Vol : XXI, No : 1, MARET 2014
Implementasi Kebijakan Ujian Nasional Di SMA Kota Semarang Ag. Sutriyanto Hadi (Ketua), Sri Sayekti (Anggota), Zusrotin (Anggota) FPIPS IKIP Veteran Semarang Email :
[email protected] ABSTRAK Ujian Nasional secara khusus diperuntukkan bagi jenjang pendidikan dasar SD/MI dan menengah yakni SLTP dan SLTA. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 58 ayat 1 menyebutkan evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh guru. Ujian nasional bagi siswa sendiri sampai saat ini merupakan momok yang paling menakutkan, khususnya bagi siswa kelas III. Semakin tinggi standar nilai kelulusan yang ditetapkan pemerintah membuat siswa merasa takut dan tertekan untuk mengikuti ujian nasional. Permasalahan yang dikaji yaitu bagaimana implementasi kebijakan ujian nasional di SMA Kota Semarang?. Sedangkan pendekatan penelitian menggunakan pendekatan etnografi. Teknik analisis menggunakan analisis kualitatif, dengan tahapan: (1) reduksi data, (2) sajian data, (3) penarikan kesimpulan atau verifikasi. Hasil analisis menunjukkan Implementasi kebijakan Ujian Nasional (UN) untuk Sekolah Menengah Atas Negeri (SMA) di Kota Semarang tahun pelajaran 2012/2013 telah berjalan dengan lancar, tertib dan dapat mencapai target atau sasaran. Pelaksanaan Ujian Nasional telah sesuai dengan ketentuan yang digariskan dan prosedur operasional standar (POS) yang diterbitkan oleh BSNP, sebagai tindakan lanjut dari Permendiknas RI Nomor 45 tahun 2006 tentang Ujian Nasional tahun pelajaran 2012/2013. Faktor yang mendukung implementasi kebijakan Ujian Nasional untuk SMAN di Kota Semarang adalah sumber-sumber dalam hal ini adalah staf-staf cukup yang mau dan mampu untuk melaksanakan Ujian Nasional sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan. Kata Kunci : Ujian Nasional PENDAHULUAN Pendidikan merupakan sebuah pemberdayaan potensi manusia, melalui gerakan trasformasi nilai-nilai, sehingga muncul sikap kritis terhadap seluruh fenomena yang terjadi. Pendidikan juga merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi oleh umat manusia dalam mengarungi bahtera kehidupan
untuk menggapai cita-cita yang diidamkan,
memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan, dan mencapai kehidupan aman dan damai, baik secara personal maupun social. Dalam menjalankan fungsinya pendidikan sebagai salah satu sarana untuk mempersiapkan generasi yang akan datang, juga untuk kehidupan anak sekarang yang sedang mengalami perkembangan menuju ke tingkat kedewasaan. Dengan demikian, pendidikan merupakan sesuatu yang sangat urgen dan perlu diperhatikan serta dikembangkan sebaik mungkin. Dalam dunia pendidikan, untuk mengukur kemampuan berpikir dilakukan dengan melaksanakan tes atau ujian. Hasil dari tes tersebut merupakan kemampuan berpikir dari anak tersebut. Hasil atau nilai yang diperoleh tersebut menjadi patokan lulus dan tidaknya MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
1
Vol : XXI, No : 1, MARET 2014
anak tersebut. Pemerintah juga membuat standar minimal nilai kelulusan dalam Ujian Nasional untuk mengukur kemampuan belajar siswa baik dari segi kognitif dan juga psikomotor. Ujian Nasional secara khusus diperuntukkan bagi jenjang pendidikan dasar SD/MI dan menengah yakni SLTP dan SLTA. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 58 ayat 1 menyebutkan evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh guru. Ini juga merupakan penerapan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, guru melakukan proses pembelajaran, menggali dan mengembangkan potensi, mengadakan tidak lanjut perbaikan dan mengevaluasi atau pemberian ujian pada akhir tahun pelajaran. Disini guru mengetahui keberadaan siswanya sehingga dapat menyesuaikan bobot materi ujian yang akan diujikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Pelaksanaan Ujian Nasional sampai saat ini terus menjadi pro-kontra dan ini merupakan suatu keprihatinan. Sejak Ujian Nasional menerapkan standar nilai kelulusan merupakan momok baru bagi hampir sebagian besar warga sekolah yaitu guru, murid dan orang tua. Maksud pemerintah ingin meningkatkan kualitas pendidikan nasional, tetapi yang terjadi justru harus berujung pada kecemasan dan keprihatinan. Kecemasan tersebut nampak dari meningkatnya intensitas sekolah secara berlebihan dalam memberikan pelajaran tambahan berupa drilling soal-soal ujian. Guru merasa terbebani dengan kelulusan siswanya dalam ujian nasional, menjadi tertekan dan merasa bahwa kalau siswanya tidak lulus 100% berarti dia gagal dalam mata pelajarannya. Hal ini mengakibatkan guru tersebut menjadi kurang percaya diri dan merasa gagal. Disamping guru, orang tua murid juga merasa khawatir sekali kalau anaknya tidak lulus. Kecemasan ini ditunjukkan dengan mendatangkan guru privat khusus tiga mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional atau dengan mengkursuskan anak ke lembaga nonformal walaupun sebenarnya dari sekolah juga sudah mendapatkan tambahan pelajaran. Dengan pemaksaan materi ke anak yang begitu banyak akan mengakibatkan anak stres dan tertekan. Mengkursuskan anak ke lembaga tersebut tidak masalah bagi orang tua yang mampu membayar biaya kursus, namun bagaimana dengan orang tua yang tidak mampu membayar guru privat atau kursus tersebut, mereka hanya pasrah dan tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Begitu juga dengan siswa itu sendiri, selain tertekan dengan pemberian materi yang banyak atau drill soal latihan Ujian Nasional juga khawatir apakah nanti dapat mencapai standar nilai minimal atau melebihinya. Kekhawatiran inilah yang menyebabkan siswa tersebut sakit. Nilai Ujian Nasional akan lebih bermakna jika hanya digunakan sebagai standarisasi pendidikan nasional pada mata pelajaran tertentu yang diujikan saja, bukan sebagai dasar kelulusan. Dengan batas minimal 4,26 dan rata-rata nilai 4,51 sebenarnya belum bisa MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
2
Vol : XXI, No : 1, MARET 2014
sebagai penentu siswa berpotensi. Hal ini siswa hanya menggeluti empat mata pelajaran saja Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Kompentensi Keahlian. Menurut Fathurrofiq (2007) yang mengungkapkan ujian nasional tidak memacu budaya belajar tetapi memicu kecurangan dan cara belajar ala bimbingan belajar. Kecurangan dan cara belajar ala bimbingan belajar seolah menegaskan lagi pendapat Koentjoroningrat tentang mentalitas menerabas dan budaya instan bangsa ini. Kecurangan dalam ujian nasional terasa sekali menunjukkan mentalitas menerabas, sikap menghalalkan segala cara demi tujuan lulus dan sukses ujian nasional. Adapun cara belajar dengan drill soal, try out, menghafal soal, dan trik-trik mengerjakan soal objektif menunjukkan sikap instan dalam penguasaan ilmu pengetahuan. Cara belajar ini tidak menunjukkan eksplorasi cipta, rasa dan karsa anak didik terhadap substansi kompetensi ilmu pengetahuan. Implikasinya, kompetensi dan kecerdasan dalam menguasai ilmu pengetahuan hanya diukur dari kemampuan memilih jawaban secara cepat dan tepat untuk mendapatkan skor tertinggi. Ujian nsional alih-alih sebagai kebijakan untuk peningkatan mutu pendidikan justru telah menihilisasi budaya belajar. Seperti halnya SMA di Kota Semarang, dimana dalam menghadapi ujian nasional seringkali menjadikan kesibukan tersendiri dari pihak guru maupun siswa sendiri. Dari guru biasanya menjelang memasuki masa ujian nasional selalu berupaya untuk menyiapkan siswanya dengan memberikan bekal materi yang cukup, yaitu dengan memberikan tambahan-tambahan jam pelajaran maupun menyiapkan soal latihan bagi siswa yang harus dikerjakan dan diulas bersama-sama di kelas. Hal ini dimaksudkan agar siswa bisa memahami materi-materi pelajaran dengan baik. Selain menyiapkan dan membuat soal-soal latihan, biasanya guru menganjurkan siswa untuk mencari sendiri soal-soal dari berbagai sumber, misalnya dari soal-soal ujian tahun sebelumnya ataupun dari kumpulan soal-soal yang lain. Dari pihak siswa sendiri dalam memasuki masa ujian nasional biasanya siswa lebih giat belajar, yaitu dengan menambah jam belajar. Ujian nasional bagi siswa sendiri sampai saat ini merupakan momok yang paling menakutkan, khususnya bagi siswa kelas III. Semakin tinggi standar nilai kelulusan yang ditetapkan pemerintah membuat siswa merasa takut dan tertekan untuk mengikuti ujian nasional. PEMBAHASAN Dinas Pendidikan Kota Semarang memiliki target/tujuan yang hendak dicapai dalam pelaksanaan UN, yaitu: (1) mengukur dan menilai kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi peserta didik pada mata pelajaran yang ditentukan, dalam rangka mencapai Standar Nasional Pendidikan, (2) mengetahui peta hasil pembelajaran untuk tiga mata pelajaran yang ditentukan, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika, dan (3) dijadikan dasar pembinaan Sekolah dalam rangka upaya peningkatan mutu pendidikan. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
3
Vol : XXI, No : 1, MARET 2014
Dinas Pendidikan Kota Semarang telah berusaha secara optimal untuk melaksanakan kegiatan UN tahun pelajaran 2012/2013 ini, melalui serangkaian proses yang cukup matang dengan harapan terpenuhinya prinsip pelaksanaan UN dengan benar. Dinas berusaha memegang teguh komitmen melaksanakan UN dengan sukses dengan berpegang pada POS UN. Dinas berusaha secara sungguh-sungguh mensosialisasikan POS kepada semua pemangku kepentingan, yaitu: sekolah, kepala sekolah, guru, siswa dan orang tua. Sehubungan dengan pelaksanaan UN, kepala sekolah menyatakan “kami sadar sepenuhnya, betapa pentingnya komunikasi dalam pelaksanaan ujian nasional ini. Tanpa komunikasi yang baik mustahil ujian nasional ini akan terlaksana dengan baik. Terlebih ujian nasional yang boleh dikatakan menjadi kontroversi dalam masyarakat. Pihak pemerintah, sekolah, orang tua dan siswa sendiri jelas memerlukan komunikasi. Pemerintah perlu mengkomunikasikan bagaimana ujian nasional ini dilaksanakan. Sekolah perlu kejelasan yang rinci mengenai pelaksanaan ujian nasional. Orang tua dan siswa memerlukan kejelasan yang detail mengenai Ujian Nasional. Di titik inilah urgensinya komunikasi sangat diperlukan dalam pelaksanaan UN”. Guru menyatakan “saya seorang guru mapel yang diujinegarakan, disamping menyiapkan anak didik agar sukses dalam UN, juga membantu kepala sekolah menyiapkan agar pelaksanan UN berjalan dengan baik, lancar, dan tertib. Kami memahami betul apa yang menjadi tugas dan tanggungjawab kami. POS yang ditetapkan menjadi pegangan kami. POS yang diterbitkan oleh BNSP betul-betul kami pelajari agar tidak ada salah langkah dalam melaksanakan Ujian Nasional”. Kepala sekolah kami menekankan “seluruh warga sekolah untuk bahu membahu agar Ujian Nasional berjalan dengan baik. Tugas dan tanggungjawab yang dimiliki harus dijalankan dengan komitmen yang tinggi”. Dalam mencapai pelaksanaan UN, orang tua menyatakan “sebagai orang tua yang anaknya sebagai peserta Ujian Nasional, sebenarnya merasa tidak nyaman dengan adanya Ujian Nasional itu. Kadang-kadang kami merasa kasihan terhadap anak ketika anak merasa bimbang antara lulus atau tidak. Masa-masa menunggu pengumuman kelulusan, sungguh melelahkan. Terus terang Ujian Nasional itu menjadi beban. Sebenarnya kalau boleh memilih, kami tidak inginkan Ujian Nasional itu. Mungkin perlu dicari cara lain sebagai pengganti Ujian Nasional”. Hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas yang merupakan pelaksanan Ujian Nasional SMA di Kota Semarang sebagai manifestasi implementasi peraturan Mendikbud RI Nomor 45 tahun 2013, akan dianalisis dengan menggunakan 4 (empat) variabel yang mempengaruhi evaluasi, yaitu: (1) komunikasi; (2) sumber-sumber; (3) disposisi; dan (4) struktur birokrasi. Penjelasan masing-masing atribut/variabel tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
4
Vol : XXI, No : 1, MARET 2014
1. Komunikasi Menurut Edwards persyaratan pertama dari efektivitas implementasi kebijakan adalah para pelaksana kebijakan harus mengetahui apa yang seharusnya dilakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah penerapan harus ditransmisikan dahulu secara tepat dan jelas kepada orang yang tepat, komunikasi harus akurat diterima oleh para pelaksana kebijakan. Setiap pesan yang terkandung dalam suatu keputusan kebijakan hendaknya dapat disampaikan dalam kondisi yang tepat sasaran dan tepat substansinya. Pendeknya komunikasi yang efektif merupakan salah satu faktor yang menentukan efektivitas implementasi kebijakan. Dalam pelaksanaan atau implementasi ujian nasional, komunikasi sangat diperlukan. Salah satu kepala sekolah yang merupakan salah satu informan kunci menuturkan: “kami sadar sepenuhnya, betapa pentingnya komunikasi dalam pelaksanaan Ujian Nasional ini. Tanpa komunikasi yang baik mustahil Ujian Nasional ini akan terlaksana dengan baik. Terlebih Ujian Nasional yang boleh dikatakan menjadi kontroversi dalam masyarakat. Pihak pemerintah, sekolah, orang tua dan siswa sendiri jelas memerlukan komunikasi. Pemerintah perlu mengkomuni-kasikan bagaimana Ujian Nasional ini dilaksanakan. Sekolah perlu kejelasan yang rinci mengenai pelaksanaan Ujian Nasional. Orang tua dan siswa memerlukan kejelasan yang detail mengenai Ujian Nasional. Di titik inilah komunikasi sangat urgen”. (Hasil wawancara dengan Kepala Sekolah). Menurut informan yang lain, komunikasi ini sangat penting, sayang waktunya boleh jadi sangat mepet. Beliau menuturkan bahwa: “tanpa komunikasi, Ujian Nasional tidak mungkin. Banyak hal yang bertalian dengan Ujian Nasional harus dijelaskan kepada pihak sekolah, orang tua, dan murid. Mulai dari yang mendasar sampai kepada hal yang sangat teknis. Istilahnya pervisualisasi lebih awal. Melalui sosialisasi yang lebih awal maka semuanya akan menjadi lebih jelas. Pemerintah dan BSNP seharusnya melakukan komunikasi atau sosialisasi Ujian Nasional ini dengan sebaik mungkin dan dalam waktu yang cukup. Rasanya untuk ukuran kali ini waktu sosialisasi agak mepet”. (Wawancara dengan Ka Dinas Pendidikan Kota Semarang). Sumber lain juga menyatakan bahwa : “kami sebagai seorang yang mendambakan Ujian Nasional berjalan lancar dan siswa dapat lulus, sangat memerlukan kejelasan dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Kami selaku guru dan panitian Ujian Nasional tingkat sekolah sangat terbantu dengan adanya prosedur operasional standar (POS) Ujian Nasional. POS menjadi panduan kami dalam bekerja. POS adalah alat komunikasi, kendati untuk memahami POS perlu waktu”. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
5
Vol : XXI, No : 1, MARET 2014
Berdasarkan hal di atas, implementasi Ujian Nasional berhasilnya sangat memerlukan komunikasi. Komunikasi perlu dilakukan secara intensif kepada semua pemangku kepentingan, dan waktunya perlu agak panjang. Ujian Nasional untuk jenjang SMA dan SMK di Kota Semarang telah berjalan cukup baik dengan adanya POS sebagai alat untuk komunikasi. 2. Sumber-sumber Sebagaimana ditekankan oleh Winarno (2007) perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi cenderung tidak efektif. Sumber-sumber merupakan faktor yang sangat penting dalam implementasi kebijakan. Dalam mengimplementasikan kebijakan dalam pelaksanaannya tidak boleh kekurangan sumber daya. Edwards menyebut bahwa sumber daya bisa menjadi faktor kritis di dalam mengimplementasikan kebijakan publik. Sumber daya yang paling esensial dalam mengimplementasikan kebijakan adalah staf. Ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan pada sumber daya staf ini. Pertama, jumlah staf yang cukup, dan kedua keterampilan. Untuk melaksanakan kebijakan diperlukan jumlah yang cukup. Banyak contoh implementasi kebijakan yang gagal, karena kekurangan staf dalam implementasinya. Kemudian staf yang cukup itu harus disertai dengan keterampilan yang memadai. Dalam melaksanakan ujian nasional ini, jelas memerlukan staf atau personal yang banyak dengan keterampilan yang jelas. Terkait dengan hal ini, seorang informan menuturkan: “dalam melaksanakan Ujian Nasional ini sudah barang tentu melibatkan banyak orang. Misalnya penyelenggara Ujian Nasional. Ada penyelenggara Ujian Nasional tingkat pusat, tingkat propinsi, tingkat kabupaten/kota, dan tingkat sekolah. Masingmasing penyelenggara mempunyai tugas yang sudah ditentukan atau dirinci”. Dalam
kaitannya
dengan
tugas
dan
tanggungjawab
sebagai
anggota
penyelenggara Ujian Nasional, seorang guru menuturkan : “saya seorang guru mapel yang diujinasionalkan, disamping menyiapkan anak didik agar sukses dalam Ujian Nasional, juga membantu kepala sekolah menyiapkan agar pelaksanaan Ujian Nasional berjalan dengan baik, lancar, dan tertib. Kami memahami betul apa yang menjadi tugas dan tanggungjawab kami. POS yang ditetapkan menjadi pegangan kami. POS yang diterbitkan oleh BNSP betul-betul kami pelajari agar tidak ada salah langkah dalam melaksanakan Ujian Nasional. Kepala sekolah kami menekankan seluruh warga sekolah untuk bahu membahu agar Ujian Nasuional berjalan dengan baik. Tugas dan tanggungjawab yang dimiliki
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
6
Vol : XXI, No : 1, MARET 2014
harus dijalankan dengan komitmen yang tinggi”. (hasil wawancara dengan guru mapel) Penyelenggara ujian di sekolah, kepala sekolah memikul tanggungjawab agar Ujian Nasional berjalan baik. “saya beruntung memiliki staf yang banyak. Masing-masing person mau dan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Saya merasa senang, masingmasing person mempunyai komitmen terhadap tugas yang diembannya. Saya berani menyatakan staf saya bisa diandalkan” (hasil wawancara dengan kepala sekolah) Berdasarkan hasil wawancara di atas, pelaksanaan Ujian Nasional SMA di Kota Semarang dapat disimpulkan di dukung oleh staf yang cukp. Masing-masing staf memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk melaksanakan tugasnya. 3. Disposisi Disposisi
merupakan
kecenderungan-kecenderungan
atau
tingkah
laku,
kecenderungan dari pada pelaksana kebijakan mempunyai konsekuensi-konsekuensi bagi implementasi kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap kebijakan tertentu, hal ini berarti adanya dukungan kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal. Demikian sebaliknya, bila tingkah laku atau perspektif-perspektif para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan sulit. Edwards menyatakan banyak kebijakan masuk ke dalam “zona ketidakacuhan”. Ada kebijakan yang dilaksanakan secara efektif karena mendapat dukungan dari para pelaksana kebijakan, namun kebijakan-kebijakan lain mungkin akan bertentangan secara langsung dengan pandangan-pandangan pelaksana kebijakan atau kepentingankepentingan pribadi atau organisasi dari para pelaksana. Jika orang diminta untuk melaksanakan perintah-perintah yang tidak mereka setujui, maka kesalahan-kesalahan yang tidak dapat dielakkan terjadi, yakni antara keputusan-keputusan kebijakan dan pencapaian kebijakan. Dalam pelaksanaan Ujian Nasional SMA di Kota Semarang, faktor disposisi tidak terhindarkan. Terkait dengan disposisi ini, salah seorang nara sumber mengungkapkan: “harus diakui kebijakan mengenai Ujian Nasional ini menimbulkan perdebatan dalam masyarakat. Masyarakat mempertanyakan, baik para pengamat pendidik, para praktisi pendidikan, LSM, maupun orang tua siswa, apa pertimbangan filosofis, sosiologis maupun yuridisnya dari Ujian Nasional. Belum lagi soal psikologis siswa menjadi susah dan orang tua merasa gelisah. Menjamurnya bimbingan belajar mengekspresikan masalah itu. Sudah barang tentu untuk bimbingan belajar itu MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
7
Vol : XXI, No : 1, MARET 2014
membutuhkan biaya, andaikan boleh masyarakat menghendaki Ujian Nasional itu ditiadakan saja. Namun demikian, Ujian Nasional merupakan kebijakan pemerintah, tidak
ada
jalan
lain
kecuali
kami
harus
melaksanakan
dengan
penuh
tanggungjawab. Kami coba untuk “tutup mata” terhadap wacana yang muncul di masyarakat”. (hasil wawancara dengan Kadinas Pendidikan). Sementara itu, sumber lain mengemukakan pandangannya sebagai berikut: “rasa-rasanya memang tidak adil anak belajar selama 3 tahun, dengan berbagai mata pelajaran dan aneka kegiatan, harus diakhiri dengan Ujian Nasional. Tiga pelajaran dengan durasi waktu 3 kali 120 menit. Anak divonis lulus atau tidak melalui 3 mata pelajaran. Namun demikian kami harus melaksanakan kebijakan Ujian Nasional. Kami sebagai pelaksana ya harus melaksanakan tugas Ujian Nasional itu sepenuh hati, kami tidak setengah-setengah”. (hasil wawancara dengan kepala sekolah) Salah seorang orang dari peserta Ujian Nasional juga menuturkan: “sebagai orang tua yang anaknya sebagai peserta Ujian Nasional sebenarnya merasa tidak nyaman dengan adanya Ujian Nasional itu. Kadang-kadang kami merasa kasihan terhadap anak ketika anak merasa bimbang antara lulus atau tidak. Masa-masa menunggu pengumuman kelulusan, sungguh melelahkan. Terus terang Ujian Nasional itu menjadi beban. Sebenarnya kalau boleh memilih, kami tidak inginkan Ujian Nasional itu. Mungkin perlu dicari cara lain sebagai pengganti Ujian Nasional”. (hasil wawancara dengan orang tua siswa) Jika
dicermati
mengenai
Ujian
Nasional
ada
kecenderungan
penolakan
terhadapnya. Atau setidaknya perlu dicari formula yang pas, lebih adil, dan yang lebih menekankan hal yang lebih edukatif. Satu hal yang penting menempatkan siswa sebagai subjek dalam arti yang sebenarnya. Perlu diformulasikan Ujian Nasional yang substansial bagi tumbuh kembang peserta didik, bukan Ujian Nasional yang hanya sebagai pencitraan. 4. Struktur birokrasi Suatu
struktur
birokrasi
menetapkan
bagaimana
tugas
pekerjaan
dibagi,
dikelompokkan, dan dikoordinasikan secara formal. Ada dua karakteristik penting dari variabel struktur birokrasi, yaitu prosedur operasional standar (POS), dan fragmentasi. POS berkaitan dengan unsur formalisasi, sedangkan fragmentasi berkaitan dengan spesialisasi dan departementalisasi. POS diadakan sebagai tanggapan atas keterbatasan waktu dan sumber daya serta keinginan akan keseragaman operasi dalam organisasi pelaksana yang sangat kompleks dan menyebar. Pelaksana suatu kebijakan sangat tergantung pada kejelasan dari standar prosedur tindakannya yang bisa berwujud petunjuk teknis atau bentuk yang lain, MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
8
Vol : XXI, No : 1, MARET 2014
karena dalam POS ini terdapat urutan tahapan pelaksanaan kebijakan sejak awal hingga akhir, sehingga kegiatan implementasi dapat berjalan efektif dan efisien. Framentasi merupakan penyebar tanggungjawab atas suatu kebijakan. Semakin banyak aktor dan lembaga yang terlibat dalam suatu kebijakan akan semakin tinggi tingkat ketergantungan mereka dalam mengambil keputusan, maka semakin rendah kemungkinan implementasi kebijakan akan berlangsung dengan efektif. Sebagai suatu bagian dari fragmentasi organisasi koordinasi diantara para pelaksana harus ada sebagai konsekuensi logis dari pemancaran wilayah tanggungjawab kebijakan di antara beberapa unit organisasi pelaksana. Terkait dengan struktur birokrasi ini, seorang sumber menuturkan bahwa : “kami selaku salah satu unsur penyelenggara Ujian Nasional SMA di Kota Semarang, sangat terbantu dengan adanya POS yang diterbitkan oleh BSNP. Dalam POS tersebut mengatur 9 hal, yaitu: peserta Ujian Nasional penyelenggara Ujian Nasional, bahan Ujian Nasional, pelaksana Ujian Nasional, pemeriksaan hasil Ujian Nasional, kelulusan, biaya penyelenggaraan Ujian Nasional, dan sanksi. Kesembilan hal tersebut mengatur secara rinci. Misalnya menyangkut peserta Ujian Nasional, dalam peserta Ujian Nasional ini diatur mengenai persyaratan calon peserta Ujian Nasional dan pendaftaran calon peserta Ujian Nasional. Dalam penyelenggara ujian tingkat pusat hingga penyelenggara tingkat sekolah. Termasuk tim pembantu independent juga diatur. Sesuai dengan permendiknas nomor 45 tahun 2006 tentang Ujian Nasional, bahwa harus dilakukan secara objektif, berkeadilan, dan akuntabel, maka ada TPI. Tugas utama TPI adalah membantu BSNP dalam memantau pelaksanaan Ujian Nasional sesuai dengan ketentuan dalam POS”. (hasil wawancara dengan Ka Dinas Pendidikan). Penyelenggara Ujian Nasional paling bawah adalah sekolah. Sekolah yang dapat menyelenggarakan Ujian Nasional adalah sekolah yang memiliki peserta Ujian Nasional minimal 20 peserta didik dan memiliki fasilitas ruang yang layak. Penyelenggaraan Ujian Nasional tingkat sekolah ditetapkan oleh kepala sekolah yang terdiri dari unsur-unsur kepala sekolah dan guru dari sekolah, dan kepala sekolah dan guru sekolah lain yang bergabung. Seorang sumber mengemukakan bahwa: “kami selaku pelaksana ujian di level paling bawah berusaha untuk melaksanakan Ujian Nasional sebaik-baiknya sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan. Adapun tugas kami sesuai dengan ketentuan POS adalah sebagai berikut: Merencanakan penyelenggaraan UN di Sekolah/Madrasah a. Menerima SKL dan melakukan sosialisasi kepada guru dan peserta ujian b. Melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan UN kepada peserta UN dan orang tua MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
9
Vol : XXI, No : 1, MARET 2014
c. Melakukan latihan pengisian LJUN kepada calon peserta UN d. Mengambil bahan UN di tempat yang sudah ditetapkan oleh penyelenggara UN tingkat kabupaten/kota e. Memeriksa dan memastikan amplop naskah UN dalam keadaan tertutup f. Menjaga kerahasiaan dan keamanan bahan UN g. Melaksanakan UN sesuai dengan tata tertib h. Menjaga keamanan penyelenggaraan UN i. Memeriksa dan memastikan amplop LJUN dalam keadaan tertutup dengan disegel dan telah ditandatangani oleh Pengawas Ruang UN, serta dibubuhi stempel sekolah/Madrasah penyelenggara UN j. Mengumpulkan bahan UN serta mengirimkannya ke penyelenggara UN tingkat Kabupaten/Kota k. Menerima DKHUN dari penyelenggara UN tingkat Kabupaten/Kota l. Menerbitkan, menandatangani, dan membagikan SKHUN kepada peserta UN m. Menerbitkan, menandatangani, dan membagikan ijazah kepada peserta didik yang dinyatakan lulus dari satuan pendidikan n. Menyampaikan laporan penyelenggaraan UN kepada penyelenggara UN tingkat Kabupaten/Kota, khusus untuk sekolah Indonesia di luar negeri kepada perwakilan RI setempat” Berdasarkan kutipan hasil wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa Ujian Nasional SMA di Kota Semarang didukung oleh struktur birokrasi. Melalui POS yang diterbitkan oleh BSNP selaku penanggungjawab UN, struktur birokrasi penyelenggara UN mempunyai tugas tanggungjawab yang jelas, siapa melakukan apa, dan bagaimana menjadi jelas. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Implementasi kebijakan Ujian Nasional (UN) untuk Sekolah Menengah Atas Negeri (SMA) di Kota Semarang tahun pelajaran 2012/2013 telah berjalan dengan lancar, tertib dan dapat mencpai target atau sasaran. Pelaksanaan Ujian Nasional telah sesuai dengan ketentuan yang digariskan dan prosedur operasional standar (POS) yang diterbitkan oleh BSNP, sebagai tindakan lanjut dari Permendiknas RI Nomor 45 tahun 2006 tentang Ujian Nasional tahun pelajaran 2012/2013. 2. Faktor yang mendukung implementasi kebijakan Ujian Nasional untuk SMAN di Kota Semarang adalah sumber-sumber dalam hal ini adalah staf-staf cukup yang mau dan mampu untuk melaksanakan Ujian Nasional sesuai dengan ketentuan yang telah MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
10
Vol : XXI, No : 1, MARET 2014
digariskan. Masing-masing staf memiliki komitmen yang tinggi dan dapat diandalkan. Struktur birokrasi juga menjadi faktor pendukung implementasi Ujian Nasional. Keberadaan struktur birokrasi dan pos menjadi pengawal yang baik bagi kesuksesan Ujian Nasional SMAN di Kota Semarang. Adapun yang menjadi faktor penghambat implementasi UN adalah faktor komunikasi, dalam arti sosialisasi mengenai UN waktu agak singkat. Faktor disposisi juga menjadi faktor penghambat, terutama masyarakat ada semacam penolakan-penolakan terhadap UN, karena UN dianggap merugikan siswa. Berdasarkan hasil pembahasan yang di atas, dapat diajukan saran sebagai berikut: a. Dinas Pendidikan Kota Semarang perlu mensosialisasikan mengenai teknis operasional UN kepada satuan pendidikan, siswa dan orang tua dengan waktu yang tidak mepet dengan pelaksanaan UN. b. Kebijakan UN perlu ditinjau agar formatnya lebih edukatif, adil, dan menempatkan siswa sebagai subjek. Caranya 6 mata pelajaran yang di UN kan jangan menjadi satu-satunya penentuan kelulusan bagi siswa. Untuk menentukan kelulusan UN perlu diintegrasikan dengan nilai atau hasil ujian sekolah. DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, 1995, Dasar-dasar Evaluasi, Jakarta: Bumi Aksara. ________, 2003, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Edisi Revisi, Jakarta: Bumi Aksara. Bungin, Burhan, 2003, Metodologi Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Daryanto, 2005, Evaluasi Pendidikan, Cetakan III, Jakarta: PT. Rineka Cipta. Fathurrofiq, 2007, Rekayasa Pendidikan Pasca UN, Kompas, 07 Mei 2007. Kartono, Kartini, 2005, Metode Penelitian Bidang Sosial, Jakarta : Pustaka Setia Moeleong, Lexy J., 2004, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya ________, 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cetakan X, Bandung : Remaja Rosdakarya. Partanto, Pius A. & M. Dahlan Al Barry, 1994, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya : Alola. Purwanto, Ngalim, M.P, 2002, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Rohendi, Rohidi T. dkk, 2002, Pendekatan Sistem Sosial Budaya dalam Pendidikan, Semarang : IKIP Semarang Press Spradley, Jmes, P., 2007, Metode Etnografi, Edisi II, Yogyakarta: Tiara Wacana. Sudijono, Anas, 1996, Pengantar Evalusi Pendidikan, Jakarta: Raja grafindo Persada. Sugiyono, 2007, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualaitatif dan R & D, Bandung : Alfabeta MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
11
Vol : XXI, No : 1, MARET 2014
________, 2008, Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D, Bandung: Alfabeta. Thoha, M. Chabib, 1996, Teknik Evaluasi Pendidikan, Cetakan III, Jakarta: PT. Rajagrafindo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang “Sistem Pendidikan Nasional. 2006”. Surabaya: Kesindo Utama.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
12