalam pengimplementasian manajemen berbasis sekolah dilihat dari ke empat komponen, hal ini dapat dilihat dari telah di implementasikannya manajemen berbasis sekolah oleh kepala sekolah MAN Darussalam Aceh Besar, dilihat dari penerapan kurikulum, waka kurikulum dan sekolah telah penerapan kurikulum 2013. Dilihat dari manajemen peserta didik, semakin meningkatnya jumlah calon siswa yang mendaftar untuk menjadi siswa MAN Darussalam Aceh Besar dan meningkatnya nilai siswa setiap tahunnya. Dan dilihat dari manajemen sarana dan prasarana adanya saran sebagai pendukung guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran. Kata Kunci: Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah
PENDAHULUAN Penelitian ini berkenaan mengenai implementasi manajemen berbasis sekolah di MAN Darussalama Aceh Besar. Pendidikan pada dasarnya ditujukan untuk menyiapkan manusia masa depan agar hidup lebih sejahtera, baik secara individu maupun secara kolektif, sebagai warga masyarakat, bangsa maupun antar bangsa. Namun faktanya pada saat ini pendidikan di Indonesia belum biasa sepenuhnya memenuhi harapan masyarakat. Fenomena itu di tandai dengan semakin rendahnya tingkat kelulusan, penyelesain masalah pendidikan yang tidak tuntas. Akibatnya seringkali hasil pendidikan mengecewakan masyarakat. Otonomisasi sektor pendidikan kemudian di dorong pada sekolah, agar kepala sekolah dan guru memiliki tanggung jawab besar dalam peningkatkan kualiatas pada proses pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hasil belajar. Baik dan buruknya hasil belajar
siswa menjadi tangung jawab guru dan kepala sekolah karena pemerintah daerah hanya memfasilitasi berbagai aktivitas pendidikan, baik sarana, prasarana, ketenagaan maupun berbagai program pembelajaran yang direncanakan sekolah. Dalam hal inilah MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) tampil sebagai alternatif baru paradigma manajemen pendidikan yang ditawarkan. Untuk menimbulkan harapan baru terhadap pendidikan di Indonesia. MBS merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka peningkatan mutu, efisiensi dan pemerataan pendidikan, agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerjasama yang erat antar sekolah, masyarakat dan pemerintah. Menurut Berbasis
Miarso (2004:728), Sekolah adalah
Manajemen pelimpahan
1
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
wewenang pada lapis sekolah untuk mengambil keputusan mengenai alokasi dan pemanfaatan sumber-sumber berdasarkan aturan akuntabilitas yang berkaitan dengan sumber tersebut. Dalam manajemen berbasis sekolah, kompenen-kompenen dasar yang harus diperhatikan adalah tenaga kerja baik itu kepala sekolah, guru-guru dan staf yang bekerja disekolah tersebut, peserta didik, kurikulum dan sarana sekolah. Karen komponen inilah yang menjadi kompen utama dalam menjalankan aktivitas disekolah. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah secara efektif dan efisien menuntu seorang kepala sekolah yang memiliki pandangan luas tentang sekolah dan pendidikan. Wibawa kepala sekolah harus ditumbuh kembangkan dengan meningkatkan sikap kepedulian, semangat belajar, disiplin kerja, keteladanan dan hubungan manusiawi sebagai modal perwujudan iklim kerja yang kondusif. Kepala sekolah dituntut untuk melakukan fungsi sebagai manjer sekolah dalam meningkatkan proses pembelajaran, dengan melakukan supervise kelas, membina, dan memberikan sarana-sarana positif kepada guru. Disamping itu kepala sekolah juga harus melakukan tukar pikiran, sumbang saran, dan studi banding antar sekolah untuk menyerap kiat-kiat kepemimpinan dari sekolah lain. Implementasi manajemen barbasis sekolah juga menuntut guru untuk berkreasi dalam meningkatkan manajemen sekolah. Guru adalah teladan dan penutan langsung peserta didik di kelas. Oleh karena itu, guru perlu siap dengan segala kewajiban baik manajemen maupun persiapan isi materi pelajaran. Guru juga harus mengorganisasikan kelasnya dengan baik mulai jadwal pelajaran, pembagian tugas peserta didik, kebersihan dan ketertiban kelas, pengaturan tempat duduk peserta didik dan penempatan media pembelajaran pada temptanya. Implementasi manajemen berbasis sekolah yang efektif dan efesien tidak hanya dapat menjadikan peserta didik menguasai materi ajar yang disampaikan dalam proses pembelajaran, tetapi juga dapat membentuk karkter baik dari seorang peserta didik. Dalam proses pembelajaran disekolah peserta didik merupakan sasaran utama. Peserta didik adalah 2 Suraiya
kompenen utama dalam pengajaran, di samping faktor guru, tujuan, dan metode pengajaran. Sebagai salah satu komponen maka dapat dikatakan bahwa murid adalah komponen terpenting di antara komponen lainnya. Pada dasarnya peserta didik adalah unsur penentu dalam proses belajar mengajar. Tanpa adanya peserta didik tidak akan terjadi proses belajar mengajar. Guru hanya berusaha memenuhi kebutuhan peserta didik, selanjutnya peserta didik itulah yang belajar, oleh karena itulah peserta didik yang memerlukan bimbingan. Tanpa adanya peserta didik maka guru tidak dapat mengajar. Untuk itulah kompenen peserta didik yang terpenting dalam hubungan proses belajar mengajar (Hamalik, 2001:99). Dalam penerapan manajemen berbasis sekolah kurikulum merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan, tentang bagaimana kesiapan pihak sekolah dalam menerima dan mensosialisasikan kurikulum yang sifatnya berubah-ubah sesuai ketentuan dinas pendidikan pusat. Kurikulum adalah program pendidikan yang disediakan oleh lembaga pendidikan (sekolah) kepada siswa. Berdasarkan program pendidikan tersebut siswa melakukan berbagai kegiatan belajar, sehingga mendorong perkembangan dan pertumbuhannya sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, dengan program kurikulum disusun tersebut, sekolah/lembaga pendidikan menyediakan lingkungan pendidikan bagi siswa untuk berkembang. Itu sebabnya kurikulum disusun sedemikian rupa yang memungkinkan siswa melakukan berabagai ragam kegiatan belajar (Hamalik, 2001:64). Komponen lain yang sangat penting dalam implementasi manajemen berbasisi sekolah adalah sarana dan prasarna. Meskipun sifatnya hanya sebagai pendukung proses belajar mengajar tetapi sarana dan prasarana sangat mempengaruhi efektifitas dan efisiensi proses belajar mengajar. Oleh karena, itu tanpa adanya sarana dan prasarana yang memadai, dapat dikatakan akan mempengaruhi pencapaian tujuan program yang telah ditetapkan secara utuk (Mahidin, 2008:37). Madarasah Aliyah Negeri (MAN) merupakan lembaga pendidikan yang memiliki tujuan utama untuk meningkatkan kecerdasan ilmu , pengetahuan, kepribadian dan tentunya akhlak
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
yang mulia. Dalam hal ini MAN Darussalam adalah salah satu sekolah yang ada di Aceh besar yang selalu berusaha memberikan pelayanan pendidikan yang terbaik terhadap peserta didik maupun masyarakat. Meskipun dalam aktivitas disekolah masih banyak masalah yang harus segera disikapi dan dibenahi. Misalnya, kurang disiplinnya peserta didik, kurang disiplinnya guru, kurang kreatifnya guru dalam prosem belajar dan mengajar, kurangnya pengetahuan guru dalam menggunkan tekhnologi sebagai alat pendukung proses belajar mengajar, kurangnnya minat belajar peserta didik, dan lain-lain. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana implementasi manajemen berbasis sekolah di MAN Darussalam Aceh Besar. Apa saja kendala dalam penerapan manajemen berbasis sekolah di MAN Darussalam Aceh Besaar. Menurut Mulyasa (2004:13) manajemen berbasisi sekolah merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staf, menawarkan partisispasi langsung kepada kelompok-kelompok yang bersangkutan. Dikembangkan dan diimplementasikannya manajemen berbasis sekolah bukanlah tanpa adanya tujan. Adapun tujuan dari manajemen berbasis sekolah menurut Yusuf Hadi Miarso (2009) antara lain (1) Meningkatkan efisiensi dalam penggunaan sumber. (2) Meningkatkan efektivitas sekolah melalui berbaikan mutu belajar. (3) Lebih respon terhadap kebutuhan dan kondisi peserta didik. (4) Menambahkan kesempatan bagi siapa saja yang untuk mengikuti pendidikan. (5) Memberikan kesempatan kepada masyarakat termasuk keluarga untuk berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Prinsisp umum yang menjadi pedoman pelaksanaan model Manajemen Berbasis Sekolah sebagaimana dikemukakan Sagala (2009:89) adalah: (1) Memiliki visi, misi dan strategi kearah pencapaian mutu pendidikan, khususnya mutu peserta didik dan strategi kearah pencapaian mutu pendidikan,
khususnya mutu peserta didik sesuai dengan jenjang masing-masing. (2) Berpijak kepada power sharing (berbagai kewenangan, pengelolaan pendidikan sepatutnya berlandaskan pada keinginan saling mengisi, saling membantu dan menerima berbagai kekuasaan/kewenangan sesuai fungsi dan peran masing-masing. (3) Adanya profesionalisme disemua bidang dan pada berbagai komponen baik para praktisi pendidikan, pengelola, dan manejer pendidikan lainnya termaksud profesionalisme Dewan Pendidikan di kabupaten/kota maupun Komite Sekolah disuatu pendidikan. (4) Meningkatkan partisipasi mayarakat yang termasuk orang tua peserta didik. (5) Komite sekolah sebagai konstitusi dapat menopang keberhasilan visi dan misi sekolah. (6) Adanya transparansi dan akuntabilitai manajemen sekolah baik dilihat dari akuntabilita manajemen maupun dari akuntabilitas finansial. Pada dasarnya manajemen lokasi dilaksanakan dengan meletakan semua urursan penyelenggaraan pendidikan disekolah. Pengurangan administrasi pusat adalah konsekuensi dari yang pertama dengan diikuti pendelegasian wewenang dan urusan pada sekolah. Salah satu cara untuk mengembangkan manajemen berbasis sekolah adalah dengan menggunakan pendekatan sistem, yang memberikan gambaran menyeluruh terhadap semua komponen serta lingkungan yang mempengaruhi sistem sekolah yang bersangkutan. Sistem sekolah secara menyeluruh meliputi: 1. Manajemen peserta didik. Peserta didik merupakan konsumen utama setiap program pendidikan. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (UUSPN No. 20 Pasal 5 Ayat1), “setiap waraga negara mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Oleh karena itu penerimaan siswa baru harusnya tidak dibatasi pada kriteria keunggulan atau jenis kelamin atau suku tertentu., melainkan diterima dengan kriteria yang berlaku secara umum atau yang disepakati bersama dengan komite sekolah. 2. Manjemen Kurikulum Dalam program akademik yang bersifat umum, kurikulum sekolah sekarang masih
Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di MAN Darussalam Aceh Besar
3
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
mengacu pada kurikulum 2013. Hal ini tidak harus berarti bahwa seluruh materi pelajaran yang ditentukan dalam kurikulum tersebut harus diliputi atau diajarkan. Yang lebih penting adalah bahwa siswa mampu menguasai kemampuan dasar dari tiap mata pelajaran, yang mengarah kepada kualifikasi akademik. 3. Manajemen tenaga Pengembangan kapabiliats dan kompetensi tenaga merupakan suatu aspek yang sangat penting dalam setiap usaha pembaruan, meskipun disadari bahwa tenaga yang kapabel dan kompeten saja tidak akan cukup untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Keseluruhan organisasi perlu dikembangkan secara serentak. Tenaga yang perlu dikembangkan meliputi guru dan tenaga kependidikan lainnya, baik yang bertugas didalam sekolah dan berinterasi langsung dengan sisiwa seperti guru, pustakawan dan konselor, maupun mereka yang bertugas diluar sekolah dan tidak berinteraksi langsung dengan siswa seperti supervesior/pengawas, kapal skolah, orang tua siswa, pengurus yayasan, dan pengelola program pendidikan di daerah (Provinsi, kabupaten, dan kota) dan dipusat, para pengelola ini berperan dalam memfasilitasi dan membina pengembangan persekolahan secara keseluruhan. 4. Manajemen Sarana Sarana yang dikembangkan di sekolah meliputi ruang kelas, dengan perabotnya, laboratorium (matematik, kimia, fisika, biologi, bahasa dan komputer) dan kelengkapannya, perpustakaan dengan koleksi buku serta bahan belajar lainnya, ruang keterampilan dengan peralatannya, ruang perkantoran, ruang serbaguna, dan sarana pengunjung lainnya, seperti mushalah, kamar kecil, dan lain-lain. Semua sarana ini harus dapat didayagunakan secara optimal, dengan tujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi program pembelajaran. Sarana ini harus diusahakan sebagai tempat yg menyenangkan dan menarik untuk belajar. Mengingat bahwa pengadaan sarana tersebut memerlukan biaya yang tidak sedikit, maka pengadaan sarana tersebut perlu diusahakan untuk memperoleh 4 Suraiya
bantuan dari msyarakat dan atau dengan menggunakan sarana yang telah ada dalam lingkungan seperti misalnya lapangan olahraga. 5. Manajemen Uang Pendidikan yang berkualitas biasnya memerlukan uang yang tidak sedikit, baik untuk keperluan investasi maupun untuk keperluan oprsional. Sementara itu anggaran yang tersedia sangat terbatas. UUD memang telah menentukan bahwa pemerintah harus manyediakan anggaran sebesar 20% dari APBN, namun pada kenyataannya hak itu belum terlaksana. Oleh karena itu pemimpin sekolah harus pandai-pandai mengelola keuangan dengan prinsip entrepreneur. Pemimpin sekolah harus mampu mengusahakan biaya dan menggali dana dari sumber dengan berbagai cara. Sumber dana termasuk orang tua siswa, alumni, lembaga sekolah , pemerintah daerah, dunia usaha dan industri. 6. Manajemen Proses pembelajaran Proses pembelajaran harus berfokus kepada para siswa, yaitu agar dimungkinkan berkembangnya potensi setiap siswa secara optimal sesuai dengan kondisi objektif dan karakteristik mereka. Proses itu harus memungkinkan terjadinya perubahan yang positif secara menyeluruh, meliputi aspek nilai dan sikap, aspek inteligensi dan aspek motorik. Perubahan ini antara lain perlu dilakukan dengan pendekatan belajar aktif, belajar kolaboratif, dan belajar tuntas. Meskipun diharapkan prestasi belajar siswa dapat meningkat dengan indikator nilai ujian yang lebih baik dan lulus saringan SPBM yang lebih banyak, namun sangat tidak dibenarkan bahwa proses pembelajaran ditekankan pada keterampilan siswa dalam menjawab atau mengerjakan soal ujian. Proses dengan pendekatan berbasis kompetensi dengan penguassaan perlu dijadikan pedoman dalam pembelajaran. 7. Manajemen Hasil Hasil pendidikan adalah wujud kerja sekolah. Kinerja sekolah merupakan presatasi yang dicapai dari semua proses dan prilaku dalam sekolah itu sendiri. Berbagai ukuran atau penilaian itu dapat
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
atas kinerja sekolah, meliputi mutu lulusan yang dihasilkan, produktifitas prosesnya, efektivitas dan efesiensi programnya, temuan atau pembaruan yang dikembangkannya, semangat kerjanya, dan perubahan yang terjadi pada dirinya. Mutu lulusan yang dihasilkan tidak hanya diukur dari hasil tes kemampuan akademik saja sepaerti UAS dan UAN, melainkan prestasi dibidang lain pula. Misalnya dalam kegiatan ilmiah, olahraga, kesenian, keagamaan, keterampilan, dan kegiatan sosial. 8. Manajemen Konteks/lingkungan Lembaga pendidikan termasuk sekolah, dapat dipandang sebagai organisme yang berinteraksi dengan lingkungan nirfisik, lingkungan masyarakat, dan lingkungan fisik dan lingkungan organisasi atau kelembagaan. Lingkungan fisik seperti lokasi dan kondisi geografis perlu dikenalkan dengan baik dan dimanfaatkan sebagai masukan untuk menyusun program pendidikan dan untuk mendukung proses penyelanggaran pendidikan. Lingkungan nirfisik adalah lingkungn yang ada tapi tidak tampak separti misalnya waktu dan jaringan maya. Lingkungan masyarakar yang terdidiri dari orang-orang atau anggota masyarakat, organisasi masyarakat, lembaga keagamaan, kebudayaan, dan adat istiadat merupakan lingkungan yang memberikan pengaruh dan sekaligus berpotensi untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan. 9. Manajemen Dampak Yang dimaksud dengan dampak adalah hasil pendidikan jangka panjang, baik bagi individu yang bersangkutan maupun masyarakat luas. Manajemen dampak ini bukan hanya semata-mata tanggung jawab sekolah, namun sekolah mempunyai peran yang sangat penting Karen menghasilkan lulusan yang mampu mengembangkan dirinya dan berkarya. Indikator umum dalam manjemen dampak ini adalah keberhasilan lulusan sekolah dalam kehidupannya pada masa depan. Dalam urusan mengetahui dampak pendidikan ini sangat penting sekali peranan alumni. Oleh karena itu
pimpinanan sekolah diharapkan dapat mendukung prakarsa untuk membentuk atau meningkatkan organisasi alumni. Bilamana sumber daya dana memungkinkan, akan lebih baik lagi bila dapat dilakukan studi penulusuran mengenai lulusan. 10. Manjemen sistem Manajemen sstem ini meliputi semua kompenen secara keseluruhan. Pembaruan pendidikan banyak tergantung kepada kemampuan manajerial dan kepemimpinan kepala sekolah. Berdasarkan pengertian manajemen berbasis sekolah yang telah dirumuskan di atas tujuan penting diselenggarakannya manajemen berbasis sekolah adalah untuk meningkatnya mutu pendidikan . Karakteristik bermutu dinyatakan dengan diperhatikan dan diusahakannya pengembangan indikator kualitas sekomperhensif mungkin, meliputi: 1. Konteks pendidikan atau lingkungan dimana sekolah tersebut beralokasi. 2. Masukan yang terdiri atas rencana, sumber daya manusia, fasilitas belajar dan sarana. 3. Proses pengelolahan organisasi, belajarpembelajaran, dan penilaian. 4. Hasil yang berupa pencapaian akademik, peningkatan keterampilan serta perubahan sikap dan prilaku. 5. Dampak yang meliputi keberhasilan studi lanjut, kesiapan kerja, perolehan pendapatan, dan meningkatnya citra sekolah sebagai komponen integral sistem pendidikan nasional. (Miarso, 2004: 727).
METODE PENELITIAN Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskritif, sedangkan pendekatannya adalah pendekatan kualitatif. Penelitian deskritif adalah jenis penelitian yang berusaha menggambarkan dan meninterprestasi objek dengan apa adanya (Supardi, 2003:157). Dalam penelitian ini penulis mencari dan memberikan gambaran umum mengenai hasil penelitian yang didapat dari lapangan dan menghubungkannya dengan teori atau pendapat para ahli.
Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di MAN Darussalam Aceh Besar
5
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
Dalam penelitian ini yang menjadi subjek adalah kepala sekolah MAN Darussalam dan bagian kurikulum, sedangkan yang menjadi Objeknya adalahkomponen-komponen manajemen berbasis sekolah yang telah dibatasi yaitu, manajemen peserta didik, manajemen kurikulum, manajemen tenaga kerja dan manajemen sarana. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) penelitian pustaka (library research), dengan mempelajari bukubuku dan bahan lainnya yang relevan dengan pokok pembahasan dan akan dijadikan landasan teori. (2) penelitian lapangan (field research) yaitu melakukan penelitian guna mendapatkan data-data primer yang berhubungan dengan penelitian yang dilakuakan. (3) observasi merupakan teknik interaktif dari “keikutsertaan” penelti dalam tingkatan tertentu dalam situasi yang alamiah dalam berbagai kegiatan dimana penelitian dilakukan dalam waktu tertentu. (4) dokumentasi merupakan tknik pengumpulan data dengan cara mencari menganai berbagai variable berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, prestasi, notulen, rapat, legger, agenda dan sebaginya. (5) wawancara merupakan teknik yang dipakai sebagai sarana untuk mengumpulkan data percakapan dengan sebuah tujuan, penelitian ini menggunakan dua teknik wawancara yaitu wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur. Teknik analisis data yang digunakan adalah anilisis non statistika, dimana peneliti langsung kelapangan mulai dari pengumpulan data hingga penafsiran terhadap data tersebut. Data yang dikumpulkan dilapangan melalui pengamatan langsung (observasi) dan wawancara dengan responden, yang kemudian dapat diambil kesimpulannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum MAN Darussalam Aceh Besar Lokasi penelitian ini berada pada MAN Darussalam, Tungkob, kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang beralamat di Jln. Tengku Glee Imuem Tungkob Darussalam, Kabupaten Aceh Besar. Sekolah ini didirikan pada tahun 1995 dengan luas tanah keseluruhan sekitar 14.983 m2 serta luas bangunan sekolah yaitu 2.587 m2. Sekolah Madrasah Aliyah Negeri 6 Suraiya
Darussalam ini memiliki gedung sendiri dengan bangunan yang sudah permanen. Masing-masing ruang yang dijadikan sebagai tempat kegiatan belajar-mengajar berukuran 9m x 8m. Adapun batasan-batasan MAN Darussalam berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan yaitu sebelah kanan berbatasan dengan sekolah MTsN Darussalam, sebelah kiri berbatasan dengan pertokoan, belakang berbatasan dengan sekolah MIN Darussalam, dan bagian depan berbatasan dengan rumah penduduk. Siswa dan siswi MAN Darussalam berjumlah 441 orang Siswa dan siswi MAN Darussalam berjumlah 441 orang. Sedangkan guru, tenaga kerja dan pegawai administrasi di MAN Darussalam berjumlah 48 orang, yang terdiri dari 33 orang guru PNS, 9 orang guru honorer dan 6 orang pegawai tatausaha. Sebelum menganalisis data hasil penelitian, terlebih dahulu peneliti menjelasskan secara umum hasil penelitian ini. Data yang diperoleh dari hasil wawancar dengan kepala sekolah, waka kurikulum, waka kesiswaan, waka saran dan prasarana dan guru MAN Darussalam Aceh Besar. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh bahwa semua yang bersifat manajemen dimanapun pasti diperlukan terlebih disekolah, dalam konteks manajemen berbasis sekolah sebagai terobosan baru dalam dunia pendidikan yang tujuannya adalah untuk mencapai hasil yang lebih maksimal saya kira sekolah harus menerapkan, terkhusus disini sekolah MAN Darussalam yang telah menerapkan manajemen berbasis sekolah dan juga mengembangkannya. Dimana pada proses manajemennya melihat perkembangan siswa terlebih dahulu, agar manajemen yang terapkan ini menyentuh langsung kesiswa, artinya kalau dari guru dapat dilihat apakah RPP yang dibuat sudah ada nilai pengembangan karakter siswa atau belum. Sedangkan untuk siswa, dilihat dari bakat dan minat siswa masing-masing, dengan dua hal itulah yang harus di topang, karena mengingat kembali kepada tuntutan dari kurikulum 2013. Dalam penerapan manajemen berbasis sekolah di MAN Darussalam Aceh Besar, ada beberapa langkah-langkah yang dilakukan kepala sekolah MAN Darussalam yaitu, yang pertama sekali membuat struktur kepengurusan, yang mana terbagi menjadi empat waka yaitu, waka
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
kurikulum, waka kesiswaaan, waka sarana dan prasarana serta waka humas. Selanjutnya memperdayakan ke empat waka tersebut untuk mengurus masalahnya masing-masing, misalkan waka kurikulum mengurus masalah kurikulum dan penerapannya, waka kesiswaan mengurus semua yang berkaitan dengan siswa, waka sarana dan prasarana mengurus dan mengatur sarana yang ada disekolah, dan waka humus mengurus dan membangun hubungan sekolah ke masyarakat dalam hal ini wali murid. Tetapi dengan catatan, walaupun setiap permasalahan sudah dibagi kesetiap pengurusnya, para waka harus tetap ada musyawarah atas suatau permasalahan yang akan selesaikan baik itu dengan kepala sekolah, guru, wali murid, dan juga siswanya sendiri, karena di MAN Darussalam memakai azas kekeluargaan. Dengan membuat struktur kepengurusan sekolah yang terdiri dari waka kurikulum, waka kesiswaan, waka humas dan waka sarana dan prasarana adalah kebijakan yang sangat baik. Karena dengan melibatkan beberapa guru untuk mengurus berbagai bidang secara langsung akan membagi tanggung jawab kepada guru lainnya. Tentu dengan kebijakan ini hasil yang akan dicapai juga lebih efektif dan efisien. Jadi kepala sekolah tidak lagi perlu susah payah untuk mengatur semuanya karena telah dibagi kebeberapa bidang, hanya perlu pengawasan terhadap masing-masing bidang. Dalam penerapannya, kepala sekolah haruslah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang transparan, tidak boleh hanya mengetahui dan menjalankan manajemen berbasis sekolah sendiri, harus ada sosialisasi atau pemberitahuaan tentang apa-apa kebijakan yang akan dilakukan. Untuk itu kepala sekolah haruslah bersifat transparan kepada semua warga sekolah agar tidak adanya kekeliruan atau kesalah pahaman dalam suatu masalah atau kebijakan. Dalam hal ini kepala sekolah selalu menerapkan manajemen berbasis sekolah yang trnasfaran. karena sikap transfaransi dalam melakukan kebijakan adalah hal yang paling utama agar semuanya bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Contohnya dalam masalah keuangan, dalam pembuatan RAPBN sekolah, penyusunananya RAPBN juga dilakukan guru-guru dan pihak koite sekolah. Dengan melihat program-program apa yang
ditawarkan masing-masing bagian, misalkan bagian kesiswaan menawarkan program menari, rapai geleng, ekstrakulikuler dalam bidang olah raga, takhsin dan lainnya, sebagai pemimpin selain mendukung juga harus memfasilitasi apa saja kebutuhan dan apa saja yang diperluan program yang telah direncanakan tersebut. Memang seorang pemimpin tidak mengetahui secara umum permasalahan tersebut hanya mereka yang dilapangan lah yang lebih mengerti, tetapi sebagai pemimpin wajib ikut serta mengawasi program-program yang akan dijalankan tersebut. Sekolah harus menyusun RPS secara konsultatif dan memajangnya secara transparan. RPS itu sendiri berisikan rencana strategi dan rencana operasional sekolah. rencana strategi memberi arahan bagi pengembangan sekolah dalam jangka panjang (beberapa tahun). Rencana operasinal menerjemahkan rencana strategi kedalam rencana jangka pendek. Rencana ini bersifat lebih spesifik dan dapat diukur dalam kegiatan dan tingkat penerapan yang dijabarkan. Dalam penyusunan RPS kepala sekolah MAN Darussalam memang tidak membuat RPS secara komplit, tetapi hanya membuat profilnya dan juga membuat satuan kerja (SAKER), dimana satuan kerja ini dikelola sendiri oleh pihak sekolah. Satuan kerja dibuat secara partisitatif antar pihak sekolah (kepala sekolah dan guru). Partisipasi dan keterlibatan guru dalam membuat aturan kerja akan memudahkan guru dalam proses pembelajaran. Guru dituntut lebih aktif dalam membuat satuan kerja. Dalam penyusunan visi dan misi sekolah, kepala sekolah MAN Darussalam Aceh Besar tidak lagi menyusun visi dan misi sekolah, tetapi hanya menggunakan dan menjalankan visi dan misi yang sudah ada, alasanya karena visi dan misi yang ada sudah sangat bagus, tetapi tetap berprinsip bahwa yang diutamakan adalah membentuk akhlaq yang baik bagi siswa. Pintarnya siswa dapat diperoleh dari rajinnya dia dalam mengikuti pelajaran, akan tetapi untuk pembentukan akhlaq yang bagus itu agak sulit, karena setiap siswa memiliki karakter yang berbeda-beda, untuk itu di MAN Darussalah sangat mengutamakan pembentukan akhlaq yang baik bagi siswa. Disetiap sekolah wajib dilakukannya pengawasan guna kegiatan sekolah tetap
Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di MAN Darussalam Aceh Besar
7
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
berjalan sesuai dengan ketentuan. Dalam hal ini kepala sekolah sangat bertanggung jawab, oleh karena itu kepala sekolah harus melakukan pengawasan setiap saat agar aktivitas sekolah tetap berjalan kondusif sesuai yang ditentukan. Selain memberikan pengawasan, kepala sekolah juga wajib memberikan bimbingan kepada guru dan tenaga kependidikan serta administrator. Dalam hal pengawasan kepala sekolah MAN Darussalam Aceh Besar bersama supervisi melakukan langkah-langkah antar lain: melaksanakan program supervise supervisi kelas dan kegiatan ekstrakulikuler. Artinya kepala sekolah bersama supervisi selalu mengawasi siswa dengan cara melihat langsung ke kelas masing-masing, apakah siswa masih ikut dalam proses belajar mengajar atau siswa malah sudah bermainmain diluar. Pengawasan juga dilakukan terhadap guru-guru, apakah guru-guru sudah ada di dalam kelas ketika jam pelajaranya sudah dimulai atau masih duduk didalam ruang guru. Dengan program ini dapat dilihat kemampuan guru dalam mengajar dan proses belajar-mengajar disekolah seperti apa. Melakukan pengawasan siswa langsung ke kelas-kelas merupakan sistem pengawasan yang sangat baik. Jadi kepala sekolah dapat mengetahui secara langsung keadaan dikelas tidak hanya menerima laporan saja. Dan sistem ini juga biasa menimbulkan sikap keakraban antar kepala sekolah dan siswa. Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan atau kegiatan yang dilakukan kepala sekolah secara wajar. Norma-norma pengawasan ini juga sudah disosialisasikan terlebih dahulu kepada guru, staf kependidikan dan juga siswa agar dapat dilaksanakan. Adanya kontak langsung dari guru kesiswa pada proses pembelajaran mengakibatkan kualitas seorang guru sangat mempengaruhi siswa. Guru yang memiliki kemampuan standar akan sulit dalam meningkatkan program pembelajaran, dampaknya pasti kesiswa yang pada proses pembelajaran adalah sebagai sasaran utama. Untuk itu kepala sekolah harus membantu guru-guru meningkatkan kualitas diri dan membantu guru-guru dalam meningkatkan program pembelajaran. Dalam hal ini kepala sekolah MAN Darussalam Aceh Besar selalu membantu guru dalam pengembangan kualitas 8 Suraiya
dirinya, selain memberikan bantuan berupa motivasi, kepala sekolah juga mengusahakan setiap guru untuk mengikuti pelatihan kependidikan, baik yang dibuat oleh dinas maupun yang dibuat oleh universitasuniversitas contohnya: seperti mengikuti workshop, seminar pendidikan dan lain-lain yang menyangkut pelatihan pendidikan. Beliau menyadari bahwasanya ilmu pengetahuan itu sifatnya berkembang terus menerus, jadi beliau mendorong guru-guru untuk berusaha juga mengembangkan diri mereka dalam konten kualitas ilmu pengetahuan dan wawasan. Pihak sekolah juga memberikan kebebasan kepada sitiap guru untuk mengembangkan diri mereka sebisa mungkin. Penetapan evaluasi merupakan program yang harus dilakukan karena untuk mengetahui hasil selama proses pembelajaran berlangsung, dengan evaluasi sekolah juga dapat mengetahui apa-apa saja kekurangan yang dimiliki sekolah saat kegiatan sekolah berlangsung, dan dengan harapan kedepannya kita bisa menutupi kekurangan tersebut atau menjadikannya bahan koreksi.. Hasil dari evaluasi juga dapat dijadikan tolak ukur untuk melakukan kegiatan sekolah kedepannya. Dengan melakukan evaluasi sekolah juga dapat memonitoring segala sesuatu yang terjadi selama kegiatan berlangsung. Untuk mengetahui hal ini maka dapat dilihat dari hasil wawancara dengan kepala sekolah MAN Darusslam Aceh Besar. Menurut kepala sekolah MAN Darussalam evaluasi itu cendrung kepenilaian, jadi untuk melihat penilaian disekolah MAN Darussalam, pihak sekolah mengadakan ujian yang berpijak kepada kalender pendidikan. Walaupun terkadang pelaksanaan evaluasi ini tidak sesuai atau sejalan dengan kalender pendidikan karena pihak sekolah melihat situasi dan kondisi yang ada disekolah. Di sekolah MAN Darussalam Aceh Besar mengadakan evaluasi berupa ujian harian, ujian tengah semester dan ujian semester. Dimana ujian harian dilakukan guru guna mengevaluasi pelajaran pada hari itu, ujian tengah semester dilakukan untuk mengevaluasi pelajaran selama tiga bulan kebelakang, dan ujian semester untuk mengevaluasi pelajaran selam enam bulan kebelakang. Selain melakukan evaluasi pembelajaran, sekolah juga melakukan evaluasi keuangan, guna melihat apa-apa saja program yang dibuat dan dana yang dikluarkan selama setahun kegiatan sekolah, biasanya
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
evaluasi keuangan dilakukan pada bulan 12 akhir dimana akan tutub buku. Cara evaluasi anggaran dilakukan dengan memanggil bendahara untuk menjelaskan setiap rincian pengeluaran yang dilakukan selama setahun ini, dan jika anggaran yang ditetapkan itu lebih maka akan dikembalikan kenegara. Peraturan sangatlah penting dibuat, bukan hanya untuk disekolah bahkan organisasi sekecil apapun perlu adanya aturan, aturan juga bukan hanya sekedar dibuat atau hanya sekedar pajangan saja, tetapi peraturan juga wajib diindahkan, dalam artian tidak dilanggar. Berbicara masalah peraturan, kepala sekolah MAN Darussalam mengakui memang masih banyak yang melanggar peraturan sekolah. Apalagi di sekolah MAN Darussalam ini yang dihadapi adalah siswa yang sedang mencari jati diri dan dengan ego yang sangat tinggi. Tetapi dengan usaha semaksimal mungkin, siswa siswa akan patuh terhadap peraturan. Contohnya seperti memberikan kebijakan terhadap warga sekolah yang membuang sampah sembarangan dikenakan denda Rp 500, tetapi memang cukup sulit karena masih banyak juga siswa yang masih membuang sampah sembarangan walaupun telah disediakan beberapa tong sampah di lingkungan sekolah ini. Untuk itu perlu sikap sabar dalam kebijakan ini dan juga diperlukan pengawasan yang lebih baik lagi. Tetapi secara umum mereka semua patuh, karena yang disekolah sangat dituntut dua hal yaitu siswa harus rajin dan patuh karen itu merupakan kata kunci untuk mencapai keberhasilan. Tidak hanya siswa, sebagian guru juga masih ada yang melanggar peraturan, seperti tingkat kedisiplinan maupun lainnya. Untuk mengetahui penerapan kurikulum di sekolah MAN Darussalam Aceh besar dapat dilihat dari hasil wawancara dengan waka kurikulum MAN Darussalam Aceh besar.Wawancara dengan waka kurikulum MAN Darussalam Aceh Besar ibu Zuhra S.Pd. Dalam penerapannya, sekolah MAN Darussalam baru saja menerapkan kurikulum 2013 tepatnya pada tahun ajaran 2014-2015. Dimana dalam penerapannya pihak sekolah tidak mau terlalu terburu-buru, karena dilihat bahwa masih banyak yang perlu diperbaiki dari kurikulum 2013 dan pemerintah sendiri belum ada kejelasan untuk meresmikan kurikulum 2013. Seharusnya kurikulum 2013 ini jangan terlalu cepat di terapakan, lebih baik
disempurnakan terlebih dahulu baru disosialisasikan kesekolah-sekolah untuk penerapannya, agar pihak sekolah tidak merasa kebingungan menerapkan kurikulum 2013. Faktanya sekarang banyak pihak sekolah kebingungan dalam mengganti kurikulum KTSP dangan kurikulum 2013, karena pihak sekolah juga masih banyak yang belum memahami konsep dan tujuan dari kurikulum 2013 itu sendiri. Dalam praktek pendidikan, guru adalah pemeran utama yang selalu dijadikan ujung tombak untuk mewujudkan tujuan pendidikan, karena guru lah yang melakukan kontak langsung terhadap siswa dalam kegiatan pendidikan. Atas dasar inilah apapun kebijakan yang dilakukan haruslah melihat kembali kepada tanggapan guru, sebagai evaluasi kembali terhadap kebijakan-kebijakan yang telah ditentukan. Contohnya dalam penerapan kurikulum 2013, guru adalah pemeran utama dalam pembentukan karakter siswa yang menjadi acuan dalam kurikulum 2013. Pendapat guru-guru di sekolah MAN Darussalam masing-masing berbeda, ada yang mengatakan tidak ada masalah dengan kurikulum 2013 karena tidak jauh berbeda dengan KTSP. Ada juga sebagian guru sangat kewalahan untuk memakai kurikulum 2013, terutam dalam penyusunan RPP yang masih banyak guru beranggapan tidak sesuai dengan ketentuan di kurikulum 2013. Tetapi menurut wak kurikulun MAN Darussalam, di dalam ketentuan kurikulum 2013 ini sedikit sulit atau rumit adalah saat pengisian raport siswa karena terlalu rinci, secara umum memang sama, tetapi mungkin redaksi bahasanya saja yang berbeda. Ini yang membuat guru-guru sedikit kebingungan dala pengisisan raport siswa. Tapi pada dasarnya mau atau tidak guru harus tetap mengikuti ketentuan kurikulum 2013 dan bisa atau tidak guru harus mengikuti ketentuan kurikulum 2013. Dan didalam kurikulum 2013 ini yang sangat sulit adalah pada pengembangan karakter siswa, karena siswa disekolah juga terlalu banyak dan dengan karakter yang berbeda-beda, Menurut waka kurikulum MAN Darussalam, kurikulum 2013 ini lebih mirip dengan kurikulum dahulu yaitu “cara belajar siswa aktif” (CBSA), tetapi perbedaanya hanyalah pada pengembangan karakternya saja, kalau di kurikulum CBSA pengembangan karakter siswa tidak menjadi ketentuan.
Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di MAN Darussalam Aceh Besar
9
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
Berbicara masalah kesiapan sekolah dalam perubahan kurikulum yang sering terjadi kita rasa tidak hanya MAN Darusslam saja yang belum siapa, tetapi masih banyak sekolahsekolah lain yang belum siap juga untuk menerapkan kurikulum 2013. Karena kurikulum 2013 sendiri masih diperdebatkan kesempurnaannya. Tetapi apapun yang terjadi, siap atau tidak sekolah harus tetap menerapkannya. Jadi pada khasus sering berubah-ubahnya kurikulum kami selaku guru yang menjadi korban, begitu ketentuan dari pemerintah tentang perubahan kurikulum datang para guru harus memacu diri segera mungkin, belum kelar dengan kurikulum satu sudah ada lagi kurikulum yang baru, itu yang membuat para guru menjadi kesulitan. Contohnya dalam khasus KTSP, belum lagi ada dampak dan manfaat yang jelas sudah diganti dengan kurikulum 2013. Penerapan kurikulum 2013 bukanlah hal yang mudah, perlunya pemahaman yang dalam terhadap kurikulum itu sendiri baik dari segi konsepnya maupun fungsinya. Sebelum diterapkan kurikulum itu sendiri harus disempurnakan terlebih dahulu agar tidak ada kekeliruan yang akan dialamai pihak sekolah yang mana dapat menjadi kerugian tersendiri. Dalam hal ini kendala yang paling utama yang di alami sekolah MAN Darussalam Aceh Besar dalam penerapan kurikulum adalah prasarana yang kurang memadai untuk pengembangan karakter. Contohnya pelajaran biologi, sebenarnya dalam pelajaran biologi harus banyak belajar diluar atau dialam bebas, tetapi dengan waktu hanya 2X45 menit itu tidak mungkin dilakukan. Apa lagi dengan sarana pendukung yang kurang memadai, sangat sulit untuk dilakukan. Kendala yang lain juga sumber pelajaran (buku) yang masih menggunakan buku KTSP. Contohnya buku bahasa indonesia dan biologi yang memiliki cover bukur kurikulum 2013 tetapi isi materinya masih menggunakan KTSP. Peserta didik adalah sasaran utama dalam kegiata sekolah, bagus atau tidaknya sekolah dapat dilihat juga dari kualitas lulusan sekolah tersebut. Untuk itu sekolah dalam menciptakan lulusan yang baik harus memiliki pelayanan dan juga manajemen yang baik juga terhada peserta didik, karena dengan manajemen peserta didik yang baik pula kita dapat mengontrol setiap siswa untuk mengikuti segala kegiatan yang telah ditentukan sekolah 10 Suraiya
guna menghasilkan lulusan yang berkualitas. Dalam penerimaan siswa baru, sekolah juga harus membuat manajemen yang baik, dimana sekolah dapat menawarkan sistem baru dalam penerimaan siswa baru sebagai daya tarik siswa untuk mendaftarkan diri disekolah tersebut dan juga sebagai nilai tambah bagi siswa yang akan lulus di sekolah tersebut. Untuk mengetahui hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara dengan waka kesiswaan MAN Darussalah Aceh Besar Ibu Sri Mulyanur S.Pd.I. Sistem penerimaan siswa baru diaceh besar di mulai dari: 1. Pendaftaran oleh siswa baru, calon siswa mengambil formulir pendaftaran disekolah secara gratis dan mengisi formulir tersebut dan mengembalikannya kembali sesuai jadwal ketentuan dan melengkapi semua persyaratanpersyaratan yang telah ditentukan. 2. Seleksi, sebelum menjadi calon siswa terlebih dahulu diseleksi oleh sekolah dengan cara memberikan ujian tulis dan ujian wawancara serta memberi ujian kemampuan mengaji kepada calon siswa. Ada beberapa kriteria khusus dalam penerimaan siswa baru di MAN Darussalam yaitu salah satunya adalah siswa harus beragama islam, itu hal yang paling utama, karena sekolah ini sifatnya adalah madrasah aliyah yang lebih mengacu kepada ajaran islam. Selanjutnya siswa harus mampu mengaji, walaupun tidak begitu bagus dalam mengaji tetapi minimal dia bisa membaca alqur’an, karena disekolah ini sangat memperhatikan masalah pengembangan nilai agama khususnya membaca alqur’an. Selanjutnya melihat bakat dan talenta yang dimiliki setiap calon siswa dengan memberikan kolom minat dan bakat yang ada di formulir. Dengan harapan memudahkan dalam pengembangan karakter siswa. Apa lagi sekarang sudah menggunakan kurikulum 2013 yang menekankan pada pengembangan karakter siswa. Dalam penerimaan siswa baru di MAN Darussalam hanya melihat dari nilai SKHUN ketika siswa lulus SMP. Apakah nilai di SKHUN nya telah mencukupi satndar nilai yang telah tentukan atau kurang. Bagi siswa yang nilainya mencukupi maka dia akan diterima dan melanjutkan proses seleksi selanjutnya, sementar calon siswa yang
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
nilainya tidak mencukupi, maka tidak biasa terima. Dalam penerimaan siswa baru sekolah MAN Darussalam tidak pernah membedabedakan atau memilih suku tertentu, sebisa mungkin pihak sekolah menerima semua suku yang mendaftar dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Untuk memudahkan proses belajar-mengajar sekolah harus membagi kelas terhadap siswa. Pembagian kelas juga biasanya mengikuti aturan yang ditentukan pihak sekolah dan melihat kembali keadaan sekolah tersebut. Tetapi Saat ini pihak sekolah tidak bisa memaksa siswa untuk masuk kekelas sesuai yang ditentukan pihak sekolah. Pihak sekolah harus memberikan kebebasan bagi siswa untuk memilih kelas sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Karena dengan memberikan kebebasaan kepada siswa untuk memilih kelas sesuai dengan kemampuan masing-masing sisawa dapat memberikan kemudahan kepada siswa untuk mengikuti proses belajar mengajar. Dalam pembagian kelas untuk siswa di MAN Darussalam, pihak sekolah memberikan kebebasan memilih kepada siswa untuk memilih jurusan sesuai dengan keinginananya masing-masing yang sudah disediakan didalam formulir pendaftaran. Dimana pilihan terbagi menjadi kelas tiga kelas yaitu; IAG (ilmu agama), IPA (ilmu pengetahuan alam) dan IPS (ilmu pengetahuan sosial). Selanjutnya pihak sekolah memberikan tes kepada siswa berupa ujian agar mengetahui apakah siswa pantas masuk kekelas yang dia inginkan. Sekolah harus berusaha semaksimal mungkin dalam menghasilkanm lulusan yang berkualitas baik ilmu pengetahuannya maupun karakternya. Sekolah harus menerapkan manajemen yang sebaik mungkin, memberikan pelayanan sebagus mungkin, menciptakan suasan belajar-mengajar senyaman mungkin. Kenyamanan dalam proses belajar-mengajar juga sangat mempengaruhi hasil ilmu yang didapat siswa. Dengan suasana yang nyaman maka siswa juga lebih mudah menerima pelajaran yang telah diberikan. Kenyamanan proses belajar-mengajar dapat juga dilihat dari jumlah siswa yang ada di kelas. Kelas yang terlalu ramai akan menggangu kenyaman proses belajar mengajar. Untuk pembagian siswa ke setiap kelas, sekolah MAN Darussalam memiliki tiga jurusan yaitu jurusan IAG, IPA dan IPS, di mana jumlah siswa
tergantung dari jurusan masing-masing. Masing-masing jurusan terbagi menjadi dua kelas, jadi total setiap jurusan dibagi rata ke kelas masing-masing jurusan. Maksimalnya dalam satu kelas ditentukan maksimal hanya 32 orang saja, akan tetapi ada juga yang di bawah 30 orang sesuai dengan jurusan masingmasing. Dalam proses belajar mengajar berlangsung tentulah perbedaan kemampuan siswa pasti ada. Untuk itu pihak sekolah harus sangat memperhatikan hal ini. Tidak cukup hanya mengandalkan proses belajar mengajar saja, tetapi pihak sekolah harus membuat suatu program yang dapat memberikan bimbingan lebih, guna dapat memberikan tambahan ilmu bagi siswa yang tidak didapat pada saat proses belajar mengajar. Siswa yang memiliki daya tangkap yang lemah dalam proses belajar mengajar dan memiliki nilai yang kurang bagus, tidaklah harus dibiarkan begitu saja, tetapi harus ada bimbingan lebih yang dilakukan pihak sekolah lewat programprogram pendukung kemampuan siswa. Jadi siswa yang memiliki daya tangkap kurang baik dalam proses belajar mengajar dan nilai pelajarannya kurang bagus, memiliki kesempatan untuk memperbaikinya. Untuk memberikan bimbingan terhadap siswa yang kurang bagus nilai pelajarannya sekolah MAN Darussalam Aceh Besar membuat beberapa program diantaranya; 1. Program tahsin al-qur’an, program ini untuk siswa yang kurang bagus dalam membaca alqur’an, program ini dibuat dengan tujuan agar seluruh siswa MAN Darussalam dapat membaca al-qur’an dengan baik dan benar. 2. Program remedial, pihak sekolaj memberikan program remedial terhadap siswa yang nilai bidang studinya tidak memenuhi KKM. Program remedial diberikan sepenuhnya kepada guru bidang studi masing-masing. Karena guru-guru bidang studi masing-masinglah yang lebih mengetahuinya. Guru sebagai penanggung jawab utama perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Karena disadari bahwa penentuan keberhasilan praktek pendidikan disekolah lebih banyak bertumpu pada manajemen guru, sehingga kesiapan seorang guru haruslah sangat diperhatikan. Oleh karena itu, guru merupakan
Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di MAN Darussalam Aceh Besar
11
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
salah satu unsur di bidang kependidikan harus berperan secara aktif dalam menempatkan kedudukanya sebagai tenaga profesional, sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang. Oleh sebab itu untuk menunjang usahnya seorang guru memerlukan pengetahuan, kecakapan, dan ketrampilan yang sering disebut dengan kompetensi guru. Kompetensi guru adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki guru atau kemampuan yang di isyaratkan untuk memangku profesi guru. Untuk mengetahui apakah guru di MAN Darussalam mengalami kesulitan dalam membuat pokok bahasan, hal ini dapat diperoleh dari hasil wawancara dengan salah satu guru MAN Darussalam Aceh Besar ibu Dra. Khairina. Dalam membuat pokok bahasan guru MAN Darussalam pada umumnya tidak menemukan kesulitan sama sekali, Karena pokok bahasaan yang akan diajarkan dapat lihat pada standar kompetensi dan kompeteni dasar yang ada dibuku pelajaran. Jadi guruguru tinggal menguasai materi yang memang telah ditentukan oleh SK dan KD nya saja. Dalam proses belajar mengajar seringkali guru kesulitan dengan membuat pokok bahasan, tetapi dengan hanya melihat SK dan KD saja sudah membantu guru dalam membuat dan menentukan pokok bahasan yang akan diajarkan. SK dan KD di buat untuk mempermudah guru pada saat mengajar karena pokok bahasan sudah diatur sedemikan rupa dan sesistimatasi mungkiin. Menganalisa proses belajar pada intinya tertumpu pada suatu persoalan, yaitu bagaimana guru memberikan kemungkinan bagi siswa agar terjadi proses pembelajaran atau mencapai hasil yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Kompetensi utama sebagai seorang guru harus menguasai materi pembelajaran. Dalam memberikan materi pembelajaran kepada siswa, guru harus mengacu kepada indikator dan tujuan pembelajaran. Contohnya dalam pelajaran ekonomi, yang salah satu indikatornya adalah “siswa mampu mendefinisikan fungsi-fungsi pajak”, jadi guru harus memberikan materi pelajaran berupa pajak dan fungsinya, yang mana materi itu sudah sesuai dengan tujuan pembelajaran. Dengan sesuainya materi pembelajaran terhadap tujuan pembelajaran pastilah siswa sangat mudah memahami apa-apa yang disampaikan oleh guru. Jadi hubungan intinya adalah semakin tingginya penguasaan materi 12 Suraiya
pengajaran oleh seorang guru itu, maka semakin tinggi pula hasil belajar yang dicapai siswa dalam proses belajar mengajar. Seorang guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan agar supaya pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya tidak ketinggalan zaman. Pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai tidak hanya terbatas pada pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan tugas profesional, tetapi juga kemampuan menggunakan teknologi pendukung proses belajar mengajar, contohnya seperti penggunaan laptop dan infokus pada saat proses belajar mengajar. Penggunaan teknologi informasi memang sangat penting, begitu pula penggunaan teknologi informasi pada proses pembelajaran. Memang belakangan ini guruguru dianjurkan untuk setidaknya dapat mamakai teknologi informasi baik itu laptop, infokus atau lainnya. Agar dapat mempermudah guru pada saat proses belajarmengajar. Di MAN Darussalam memang ada sebahagian guru yang sudah menggunkan laptop dan infokus pada saat pembelajaran, tetapi masih banyak juga yang belum menggunakan. Dengan alas an kurang memahami teknologi komunikasi. Penggunan metode saat proses belajar mengajar memang sangat penting, karena dapat menimbulkan kreatifitas baik dari guru itu sendiri maupun siswa sabagai sasaran proses belajar mengajar. Tetapi pemilihan dan penggunaan metode pembelajaran tergantung dari materi pelajarnnya masing-masing. Ada materi ajar yang menuntut guru berinovasi dalam metode pembeljaran. Contohnya dalam pelajaran ekonomi, guru lebih cocok menerapkan metode diskusi yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk mendiskusikan bahan ajaran dan memberi argumen. Ada juga materi ajar yang menuntut guru untuk memakai metode ceramah, contohnya pelajaran sejarah, guru hanya bisa menjelaskan tentang materi ajarnya saja karena materi ajar ini memiliki sifat ilmu yang pasti. Dalam proses belajar mengajar yang dilakukan sekolah siswa adalah sasaran utama. Semua kegiatan yang dilakukan disekolah bertujuan untuk mengembangkan kualitas siswa baik karakter yang positif maupun ilmu pengetahuannya. Dengan seluru program pembelajaran yang dilakukan pihak sekolah
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
ataupun yang dilakukan langsung oleh guru tentunya dengan harapan mampu meningkinkan perkembangan siswa baik dari kognektif, pisikomterik dan afektif. Meningkatnya nilai baik itu dari segi kognektif, psikomotorik dan afektif siswa itu tergantung dari siswanya masing. Setelah guru selasai memberikan semua pelajaran terhadap siswa tentulah guru mengharapkan siswa mendapatkan nilai yang baik. Memang sebahagian siswa di sekolah MAN Darussalam mengalami peningkatan terhadap nilainya, tetapi ada juga siswa yang tidak mengalami peningkatan terhadap nilainya. Sadar dengan kemampuan dan kreatifitas siswa yang berbeda-beda itu lah guru MAN Darussalam harus berusaha lebih keras lagi dalam meningkatkan nilai siswa yang menjadi salah satu tujuan utama sekolah. Kendala yang sering dialami guru MAN Darussalam saat mengajar antara lain yaitu: 1. Motivasi, keinginan dam keaktifan siswa yang masih kurang, siswa yang cendrung masih bersikap pasif dalam pembelajaran itu sangat menjadi kendala tersendiri. Tetapi ada juga siswa yang sudah memilik keaktifan yang baik. 2. Karakter yang siswa yang berbeda-beda, membentuk karakter jadi sangat sulit karena siswa memiliki karakter dan latar belakang yang berbeda-beda. 3. Siswa yang tidak mampu mencapai tujuan belajar atau hasil belajar sesuai dengan pencapaian teman-teman seusianya yang ada dalam kelas yang sama. 4. Siswa yang tidak mampu mencapai tujuan belajar atau hasil belajar sesuai dengan pencapaian teman-teman seusianya yang ada dalam kelas yang sama. 5. Siswa yang sering tidak mengikuti proses belajar mengajar di kelas, yaitu siswasiswa yang sering tidak hadir atau menderita sakit dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga kehilanggan sebagian besar kegiatan belajarnya. Perubahan strategi/metode belajar juga perlu dilakukan, metode pembelajaran sebaiknya sesuai dengan kondisi real siswa. Saat ini, metode belajar yang populer di Indonesia yang dikenal dengan PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Aktif artinya ketika proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif untuk bertanya,
mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Inovatif artinya bagaimana guru menciptakan pembelajaran yang bisa membuat siswanya berpikir bahwa belajar itu menyenangkan, sehingga tertanam didalam pikiran siswanya tidak akan ada lagi perasaan tertekan dengan tenggang waktu pengumpulan tugas dan rasa bosan tentunya. Kreatif artinya agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa. Efektif artinya bagaimana guru mampu menciptakan apa yang harus dikuasai oleh siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung tanpa menyia-nyiakan waktu. Dalam keberlangsungan belajar mengajar, tidak hanya bertumpu pada adanya siswa dan guru, tetapi juga pada ketersediaan sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan belajar mengajar demi kelancaran proses belajar mengajar. Tanpa adanya dukungan sarana dan prasarana yang memadai maka kegiatan belajar mengajar akan terhambat, karena keberadaan sarana dan prasarana ini dimaksudkan untuk menunjang kelancaran proses belajar mengajar dan diharapkan mampu meningkatkan prestasi siswa untuk mencapai tujuan pendidikan. Adapun sarana dan prasarna pendukung proses belajar di MAN Darussalam Aceh besar yaitu, 1 ruangan kepala sekolah, 1 ruangan guru, 15 kelas, 1 lab. IPA, 1 lab. Bahasa, 1 lab. Komputer, 1 aula, 1 tatausaha, 1 mushalah, 1 ruang bimbingan konseling, 1 ruang UKS, 1 organisasi kesiswaan, 9 toilet, 1 gudang, 1 tempat olah raga. Adapun kendala-kendala yang dialami dalam penerapan manajemen berbasis sekolah di MAN Darussalam adalah masalah keuangan, artinya dalam melaksanakan program-program sekolah terkendala masalah anggaran. Misalnya sekolah ingin mengadakan even pengembangan wawasan peserta didik atau program-program lainnya yang sifatnya membutuhkan biaya yang besar, pihak sekolah selalu kekurangan dana. Selanjutnya adalah masalah siswa yang memang belum memahami konsep manajemen berbasis sekolah dan tujuan dari manajemen berbasis sekolah itu sendiri. PENUTUP Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kesiapan sekolah MAN Darussalam Aceh
Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di MAN Darussalam Aceh Besar
13
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
Besar dalam pengimplementasian manajemen berbasis sekolah dilihat dari ke empat komponen, telah di implementasikannya manajemen berbasis sekolah oleh kepala sekolah MAN Darussalam Aceh Besar, dilihat dari penerapan kurikulum, waka kurikulum dan sekolah telah penerapan kurikulum 2013. Dilihat dari manajemen peserta didik, semakin meningkatnya jumlah calon siswa yang mendaftar untuk menjadi siswa MAN Darussalam Aceh Besar, dan meningkatnya nilai siswa setiap tahunny. Dan dilihat dari manajemen sarana dan prasarana adanya saran sebagai pendukung guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran. Kendala utama yang dialami dalam penerapan manajemen berbasis sekolah di MAN Darussalam adalah masalah keuangan, artinya dalam melaksanakan program-program sekolah terkendala masalah anggaran.
REFERENSI Fakhrurazzi,. 2006. Implementasi Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah pada SMA N I Suka Makmur kab. Aceh Besar Fatah, Nanang. 2003. Konsep Manjemen Berbasis Sekolah Dan Dewan Sekolah. Bandung: pustaka Bani Quraisy. Hamlik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara Mahiddin. 2006. Manajemen Pengawasan Pendidikan. Ciputat : Quantum Teaching (Ciputat press group) Miarso, Yusufhadi. 2009. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Pustekkom Depdiknas. Mulyasa, Enco. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Rosda. Rosyada, Dede. 2007. Paradigma Pendidikan Demokrasi. Jakarta: Prenada Media Group Supardi. 2003. Metodologi Yayasan Cerdas Press.
14 Suraiya
Penelitian.
Sujanto, Bejo. 2004. Mensiasati Manajemen Berbasis Sekolah Di era Kritis Yang Berkepanjangan. Jakarta : ICW Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta , Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang system pendidikan Nasional.
Jurnal Serambi Edukasi│Vol.3 No.2 (2015): 15 – 22
ISSN 2338-9397
KARAKTERISTIK PERILAKU KEPEMIMPINAN YANG EFEKTIF DALAM ORGANISASI PENDIDIKAN Nurasmah Kepala SMA Negeri 1 Lhokseumawe e-mail:
[email protected]
Abstrak Karakteristik kepemimpinan yang efektif dalam organisasi penidikan didasarkan pada prinsip-prinsip belajar seumur hidup, berorientasi pada pelayanan dan membawa energi positif. Tujuan manajemen dapat tercapai bila organisasi memiliki memiliki pemimpin yang handal. Kepemimpinan yang baik diyakini mampu mengikat, mengharmonisasi, serta mendorong potensi sumber daya organisasi agar dapat bersaing secara baik. Kepemimpinan berkaitan dengan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mempengaruhi orang lain, karena itu intinya adalah hubungan antar manusia. Gaya kepemimpinan mempunyai peranan yang sangat penting dalam mencapai efektivitas kerja. Jika seorang pemimpin mampu menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat dan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, maka para anggota organisasi pun akan dapat bekerja dengan nyaman dan semangat yang tinggi. Faktor keberhasilan sorang pemimpin dalam memimpin organisasinya tidak hanya dia mampu mengerahkan bawahannya tetapi pemimpin tersebut harus lebih mempunyai sikap bijaksana, mahir dalam manajemen, mempunyai jiwa sosial yang tinggi serta mempunyai kecakapan, dengan demikian pemimpin akan berhasil membawa kemajuan untuk organisasinya. Tanpa itu semua pemimpin tidak akan dapat membuat kemajuan untuk organisasinya. Kata kunci: Perilaku Kepemimpinan, Organisasi Pendidikan.
PENDAHULUAN Kepemimpinan dan organisasi merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Pada suatu organisasi kepemimpinan sangat dibutuhkan untuk memberikan pengarahan terhadap usaha-usaha dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi. Kepemimpinan sangat diperlukan jika organisasi tersebut ingin sukses dan berkembang. Terlebih jika ada anggotaanggota organisasi tersebut yang selalu ingin tahu bagaimana mereka dapat menyumbangkan pemikiran dan melaksanakan tugasnya dengan baik dalam pencapaian tujuan organisasi. Anggota organisasi memerlukan kepemimpinan sebagai dasar motivasi eksternal untuk menjaga tujuan-tujuan mereka tetap harmonis dengan tujuan organisasi. Ambarita dan Purba (2014:59) mengemukakan bahwa organisasi dapat dirumuskan sebagai kolektivitas orangorang yang bekerja sama secara sadar dan sengaja untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu diperlukan kepemimpinan yang efektif dalam organisasi. Kepemimpinan yang
efektif merupakan kemampuan seseorang pemimpin untuk mempengaruhi atau memotivasi anggota organisasi untuk bisa bekerja dengan baik dan benar, sehingga tujuan bisa dicapai sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Pemimpin merupakan sosok seseorang yang bijaksana, berani mengambil keputusan dan berwibawa sehingga bisa memimpin untuk mencapai tujuan bersama dalam suatu organisasi. Kepemimpinan merupakan suatu aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar supaya mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Jika seseorang telah mulai berkeinginan untuk mempengaruhi perilaku orang lain, maka kegiatan kepemimpinan itu telah dimulai. Pengaruh dan kekuasaan dari seseorang pemimpin mulai nampak relevansinya. Oleh karena itu membicarakan kepemimpinan dapat dimulai dari mana saja. Mulai dari sudut pandangan ilmu perilaku organisasi, oleh karena itu seringkali kepemimpinan dipertautkan dengan manajemen. Hal ini sesuai dengan pendapat Davis dan Newstrom (1985:152) kepemimpinan adalah bagian terpenting dari
1
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
manajemen, tetapi bukan semuanya, sebagai contoh para manajer harus merencanakan dan mengorganisasikan, tetapi peran utama pemimpin adalah mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan antuias. Pendapat yang senada juga dikemukakan Keating (Purba, 2009:152) yang menyatakan bahwa pemimpin adalah orang yang mempunyai otoritas untuk mempengaruhi orang lain dalam usaha mencapai tujuan kelompok secara sukarela. Dengan demikian, sumber dari pengaruh di dalam kepemimpinan bisa bersifat formal. Misalnya, seseorang yang menjadi pemimpin karena kedudukan yang formal atau diangkat dengan Surat Keputusan (SK). Sumber kepemimpinan dapat pula berasal dari luar struktur formal, yaitu kemampuan untuk mempengaruhi walaupun tidak berada dari struktur formal organisasi. Pemimpin dan kepemimpinan memiliki pengertian yang berbeda, pemimpin merupakan seseorang yang tugasnya memimpin, sedangkan kepemimpinan merupakan bakat dan atau sifat dan keahlian yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dalam memimpin suatu organisasi. Setiap orang mempunyai pengaruh atas pihak lain, dengan latihan dan peningkatan pengetahuan oleh pihak maka pengaruh tersebut akan bertambah dan berkembang. Kepemimpinan juga merupakan salah satu faktor yang esensial dan penentu keberhasilan organisasi. Kepemimpinan berfungsi memberikan pengaruh kepada setiap anggota organisasi agar bersedia melakukan upaya ke arah pencapaian tujuan organisasi.
BAGIAN INTI 1. Konsep Kepemimpinan yang Efektif Kepemimpinan sudah sejak lama menjadi pusat perhatian para cendekiawan, sehingga menjadi objek kajian dan bahkan telah diteliti oleh para ahli dari berbagai displin ilmu. Hal ini dilakukan karena para ahli sadar akan pentingnya pengetahuan perilaku kepemimpinan dalam melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan upaya membawa anggota organisasi dalam mencapai tujuannya. Suatu organisasi apapun bentuknya sangat memerlukan kepemimpinan yang efektif agar 16 Nurasmah
tujuan dari organisasi yang telah ditetapkan dapat terwujud dengan baik. Purba (2011:62) mengemukakan bahwa kepemimpinan diartikan sebagai proses pengaruh-mempengaruhi antar pribadi atau antar orang dalam situasi tertentu melalui proses komunikasi yang terarah untuk mencapai tujuan tertentu. Salah satu tugas pemimpin adalah menjadikan pengikut pada setiap jenjang organisasi bukan saja sebagai pengikut yang baik, namun juga pemimpin yang baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Luthans (2006:637) yang mengemukakan bahwa seseorang tidak bisa menjadi pemimpin yang hebat tanpa adanya pengikut. Menurut Robbins dan Judge (2013:402) kepemimpinan adalah suatu kemampuan mempengaruhi suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan. Dalam usaha membangun kepemimpinan disemua jenjang organisasi, yang penting bahwa pemimpin pada level atas selayaknya memperlakukan para pengikut atau calon pemimpin pada level dibawahnya tidak hanya sebagai orang-orang yang wajib menaati perintah tanpa syarat, namun juga sebagai orang-orang yang memiliki hak, kewajiban, dan martabat yang harus dihargai dan dihormati. Kepemimpinan adalah sesuatu hal yang mengarahkan kerja para anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan yang baik diyakini mampu mengikat, mengharmonisasi, serta mendorong potensi sumber daya organisasi agar dapat bersaing secara baik. Kepemimpinan berkaitan dengan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mempengaruhi orang lain, karena itu intinya adalah hubungan antar manusia. Kepemimpinan adalah pola menyeluruh dari tindakan seorang pemimpin, baik yang tampak maupun yang tidak tampak oleh bawahannya. Kepemimpinan menggambarkan kombinasi yang konsisten dari falsafah, keterampilan, sifat dan sikap yang mendasari perilaku seseorang (Rivai, 2006:64). Kepemimpinan yang menunjukkan secara langsung maupun tidak langsung tentang keyakinan seorang pimpinan terhadap kemampuan bawahannya. Yukl (2009:495) mengatakan bahwa perilaku kepemimpinan dipengaruhi oleh variabel situasional lain selain budaya nasional. Beberapa contohnya meliputi karakteristik dari
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
organisasi (misalnya: jenis organisasi, ukuran, budaya dan iklim organisasi) dan karakteristik dari posisi manajerial (misalnya tingkatan dan fungsi dari manajer, kekuasaan dan kewenangan posisi). Determinan budaya dan non budaya dari perilaku tidak selalu kongruen. Beberapa variabel situasional dapat memiliki pengaruh paralel lintas budaya nasional, tetapi variabel situasional lainnya dapat berinteraksi dengan budaya nasional dalam cara yang rumit. Saat terdapat sebuah interaksi, perbedaan lintas budaya dapat ditemukan dalam beberapa situasi tetapi tidak pada situasi lainnya, dan pengaruh dari variabel situasional dapat lebih besar dalam beberapa budaya daripada budaya lainnya. Dalam kaitannya dengan perkembangan organisasi, peranan seorang pemimpin sangat menentukan. Hoy dan Miskel (2013:400) mengatakan perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan manusia. Kedua orientasi itu perlu dipadukan dan ditingkatkan agar dapat menjalankan operasionalisasi organisasi dengan baik untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Begitu pentingnya konsep kepemimpinan ini maka berbagai jenis kegiatanpun telah dilakukan seperti latihan (training) kepemimpinan, terutama bagi individu yang berkeinginan untuk mempersiapkan diri menjadi pemimpin suatu organisasi atau lembaga. Menurut Reksohadiprojo dan Handoko (1992:54) pemimpin yang efektif adalah yang mempunyai sifat-sifat atau kualitas tertentu yang diinginkan seperti karisma, berpandangan kedepan, intensitas dan keyakinan diri. Sedangkan menurut Rivai dan Mulyadi (2010:21) menyatakan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang: (1) bersikap luwes, (2) sadar mengenai diri, kelompok dan situasi, (3) memberitahu bawahan tentang setiap persoalan dan bagaimana pemimpin pandai dan bijak menggunakan wewenangnya, (4) mahir menggunakan pengawasn umum dimana bawahan tersebut mampu dan mau mengerjakan sendiri pekerjaan harian mereka sendiri dan mampu menyelesaikan pekerjaan dalam batas waktu yang ditentukan, (5) selalu ingat masalah mendesak, maupun keefektifan jangka panjang secara individual maupun kelompok sebelum bertindak, (6) memastikan bahwa keputusan yang dibuat sesuai dan tepat
waktu baik secara individu maupun kelompok, (7) selalu mudah ditemukan bila bawahan ingin membicarakan masalah dan pemimpin menunjukkan minat dalam setiap gagasannya, (8) menepati janji yang diberikan kepada bawahan, cepat menangani keluhan dan memberikan jawaban secara sungguh-sungguh dan tidak berbelit-belit, dan (9) memberikan petunjuk dan jalan keluar tentang metode/mekanisme pekejraan dengan cukup, meningkatkan keamanan dan menghindari kesalahan seminimal mungkin. Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan yang efektif dapat memberikan pengaruh terhadap usaha-usaha semua pekerja dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi Hal ini berarti bahwa kesuksesan atau kegagalan suatu organisasi selalu dihubungkan dengan kepemimpinan. 2.
Fungsi dan Peran Pemimpin yang efektif dalam Organisasi Pendidikan Fungsi pemimpin dalam suatu organisasi merupakan sesuatu yang sangat penting bagi keberadaan dan kemajuan suatu organisasi. Dalam upaya mewujudkan kepemimpinan yang efektif, maka kepemimpinan tersebut harus dijalankan sesuai dengan fungsinya. Sehubungan dengan hal tersebut, Nawawi (1995:74) mengemukakan bahwa fungsi kepemimpinan berhubungan langsung dengan situasi sosial dalam kehidupan kelompok masing-masing yang mengisyaratkan bahwa setiap pemimpin berada didalam, bukan berada diluar situasi itu. Pemimpin harus berusaha agar menjadi bagian didalam situasi sosial keiompok atau organisasinya. Dalam sebuah organisasi, peran kepemimpinan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap terciptanya efektivitas kerja. Kemajuan yang dicapai dan kemunduran yang dialami oleh suatu instansi, sangat ditentukan oleh peranan pemimpinnya yang dapat dilihat dari gaya kepemimpinannya. Hal ini menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan mempunyai peranan yang sangat penting dalam mencapai efektivitas kerja. Jika seorang pemimpin mampu menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat dan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, maka para anggota organisasi pun akan dapat bekerja dengan nyaman dan semangat yang tinggi.
Karakteristik Perilaku Kepemimpinan yang Efektif dalam Organisasi Pendidikan
17
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
Menurut Soetopo (2010:4) fungsi kepemimpinan pendidikan yang berhubungan dengan tujuan yang hendak dicapai antara lain: 1. Fungsi kepemimpinan pendidikan yang berhubungan dengan tujuan yang hendak dicapai antara lain: (1) memikir, merumuskan dengan teliti tujuan kelompok serta menjelaskan supaya anggota-anggota selalu dapat menyadari dalam bekerja sama mencapai tujuan itu; (2) memberi dorongan kepada para anggota kelompok serta menjelaskan situasi dengan maksud untuk dapat ditemukan rencana-rencana kegiatan kepemimpinan yang dapat memberi harapan baik; (3) membantu para anggota kelompok dalam mengumpulkan keterangan-keterangan yang perlu supaya dapat mengadakan pertimbanganpertimbangan yang sehat; (4) menggunakan kesanggupan-kesanggupan dan minat khusus dari anggota kelompok; (5) memberi dorongan kepada setiap anggota untuk melahirkan peranan, pikiran dan ,memilih buah pikiran yang baik dan berguna dalam pemecahan masalah yang dihadapi oleh kelompok; dan (6) memberi kepercayaan dan menyerahkan tanggung jawab kepada anggota dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan kemampuan masingmasing demi kepentingabn bersama 2.
Fungsi kepemimpinan pendidikan yang berhubungan dengan penciptaan suasana pekerjaan yang sehat, antara lain: (1) memupuk dan memelihara kesediaan kerjasama didalam kelompok demi tercapainya tujuan bersama; (2) menanamkan dan memupuk perasaan pada anggota masing-masingmelalui penghargaan terhadap usaha-usahanya; (3) mengusahakan suatu tempat pekerjaan yang menyenangkan baik ruangan, baik fasilitas maupun situasi; dan (4) menggunakan kelebihan-kelebihan yang terdapat pada pimpinan untuk memberi sumbangan dalam kelompok menuju pencapaian tujuan bersama.
mengarahkan anggotanya ke arah pencapaian tujuan organisasi. 3.
Tipe dan Gaya Kepemimpinan Pendidikan Pada dasarnya tipe kepemimpinan ini bukan suatu hal yang mutlak untuk diterapkan, karena pada dasarnya semua jenis gaya kepemimpinan itu memiliki keunggulan masing-masing. Pada situasi atau keadaan tertentu dibutuhkan gaya kepemimpinan yang otoriter, walaupun pada umumnya gaya kepemimpinan yang demokratis lebih bermanfaat. Oleh karena itu dalam aplikasinya, tinggal bagaimana kita menyesuaikan gaya kepemimpinan yang akan diterapkan dalam organisasi sesuai dengan situasi dan kondisi yang menuntut diterapkannnya gaya kepemimpinan tertentu untuk mendapatkan manfaat. Pada umumnya para tokoh membagi 8 tipe kepemimpinan, menurut Ambarita, dkk. (2014:69) tipe-tipe kepemimpinan tersebut adalah sebagai berikut: (1) tipe kharismatik; (2) tipe paternalistis; (3) tipe militeristik; (4) tipe otokratis; (5) tipe lousser faire; (6) tipe populistis; (7) tipe administratif; dan (8) tipe demokratis. Berdasarkan pendapat tersebut, berikut akan diuraikan tentang 8 tipe kepemimpinan tersebut. 1. Tipe kepemimpinan kharismatis Tipe kepemimpinan karismatis memiliki kekuatan energi, daya tarik dan pembawaan yang luar biasa untuk mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya dan pengawalpengawal yang bisa dipercaya. Kepemimpinan kharismatik dianggap memiliki kekuatan ghaib (supernatural power) dan kemampuankemampuan yang superhuman, yang diperolehnya sebagai karunia Yang Maha Kuasa. Kepemimpinan yang kharismatik memiliki inspirasi, keberanian, dan berkeyakinan teguh pada pendirian sendiri. Totalitas kepemimpinan kharismatik memancarkan pengaruh dan daya tarik yang amat besar. 2.
Suatu organisasi membutuhkan pemimpin yang efektif, yang mempunyai kemampuan mempengaruhi perilaku anggotanynya. Jadi seorang pemimin suatu organisasi akan diakui sebagi seorang pemimpin apabila ia dapat mempunyai pengaruh dan mampu 18 Nurasmah
Tipe kepemimpinan paternalistis/ maternalistik Kepemimpinan paternalistik lebih diidentikkan dengan kepemimpinan yang kebapakan dengan sifat-sifat sebagai berikut: (a) mereka menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak/belum dewasa, atau anak sendiri
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
yang perlu dikembangkan; (b) mereka bersikap terlalu melindungi; (c) mereka jarang memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengambil keputusan sendiri; (d) mereka hampir tidak pernah memberikan kesempatan kepada bawahan untuk berinisiatif; (e) mereka memberikan atau hampir tidak pernah memberikan kesempatan pada pengikut atau bawahan untuk mengembangkan imajinasi dan daya kreativitas mereka sendiri; dan (f) selalu bersikap maha tahu dan maha benar. Sedangkan tipe kepemimpinan maternalistik tidak jauh beda dengan tipe kepemimpinan paternalistik, yang membedakan adalah dalam kepemimpinan maternalistik terdapat sikap over-protective atau terlalu melindungi yang sangat menonjol disertai kasih sayang yang berlebih lebihan. 3. Tipe kepemimpinan militeristik Tipe kepemimpinan militeristik ini sangat mirip dengan tipe kepemimpinan otoriter. Adapun sifat-sifat dari tipe kepemimpinan militeristik adalah: (a) lebih banyak menggunakan sistem perintah/komando, keras dan sangat otoriter, kaku dan seringkali kurang bijaksana; (b) menghendaki kepatuhan mutlak dari bawahan; (c) sangat menyenangi formalitas, upacara-upacara ritual dan tandatanda kebesaran yang berlebihan; (d) menuntut adanya disiplin yang keras dan kaku dari bawahannya; (e) tidak menghendaki saran, usul, sugesti, dan kritikan-kritikan dari bawahannya; dan (f) komunikasi hanya berlangsung searah. 4. Tipe kepemimpinan otokratis Kepemimpinan otokratis memiliki ciri-ciri antara lain: (a) mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan mutlak yang harus dipatuhi; (b) pemimpinnya selalu berperan sebagai pemain tunggal; (c) berambisi untuk merajai situasi; (d) setiap perintah dan kebijakan selalu ditetapkan sendiri; (e) bawahan tidak pernah diberi informasi yang mendetail tentang rencana dan tindakan yang akan dilakukan; (f) semua pujian dan kritik terhadap segenap anak buah diberikan atas pertimbangan pribadi; (g) adanya sikap eksklusivisme; (h) selalu ingin berkuasa secara absolut; (i) sikap dan prinsipnya sangat konservatif, kuno, ketat dan kaku, dan (j) pemimpin ini akan bersikap baik pada bawahan apabila mereka patuh.
5. Tipe kepemimpinan lousser faire Pada tipe kepemimpinan ini praktis pemimpin tidak memimpin, dia membiarkan kelompoknya dan setiap orang berbuat semaunya sendiri. Pemimpin tidak berpartisipasi sedikit pun dalam kegiatan kelompoknya. Semua pekerjaan dan tanggung jawab harus dilakukan oleh bawahannya sendiri. Pemimpin hanya berfungsi sebagai simbol, tidak memiliki keterampilan teknis, tidak mempunyai wibawa, tidak bisa mengontrol anak buah, tidak mampu melaksanakan koordinasi kerja, tidak mampu menciptakan suasana kerja yang kooperatif. Kedudukan sebagai pemimpin biasanya diperoleh dengan cara penyogokan, suapan atau karena sistem nepotisme. Oleh karena itu organisasi yang dipimpinnya biasanya morat marit dan kacau balau. 6. Tipe kepemimpinan populistis Kepemimpinan populis berpegang teguh pada nilai-nilai masyarakat yang tradisonal, tidak mempercayai dukungan kekuatan serta bantuan hutang luar negeri. Kepemimpinan jenis ini mengutamakan penghidupan kembali sikap nasionalisme. 7. Tipe kepemimpinan administratif Kepemimpinan tipe administratif ialah kepemimpinan yang mampu menyelenggarakan tugas-tugas administrasi secara efektif. Pemimpinnya biasanya terdiri dari teknokratteknokrat dan administratur-administratur yang mampu menggerakkan dinamika modernisasi dan pembangunan. Oleh karena itu dapat tercipta sistem administrasi dan birokrasi yang efisien dalam pemerintahan. Pada tipe kepemimpinan ini diharapkan adanya perkembangan teknis yaitu teknologi, indutri, manajemen modern dan perkembangan sosial ditengah masyarakat. 8. Tipe kepemimpinan demokratis Kepemimpinan demokratis berorientasi pada manusia dan memberikan bimbingan yang efisien kepada para pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan pada semua bawahan, dengan penekanan pada rasa tanggung jawab internal (pada diri sendiri) dan kerjasama yang baik. kekuatan kepemimpinan demokratis tidak terletak pada pemimpinnya akan tetapi terletak pada partisipasi aktif dari setiap warga kelompok. Kepemimpinan demokratis menghargai potensi setiap individu, mau mendengarkan nasehat dan sugesti bawahan.
Karakteristik Perilaku Kepemimpinan yang Efektif dalam Organisasi Pendidikan
19
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
Bersedia mengakui keahlian para spesialis dengan bidangnya masing-masing. Mampu memanfaatkan kapasitas setiap anggota seefektif mungkin pada saat-saat dan kondisi yang tepat. House (Ambarita, dkk, 2014:71) percaya bahwa pemimpin dapat menunjukkan lebih dari satu gaya kepemimpinan, dan mengidentifikasi 5 gaya kepemimpinan, yaitu: (1) gaya direktif; (2) gaya supportif; (3) gaya partisipatif; (4) gaya orientasi prestasi; dan (5) gaya pengasuh. Berdasarkan pendapat tersebut, berikut akan diuraikan tentang 5 tipe kepemimpinan tersebut. 1. Gaya direktif Gaya kepemimpinan direktif dimana pemimpin memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus diselesaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan. Karakteristik pribadi bawahan mempengaruhi gaya kepemimpinan yang efektif. Jika bawahan merasa mempunyai kemampuan yang tidak baik, kepemimpinan instrumental (direktif) akan lebih sesuai. Sebaliknya apabila bawahan merasa mempunyai kemampuan yang baik, gaya direktif akan dirasakan berlebihan, bawahan akan cenderung memusuhi. 2. Gaya supportif Gaya kepemimpinan yang menunjukkan keramahan seorang pemimpin, mudah ditemui daan menunjukkan sikap memperhatikan bawahannya. Jika manajer ingin meningkatkan kesatuan dan kekompakan kelompok digunakan gaya kepemimpinan supportif. Jika bawahan tidak memperoleh kepuasan sosial dari kelompok gaya kepemimpinan supportif menjadi begitu penting. Yukl (Ambarita, dkk, 2014:72) mengatakan apabila tugas tersebut terlalu menekan (stresfull), membosankan atau berbahaya, maka supportif akan menyebabkan meningkatnya usaha dan kepuasan bawahan dengan cara meningkatkan rasa percaya diri, mengurangi ketegangan dan meminimalisasi aspek-aspek yang tidak menyenangkan. 20 Nurasmah
Kepemimpinan gaya supportif, menggambarkan situasi dimana pegawai yang memiliki kebutuhan tinggi untuk berkembang mengerjakan tugas-tugas yang mudah, sederhana, dan rutin. Individu seperti ini mengharapkan pekerjaan sebagai sumber pemuasan kebutuhan, tetapi kebutuhan mereka tidak terpenuhi. Reaksi yang mungkin timbul adalah perasaan kecewa dan frustasi. 3. Gaya partisipatif Gaya kepemimpinan dimana mengharapkan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Apabila bawahan merasa mempunyai kemampuan yang baik, gaya kepemimpinan direktif akan dirasa berlebihan, bawahan akan cenderung memusuhi, sehingga gaya kepemimpinan partisipatif lebih sesuai. Jika bawahan mempunyai locus of control yang tinggi, ia merasa jalan hidupnya lebih banyak dikendalikan oleh dirinya bukan oleh faktor luar seperti takdir, gaya kepemimpinan yang partisipatif lebih sesuai. 4. Gaya orientasi prestasi Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam pencapaian tujuan tersebut. Yukl (Ambarita, dkk, 2014:74) menyatakan bahwa tingkah laku individu didorong oleh need for achievement atau kebutuhan untuk berprestasi. Kepemimpinan yang berorientasi kepada prestasi (achievement) dihipotesakan akan meningkatkan usaha dan kepuasan bila pekerjaan tersebut tidak tersetruktur (misalnya kompleks dan tidak diulang-ulang) dengan meningkatkan rasa percaya diri dan harapan akan menyelesaikan sebuah tugas dan tujuan yang menantang. Kepuasan kerja lebih tinggi diperoleh apabila telah melaksanakan prestasi kerja yang baik. 5. Gaya pengasuh Pada kepemimpinan gaya pengasuh, sikap yang mungkin tepat adalah campur tangan minim dari pimpinan. Dimana pemimpin hanya memantau kinerja tetapi tidak mengawasi pegawai secara aktif. Tidak dibutuhkan banyak interaksi antara pimpinan dengan pegawai sepanjang kinerja pegawai tidak menurun. Pimpinan merasa lebih tepat
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
untuk tidak campur tangan dengan tugas-tugas pegawai. 4. Syarat-syarat Pemimpin yang Efektif Konsepsi mengenai persyaratan kepemimpinan selalu berkaitan dengan 3 hal yaitu: (1) kekuasaan, merupakan kekuatan, otoritas dan legalitas yang memberikan wewenang kepada pemimpin guna mempengaruhi dan menggerakkan bawahan untuk berbuat sesuatu; (2) kewibawaan, merupakan kelebihan, keunggulan, keutamaan sehingga orang mampu mengatur orang lain, sehingga orang tersebut patuh pada pemimpin dan tersedia melakukan perbuatan-perbuatan tertentu; dan (3) Kemampuan, yaitu segala daya, kesanggupan, kekuatan dan kecakapan atau ketrampilan teknis maupun sosial, yang dianggap melebihidan kemampuan anggota biasa. Stoqdill (Ambarita, dkk, 2014:76) menyatakan bahwa pemimpin itu harus memiliki beberapa kelebihan yaitu: kapasitas, pretasi, tanggung jawab, partisipasi, dan status. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan dan syarat sebagai berikut: kemandirian, besar rasa ingin tahu, multi terampil atau memiliki kepandaian beraneka ragam, memiliki rasa humor, antusiasme tinggi, suka berkawan, selalu ingin mendapatkan yang sempurna, mudah menyesaikan diri (beradaptasi), sabar dan ulet, komunikatif serta pandai berbicara, berjiwa wiraswasta, sehat jasmaninya, dinamis, sanggup dan berani mengambil resiko, tajam firasatnya dan adil pertimbangannya, berpengetahuan luas dan haus akan ilmu pengetahuan, memiliki motivasi tinggi, dan punya imajinasi tinggi Berdasarkan beberapa kelebihan yang telah dikemukakan, dapat diambil kesimpulan bahwa seorang pemimpin itu harus memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan anggota-anggotanya. Dengan kelebihankelebihan tersebut dia bisa berwibawa dan dipatuhi oleh bawahannya dan yang paling lebih utama adalah kelebihan moral dan akhlak. Setiap pemimpin sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat sebagaimana dikemukakan Burton, dkk (Ambarita, dkk, 2014:77) yaitu: (1) memiliki persepsi sosial (social perception), persepsi sosial ialah kecakapan untuk cepat melihat dan memahami
perasaan, sikap, dan kebutuhan anggota kelompok; (2) kemampuan berpikir abstrak (ability in abstract thinking), kemampuan berabstraksi dibutuhkan oleh seorang pemimpin untuk dapat menafsirkan kecenderungan-kecenderungan kegiatan, baik di dalam maupun di luar kelompok, dalam kaitannya dengan tujuan kelompok. Kemampuan tersebut memerlukan taraf intelegensia yang tinggi pada seorang pemimpin; dan (3) keseimbangan emosional (emotional stability), pada diri seorang pemimpin harus terdapat kematangan emosional yang berdasarkan kesadaran yang mendalam akan kebutuhan, keinginan, cita-cita dan suasana hati, serta pengintegrasian kesemua hal tersebut ke dalam suatu kepribadian yang harmonis sehingga seorang pemimpin dapat turut merasakan keinginan dan cita-cita anggota kelompoknya. Untuk menjadi seorang pemimpin diperlukan sifat-sifat kepemimpinan di mana seorang pemimpin harus mempunyai energi dan jasmani yang sehat serta mampu melihat organisasi secara keseluruhan sehingga apa yang dibutuhkan oleh organisasi dapat terlihat oleh pemimpin dengan demikian tujuan organisasi dapat tercapai. Faktor keberhasilan sorang pemimpin dalam memimpin organisasinya tidak hanya dia mampu mengerahkan bawahannya tetapi pemimpin tersebut harus lebih mempunyai sikap bijaksana, mahir dalam manajemen, mempunyai jiwa sosial yang tinggi serta mempunyai kecakapan, dengan demikian pemimpin akan berhasil membawa kemajuan untuk organisasinya. Tanpa itu semua pemimpin tidak akan dapat membuat kemajuan untuk organisasinya. KESIMPULAN Kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi orang, baik individu maupun kelompok. Seorang pemimpin adalah seseorang yang aktif membuat rencanarencana, mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama. Karakteristik seorang pemimpin didasarkan pada prinsipprinsip belajar seumur hidup, berorientasi pada pelayanan dan membawa energi positif. Tujuan manajemen dapat tercapai bila organisasi memiliki memiliki pemimpin yang handal.
Karakteristik Perilaku Kepemimpinan yang Efektif dalam Organisasi Pendidikan
21
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
Perilaku-perilaku pemimpin dalam proses memberikan pengaruh, dapat menimbulkan motivasi untuk berprestasi bagi anggota organisasi yang akhirnya berdampak pada kinerja. Apabila perilaku-perilaku yang ditunjukkan dipersepsi positif oleh anggota organisasi, maka akan menimbulkan sikap positif pada anggota organisasi. Organisasi yang berhasil memiliki satu sifat umum yang menyebabkan organisasi tersebut dapat dibedakan dengan organisasi yang tidak berhasil. Sifat dan ciri umum tersebut adalah perilaku kepemimpinan yang efektif.
Reksohadiprojo, Sukanto dan T. Hani Handoko. 1992. Organisasi Perusahaaan: Teori Structure dan Perilakiu. Edisi kedua. Yokyakarta: BPFE.
DAFTAR PUSTAKA
Robbins, P Stephen dan Timothy A. Judge. 2013. Organizational Behavior Fifteenth Edition. England: Pearson.
Ambarita,
Biner. dkk. 2014. Perilaku Organisasi. Bandung: Alfabeta.
Ambarita, Biner dan Sukarman Purba. 2014. Perilaku dan Konflik dalam Organisasi. Medan: Universitas Negeri Medan. Davis, Keith dan John W. Newstrom. 1985. Perilaku dalam Organisasi Edisi Ketujuh Jilid 1, terj. Agus Dharma, Jakarta: Erlangga. Hoy, Wayne K. dan Cecil G. Miskel. 2013. Educational Administration: Theory, Research, and Practice. New York: Random House, Inc. Luthans, Fred. 2006. Perilaku Organisasi Edisi 10. terj. Vivin Andhika Yuwono. dkk, Yogyakarta: Andi. Nawawi,
Hadari. 1995. Kepemimpinan Mengefektifkan OrganisasiI. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Purba,
Sukarman. 2011. “Strategi Pengembangan Modal Intelektual dalam Meningkatkan Kualitas Kepemimpinan”. Jurnal Generasi Kampus 4, (2), 56-66. . 2009. “Pengaruh Budaya Organisasi, Modal Intelektual, dan Perilaku Inovatif terhadap Kinerja Pemimpin Jurusan di Universitas Negeri Medan”, Jurnal Kinerja 13, (2), 150-167.
22 Nurasmah
Rivai, Veithzal. 2006. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Rivai, Veithzal dan Deddy Mulyadi. 2010. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Edisi Ketiga. Jakarta: Raja Grafinso Perkasa
Soetopo, Hendayat. 2010. Perilaku Organisasi: Teori dan Praktik di Bidang Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset. Yukl, Gary. 2009. Kepemimpinan dalam Organisasi. Edisi Kelima. Jakarta: Indeks.
Jurnal Serambi Edukasi│Vol.3 No.2 (2015): 23 – 28
ISSN 2338-9397
PEMBANGUNAN MORALITAS BANGSA INDONESIA DI ERA GLOBAL Maimun Dosen Ilmu Politik pada Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) FKIP dan Program Studi Politik FISIP Universitas Syiah Kuala e-mail:
[email protected]
Abstrak Globalisasi sebagai konsekuensi logis yang harus diterima oleh bangsa-bangsa di dunia saat ini, dimana faktor penyebab utamanya adalah pesatnya perkembangan peradaban komunikasi dalam sepuluh tahun terakhir. Globalisasi menawarkan berbagai hal yang baru sebagai upaya untuk mewujudkan tatanan dunia yang universal. Namun, globalisasi tidak hanya menawakan konsep positif dalam percaturannya, akan tetapi juga menawarkan aspek negatif dan bahkan menjadi tantangan tersendiri bagi sebagian bangsa. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan tantangan dan peluang yang dihadapi oleh suatu bangsa di era global dalam upaya membangun moralitas bangsa, baik tantangan yang terdapat dalam internal maupun eksternal. Tantangan internal berupa prinsip-prinsip lokal yang hidup dan berkembang dalam suatu masyarakat yang berbeda dengan prinsip-prinsip yang ditawarkan oleh globalisasi, sedangkan tantangan dari segi eskternal yaitu adanya pola komunikasi dan arus informasi yang terlalu cepat berkembang serta tuntutan akan daya saing yang kuat, sehingga menyebabkan lunturnya nilai-nilai lokal dan bahkan nasional yang seyogiayanya sebagai karakter atau ciri khas dari suatu bangsa. Kata kunci: Moralitas Bangsa, Globalisasi
PENDAHULUAN Globaslisasi ditandai dengan adanya teknologi modern yang telah memungkinkan terciptanya komunikasi yang intens serta bebas lintas benua, lintas negara, dan bahkan menerobos ke berbagai pelosok perkampungan, melalui media yang ada, baik media elektronik maupun media cetak. Fenomena akhir-akhir ini dapat diamati secara seksama bagaimana suatu bangsa telah berada pada posisi yang delematis. Disatu sisi harus berhadapan dengan arus globalisasi yang semakin pesat, sedangkan disisi lain harus mempertahankan karakternya sebagai bangsa yang moralitasnya itu didasari pada tatanan norma-norma yang telah ada sejak dulu hingga kini. Salah satu tujuan globalisasi yang disampaikan oleh Azyumardi (1999), yaitu untuk “mewujudkan masyarakat dunia kepada tatanan yang universal, tanpa batas agama,
suku, ras dan bahkan golongan”. Sedangkan kalau kita perhatikan bahwa perbedaan prinsipil umat manusia yang didasarkan pada agama dan bahkan kebudayaan itu melekat dalam setiap aspek kehidupan masyarakat, sehingga sulit untuk mewujudkan masyarakat dunia kepada tatanan universal dengan patokan pada tatanan nilai yang ditawarkan. Asumsi ini didasari pada fakta-fakta empiris yang ada, yaitu: pertama, fakta ideologi, bahwa Indonesia sebagai salah satu bangsa dengan peradaban ketimuran berpegang pada prinsip ideologi kelompok (social comunal), sedangkan dalam peradaban barat mengenal ideologi liberal dengan menitik-beratkan pada kemerdekaan secara individual. kedua, fakta nilai, bahwa ukuran nilai dalam masyarakat timur (termasuk Indonesia) didasari pada tatanan norma yang ada, dalam hal ini norma agama, norma sosial-adat istiadat dan bahwa norma hokum (sebagai konsensus nasional).
1
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
Tatanan nilai tersebut mengatur tentang ukuran baik buruk yang harus dipegang sebagai prinsip dalam kehidupan masyarakat timur. Sedangkan fakta dalam masyarakat barat bahwa tatanan nilai tidak didasari pada prinsip consensus yang lebih spesifik, sehingga nilainilai yang berkembang dalam masyarakat barat adalah nilai yang sifatnya universal dengan tidak dibatasi pada aturan dan norma sosial yang hidup secara khusus, tetapi nilai yang dikembangkan lebih kepada ukuran logika materialisme sebagai anutannya. Dua alasan atas fakta di atas menjadi hal terpenting untuk dipelajari lebih lanjut, agar moralitas suatu bangsa akan tetap dapat hidup dan berkembang dengan didukung oleh toleransi yang positif. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang tantangan dan peluang dalam upaya membangun moralitas bangsa Idonesia di Era globalisasi.
KONSEP LISASI
MORAL
DAN
GLOBA-
1. Moralitas Moralitas sebagai suatu terma yang menjadi kajian dan terma yang terus diupayakan agar dapat dibangun melalui proses pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal. Aspek moral menjadi perhatian utama dalam sistem pendidikan di Indonesia, sebagaimana tujuan pendidikan yang terdapat dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003, bahwa tujuan pendidikan nasional yaitu “untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara”. Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk, dalam hal ini Syahidin (2009) mengungkapkan bahwa
24 Maimun
“moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu, maka tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi”. Lebih lanjut Syahidin menyatakan bahwa moral sebagai nilai absolut yang terdapat dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh”. Oleh karena itu bahwa penilaian terhadap moral dapat diukur dari kebudayaan masyarakat setempat. Moral juga sebagai tingkah laku atau perbuatan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa moral sebagai produk dari budaya dan agama, dalam hal ini Azyumardi (1999) mengatakan bahwa “setiap budaya memiliki standar moral yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama. Dalam hal ini moral dapat diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati, serta nasihat”. Atas dasar dua pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan moralitas melalui pendidikan merupakan usaha yang dilakukan secara terencana untuk mengubah sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan peserta didik agar mampu berinteraksi dengan lingkungan masyarakatnya sesuai dengan nilai moral dan kebudayaan masyarakat setempat. 2. Globalisasi Globalisasi sebagai suatu proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan memengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara. Dalam hal ini Azyumardi (1999) mengatakan bahwa “globalisasi memengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat”.
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
Selanjutnya Zainur (2011) mengatakan bahwa“globalisasi sebagai suatu era atau jaman yang ditandai dengan perubahan tatanan kehidupan masyarakat di dunia”. Selanjutnya globalisasi menurut afandi Kusuma (Ikhsan, 2009) yaitu “proses penyebaran unsur-unsur baru khususnya yang menyangkut informasi secara mendunia melalui media cetak dan elektronik”. Globalisasi berarti pula suatu suatu tindakan atau proses menjadikan sesuatu mendunia (universal), baik dalam lingkup maupun aplikasinya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa globalisasi adalah suatu proses atau tindakan yang menjadikan sikap universal atau tatanan kehidupan manusia yang universal dan tanpa batas. Globalisasi ini mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Mulai dari ekonomi, ideologi, politik, sampai teknologi. Pada dasarnya merupakan fenomena yang pasti terjadi. Hal ini disebabkan karena konsekuensi dari kemajuan jaman dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Manusia dituntut untuk saling berhubungan dan menciptakan hal-hal yang baru, sehingga nantinya bisa membuat manusia itu bertahan hidup (Hendrowibowo, 2007). Oleh karena itu merupakan kemustahilan untuk menghentikan arus globalisasi atau menghambatnya. Menghentikan arus globalisasi sama saja membunuh hasrat kreatifitas manusia dan kodrat manusia yang selalu ingin menciptakan hal yang baru. Namun, bukan berarti kita harus mengikuti arus globalisasi itu secara “mentah”. Kita harus mampu memilih mana dampak positif dan dampak negatif dari globalisasi tersebut.
PEMBAHASAN Globalisasi memiliki sisi positif dan negatif terhadap pembangunan moralitas suatu bangsa. Disatu sisi, arus globalisasi merupakan harapan yang akan memberikan berbagai kemudahan bagi kehidupan manusia. Namun di sisi yang lain, globalisasi juga memberikan dampak yang sangat merugikan. Dengan perkembangan sektor teknologi dan informasi, manusia tidak lagi harus menunggu waktu, untuk bisa mengakses berbagai informasi dari
seluruh belahan dunia, bahkan yang paling pelosok sekalipun. Kondisi ini menjadikan tidak adanya sekat serta batas yang mampu untuk menghalangi proses transformasi kebudayaan. John Neisbitt (Azyumardi, 1999), menyebutkan kondisi seperti ini sebagai “gaya hidup global”, yang ditandai dengan berbaurnya budaya antar bangsa, seperti terbangunnya tatacara hidup yang hampir sama, kegemaran yang sama, serta kecenderungan yang sama pula, baik dalam hal makanan, pakaian, hiburan dan setiap aspek kehidupan manusia lainnya. Kenyataan semacam ini, akan membawa implikasi pada hilangnya kepribadian asli (Karakter) suatu bangsa, yang “terpoles” oleh budaya yang cenderung lebih berkuasa. Dalam konteks ini, kebudayaan barat yang telah melangkah jauh dalam bidang industri serta teknologi informasi, menjadi satu-satunya pilihan, sebagai standar modernisasi, yang akan diikuti dan dijadikan kiblat oleh setiap individu. Globalisasi menyebabkan perubahan sosial dan memunculkan nilai-nilai yang bersifat pragmatis, materialistis dan individualistik. Tidak terkecuali, bagi masyarakat Indonesia yang telah memiliki budaya lokal, terpaksa harus menjadikan budaya universal yang dipromosikan oleh kalangan barat sebagai ukuran gaya hidupnya, untuk bisa disebut sebagai masyarakat modern. Disamping itu, sebagai bangsa yang berpenduduk mayoritas muslim, yang telah memiliki acuan suci, yakni Al-Qurán dan hadist, masyarakat Indonesia juga telah menggantikan budaya Islam yang telah mampu mengangkat martabat serta derajat masyarakat jahiliyah Arab dengan budaya yang ditawarkan oleh kalangan barat, yang juga merupakan produk revolusi industri. Dengan kebebasan individu dalam faham barat, telah menjadikan masyarakat muslim melepaskan kontrolnya dari kepercayaan moralitas serta spiritualitas (agama). Berbagai perilaku destruktif, seperti alkohol, seks bebas, aborsi sebagai penyakit sosial yang harus diperangi secara bersama-sama. Sehingga kenyataan ini menjadikan banyak orang yang
Pembangunan Moralitas Bangsa Indonesia di Era Global
25
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
tidak lagi mempercayai kemampuan pemerintah, untuk menurunkan angka kriminalitas serta berbagai penyakit sosial lainnya. Gambaran diatas, terlepas dari mana yang paling signifikan, namun kenyatan tersebut, telah menjadikan pendidikan moral serta agama sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi penyakit serta krisis sosial yang ada ditengah masyarakat. Dalam kontek Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), runtuhnya nilai moralitas serta norma agama dikalangan masyarakat dan para pemimpin bangsa, sebenarnya sangat pantas untuk kita kemukakan kepermukaan, dalam upaya menemukan solusi bagi penyelesaian krisis multidimensional ini. Karena ketidak mampuan bangsa ini bangkit dari keterpurukan, lebih diakibatkan oleh kurangnya kebersamaan serta rasa saling menang dan meraih keuntungan sendiri, diantara setiap elemen bangsa. Kesadaran dari masing-masing individu serta kelompok akan kemaslahatan bersama-lah, yang akan menjadi solusi paling tepat bagi upaya penyembuhan penyakit sosial yang ada. Dengan demikian, pendidikan moral dan agama, menjadi sangat mutlak bagi terbangunnya tata kehidupan masyarakat yang damai, adil makmur dan bermartabat. Terlebih lagi, dalam konteks kehidupan global yang semakin transparan dan penuh kompetisi, moralitas merupakan benteng agar setiap individu tidak terjerumus dalam prakti kesewenag-wenangan dan ketidak adilan. Oleh karena itu, moral bukan saja bersifat personal, seperti jujur, adil dan bertanggungjawab, akan tetapi juga berdimensi publik, yakni terciptanya etika kolektif, serta kehidupan sosial yang santun. Dengan etika kolektif inilah, akan terbangun etika organisasi yang mengharuskan setiap individu untuk berjalan bersama, menurut landasan etika kolektif tersebut. Namun demikian, pada dasarnya etika publik ini terbentuk dari etika individu, sehingga tidak mungkin akan tercipta etika publik, tanpa adanya kesadaran masingmasing pribadi akan nilai moralitas.
26 Maimun
Pendidikan moral merupakan pedoman sangat penting bagi proses belajar mengajar sebagai salah satu antisipasi agar anak-anak didik kita terhindar hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ada. Dikatakan, dengan kuatnya pendidikan moral, akan menciptakan generasi yang bermoral dan berkualitas. Pendidikan moral merupakan pendidikan nilainilai luhur yang berakar dari agama, adatistiadat dan budaya bangsa Indonesia dalam rangka mengembangkan kepribadian supaya menjadi manusia yang baik. Secara umum, ruang lingkup pendidikan moral adalah penanaman dan pengembangan nilai, sikap dan perilaku sesuai nilai-nilai budi pekerti luhur sebagaimana yang termaktum dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di antara nilai-nilai yang perlu ditanamkan adalah sopan santun, berdisiplin, berhati lapang, berhati lembut, beriman dan bertakwa, berkemauan keras, bersahaja, bertanggung jawab, bertenggang rasa, jujur, mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai ilmu, menghargai karya orang lain, rasa kasih sayang, rasa malu, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, semangat kebersamaan, setia, sportif, taat asas, takut bersalah, tawakal, tegas, tekun, tepat janji, terbuka, dan ulet. Jika anggota masyarakat telah memiliki karakter dengan seperangkat nilai budi pekerti tersebut, diyakini ia telah menjadi manusia yang baik. Dalam hal ini Elmubarok (2009) berkeyakinan bahwa sentral pendidikan nilai adalah keluarga dan lembaga pendidikan. Menurutnya, keluarga dan lembaga pendidikan adalah satu-satunya sistem sosial yang diterima di semua masyarakat, baik yang agamis maupun yang non-agamis. Sebagai lembaga dalam masyarakat, keluarga dan lembaga pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan sosial umat manusia. Para pakar meyakini bahwa keluarga adalah lingkungan pertama dimana jiwa dan raga anak akan mengalami pertumbuhan dan kesempurnaan. Untuk itulah keluarga memainkan peran yang amat mendasar dalam menciptakan kesehatan kepribadian anak dan
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
remaja. Tentu saja status sosial dan ekonomi keluarga di tengah masyarakat berpengaruh pada pola berpikir dan kebiasaan anak (Budi 2007). Dengan demikian, berdasarkan bentuk dan cara interaksi keluarga dan masyarakat, anak akan memperoleh suasana kehidupan yang lebih baik, atau sebaliknya, akan memperoleh efek yang buruk darinya. Tantangan yang akan menghadang dalam upaya menanggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti dalam era globali antara lain sebagai berikut: 1. Arus globalisasi dengan teknologinya yang berkembang pesat merupakan tantangan tersendiri dimana informasi baik positif maupun negatif dapat langsung diakses oleh siapapun. Jika tanpa adanya bekal moralitas yang maka hal itu akan berdampak negatif jika tidak di saring dengan benar. 2. Pola hidup dan perilaku yang telah bergeser sedemikian serempaknya di tengah-tengah masyarakat juga merupakan tantangan yang tidak dapat diabaikan. 3. Moral para birokrat yang memang suda amat melekat seperti “koruptor”, curang, tidak peduli dengan kesusahan orang lain, dan lain-lain ikut menjadi tantangan tersendiri karena bila mengeluarkan kebijakan, diragukan ketulusan dan keseriusan diimplementasikan secara benar. 4. Kurikulum sekolah mengenai dimasukannya materi moral dan budi pekerti ke dalam setiap mata pelajaran juga cukup sulit. Ini terjadi karena ternyata tidak semua guru dapat mengaplikasikan model integrated learning tersebut ke dalam mata pelajaran lain yang sedang diajarkannya atau yang diampunya. 5. Kondisi ekonomi Indonesia juga menjadi tantangan yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Karena bagaimanapun, setiap ada kebijakan pasti memerlukan dana yang tidak sedikit
PENUTUP Arus globalisasi sebagai konsekuensi yang harus dihadapi oleh semua manusia di dunia, namun demikian, bukan berarti tatanan nilai yang ditawarkan oleh globalisasi ini dapat diadopsi secara serta merta, akan tetapi berdasarkan seleksi tertentu agar moralitas bangsa dapat tumbuh berdasarkan norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia dan ciri khas (karakter bangsa juga dapat dilestarikan). Oleh karena itu, atas dasar inilah penulis menyarankan solusi sebagai exit strategy untuk menaggulangi masalah moralitas bangsa kita, diantara lain adalah menerapkan pendidikan karakter di setiap jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pada pendidikan tinggi. Dengan penerapan pendidikan karakter, maka karakter dari peserta didik akan terbentuk sejak mereka berada di bangku sekolah dasar, kemudian dilanjutkan pada sekolah menengah dan perguruan tinggi. Dengan terbentuknya karakter tersebut, maka akan menjadi perisai atau kontrol dalam diri seseorang, sehingga akan mengendalikan perilaku orang tersebut. Intinya adalah, jika karakter sudah terbentuk, maka akan sulit untuk mengubah karakter tersebut. Dengan menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam setiap proses pendidikan, akan membantu proses pembentukan karakter dari peserta didik yang bermoral dan bermartabat. Dengan terbentuknya karakter tersebut juga, maka karakter tersebut akan sulit hilang sehingga akan menjadi watak perilaku seseorang dalam menjalani masa yang akan datang. Penerapan pendidikan karakter dalam sistem kurikulum pendidikan dapat dilaksanakan dengan cara: 1. Menyisipkan nilai–nilai moral di setiap proses belajar mengajar 2. Membentuk kelas motivasi (motivation class), yang dalam hal ini lebih menekankan pada penggugahan motivasi internal peserta didik 3. Menambah mata pelajaran tentang pendidikan moral, dan peserta didik
Pembangunan Moralitas Bangsa Indonesia di Era Global
27
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
dipersyaratkan lulus mata pelajaran tersebut 4. Mata pelajaran yang substansinya sudah mengandung nilai-nilai moral hendaknya lebih aplikatif, tidak hanya text book semata 5. Menyeimbangkan porsi antara materi belajar akal (cerdas) dan hati (moral). Dalam hal ini guru, Departemen Pendidikan Nasional, dan masyarakat pemerhati pendidikan untuk bersama-sama mengupayakan penerapan pendidikan karakter ke dalam sistem kurikulum pendidikan.
REFERENSI Azyumardi, Azra.1999. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Mellenium Baru. Jakarta:Logos Wacana Ilmu. Ikhsan, Muh. 2009. Islam dan Globalisasi Terhadap Krisis Identitas Muslim. Jakarta : mizan Syahidin, dkk. 2009. Moral dan Kognisi Islam. Bandung: Alfabeta. Zainur Roziqin. 2007. Moral Pendidikan di Era Global. Jakarta: Averroes Press. Toufiqoh, Romi. 2007. Pentingnya Pendidikan Moral. Yogyakarta: FBS, UNY. Hendrowibowo. 2007. Pendidikan Moral. Majalah Dinamika. FIP, UNY. Istanto, Budi. 2007. Pentingnya Pendidikan Moral Bagi Generasi Penerus. Yogyakarta: FIP. UNY.
28 Maimun
Jurnal Serambi Edukasi│Vol.3 No.2 (2015): 29 – 34
ISSN 2338-9397
KOMPETENSI PROFESIONAL GURU DALAM MENGINTEGRASIKAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH Siraj Mahasiswa Program Doktor Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Medan e-mail:
[email protected]
Abstrak Kompetensi profesional guru dalam mengintegrasikan pendidikan karakter pada proses pembelajaran diharapkan mampu mengemban amanah dalam mendidik peserta didik yang berakhlak mulia. Proses belajar mengajar yang dilakukan guru di dalam kelas harus mencerminkan pendidikan karakter, sehingga peserta didik memiliki pengembangan sikap dan kepribadiannya dalam hidup bermasyarakat. Pendidikan karakter merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri kita melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan dan pengaruh lingkungan, menjadi nilai intrinsik yang melandasi sikap dan perilaku. Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran dilaksanakan dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Pendidikan karakter yang dilaksanakan adalah dalam rangka transformasi dan pembudayaan nilai-nilai moral dasar. Tiga pilar utama yang sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter seseorang, yaitu pendidikan di lingkungan keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Pendidikan karakter lebih menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Kata kunci: Kompetensi Profesional Guru, Pendidikan Karakter.
PENDAHULUAN Salah satu tujuan utama pembangunan manusia Indonesia adalah pengembangan sumber daya manusia yang bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dengan memiliki kemampuan ilmu pengetahuan dan penguasaan teknologi. Pengembangan sumber daya manusia dapat dicapai melalui program pendidikan secara formal. Hal ini dikarenakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pelaksanaan pendidikan yang melibatkan berbagai komponen dalam suatu sistem diharapkan akan melahirkan generasi-generasi yang tumbuh dengan bekal karakter yang baik, ilmu pengetahuan serta keterampilan sebagai corak pengembangan suatu bangsa dan negara dimasa yang akan datang. Peningkatan mutu
pembelajaran di sekolah merupakan salah satu pondasi dalam menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berkarakter. Guru merupakan salah satu komponen dalam pendidikan yang bertanggungjawab terhadap keberhasilan peningkatan mutu pembelajaran di sekolah. Menurut Purba (2009) peningkatan mutu pendidikan, pada setiap jenis, jenjang dan jalur pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang mendesak agar menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu dan mampu menghadapi tantangan pada era global. Seorang guru harus memiliki komitmen yang kuat dalam melaksanakan proses pembelajaran secara utuh yang berpusat pada perkembangan sikap, kepribadian, potensi dan kebutuhan peserta didik. Proses pembelajaran melibatkan guru mulai dari penyusunan materi, penerapan metode, pendekatan, strategi serta model pembelajaran, penyampaian materi pembelajaran, bimbingan belajar, dan evaluasi hasil. Guru yang kompeten adalah guru yang memiliki kemampuan dalam menyelenggarakan pembelajaran dan kemampuan memecahkan berbagai masalah dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
1
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
Musfah (2011:29) mengemukakan kompetensi guru merupakan perpaduan antara kemampuan personal, keilmuan, teknologi, sosial dan spiritual yang secara kaffah membentuk kompetensi standar profesi guru, yang mencakup penguasaan materi, pemahaman terhadap peserta didik, pembelajaran yang mendidik, pengembangan diri dan profesionalitas. Permasalahan yang dihadapi adalah untuk menjadi guru yang professional yang dapat mengitegrasikan pendidikan karakter dalam pembelajaran tidak mudah. Guru diharapkan bukan cuma sekedar bisa mengajar di dalam kelas, akan tetapi seorang guru juga harus bisa mendidik dengan karakter yang baik. Guru bukan hanya menstransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik, akan tetapi juga mampu menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter yang diperlukan peserta didik untuk diaplikasikan dalam hidup bermasyarakat. Menjadi guru yang cerdas bukan cuma memiliki kemampuan intelektual dan titel pendidikan yang tinggi, akan tetapi guru harus memiliki kemampuan emosi, spiritual serta karakter yang baik sehingga guru mampu menggerakkan hati para peserta didik untuk belajar dengan penuh keyakinan dan rasa tanggungjawab. Kompetensi profesional guru dalam proses pembelajaran yang berkarakter diharapkan mampu mengemban amanah dalam mendidik peserta didiknya. Guru harus memiliki kompetensi profesional yang harus melekat pada dirinya. Guru harus menanamkan nilainilai keamanahan, keteladanan, dan mampu melakukan pendekatan pedagogik serta mampu berpikir dan bertindak cerdas dalam pembentukkan karakter siswa.
BAGIAN INTI Kompetensi guru dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang harus dilakukan oleh guru dalam melaksanakan profesinya. Hal tersebut baik berupa kegiatan, perilaku maupun hasil yang ditunjukkan dalam proses belajar mengajar. Guru yang profesional merupakan salah satu tumpuan bagi negara untuk meningkatkan mutu pendidikan. Guru yang profesional dan berkualitas akan menghasilkan peserta didik yang berhasil
30 Siraj
dalam proses pembelajaran dan pembentukan karakter. 1. Kompetensi Profesional Guru Kompetensi merupakan seperangkat ilmu serta ketrampilan mengajar guru di dalam menjalankan tugas profesionalnya sebagai seorang guru sehingga tujuan dari pendidikan bisa dicapai dengan baik. Efektivitas dan efisiensi belajar individu di sekolah sangat bergantung kepada peran guru. Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Suyanto dan Djihad (2013) mengemukakan kompetensi merupakan deskripsi tentang apa yang dapat dilakukan seseorang dalam bekerja, serta apa wujud dari pekerjaan tersebut yang dapat terlihat. Kompetensi profesional merupakan salah satu unsur yang harus dimiliki oleh guru yaitu dengan cara menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam. Menurut Suprihatiningrum (2013115) kompetensi profesional merupakan kemampuan yang berkaitan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan subtansi keilmuan yang menaungi materi kurikulum tersebut, serta menambah wawasan keilmuan sabagai guru. Guru mempunyai tugas untuk mengarahkan kegiatan belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut guru dituntut untuk mampu menyampaikan bahan pelajaran secara efektif dan efesien. Menurut Dharma (2008:7) kompetensi profesional yaitu kemampuan yang harus dimiliki guru berkenaan dengan aspek-aspek sebagai berikut: (1) dalam menyampaikan pembelajaran, guru mempunyai peranan dan tugas sebagai sumber materi yang tidak pernah kering dalam mengelola proses pembelajaran; (2) dalam melaksanakan proses pembelajaran, keaktifan siswa harus selalu diciptakan dan berjalan terus dengan menggunakan metode dan strategi mengajar yang tepat; (3) dalam pelaksanaan proses pembelajaran, guru harus memperhatikan prinsip-prinsip didaktik metodik sebagai ilmu keguruan; dan (4) dalam hal evaluasi, secara teori dan praktik, guru
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
harus dapat melaksanakan sesuai dengan tujuan yang ingin diukurnya. Pada kegiatan menyampaikan pembelajaran, guru mempunyai peranan dan tugas sebagai sumber materi dalam mengelola proses pembelajaran. Kegiatan mengajarnya harus disambut oleh peserta didik sebagai suatu seni pengelolaan proses pembelajaran yang diperoleh melalui latihan, pengalaman, dan kemauan belajar yang tidak pernah putus. Keaktifan peserta didik harus selalu diciptakan dan berjalan terus dengan menggunakan metode, strategi, pendekatan dan model pembelajaran yang tepat. Guru menciptakan suasana yang dapat mendorong peserta didik untuk bertanya, mengamati, mengadakan eksperimen, serta menemukan fakta dan konsep yang benar. Oleh karena itu guru harus melakukan kegiatan pembelajaran menggunakan multimedia, sehingga terjadi suasana belajar sambil bekerja, belajar sambil mendengar, dan belajar sambil bermain, sesuai konteks materinya. Pada pelaksanaan proses pembelajaran, guru harus memperhatikan prinsip-prinsip didaktik metodik sebagai ilmu keguruan. Guru menerapkan prinsip apersepsi, perhatian, kerja kelompok, korelasi dan prinsip-prinsip lainnya. Guru harus dapat melaksanakan evaluasi sesuai dengan tujuan yang telah pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Suyanto dan Djihad (2013:94) mengemukakan peran guru khususnya dalam proses pembelajaran di dalam kelas adalah sebagai berikut: “(1) Guru sebagai sumber belajar; (2) fasilitator; (3) pengelola pembelajaran; (4) demonstrator; (5) pembimbing; (6) motivator; dan (7) evaluator. Peran guruvsebagai sumber belajar berkaitan erat dengan penguasaan materi pelajaran. Kriteia guru yang baik adalah guru dapat menguasai materi pelajaran dengan baik, sehingga benar-benar guru berperan sebagai sumber belajar bagi anak didiknya. Sebagai fasilitator guru dituntut agar memiliki kemampuan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan siswa. Hal ini sangat penting, kemampuan berkomunikasi secara efektif dapat memudahkan siswa menangkap pesan sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar mereka. Guru sebagai pengelola pembelajaran berperan dalam menciptakan iklim belajar yang
memungkinkan siswa dapat belajar secara nyaman. Melalui pengelolaan kelas yang baik guru dapat menjaga kelas agar tetap kondusif untuk terjadinya proses belajar seluruh siswa. Sebagai demonstrator guru harus dapat menujukkan bagaimana caranya agar setiap materi pelajaran dapat lebih dipahami dan dihayati oleh setiap siswa. Oleh karena itu, sebagai demonstrator erat kaitannya dengan pengaturan strategi pembelajaran yang lebih efektif. Peran guru sebagai pembimbing adalah menjaga, mengarahkan dan membimbing agar siswa tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi, minat dan bakatnya. Proses pembelajaran akan berhasil jika peserta didik memiliki motivasi dalam belajar. Guru sebagai motivator dalam pembelajaran perlu menumbuhkan dan membangkitkan motivasi belajar siswa. Guru sebagai evaluator berperan untuk mengumpulkan data atau informasi tentang keberhasilan pembelajaran yang telah dilakukan. Guru harus mampu dan terampil dalam melaksanakan evaluasi, karena dalam evaluasi, guru dapat mengetahui prestasi yang dicapai oleh siswa setelah siswa mengikuti proses belajar mengajar. Informasi yang diperoleh melalui evaluasi ini merupakan umpan balik terhadap proses belajar mengajar sehingga titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan proses belajar mengajar selanjutnya. Dengan demikian, proses belajar mengajar akan terus menerus ditingkatkan untuk memperoleh hasil yang optimal. 2.
Mengintegrasikan Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah Pendidikan karakter merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri kita melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan dan pengaruh lingkungan, menjadi nilai intrinsik yang melandasi sikap dan perilaku. Jadi karena karakter melandasi sikap dan perilaku manusia, tentu karakter tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus dibentuk, dibangun, dan ditumbuhkembangkan. Menurut Saptono (2011:23) pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan karakter yang baik berlandaskan kebajikan-kebajikan inti yang secara objektif baik bagi individu maupun masyarakat. Ada tiga pilar utama yang sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter seseorang, yaitu pendidikan di lingkungan
Kompetensi Profesional Guru dalam Mengintegrasikan Pendidikan Karakter di Sekolah 31
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Pembentukan karakter tidak akan berhasil selama ketiga pilar ini tidak ada kesinambungan dan harmonisasi. Pendidikan karakter yang dilaksanakan adalah dalam rangka transformasi dan pembudayaan nilai-nilai moral dasar. Menurut Zuchdi, dkk (2010) landasan utama pengembangan model pendidikan karakter ini adalah (1) pendekatan komprehensif dalam pendidikan karakter, (2) pembelajaran terintegrasi, dan (3) pengembangan kultur. Pendekatan komprehensif yang digunakan dalam pendidikan karakter mencakup berbagai aspek, seperti isinya harus komprehensif, metodenya harus komprehensif, pendidikan karakter terjadi dalam keseluruhan proses pendidikan dan pendidikan karakter hendaknya terjadi melalui kehidupan dalam masyarakat. Pembelajaran terintegrasi dapat memberikan pengalaman yang bermakna kepada peserta didik, karena mereka memahami konsepkonsep, keterampilan-keterampilan dan nilainilai yang mereka pelajari dengan menghubungkannya dengan konsep dan keterampilan lain yang sudah mereka pahami. Konsep dan keterampilan tersebut dapat berasal dari satu bidang studi, dapat pula dari beberapa bidang studi. Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan, mengingat masalah yang dihadapi hanya mungkin dapat diatasi secara tuntas dengan memanfaatkan berbagai bidang ilmu secara interdisipliner atau multidisipliner. Pengembangan kultur universitas dapat menciptakan kultur yang bermoral sehingga perlu diciptakan lingkungan sosial yang dapat mendorong mahasiswa memiliki moralitas yang baik atau karakter yang terpuji. Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) merupakan prinsip-prinsip yang dapat diadopsi dalam membuat perencanaan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran, dan evaluasi (Suyanto, 2010). Pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang membantu guru dalam mengkaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata, dan memotivasi siswa
32 Siraj
membuat hubungan antara pengetahuan yang dipelajarinya dengan kehidupan mereka. Zuchdi, dkk (2014) mengemukakan dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen pendidikan (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Lickona (1992) menerapkan idenya pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, pendidikan karakter mencakup (1) moral knowing (pengetahuan tentang moral), (2) moral feeling (perasaan tentang moral), dan (3) moral action (perbuatan moral). Mengintegrasikan pendidikan karakter dalam pembelajaran bukan hanya mengajarkan kepada peserta didik mana yang baik dan mana yang tidak baik. Pendidikan karakter lebih menanamkan kebiasaan tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Tahap perencanaan pembelajaran dalam pendidikan karakter adalah silabus, rencana pelaksaanaan pembelajaran, dan bahan ajar dirancang agar muatan maupun kegiatan pembelajarannya berwawasan pendidikan karakter. Cara yang mudah untuk membuat silabus, RPP, dan bahan ajar yang berwawasan pendidikan karakter adalah dengan mengadaptasi silabus, RPP, dan bahan ajar yang telah dibuat/ada dengan menambahkan/mengadaptasi kegiatan pembelajaran yang bersifat memfasilitasi dikenalnya nilai-nilai, disadarinya pentingnya nilai-nilai, dan diinternalisasinya nilai-nilai. Tahap pelaksanaan pembelajaran pendidikan karakter yaitu kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup, dipilih dan dilaksanakan agar peserta didik mempraktikkan nilai-nilai karakter yang ditargetkan. Sebagaimana disebutkan di depan, prinsip-prinsip contextual teaching and learning disarankan diaplikasikan pada semua tahapan pembelajaran karena prinsip-prinsip pembelajaran tersebut sekaligus dapat memfasilitasi terinternalisasinya nilai- nilai.
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
Selain itu, perilaku guru sepanjang proses pembelajaran harus merupakan model pelaksanaan nilai-nilai bagi peserta didik.
Penanaman karakter melalui pelaksanaan pembelajaran dapat dilihat pada Gambar 1.
Diagram 1. Penanaman karakter melalui pelaksanaan pembelajaran (Suyanto, 2010)
Berdasarkan Gambar 1 di atas, dapat diuraikan langkah-langkah dalam penanaman karakter melalui pelaksanaan pembelajaran. Pada kegiatan pendahuluan, ada sejumlah cara yang dapat dilakukan oleh guru untuk mengenalkan nilai, membangun kepedulian akan nilai, dan membantu internalisasi nilai atau karakter pada tahap pembelajaran ini. Hal yang bisa dilakukan adalah guru datang tepat waktu (disiplin), guru mengucapkan salam dengan ramah kepada siswa ketika memasuki ruang kelas (santun, peduli), berdoa sebelum membuka pelajaran (religius), dan mengaitkan materi/kompetensi yang akan dipelajari dengan karakter. Pada kegiatan inti pembelajaran terbagi atas tiga tahap (eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi). Pada tahap eksplorasi peserta didik difasilitasi untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dan mengembangkan sikap melalui kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Pada tahap elaborasi, peserta didik diberi peluang untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan serta sikap lebih lanjut melalui sumber dan kegiatan pembelajaran lainnya sehingga pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik lebih luas dan dalam. Pada tahap konfirmasi, peserta didik memperoleh umpan balik atas kebenaran dan kelayakan dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh oleh siswa. Pada kegiatan penutup, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar internalisasi nilai-nilai terjadi dengan lebih intensif selama tahap penutup. Hal tersebut berupa (1) simpulan
yang terkait dengan aspek pengetahuan, agar peserta didik difasilitasi membuat pelajaran moral yang berharga yang dipetik dari pengetahuan/keterampilan dan/atau proses pembelajaran yang telah dilaluinya untuk memperoleh pengetahuan dan/atau keterampilan pada pelajaran tersebut, (2) penilaian tidak hanya mengukur pencapaian siswa dalam pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga pada perkembangan karakter mereka, (3) umpan balik baik yang terkait dengan produk maupun proses, harus menyangkut baik kompetensi maupun karakter, dan dimulai dengan aspek-aspek positif yang ditunjukkan oleh siswa, (4) karyakarya siswa dipajang untuk mengembangkan sikap saling menghargai karya orang lain dan rasa percaya diri, (5) kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok diberikan dalam rangka tidak hanya terkait dengan pengembangan kemampuan intelektual, tetapi juga kepribadian, (6) berdoa pada akhir pelajaran (Suyanto, 2010). Pada proses evaluasi pencapaian belajar, teknik dan instrumen penilaian yang dipilih dan dilaksanakan tidak hanya mengukur pencapaian kognitif peserta didik, tetapi juga mengukur perkembangan kepribadian peserta didik. Bahkan perlu diupayakan bahwa teknik penilaian yang diaplikasikan mengembangkan kepribadian peserta didik sekaligus. Adanya tindak lanjut pembelajaran dengan memberikan tugas-tugas penguatan (pengayaan) untuk memfasilitasi peserta didik
Kompetensi Profesional Guru dalam Mengintegrasikan Pendidikan Karakter di Sekolah 33
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
belajar lebih lanjut tentang kompetensi yang sudah dipelajari dan internalisasi nilai karakter lebih lanjut. Tugas-tugas tersebut selain dapat meningkatkan penguasaan materi pelajaran, juga menanamkan nilai-nilai karakter peserta didik.
PENUTUP Seorang guru yang profesional harus memiliki komitmen yang kuat dalam melaksanakan proses pembelajaran yang berkarakter secara utuh dan berpusat pada perkembangan sikap, kepribadian, potensi dan kebutuhan peserta didik. Kompetensi profesional merupakan salah satu unsur yang harus dimiliki oleh guru yaitu dengan cara menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam. Guru yang memiliki kompetensi profesional diharapkan mampu mengitegrasikan pendidikan karakter kedalam materi pembelajaran dengan baik. Pendidikan karakter yang dilaksanakan adalah dalam rangka transformasi dan pembudayaan nilainilai moral dasar. Ada tiga pilar utama yang sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter seseorang, yaitu pendidikan di lingkungan keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Pembentukan karakter tidak akan berhasil selama ketiga pilar ini tidak ada kesinambungan dan harmonisasi. Pendidikan karakter lebih menanamkan kebiasaan tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor).
DAFTAR PUSTAKA Dharma, Surya. 2008. Penilaian Kinerja Guru, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Lickona, Thomas. 1992. Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, New York: Bantam Books. Musfah, Jejen. 2011. Peningkatan Kompetensi Guru, Jakarta: Kencana. Purba, Sukarman. 2009. “Peningkatan Mutu Pendidikan dan Implikasinya Terhadap 34 Siraj
Manajemen Pendidikan Serta Sistem Pembelajaran di Perguruan Tinggi”, Jurnal Manajemen Pendidikan, No. 2. Vol. II, 68-75. Saptono. 2011. Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter, Wawasan, Strategi, dan Langkah Praktis, Jakarta: Essensi Erlangga Group. Suprihatingrum, Jamil. 2013. Guru Profesional, Yogjakarta: Ar-Ruzz Media. Suyanto dan Asep Djihad. 2013. Calon Guru dan Guru Profesional, Yogyakarta: Multi Pressindo. Suyanto. 2010. Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama, Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. Zuchdi, D. dkk. 2014. “Pemetaan Implementasi Pendidikan Karakter di SD, SMP, dan SMA di Kota Yogyakarta”, Jurnal Pendidikan Karakter, No. 1. Vol. IV, 1-10. Zuchdi, D. dkk. 2010. Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Komprehensif Terintegrasi dalam Perkuliahan dan Pengembangan Kultur Universitas. Yogyakarta: UNY Press.
Jurnal Serambi Edukasi│Vol.3 No.2 (2015): 35 – 43
ISSN 2338-9397
PENERAPAN MODEL TARI PENDIDIKAN DALAM PEMBELAJARAN SENI BUDAYA DAN KETERAMPILAN DI SD NEGERI 54 BANDA ACEH Putry Julia Dosen Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP Universitas Serambi Mekkah e-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini merupakan penelitian pra eksperimental dengan desain one shot case studi, yaitu dengan memberikan perlakuan model tari pendidikan pada pembelajaran tari di SD. Pembelajaran tari merupakan salah satu bagian dari pembelajaran seni budaya dan keterampilan yang sudah menjadi mata pelajaran wajib di SD. Dalam penelitian ini tujuan yang ingin dicapai adalah bagaimana keterampilan siswa dalam pembelajaran tari dengan penerapan model tari pendidikan. Pada penelitian ini yang menjadi populasi adalah siswa kelas 3 SD Negeri 54 Banda Aceh, yang berjumlah 28 siswa dan sampel penelitian berjumlah 14 orang siswa dengan pengambilan sampel secara purposive. Sampel diambil berdasarkan tujuan tertentu. Hasil penelitian dengan menggunakan tari pendidikan pada pembelajaran tari menunjukkan, bahwa keterampilan siswa sangat baik secara keseluruhan setelah diterapkannya model tari pendidikan, yang dilihat dari unsur ekspresif dan kreatif siswa. Pada unsur ekspresif siswa terlihat hasil yang sangat baik dengan indikator intuisi gerak yang menunjukkan hasil dengan persentase 75%, dan indikator kealamiahan ekspresi dengan persentase 66,10%.diperoleh hasil 75% dan kealamiahan ekspresi 66,10%. Sedangkan pada unsur kreatif, dapat dilihat hasil yang baik pada indikator spontanitas gerak dengan persentase 78,6%, pengembangan respon gerak mencapai 82,1%, dan kemampuan memadukan gerak dengan persentase 82,1%. Berdasarkan hasil yang didapat selama penelitian pada pembelajaran tari dengan menggunakan mode tari pendidikan, dapat disimpulkan bahwa dengan penerapan model tari pendidikan sangat baik bagi pembelajaran tari sehingga tujuan dari pembelajaran tari tercapai. Kata Kunci: Tari Pendidikan, Pembelajaran Tari
PENDAHULUAN Seni telah menjadi bagian dari sejarah kehidupan budaya manusia di berbagai belahan bumi dengan beraneka macam bentuk dan jenis. Pendidikan seni yang terprogram dalam kurikulum sekolah adalah sebuah bidang studi yang harus diberikan sejak dini. Bentuk pendidikan seni pada jenjang sekolah dasar adalah bidang studi seni budaya dan keterampilan. Muatan seni budaya dan keterampilan sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan tidak hanya terdapat dalam satu mata pelajaran, karena budaya itu sendiri meliputi segala aspek kehidupan. Dalam mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan, aspek budaya tidak dibahas secara tersendiri tetapi terintegrasi dengan seni. Oleh karena itu, mata pelajaran Seni
Budaya dan Keterampilan pada dasarnya merupakan pendidikan seni yang berbasis budaya. Pendidikan Seni Budaya dan Keterampilan diberikan di sekolah karena keunikan, kebermaknaan, dan kebermanfaatan terhadap kebutuhan perkembangan peserta didik, yang terletak pada pemberian pengalaman estetik dalam bentuk kegiatan berekspresi/ berkreasi dan berapresiasi melalui pendekatan: “belajar dengan seni,” “belajar melalui seni” dan “belajar tentang seni.” Peran ini tidak dapat diberikan oleh mata pelajaran lain.(Depdiknas, 2007: 1). Pembelajaran seni budaya dan keterampilan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berkarya dan kreativitas siswa dalam berkesenian baik seni tari, seni musik, seni rupa, dan seni drama teater. Pembelajaran seni khususnya seni tari telah mengalami perkembangan, terutama dari segi teknis.
1
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
Sebagai contoh di SD jam mata pelajaran seni budaya dan keterampilan, mengalami perubahan yang tadinya dua jam menjadi empat jam, demikian pula mata pelajaran seni budaya saat ini sudah diikuti siswa SMU mulai dari kelas satu hingga kelas tiga. Tidak hanya itu, perubahan diikuti pula perkembangan tujuan dari pendidikan seni yang ingin dicapai yaitu sebagai pemberian pengalaman estetik kepada peserta didik (Gunara, 2008). Sejalan dengan itu, dari kurikulum dan sistem pendidikan yang teru diperbaiki tersebut, tentunya disosialisasikan dengan baik hingga sampai kesemua jenjang pendidikan dan semua daerah di Indonesia. Walaupun sosialisasi telah dilakukan, namun masih terdapat beberapa kendala dalam proses implementasi yang membuat sistem dan tujuan kurikulum pendidikan tersebut belum tercapai. Seperti contoh yang terjadi pada pembelajaran seni tari untuk SD Negeri 54 Banda Aceh dan mungkin juga terjadi di daerah lainnya. Berdasarkan pengamatan peneliti, proses belajar Seni Budaya Dan Keterampilan (SBK) pada umumnya belum dapat dilaksanakan sesuai dengan tuntutan kurikulum. Setiap masuk pembelajaran SBK, terkadang pembelajarannya tidak sesuai dengan upaya pencapaian SK dan KD. Setiap kali mata pelajaran SBK, guru cenderung memberi siswa tugas yang tidak sesuai dengan pembelajaran dan guru pun meninggalkan kelas dengan berbagai alasan. Terlebih lagi, pelajaran SBK diganti dengan mata pelajaran lain. Hal ini bukan mangembangkan siswa, namun akan menyia-nyiakan siswa. Pembelajaran SBK seperti ini masih banyak dilaksanakan oleh para pendidik di beberapa sekolah dasar, dengan berbagai alasan seperti: pelajaran seni tidak begitu perlu, guru tidak memiliki bakat seni, panduan tidak ada, susah mengontrol anak, dan alasan lainnya yang tidak mendukung pembelajaran SBK. Bahkan sebagian guru mengatakan bahwa untuk pembelajaran SBK di SD sebaiknya adalah guru bidang studi pada tiap-tiap sekolah seperti guru bidang studi agama dan olah raga, dengan alasan saat sekarang guru yang mengajarkan pembelajaran SBK tersebut hanyalah guru kelas, dan merekapun memiliki beban mangajar yang cukup banyak, karena di SD guru kelas disamping berperan konselor bagi siswanya juga harus dapat menguasai enam mata pelajaran wajib yaitu matematika, bahasa 36 Putry Julia
Indonesia, IPS, IPA, Pkn, dan termasuk juga SBK. Dalam Kurikulum Pendidikan Seni untuk SD, tidak menuntut agar siswanya menjadi seorang seniman ataupun pekerja seni. Namun tuntutan secara mendalam bahwa pembelajaran seni dapat membantu menumbuhkembangkan anak didik menjadi lebih baik, kreatif dan memperbaiki kepribadian siswa dalam kehidupannya. Begitu pula dengan pendidikan seni tari di SD yang tidak menuntut siswanya untuk menjadi penari, sehingga kegiatan menari dapat dijadikan suatu pengalaman yang menyenangkan bagi siswa SD. Dalam hal ini siswa dapat mengekspresikan dirinya secara bebas, mengetahui bagaimana ia bergerak, memanfaatkan gerak, dan menemukan kekuatannya sebagai alat komunikasi dan dapat bermanfaat bagi si anak dalam memaknai hidupnya. Proses belajar mengajar memiliki beberapa komponen yang mana bila salah satu dari elemen tersebut ditinggalkan maka proses belajar mengajar tidak akan berjalan dengan baik. Komponen tersebut yaitu peserta didik, guru (sebagai pendidik), tujuan pembelajaran, isi pembelajaran, media dan evaluasi. Dari komponen tersebut, yang sangat berperan adalah guru, sebab dalam pembelajaran akan terjadi interaksi antara peserta didik dan guru, dimana tugas guru adalah sebagai nara sumber, mediator, instruktur dalam suatu proses belajar mengajar. Sehingga sebagai pendidik ada empat aspek kompetensi yang dituntut untuk dimiliki oleh seorang pendidik, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru. Salah satunya adalah memilih model dan metode pembelajaran yang bermanfaat dan dapat menunjang kreativitas siswa, membuat siswa menjadi bergairah serta bersemangat dalam proses belajar. Dengan demikian, siswa dapat mengembangkan daya imajinasinya, sehingga mereka mewujudkan potensi kreatifnya melalui gerakan–gerakan tari. Sesuai kurikulum yang digunakan saat ini dengan nama kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), hal ini dapat memberikan kebebasan bagi guru untuk mengembangkan situasi belajar yang kondusif sesuai situasi daerahnya masing-masing. Sayangnya, masih
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
belum banyak pendidik seni tari tingkat SD yang memiliki model pembelajaran, sesuai kondisi yang ada, dan banyak SD yang belum mampu bahkan tidak mau untuk mengajarkan seni tari dalam pembelajaran SBK. Pembelajaran tari berfungsi sebagai media pendidikan, dimana tujuannya setidaknya memiliki tiga tujuan, yaitu: a. sebuah strategi atau cara memupuk, mengembangkan sensitivitas dan kreativitas; b. memberi peluang seluas-luasnya pada siswa untuk berekspresi; dan c. mengembangkan pribadi anak ke arah pembentukan pribadi yang utuh dan menyeluruh, baik secara individu, sosial, maupun budaya. (Rohidi (dalam Hidajat, R (2006:13)). Selain itu, seni tari juga memiliki sejumlah manfaat yaitu pengenalan tubuh dan mekanisasinya, pembentukan tubuh, sosialisasi diri, pengenalan prinsip pengetahuan ilmu pasti-alam, menumbuhkan kepribadian, media komunikasi (gagasan non verbal dan mengkomunikasikan nilai-nilai estetik) dan pengenalan nilai budaya. (Hidrajat, R :2006) Namun dalam beberapa kenyataan yang ditemukan, guru SD cenderung lebih mengajarkan siswa bagaimana agar siswa pandai menari dengan mengajarkan tari bentuk pada siswa. Hal ini bisa jadi membuat siswa aktif bergerak dalam pembelajaran seni tari tapi tidak menumbuhkembangkan kreativitas siswa sebagaimana yang diharapkan dalam kurikulum. Karena pada dasarnya dalam pembelajaran seni tari materi yang diberikan bukan hanya keterampilan menari, tetapi pada proses kreativitas siswa dalam menari. Salah satu alternatif untuk menjawab problematika diatas adalah melalui pengenalan tari pendidikan, yaitu merupakan model pada pendidikan seni tari yang dipandang dapat mengakomodir semua kebutuhan dari jawaban permasalahan yang ada. Tari pendidikan yang merupakan materi atau bahan pembelajaran tari dapat dikatakan sebagai inovasi baru dalam pembelajaran seni dengan strategi pembelajarannya yang menekankan pada kegiatan kreatif. Kegiatan instruksionalnya sangat memperhatikan perkembangan kemampuan siswa yang mencakup membangun kecerdasan intelektual, emosional,
dan spiritual. Dimana tugas guru dalam penyelenggaraan tari ini mencakup dua hal yaitu membimbing siswa untuk menumbuhkan spontanitas gerak, dan membimbing siswa belajar memahami prinsip-prinsip untuk melakukan dan menguasai geraknya. Dengan tari pendidikan ini, diharapkan dapat meningkatkan sensitivitas, kemampuan mengekspresikan dan kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni sebagaimana yang telah ditetapkan dalam kurikulum pembelajaran SBK, sehingga pembelajaran tari dalam SBK akan lebih efektif.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah Pre-Experimental, menggunakan desain ini belum merupakan eksperimen sungguh-sungguh dan hasil eksperimen yang merupakan variabel dependen itu bukan semata-mata dipengangaruhi oleh variabel independen. Hal ini dapat terjadi, karena tidak adanya variabel kontrol, dan sampel tidak dipilih secara random (Sugiyono, 2009: 109). Desain yang digunakan dalam Pre-Eksperimental ini yaitu One-Shot Case Study. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas 3 di SD Negeri 54 Banda Aceh yang terdiri dari 28 siswa. Sampel atau sampling yang berarti contoh menurut Sugiyono (2009: 118) adalah “sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut”. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian siswa kelas 3, berjumlah 14 orang siswa. Teknik yang diterapkan dalam mengumpulan data pada penelitian ini yaitu dengan cara observasi dan dokumentasi. Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu observasi berperan serta (Participant observation), dimana peneliti terlibat dengan kegiatan yang sedang diamati. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data. Dokumentasi dilakukan peneliti untuk melengkapi data berupa foto-foto dan video rekaman pembelajaran.
Penerapan Model Tari Pendidikan dalam Pembelajaran Seni Budaya dan Keterampilan di SD Negeri 54 Banda Aceh
37
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
HASIL PENELITIAN Pelaksanaan model tari pendidikan dilaksanakan berdasarkan langkag-langkah pembelajaran tari pendidikan yang terdiri atas perencanaan, pelaksaanaan, dan evaluasi dengan melihat keterampilan siswa berdasarkan 5 indikator kemampuan siswa dalam tari pendidikan. Berikut langkahlangkah pembelajaran tari pendidikan: 1. Proses Perencanaan Tari Pendidikan Pada tahap perencanaan penulis terlebih dahulu mempersiapkan rancangan tari pendidikan sebelum melaksanakan eksperimen tari pendidikan itu sendiri. Rancangan sintaks model tari pendidikan yang dirancang adalah sebagai berikut: a) Tahap I Pemberian Stimulus Pada tahap ini siswa diberikan stimulus berupa gerak alam sebagai rangsangan awal untuk melihat intuisi dan ekspresi alami siswa. Dari stimulus yang diberikan melalui video gerak alam yang diperlihatkan kepada siswa, diharapkan dapat memunculkan intuisi gerak dari siswa yang lahir dari naluri siswa, tergerak dari hati mereka tanpa mereka pelajari sebelumnya. b) Tahap II Perwujudan Gerak Setelah diberikan stimulus, kemudian siswa diminta mewujudkan gerak yang mereka ciptakan sendiri sesuai intuisi dari dalam diri siswa berdasarkan video gerak alam yang diperlihatkan. Dengan adanya intuisi kemudian siswa akan mengekspresikan gerakannya. Kealamiahan ekspresi yang ditunjukkan oleh anak-anak ialah berupa ekspresi yang berasal dari pribadi siswa itu sendiri, dengan adanya intuisi yang muncul dari dalam diri siswa maka siswa akan menuangkannya dalam bentuk ekspresi, yakni penuangan emosi yang berasal dari dalam diri anak, terbebas dari pengaruh dan intervensi dari orang lain c) Tahap III Bekerja Dalam Kelompok Siswa dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan kesamaan bentuk gerak yang mereka tuangkan berdasarkan intuisi pada masing38 Putry Julia
masing siswa setelah diberikan stimulus berupa video gerak alam. Dalam kelompok diharapkan siswa dapat menunjukkkan spontanitas menstilir gerak dalam kelompok, mengembangkan respon gerak dan memadukan berbagai gerak yang muncul dalam kelompok. 2. Proses Pelaksanaan Tari Pendidikan Dalam Pembelajaran Tari Setelah merancang rencana pembelajaran, maka setelah itu dilakukan pembelajaran tari pendidikan sesuai dengan rancangan yang telah disusun. Berikut uraian dari pelaksanaan tari pendidikan berdasarkan tahapan pembelajaran yang telah dirancang: a) Pelaksanaan Tahap I Pada tahap pertama dalam penelitian ini, penulis memberikan stimulus kepada para siswa dengan memperlihatkan berbagai macam video yang berhubungan dengan gerak alam. Disini penulis mengambil tema yang berhubungan dengan lingkungan sekitar, yakni dengan mengambil gerak hewan yang sehari-hari biasa diamati langsung oleh anak, maka sehubungan dengan itu penulis memperlihatkan video-video yang menunjukkan gerak-gerak alam seperti kupu-kupu, unggas, dan kodok. Hewan tersebut merupakan hewan-hewan yang mudah dan diamati dan juga sering mereka jumpai di lingkungan sekitar mereka. b) Pelaksanaan Tahap II Intuisi yang muncul dari siswa melalui video, berikutnya akan diikuti oleh ekspresi gerak siswa. Para siswa dengan sendirinya mengajukan diri untuk menunjukkan bagaimana gerak hewan yang pernah mereka amati. Penulis kemudian menunjuk siswa satu persatu untuk maju agar tiap anak mendapat kesempatan yang sama. Siswa yang maju memperlihatkan berbagai macam gerak, ada gerak kodok melompat, kupu-kupu terbang, ikan berenang, bebek makan, bebek berjalan, dan burung yang mengangkasa. Para siswa terlihat ceria, bersemangat, dan begitu percaya diri dalam menyampaikan gerak yang
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
mereka maksudkan. Dari gerak- gerak yang mereka sampaikan, dari suatu nama gerak muncul berbagai gerak yang mana antara satu anak dan anak yang lain berbeda. Hal tersebut wajar karena muncul dari intuisi masingmasing anak, hal tersebur murni alamiah dari dalam diri siswa. Dari berbagai gerak yang ditunjukkan oleh para siswa sebagian besar menunjukkan gerak hewan kupu-kupu, burung dan kodok sehingga berdasarkan gerak tersebut siswa dibagi kedalam tiga kelompok gerak. c) Pelaksanaan Tahap III Sejak dimulainya penelitian yakni dengan memberikan stimulus kepada siswa, telah terlihat intuisi gerak dan kealamiahan ekspresi dari para siswa. Saat siswa satu persatu akan memperlihatkan gerakannya, muncul berbagai macam gerak yang setelah dikelompokkan menjadi tiga kelompok gerak. Setiap siswa memang memiliki intuisi yang baik dalam penyampaian gerak mereka, akan tetapi dari sisi spontanitas gerak terdapat perbedaan yang muncul pada tiap siswa. Spontanitas siswa diamati ketika siswa telah berada dalam kelompok. Saat teman memperlihatkan gerak dalam kelompok, maka terlihat spontanitas muncul dari siswa lainnya untuk ikut menunjukkan gerak yang lain. Pada tiap kelompok dapat terlihat bahwa antara satu siswa dengan siswa memiliki berbagai bentuk penuangan gerak. Dari satu nama gerak, tiap-tiap menunjukkan gerak yang berbedabeda. Pada gerak kodok, ada siswa yang meninjukkan gerakan kodok melompat yaitu dengan melompatlompat lurus ke depan. Saat salah satu siswa menunjukkan gerakan tersebut, ada siswa yang berseru bahwa dia bisa juga menunjukkan gerak kodok melompat, setelah temnannya selesai menunjukkan gerak tersebut, bergantian dengan temannya dengan menunjukkan gerak kodok melompat yang berbeda yaitu melompat dengan arah kekiri dan ke kanan. Sedangkan pada kelompok kupu-kupu, ada siswa
yang menunjukkan gerak kupu-kupu yang terbang, dan juga ada kupu-kupu yang sedang hinggap. Terlihat dalam kelompok gerak kupu-kupu ini, walaupun tidak begitu terlihat perbedaan dalam menunjukkan gerak, namun antara satu dan yang lain saling menunjukkan gerak dan saling belajar gerak tersebut. Kemudian pada gerak burung, terlihat siswa banyak menunjukkan gerak, mereka menunjukkan berbagai jenis burung yaitu gerakan burung yang terbang tinggi mengangkasa layaknya burung elang, melihat temannya mempraktekkan gerakan burung elang sehingga ada temannya yang terespon untuk bergerak menunjukkan bagaimana burung elang yang terbang menukik untuk menangkap mangsa, dan ada juga yang menunjukkan gerakan burung berjalan, mematukmatuk makanan, dan berkicau. Dengan adanya kelompok maka dari gerak-gerak yang telah diperlihatkan secara individu, dapat dikembangkan maupun diolah kembali menjadi gerak yang lebih indah dengan adanya kontribusi dari teman-teman dalam kelompok. 3. Evaluasi Proses Pembelajaran Tari Dengan Menggunakan Model Tari Pendidikan Evaluasi pembelajaran tari menggunakan model tari pendidikan dilaksanakan berdasarkan indikator amatan yang muncul pada tiap tahapan pelaksanaan. Berikut akan disampaikan hasil evaluasi pembelajaran tari pendidikan: Evaluasi pembelajaran tahap I Selama menonton video yang ditampilkan, semua siswa terlihat antusias dalam memperhatikan video tersebut, sehingga dari beberapa siswa langsung ada yang bersorak menyebutkan nama-nama hewan yang muncul dalam video tersebut. Kemudian ada yang berbincang dengan temannya langsung membahas hewan seperti di video yang telah mereka lihat sendiri, mereka langsung memperlihatkan mimik muka seperti mencontohkan apa yang hewan tersebut lakukan. Dari keempat belas siswa, dalam intuisi gerak terlihat 2 siswa telah memiliki
Penerapan Model Tari Pendidikan dalam Pembelajaran Seni Budaya dan Keterampilan di SD Negeri 54 Banda Aceh
39
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
intuisi yang baik setelah mendapat stimlus dari menonton video gerak alam, sedangkan sepuluh anak sudah memiliki intuisi yang baik dan selebihnya ada dua anak yang sudah cukup baik dalam merespon stimulus.
kelompoknya, 8 orang dengan baik telah ikut berpartisipasi dalam memadukan gerak, selebihnya ada 1 siswa yang cukup baik dalam memadukan gerak.
Evaluasi Pembelajaran Tahap II Berdasarkan intuisi dalam diri siswa, maka para siswa ditunjuk satu persatu untuk maju ke depan kelas untuk menunjukkan ekspresi gerak yang mereka tuangkan berdasarkan intuisi mereka masing-masing. Para siswa maju dengan mencontohklan berbagai gerak hewan seperti kodok, kupu-kupu dan burung. Dalam penuangan gerak, ada yang menunjukkan gerak berbeda dari nama gerak yang sama, namun ada juga siswa yang hanya menirukan kembali gerak yang telah dipraktekkan oleh teman yang telah maju sebelumnya. Pada kealamiahan ekspresi, 2 anak telah dapat mengekspresikan diri dengan sangat baik, dan 5 orang siswa dengan baik telah mengekspresikan dirinya, selebihnya 7 orang siswa sudah cukup baik dalam mengekspresikan dirinya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan selama lima kali pertemuan, maka penulis memperoleh sebuah gambaran dalam pelaksanaan tari pendidikan. Dengan penerapan model tari pendididkan dalam pembelajaran tari yang terbagi atas tari kreatif dan tari ekspresif, maka dapat diperoleh hasil penelitian yaitu dari intuisi gerak, kealamiahan ekspresi, spontanitas gerak, pengembangan respon gerak, dan kemampuan memadukan gerak dalam kelompok.
Evaluasi Pembelajaran Tahap III Pada tahap ini siswa telah bekerja dalam kelompok, yang dibagi berdasarkan tiga kelompok gerak yaitu gerak burung, gerak kupu-kupu dan gerak kodok. Para siswa masing-masing menunjukkan gerakan mereka secara individu dalam kelompok, lalu teman yang lain juga saling menunjukkan gerak, saling memberikan pendapat dan ide terhadap gerak temannya. Berdasarkan hal tersebut maka dalam kelompok akan terjadi pengembangan gerak, setelah itu siswa memadukan antara satu gerak dengan gerak yang lain sehingga gerak gerak tersebut dapat dirangkai menjadi gerakan yang indah. Pada spontanitas gerak sudah terlihat 6 siswa yang memiliki spontanitas yang sangat tinggi, dan 4 siswa lainnya memiliki spontanitas yang baik, selebihnya 4 orang siswa sudah cukup baik dalam spontanitas gerak. Untuk pengembangan respon gerak, 6 siswa mengembangkan respon gerak dengan sangat baik, 6 siswa telah tergolong baik dalam pengembangan respon gerak dan ada 2 siswa yang cukup baik dalam pengembangan respon gerak. Sedangkan pada kemampuan memadukan gerak dalam kelompok ada 5 siswa sudah dengan sangat baik mampu memadukan gerak dalam kelompok bersama teman dalam 40 Putry Julia
1. Intuisi Gerak Pada saat pemberian stimulus berupa memperlihatkan video gerak alam, yang pertama diamati ialah intuisi gerak. Dari empat belas siswa, dua orang siswa memiliki intuisi yang sangat baik. Sedangkan anak yang tergolong baik, lebih dari sebahagian yakni sepuluh orang yang dapat menunjukkan intuisi yang baik, dan selebihnya yaitu dua siswa masuk ke dalam kategori cukup baik dalam berintuisi. Namun secara keseluruhan 75% siswa telah memiliki intuisi yang baik berdasarkan stimulus video yang diberikan. Dalam kegiatan mengamati intuisi gerak siswa, suasana memang terlihat tidak begitu tenang, karena tiap siswa ada yang sibuk untuk memperlihatkan gerak dan berbincang bersama temannya mengenai gerak yang telah mereka lihat. Fenomena ini sesuai dengan pernyataan Laban (dalam Jazuli, 2009),bahwa “pembelajaran tari pendidikan tidak berorientasi pada hasil akhir atau menghasilkan sebuah pertunjukan yang bernilai seni tinggi, karena setiap anak memiliki dorongan alamiah untuk menampilkan gerakan-gerakan seperti tarian dan secara tidak disadari hal itu merupakan cara yang baik untuk memperkenalkan tari sejak dini pada diri anak, serta memberi kesempatan kepada anak untuk mengembangkan kemampuan berekspresi secara spontan melalui gerakannya”. Intuisi gerak dimiliki oleh setiap orang, terlebih pada anak-anak intuisi mereka memiliki kadar yang lebih tinggi dibandingkan
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
orang dewasa, hal ini karna intuisi merupakan pemahaman terhadap sesuatu tanpa penalaran rasional dan intelektualitas, hal ini sesuaidengan masa anak-anak yang masih berada pada stadium operasional konkrit yang mana anak langsung dapat menggambarkan secara nyata berdasarkan intuisi yang mereka punya, berbeda dengan orang dewasa yang akan berpikir panjang secara rasional sebelummenuangkan pemikirannya. 2. Kealamiahan Ekspresi Dari hasil pengamatan penulis, selama penelitian siswa menunjukkan berbagai macam ekspresi, yang mana ekspresi tersebut merupakan ekspresi alami dari diri siswa itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 2 orang siswa yang dengan sangat baik telah dapat mengekspresikan diri ketika diperlihatkan video mengenai gerak. Kemudian ada juga 5 orang siswa yang telah dikatakan baik dalam berekspresi. Sedangkan tujuh siswa lainnya sudah cukup baik dalam mengekspresikan diri. Dari hasil pengamatan didapat hasil 66,10% siswa telah dengan baik menunjukkan ekspresi mereka, dengan bentuk perwujudan ekspresi yang berbeda beda dan tingkatan yang berbeda-beda pula. Namun hal ini sangat wajar karena anak usia sekolah telah masuk ke dalam tahap perkembangan emosi yang mana pada tahap ini anak sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan orangtua dan orang-orang di sekitarnya. Emosi yang berkembang akan sesuai dengan impuls emosi yang diterimanya. Begitu pula dengan ekspresi, ekspresi yang berkembang akan berkembang sesuai stimulus yang diberikan, dengan memberikan video pembelajaran gerak maka ekspresi anak dapat berkembang dengan alami sesuai dengan intuisi yang muncul dari dalam diri siswa. Siswa berekspresi berdasarkan intuisi, namun tidak setiap intuisi dapat diikuti dengan ekspresi yang sesuai. Walaupun demikian, apapun ekspresi yang ditunjukkan oleh siswa adalah benar, seperti yang diungkapkan oleh Josh Correa (dalam Nancy B dan Gloria B Miller, 2003:3) “Tidak ada seorang pun yang akan mengatakan padamu bahwa kamu membuat kesalahan dalam seni”. 3. Spontanitas Gerak Pada spontanitas gerak, terdapat enam orang siswa yang masuk ke dalam kategori sangat baik, dan empat orang siswa dalm kategori
baik, sedangkan dalam kategori cukup juga empat orang siswa. Persentase spontanitas anak secara keseluruhan menunjukkan hasil yang memuaskan yakni 78,6%. Spontanitas yang muncul dari tiap siswa pun berbeda, bagi anak yang memiliki spontanitas tinggi, maka ia akan langsung mengajukan diri dan memperlihatkan gerak yang telah terintuisi dari dalam dirinya, namun adanya intuisi pun belum menjamin siswa dapat mewujudkan gerakannya secara spontan. Setelah siswa yang satu memperlihatkan gerak, maka siswa yang lain secara spontan mengajukan dirinya untuk menunjukkan gerakannya. Begitu pula yang terjadi pada kelompok gerak yang lain hingga seluruh siswa dalam kelompok dapat menunjukkan gerakan masing-masing. Dalam kelompok para siswa telah mampu mengorganisasikan kelompoknya mengenai giliran temannya yang akan menunjukkan gerak sehingga tercipta keteraturan dalam kelompoknya. Hal ini sesuai berdasarkan tahap perkembangan siswa oleh Mahmud (2010: 349), bahwa anak-anak pada masa kelas rendah memiliki sifat tunduk pada peraturanperaturan permainan tradisional”. 4. Pengembangan Respon Gerak Berikutnya yang menjadi aspek amatan yaitu pengembangan respon gerak, dengan persentase sangat baik yaitu 82,15. Aspek pengembangan ini terjadi dalam kelompok yang mana para siswa telah dibagi dalam tiga kelompok gerak. Pada pengembangan gerak ini, siswa yang memiliki spontanitas yang sangat baik ternyata mampu mengembangkan respon gerak yang sangat baik pula dalam kelompok yakni ada enam orang siswa, dan enam orang siswa sudah tergolong baik dalam pengembangan respon gerak, sehingga dari keseluruhan hanya tersisa dua orang siswa yang termasuk cukup baik dalam pengembangan respon gerak. 5. Kemampuan Memadukan Gerak dalam kelompok Setelah siswa mengembangkan respon gerak, kemudian diamati bagaimana siswa memadukan gerak-gerak yang ada dalam kelompok mereka. Dalam memadukan gerak siswa juga dengan sangat baik telah dapat bekerja sama dalam memadukan gerak dengan persentase 82,1%. Di dalam kelompok terlihat bagaimana cara siswa berkomunikasi sesama mereka di dalam kelompok, menyampaikan pendapat dan gerak, membelajarkan gerak
Penerapan Model Tari Pendidikan dalam Pembelajaran Seni Budaya dan Keterampilan di SD Negeri 54 Banda Aceh
41
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
mereka masing-masing kepada teman dan menghargai apa yang telah diperlihatkan tiap teman di dalam kelompok. Dalam hal ini terlihat 5 orang siswa telah mampu bersosialisasi dengan sangat baik bersama temannya dengan menyampaikan gerak, menanggapi pendapat teman, dan pemebelajaran gerak sesame anggota dalam kelompok, delapan orang siswa lainnya juga dengan baik dapat memmbantu teman dalam memadukan gerak dan hanya terlihat satu orang anak yang kurang begitu berbaur bersama temannya didalam kelompok, kurang bersosialisasi dan kelihatan cenderung pasif sehingga butuh bantuan teman dalam kelompok untuk membuatnya mau bersosialisasi dan lebih berpartisifasi untuk teman dalam memadukan gerak dalam pembelajaran siswa dalam kelompok sesuai tugas perkembangan tahapan anak sekolah. Pada tahapan ini tugas perkembangan yang aharus dicapai pada masa tahapan anak sekolah adalah sebagai berikut: a. Belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan, b. Belajar membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagai makhluk biologis, c. Belajar bergaul dengan teman sebaya, d. Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya, e. Belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis dan berhitung, f. Belajar mengembangkan konsep seharihari, g. Belajar mengembangkan kata hati, h. Belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi, mengembangkan sikap yang positif terhadap kelompok sosial. (Mahmud,2010: 351) Setiap siswa yanmg kreatif akan menghasilkan produk yang kreatif pula apabila didukung oleh lingkungannya yaitu dengan pembelajaran kelompok seperti yang telah dibahas sebelumnya, sesuai dengan petnyataan Rhodes yang menyebutkan hal ini sebagai “Four P’s of Creativity: Person, Process, Press, Product”. Keempat P ini saling berkaitan: Pribadi yang kreatif melibatkan diri dalam proses kreatif, dan dengan dukungan dan dorongan (press) dan lingkungan, akan menghasilkan produk kreatif.(Rachmawati dan Kurniati, 2011:14)
PENUTUP Penerapan model tari pendidikan pada pembelajaran tari yang dilaksanakan di SD Negeri 54 Banda Aceh dilaksanakan dengan berdasarkan pada pembelajaran tari yang kreatif dan ekspresif. Dalam pembelajaran tari menggunakan model tari pendidikan ini, disusun terlebih dahulu rancangan pembelajaran, yaitu pemberikan stimulus berupa video, kemudian siswa menunjukkan gerak masing-masing berdasarkan intuisi gerak siswa, lalu siswa dibagi dalam beberapa kelompok gerak. Dalam kelompok gerak, siswa mengembangkan gerak dan bekerjasama dalam kelompok untuk memadukan berbagai gerak yang muncul dalam kelompok menjadi rangkaian gerak. Melalui penerapan model tari pendidikan dalam pembelajaran tari, maka tujuan pembelajaran dapat tercapai sesuai harapan kurikulum yakni dapat memunculkan keterampilan siswa yang kreatif dan ekspresif dalam pemebelajaran tari. Penulis menyarankan kapada guru mata pelajaran seni budaya dan keterampilan (SBK) untuk dapat menerapkan model tari pendidikan ini pada pembelajaran tari karena dengan model tari pendidikan ini dapat memunculkan kreativitasdan ekspresifitas siswa dalam pembelajaran tari dimana siswa dapat berperan aktif dalam pembelajaran dan guru hanya sebagai pembimbing dan fasilitator. Peneliti juga menyarankan untuk peneliti pembelajaran tari berikutnya, dapat memberikan solusi penerapan model pembelajaran tari yang lainnya untuk pembelajaran tari yang lebih baik lagi.
REFERENSI Arikumto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Tindakan Praktik. Jakarta: PT. Asdi Mahastya. Baker dan Zubair, 1990. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius Depdiknas, 2006. Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP Emzir, 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: Raja Grasindo Persada. Iriani,
42 Putry Julia
Z.
2008.
Peningkatan
Mutu
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
Pembelajaran Seni Tari di Sekolah Dasar. Jurnal Bahasa dan Seni, 9(2): 143-148. Jazuli,
2008. Paradigma Kontekstual Pendidikan Seni. Semarang: Unesa University Press.
Jazuli,
2008. Model Pembelajaran Tari Pendidikan pada Siswa SD/MI Semarang. Jurnal Pendidikan Seni, 15(5): 12-29.
Komalasari, H., 2009. Aplikasi model pembelajaran tari pendidikan di SDN Nilem Bandung, Skripsi, Universitas Penidikan Indonesia, Bandung. Laban, Rudolf. 1975. Modern Educational Dance. London, England: MacDonal and Evans Ltd. Lestari, W, 2001. Usaha Menuju Internalisasi Seni Tari Melalui Ketepatan Alat Ukur Keterampilan Seni Tari. Harmonia Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, 2(3): 17. Mahmud, H, 2010. Psikologi Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia Rachmawati dan Kurniawati, E., Strategi Pengembangan Kreativitas pada Anak. Jakarta: Kencana. Nancy Beal dan Gloria Bley Miller, 2003. Rahasia Mengajarkan Seni pada Anak. Yogyakarta: Pripoenbooks. Sudjana, Nana, 1989. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosda Karya Sugiyono, 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Tilawati, 2012, Penerapan Metode Field Trip pada Pembelajaran Seni Tari di SD, Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Tumurang, J.H., 2006. Pembelajaran Kreativitas Seni Anak Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas.
Penerapan Model Tari Pendidikan dalam Pembelajaran Seni Budaya dan Keterampilan di SD Negeri 54 Banda Aceh
43
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No.2 Tahun 2015
INDEKS PENGARANG J Julia, Putry, “Penerapan Model Tari Pendidikan dalam Pembelajaran Seni Budaya dan Keterampilan di SD Negeri 54 Banda Aceh”, 3 [2]: 35-43 M Maimun, “Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di MAN Darussalam Aceh Besar”, 3 [2]: 23-28 N Nurasmah, “Karakteristik Perilaku Kepemimpinan yang Efektif dalam Organisasi Pendidikan”, 3 [2] : 15-22 P Nurhayati, “Cara Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa (Penelitian Kepada Guru-Guru SMAN 7 Banda Aceh)”, 3 [2] : 19-26 S Siraj, “Kompetensi Profesional Guru dalam Mengintegrasikan Pendidikan Karakter di Sekolah”, 3 [2]: 29-34 Suraiya, Nana, “Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di MAN Darussalam Aceh Besar”, 3 [2] : 1-14
44 Indeks Pengarang
ISSN 2338-9397 ©Jurnal Serambi Edukasi, Vol.3 No. 2 Tahun 2015
PANDUAN PENULISAN A. PEDOMAN UMUM a. Naskah artikel ilmiah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, merupakan karya orisinil penulis yang berupa hasil penelitian, gagasan konseptual, serta tinjauan kepustakaan yang belum pernah dimuat di media cetak atau publikasi lainnya. b. Naskah artikel ilmiah diketik dalam format Ms. Word pada kertas HVS ukuran A4 minimal 10 halaman dan maksimal 20 halaman dengan jarak baris 1 spasi. c. Kata dalam bahasa asing ditulis dengan huruf miring d. Naskah artikel Penelitian memuat ditulis dengan sistematika : (a) Judul, (b) Nama Penulis, (c) Abstrak dan kata-kata kunci, (d) Pendahuluan (tanpa sub judul) yang berisi latar belakang, kajian teori, masalah, tujuan dan hipotesis, (e) Metode Penelitian, (f) Hasil Penelitian dan Pembahasan, (g) Kesimpulan, (h) Daftar pustaka. e. Naskah artikel konseptual ditulis dengan sistematika : (a) Judul, (b) Nama Penulis, (c) Abstrak dan kata-kata kunci, (d) Pendahuluan (tanpa sub judul) (e) Bagian inti, (f) Kesimpulan, (h) Daftar pustaka. f. Hasil Penelitian dan Pembahasan, harus diuraikan dan bila perlu disajikan gambar, grafik, diagram, dan hasil analisa statistik yang menggambarkan proses pemecahan masalah penelitian. g. Daftar pustaka, ditulis sesuai dengan aturan penulisan yang disusun berdasarkan urutan abjad. Untuk rujukan buku urutannya sebagai berikut: Nama penulis, editor (bila ada), tahun terbit, judul buku, kota penerbit, dan penerbit. Untuk rujukan jurnal ditulis dengan urutan: nama penulis, tahun terbit, judul jurnal, judul terbitan, volume, edisi, dan nomor halaman. h. Semua kutipan, data, ide, gagasan atau pernyataan yang terdapat pada naskah merupakan tanggung jawab penulis. B. SISTEMATIKA PENULISAN a. Bagian awal : judul, nama penulis, abstrak b. Bagian inti : berisi pendahuluan, kajian teori dan hipotesis (jika ada), metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, kesimpulan dan saran c. Bagian akhir : daftar pustaka C. JUDUL DAN NAMA PENULIS a. Judul naskah maksimum 12 kata, ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris sesuai dengan bahasa yang digunakan untuk menulis naskah lengkapnya. b. Nama penulis ditulis di bawah judul tanpa disertai dengan gelar akademik maupun jabatan. Di bawah nama penulis dicantumkan instansi tempat penulis bekerja. D. ABSTRAK a. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris tidak lebih dari 250 kata. b. Abstrak harus meliputi intisari seluruh tulisan, masalah, tujuan, metode, hasil analisis dan kesimpulan. c. Di bawah abstrak disertakan minimal 3 dan maksimal 5 kata kunci. E. PENGIRIMAN NASKAH & BERLANGGANAN a. Naskah dikirim sebanyak 1 eksemplar ke email redaksi:
[email protected]. b. Naskah yang tidak sesuai dengan ketentuan redaksi akan dikembalikan setelah di-review oleh dewan redaksi bersama mitra bestari. c. Penulis yang artikelnya dimuat wajib menjadi pelanggan minimal satu tahun, dan memberi kontribusi biaya layout dan biaya cetak minimal Rp. 350.000,- dilunasi setelah naskah dinyatakan layak publikasi oleh dewan redaksi, dan mendapat imbalan berupa nomor bukti publikasi sebanyak 2 (dua) eksemplar. d. Biaya berlangganan Rp 35.000 per buku/edisi
Panduan Penulisan
45
Terbit 2 kali setahun (Maret dan September) FORMULIR BERLANGGANAN
Nama
: ____________________________
Alamat
: ________________________________________________
Kota
: ________________________________________________ : ________________________________________________ Kode Pos ______________
Telp./HP
: ________________________________________________
Instansi
: ________________________________________________
Biaya berlangganan: a. Satu nomor penerbitan b. Satu tahun
Rp. 35.000,Rp. 70.000,-
Note: harga belum termasuk ongkos kirim Transfer via: BRI Cabang Banda Aceh a.n. Martahadi No. Rekening: 0037-01-000363-56-6