IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KONVERSI MINYAK TANAH KE LPG DI KELURAHAN TERBAN KECAMATAN GONDOKUSUMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) makin lama terus meningkat seiring dengan semakin banyaknya jumlah konsumen sehingga pengadaannyapun harus pula ditingkatkan. Namun produksi minyak di dalam negeri tidak dapat memenuhi kebutuhan minyak masyarakat, sebab cadangan energi minyak semakin menipis; di lain pihak, kebutuhan minyak dalam negeri semakin meningkat sehingga impor pun akan meningkat. Oleh karena itu, pemerintah harus mengimpor minyak yang dibayar dengan harga pasar di tingkat dunia yang selalu berfluktuasi. Kondisi pengadaan Bahan Bakar Minyak (BBM) nasional yang sangat memprihatinkan ini perlu disikapi secara bijaksana oleh semua pihak, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Dalam hal ini, pihak pemerintah menerbitkan beberapa kebijakan yang diperuntukkan khusus bagi masyarakat miskin yang dilakukan secara berkesinambungan dan harus disosialisasikan serta tidak menyusahkan rakyat. Di pihak masyarakat miskin memang perlu mendapatkan subsidi tersebut untuk membantu meringankan pengeluaran rumah tangganya. Dengan begitu, masyarakat miskin haruslah dapat bekerja sama 1
22
dengan pemerintah, dan melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut. Sebagai contoh, pihak pemerintah berupaya menciptakan beberapa kebijakan yang berhubungan dengan subsidi BBM, seperti menaikkan harga BBM, subsidi BBM diubah menjadi nonsubsidi, dan melakukan konversi energi. Besarnya subsidi BBM yang harus dipikul pemerintah ini, tertera pada tabel 1 sebagai berikut. Tabel 1. Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) Tahun
Jumlah Subsidi (Triliun Rp)
2002
31,162
2003
30,308
2004
69,025
2005
104,445
2006
85,136
2007
83,792
2008
139,107
2009
89,039
2010
88,891
2011
95,914
Sumber: Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia nintnttlsnnsnsnsnnsnsnsnss Tahun 2001-2011 (Bank Indonesia).
Memperhatikan besarnya subsidi yang harus disediakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan BBM, sudah saatnya masyarakat mengetahui kondisi sesungguhnya yang dihadapi oleh sektor minyak ini, yaitu Indonesia semenjak tahun 2001 sudah menjadi net oil importir atau lebih banyak mengimpor minyak 2
33
untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak dalam negeri. Hal tersebut terjadi karena produksi minyak di dalam negeri sudah tidak mencukupi kebutuhan masyarakat. Ini disebabkan antara lain sumur-sumur minyak yang ada sudah tua sehingga produksinya semakin menurun. Sedangkan upaya membuka sumursumur minyak yang baru memerlukan biaya yang besar dan waktu yang lama. Tabel di bawah ini menunjukkan produksi dan volume impor BBM yang dilakukan pemerintah. Tabel 2. Produksi dan Volume Impor BBM (kiloliter) Tahun
Produksi
Impor
Premium
Minyak Tanah
Gas
Minyak Mentah
BBM
2000
12.421.818
12.453.222
21.700.461
79.206.903
80.832.295
2001
13.044.709
12.210.083
23.094.327
118.896.316
88.836.227
2002
18.957.065
16.984.538
32.911.003
124.147.816
109.203.614
2003
14.402.710
12.510.696
23.824.676
128.868.207
105.211.452
2004
15.984.950
11.620.420
24.666.636
148.589.783
139.875.336
2005
17.840.327
11.385.584
27.056.408
117.723.237
164.781.166
2006
14.167.339
7.626.705
21.259.785
112.932.367
108.901.379
2007
18.178.666
10.236.954
25.427.781
116.410.364
129.024.342
Sumber: Angka-angka Sektor Riil Bank Indonesia, 2008.
Volume impor BBM seperti pada tabel 2 di atas menunjukkan pula bahwa BBM yang selama ini digunakan sesungguhnya sangatlah mahal karena harus dibayar dengan tingkat harga internasional (dunia) yang keadaannya selalu berfluktuasi, seperti tertera dalam tabel 3 berikut ini. 3
44
Tabel 3. Rata-rata Harga Minyak per Barel (US Dolar) Tahun
Harga per barel
2001
23,88
2002
23,40
2003
32
2004
42
2005
37
2006
66,1
2007
72,3
2008
99,9
2009
62
2010
80
2011
75,7
Sumber: Laporan Perekonomian Indonesia (Bank Indonesia, Indonesia, 2001-2011).
Kenaikan harga minyak di pasaran internasional (dunia) berdampak negatif terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena beban subsidi BBM juga meningkat. Makin tinggi kenaikan harga minyak dunia, semakin berat beban negara dalam memberikan subsidi yang wujudnya berupa selisih harga minyak dunia dengan harga BBM yang diperdagangkan di dalam negeri. Inilah alasannya mengapa subsidi harus dikurangi (Usmansyah, 2006: 7). Saat harga minyak berkisar US $95 per barel dan harga ekonomis minyak tanah sekitar Rp 5000,00 per liter, tetapi Pertamina menjual minyak tanah ke pangkalan minyak sebesar Rp 2000,00 per liter. Selisihnya itulah yang ditanggung pemerintah (Yuliawati, dkk., 2008: 97). Selanjutnya pematokan harga minyak 4
55
sebesar US $95 per barel dalam APBN 2008 membuat beban subsidi BBM meningkat, dari yang semula sebesar Rp 45,8 triliun menjadi sebanyak Rp 126,8 triliun (Revrisond Baswir, 2009: 116). Harga minyak dunia yang semakin tinggi dan berfluktuasi memberikan tekanan yang semakin berat terhadap APBN. Tekanan lain datang dari konsumsi bahan bakar minyak yang harus dipenuhi melalui impor serta dibayar dengan tingkat harga dunia yang selalu berfluktuasi tersebut dan status Indonesia sebagai net oil importir. Menghadapi permasalahan yang demikian pemerintah perlu mengambil langkah penghematan penggunaan bahan bakar minyak. Bobot minyak yang begitu besar dalam perekonomian dapat dilihat melalui subsidi BBM yang dianggarkan pada APBN. Hal ini memberikan pengaruh yang besar pula terhadap perekonomian nasional sehingga pemerintah berusaha mengambil langkah untuk menghadapi kenaikan harga minyak dunia tersebut. Kenaikan harga minyak mentah per barel di tingkat dunia yang terus melambung, bahkan pernah mencapai US $ 111 per barel pada Maret 2008 tentulah memerlukan banyak dana dan subsidi untuk impor BBM sehingga memberatkan APBN. Pembengkakan subsidi BBM pada APBN akibat tekanan harga minyak dunia ini menyebabkan pemerintah mengambil kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak. Kenaikan harga BBM pasti akan menimbulkan dampak inflasi dan inflasi dapat menurunkan daya beli masyarakat. Bagi sebagian besar rakyat Indonesia 5
66
yang masih menderita sejak krisis moneter 1997, kenaikan harga BBM ini sangatlah memberatkan. Karena, kenaikan tersebut akan mendorong kenaikan harga berbagai kebutuhan barang dan jasa yang diperlukan masyarakat. Hal ini juga menyebabkan beban hidup masyarakat bertambah berat. Bobot minyak yang begitu besar dalam perekonomian memberikan pengaruh yang besar pula bagi ekonomi nasional sehingga untuk menghadapi kenaikan harga minyak dunia, pemerintah berusaha mengambil beberapa alternatif untuk mengurangi pengaruh kenaikan harga minyak dunia tersebut. Misalnya, menaikkan kembali produksi minyak, menaikkan harga jual minyak, membatasi pemakaian bensin dan solar serta minyak tanah. Dalam hal menaikkan kembali produksi minyak dapat dilakukan dengan mencari ladang minyak baru, membatasi pemakaian bensin dan solar bagi kendaraan bermotor dengan cara menggunakan kartu pintar (smart card), dan membatasi penggunaan minyak tanah dengan meneruskan program yang sudah berjalan, yaitu melalui kartu kendali terbuka dengan sasaran warga miskin dan program konversi minyak tanah ke LPG yang sasarannya juga diperuntukkan bagi warga miskin. Indonesia sebagai negara produsen minyak, ketika harga minyak melambung tinggi, yakni sekitar US $120 per barel seharusnya akan memperoleh keuntungan besar. Akan tetapi, bukanlah keuntungan yang diperoleh karena produksi minyak mentah Indonesia terus mengalami penurunan, dan sebaliknya konsumen bahan bakar minyak makin menanjak (Lumbanraja, dkk., 2008: 157). Hal ini dipertegas kembali oleh Gunanto, dkk. (2008: 92) bahwa produksi (lifting) minyak Indonesia terus menurun, sebaliknya impor minyak terus melambung, 6
77
bahkan, Indonesia sudah termasuk kategori net oil importir. Akibatnya, Indonesia tidak sepenuhnya dapat mengambil manfaat dari tingginya harga minyak dunia, dan komoditi migas secara ekonomis tidak efisien lagi sebagai penghasil devisa negara. Semakin harga minyak dunia kian meningkat dan impor bahan bakar minyak juga semakin tinggi sehingga pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM dengan alasan untuk mengurangi beban keuangan pemerintah. Sejak Indonesia menjadi net oil importir pemerintah telah berulang-ulang menaikkan harga BBM, yakni tahun 2001, tahun 2002, tahun 2003; bahkan pemerintah dua kali menaikkan harga BBM di tahun 2005 (Maret dan Oktober), tahun 2006, dan tahun 2008 (Laporan Perekonomian Indonesia 2001-2008). Langkah pemerintah menaikkan harga minyak tersebut karena kenaikkan harga minyak dunia berimbas pada harga jual minyak di Indonesia yang menyebabkan subsidi pemerintah terhadap bahan bakar minyak yang meliputi solar, bensin, dan minyak tanah juga meningkat sehingga menguras APBN dan devisa negara. Menghadapi permasalahan demikian, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah penghematan energi dalam negeri dan konversi energi agar beban subsidi tidak semakin memberatkan keuangan negara. Kenaikan harga BBM tersebut tentulah menambah beban hidup masyarakat, karena masyarakat tidak hanya menghadapi kenaikan harga BBM tetapi juga mengalami kenaikan berantai di berbagai harga barang dan jasa dalam kebutuhannya sehari-hari. Kenaikan harga ini berpengaruh langsung pada 7
88
penurunan daya beli sebagian besar masyarakat, terutama rumah tangga miskin. Untuk mengurangi beban tersebut, pemerintah telah menerbitkan Surat Wakil Presiden No.20/WP/9/2006 tentang Program Konversi Minyak Tanah ke Gas yang dikeluarkan 1 September 2006. Secara umum minyak tanah awalnya hanya digunakan untuk memasak dan penerangan, tetapi pemakaiannya kemudian berkembang, digunakan juga sebagai pemanas dan bahan bakar. Dengan lain perkataan, minyak tanah yang semula hanya digunakan di sekitar rumah tangga kemudian dikembangkan ke sektor industri dan transportasi (Ibrahim Hasyim, 2005: 182). Pergeseran konsumsi minyak tanah ini menyebabkan pengadaannya semakin meningkat pula sehingga perlu diupayakan penghematan penggunaan minyak tanah oleh masyarakat, dan juga upaya menghindari kelangkaan persediaan bahan bakar minyak. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan: “Pangkal utama dari masalah kelangkaan BBM di Indonesia adalah berkaitan dengan harga minyak di dunia yang telah mencapai $58 per barel, sebab kedua dari kelangkaan tersebut adalah membengkaknya subsidi BBM yang cukup memberatkan APBN sehingga harus segera dicarikan solusinya” (Kompas, 23 Juni 2005). Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghemat penggunaan minyak tanah sebagai bahan bakar adalah memanfaatkan energi alternatif, di antaranya energi tenaga surya karena penyediaannya tidak terbatas dan pembakarannya tidak menghasilkan CO2, SO2, dan gas racun lainnya. Walaupun penyediaan energi surya ini berlimpah ruah, namun pemanfaatannya saat ini masih sangat minim. Hal ini disebabkan biaya yang harus disediakan untuk 8
99
pengadaannya masih sangat mahal (Kompas, 11 Oktober 2005). Selain itu, dapat menggunakan minyak yang berasal dari biji tanaman jarak (minyak jarak) yang juga merupakan energi alternatif yang potensial karena tanaman jarak dapat hidup dan tetap produktif meskipun ditanam di tanah kritis dan tandus. Namun, untuk memperoleh minyaknya diperlukan pengetahuan produksi (budidaya), produksi (penyulingan dan penyaringan), distribusi (pengemasan dan pengiriman), serta konsumsi (penggunaan secara individual) (Kompas, 28 September 2005). Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah melakukan penghematan penggunaan minyak tanah dengan cara membatasi pemakaian minyak tanah, yakni meneruskan program yang sudah berjalan melalui kartu kendali terbuka dengan sasaran warga miskin dan program konversi minyak tanah
ke LPG
(Gunanto dan Muhammad Mufi, 2008: 106). Hal ini dilakukan sebagai upaya penghematan energi dalam negeri dan juga sekaligus mengurangi beban subsidi sehingga tidak memberatkan keuangan negara serta penghematan belanja setiap Kepala Keluarga (KK). Hal senada juga dikemukakan Wakil Presiden, Yusuf Kalla, bahwa penerapan konversi minyak tanah ke LPG adalah untuk penghematan subsidi bahan bakar minyak sebesar Rp 22 triliun/tahun serta penghematan belanja setiap KK sekitar Rp 22.000,00 hingga Rp 25.000,00/bulan (Antara,13/8/2007). Salah satu langkah yang ditempuh pemerintah dalam rangka penghematan subsidi bahan bakar minyak serta penghematan belanja setiap KK adalah kebijakan konversi minyak tanah ke LPG yang ditujukan kepada masyarakat miskin, pengkonsumsi minyak tanah. Pemerintah pada Mei 2007 telah 9
1010
mengeluarkan kebijakan konversi minyak tanah ke LPG dengan alasan untuk penghematan subsidi pemerintah di sektor minyak yang diprediksikan akan membengkak sebagai akibat dari lonjakan harga minyak dunia yang terus melambung. Kebijakan tersebut juga ditujukan untuk meringankan beban rakyat dengan penggunaan LPG yang dapat lebih menghemat pengeluaran rumah tangga daripada menggunakan minyak tanah. Dengan pelaksanaan program konversi minyak tanah ke LPG, implikasi yang diharapkan lewat program ini adalah pemerintah dapat menghemat minyak tanah bersubsidi dan sekaligus dapat pula menghemat subsidi yang dianggarkan untuk BBM. Hal ini tampak dari subsidi BBM yang semakin menurun sejak tahun 2009 (lihat tabel 1), demikian pula halnya dengan konsumsi minyak tanah, seperti tampak pada tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Konsumsi Minyak Tanah (kiloliter) Tahun
Jumlah
2005
11.370.026
2006
10.023.211
2007
9.898.488
2008
7.901.595
2009
4.779.300
2010
2.807.844
Sumber: Laporan Bulanan Direktorat Jenderal Jenderal Minyak dan Gas Bumi, 2010. 10
1111
Konversi minyak tanah ke LPG merupakan program kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk mengalihkan konsumsi energi minyak tanah ke LPG, dan sekaligus juga dimaksudkan untuk mengurangi beban APBN dalam subsidi BBM. Subsidi merupakan salah satu bentuk pengeluaran pemerintah dan diartikan juga sebagai pajak negatif yang akan menambah pendapatan orang yang menerima
subsidi
atau
mengalami
peningkatan
pendapatan
riil
jika
mengkonsumsi atau membeli barang-barang yang disubsidi oleh pemerintah dengan harga jual yang rendah. Subsidi dibedakan dalam dua bentuk, yaitu subsidi dalam bentuk uang (cash tranfer) dan subsidi dalam bentuk barang atau subsidi innatura (in kind subsidy) (M. Suparmoko, 2003: 34). Di bidang subsidi BBM dalam tahun 2010, kebijakan yang akan ditempuh pemerintah ialah (Nota Keuangan, 2010: II-60): 1. Melakukan penyesuaian harga jual eceran BBM dalam negeri mendekati harga perekonomian dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap jualbeli masyarakat dan kemampuan keuangan negara. 2. Membatasi penggunaan BBM bersubsidi, hanya pada sektor rumah tangga, usaha kecil (termasuk petani omprongan tembakau), usaha perikanan, nelayan, transportasi, dan pelayanan umum. 3. Melanjutkan konversi penggunaan minyak tanah ke LPG. 4. Mendistribusikan BBM bersubsidi dengan sistem tertutup dan lebih tepat sasaran. 11
1212
5. Melakukan pengawasan lebih ketat terhadap jumlah volume BBM bersubsidi yang didistribusikan kepada masyarakat, diikuti dengan kegiatan penindakan bagi penyalahgunaan serta melakukan pengaturan/revitalisasi tataniaga BBM yang diikuti dengan aktivitas penindakan dan pencegahannya. 6. Memanfaatkan energi alternatif lainnya, seperti gas, batubara, panas bumi, air, dan bahan baku nabati. Kebijakan konversi minyak tanah ke LPG merupakan langkah yang diambil pemerintah untuk mengurangi beban subsidi sehingga tidak memberatkan keuangan negara, dan juga untuk menghemat penggunaan minyak tanah sebagai upaya penghematan penggunaan energi dalam negeri. Oleh karena itu, demi kelangsungan program konversi, proses perencanaan dan pelaksanaannya hendaklah disusun secara cermat agar tidak mengalami kegagalan ataupun menciptakan dampak buruk bagi masyarakat. Pelaksanaannyapun hendaklah dilakukan secara berkesinambungan mengingat permintaan dan ketergantungan nasional terhadap bahan bakar minyak masih tinggi, terlebih bagi pemerintah yang masih mengalami kesulitan menaikkan produksi minyak. Untuk menyalurkan paket konversi minyak tanah ke LPG, diperlukan data rumah tangga miskin yang berhak menerima paket tersebut. Dalam kaitan ini, rumah tangga miskin ditentukan melalui pendataan yang dilakukan oleh Pertamina melalui mitra kerja yang ditunjuknya, dan Fakultas Teknik Negeri Yogyakarta sebagai salah satu mitra kerja Pertamina yang melakukan pendataan rumah tangga miskin di Kelurahan Terban.
12
1313
Dalam perjalanannya, program konversi minyak tanah ke LPG menimbulkan banyak permasalahan yang muncul, seperti protes warga, kekisruhan yang berkaitan dengan penerimaan paket konversi, serta ekses negatif lainnya setelah penerimaan paket konversi tersebut, seperti tabung gas bocor, meledak, kebakaran, bahkan percekcokan antarwarga masyarakat. Menurut survei Badan Standardisasi Nasional (BSN) bekerja sama dengan Bareskrim Mabes Polri membuktikan: 66% tabung tidak layak pakai, sebanyak 50% kompor tidak layak pakai, dan bahkan 100% selangnya juga tidak layak pakai (Kompas, 26 Juni 2010). Berkaitan dengan hal tersebut, PT Pertamina (Persero) sejak tahun 2007 hingga Juli 2010 telah menyalurkan sebanyak 52 juta paket konversi, terdiri dari tabung LPG kemasan 3 kg, kompor gas, selang, dan regulator. Namun, sejauh ini Pertamina telah menarik sebanyak 1.995.000 tabung LPG kemasan 3 kg yang tidak layak pakai, di antaranya tabung telah penyok, bocor, dan rusak karena meledak (Kompas, 20 Agustus 2010). Hal ini terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia yang telah menerima paket konversi tersebut. Opini publik menuding bahwa kekisruhan itu berawal dari pendataan yang tidak akurat, masih ada rumah tangga miskin yang terlewat didata, dan bahkan terdapat rumah tangga yang tidak miskin namun mendapatkan paket konversi tersebut. Tujuan kebijakan konversi minyak tanah ke LPG, pertama adalah mengalihkan penggunaan energi minyak tanah ke energi gas LPG oleh keluarga 13
1414
miskin, kedua terdapat penghematan belanja bahan bakar minyak oleh keluarga miskin, ketiga mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap minyak tanah, dan keempat penghematan subsidi pemerintah sektor minyak tanah untuk rumah tangga. Sedangkan sasaran kebijakan konversi minyak tanah ke LPG adalah rumah tangga miskin yang masih menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar dan usaha mikro yang menggunakan minyak tanah untuk bahan bakar memasak dalam usahanya. Agar tujuan kebijakan tentang hal tersebut dapat dicapai dengan baik dan sasarannya tepat, dapat ditempuh langkah-langkah berikut: 1. Mempersiapkan, merumuskan, dan melakukan pengawasan pada manajemen distribusi agar subsidi paket konversi yang diberikan bermanfaat secara maksimal bagi masyarakat dan dapat diterima oleh sasaran kebijakan tersebut. 2. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan agar dapat diketahui persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat selama menggunakan subsidi paket konversi sehingga dapat segera mengatasi berbagai persoalan tersebut. 3. Melakukan dialog dengan masyarakat pengguna subsidi paket konversi untuk memperoleh ide dan manfaat bagi perbaikan implementasi kebijakan konversi minyak tanah ke LPG. Melalui dialog tersebut pemerintah dapat pula mengetahui apa saja yang diperlukan masyarakat berkaitan dengan kebijakan tersebut, dan juga dapat merespon usulan atau masukan dari masyarakat sehingga kebijakan konversi minyak tanah ke LPG mudah diimplementasikan. 14
1515
4. Melalui dialog secara intens dengan masyarakat dapat pula diketahui aspek efektivitas dan aspek efisiensi untuk menilai manfaat dari implementasi kebijakan konversi minyak tanah ke LPG. Melalui aspek efektivitas kebijakan konversi
minyak
ketergantungan
tanah
masyarakat
ke
LPG
terhadap
diharapkan minyak
mampu
tanah
mengurangi
sehingga
dapat
meringankan beban pemerintah dalam penyediaan minyak tanah. Sedangkan dari segi aspek efisiensi, kebijakan konversi minyak tanah ke LPG diharapkan dapat menghemat anggaran subsidi BBM pada APBN. Dengan demikian, anggaran yang digunakan untuk implementasi kebijakan tersebut dapat memberikan manfaat, baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat. 5. Selanjutnya, melalui dialog secara intens dengan masyarakat dapat mengurangi risiko aspek politik berupa aksi protes masyarakat di berbagai daerah karena kualitas bantuan subsidi yang diterima, yaitu kompor gas tidak baik (rendah) sehingga sering terjadi ledakan atau kebocoran. Selain itu, pemerintah terkesan lamban, bahkan tampak melakukan pembiaran terhadap korban ledakan subsidi paket konversi. Apabila kebijakan konversi minyak tanah ke LPG tetap dilaksanakan mengingat efektivitas dan efisiensinya, pemerintah perlu segera merespon masukan-masukan masyarakat dan menarik serta mengganti kompor gas yang telah dibagikan kepada masyarakat. Dengan begitu, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah tetap terjaga, terlebih dengan menggunakan kompor gas ternyata dapat menghemat belanja rumah tangga untuk bahan bakar minyak.
15
1616
Konversi minyak tanah ke LPG ini merupakan program kebijakan pemerintah untuk mengalihkan penggunaan bahan bakar minyak tanah ke gas yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin dengan cara diberikan secara cumacuma, terdiri dari kompor gas, selang, regulator, dan tabung berisi gas seberat 3 (tiga) kilogram. Target sasaran program konversi minyak tanah ke LPG ini adalah rumah tangga miskin dan usaha mikro yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak. Persyaratan rumah tangga miskin yang berhak menerima paket konversi adalah: 1) ibu rumah tangga, 2) pengguna minyak tanah murni, 3) pengeluaran rumah tangga kurang dari Rp 1.500.000,00 per bulan, dan 4) penduduk legal setempat yang dibuktikan dengan melampirkan salah satu kartu identitas, berupa: Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), atau surat keterangan dari kelurahan setempat. Sedangkan usaha mikro yang berhak menerima paket konversi, meliputi: 1) usaha mikro sebagai pengguna minyak tanah untuk bahan bakar memasak dalam usahanya, 2) penduduk legal setempat yang dibuktikan dengan melampirkan KTP atau KK atau surat keterangan dari kelurahan setempat, dan 3) melampirkan surat keterangan usaha dari kelurahan setempat (Anonim, 1 Januari 2009). Program konversi minyak tanah ke LPG ini dipilih pemerintah sebagai solusi agar masyarakat dapat berhemat dalam pemakaian bahan bakar untuk sehari-hari. Hal ini disebabkan pula oleh melambungnya harga minyak di pasar internasional, dan harga komoditi tersebut diperkirakan akan terus naik di masa mendatang serta akan diiringi dengan berkurangnya suplai bahan bakar minyak tanah. Padahal, di Indonesia bahan bakar minyak tanah masih disubsidi sehingga 16
1717
semakin mahalnya harga minyak di pasar dunia, subsidi yang dikucurkan pemerintah pun akan semakin besar. Oleh sebab itu, di Indonesia harga minyak tanah tidak dapat dinaikkan mengikuti harga pasar dunia, selain itu juga kebutuhan minyak tanah masih diimpor dari negara lain. Melihat keadaan tersebut, LPG kemudian dipilih sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah karena produksi dan potensi kandungannya masih cukup besar di Indonesia, seperti tampak pada tabel berikut. Tabel 5. Produksi LPG Tahun
Produksi (M Ton)
2000
2.047.347,10
2001
2.417.545,96
2002
1.732.646,40
2003
3.660.756,24
2004
1.897.054,96
2005
2.743.174,58
2006
1.416.172,64
2007
1.408.429,91
2008
1.429.171,70
Sumber: Laporan Bulanan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (diolah), Angka-angka Sektor Riil (Bank Indonesia, 2009).
Pelaksanaan program konversi minyak tanah ke LPG secara umum dapat berjalan relatif lancar, namun secara teknis tidak luput dari berbagai ragam masalah yang muncul, seperti protes warga, ketidaktepatan sasaran penerima manfaat, serta ekses negatif lainnya setelah menerima dan menggunakan paket 17
1818
konversi tersebut. Hal ini terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia yang menjadi sasaran penerapan program kebijakan konversi minyak tanah ke LPG. Masyarakat berpendapat bahwa permasalahan yang muncul berawal dari pendataan yang tidak akurat, singkatnya waktu pendataan, dan masih adanya rumah tangga miskin yang terlewati saat dilakukan pendataan. Hal senada juga diungkapkan Kepala Dukuh Cebongan Kidul, Tlogoadi, Melati, Sleman, Yogyakarta, bahwa di wilayahnya hanya diberikan waktu satu hari untuk mendata warga yang akan diajukan sebagai calon penerima paket konversi sehingga keterbatasan itu membuat para ketua RT tidak dapat melakukan pendataan secara optimal, dan akibatnya terdapat warga yang belum terdata (Kompas, 17 November 2007). Permasalahan utama program konversi minyak tanah ke LPG ini adalah kekurangtepatan sasaran penerima manfaat karena kesalahan interpretasi antara aparat dan masyarakat mengenai program koversi tersebut. Fakta di lapangan menunjukkan terjadi penyimpangan di saat pembagian paket konversi karena semua warga menerima tabung gas dan kompor gas, walaupun terdapat warga yang menyatakan telah menggunakan gas. Bahkan, ada warga yang tidak termasuk dalam kategori miskin tetapi mempunyai kedekatan hubungan dengan aparat, warga tersebut dapat memperoleh paket konversi. Hal ini terjadi karena interpretasi yang berkembang di masyarakat bahwa program konversi adalah bantuan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat karena naiknya harga BBM, terutama minyak tanah sehingga setiap warga masyarakat berhak memperolehnya. 18
1919
Permasalahan lain yang dapat dihimpun dari berbagai informasi, antara lain mekanisme penyaluran program, sosialisasi program, dan kesalahan dalam menentukan sasaran disebabkan interpretasi yang berbeda dari para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan konversi minyak tanah ke LPG. Dalam hubungan tersebut, Wakil Presiden Yusuf Kalla mempunyai interpretasi bahwa implementasi kebijakan konversi minyak tanah ke LPG merupakan upaya untuk mengantisipasi menipisnya cadangan minyak bumi Indonesia, mengantisipasi melambungnya harga minyak dunia secara terus-menerus, penghematan subsidi (BBM), serta penghematan belanja setiap KK (Kompas, 10 September 2007). Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga yang menentukan rancangan kebijakan mempunyai interpretasi bahwa implementasi kebijakan konversi minyak tanah ke LPG sebagai upaya penghematan subsidi BBM agar beban subsidi tidak semakin memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (Tempo, 11 Maret 2008). Sedangkan Laskar Anti Korupsi Indonesia (LAKI) menginterpretasikan bahwa implementasi kebijakan konversi minyak tanah ke LPG bukanlah menyelesaikan persoalan bangsa, melainkan akan menambah persoalan baru karena masih banyak masyarakat yang bergantung pada minyak tanah sebagai penerangan dan kebutuhan lainnya. Lembaga Konsumen Indonesia (LKI) Yogyakarta menginterpretasikan implementasi kebijakan konversi minyak tanah ke LPG ini sebagai pembawa perubahan kultur pada masyarakat miskin terkait pemakaian energi yang berbeda serta penggunaan bahan bakar yang mau tidak mau terpatok pada harga dan volume tertentu, dan ini bukan lagi berdasarkan atas kebutuhan dan daya beli (Koran Tempo, 7 Juli 2008). 19
2020
Selanjutnya, Mohammad Maksum, staf pengajar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, mempunyai interpretasi bahwa harga minyak tanah akan naik tajam saat konversi terjadi dan secara otomatis harga LPG pun akan ikut naik (Kedaulatan Rakyat, 1 November 2007). Berdasarkan pada permasalahan yang timbul dalam implementasi kebijakan konversi minyak tanah ke LPG, penulis merasa perlu mengadakan penelitian mengenai interpretasi pelaku kebijakan dalam implementasi program konversi minyak tanah ke LPG. Dari hasil studi pustaka yang telah dilakukan penulis, terdapat dua tulisan ilmiah berupa hasil penelitian tentang implementasi kebijakan konversi minyak tanah ke LPG. Pertama, penelitian Tia Sintawati berjudul Implementasi Program Konversi Minyak Tanah ke LPG di Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron Yogyakarta pada 2008 menemukan bahwa implementasi program konversi minyak tanah ke LPG tidak berlangsung dengan baik karena masyarakat tidak memperoleh informasi secara lengkap dan jelas tentang ketentuan-ketentuan program konversi minyak tanah ke LPG. Hasil penelitian yang kedua, dilakukan oleh Elfriani Sembiring pada 2009 dengan judul Efektivitas Sosialisasi Program Konversi Minyak Tanah ke LPG di Kelurahan Delitua Timur dan Delitua Kota, Kecamatan Delitua, Sumatera Utara yang hanya memfokuskan pada permasalahan sosialisasi program. Kedua hasil penelitian tersebut ternyata belum ada yang meneliti mengenai interpretasi pelaku kebijakan terhadap implementasi kebijakan konversi minyak tanah ke LPG.
20
2121
B. Perumusan Masalah Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah, pastilah menarik untuk dikaji mengenai interpretasi pelaku kebijakan berkaitan dengan implementasi kebijakan konversi minyak tanah ke LPG. Karena, secara normatif berbagai hal yang tertuang dalam kebijakan belum pasti sepenuhnya dapat diwujudkan dalam tahapan implementasi. Dengan demikian, penulis berkeinginan untuk mengetahui interpretasi atau penafsiran pelaku kebijakan dalam implementasi kebijakan konversi minyak tanah ke gas LPG di Kelurahan Terban yang dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah interpretasi pelaku kebijakan dalam implementasi kebijakan konversi minyak tanah ke LPG? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang membentuk interpretasi pelaku kebijakan dalam implementasi kebijakan konversi minyak tanah ke LPG? 3.
Bagaimanakah implikasi dari perbedaan interpretasi pelaku kebijakan dalam implementasi kebijakan konversi minyak tanah ke LPG?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang interpretasi pelaku kebijakan di tingkat kelurahan dalam implementasi kebijakan konversi minyak tanah ke LPG. Secara spesifik penelitian ini bertujuan:
21
2222
1. Mengetahui dinamika interpretasi dan kepentingan para pelaku kebijakan dalam memahami kebijakan konversi minyak tanah ke LPG. 2. Mengetahui implikasi melalui perbedaan interpretasi dan kepentingan para pelaku kebijakan dalam implementasi kebijakan konversi minyak tanah ke LPG. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi semua pihak karena berisi pengetahuan tentang konversi minyak tanah ke LPG dalam implementasi kebijakan. Selain itu, dapat juga menjadi pembelajaran bagi semua pihak bahwa persiapan yang mendesak dan kebijakan top-down dapat menyebabkan kesulitan dalam implementasinya. Secara praktis,
penelitian ini
diharapkan
dapat menjadi bahan
pembelajaran bagi para pelaku kebijakan yang terlibat langsung dalam implementasi sebuah kebijakan, dan dapat pula menjadi pengalaman berharga bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kebijakan konversi minyak tanah ke LPG. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang studi kebijakan publik dalam perumusan kebijakan yang ditujukan kepada warga masyarakat miskin. Selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk penyempurnaan dalam merumuskan desain suatu kebijakan publik dan proses implementasinya pada perencanaan program sejenis di masa mendatang.
22
2323
E. Sistematika Penelitian Untuk memudahkan pemahaman pembaca terhadap keseluruhan penelitian ini, penulisan penelitian dalam tesis ini akan disampaikan dalam 6 (enam) bab dengan sistematika sebagai berikut. Bab I. Pendahuluan Bab I dalam penelitian ini berupa pendahuluan, berisi uraian tentang latar belakang masalah sebagai pernyataan kondisi yang menyebabkan dimunculkannya perumusan masalah penelitian sehingga dapat dijelaskan pula mengenai tujuan dan manfaat penelitian dan sistematika penulisan untuk menjelaskan alur penulisan penelitian. Bab II. Landasan Teori Pada bab II ini ditampilkan beberapa teori yang relevan dan diperlukan sebagai kerangka berpikir dan juga sebagai arah analisis untuk menjelaskan mengenai konsep kebijakan publik, implementasi kebijakan publik, interpretasi, persepsi, kepentingan, harapan, dan komunikasi. Bab III. Metode Penelitian Dalam bab ini dijelaskan mengenai metode penelitian untuk mengkaji masalah secara analisis; meliputi uraian tentang jenis penelitian, lokasi penelitian, unit analisis, serta metode pengumpulan data dan analisis data.
23
2424
Bab IV. Deskripsi Obyek Penelitian Bab IV dalam penelitian ini berisi uraian selayang pandang tentang gambaran kondisi wilayah penelitian dan demografinya serta deskripsi implementasi konversi minyak tanah ke LPG di wilayah penelitian. Kesemuanya itu merupakan pengetahuan untuk membantu analisis yang akan dilakukan hingga akhirnya dapat dihasilkan kesimpulan penelitian. Bab V. Analisis
Interpretasi
Pelaku
Kebijakan dalam Implementasi
Kebijakan Konversi Minyak Tanah ke LPG Berdasarkan atas data dan informasi hasil penelitian, pada bab ini akan dianalisis
tentang
pertanyaan
penelitian.
Analisis
difokuskan
untuk
mengungkapkan interpretasi atau penafsiran para pelaku kebijakan dalam mengimplementasi kebijakan konversi minyak tanah ke LPG yang dibentuk oleh varian-varian persepsi, kepentingan, harapan, dan komunikasi. Selain itu, juga diungkapkan tentang implikasi mulai dari munculnya perbedaan interpretasi pelaku kebijakan dalam implementasi kebijakan konversi minyak tanah ke LPG hingga implikasi adanya perbedaan interpretasi tersebut, yakni kecemburuan dan kekecewaan warga masyarakat, keinginan aparat kelurahan untuk dilibatkan sejak pendataan warga miskin penerima paket konversi dalam implementasi kebijakan konversi minyak tanah ke LPG, serta terjadinya implementation gap (kesenjangan implementasi). Fokus analisis selanjutnya mengungkapkan motivasi yang timbul akibat tindakan-tindakan para pelaku kebijakan dalam memahami kebijakan konversi 24
2525
minyak tanah ke LPG, meliputi motivasi masyarakat sebagai target group (memperoleh bantuan secara gratis, mendapat uang tunai, perlindungan diri, terpenuhi kebutuhan); dan motivasi aparat (ingin membantu sesama, balasbudi, menambah beban kerja ); serta faktor-faktor pembentuk interpretasi kebijakan dalan implementasi kebijakan konversi minyak tanah ke LPG. Dengan demikian, Bab V ini diharapkan mampu menjawab pertanyaan penelitian secara jelas. Bab VI. Kesimpulan dan Saran Pada bab terakhir ini, Bab VI (enam), akan ditarik kesimpulan umum dari fenomena perbedaan interpretasi dalam implementasi kebijakan konversi minyak tanah ke LPG yang telah diungkapkan dalam bab sebelumnya. Berdasarkan atas kesimpulan, pada bagian berikutnya diajukan saran-saran yang diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perbaikan implementasi kebijakan di masa yang akan datang.
25