Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar
Tesis
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Derajat Magister Program Studi Magister Administrasi Publik
Oleh: Larmanto NIM. S. 2405017
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008 i
Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar
Oleh: Larmanto NIM. S. 2405017
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing Dewan Pembimbing : Jabatan Pembimbing I
Nama
Tanda Tangan
Dr. P. Israwan Setyoko, M.S.
Pembimbing II Drs. Priyanto Susiloadi, M.Si.
Mengetahui Ketua Program Studi Magister Administrasi Publik
Dr. Dradjat Tri Kartono, M.Si. NIP. 131 884 423
ii
Tanggal
Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar
Oleh:
Larmanto NIM. S. 2405017
Telah disetujui oleh Tim Penguji Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Ketua
Dr. Dradjat Tri Kartono, M.Si.
Sekretaris
Dra, Kristina Setyowati, M.Si.
Anggota Penguji
Dr. P. Israwan Setyoko, M.S.
Anggota Penguji
Drs. Priyanto Susiloadi, M.Si.
Mengetahui Ketua Program Studi MAP
Dr. Dradjat Tri Kartono, M.Si. NIP. 131 884 423
Direktur Program PascaSarjana
Prof. Drs. Suranto, M.Sc. Ph.D. NIP 131 472 192
iii
Tanggal
PERNYATAAN
Nama NIM.
: Larmanto : S. 2405017
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar adalah benar-benar karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia, menerima sangksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, Februari 2008 Yang membuat pernyataan
Larmanto
iv
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas limpahan Kasih dan KaruniaNya penulis diberi kekuatan dan kemampuan untuk menyelesaikan tesis dengan judul Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar Penelitian ini dilaksanakan untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister pada Program Studi Magister Administrasi Publik dengan konsentrasi Kebijakan Publik. Tesis ini dapat terselesaikan atas bantuan dan dukungan banyak pihak, maka dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak
Prof. Drs. Suranto, M.Sc. Ph.D. Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta beserta staf yang telah memberikan segala fasilitas dan kesempatan untuk penyelesaian tesis ini.. 2. Bapak. Dr. P. Israwan Setyoko, MS. selaku Pembimbing I yang dengan sabar dan bijaksana senantiasa memberikan pengarahan dan bimbingan yang terbaik untuk penulisan tesis ini. 4. Bapak Drs. Priyanto Susiloadi, M.Si, selaku Pembimbing II yang senantiasa dengan penuh kesabaran memberikan petunjuk dan koreksi dalam penulisan tesis ini.yang telah membantu dan memotivasi dalam penyelasaian tesis ini. 5. Segenap staf pengajar Magister Administrasi Publik atas ketrampilan yang telah diberikan.
v
pengetahuan dan
6.
Drs. Sugiharto, Selaku Camat Jaten Kabupaten Karanganyar, dan para staf yang telah dengan sabar memberikan informasi dan data untuk tesis ini.
7. Orang Tua, Istri, dan Anakku yang tak henti-hentinya membangkitkan semangat hidup untuk lebih maju. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Karenanya segala sesuatu yang menjadi kekurangan dari tesis ini dapat dijadikan renungan bagi semua pihak untuk mengadakan penelitian yang lebih tajam dan mendalam berkaitan dengan permasalahan tesis ini. Akhirnya Semoga tesis ini bermanfaat dan dapat membangkitkan kepedulian
terhadap upaya peningkatan pembangunan bangsa. Kiranya Tuhan
Memberkati kita semua, Amin.
Surakarta, Februari 2008
Larmanto S. 2405017
vi
DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul……………………………………………………..……
i.
Halaman Pengesahan Pembimbing …………………………………….
ii.
Halaman Pengesahan Tesis …………………………………………….
iii.
Pernyataan……………………………………………………………...
iv.
Persembahan……………………………………………………………
v.
Kata Pengantar…………………………………………………………
vi.
Daftar Isi……………………………………………………………….
vii.
Daftar Tabel……………………………………………………………
viii.
Daftar Gambar…………………………………………………………
ix.
Abstract………………………..………………………………………
x.
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………..…………….. B. Perumusan Masalah……………………………………... C. Tujuan Penelitian………………………………………... D. Manfaat Penelitian………………………………………
1 1 6 7 7
BAB II
KAJIAN TEORI . . . . . . ………………………………….. A. Konsep Implementasi Kebijakan...…………………….. B Pemungutan PBB Sebagai Kebijakan Publik ..……….. C. Pemungutan dan Pembayaran PBB . . ..………………. D. Kerangka Berpikir ......…………………………….
8 8 19 25 32
BAB III
METODE PENELITIAN
35
A Lokasi …………………….…………………………. B. Jenis Penelitian………………………………………… C. Fokus dan aspek Kajian . ……………………………… D. Data dan Sumber Data. ..………………………………. E. Teknik Teknik Penentuan Informan …………................ F. Teknik Pengumpulan data …………..………………… G. Uji Validitas Data ……………………………………. H. Teknik Analisis Data……………………………………
35 35 37 37 38 38 38 39
vii
BAB IV
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. .............................………………… B. Implementasi Pemungutan PBB di Kabupaten Karanganyar …………………………………… I. Isi Kebijakan …………………………………… 2. Sumber Daya manusia. …………………………… 3. Kepatuhan Pelaksana. . . .…………………………… 4. Komunikasi………………………………………… 5. Faktor Faktor –Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Implementasi Pemungutan PBB ……………… PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………… B. Implikasi…………………………………………… C. Saran…………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
viii
Halaman 41 41 44 46 55 59 67 75 86 86 89 90
DAFTAR TABEL Halaman Tabel
1
Penerimaan PBB dari Tahun 2000 sampai dengan 2005 di Kabupaten Karanganyar 2
Tabel 2
Data Realisasi Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten
3
Tabel 3
Data Kontribusi Penerimaan PBB Kecamatan Jaten dibandingkan Penerimaan PBB Tingkat kabupaten Karanganyar
4
Tabe
4
Tabel 5
Luas Wilayah per Desa di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar Tingkat Pendidikan Kepala Dusun Di Kecamartan Jaten Kabupaten Karanganyar Tahun 2005
ix
42
58
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1
Model Implementasi Kebijakan Grindle
13
Gambar 2
Model Implementasi Kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian
15
Gambar 3
Model Implementasi Kebijakan menurut Van Meter & Van Horn
18
Gambar
1
Skema Tim Intensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan
28
Gambar
2
Kerangka Pemikiran Penelitian Implementasi Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar
29
Gambar
3
Fokus dan aspek kajian penelitian
34
Gambar
4
Model Analisis Interaktif
38
x
ABSTRAK
Larmanto S. 2405017, 2007. Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar. Tesis Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses implementasi pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar dan untuk mengetahui faktor penghambat dan faktor pendukung dalam implementasi kebijakan pemungutan PBB. Teori yang dijadikan referensi dalam penelitian ini adalah model implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn (1975) dan model Grindle (1980). Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan dukungan data kualitatif dan kuantitatif. Pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan dokumentasi. Validitas data dilakukan dengan triangulasi data. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data interaktif. Hasil analisis dalam penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : (1) Dalam kebijakan Pemungutan PBB terdapat pemisahan kewenangan yang bersifat administratif dan operasional antara Departemen Keuangan dengan Pemerintah Kabupaten Karanganyar (2) Sumber daya manusia terdiri dari para kepala dusun sebagai petugas pemungut yang sangat mengetahui situasi wilayahnya. (3) kepatuhan pelaksana dalam menyalurkan SPPT PBB tidak dapat dilakukan tepat sesuai dengan alokasi waktu (4) Kepatuhan dalam pengadministrasian PBB belum berjalan dengan baik, (5) Sistem penghargaan (rewards) dan hukuman (punisment) telah dilakukan (6) Peraturan PBB kurang memberi sanksi yang jelas dan tegas. faktor yang dapat menghambat keberhasilan implementasi pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar antara lain keterlambatan dan kesalahan dalam SPPT yang dikeluarkan KP PBB, belum ada shock therapy terhadap wajib pajak yang tidak membayar PBB, Kepatuhan aparat pelaksana masih kurang, lemahnya pengadministrasian dalam mutasi SPPT PBB. Banyak Pemilik tanah di Kecamatan Jaten yang berdomisili di luar wilayah Kecamatan Faktor pendukung yang mendorong keberhasilan Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten adalah sebagai berikut : Komitmen pimpinan wilayah, Sistem rewards berupa hadiah undian, Saran dalam penelitian ini adalah (1) Perlu ada shock therapy berupa sanksi yang tegas terhadap wajib pajak yang menunggak PBB (2) Perlu adanya penyempurnaan sistem administrasi pertanahan yang mengatur kewajiban dan kewenangan Pejabat Pembuat Akte Tanah, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan KP PBB agar setiap mutasi kepemilikan dan pemanfaatan tanah diikuti dengan mutasi SPPT PBB (3) Perlunya peningkatan koordinasi lintas sektoral antara Dipenda, Kantor KP PBB, Kecamatan dan Desa (4) mekanisme upah pungut perlu ditata ulang.
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Untuk memenuhi tuntutan perkembangan jaman yang semakin maju, dibutuhkan pemerintahan yang responsif dan mandiri. Sejak diberlakukannya otonomi daerah, Pemerintah Daerah dituntut untuk lebih kreatif mencari terobosan untuk meningkatkan pendapatan daerahnya. Sumber-sumber pendapatan daerah terdiri dari komponen Pendapatan Asli Daerah Sendiri (PADS), Dana Alokasi dari Pemerintah Pusat yang terdiri dari dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), Pinjaman daerah dan penerimaan lain yang sah. Pendapatan daerah dari sektor pajak termasuk dalam
komponen
pendapatan asli
daerah
yang
nilainya
signifikan
dibandingkan dengan sumber pendapatan lainnya. Pada sektor pajak, sumbangan terbesar untuk PADS Kabupaten Karanganyar diberikan oleh Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yaitu sebesar 23,3 % pada tahun 2005. Penerimaan daerah dari sektor PBB telah diatur dalam undang-undang nomor 12 Tahun 1986 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, sebagimana telah disempurnakan dalam Undang Undang Nomor 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan., dimana pembagiannya ditetapkan untuk pemerintah pusat 10 %, Pemerintah Provinsi 16,2 %, Pemerintah Kabupaten 64,8 % dan Upah Pungut 9 %. Bagi pemerintah daerah pemasukan dari pembagian pemasukan
PBB
ini
cukup
penting
1
dalam
menopang
jalannya
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah, oleh karena itu dibutuhkan adanya menajemen yang baik untuk mengendalikan penagihan PBB ini. Kenyataan yang terjadi di Kabupaten Karanganyar, pendapatan dari sektor PBB belum dapat mencapai target seperti yang diharapkan. Data penerimaan PBB dari tahun ke tahun menunjukkan trend yang fluktuatif. Kecenderungan fluktuasi Penerimaan PBB ini dapat dilihat dalam tabel 1 sebagai berikut : Tabel 1 Penerimaan PBB dari Tahun 2000 sampai dengan 2005 di Kabupaten Karanganyar No
Tahun 2000
Target ( Rp) 2.500.000.000,00
Realisasi ( Rp) 3.096.663.334,00
Persentase ( %) 123,87
1. 2
2001
5.175.278.000,00
4.397.408.000,00
84,97
3
2002
6.156.457.000,00
5.377.052.075,00
87.34
4
2003
6.323.031.000,00
6.060.879.291,00
95,85
5
2004
7.601.407.000,00
8.298.622.990,00
109,17
6
2005
10.645.923.221,00
10.004.563.346,00
98,21
Sumber : Kantor Dipenda Kabupaten Karanganyar, 2006. Data diatas menunjukkan rata-rata setiap tahun terjadi peningkatan realisasi penerimaan yang cukup besar. Meskipun pada tahun sebelumnya masih ada tunggakan tetap saja terjadi kenaikan realisasi PBB. Besarnya tunggakan dari tahun ke tahun tidak menunjukkan trend yang konstan melainkan bersifat fluktuatif.
2
Perolehan pemungutan PBB di tingkat kecamatan sejak tahun 2000 juga selalu menyisakan adanya tunggakan PBB sebagaimana yang terjadi di Kecamatan Jaten seperti data berikut : Tabel 2 Data Realisasi Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Tahun
Target
Realisasi
Persentase
(Rp)
(Rp)
(%)
2000
854.847.525,00
716.060.558,00
83,76
2001
1.384.583.500,00
1.327.980.832,00
95,91
2002
1.713.769.040,00
1.396.148.053,00
81,47
2003
2.100.950.110,00
1.680.916.882,00
80,01
2004
2.706.644.926,00
2.435.084.236,00
89,97
2005
2.864.118.090,00
2.443.639.849,00
85,32
Sumber : Kantor Kecamatan Jaten. Data diatas menunjukkan dari tahun ke tahun selalu ada tunggakan PBB yang berkisar antara 5 sampai 15 persen per tahun. Besarnya tunggakan PBB di Kecamatan Jaten Membutuhkan perhatian serius karena Kecamatan Jaten merupakan kecamatan yang memberikan kontribusi terbesar dari penerimaan sektor PBB dibandingkan 16 Kecamatan lainnya di wilayah Kabupaten Karanganyar. Kontribusi penerimaan penerimaan
PBB
tingkat
PBB Kecamatan Jaten terhadap total
Kabupaten
Karanganyar
sebagaimana dapat dilihat dalam tabel 3 berikut ini :
3
cukup
signifikan
Tabel 3 Data Kontribusi Penerimaan PBB Kecamatan Jaten dibandingkan Penerimaan PBB Tingkat kabupaten Karanganyar Realisasi Kabupaten Karanganyar
Persentase Kontribusi dari Kecamatan jaten (%)
Tahun
Realisasi Kecamatan Jaten
2000
(Rp) 716.060.558,00
(Rp) 3.096.663.334,00
23,12
2001
1.327.980.832,00
4.397.408.000,00
30,20
2002
1.396.148.053,00
5.377.052.075,00
25,96
2003
1.680.916.882,00
6.060.879.291,00
27,73
2004
2.435.084.236,00
8.298.622.990,00
29,34
2005
2.443.639.849,00 10.004.563.346,00
24,43
Sumber : Kantor Kecamatan Jaten. Data tersebut menunjukkan bahwa kontribusi Penerimaan PBB dari Kecamatan Jaten menyumbangkan 23 sampai dengan 30 persen total penerimaan PBB di Kabupaten Karanganyar. Adanya tunggakan yang selalu terjadi setiap tahun merupakan permasalahan rutin yang tidak mudah untuk diselesaikan. Untuk menjawab permasalahan ini dibutuhkan strategi yang tepat untuk memberikan arah bagi pelaksanaan
kebijakan
yang
komprehensif
dan
menyentuh
akar
permasalannya. Penyusunan strategi yang tepat membutuhkan informasi yang cukup dan akurat mengenai hambatan-hambatan dalam proses implementasi Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar.
4
Permasalahan yang menyebabkan tidak optimalnya pemungutan PBB dapat dilihat dari berbagai segi diantaranya dari segi kebijaksanaan publik yang meliputi Formulasi maupun implementasi kebijakannya. Dari segi otoritas pelaksana kebijakan pemungutan PBB, Kewenangan Pemungutan PBB telah dilimpahkan oleh pemerintah Pusat kepada Bupati / Walikota melalui
Keputusan
Pelimpahan
tersebut
Menteri meliputi
Keuangan pelimpahan
nomor
1007/KMK/04/1995.
mekanisme
penagihannya
sedangkan urusan prinsipal mengenai pendataan subyek dan obyak pajak, penetapan besarnya nilai PBB sampai pada pemaksaan dan sanksi masih berada pada Departemen Keuangan dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan. Dengan adanya pemisahan kewenangan antara Pemerintah Kabupaten dan Kantor Pelayanan pajak, seringkali terjadi permasalahan dan kendala dalam implementasi pemungutan PBB antara lain : 1. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) seringkali terlambat disampaikan kepada masyarakat maupun tempat pembayaran, 2. Setiap ada kesalahan administratif mengenai data yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) harus diselesaikan melalui KP PBB. 3. Penentuan besaran pajak oleh KP PBB seringkali tidak akurat sehingga masyarakat yang merasa tidak diperlakukan secara adil atau merasa keberatan tidak mau melunasi PBB, sedangkan untuk mengajukan keberatan harus dilakukan di KP PBB. 4. KP PBB Surakarta memiliki cakupan wilayah pelayanan yang sangat luas meliputi Kabupaten Sragen, Kota Surakarta dan Kabupaten Karanganyar dengan jumlah Wajib
5
pajak yang dilayani mencapai 2 juta Wajib pajak, sehinga pelayanan tidak dapat diberikan secara cepat dan optimal karena keterbatasan kemampuan sumber daya yang dimiliki dibandingkan dengan cakupan pelayanan yang seharusnya diberikan. Lemahnya koordinasi dalam administrasi pertanahan ditengarai juga menyebabkan kendala dalam pemungutan PBB. Contohnya koordinasi antara Badan Pertanahan Nasional dan KP PBB dalam hal pengadministrasian mutasi tanah. Hal ini ditandai dengan banyaknya mutasi kepemilikan tanah yang tidak diikuti oleh mutasi administrasi PBB, sehingga pada saat penagihan nama yang tercantum dalam SPPT tidak mau membayar dengan alasan sudah tidak menguasai tanah yang tercantum dalam SPPT PBB nya ditagihkan
kepadanya. Akibatnya
petugas pemungut yang notabene
merupakan aparat pemerintah desa setempat pun menemui kesulitan untuk melakukan penagihan. Tidak adanya penegakan hukum berupa sanksi yang tegas kepada para penunggak PBB adalah faktor lain penyebab tidak optimalnya pemungutan PBB. Berbagai kendala sebagaimana disebutkan diatas menyebabkan pemungutan PBB Tidak dapat optimal dengan hasil lunas 100 %, tetapi selalu menyisakan tunggakan dari tahun ketahun. B. Perumusan Masalah Rumusan implementasi
masalah
pemungutan
dalam
penelitian
PBB
Karanganyar?”
6
di
ini
Kecamatan
adalah Jaten
“Bagaimana Kabupaten
C. Tujuan Penelitian. 1. Untuk mengetahui proses implementasi pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar 2. Untuk mengetahui faktor penghambat dan faktor pendukung dalam implementasi kebijakan pemungutan PBB. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Secara khusus hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi Pemerintah Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar dalam rangka meningkatkan penerimaan dari sektor PBB.
2.
Secara umum hasil penelitian ini diharapkan akan dapat digunakan oleh para pembuat kebijakan
pemerintah
dalam upaya meningkatkan
penerimaan pendapatan negara dari sektor PBB. 3.
Sebagai masukan bagi kalangan akademis yang tertarik untuk mlelaksanakan penelitian sejenis.
7
BAB II KAJIAN TEORI
A. Konsep Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan merupakan bagian dari studi kebijakan (publik), disamping studi formulasi kebijakan dan studi evaluasi kebijakan. Terdapat beberapa pengertian mengenai apa yang disebut dengan kebijakan publik itu. Menurut Anderson (1975 : 5) menyatakan kebijakan publik sebagai berikut : public policy are those policies developed by govermental bodies and officials (kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh badan atau pejabat pemerintah), dan maknanya adalah : a. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau suatu tindakan berorientasi pada tujuan; b. Kebijakan tersebut berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat pemerintah; c. Kebijakan tersebut merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, bukan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan atau menyatakan sesuatu; d. Kebijakan publik didasari oleh suatu peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa (otoritatif). Kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen dasar yaitu tujuan yang luas, sasaran dan yang terakhir adalah cara mencapai sasaran tersebut. Komponen yang terakhir biasanya belum dijelaskan
secara
rinci, dan oleh karena itulah birokrasi harus menerjemahkan sebagai programprogram aksi dan proyek. Didalam “cara” tersebut terkandung beberapa komponen kebijakan yang lain, yakni siapa pelaksana atau implementornya, berapa besar dan dari mana dana diperoleh, siapa kelompok sasarannya, bagaimana program dilaksanakan atau bagaimana sistem manajemennya, dan bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan diukur. Dengan demikian
8
komponen ketiga dari suatu kebijakan yaitu cara, merupakan komponen yang berfungsi untuk mewujudkan dua komponennya yang pertama, yakni tujuan dan sasaran khusus. Cara ini biasa disebut implementasi (Samodra Wibowo,1994: 15). Studi implementasi mengkaji seluk beluk proses implementasi kebijakan yakni “the execution and steering of policy actions over time” (Dunn, 1994 : 85). Studi Implementasi menurut Dunn sebagaimana dikutip Samodra Wibowo adalah membantu mengkaji tingkat kepatuhan, menemukan konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang tak diharapkan, mengidentifikasi hambatan dan kendala implementasi, dan menentukan siapa saja yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan kebijakan (Samodra Wibowo 1994 : 3 ) Van Horn dan Van Meter (1975: 447) mengartikan implementasi kebijakan sebagai “those actions by public and private individual (or groups) that are directed at the achivement of objectives set forth in prior policy decisions”. Implementasi kebijakan sesungguhnya tidaklah sekadar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan (Grindle, 1980:3). Di sini Grindle telah memperkirakan adanya berbagai hambatan yang berasal dari lingkungan (konteks) di mana kebijakan itu akan diimplementasikan, sehingga setelah suatu kebijakan di terjemahkan kedalam program aksi, belum tentu implementasi akan berjalan dengan lancar dan ini tergantung dari kemampuan mengimplementasikan program tersebut (implementability).
9
1. Model Grindle Implementasi suatu kebijakan, menurut grindle (1980:8-12) sangat ditentukan oleh isi kebijakan (content of policy) dan konteks kebijakan (context of policy). Studi ini melihat adanya tiga dimensi analisis dalam suatu organisasi, yakni tujuan, pelaksanaan tugas dan kaitan organisasi dengan lingkungan. a). Isi Kebijakan mencakup : 1) Kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan Dalam memformulasikan suatu kebijakan hendaknya diminimalisir terjadinya banyak kepentingan yang berbeda yang dipengaruhinya, karena semakin
kompleks
kepentingan
yang
dipengaruhi
maka
proses
implementasinya akan semakin sulit. 2) Jenis manfaat yang dihasilkan Manfaat suatu kebijakan yang dapat dinikmati secara realistis oleh kelompok sasaran berpengaruh terhadap dukungan atas perubahan tersebut. Kebijakan yang manfaatnya dapat dinikmati secara nyata akan memperoleh dukungan
yang kuat dalam proses implementasinya
dibanding kebijakan yang kurang dirasakan manfaatnya bagi publik. 3) Derajad perubahan yang diinginkan Apabila suatu kebijakan mempunyai tujuan yang menyangkut perubahan nilai-nilai atau norma-norma, diamana antara kebijakan yang telah dibuat dan nilai yang sudah dianut oleh kelompok sasaran bertentangan sekali, biasanya kebijakan tersebut akan sulit dimplementasikan.
10
4) Kedudukan pembuat kebijakan Posisi dari pejabat selaku pembuat kebijakan sangatlah menentukan sekali bagi keberhasilan implementasi, maka dalam menformulasikan kebijakan harus diperhatikan implementornya. Suatu kebijakan yang diformulasikan oleh bidang diluar lingkup tugas implementor akan memiliki peluang gagal yang lebih besar. 5) Siapa pelaksana program Ketika implementasi suatu kebijakan mulai dilaksanakan, para pelaku program seharusnya sudah dibekali dengan berbagai sumberdaya yang memadai. Sehingga perpaduan sumberdaya manusia dan sumber daya lain yang meliputi sarana dan prasarana pendukung kebijakan akan memudahkan dalam pencapaian tujuan kebijakan. 6) Sumber daya yang dikerahkan. Suatu kebijakan yang melibatkan partisipasi kelompok yang memang diperlukan dalam mencapai sasaran program akan semakin efektif diimplementasikan daripada melibatkan kelompok lain yang kurang berkepentingan atas kebijakan tersebut. b). Konteks kebijakan meliputi : 1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat Nilai-nilai yang dimiliki para aktor yang terlibat dalam implementasi suatu kebijakan kadangkala bertentangan dengan tujuan kebijakan, manakala nilai-nilai tersebut sesuai dengan apa yang menjadi kepentingannyadan mendukung jabatan yang dimbannya maka kebijakan akan semakin mudah
11
dimplementasikan. Demikian pula strategi yang dibuat seharusnya dibangun dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu yang memadai. 2) Karakteristik lembaga dan penguasa Untuk mempermudah implementasi, dibutuhkan kesesuaian nilai-nilai budaya lembaga dan penguasa dengan apa yang seharusnya atau diharapkan oleh kebijakan tersebut. Ketika lembaga dan penguasa yang berperan
dalam
implementasi
memiliki
nilai-nilai
budaya
yang
bertentangan dengan apa yang seharusnya diharapkan dari program kebijakan tersebut, maka hal ini akan menghambat proses implementasi. 3) Kepatuhan serta daya tanggap pelaksana Kebijakan yang sudah diformulasikan dari tingkat pusat, agar lebih mudah dalam implementasinya dijabarkan dalam kebijakan-kebijakan tingkat dibawahnya sehingga ada kejelasan bagi pelaksana kebijakan tersebut.
Model implementasi Kebijakan menurut Grindle dapat digambarkan sebagai berikut:
12
Gambar 1 : Model Implementasi Kebijakan Grindle Tujuan Kebijakan Melaksanakan kebijakan dipengaruhi oleh : a)Isi Kebijakan (1) Kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan (2) Jenis manfaat yang dihasilkan (3) Derajad perubahan yang diinginkan (4) Kedudukan pembuat kebijakan (5) Siapa pelaksana program (6) Sumber daya yang dikerahkan. b). Konteks kebijakan meliputi : (1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat (2) Karakteristik lembaga dan penguasa (3) Kepatuhan serta daya tanggap pelaksana
Hasil kebijakan: o Dampak pada masyarakat, individu dan kelompok, o Perubahan dan penerimaan oleh masyarakat Tujuan yang Ingin dicapai Program aksi dan Proyek individu didesain dan dibiayai Program yang dijalankan sesuai rencana?
Mengukur keberhasilan Sumber : (Grindle, Merilee S,1980)
13
b. Model Implementasi Sabatier dan Mazmanian Sabatier dan Mazmanian (dalam Wibawa, 1994) melihat implementasi kebijakan merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu (a) karakteristik masalah, (b) struktur manajemen program yang tercermin dalam berbagai macam peraturan yang mengoperasionalkan kebijakan, dan (c) faktor-faktor di luar peraturan kebijakan. Kerangka pikiran Sabatier dan Mazmanian, menunjukkan bahwa suatu kegiatan implementasi kebijakan akan efektif apabila birokrasi pelaksana mematuhi apa yang telah ditetapkan oleh peraturan pelaksanaan. Oleh karenanya model ini sering disebut sebagai model top-down. Dengan pendekatan semacam ini sudah seharusnya tujuan dan sasaran yang akan dituju hendaknya dituangkan dalam program maupun proyek yang jelas, dan mudah dipahami sehingga para birokrat akan mudah untuk memahaminya kemana arah tujuan atau sasaran yang hendak dituju. Sebagai contoh, Program Pemberdayaan Jurusan dimaksudkan untuk memberikan kemandirian kepada jurusan, maka pengaturan hak-hak dan kewajiban harus diatur dengan secara jelas dan terperinci tidak hanya bersifat teoritis belaka, dengan cara seperti ini para birokrasi pelaksana akan semakin mudah untuk menjalankannya. Model Implementasi kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian dapat digambarkan sebagai berikut :
14
Gambar
2 : Model Implementasi Kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian
Karakteristik Masalah 1. Ketersedian tehnologi & teori teknis 2. Keragaman perilaku kelompok sasaran 3. Sifat populasi 4. Derajad perubahan perilaku yg diharapkan
Daya Dukung Peraturan 1. Kejelasan/konsistensi tujuan Sasaran 2. Teori kausal yg memadai 3. Sumber keuangan yang Memadai 4. Integrasi organisasi pelaksana 5. Diskresi pelaksana 6. Rekrutmen pejabat pelaksana 7. Akses formal pelaks
Keluaran Kebijakan dari pelaksana organisasi
Variabel Non Peraturan 1. Kondisi sosio ekonomi dan teknologi 2. Perhatian pers thd masalah 3. Dukungan public 4. Sikap & sumber daya 5. Kelompok sasaran utama 6. Dukungan Komitemen dan kemam puan pejabat pelaksana kewenangan
Kesesuaian keluaran dengan sasaran
Dampak actual keluaran kebijakan
Dampak yang diperkira kan
Perbaikan peraturan
Sumber : Samodra Wibawa, 1994
15
c. Model Van Horn dan Van Meter Model yang dikembangkan oleh Van Horn dan Van Meter ini disebut sebagai “A Model Of Policy Implementation Process” (model proses implementasi kebijakan). Teori ini beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan perbedaan dalam proses implementasi dipengaruhi oleh sifat kebijaksanaan yang akan dilaksanakan. Van Horn dan Van Meter menegaskan bahwa perubahan, kontrol, dan kepatuhan bertindak merupakan konsep penting dalam prosedurprosedur implementasi. Atas dasar konsep tersebut, maka permasalahan yang perlu dikaji dalam hubungan ini adalah hambatan-hambatan apa yang terjadi dalam mengenalkan perubahan dalam organisasi? Menurut Meter dan Horn dalam Wibawa (1994 : 19-22), suatu kebijakan harus dapat secara eksplist menegaskan ada lima faktor yang mempengaruhi implementasi suatu program yaitu : 1) Standar Dan Sasaran Kebijakan Suatu kebijakan harus memiliki standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan. Standar dan sasaran menjelaskan rincian tujuan kebijakan secara menyeluruh. Penentuan standar dan sasaran berguna untuk menilai tingkat keberhasilan atas pelaksanaan suatu program . Kinerja kebijakan merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran. Maka standar dan sasaran harus dirumuskan secara spesifik dan kongkret. 2) Sumber Daya Supaya dapat diimplementasikan dengan baik kebijakan menuntut tersedianya Sumber daya baik berupa dana, teknologi maupun sarana dan
16
prasarana. Kinerja kebijakan akan rendah jika dana yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan kebijakan ini tidak tersedia secara memadai. 3) Komunikasi Antar Organisasi , Keberhasilan Implementasi juga ditentukan oleh adanya komunikasi antar organisasi , yaitu semua pelaksana harus memahami standar, sasaran dan tujuan kebijakan yang akan mereka implementasikan. Komunikasai ini penting untuk dilakukan agar implementasi program dijamin kepatuhannya terhadap standar yang telah ditentukan. 4) Karakteristik Birokrasi Pelaksana Struktur birokrasi pelaksana yang meliputi karakteristik, norma, pola hubungan, sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi (Ripley 1973:10). Menurut Meter dan Horn dalam Wibawa (1994:21) organisasi pelaksana memiliki enam variabel yaitu (1) kompetensi dan jumlah staf, (2) rentang kendali, (3) dukungan politik yang dimiliki, (4) kekuatan organisasi, (5) derajad keterbukaan, dan (6) keterkaitan dengan pembuatan kebijakan. 5) Kondisi Ekonomi Sosial dan Politik Kondisi sosial ekonomi dan politik berpengaruh terhadap
efektifitas
implementasi kebijakan. Hal ini merupakan implikasi dari perspektif sistemik yang berkaitan dengan publik. Semua variabel diatas dapat membentuk sikap pelaksana terhadap kebijakan yang mereka implementasikan, untuk akhirnya menentukan seberapa tinggi tingkat kinerja kebijakannya. Model Implementasi kebijakan menurut Van Meter & Van Horn dapat digambarkan sebagai berikut :
17
Gambar 3 : Model Implementasi Kebijakan menurut Van Meter & Van Horn Komunikasi antar Organisasi dan Pengukuhan aktivitas Standar dan Sasaran kebijakan
Karakteristik Organisasi Komunikasi Antar orgs.
Sikap Pelaksana
Kinerja Kebijakan
Sumber daya
Kondisi Sosial Ekonomi dan politik Sumber : (Meter, Donald S. Van, dan Horn, Carl E. Van, 1975) Model implementasi inilah yang nantinya akan dijadikan landasan dalam membangun kerangka teori guna menjawab pertanyaan penelitian. Dari modelmodel implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Grindle, Van Meter dan Van Horn, maupun Sabatier dan Mazmanian diambil beberapa aspek kajian yang menurut pengamatan peneliti berdasarkan gejala umum, fakta dan data yang ada menunjukkan pengaruh terhadap proses implementasi kebijakan pemungutan PBB. Penelitian ini akan berusaha mendeskripsikan proses implementasi yang berlangsung melalui pengkajian atas beberapa fokus kajian yang berpengaruh
18
terhadap keberhasilan implementasi pemungutan PBB antara lain : (1) Isi Kebijakan diadopsi dari model Grindle, (2) Sumber daya manusia. Diadopsi dari model Van Horn Van Meter (3) Komunikasi Diadopsi dari model Van Horn Van Meter
(4) Kepatuhan
petugas pelaksana diadopsi dari model Grindle.
Pengambilan keempat fokus kajian ini dilakukan dengan mengadopsi modelmodel implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh pakar studi implementasi kebijakan dan disesuaikan dengan mempertimbangkan gejala-gejala dan faktafakta yang yang ada di dalam masyarakat. B. Pemungutan PBB Sebagai Kebijakan Publik Chandler dan Plano (1988) mengemukakan bahwa Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Selanjutnya dikatakan pula bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi terusmenerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas. Thomas R Dye (1981) memberikan pengertian dasar mengenai kebijakan publik sebagai apa yang tidak dilakukan maupun yang dilakukan oleh pemerintah. Pajak pada dasarnya merupakan iuran yang berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang, jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.. Pajak merupakan suatu kewajiban bagi masyarakat untuk menyerahkan sebagian daripada kekayaan kepada negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian dan
19
perbuatan memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan merupakan suatu hukuman. Pajak ditetapkan menurut peraturan pemerintah, dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung untuk memelihara kesejahteraan secara umum (Munawir, 2000:3) Dengan demikian pajak mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Merupakan pungutan yang dilakukan oleh negara kepada rakyat. 2. Dipungut disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu kepada seseorang. 3. Pemungutan pajak dilakukan oleh Pemerintah berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan. 4. Pemungutannya dapat dipaksakan. 5. Pembayaran pajak oleh subyek pajak tak akan mendapat imbalan secara langsung dari Pemerintah. 6. Pajak digunakan oleh Pemerintah untuk pembiayaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengenaan pajak di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu Pajak Negara dan Pajak Daerah (Mardiasmo, 1997). Pajak Negara adalah pajak yang dipungut untuk kepentingan Negara atau Pemerintah Pusat. Termasuk dalam pajak ini antara lain adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai atasa barang dan Jasa (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak bumi dan bangunan (PBB) dan Bea Meterai. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut Daerah berdasarkan peraturan pajak yang ditetapkan oleh Daerah untuk kepentingan pembiayaan rumah tangga Daerah,
20
yang ruang lingkupnya terbatas pada obyek pajak yang belum dikenakan oleh negara. Bumi dan bangunan merupakan aset yang dapat memberikan keuntungan dan kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat daripadanya, maka wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak, untuk selanjutnya negara mendistribusikan hasil pajak tersebut bagi kesejahteraan masyarakat secara lebih luas. Undang-undang nomor 12 tahun 1986 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan menandai dicabutnya berbagai peraturan perpajakan yang meliputi Ordonansi Pajak Rumah tangga 1908, Ordonansi Verponding Indonesia 1923, Ordonansi Verponding 1928, Ordonansi pajak kekayaan 1932, Ordonansi Pajak Jalan 1942, Pasal 14 huruf j,k,dan l Undang-undang darurat Nomor 11 tahun 1957 tentang peraturan Umum Pajak Daerah, PERPU Nomor 11 tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi. Berlakunya Undang-undang nomor 12 tahun 1986 ini bertujuan memperbaiki sistem perpajakan di Indonesia agar lebih sederhana, mudah, adil dan memberi kepastian hukum. Sebelum berlakunya UU pajak Bumi dan Bangunan, sebenarnya Verponding-verponding Indonesia dan pajak hasil Bumi telah diganti dangan IPEDA. Tetapi karena dasar Hukum Ipeda kurang kuat maka
penghapusan
verponding tersebut dipertegas lagi dalam Undang-undang nomor 12 tahun 1986. Verponding mengenakan atas tanah-tanah
21
yang dimiliki berdasarkan hukum
barat, dan verponding Indonesia dikenakan atas tanah-tanah yang dimiliki berdasarkan hukum adat yang ada di kota-kota. Pajak Hasil Bumi dikenakan atas tanah-tanah yang dimiliki berdasarkan hukum adat yang ada di daerah luar kota. Setelah verponding diganti dengan IPEDA orang merasakan membayar dua kali untuk Obyek Pajak yang sama karena tanah dan bangunan yang ia miliki dikenai pajak kekayaan maupun IPEDA. Dengan berlakunya Undang-undang nomor 12 tahun 1986 diharapkan ada kepastian hukum dan tidak ada lagi pajak ganda yang menimbulkan keresahan masyarakat. Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak obyektif yang dikenakan atas bumi dan bangunan. Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986, berdasarkan Undang-Undang nomor 12 tahun 1986. Dengan demikian yang menjadi obyek pajaknya adalah bumi dan bangunan. Adapun yang dimaksud dengan Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa dan tambak) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang diusahakan. Termasuk dalam pengertian bangunan ini antara lain: (1) Jalan lingkungan dalam suatu kesatuan dengan komplek bangunan, (2) Jalan tol, (3) Kolam renang, (4) Pagar mewah, (4) Tempat Olah raga, (5) Galangan kapal, dermaga, (6) Taman mewah, (7) Tempat penampungan/ kilang minyak, gas, air dan pipa minyak, (8) Fasilitas lain yang
memberikan
manfaat.
Dalam
22
menentukan
klasifikasi
bumi/tanah
diperhatikan faktor-faktor seperti: (1) Letak, (2) Peruntukan, (3) Pemanfaatan, (4) Kondisi lingkungan, dll. Menurut Rochmat Soemitro (1989 : 79) dengan: (1) Luas tanah, bumi,
faktor-faktor itu ditambah
bangunan, (2) Kesuburan atau hasil
tanah/bangunan, (3) Adanya irigasi atau tidak. Sementara dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: (1) Bahan yang digunakan, (2) Rekayasa, (3) Letak, (4) Kondisi Lingkungan dll. Subyek pajak dari PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Kepada subyek pajak tersebut dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak. Adapun azas dari Pajak Bumi dan Bangunan adalah: (1) Memberikan kemudahan dan kesederhanaan, (2) Adanya kepastian hukum, (3) Mudah dimengerti dan adil, (4) Menghindari pajak berganda. Dengan memperhatikan azas-azas tersebut diharapkan berbagai persoalan yang berkaitan dengan penetapan dan pemungutan pajak mestinya dapat dihindarkan. Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas harta tak bergerak, maka oleh karena itu yang dipentingkan adalah obyeknya dan keadaan atau status orang atau badan yang dijadikan subyek tidaklah penting, sehingga tidak mempengaruhi besarnya pajak (Soemitro, 1989:5). Walaupun pajak ini merupakan pajak obyektif, tetapi pemungutannya didasarkan atas surat ketetapan pajak yang pada prinsipnya setiap tahun dikeluarkan. Setiap tahun wajib pajak diwajibkan memasukkan surat pemberitahuan yang untuk PBB disebut sebagai Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) dan berdasarkan itu oleh kantor PBB
23
kemudian dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dimana untuk PBB disebut sebagai Surat Pemberitahun Pajak Terhutang (SPPT). Penetapan nilai jual obyek pajak dilakukan oleh Menteri Keuangan dengan mendengar pertimbangan Gubernur Provinsi yang bersangkutan. Untuk saat ini klasifikasi nilai jual obyek pajak untuk bumi dan bangunan dikenakan sesuai dengan keputusan menteri keuangan nomor 174/KMK.04/1993, dimana untuk klasifikasi NJOP untuk bumi dikelompokkan menjadi 50 kelas dan untuk bangunan menjadi 20 kelas. Penghitungan besarnya PBB didasarkan atas besarnya nilai jual kena pajak yaitu besarnya NJOP sesuai dengan SK Menteri Keuangan setelah dikurangi dengan nilai jual obyek pajak tak kena pajak (NJOPTKP) yang besarnya untuk masing-masing daerah bisa berbeda-beda. Besarnya NJKP adalah 20% dari NJOP setelah dikurangi NJOPTKP. Adapun besarnya tarip PBB adalah 0,5%. Dengan demikian besarnya pajak yang harus dibayar adalah 0,5% X 20% X NJOP atau sebesar 0,5% X NJKP. Besarnya pajak yang harus dibayar (SPPT PBB) diberikan setiap tahun oleh kantor pelayanan pajak bumi dan bangunan setelah ditentukan NJKPnya atas dasar surat pemberitahuan obyek pajak (SPOP) yang diisi oleh wajib pajak. Secara teoritis SPOP ini harus diisi oleh wajib pajak dan harus ditandatangani sendiri. Namun demikian dalam banyak kasus, hal ini jarang dilakukan. Biasanya pihak Kantor PBB meminta bantuan pada Pemerintah setempat untuk mengisinya. Hal ini menyebabkan seringnya terjadi kesenjangan yang menyebabkan tidak selarasnya harga pasar atas nilai jual obyek pajak, yang pada akhirnya berbuntut
24
dengan munculnya berbagai penolakan serta keberatan dari wajib pajak, khususnya jika terjadi perubahan NJOP. Hasil Penerimaan PBB yang diterima pemerintah daerah itu dipergunakan untuk membiayai pembangunan daerah bagi kepentingan daerah yang bersangkutan. Peraturan Pemerintah nomor 47 tahun 1985 tentang Pembagian hasil Pajak Bumi dan Bangunan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, menetapkan hasil sebagai berikut: 1) 10% dari hasil penerimaan PBB adalah bagian Pemerintah Pusat dan harus sepenuhnya disetorkan ke Kas Negara. 2) 90% merupakan bagian pemerintah daerah setelah dikurangi dengan biaya untuk melakukan pemungutan sebesar 10% dari 90%, kemudian dibagi untuk pemerintah Provinsi 20% dan pemerintah kabupaten 80%. Dengan demikian bagian masing-masing adalah sebagai berikut : a) Pemerintah pusat
: 10 %
b) Biaya pemungutan: 10% X 90%
: 9%
c) Pemerintah Provinsi: 20% X 81%
: 16,2 %
d) Pemerintah kabupaten: 80% X 81%
: 64,8%
C. Pemungutan dan Pembayaran PBB Yang dijadikan subyek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata sebagai pemilik dan atau orang atau badan yang menguasai bumi dan atau bangunan. (pasal 8 ayat 1). Wajib Pajak adalah orang atau badan yang memenuhi
25
syarat obyektif, yaitu memiliki atau menguasai dan atau mendapatkan manfaat daripadanya. Subyek pajak PBB belum tentu merupakan Wajib Pajak PBB. Subyek Pajak baru merupakan wajib pajak PBB kalau memenuhi syarat-syarat obyektif, yaitu mempunyai obyek pajak yang dikenai PBB. Sedangkan obyek pajak PBB adalah Bumi dan atau Bangunan (pasal 2). Diberlakukannya
Undang-undang nomor
32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah diharapkan dapat membawa perubahan nilai dalam penyelenggaraan
sistem
pemerintahan,
yaitu
perubahan
dari
paradigma
government menuju governance. Paradigma government (paradigma klasik) menempatkan
negara
(pemerintah)
sebagai
satu-satunya
penyelenggara
pemerintahan, sedangkan paradigma governance memandang penyelenggaraan pemerintahan sebagai proses interaksi antar aktor dalam pemerintahan dengan kelompok sasaran atau berbagai individu dalam masyarakat (Kooiman, 1993: 255). Proses penyelenggaraan pemerintahan (governing) pada saat ini merupakan proses koordinasi, pengendalian (steering), pemengaruhan (influencing) dan penyeimbangan (balancing) setiap hubungan tersebut. Untuk mewujudkan proses tersebut, maka pola penyelenggaraan pemerintahan tradisional yang mendasarkan diri pada persepektif hubungan “top-down” dan “rational-central-rule approach” menjadi tidak cocok. Di sinilah kemudian dibutuhkan pendekatan governance dalam penyelenggaraan pemerintahan (Kooiman, 1993: 255 – 258). Secara lebih luas, masalah penyelenggaraan pemerintahan daerah ditinjau dari sudut pandang manajemen diidentifikasi oleh Hariyoso (2001) ke dalam lima kategori, yaitu:
26
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Belum memadainya dukungan anggaran yang ditopang oleh adanya pengalaman serta telah dihayatinya etos dan acuan, sikap, dan etos kerja yang diwariskan oleh sejumlah masa lalu yang memerlukan pembelajaran, menyebabkan belum dapat diterapkannya manajemen pelayanan publik dalam konteks total quality management dalam era reformasi yang berciri desentralistik; Dewasa ini masih perlu diseleksi pilihan kiat, metode dan teknologi pelayanan yang mampu mengubah orientasi manajemen pelayanan konvensional yang perlu semakin diorientasikan pada etos dan budaya manajemen pelayanan publik berkualitas; Masih nampak belum seimbangnya hak dan kewajiban yang melayani (public server) kepada yang dilayani (public served) dalam bentuk pemberian kontraprestasi yang sepadan atas kotribusi/pengorbanan yang diberikan masyarakat; Masih belum diadakan internalisasi nuansa administrasi politik yang berkaibat jauh terhadap penerapan konsep local government productivity yang masih mengandung keretakan dalam penyelenggaraan manajemen pelayanan umum. Hal ini bahkan berimplikasi lebih jauh dengan kurangnya pengertian tentang pergeseran paradigma pemerintahan daerah oleh pelaksana yang terjadi dalam suasana transisional di era reformasi yang bercorak desentralistik dan globalisasi; Belum dapat diterapkannya konsep pelayanan prima sekaligus dengan adanya sindroma hubungan antara yang melayani dengan yang dilayanai dalam kedudukan sebagai pelanggan, konstituen partai, klien, dan kelompok sasaran.
Upaya untuk lebih memberdayakan pemerintah daerah dapat dilakukan dengan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk mendapatkan sumber sumber pendapatan termasuk pendapatan melalui pajak. Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional.
Kewenangan
pengelolaan pajak tersebut berada di tangan pemerintah sebagai pemegang otoritas alokasi distribusi dan stabilisasi sumberdaya dalam negara. Proses pengelolaan pajak termnasuk PBB merupakan sebuah kebijakan publik yang memiliki implikasi baik langsung maupun tidak langsung terhadap masyarakat.
27
Kebijakan pemerintah yang tepat akan berdampak pada peningkatan kemakmuran masyarakat. Kerangka dasar kebijakan perpajakan ini ditentukan oleh pusat dengan asumsi pemerintah pusat harus menyediakan sumber-sumber keuangan untuk daerah agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya. Sedangkan daerah masih sering harus dibantu pemerintah pusat dalam menjalankan fungsi daerah maupun melaksanakan program-program pusat yang ditugaskan pada daerah. Sumber pendapatan daerah disebutkan dalam pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, terdiri dari
pendapatan asli daerah yaitu hasil pajak
daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Selain jenis pajak tersebut pendapatan daerah berasal dari dana perimbangan yang diberikan pusat dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Sementara pendapatan daerah cukup besar diperoleh dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), suatu jenis pajak yang pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah pusat, namun hasilnya diperuntukan bagi pemerintah daerah. Pengelolaan pajak yang terpusat juga dimaksudkan sebagai upaya untuk memeratakan hasil penerimaan PBB yang berasal dari obyek pajak, yang letaknya di luar wilayah yang menjadi kewenangan daerah dan untuk mempermudah pengelolaan sistem pengadministrasian pajak daerah tersebut karena selalu terkait dengan pengelolaan jenis pajak pusat lainnya. Pengelolaan dimaksud adalah pembagian perimbangan hasil penerimaan PBB dibagi antara pemerintah pusat dengan daerah yaitu imbangan pembagian 90% untuk pemerintah daerah (baik kabupaten maupun Provinsi), sedangkan 10% merupakan bagian pemerintah
28
pusat, dan pada akhirnya juga akan dibagikan kembali kepada daerah namun dengan mekanisme tertentu. Itulah sebabnya kewenangan sebagian besar penarikan PBB diberikan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. Masyarakat adalah pelaku utama dan sekaligus merupakan obyek dari pembangunan, sehingga keberhasilan berbagai implementasi kebijakan untuk peningkatan pendapatan asli daerah dari sektor PBB, sangat membutuhkan keterlibatan aktif masyarakat pada umumnya, dan pemerintah berkewajiban menjalankan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang (Tjokroamidjojo, 1987:206). Namun banyaknya hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pemungutan pajak, pada umumnya, menurut R.Santoso Brotodiharjo (Munawir, 2000:7) adalah: ”Adanya perlawanan pasif dari wajib pajak yang mempersulit pemungutan pajak. Hal ini erat kaitannya dengan struktur ekonomi, perkembangan intelektual dan moral penduduk serta sistem pemungutan pajak itu sendiri. Dalam perlawanan pasif ini tidak ada usaha secara nyata dari masyarakat untuk menghambat pemungutan pajak, namun disebabkan oleh karena kondisi masyarakat yang kurang tahu mengenai seluk beluk pajak, maka mereka tidak bersedia membayar pajak. Penghambat kedua, adalah adanya perlawanan aktif yaitu berupa semua usaha dan perbuatan yang langsung ditujukan kepada fiskus dan bertujuan menghindari pajak. Nyata-nyata ada usaha wajib pajak untuk tidak membayar pajak, dan mengelakkan penyelundupan pajak maupun usaha melalaikan pajak.” Untuk mengatasi hambatan tersebut dibutuhkan perangkat kebijakan yang tepat agar wajib pajak tidak dapat lagi menghindari pajak.
Dalam proses
penyusunan kebijakan tersebut perlu adanya strategi yang memperhitungkan segala kekuatan kelemahan peluang dan ancaman yang dimiliki dan dihadapi oleh
29
pemerintah selaku pemegang otoritas dan sebagai implementator dari kebijakan itu sendiri. Pembayaran PBB dapat dilakukan ditempat pembayaran PBB di loketloket yang telah ditunjuk. Loket yang ditunjuk untuk ini meliputi berbagai lembaga keuangan antara lain Bank Central Asia (BCA) dan Badan Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan (BPR BKK)) se Kabupaten Karanganyar. Cara lain yang dapat dilakukan untuk melakukan pembayaran PBB adalah melalui petugas pemungut PBB. Petugas pemungut PBB ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Bupati yang diterbitkan setiap tahun. Penunjukan Petugas Pemungut PBB dimaksudkan untuk mendekatkan dan memudahkan wajib pajak dalam melakukan pembayaran PBB. Petugas yang ditunjuk sebagai petugas pemungut PBB sebagian besar adalah para Kepala Dusun /Perangkat Desa. Prosedur pemungutan PBB ditempuh melalui mekanisme yang telah diatur oleh tim intensifikasi dibuat berjenjang mulai dari kabupaten hingga ke dusun, yaitu Kepala Dusun sebagai petugas dilapangan yang membagikan SPPT dan menagih pajak kepada wajib pajak. Berdasarkan mekanisme tersebut dapat dilihat bahwa ujung tombak dari penerimaan PBB adalah para Kepala Dusun sebagai petugas pemungut yang langsung berhadapan dengan wajib pajak. Lebih jelasnya skema Tim Intensifikasi Pemungutan PBB adalah sebagai berikut.
30
Gambar 4 : Skema Tim Intensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan
TIM INTENSIFIKASI PBB TINGKAT KABUPATEN
TIM INTENSIFIKASI PBB TINGKAT KECAMATAN
KADES SELAKU KOORDINATOR PETUGAS PEMUNGUT
PETUGAS ADMINISTRASI PBB DESA
KADUS PETUGAS PEMUNGUT DUSUN
BANK PERSEPSI WAJIB PAJAK PENERIMA SPPT
Sumber : Diolah dari SK Bupati Karanganyar tanggal 9 September Nomor : 973/354 Tahun 2005.
31
2005
D. KERANGKA BERPIKIR Gambar 5 : Kerangka Pemikiran Penelitian Implementasi Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar
Kebijakan PBB UU No 12 Tahun 1986 Disempurnakan dengan UU no 12 tahun 1994 (operasionalisasi : Kep Men Keu 1007/KMK/ 04/1995)
Implementasi Pemungutan PBB
1. 2. 3. 4.
Peningkatan penerimaan PBB sesuai target
Isi Kebijakan SDM Komunikasi Kepatuhan Pelaksana
Salah satu aspek penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah bagaimana meningkatkan penerimaan guna membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan . Undang-undang No 12 tahun 1994 dan Undang-undang no. 32 tahun 2004 memberi kesempatan kepada daerah untuk mendapatkan pendapatan yang cukup besar dari sektor PBB. Data pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir target penerimaan PBB tidak pernah tercapai. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masih ada permasalahan dalam implementasi kebijakan pemungutan PBB.
32
Penelitian ini akan berusaha mendeskripsikan proses implementasi yang berlangsung melalui pengkajian atas beberapa fokus kajian yang berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi pemungutan PBB antara lain : (1) Isi Kebijakan (2) Sumber daya manusia.(3) Komunikasi (4) Kepatuhan petugas pelaksana. Pengambilan keempat fokus kajian ini dilakukan dengan mengadopsi model-model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh pakar
studi
implementasi
kebijakan
dan
disesuaikan
dengan
mempertimbangkan gejala-gejala dan fakta-fakta yang yang ada di dalam masyarakat. Isi Kebijakan merupakan salah satu fokus kajian yang diadopsi dari model Grindle, dimana kejelasan suatu kebijakan dalam mengatur mekanisme kewenangan dan kepentingan para pihak dalam kebijakan sangat menentukan keberhasilan proses implementasi. Isi kebijakan dan pengaruhnya terhadap proses implementasi dapat dilihat dari aspek kewenangan dan sistem rewards and punishment dalam kebijakan pemungutan PBB . Salah satu aspek penting yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah bagaimana meningkatkan pendapatan atau penerimaan guna membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Pada umumnya penerimaan pemerintah dapat dibedakan antara penerimaan pajak dan bukan pajak. Pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogatif Pemerintah, pungutan tersebut didasarkan pada Undang-undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subyek pajak
33
untuk mana tidak ada balas jasa yang langsung
dapat ditunjukkan
penggunaannya (Mangkusubroto, 1993:181). Mengingat akan
pentingnya peran
pajak
bagi kesinambungan
pembangunan di negara Indonesia maka peningkatan penerimaan dari sektor PBB mutlak diperlukan, maka upaya mengoptimalkan faktor pendukung dan mengatasi faktor penghambat dalam penarikan PBB perlu dilaksanakan secara tepat.
34
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian ini mengambil lokasi di wilayah Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah dengan pertimbangan Kecamatan Jaten adalah Wilayah Kecamatan yang sebagian besar obyek pajak PBB nya adalah pabrik / perusahaan. Karakteristik masyarakat di Kecamatan Jaten cukup bervariasi yaitu terdiri dari masyarakat modern yang bertempat tinggal di kompleks perumahan dan masyarakat tradisional yang berdomisili di daerah pedesaan. Atas dasar pertimbangan itu maka menurut hemat penulis Kecamatan Jaten tepat untuk dijadikan obyek penelitian karena akan memberikan gambaran yang lebih lengkap berkaitan dengan proses pemungutan PBB. B. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Ada beberapa pendapat tentang metode penelitian deskriptif diantaranya adalah : Metode penelitian deskriptif yaitu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan mengambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian ( seseorang, lembaga, masyaraakat, dan lain – lain. ) pada saat sekarang berdasarkan fakta – fakta yang tampak atau sebagaimana adanya ( surakhmad, 1989 : 140 ) Penelitian deskriptif ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Dalam hubungan dengan riset kualititatif yang memusatkan pada deskriptif,
35
HB Sutopo ( 2002 : 35 ) mengemukakan bahwa data yang dikumpulkan berwujud kata – kata dalam kalimat atau gambar yang mempunyai arti lebih dari sekedar angka atau jumlah. Berisi catatan yang mengambarkan situasi sebenarnya guna mendukung penyajian data. C. Fokus Kajian dan Aspek Kajian Sesuai dengan kerangka pemikiran yang dibuat maka fokus dan aspek kajian yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Matrik 1 Fokus dan Aspek kajian Penelitian
No
Fokus kajian
Aspek Kajian
1
Isi Kebijakan
a. Kewenangan b. Sistem rewards and punishment
2
SDM
a. Kuantitas SDM b. Kualitas SDM
3
Kepatuhan Pelaksana
a. Ketepatan waktu penyampaian SPPT b. Kepatuhan pengadministrasian
4
Komunikasi
a. Komunikasi dengan wajib pajak b. Komunikasi dalam Tim Intensifikasi PBB
Dalam penelitian ini fokus kajian juga diarahkan pada upaya mengidentifikasi hambatan-hambatan yang muncul dan upaya yang dilakukan dalam pelaksanaan pemungutan PBB. Dalam hal ini di identifikasi berbagai hambatan yang bersumber pada wajib pajak dan obyek pajak, hambatan dari
36
sisi petugas pemungut pajak dan juga hambatan yang berhubungan dengan sistem penarikan pajaknya. D. Data dan Sumber Data Data dalam penelitian ini dikelompokkan kedalam dua kelompok sebagai berikut: 1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari informan, yaitu pegawai Kantor Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar, Kepala Desa dan Perangkat Desa, petugas Badan Kredit Kecamatan (BKK) Kecamatan Jaten yang menjadi sample penelitian. Dalam hal ini pengumpulan data primer menggunakan teknik wawancara (interview). 2. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui data yang telah diteliti dan dikumpulkan oleh pihak lain seperti data struktur organisasi, uraian tugas dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Pengumpulan data
sekunder ini menggunakan teknik
dokumenter untuk mendapatkan data pendukung yang digunakan untuk melengkapi dan menyempurnakan hasil penelitian. 3. Adapun sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas Camat Jaten Kabupaten Karanganyar, petugas pemungut pajak bumi dan bangunan di Kecamatan Jaten, perangkat desa, petugas Bank persepsi atau Badan Kredit Kecamatan (BKK) serta beberapa wajib pajak yang ada di Kecamatan Jaten. Sedangkan data sekunder diperoleh dari kantor Kecamatan Jaten dan Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar.
37
E. Teknik Penentuan Informan Mengingat penelitian ini merupakan penelitian deskriptif maka informan atau narasumber yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan dengan tehnik purposive sampling. Namun demikian mengingat keterbatasan kemampuan peneliti maka dimungkinkan pula menggunakan snow ball sampling jika penjelasan informan belum memberikan informasi secara jelas dan perlu tambahan informasi dari informan lain di bawahnya yang lebih tau atau yang direkomendasikan oleh informan utama. Hal ini dilakukan untuk memperoleh dan menyempurnakan data dari sumber-sumber yang belum ditentukan peneliti dengan teknik purposive. Hal ini juga dilakukan untuk melakukan triangulasi data atas jawaban dari nara sumber/ informan. F. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian kualitatif pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan berbagai pertimbangan berdasar konsep teknis yang digunakan, keinginan pribadi, karakteristik empiris dan sebagainya (Sutopo, 1988:21). Untuk itu data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui beberapa cara yaitu: a. Wawancara mendalam guna memperoleh data tentang berbagai upaya pemungutan PBB yang dilakukan oleh Pemerintah Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar. b. Studi dokumentasi dan observasi guna melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini. G. Uji Validitas Data Validitas menunjukkan sejauh mana alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Guna menjamin validitas data yang dikumpulkan dalam
38
penelitian ini maka teknik yang digunakan adalah teknik triangulasi. Teknik Triangulasi
merupakan
teknik
pemeriksaan
keabsahan
data
yang
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan perbandingan terhadap data itu (Moleong, 1998:178). Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber, yaitu dengan membandingkan antara sumber yang diperoleh dari hasil wawancara satu informan dengan informan yang lain dalam satu masalah agar didapat simpulan yang obyektif. H. Teknik Analisis Data Secara umum analisis data dilakukan
secara deskriptif kualitatif,
analisis data dilakukan dengan teknik interaktif, dimana ketiga komponen analisis yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan dilakukan secara interaktif dengan proses pengumpulan data yang menggunakan proses siklus. Dalam hal proses analisis data tidak dilakukan setelah semua data terkumpul. Analisis dilakukan sepanjang penelitian, termasuk
baik pada
waktu pengumpulan data. Bila analisis data dilakukan dalam penelitian, maka peneliti
dapat
menyusun
pertanyaan
baru
dan
dilanjutkan
dengan
pengumpulan data berikutnya. Adapun ketiga komponen analisis data tersebut adalah: 1. Reduksi data: yaitu merupakan suatu proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan
dan
abstraksi
data
yang
dilaksanakan
selama
berlangsungnya proses penelitian dan mengatur data sedemikian rupa sehingga dapat ditarik kesimpulan akhir. 2. Sajian data: yaitu rangkaian informasi yang memungkinkan kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Dengan melihat penyajian data maka peneliti
39
akan dapat mengerti apa yang akan terjadi serta analisis atas tindakan lain berdasar pengertian tersebut. 3. Penarikan Kesimpulan Aktivitas tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 6 Model Analisis Interaktif Pengumpulan data
Reduksi Data
Sajian Data
Penarikan Kesimpulan
Sumber : HB Sutopo, 1998:37
40
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A Hasil Penelitian Kecamatan Jaten adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Karanganyar yang berbatasan dengan Kota Surakarta dan menjadi daerah penyangga bagi Kota Surakarta. Secara geografis Kecamatan Jaten berbatasan dengan : a. Sebelah utara
:Kecamatan Kebakkramat
b. Sebelah timur
:Kecamatan Karanganyar
c. Sebelah selatan
:Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo
d. Sebelah barat
:Kecamatan Jebres, Kota Surakarta.
Secara administratif Kecamatan Jaten dibagi menjadi 8 desa yaitu: 1. Desa Suruhkalang 2. Desa Jati 3. Desa Jaten 4. Desa Dagen 5. Desa Ngringo 6. Desa Jetis 7. Desa Sroyo 8. Desa Brujul Luas wilayah Kecamatan Jaten adalah 2.554,81 Ha terdiri dari sawah 1.277,59 Ha, tanah kering 1.277,22 Ha. Diantara delapan desa yang ada di
41
Kecamatan Jaten tersebut, Desa Sroyo
adalah desa yang paling luas
wilayahnya dan Desa Jetis adalah yang paling kecil wilayahnya. Adapun data luas wilayah masing-masing desa selengkapnya adalah sebagai berikut: Tabel 4 Luas Wilayah per Desa di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar Nomor
Desa
Luas wilayah ( ha )
1
Suruhkalang
302,58
2
Jati
265,47
3
Jaten
277,37
4
Dagen
283,50
5
Ngringo
420,27
6
Jetis
262,61
7
Sroyo
459,78
8
Brujul
283,23 Jumlah
2.554,81
Sumber : Kecamatan Jaten dalam angka, 2005 Jumlah penduduk di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar pada akhir bulan Desember 2005 sejumlah 68.100 jiwa yang terdiri dari laki-laki 34.556 jiwa dan perempuan 34.554 jiwa. Dibandingkan dengan tahun 2004 maka terdapat pertambahan penduduk 930 jiwa, atau mengalami pertumbuhan sebesar 1,38 %. Desa dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Desa Ngringo yaitu 22.876 Jiwa (33,59 %), disusul Desa Jaten sebanyak 12.673 Jiwa (18,61%), dan Desa Sroyo Sebanyak 7.495 Jiwa (11,01%), sedangkan desa yang paling sedikit penduduknya adalah Desa jetis dengan jumlah
42
penduduk sebanyak 7.495 Jiwa (6,78%), Desa Dagen sebanyak 4.699 Jiwa (6,78%), kemudian Desa Suruhkalang Sebanyak 4.625 Jiwa (6,79%). Kepadatan penduduk Kecamatan Jaten pada tahun 2005 mencapai 2.655 jiwa / Km² dengan persebaran penduduk yang belum merata. Seluruh desa di Kecamatan Jaten sudah merupakan desa perkotaan (urban) sehingga mempunyai kepadatan yang cukup tinggi. Desa yang memiliki kepadatan paling tinggi adalah Desa Ngringo yaitu 5.447 jiwa / Km², dan yang paling rendah adalah Desa Suruhkalang yaitu 1.526 jiwa/Km². Sesuai dengan kondisi Kecamatan Jaten yang sudah mencerminkan daerah perkotaan dengan banyak industri, maka sebagian besar penduduknya juga menggantungkan mata pencahariannya di sektor industri. Komposisi ketenagakerjaan di Kecamatan Jaten menunjukkan sebanyak 15.107 (26,69%) orang bekerja di sektor industri, selanjutnya di sektor pertanian sebagai tani dan buruh tani sebanyak 4.936 orang (8,72%), kemudian buruh bangunan sebanyak 3.401 orang (6.01%), dan pedagang sebanyak 1.146 orang (2,02%), selebihnya bekerja di sektor angkutan, PNS/TNI/Polri, pensiunan, jasa-jasa dan lain-lain. Potensi Pajak Bumi dan Bangunan di wilayah Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 masih cukup besar. Potensi ini berupa masih banyaknya tunggakan yang belum terbayar. Tidak terbayarnya PBB ini bisa terjadi karena berbagai hal karena kesalahan dan belum sadarnya Wajib Pajak sendiri, maupun karena kesalahan administrasi di KP PBB. Sedangkan kesulitas yang lain adalah adanya tanah
43
yang dimiliki oleh orang-orang diluar daerah dan tidak diserahkan pengel;olaannya kepada warga setempat, sehingga pada saatnya membayar pajak subyek pajak tersebut tidak jelas domisilinya. Jika hal ini dikejar pelunasannya terutama pada lahan yang tidak luas akan mengakibatkan biaya penarikan bisa lebih besar daripada besaran pajak itu sendiri. Selama lima tahun terakhir, yaitu sejak tahun 2001 sampai tahun 2005 masih ada tunggakan pajak yang belum dibayar. Adanya tunggakan yang masih cukup banyak menggambarkan implementasi kebijakan pemungutan PBB belum sepenuhnya mencapai sasaran seperti yang diharapkan.
B. Implementasi Pemungutan PBB di Kabupaten Karanganyar Proses pemungutan PBB diawali dengan menyampaikan SPPT kepada Wajib Pajak. SPPT merupakan surat ketetapan yang yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak Melalui KP PBB. Mekanisme penyampaian SPPT ini di mulai dari pencetakan oleh KP PBB kemudian diteruskan oleh Dinas Pendapatan Kabupaten Karanganyar selanjutnya baru didistribusikan ke desa/kelurahan melaui kecamatan-kecamatan. Di Desa selanjutnya di pilah-pilah perdusun dan dibuatkan daftar nominatif PBB masing-masing dusung sambil di cek kebenaran datanya. Setelah menyampaikan SPPT kepada Wajib Pajak petugas melaporkan hasilnya kepada petugas administrasi desa untuk dilaporkabn kepada camat dan selanjutnya Camat menyampaikan laporan perkembangan penyampaian SPPT kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah dengan tembusan Kepala
44
Dinas Pendapatan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Surakarta. Di tingkat desa yaitu koordinator,
sebulan sekali melaporkan
perkembangan penyampaian SPPT dan STTS Pajak Bumi dan Bangunan Kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar lewat Camat Jaten dan menyerahkan Berita Acara penyetotan uang Pajak Bumi dan Bangunan lembar ketiga dan keempat kepada Camat Jaten. Petugas pemungut mempunyai tugas mencocokan nama-nama wajib pajak yang tertera dalam DHKP ( Daftar Himpunan Ketetapan Pajak ) dengan SPPT Wajib pajak, karena banyak dijumpai SPPT dengan alamat yang tidak jelas, Jumlah Ketetapan Pajak dalam SPPT tidak sama dengan yang tertera dalam DHKP, SPPT wajib pajak yang dobel nama. Penyampaian SPPT ( Surat Pemberitahuan Pajak terhutang ) dari Pemerintah Kecamatan Jaten kepada Desa-desa serta dari Desa kepada para Pemungut Pajak kemudian sampai pada para Wajib Pajak merupakan hal yang wajib dilaksanakan. Setelah SPPT sampai kepada Wajib Pajak masih dimungkinkan merasa kurang puas, ketidak puasan Wajib Pajak yaitu dengan dengan cara mengajukan keberatan kepada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan di Surakarta, di karenakan penetapan pajak yang terlalu tinggi, luas tanah yang tidak sesuai dengan kenyataan dilapangan atau nama Wajib Pajak yang tertulis di SPPT tidak sesuai dengan nama yang tertera pada Kartu Tanda Penduduk. Untuk mendata pemasukan PBB, Petugas Pemungut di Desa harus membuat Daftar Penerimaan Harian (DPH). DPH PBB yang dibuat oleh
45
petugas pemungut di tiap-tiap desa, menjadi surat bukti bahwa para wajib pajak telah menitipkan uang setoran PBB nya untuk disetorkan kepada Bank persepsi, serta untuk mengetahui wajib pajak yang telah membayar lunas PBB dan yang belum membayar PBB nya. Laporan bulanan penerimaan PBB tahun yang bersangkutan dibuat secara rutin oleh Camat dan dilaporkan kepada Bupati Karanganyar, serta tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah,
Kepala
Badan Pengawas Kabupaten Karanganyar, Kepala Kantor Pelayanan PBB Surakarta dan Kepala Desa se-Wilayah Kecamatan Jaten, untuk mengetahui realisasi PBB pada bulan yang bersangkutan serta langkah-langkah apa yang harus dilakukan untuk mengejar target yang telah ditetapkan. 1. Isi Kebijakan a). Kewenangan Menurut grindle (1980:8-12) Implementasi suatu kebijakan sangat ditentukan oleh isi kebijakan (content of policy) dan konteks kebijakan (context of policy). Studi ini melihat adanya salah satu aspek penting dari isi kebijakan yang sangat menentukan keberhasilan implementasi kebijakan yaitu aspek kejelasan kebijakan dalam mengatur peran masing-masing pelaksana kebijakan Pemungutan PBB. Posisi dari pejabat selaku pembuat kebijakan sangatlah menentukan sekali bagi keberhasilan implementasi, maka dalam menformulasikan kebijakan harus diperhatikan implementornya. Suatu kebijakan yang diformulasikan oleh bidang diluar lingkup tugas implementor akan memiliki peluang gagal yang lebih besar.
46
Ketika implementasi suatu kebijakan mulai dilaksanakan, para pelaku program seharusnya sudah dibekali dengan berbagai sumberdaya yang memadai. Sehingga perpaduan sumberdaya manusia dan sumber daya lain yang meliputi sarana dan prasarana pendukung kebijakan akan memudahkan dalam pencapaian tujuan kebijakan. Suatu kebijakan yang melibatkan partisipasi kelompok yang memang diperlukan dalam mencapai sasaran program akan semakin efektif diimplementasikan
daripada
melibatkan
kelompok
lain
yang
kurang
berkepentingan atas kebijakan tersebut. Tentang pihak yang berwenang dan berkepentingan terhadap PPBB ini, berdasarkan wawancara tanggal 15 Oktober 2006, Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar mengemukakan : “Ketentuan yang ada secara eksplisit menyebutkan bahwa kewenangan dalam kebijakan PBB pada prinsipnya berada di Pemerintah Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) dan Pemerintah Daerah. Tetapi diluar itu sebenarnya ada Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang juga perlu berperan dalam kebijakan PBB. Selanjutnya agar kebijakan ini dapat dijalankan secara baik maka dimana masing masing pihak mengerahkan instansi dibawahnya yang terkait. Berdasarkan keterangan tersebut diketahui bahwa ada lebih dari satu pihak yang berperan dalam melaksanakan kebijakan PBB. Pemerintah Pusat memiliki Dirjen Pajak yang menggunakan Kantor Pelayanan PBB (KP PBB) sebagai tangan panjangnya dan Pemerintah Daerah dalam hal ini Gubernur dan Bupati/Walikota yang menggunakan instansi Dinas Pendapatan dan para pamong praja yang ada di daerah sebagai pelaksana di lapangan. Instansi lain yang juga
47
terkait dengan PBB adalah badan pertanahan nasional (BPN) sebagi institusi yang membidangi administrasi pertanahan. Penjelasan
Undang-undang PBB
sebagaimana
dikutip
Soemitro
(1989:53) menyebutkan pejabat yang tugas pekerjaannya berkaitan dengan obyek PBB antara lain adalah : 1) Pejabat pembuat Akte Tanah (PPAT) baik dipegang oleh Camat atau Notaris. 2) Kepala kelurahan atau kepala desa. 3) Pejabat Tata Kota (berkaitan dengan perijinan mendirikan bangunan) 4) Pejabat agraria sebagai pihak yang mengeluarkan sertifikat tanah. 5) Pejabat Pengawasan Bangunan. 6) Pejabat balai Harta Peninggalan Sedangkan pejabat yang bertanggung jawab secara langsung mengenai kebijakan PBB adalah Direktorat Jenderal Pajak. Di daerah tugas Dirjen Pajak dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP PBB). Tugas KP PBB dalam Kebijakan PBB ini sebagaimana keterangan petugas di kantor Pelayanan PBB dalam wawancara tanggal 16 Oktober 2006, dikemukakan sebagai berikut : “Kami di KP PBB menentukan Subyek Pajak, Obyekl Pajak dan besarnya NJOP dari masing masing Obyek pajak yang nantinya akan dijadikan dasar menentukan berapa pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Kami juga melayani keberatan atas beban pajak terhutang dari wajib pajak. Pada prinsipnya KP PBB melayani pelayanan secara administratif mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian sampai pada evaluasi Kebijakan PBB.”
48
Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa kewenangan KP PBB adalah melaksanakan kegiatan administratif dalam hal penentuan Obyek, Subyek dan Nilai PBB. Penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB juga menjadi tanggung jawab KP PBB. Peran Pemerintah Daerah dalam kebijakan PBB adalah melaksanakan pemungutan PBB dengan bekerja sama dengan lembaga-lembaga keuangan yang telah ditunjuk. Tentang peran Pemerintah daerah ini Kepala Dinas Pendapatan dalam wawancara tanggal 15 Oktober 2006 mengemukakan : “Pemerintah Daerah sebenarnya mendapatkan manfaat yang terbesar dari pemasukan PBB, maka Pemerintah Daerah yang diberikan kewenangan melaksanakan Pemungutan PBB harus bekerja intensif agar target pendapatan PBB dapat masuk. Hal ini sungguh sangat strategis untuk dimanfaatkan secara optimal mengingat PBB Merupuakan komponen yang memnyumbang kontribusi terbesar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PADS)”. Pernyataan tersebut diperkuat oleh camat Jaten sebagaimana terungkap dalam hasil wawancara tanggal 18 Oktober 2006 sebagai berikut : “Tugas kami selaku aparat Pemerintah Daerah adalah mengoptimalkan penerimaan
PBB
dan
membantu
masyarakat
agar
lebih
mudah
melaksanakan pembayaran PBB”. Berdasarkan berbagai informasi diatas terungkap bahwa secara umum isi kebijakan PBB telah secara jelas mengatur kewenangan masing masing instansi dalam mendukung proses implementasinya. Tetapi yang menjadi catatan adalah peran BPN sebagai institusi yang menguasai data dan administrasi pertanahan
49
secara lebih komprehensif belum diatur keterlibatannya secara eksplisit. Keterkaitan beberapa institusi dalam pelaksanaan sebuah kebijakan membutuhkan komunikasi dan pengendalian yang baik agar terjadi hubungan sinergis yang saling membantu demi tercapainya tujuan kebijakan tersebut. B). Sistem Rewards And Punishmet Kebijakan PBB telah mengatur secara jelas pembagian hasil penerimaan PBB, dimana sebagian besar hasil PBB diserahkan kepada daerah. Dalam Undang-undang PBB nomor 12 tahun 1986 pasal 18 ayat 1 telah diatur bahwa hasil penerimaan PBB merupakan penerimaan negara yang dibagi antara pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dengan perimbangan sekurangkurangnya 90 % untuk pemda Tingkat I dan Pemda Tingkat II dan 10 % selebihnya untuk pemerintah pusat. Dari 90 % bagian pemda, sebagian besar diberikan kepada PemerintahKabupaten (pasal 18 ayat 2). Perimbangan hasil sebagaimana disebutkan diatas diatur dengan Peraturan Pemerintah RI nomor 47 tahun 1985 yang mengatur sebagai berikut: 1) 10 % dari hasil penerimaan PBB merupakan bagian penerimaan pemerintah pusat oleh karena itu harus sepenuhnya disetorkan ke kas negara. 2) 90 % dari hasil penerimaan merupakan bagian penerimaan untuk pemerintah daerah yang harus dikurangi terlebih dahulu dengan biaya pemungutan sebesar 10 %. Dan setelah itu sisanya dibagi antara pemerintah propinsi dan kabupaten dengan perbandingan pemerintah Propinsi sebesar 20 % dan Pemerintah kabupaten sebesar 80 %. Bagian ini merupakan bagian pemerintah daerah sehingga sertiap tahun harus dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan
50
Belanja Daerah (APBD). Hasil PBB ini digunakan untuk kepentingan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Sistem pembagian ini dapat dijadikan sebagai pemicu semangat daerah untuk melaksanakan pemungutan PBB sebaik mungkin agar dapat meraih pendapatan sebesar-besarnya untuk meningkatkan kapasitas APBD di daerahnya. Di sisi lain tersedianya upah pungut sebesar 10 % yang diambilkan dari bagian Pemerintah Daerah merupakan perwujudan penghargaan bagi institusi pemungut PBB. Dengan mekanisme ini maka setiap institusi yang terkait dengan pemungutan PBB dan aparat yang ada didalamnya akan termotivasi meningkatkan penerimaan dari sektor PBB. Pajak adalah suatu pungutan oleh negara yang dikenakan kepada warga negara yang bersifat wajib dan harus ditaati oleh setiap warga negara. Kebijakan PBB dalam UU nomor 12 tahun 1986 sebagaimana disebutkan dalam konsideran menimbang melihat bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai hak atasnya, atau memperoleh manfaat daripadanya, maka wajar jika mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak. Dalam UU PBB maupun peraturanperaturan turunannya tidak mengatur rewards bagi wajib pajak yang telah membayar pajak dengan baik. Pemerintah
daerah
sebagai
pihak
yang
berkepentingan
untuk
mendapatkan pemasukan dari sektor PBB berusaha memberikan penghargaan kepada wajib pajak maupun institusi pemungut di lapangan yang telah
51
mendukung keberhasilan pemungutan PBB. Di Kabupaten Karanganyar rewards atau bentuk penghargaan yang diberikan kepada wajib pajak yang telah membayar pajak lebih awal diberikan dalam bentuk pemberian hadiah undian bagi Wajib pajak yang telah melunasi PBB sebelum bulan Agustus setip tahunnya. Tentang hal ini Kasubdin Penagihan pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar dalam wawancara tanggal 15 Oktober 2006 mengemukakan sebagai berikut : Kami telah mendesain cara agar masyarakat tergugah untuk sadar membayar pajak lebih awal dari jatuh tempo yang ditentukan. Cara yang kami tempuh adalah dengan memberikan stimulan berupa berbagai hadiah yang menarik bagi wajib pajak yang kami undi untuk para wajib pajak yang telah lunas PBB sampai akhir bulan Juli tahun yang bersangkutan. Program ini kami mulai sejak tahun 2004 dan ternyata hasilnya luar biasa di kabupaten Karanganyar yang pada tahun tahun sebelumnya tidak pernah menutup terget ternyata pada tahun 2004 pemasukan PBB tahun 2004 lebih dari 100 %. Memang pasti ada indikator lain yang mendukung keberhasilan ini tetapi tentunya pemberian hadiah ini turut memberi kontribusi yang signifikan terhadap keberhasilan tersebut. Keberhasilan sebagaimana diungkapkan Kasubdin Penagihan Dipenda kabupaten Karanganyar tersebut memang benar karena berdasarkan data pemasukan PBB (tabel 1 hal 2) sejak tahun 2001 sampai 2003 pemasukan pungutan PBB berkisar antara 80 % sd 96 %, tetapi pada tahun 2004 meningkat drastis menjadi 109, 17 %. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sistem penghargaan yang diberikan kepada wajib pajak merupakan salah satu faktor pendukung keberhasilan implementasi kebijakan pemungutan PBB.
52
Adanya Penghargaan bagi yang berprestasi atau yang kooperatif tentunya juga perlu dibarengi dengan adanya hukuman atau punishment bagi yang melanggar. Kebijakan PBB telah memuat sanksi terhadap para pelanggar kebijakan ini. Sanksi yang dikenakan terhadap pelanggar kebijakan PBB diberikan dalam bentuk sanksi administratif dan sanksi pidana. Sanksi administratif diberikan jika wajib pajak terlambat mengembalikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) dan jika wajib pajak terlambat membayar pajak terhutang yang telah jatuh tempo. Sanksi administratif ini dikenakan dalam bentuk
denda, misalnya untuk wajib pajak yang terlambat membayaer PBB
dikenakan denda administratif sebesar 2 % dari pajak terhutang per bulan keterlambatan pembayaran. Sedangkan sanksi pidana dapat dijatuhkan kepada wajib pajak melalui penetapan oleh hakim pidana. Ketentuan Pidana dalam kebiajakan PBB dibagi dalam dua kategori yaitu : a. Tindak pidana yang disebabkan karena kealpaan (Pasal 24 UU PBB dan Pasal 38 UU no. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan.) b. Tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja (pasal 25 UU PBB dan Pasal 39 UU no 6 tahun 1983.
Tindakan yang dapat dikenakan sanksi pidana antara lain : Tidak mengembalikan Surat Pemberitahuan Obyek pajak (SPOP), menyampaikan SPOP yang isinya tidak benar, tidak lengkap, dan atau lampirannya tidak memberikan
53
keterangan yang benar, tidak mengembalikan SPOP, menunjukkan dokumen palsu atau yang dipalsukan, dan tidak memperlihatkan dokumen yang dibutuhkan oleh Ditjen pajak dalam penetapan PBB. Terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat dikenai sanksi pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling tinggi Rp. 2.000.000.000,- (dua juta rupiah). Tentang berbagai sanksi yang diatur terhadap pelanggaran – pelanggaran dalam UU PBB tersebut Camat Jaten dalam wawancara tanggal 15 Oktober 2006 mengemukakan : “Sanksi yang diatur dalam Undang-undang PBB kebanyakan mengatur tentang proses terbitnya SPPT, tetapi Justru yang mengatur sanksi terhadap wajib pajak yang tidak mau membayar PBB menurut saya kurang tegas. Dalam hal ini Wajib Pajak hanya dikenai denda 2 % setiap bulan keterlambatan. Sebaiknya untuk meningkatkan keberhasilan pemungutan PBB perlu ada sanksi yang lebih keras yang diberikan kepada Wajib Pajak yang tidak membayar PBB, karena di Jaten ini ada wajib pajak yang tidak membayar PBB selama bertahun – tahun dan kami sendiri tidak bisa berbuat apa apa selain hanya menagih dan menagih. Disamping itu saya belum pernah mengetahui orang yang dikurung karena pelanggaran terhadap UU PBB. Jadi bagi saya masalah law enforcement menjadi sebuah persyaratan yang penting untuk diwujudkan jika kita ingin implementasi kebijakan pemungutan PBB ini sukses. Pernyataan Camat Jaten yang mengungkap adanya kelemahan dalam penegakan hukum tersebut diperkuat oleh Kasi Pemerintahan Kecamatan Jaten dalam wawancara tanggal 17 oktober 2006 yang mengemukakan : “Permasalahan yang saya alami selama ini adalah selalu saja keengganan Wajib Pajak untuk menyetor PBB, hal ini disebabkan karena mereka
54
mengamati para penunggak yang sudah lebih dari satu tahun menunggak PBB pun tidak diberi sangksi yang tegas sehingga mendorong keberanian mereka untuk tidak membayar PBB. Menurut saya perlu ada shok terapi dengan memberikan hukuman kepada penunggak PBB yang sudah lebih dari satu tahun menunggak PBB dan dipublikasikan secara luas untuk menimbulkan efek kepatuhan bagi wajib pajak”.
Pernyataan tersebut menunjukkan adanya sebuah ruang yang menjadi celah dan dapat menjadi faktor penghambat dalam mengupayakan keberhasilan implementasi pemungutan PBB di wilayah Kecamatan Jaten. Tidak tegasnya sanksi terhadap para penunggak PBB dan penegakan hukum yang tidak berjalan menyebabkan implementasi kebijakan pemungutan PBB tidak dapat berhasil sesuai target yang diharapkan.
2. Sumber Daya Manusia (SDM) a) Kuantitas SDM Petugas yang terlibat dalam Pemungutan PBB terdiri dari para petugas yang telah ditetapkan Bupati Karanganyar melalui SK Bupati Karanganyar nomor 973/354 tahun 2005 tentang Penetapan Tim Intensifikasi PBB Kabupaten Karanganyar. Dalam Tim tersebut Tim Intensifikasi dibentuk berjenjang mulai dari Kabupaten sampai Kacamatan. Selanjutnya di Desa / Kelurahan Kepala Desa /Lurah ditunjuk sebagai koordinator petugas pemungut, Sekretaris Desa/Sekretaris Kelurahan sebagai Petugas Administrasi PBB Desa dan Kepala Dusun sebagai Petugas Pemungut PBB.
55
Di Tingkat Kecamatan Tim Intensifikasi PBB terdiri dari Camat sebagai penanggungjawab dengan anggota Sekretaris Kecamatan, Kasi Pemerintahan dan beberapa staf yang membidangi. Tim Tingkat Kecamatan ini bertugas memobilisasi proses pemungutan PBB mulai dari Penyampaian SPPT sampai pada pelaporan realisasi pelunasan PBB. Selanjutnya Tim tingkat kecamatan Ini menendalikan dan mengkorrdinasikan Tugas Tugas Tim Intensifikasi Pemungutan PBB Tingkat Desa yang terdiri dari Kepala Desa selaku Penanggung jawab, Sekdes sebagai petugas administrasi dan Kepala Dusun sebagai Petugas Pemungut PBB. Di Kecamatan jaten Tim Intensifikasi PBB Tingkat kecamatan terdiri dari 5 orang yang masing-masing telah memahami peran dan fungsinya masingmasing sebagaimana diungkapkan oleh Camat jaten Sebagai Berikut : “Tim Intensifikasi PBB di Kecamatan Jaten ini jumlahnya ada lima orang termasuk saya, meskipun hanya lima orang saya berupaya agar yang sedikit ini bisa bekerja dengan efektif, maka saya membagi mereka dalam wilayah desa binaan, dimana masing masing anggota tim kecuali saya membina di 2 desa. Dengan begitu saya harapkan mereka lebih bertanggungjawab dan tahu betul dan fokus terhadap permasalahan di desa binaannya masing masing. Sebenarnya saya ingin satu orang membina satu desa saja tetapi komposisi Tim Intensifikasi ini sudah ditentukan dari Kabupaten, mungkin ada kaitannya dengan hak upah pungut yang diberikan. Oleh karena itu disini yang ikut saja toh 5 orang kalau bekerja dengan efektif itu sudah cukup”.
Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa Tim Intensifikasi Tingkat Kecamatan yang berjumlah lima orang telah cukup berfungsi sebagai pengendali
56
proses pemungutan PBB di Kecamatan jaten. Tolok ukur yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian ini adalah semua administrasi PBB di Kecamatan Jaten tertata dan berjalan dengan Baik disamping itu setiap kesulitan dari Desa dapat teratasi dengan baik sebagimana dikemukakan Sekretaris Desa Dagen yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut : “Selama ini tidak ada masalah mas komunikasi dengan Kecamatan berjalan dengan baik setiap persoalan yang muncul selalu bisa dibantu dengan baik oleh petugas kecamatan, tetapi kalau soal lunasnya ya itu semua sudah kami usahakan tetapi ada saja wajib pajak yang membandel”. Berdasarkan pernyataan tersebut terlihat bahwa secara administratif persoalan-persoalan PBB dapat teratasi, tetapi tetap saja persoalan Wajib Pajak yang menunggak masih ada. Selanjutnya untuk tingkat desa di Kecamatan Jaten, jumlah petugas PBB terdiri dari 8 orang Koordinator Petugas Pemungut, 8 orang petugas administrasi, dan 46 orang Petugas Pemungut. Jumlah tersebut sesuai dengan komposisi Kecamatan jaten yang terdiri dari 8 desa dan 46 dusun. Maka jumlah tersebut secara umum sudah cukup memadai. Permasalahan muncul ketika sebuah dusun memiliki penduduk yang sangat besar seperti di Desa Ngringo. Di desa ini ada satu orang Petugas Pemungut yang harus menangani lebih dari 3.000 Wajib Pajak. Hal ini terjadi karena lingkungan ngringo adalah kompleks perumahan yang sangat padat sehingga jumlah penduduknya sangat banyak. Atas dasar kenyataan tersebut perlu dipikirkan untuk diusulkan penambahan petugas pemungut PBB khusus untuk desa dengan karakteristik khusus seperti Desa Ngringo tersebut.
57
b). Kualitas SDM Secara umum kapasitas petugas PBB di Kecamatan Jaten jika ditinjau dari aspek tingkat Pendidikan cukup baik. Hal ini terlihat pada komposisi tingkat pendidikan Kepala Dusun di Kecamatan Jaten sebagaimana Tabel 5 berikut ini : Tabel 5 Tingkat Pendidikan Kepala Dusun Di Kecamartan Jaten Kabupaten Karanganyar Tahun 2005
No
Tingkat Pendidikan
Jumlah (orang) 2
persentase (%) 4,35
1
SD
2
SLTP
11
23,91
3
SLTA
30
65,22
4
Sarjana
3
6,52
Jumlah
46
100
Sumber : Data Kecamatan Jaten Data tersebut menunjukkan
rata rata petugas pemungut PBB di
Kecamatan jaten berpendidikan SLTA. Hal ini menunjukkan kondisi yang cukup baik dan tingkat pendidikan yang baik ini diharapkan juga akan berpengaruh terhadap kinerja implementasi kebijakan pemungutan PBB. Meskipun tidak ada data yang menunjukkan kaitan langsung antara Tingkat Pendidikan Petugas Pemungut dengan keberhasilan Pemungutan PBB, setidaknya dengan tingkat pendidikan yang cukup maka tingkat pemahaman dan kreatifitas seseorang dalam memahami suatu kebijakan akan lebih baik.
58
Disamping pendidikan formal juga dibutuhkan pendidikan dan pelatihan yang lebih bersifat fungsional yang langsung mengarah pada suatu program. Diklat semacam ini belum pernah dilaksanakan. Dalam rangka meningkatkan kecakapan pegawai dan membantu para pegawai melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien maka pendidikan dan latihan sangatlah penting untuk dilaksanakan. Menurut Camat Jaten Pelatihan bagi Petugas pemungut PBB Selama ini belum dapat dilaksanakan karena keterbatasan sumber daya dan dana yang ada di kecamatan Jaten, sehingga kegiatan Rapat Koordinasi dan Apel PBB dijadikan sarana untuk meningkatkan motivasi dan pemahaman Petugas pemungut dalam penangihan PBB. Sedangkan menurut Kasubdin Penagihan Dinas Pendapatan Kabupaten Karanganyar, Dipenda Pernah Mengadakan Pembinaan dalam rangka peningkatan pemasukan PBB tetapi sasarannya masih terbatas sampai pada tim intensifikasi tingkat kecamatan se Kabupaten Karanganyar.
3. Kepatuhan Pelaksana a). Ketepatan Waktu Penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) Tugas awal yang harus dilaksanakan oleh para petugas pemungut PBB adalah menyampaikan SPPT kepada Wajib Pajak. SPPT merupakan surat ketetapan yang yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak Melalui KP PBB. Penetapan Nilai PBB dalam SPPT Mengacu pada SPOP. Mekanisme penyampaian SPPT ini sebagaimana dikemukakan oleh Kasi Pemerintahan
59
Kecamatan Jaten di mulai dari pencetakan oleh KP PBB kemudian diteruskan oleh
Dinas
Pendapatan
Kabupaten
Karanganyar
selanjutnya
baru
didistribusikan ke desa/kelurahan melaui kecamatan-kecamatan. Di Desa selanjutnya di pilah-pilah perdusun dan dibuatkan daftar nominatif PBB masing-masing dusun sambil di cek kebenaran datanya. Setelah proses administrasi di desa selesai baru diedarkan oleh para kepala dusun kepada masyarakat. Menurut Kepala Dusun Jati Kecamatan Jaten SPPT sering terlambat sebagaimana dikemukakan sebagai berikut: “Biasanya penyampaian SPPT disini agak molor pak, karena biasanya SPPT sampai di desa bulan Juli dan baru beredar di masyarakat pada bulan Agustus hal ini karena penelitian di desa membutuhkan waktu yang cukup lama. Kalau SPPT dapat lebih awal kami terima tentunya SPPT juga akan lebih cepat sampai ke masyarakat. Kalau tahun ini agak lumayan pak bulan Mei kemarin sudah sampai di Desa makanya di masyarakat pun tahun ini bisa lebih cepat”.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa terjadinya keterlambatan penyampaiamn SPPT tidak terjadi karena semata-mata kesalahan petugas Kadus di lapangan tetapi juga diakibatkan keterlambatan KP PBB menerbitkan SPPT PBB. Keterlambatan Penyampaian SPPT ini jika tidak diatasi akan merugikan Wajib Pajak karena sebenarnya wajib pajak diberi kesempatan membayar pajak paling lambat enam bulan setelah SPPT diterima. Jika SPPT terlambat diterima maka 6 bulan kedepan setelah SPPT
60
diterima bisa jadi sudah berganti tahun yang berarti jangka waktu pembayaran menjadi lebih singkat . Setelah menyampaikan SPPT kepada Wajib Pajak petugas melaporkan hasilnya kepada petugas administrasi desa untuk dilaporkabn kepada camat dan selanjutnya Camat menyampaikan laporan perkembangan penyampaian SPPT kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah dengan tembusan Kepala Dinas Pendapatan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Surakarta. Di tingkat desa yaitu koordinator,
sebulan sekali melaporkan
perkembangan penyampaian SPPT dan STTS Pajak Bumi dan Bangunan Kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar lewat Camat Jaten dan menyerahkan Berita Acara penyetotan uang Pajak Bumi dan Bangunan lembar ketiga dan keempat kepada Camat Jaten. Petugas pemungut mempunyai tugas mencocokan nama-nama wajib pajak yang tertera dalam DHKP ( Daftar Himpunan Ketetapan Pajak ) dengan SPPT Wajib pajak, karena banyak dijumpai SPPT dengan alamat yang tidak jelas, Jumlah Ketetapan Pajak dalam SPPT tidak sama dengan yang tertera dalam DHKP, SPPT wajib pajak yang dobel nama. Penyampaian SPPT ( Surat Pemberitahuan Pajak terhutang ) dari Pemerintah Kecamatan Jaten kepada Desa-desa serta dari Desa kepada para Pemungut Pajak kemudian sampai pada para Wajib Pajak merupakan hal yang wajib dilaksanakan. Setelah SPPT sampai kepada Wajib Pajak masih dimungkinkan merasa kurang puas, ketidak puasan Wajib Pajak yaitu dengan dengan cara mengajukan keberatan kepada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
61
Bangunan di Surakarta, di karenakan penetapan pajak yang terlalu tinggi, luas tanah yang tidak sesuai dengan kenyataan dilapangan atau nama Wajib Pajak yang tertulis di SPPT tidak sesuai dengan nama yang tertera pada Kartu Tanda Penduduk. Alur administrasi sebagaimana diatas menimbulkan terjadinya permasalahan dalam distribusi SPPT sampai ke wajib pajak.
2. Kepatuhan Pengadministrasian Pengadministrasian
PBB
meliputi
pembuatan
laporan
hasil
perkembangan penyampaian SPPT PBB tahun yang bersangkutan kepada wajib pajak lewat koordinator pemungut pajak..Petugas Pemungut di Desa harus membuat Daftar Penerimaan Harian (DPH). DPH PBB yang dibuat oleh petugas pemungut di tiap-tiap desa, menjadi surat bukti bahwa para wajib pajak telah menitipkan uang setoran PBB nya untuk disetorkan kepada Bank persepsi, serta untuk mengetahui wajib pajak yang telah membayar lunas PBB dan yang belum membayar PBB nya. Laporan bulanan penerimaan PBB tahun yang bersangkutan dibuat secara rutin oleh Camat Jaten dan dilaporkan kepada Bupati Karanganyar, serta tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah, Kepala Badan Pengawas Kabupaten Karanganyar, Kepala Kantor Pelayanan PBB Surakarta dan Kepala Desa se-Wilayah Kecamatan Jaten, untuk mengetahui realisasi PBB pada bulan yang bersangkutan serta langkahlangkah apa yang harus dilakukan untuk mengejar target yang telah ditetapkan. Keterlambatan dalam menyampaikan laporan bulanan kepada
62
Bupati Karanganyar, akan berakibat target yang telah ditetapkan dalam bulan yang bersangkutan tidak diketahui sehingga pimpinan terlambat
dalam
mengambil keputusan. Kesulitan administrasi yang sering dijumpai adalah ketidak sesuaian data obyek pajak dengan wajib pajaknya, hal ini disebabkan oleh tidak terintegrasinya sistem administrasi kepemilikan dan penguasaan tanah di BPN dengan Administrasi PBB di KP PBB. Sebagaimana dikemukakan oleh petugas administrasi PBB Kecamatan Jaten sebagai Berikut : “para pelaksana di lapangan sering kesulitan menyesuaikan data PBB dengan data kepemilikan tanah yang sering terjadi perubahan. Di Kecamatan Jaten yang merupakan daerah perkotaan, frekuensi mutasi tanah sangat tinggi, tetapi hal ini tidak diikuti oleh mutasi tagihan PBB sebagaimana tercatat dalam SPPT sehingga sering terjadi komplain dan keengganan masyarakat untuk membayar PBB karena Tanah yang menjadi obyek pajak tersebut sudah tidak berada dalam penguasaanya atau mereka sudah tidak menikmati manfaat atas tanah tersebut.” Tanggung jawab administrasi perubahan atas SPPT yang diberikan kepada wajib pajak berada di tangan KP PBB sebagai instansi induk yang menangani PBB. Tetapi data dan informasi untuk keperluan mutasi data Objek pajak dan wajib pajak berasal dari para Pejabat Pembuat Akte tanah di bawah koordinasi Badan Pertanahan Nasional. Sedangkan pihak yang mendistribusilkan dan menagih PBB adalah aparat Pemda dengan infrastrukturnya berupa aparat kecamatan dan aparat desa/kelurahan.
63
Pengadministrasian PBB juga meliputi penentuan Nilai jual Obyek Pajak (NJOP) Yang dijadikan Dasar Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) dan untuk menentukan besarnya pajak dari masing-masing obyek pajak turut pula berpengaruh terhadap keterlambatan penyampaian SPPT sampai ke wajib Pajak. Dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang dievaluasi setiap tiga tahun ditetapkan oleh Menteri Keuangan kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun. Jangka waktu tiga tahun ini dianggap wajar karena pada umumnya NJOP itu tidak cepat perubahannya kecuali apabila terjadi perubahan klasifikasi, seperti perubahan penggunaan tanah dari tanah ladang menjadi pemukiman atau menjadi tanah perindustrian. Dalam menentukan nilai jual ini Menteri Keuangan mendengar dan memperhatikan pertimbangan dari Gubernur dan Bupati setempat. Walaupun nilai jual obyek PBB ditetapkan tiga tahun sekali, namun surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) dikenakan setiap tahun. Dari NJOP ini ditetapkan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Penetapan NJKP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 1985 dalam pasal 6 ayat 3 dan 4 diatur NJKP ditetapkan sebesar 20 % dari NJOP. Tentang penetapan besarnya NJKP ini petugas KP PBB Surakarta mengemukakan : Penetapan NJKP 20 % itu karena ada dua pertimbangan yaitu, pertama karena PBB pada umumnya menggantikan pajak-pajak yang menjadi sumber penerimaan daerah, maka diusahakan dengan adanya PBB akan memberikan sumber pendapatan bagi daerah yang memadai untuk
membiayai
kegiatan
64
pembangunannya.
Kedua,
melihat
kemampuan ekonomi masyarakat secara keseluruhan untuk membayar pajak agar tidak timbul gejolak yang terlalu memberatkan masyarakat. Pernyataan diatas mengandung makna bahwa dengan penetapan NJKP 20 % dari NJOP penerimaan daerah tidak akan berkurang dibandingkan dengan jika menggunakan peraturan yang lama, dan rakyat tidak terlalu berat menanggungnya. Tanah dan bangunan memiliki banyak keragaman yang nilainya tidak mungkin disamaratakan, maka dalam PBB dilakukan klasifikasi dan kategorisasi untuk mengelompokkan bumi dan bangunan berdasarkan nilai jualnya. Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor antara lain letak, peruntukan, pemaanfaatan, dan kondisi lingkungan Tanah/bangunan tersebut. Sedangkan secara lebih spesifik faktor yang dapat membedakan besarnya NJOP adalah Luas tanah dan bangunan, hasil yang bisa didapatkan dari tanah/bangunan, adanya irigasi, dan sebagainya. Sedangkan untuk bangunan klasifikasinya memperhatikan faktor faktor bahan bangunan, rekayasa teknologi yang digunakan, letak, kondisi lingkungan, dan lain-lain. Nilai Jual Tanah yang dijadikan dasar penentuan NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Mengingat transaksi jual beli tanah dalam suatu kawasan tidak sering terjadi dan harga suatu bidang tanah belum dapat mewakili harga tanah untuk bidang lain dalam satu kawasan, maka perlu ada metode lain dalam menentukan besarnya NJOP. Sebagai kriteria lain yang dapat digunakan
adalah
menggunakan perbandingan berdasarkan kategori dan klasifikasi tertentu.
65
Pendekatan lain yang digunakan dalam penentuan NJOP adalah metode nilai perolehan baru, yaitu suatu pendekatan metode penetuan NJOP dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperolrh obyek tersebut pada saat penilaian dilakukan, dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik obyek tersebut. Masing masing metode yang digunakan selalu memiliki kelebihan dan kelemahan, maka dalam tataran operasional setelah ditetapkan ternyata selalu ada pihak yang merasa tidak puas dan tidak dapat menerima NJOP yang muaranya muncul dalam SPPT. Hal Ini seperti yang dikemukakan oleh Kepala desa Dagen sebagai berikut : Di sini ini kebanyakan rakyatnya petani dan buruh kecil tapi pajak PBB nya tinggi, mungkin karena lokasinya dekat dengan kawasan industri, bagi masyarakat ini tentu sangat memberatkan, apalagi hampir setiap tahun selalu ada peningkatan. Kami sendiri tidak tahu benar apa yang dijadikan dasar penghitungan, yang jelas jika pajaknya besar banyak warga kami yang tidak mau membayar. Untuk memperlancar pembayaran terpaksa kami membantu mengurus pengurangan ke KP PBB tetapi tahun berikutnya nilainya selalu kembali ke nilai yang besar. Hai ini menunjukkan bahwa kriteria dan cara penentuan besarnya PBB yang diawali dengan penentuan NJOP tidak dipahami secara baik di tingkat aparat pemerintahan yang terbawah. Maka dapat dipahami jika masyarakat juga tidak mengetahui dasar-dasar pengenaan PBB. Tentang hal ini Petugas KP PBB mengemukakan :
66
Penentuan besarnya NJOP ini telah melalui tahapan pendataan yang melibatkan aparat pemerintah di desa dan rata rata nilai jual yang dijadikan dasar penghitungan PBB masih berada di bawah harga pasar yang berlaku. Atas dasar ini maka sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak membayar PBB. Bahkan kami juga memberi kesempatan jika mereka merasa keberatan dengan besarnya pajak yang harus dibayar, mereka dapat mengajukan keberatan. Jika alasannya mendasar kami melalui Pimpinan kami di KP PBB pasti akan mengakomodasi permohonan keberatan tersebut. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa dari institusi KP PBB sebagai tangan panjang menteri keuangan yang menetapkan besarnya PBB yang harus dibayar masyarakat sudah berupaya memberikan layanan yang baik kepada masyarakat, tetapi karena tidak semua informasi dapt sampai kepada masyarakat maka masih selalu ada komplain atas penetapan besarnya PBB atas obyek pajak yang dimiliki masyarakat.
3. Komunikasi a. Komunikasi dengan wajib pajak Dari sisi wajib pajak salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan memberikan penyadaran bagi wajib pajak mengenai perlunya membayar PBB. Bentuk penyadaran terhadap wajib pajak yang pertama kali dilakukan adalah dengan memberikan penyuluhan kepada wajib pajak pada saat pertemuan tingkat RT maupun tingkat Dusun dan Desa. Dalam hal ini pihak kecamatan bekerja sama dengan Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar. Dalam hal ini biasanya dilakukan setelah para
67
wajib pajak menerima SPPT dari Petugas pemungut pajak di tingkat Dusun. Ini seperti dikemukakan Camat Jaten sebagai berikut : Penyadaran terhadap wajib pajak kami lakukan dengan cara pemberian sosialisasi pada mereka. Hal yang pertama dilakukan melalui perangkat desa, pada saat kami memberikan SPPT lewat Kepala Desa. Kemudian kami lanjutkan pada saat pertemuan ditingkat Dusun maupun Desa. Hal tersebut dibenarkan oleh seorang kepala dusun
yang
menyatakan sebagai berikut : Setiap tahun kami mendapatkan pengarahan dari Dinas Pendapatan daerah Kabupaten Karanganyar dan Bapak Camat setelah menerima SPPT yang harus disampaikan kepada wajib pajak. SPPT untuk dikoreksi kebenarannya mungkin saja ada kesalahan, namun apabila telah benar keseluruhannya, masyarakat dalam hal ini wajib pajak dimohonkan untuk segera membayarnya tidak perlu menunggu jatuh tempo. Disamping dalam bentuk pertemuan secara langsung upaya penyadaran para wajib pajak juga dilakukan melalui pemasangan spanduk yang dipasang ditempat-tempat yang startegis misalnya perempatan jalan, kantor desa maupun bank persepsi dalam hal ini Badan Kredit Kecamatan (BKK) Hal ini dibenarkan oleh Kepala Desa Jaten yang mengatakan sebagai berikut: Seperti petunjuk yang disampaikan oleh bapak Camat Jaten kamipun memasang spanduk ditempat-tempat yang strategis, kami mendapatkan 3 spanduk satu kami pasang dibalai desa sedangkan yang lain di tempat tempat yang strategis.
68
Upaya lain yang dilakukan dalam rangka penyadaran wajib pajak untuk membayar pajak khususnya Pajak Bumi dan Bangunan juga dilakukan melalui media elektronik yaitu lewat RSPD Karanganyar. Dalam pemberitaan tersebut dikemukakan pentingnya membayar pajak tepat pada waktunya dan kegunaan dana tersebut untuk kelangsungan pembangunan di daerah Kabupaten Karanganyar. Upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kecamatan Jaten dalam hal meningkatkan kesadaran wajib pajak tersebut nampaknya memang telah cukup memadai, sebab semua jalan telah ditempuh misalnya memanfaatkan pertemuan-pertemuan di tingkat Dusun, ditempat jamuan orang punya kerja, pemasangan spanduk ditempat-tempat yang strategis serta memanfaatkan siaran Radio RSPD Karanganyar di setiap Minggu.
Berbagai kendala
khususnya dalam hal pemberian sosialisasi masih terjadi, karena dalam pertemuan baik ditingkat RT maupun Dusun ada masyarakat wajib pajak yang tidak bisa hadir secara pribadi, atau pada waktu siaran radio lewat RSPD kurang diperhatikan karena media Radio sudah tidak menarik lagi dibandingkan media Televisi.
b. Komunikasi dalam Tim Intensifikasi PBB Dari sisi petugas pajak persoalan yang muncul biasanya berhubungan dengan kurangnya komitmen dan pemahaman petugas pajak. Dalam hal ini berkaitan dengan budaya sendiko dawuh. Kalau pimpinan belum memberikan komando untuk terjun kebawah biasanya staf juga belum
69
bergerak untuk mengadakan sosialisasi, pengecekan dilapangan apakah SPPT telah disampaikan kepada wajib pajak maupun penarikan PBB dari wajib pajak. Dalam mengantisipasi tentang hal ini pihak Kecamatan Jaten melakukan berbagai langkah sebagai berikut : 1) Kecamatan Jaten melibatkan beberapa Kepala Seksi dan staf untuk menangani masalah Pajak Bumi dan Bangunan masing-masing personil
diberikan tanggung jawab per desa dari monitoring
penyampaian SPPT sampai pada wajib pajak membayar kewajibannya dan mendapatkan STTS dari Bank persepsi dalam hal ini BKK Jaten. Menurut Camat Jaten hal ini dilakukan dengan berbagai pertimbangan mengoptimalkan hasil pemungutan PBB, sebagaimana dikemukakan Camat Jaten dalam wawancara sebagai berikut : Sebenarnya PBB menjadi tugas pokok dan fungsi Kepala Seksi Pemerintahan, namun karena banyaknya permasalahan yang menyangkut tentang PBB, maka kami melibatkan seluruh kepala seksi untuk ikut serta menangani PBB dan diharapkan PBB bisa terselesaikan tepat pada waktunya. 2) Kecamatan bekerja sama dengan Kepala Desa untuk menentukan Kepala Dusun mana yang akan diusulkan menjadi pemungut pajak, dan Kepala Dusun mana yang tidak diusulkan serta diganti dengan perangkat desa yang lain misalnya Kaur ditingkat desa. Hal ini penting dilakukan karena dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, Kepala Dusun yang itu-itu saja yang menggunakan uang setoran PBB untuk
70
kepentingan pribadinya. Hal ini dibenarkan oleh Kepala Desa Jetis Kecamatan Jaten sebagai berikut: Kalau memang ada petunjuk tertulis dari bapak Camat Jaten, kaur boleh diserahi tugas untuk menarik PBB dari masyarakat, kami harapkan sekali sebab banyak kepala dusun sebagai pemungut pajak malah menghabiskan dana setoran PBB nya untuk kepentingan pribadinya. Kalau sudah demikian akhirnya Kepala Desa yang harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan PBB yang digunakan oleh Kepala Dusun tersebut, karena Kepala Desa merasa malu. Sementara itu berkaitan dengan munculnya kenyataan bahwa pajak yang telah diterima oleh petugas pemungut tidak disetorkan semua, dalam hal ini pihak Kecamatan Jaten mengantisipasinya dengan lebih banyak turun pada pertemuan-pertemuan ditingkat dusun dengan cara jemput bola, walau memerlukan waktu yang cukup lama namun cukup efektif karena wajib pajak dapat membayar pada pertemuan tersebut secara kolektif dan pada pagi harinya telah mendapatkan Surat tanda lunas membayar PBB dari Badan Kredit Kecamatan (BKK) Jaten. Hal tersebut dibenarkan oleh perangkat desa di Desa Sroyo sebagai berikut: Kalau setiap tahun tim tingkat Kecamatan mau jemput bola seperti ini, saya yakin sekali PBB akan lunas tepat pada waktunya karena tidak dipakai oleh petugas pemungut, sekaligus Bapak Camat dapat memberikan informasi kepada masyarakat secara langsung tidak hanya
71
masalah PBB
namun, informasi yang lain yang sangat diperlukan oleh warga masyarakat. Dalam berbagai hal nampaknya upaya ini cukup berhasil, akan tetapi persoalannya akan kembali pada pemberian upah pungut yang kurang jelas yang diterima oleh petugas pemungut pajak. Selama ini upah pungut yang diberikan pada petugas pemungut PBB lewat Kepala Desa masih terkesan belum dilakukan secara transparan, karena Kepala Desa tidak menjelaskan secara terbuka berapa yang telah diterima. Kepala Desa hanya diberikan upah sebesar persentase tertentu yang dipengaruhi oleh oleh seberapa besar realisasi dari target yang diberikan. Hal ini menyebabkan para petugas pemungut pajak tidak menyetorkan seluruh perolehannya kepada Bank Persepsi dalam hal ini BKK Jaten. Hal ini dibenarkan oleh seorang Kepala Dusun yang sebagai pemungut pajak di Desa Jetis sebagai berikut: Sebenarnya kami harus menerima upah dari jerih payah kami sebagai pemungut pajak, namun kami tidak pernah menerima upah pungut tersebut, kalaupun menerima upah pungut sangat sedikit sekali dan tidak sesuai dengan apa yang telah kami keluarkan. Berkaitan dengan hal tersebut dibenarkan oleh Sekretaris Kecamatan Jaten yang mengatakan sebagai berikut: Tidak semua Kepala Desa yang ada di Kecamatan Jaten ini nakal memang ada beberapa yang nakal, yang masih berlaku jujurpun juga banyak sehingga apa yang semestinya diterima oleh para petugas pemungut pajak dalam hal ini upah pungut sampai juga pada
72
alamatnya misalnya di Desa Jaten tidak ada keluhan dan Desa Jetis karena upah pungut disampaikan kepada yang berhak menerima. Hal tersebut berarti bahwa mekanisme atau sistem penarikan dan pemberian upah pungut belum dapat dilaksanakan secara terbuka kepada para pemungut pajak dalam hal ini Kepala Dusun. Persoalan yang berkaitan dengan sistem penarikan lebih banyak berhubungan dengan mekanisme pajak dan ketidak jelasan upah pemungutan pajak, serta ketidak jelasan sangsi terhadap para pelanggar baik dari kalangan petugas pemungut pajak maupun dari wajib pajak. Berkaitan dengan hal ini upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kecamatan Jaten
seperti yang
dikemukakan oleh Kepala Seksi
Pemerintahan kecamatan sebagai berikut. Berkaitan dengan sistem penarikan PBB di daerah pedesaan kami juga menginstruksikan kepada petugas pemungut pajak dan Kepala Desa untuk ditarik bersama-sama pada waktu kegiatan rapat ditingkat dusun.
Jadi wajib pajak tinggal menyetor sebesar
nominal yang ada pada SPPT, petugas dari Kecamatan Jaten dan BKK menerima setoran dan membukukan sekaligus diberikan tanda lunas PBB. Sehingga tidak terjadi uang setoran dipakai oleh pemungut pajak dengan alasan untuk upah pungut. Sementara itu berkaitan dengan sangsi atas ketidak taatan membayar pajak, pihak Kecamatan Jaten memberikan persyaratan tertentu tentang penggunaan bukti pembayaran PBB sebagai sarana mengurus berbagai urusan di tingkat kecamatan, seperti pembuatan KK dan KTP.
73
Hal ini seperti dikemukanan oleh Sekretaris Kecamatan Jaten sebagai berikut : Masyarakat kami yang akan mengurus pembuatan KK dan KTP, diwajibkan untuk membawa juga tanda lunas telah membayar PBB tahun
yang
bersangkutan.
Hal
ini
dimaksudkan
untuk
mengingatkan kepada warga selain kartu KK dan KTP membayar PBB
juga
menjadi
kewajiban
warga
masyarakat
untuk
membayarnya. Hal ini juga kami konfirmasikan kepada bapak Camat Jaten yang menyatakan sebagai berikut: Memang kami menganjurkan setiap pemohon kartu KK dan KTP untuk
membawa tanda lunas PBB tahun yang bersangkutan,
namun kalau mereka tidak membawa
kami juga melayaninya
karena ketentuan ini memang tidak ada. Kami hanya menghimbau saja kepada masyarakat kami untuk membayar PBB tepat pada waktunya. Sementara upaya di tingkat Pemerintah Desa dalam hal ini dilakukan dengan pemberian panggilan ulang dibalai desa. Biasanya setelah waktu akan jatuh tempo pembayaran selesai. Hal ini seperti dikemukakan Kepala Desa Jetis Kecamatan Jaten sebagai berikut: Apabila jatuh tempo pembayaran PBB di desa kami belum 100 %, kami adakan pemanggilan di Kantor desa, bersama Kepala Dusun setempat untuk mengetahui kesulitan apa yang ada saat ini dan biasanya dapat terselesaikan dengan baik karena masih ada rasa pakewuh kepada Kepala Desa.
74
Apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kecamatan Jaten dan Pemerintah Desa di wilayah Kecamatan Jaten, adalah wujud dari upaya yang dilakukan dari segi pengawasan atas kewajiban membayar dari wajib pajak dan pengawasan untuk petugas pemungut pajak untuk tidak menggunakan dana setoran PBB.
C. Faktor –Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Implementasi Pemungutan PBB
1. Mobilisasi Sumber Daya Manusia (SDM) dalam Pemungutan PBB Petugas yang terlibat dalam Pemungutan PBB terdiri dari para petugas yang telah ditetapkan Bupati Karanganyar melalui SK Bupati Karanganyar nomor 973/354 tahun 2005 tentang Penetapan Tim Intensifikasi PBB Kabupaten Karanganyar. Dalam Tim tersebut Tim Intensifikasi dibentuk berjenjang mulai dari Kabupaten sampai Kacamatan. Selanjutnya
Kepala
Desa ditunjuk sebagai koordinator petugas pemungut, Sekretaris Desa sebagai Petugas Administrasi PBB Desa dan Kepala Dusun sebagai Petugas Pemungut PBB. Di Tingkat Kecamatan Tim Intensifikasi PBB terdiri dari Camat sebagai penanggungjawab dengan anggota Sekretaris Kecamatan, Kasi Pemerintahan dan beberapa staf yang membidangi. Tim Tingkat Kecamatan ini bertugas memobilisasi proses pemungutan PBB mulai dari Penyampaian SPPT sampai pada pelaporan realisasi pelunasan PBB. Di Kecamatan Jaten Tim ini terdiri dari 5 orang yang masing-masing telah memahami peran dan
75
fungsinya masing-masing sebagaimana diungkapkan oleh Camat Jaten Sebagai Berikut : “Tim Intensifikasi PBB di Kecamatan Jaten ini jumlahnya ada lima orang termasuk saya, meskipun hanya lima orang saya berupaya agar yang sedikit ini bisa bekerja dengan efektif, maka saya membagi mereka dalam wilayah desa binaan, dimana masing masing anggota tim kecuali saya membina di 2 desa. Dengan begitu saya harapkan mereka lebih bertanggungjawab dan tahu betul, sehingga mereka lebih fokus terhadap permasalahan di desa binaannya masing masing. Sebenarnya saya ingin satu orang membina satu desa saja tetapi komposisi Tim Intensifikasi ini sudah ditentukan dari Kabupaten, mungkin ada kaitannya dengan hak upah pungut yang diberikan. Disini ada 5 orang petugas, sebenarnya jumlah tersebut masih kurang, tetapi kalau bekerja dengan efektif jumlah itu saya rasa sudah cukup”. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa Tim Intensifikasi Tingkat Kecamatan yang berjumlah lima orang telah cukup berfungsi sebagai pengendali proses pemungutan PBB di Kecamatan Jaten. Tolok ukur yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian ini adalah semua administrasi PBB di Kecamatan Jaten tertata dan berjalan dengan Baik disamping itu setiap kesulitan dari Desa dapat teratasi dengan baik sebagimana dikemukakan Sekretaris Desa Dagen yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut : “Selama ini tidak ada masalah mas komunikasi dengan Kecamatan berjalan dengan baik setiap persoalan yang muncul selalu bisa dibantu dengan baik oleh petugas kecamatan, tetapi kalau soal lunasnya ya itu semua sudah kami usahakan tetapi ada saja wajib pajak yang membandel”.
76
Berdasarkan pernyataan tersebut terlihat bahwa secara administratif persoalan-persoalan PBB dapat teratasi, tetapi tetap saja persoalan Wajib Pajak yang menunggak masih ada. Selanjutnya untuk tingkat desa di Kecamatan Jaten, jumlah petugas PBB terdiri dari 8 orang Koordinator Petugas Pemungut, 8 orang petugas administrasi, dan 46 orang Petugas Pemungut. Jumlah tersebut sesuai dengan komposisi Kecamatan Jaten yang terdiri dari 8 desa dan 46 dusun. Maka jumlah tersebut secara umum sudah cukup memadai. Permasalahan muncul ketika sebuah dusun memiliki penduduk yang sangat besar seperti di Desa Ngringo. Di desa ini ada satu orang Petugas Pemungut yang harus menangani lebih dari 3.000 Wajib Pajak. Hal ini terjadi karena Ngringo adalah kompleks perumahan yang sangat padat sehingga jumlah penduduknya sangat banyak. Atas dasar kenyataan tersebut perlu dipikirkan untuk diusulkan penambahan petugas pemungut PBB khusus untuk desa dengan karakteristik khusus seperti Desa Ngringo tersebut. Data tingkat pendidikan petugas pemungut PBB di Kecamatan Jaten menunjukkan rata – rata berpendidikan SLTA. Hal ini menunjukkan kondisi yang cukup baik dan tingkat pendidikan yang baik ini diharapkan juga akan berpengaruh terhadap kinerja implementasi kebijakan pemungutan PBB. Meskipun tidak ada data yang menunjukkan kaitan langsung antara Tingkat Pendidikan Petugas Pemungut dengan keberhasilan Pemungutan PBB, setidaknya dengan tingkat pendidikan yang cukup maka tingkat pemahaman dan kreatifitas seseorang dalam memahami suatu kebijakan akan lebih baik.
77
2. Penerapan Sistem rewards and punishmet dalam Pemungutan PBB. Dalam UU PBB maupun peraturan-peraturan turunannya tidak mengatur rewards bagi wajib pajak yang telah membayar pajak dengan baik. Pemerintah daerah sebagai pihak yang berkepentingan untuk mendapatkan pemasukan dari sektor PBB telah berusaha memberikan penghargaan kepada wajib pajak maupun institusi pemungut di lapangan yang telah mendukung keberhasilan pemungutan PBB. Di Kabupaten Karanganyar, rewards atau bentuk penghargaan yang diberikan kepada wajib pajak yang telah membayar pajak lebih awal diberikan dalam bentuk pembarian hadiah undian bagi Wajib pajak yang telah melunasi PBB sebelum bulan agustus setip tahunnya. Tentang hal ini Kasubdin Penagihan pada Dinas Pendapatan daerah Kabupaten Karanganyar dalam wawancara tanggal 15 Oktober 2006 mengemukakan sebagai berikut : Kami telah mendesain cara agar masyarakat tergugah untuk sadar membayar pajak lebih awal dari jatuh tempo yang ditentukan. Cara yang kami tempuh adalah dengan memberikan stimulan berupa berbagai hadiah yang menarik bagi wajib pajak yang kami undi untuk para wajib pajak yang telah lunas PBB sampai akhir bulan Juli tahun yang bersangkutan. Program ini kami mulai sejak tahun 2004 dan ternyata hasilnya luar biasa di Kabupaten Karanganyar yang opada tahun tahun sebelumnya tidah pernah menutup terget ternyata pada tahun 2004 pemasukan PBB tahun 2004 lebih dari 100 %. Memang pasti ada indikator lain yang mendukung keberhasilan ini tetapi tentunya pemberian hadiah ini turut memberi kontribusi yang signifikan terhadap keberhasilan tersebut.
78
Keberhasilan
sebagaimana
diungkapkan
Kasubdin
Penagihan
Dipenda Kabupaten Karanganyar tersebut memang benar karena berdasarkan data pemasukan PBB (tabel 1) sejak tahun 2001 sampai 2003 pemasukan pungutan PBB di Tingkat Kabupaten Karanganyar berkisar antara 80 % sd 96 %, tetapi pada tahun 2004 meningkat drastis menjadi 109, 17 %. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sistem penghargaan yang diberikan kepada wajib pajak merupakan salah satu faktor pendukung keberhasilan implementasi kebijakan pemungutan PBB. Adanya Penghargaan bagi yang berprestasi atau yang kooperatif tentunya juga perlu dibarengi dengan adanya hukuman atau punishment bagi yang melanggar. Dalam Kebijakan PBB telah memuat sanksi terhadap para pelanggar kebijakan ini. Sanksi yang dikenakan terhadap pelanggar kebijakan PBB diberikan dalam bentuk sanksi administratif dan sanksi pidana. Sanksi administratif diberikan jika wajib pajak terlambat mengembalikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) dan jika wajib pajak terlambat membayar pajak terhutang yang telah jatuh tempo. Sanksi administratif ini dikenakan dalam bentuk denda, misalnya untuk wajib pajak yang terlambat membayar PBB dikenakan denda administratif sebesar 2 % dari pajak terhutang per bulan keterlambatan pembayaran. Tindakan yang dapat dikenakan sanksi pidana antara lain : Tidak mengembalikan Surat Pemberitahuan Obyek pajak (SPOP), menyampaikan SPOP yang isinya tidak benar, tidak lengkap, dan atau lampirannya tidak memberikan
keterangan
yang
benar,
79
tidak
mengembalikan
SPOP,
menunjukkan dokumen palsu atau yang dipalsukan, dan tidak memperlihatkan dokumen yang dibutuhkan oleh Ditjen pajak dalam penetapan PBB. Terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat dikenai sanksi pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling tinggi Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah). Sanksi sebagaimana diatur dalam undang undang PBB tersebut hanya mengatur hukuman bagi para Wajib pajak yang tidak taat dalam menyampaikan informasi perpajakan yang menjadi tanggungjawabnya. UU PBB tidak mengatur sanksi yang keras terhadap Wajib Pajak yang terlambat atau tidak membayar PBB. Sanksi yang diatur hanyalah sanksi denda atas keterlambatan pembayaran yang besarnya ditetapkan sebesar 2 % per bulan keterlambatan dari ketetapan pajak yang telah ditentukan. Pernyataan Camat Jaten yang mengungkap adanya kelemahan dalam penegakan hukum tersebut diperkuat oleh Kasi Pemerintahan Kecamatan Jaten dalam wawancara tanggal 17 Oktober 2006 yang mengemukakan : “Permasalahan yang saya alami selama ini adalah selalu saja ada perangkat Desa yang terlambat menyetor PBB dari masyarakat ke bank persepsi, sebenarnya kalau bicara sanksi sudah jelas bagi perangkat desa yang melanggar dapat diproses hukuman disiplin, bahkan jika petugas ini menggunakan uang PBB bisa dikenakan pasal KUHP tentang penggelapan atau karena mengakibatkan kerugian negara dapat dijerat UU Korupsi, tetapi untuk sejauh itu saya rasanya belum bisa melaksanakannya karena berbagai pertimbangan terutama pertimbangan manusiawi. Yang jelas menurut saya akarnya adalah masalah penegakan hukum yang tidak berjalan seperti tadi yang saya katakan sayapun belum mampu melakukan itu”.
80
Mencermati pernyataan diatas penerapan sanksi perlu juga diterapkan terhadap para petugas pemungut karena menurut pengamatan Tim Intensifikasi PBB Kecamatan Jaten kendala dalam pemungutan PBB seringkali muncul dari petugas pemungut sendiri. Selama ini masih ada saja petugas Pemungut yang tidak menyetorkan uang PBB yang mereka pungut dari masyarakat. Permasalahan ini akan menimbulkan kekecewaan dari masyarakat yang telah membayar pajak dengan tertib. Kekecewaan tersebut jika tidak segera diatasi akan menimbulkan sikap wajib pajak yang menolak membayar PBB karena menganggap negara sudah tidak bisa dipercaya karena aparatnya yang nakal. Untuk menjawab pemrmasalahan ini, tim intensifikasi Kabupaten Karanganyar telah menjalin kerjasama dengan Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) yang akan mengerahkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk melakukan penegakan hukum terhadap para petugas pemungut yang menggunakan atau menyelewengkan setoran PBB. PPNS dari Kantor Satpol PP ini akan dikerahkan untuk menindaklanjuti laporan camat atas penyelewengan yang dilakukan petugas Pemungut. Menurut Kasi Penagihan Dinas Pendapatan Kabupaten Karanganyar, kerjasama ini merupakan sebuah langkah yang sudah rutin dilakukan tetapi mulai tahun 2005 ini implementasinya akan lebih dioptimalkan sebagaimana diungkapkan dalam wawancaera sebagai berikut : Kerjasama ini bukan barang baru, tetapi tahun ini kami akan berusaha agar pelaksanaannya lebih efektif, agar menimbulkan efek jera bagi para petugas yang melanggar ketentuan. Permasalahannya selama ini
81
laporan yang disampaiakan para camat tidak jelas sehingga sulit untuk ditindaklanjuti, maka tahun ini kita dorong para camat untuk membuat laporan yang jelas dan valid untuk dapat ditindaklanjuti secara tepat oleh PPNS Satpol PP.
Kerjasama tersebut disambut baik oleh Kepala Kantor Satpol PP sebagaimana terungkap dalam wawancara sebagai berikut : Kami siap melaksanakan kerjasama ini, apalagi secara fungsional kami juga masuk dalam keanggotaan tim intensifikasi PBB Kabupaten Karanganyar. Hanya saja permasalahannya hingga saat ini kami baru memiliki petugas PPNS sebanyak 10 orang, padahal cakupan tugas kami sangat luas meliputi penegakan semua Peraturan Daerah
di
Kabupaten
Karanganyar.
Jika
semua
Kecamatan
menyerahkan sepenuhnya kepada PPNS tentu saja kami akan sangat kesulitan, tetapi kami punya komitmen untuk mendukung program ini dengan sebaik-baiknya. Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa perangkat untuk melakukan penegakan hukum telah tersedia, selanjutnya sejauh mana perangkat tersebut dapat dimobilisasi secara efektif untuk pencapaian tujuan keberhasilan pemungutan PBB sangat tergantung pada kesadaran pihak-pihak tersebut dalam menjalankan tugas tanggung jawabnya masing-masing.
3. Koordinasi dalam pemungutan PBB Koordinasi ini dilakukan untuk memadukan langkah terkait dengan pelaksanaan intensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan di kecamatan Jaten, antara lain tim tingkat Kecamatan yang terdiri, Camat, Sekretaris Camat,
82
Petugas administrasi Pajak Bumi dan Bangunan, Para Kepala seksi dan Staf dan Kepala Bank Persepsi dalam hal ini Kepala BKK Kecamatan Jaten. Koordinasi bersama tim tingkat kecamatan Jaten dilakukan setiap seminggu sekali, untuk mengetahui potensi wajib pajak, realisasi pemasukan Pajak Bumi dan Bangunan atau target dan sisa target yang ada, serta hambatan –hambatan yang dijumpai dilapangan. Koordinasi tim tingkat Kecamatan, bersama Kepala BKK dilakukan setiap saat untuk mengetahui apakah hasil pemungutan kepada para wajib pajak telah disetorkan kepada Bank persepsi, karena berdasarkan pengalaman sudah banyak setoran yang dipungut oleh para pemungut pajak, namun tidak segera disetorkan, bahkan dipakai oleh para pemungut pajak sehingga terjadi tunggakan. Koordinasi dengan Muspika juga di perlukan, terutama apabila dijumpai para pemungut pajak dalam hal ini Kepala Dusun menggunakan uang titipan setoran PBB tersebut untuk kepentingan pribadi. Sebelum perkara ini diserahkan kepada tim tingkat Kabupaten Karanganyar, biasanya masalah tersebut diselesaikan lebih dulu di tingkat kecamatan. Koordinasi Tim Intensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan Kecamatan Jaten dengan para Kordinator pemungut pajak, dalam hal ini semua Kepala Desa se Wilayah Kecamatan Jaten beserta para pemungut pajak dalam hal ini Semua Kepala Dusun se Kecamatan Jatendilaksanakan satu bulan sekali. Kegiatan ini dilaksanakan setiap bulan sekali pada tanggal 17 setelah
83
pelaksanaan Upacara bendera bertempat di ruang rapat Kantor Kecamatan Jaten. Koordinasi instansi Kecamatan Jaten dengan Tim Tingkat Kabupaten Karanganyar dilakukan rutine setiap bulan sekali di Kantor Dinas Pendapatan Daerah, yang dipimpin langsung oleh Bapak Wakil Bupati Karanganyar. Dalam pertemuan ini Camat melaporkan jumlah baku Pajak Bumi dan Bangunan yang ada diwilayahnya, realisasi selama satu bulan, sisa target yang ada, serta langkah-langkah apa yang telah dilakukan untuk mencapai target yang telah ditetapkan, sekaligus untuk mengetahui kinerja Camat dalam hal intensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan. Koordinasi dengan instusi lain seperti KP PBB dilakukan sesuai kebutuhan. Tim Kecamatan selalu memberikan perkembangan data terutama mengenai perubahan hak milik tanah yang dilanjutkan dengan perubahan Wajib Pajak yang tertulis di SPPT. Untuk pengajuan perubahan ini biasa dilakukan sendiri oleh masyarakat atau di bantu oleh petugas administrasi desa setelah mendapatkan pengesahan dan rekomendasi dari Camat. Keluhan yang terjadi dan adalah pengurusan perubahan terbentur pada persyaratan birokrasi yang rumit seperti yang dikemukakan oleh Sekdes Jaten dalam wawancara tanggal 17 Oktober 006 sebagaio berikut : “Pengurusan Perubahan SPPT itu butuh persyaratan yang banyak dan bertele-tele padahal kami hanya ingin membantu agar tunggakan yang dulu menjadi terbayar. Untuk bisa meningkatkan penerimaan negara mestinya diberi kemudahan. Dengan banyaknya persyaratan kami kesulitan jika harus menghubungi orang-orang diluar kota padahal kan tidak ada pos biaya untuk itu”.
84
Pernyataan Sekdes Jaten tersebut dikemukakan berkaitan dengan perubahan data dalam SPPT mengingat wajib pajak tidak mau membayar pajak selama data yang ada dalam SPPT tidak benar, sedangkan yang bersangkutan tidak mau mengurus perubahannya. Beberapa wajib pajak yang seperti itu ada yang berdomisili di luar kota, selama ini SPPT ini menjadi beban tunggakan bagi Desa Jaten. Pihak KP PBB menanggapi hal ini, menyatakan bahwa tidak ada yang sulit sejauh persyaratan lengkap semua dapat terlayani dengan baik, dan menurut petugas di KP PBB hal ini sudah ada aturan baku dan prosedur tetapnya. Kesenjangan Koordinasi yang terjadi ketika petugas administrasi desa mencoba membantu kelancaran PBB dengan mengurus pembetulan data dengan institusi KP PBB yang tetap mempertahankan bahwa persyaratan harus lengkap untuk dapat dilayani. Keadaan ini sulit untuk mendapat titik temu karena masing masing pihak bersikap kaku pada kaca mata kepentingan masing-masing
yang
sama
memiliki
dipertanggungjawabkan.
85
argumen
yang
dapat
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari hasil pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan tentang implementasi Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar sebagai berikut : 1.
Kepatuhan Pelaksana dalam Menyalurkan SPPT PBB tidak dapat dilakukan tepat sesuai dengan alokasi waktu yang ditentukan karena pengiriman SPPT dari KP PBB sebagai Pihak yang mengeluarkan SPPT sudah terlambat.
2.
Kepatuhan dalam pengadministrasian PBB belum berjalan dengan baik, disebabkan karena belum padunya koordinasi antar instansi yang menangani Pertanahan dan KP PBB yang menangani penerbitan SPPT PBB.
3.
Telah ada upaya memberlakukan sistem penghargaan (rewards) bagi wajib pajak dan petugas pemunut yang patuh terhadap ketentuan PBB. Dan juga diberlakukan hukuman (punisment) bagi pelanggar ketentuan, tetapi jenis hukuman yang hanya berupa denda bagi para penunggak dan peringatan bagi aparat yang tidak tertib menyetor menyebabkan masih adanya tunggakan PBB di Kecamatan Jaten.
4.
Peraturan PBB kurang memberi sanksi yang jelas dan tegas terhadap para wajib pajak yang tidak membayar pajak, sehingga petugas pemungut
86
seperti tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mendorong agar wajib pajak mau membayar PBB nya. 5.
Komunikasi dalam Tim Intensifikasi PBB dilaksanakan melalui rapat koordinasi
dan
konsultasi,
Selanjutnya
untuk
mengoptimalkan
keberhasilan pemungutan PBB dijalin kerjasama dengan Satpol PP Kabupaten Karanganyar.
Secara lebih spesifik penelitian ini menemukan beberapa faktor yang dapat menghambat keberhasilan implementasi pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar sebagai berikut : 1. masih adanya keterlambatan dan kesalahan dalam SPPT yang dikeluarkan KP PBB mengakibatkan keterlambatan dan permasalahan petugas pemungut di lapangan. 2. Belum ada shock therapy berupa sanksi berat yang diterapkan terhadap wajib pajak yang tidak membayar PBB mengakibatkan tidak adanya rasa takut bagi wajib pajak yang menolak membayar PBB. 3. Jumlah petugas intensifikasi di Tingkat Kecamatan Jaten yang memiliki target PBB tertinggi di wilayah Kabupaten Karanganyar diperlakukan sama dengan kecamatan lain tanpa melihat besaran target yang menjadi tanggung jawabnya. 4. Kepatuhan aparat pelaksana dalam hal ini petugas pemungut PBB masih kurang hal ini ditandai dengan masih adanya petugas pemungut yang menggunakan dana PBB untuk kepentingan pribadi.
87
5. Di Kecamatan Jaten yang sebagian besar merupakan wilayah perkotaan sangat sering terjadi mutasi kepemilikan dan pemanfaatan tanah, tetapi tidak diikuti dengan mutasi data dalam SPPT sehingga SPPT yang disampaikan tidak valid lagi dan dijadikan alasan untuk menolak membayar PBB. 6. Komunikasi antara pelaksana di lapangan dengan pihak KP PBB sering tidak berjalan dengan baik karena besarnya cakupan layanan KP PBB Surakarta yang sangat luas.
Faktor pendukung yang mendorong keberhasilan Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten adalah sebagai berikut : 1. Komitmen pimpinan wilayah dalam hal ini Camat dalam mensukseskan Pemungutan PBB sangat tinggi sehingga bisa mendorong motivasi petugas di bawahnya untuk lebih giat dalam menjalankan tugasnya. 2. Sistem rewards berupa hadiah undian bagi wajib pajak yang membayar PBB sebelum bulan agustus cukup membantu peningkatan
pemasukan PBB.
Tetapi pemberian hadiah lunas awal bagi desa yang lunas PBB 100 % belum mampu dinikmati karena target PBB di Kecamatan Jaten sangat tinggi. 3. Sumber Daya Manusia yang dikerahkan untuk melaksanakan pemungutan PBB sudah cukup memadai dan secara umum tahu kondisi wilayah tugasnya masing-masing.
88
B.
Hasil
penelitian
Implikasi.
menunjukkan
bahwa
implementasi
kebijakan
pemungutan PBB yang dilaksanakan oleh pemerintah Kecamatan Jaten didasari pada kewajiban melaksanakan UU nomor 12 tahun 1986 Juncto. UU no 12 tahun 1994 serta sebagai upaya meningkatkan pendapatan daerah dari sektor pajak. Penyadaran pada wajib pajak dan para petugas pemungut pajak merupakan faktor penting demi keberhasilan pemungutan PBB. Disamping itu upaya mengatasi kendala kendala lain sepeti lemahnya komunikasi dengan wajib pajak dan koordinasi antar instansi, tidak tegasnya penegakan hukum, penerapan sistem insentif yang tidak optimal harus segera dilakukan. Jika hal ini tidak segera dilaksanakan akan membawa implikasi semakin meningkatnya tunggakan PBB dari tahun ke tahun yang tentu saja semakin menjadi beban bagi instansi dan petugas pemungut. Besarnya tunggakan tersebut dapat pula menimbulkan preseden buruk bagi wajib pajak, dimana mereka akan beranggapan bahwa tidak membayar PBB tidak ada resikonya, terbukti tunggakan PBB tahun-tahun sebelumnya juga tidak ada sanksi yang tegas. Hal ini akan membawa konsekuensi kurangnya efektifitas pemungutan PBB dalam rangka peningkatan penerimaan pendapatan daerah. Membangun kesadaran para wajib pajak adalah merupakan proses yang cukup panjang. Ketidaktegasan pejabat yang berwenang dalam menerapkan sangsi bagi para pelanggar, baik bagi para wajib pajak maupun petugas pemungut pajak, dapat dijadikan alasan untuk menunda membayar pajak.
89
C. Saran
Atas dasar temuan penelitian diatas, beberapa saran yang diajukan untuk meningkatkan keberhasilan Implementasi Kebijakan Pemungutan PBB adalah sebagai berikut : 1. Perlu ada shock therapy berupa sanksi yang tegas terhadap wajib pajak yang menunggak PBB terutama bagi yang menunggak lebih dari 1 tahun. Sanksi tegas juga perlu diterapkan untuk petugas pemungut yang menggunakan uang PBB dari wajib pajak untuk kepentingan pribadi. 2. Perlu adanya penyempurnaan sistem administrasi pertanahan yang mengatur kewajiban dan kewenangan Pejabat Pembuat Akte Tanah, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan KP PBB agar setiap mutasi kepemilikan dan pemanfaatan tanah diikuti dengan mutasi SPPT PBB. 3. Perlunya peningkatan koordinasi lintas sektoral antara Dipenda, Kantor KP PBB, Kecalamatan dan Desa. 4. Mekanisme pemberian upah pungut perlu ditata ulang agar mekanisme upah pungut benar-benar dapat dirasakan dan mampu memotivasi para petugas di lapangan untuk bekerja maksimal sehingga hasilnya juga maskimal.
90
Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar Tesis Untuk memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Derajad Magister
Program Studi Magister Administrasi Publik
Oleh:
Larmanto NIM. S. 2405017
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
91
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, James E, 1975, Public Policy making An Introduction, Houghton Miflin Company, Boston USA. Dye, Thomas R, 1978, Understanding Public Policy, New jearsey: prentice Hall Inc. Engelwood Cliffs, Dunn, N. William, Muhadjir Darwin (Penyunting), 2001, Analisis Kebijaksanaan Publik : Kerangka Analisis dan Dasar Prosedur Perumusan Masalah, Yogyakarta, Hanindita. Guritno Mangkoesoebroto, 1993, ”Ekonomi Publik”, BPFE UGM, Yogyakarta. Grindle, Merilee S, 1980, Politics and Policy Implementation in The Third World, New York, Princenton University Press. HB Sutopo, 1998, ”Penelitian Kualitatif” , UNS Press, Surakarta. Josep Riwu Kaho, 1997, Prospek Otonomi daerah di negara Republik Indonesia, (Identifikasi beberapa factor yang Mempengaruhinya), Raja Grafindo Perkasa, Jakarta. Meter, Donald S. Van, dan Horn, Carl E. Van, 1975, The Policy Implementation Process, A Conceptual Framework, Ohio, Sage Publication inc. Ohio State University. Mardiasmo, 1987, ”Perpajakan”, Andi Offset, Yogyakarta. Miles dan Huberman, 1992, Analisis Data Kualitatif, UI Press, Jakarta Mikkelsen, Britha, 2003, Metode Penelitian Partisipatoris dan upaya-upaya pemberdayaan, sebuah buku pegangan bagi para praktisi lapangan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. Muhajir Darwin, 1994, ”Kebijaksanaan Publik”, UNS Press, Surakarta. Lexy J Moleong, ,. Metode Penelitian Kualitatif, Rosdakarya, Bandung. Munawir, H.S, 2000, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung-Jakarta. Wahyu Nurharjadmo, 2004, Laporan Penelitian Berbagai Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kecamatan Klaten Utara dalam Meningkatkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). UNS Surakarta. Pal, Leslie A., 1987, “Public Policy Analysis An Introduction”, Departement of Political Sience, University of Calgary.
92
Pariata Westra, 1994, manajemen Pembangunan Daerah, Ghalia Indonesia, Jakarta. Parkin, M & Bade, R.,1986, Macro Economics and The Australian Economy, Allen & Unwim. Ripley, Randall B., & Franklin Grace A.,1986, “Policy Implementation and Bureaucracy”, The Dorcey Press, Chicago. Rochmat Soemitro, 1989, “Pajak Bumi dan Bangunan”, PT Eresco, Bandung. Syaukani, Afan Gaffar & Ryaas Rasyid, 2002, ”Otonomi Daerah”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Steers, Richard M, 1985, ”Efektivitas Organisasi”, Erlangga, Jakarta. Sugiyono, 2003, “Metode Penelitian Administrasi”.Edisi ke-10 (edisi revisi), Bandung : Alfabeta. Winarno Surakhmad, 1989, “Metode Penelitian Administrasi”, Alfabeta.
Bandung,
Samodra Wibawa, 1994, ” Evaluasi Kebijakan” , PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sumber Lain : Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1986 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan. Undang-Undang No 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
93