IMPLEMENTASI KEBIJAKAN GARAM BERYODIUM DI KABUPATEN SIDOARJO DALAM KONTEKS HEALTHY PUBLIC POLICY M Baidlowi Mahbub, Oedojo Soerdirham, Sinung D. Kristanto
Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Email :
[email protected] Abstract : Iodized salt is one of fortification strategy to prevent Iodine Deficiency Disorder (IDD) or Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY). In Sidoarjo, iodized salt policy was established since 2005 through Regional Regulation Number 3 Year 2005.The research aimed to study influencing factors toward implementation of iodized salt policy in Sidoarjo refers to Merille S. Grindle framework, and to recommend of improving the implementation of iodized salt policy. Qualitative descriptive approach have been applied on the research. Data collectted by in depth interview, observation and documentation. Informants were selected by purposive sampling who come from producer of iodized salt, merchant and members of IDD TeamatauGAKY Team. The result shows that onnormative aspect of Regional Regulation Number 3 Year 2005 has covered benefit multiple partner, social benefit, and changes to be achieved. There is no intersectoral colaboration include that supposedly to be assigned a Development Planning Board (Bappeda) as coordinator, stakeholder engagement, structure and management of organization , systemic process in intersectoral, permanent financial framework; permanent and continuous allocation of resources. Results on context of implementation aspect are indications outside intervention which interfere policy implementation, poor implementation strategies in the areas : law enforcement, salt trade system, monitoring and evaluation, producer empowerement , socialization to producer and consumer, facilities for Small Medium Entrepeneurs, intersectoral colaboration, quality assurance of potassium iodate, community involvement; lack of government concern on preventive aspects; low of producer and merchant’s complience toward policy. Keywords : healthy public policy, iodized salt, policy implementation Abstrak :Garam beryodium merupakan salah satu strategi fortifikasi untuk mencegah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY). Di Sidoarjo, kebijakan garam beryodium telah ada sejak tahun 2005 melalui Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2005. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan garam beryodium di Sidoarjo sesuai dengan kerangka Merille S. Grindle, serta memberikan rekomendasi untuk memperbaiki implementasi kebijakan garam beryodium. Penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi. Informan yang dipilih secara purposive sampling yang berasal dari empat produsen garam beryodium di Sidoarjo, tiga pedagang di pasar, dan lima anggota Tim GAKY Hasil penelitian ini pada aspek substansi kebijakan garam beryodium dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2005 telah memuat elemen keuntungan untuk semua, elemen manfaat sosial, elemen perubahan yang ingin dicapai, namun belum memuat elemen kerjasama intersektoral yang meliputi penunjukan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) sebagai koordinator, pelibatan stakeholder, struktur organisasi yang permanen dan sistem manajemen horizontal, proses sistemik dalam intersektoral, kerangka keuangan yang baku dan permanen; dan elemen alokasi sumber daya. Pada aspek konteks implementasi Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2005 ini, ditemukan indikasi intervensi dari luar dalam pelaksanaan kebijakan, lemahnya strategi implementasi pada bidang penegakan hukum, tata niaga garam, monitoring evaluasi, pembinaan, sosialisasi kepada produsen dan konsumen, fasilitas bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), kerjasama intersektoral, jaminan kualitas dan ketersediaan kalium
101
102 Jurnal Promkes, Vol. 2 No. 1, Juli 2014 : 101-115
yodat, pelibatan masyarakat. Elemen keberpihakan pemerintah pada aspek preventif masih kurang, serta rendahnya tingkat kepatuhan sasaran terhadap kebijakan ini. Kata Kunci : healthy public policy, garam beryodium, implementasi kebijakan
PENDAHULUAN Sampai saat ini GAKY merupakan masalah yang belum teratasi secara tuntas. Salah satu indikator masih adanya GAKY adalah cakupan konsumsi garam beryodium dibawah 90% (Micronurient Intiative, 2011). Di Jawa Timur, cakupan rumah tangga yang mengkonsumsi garam beryodium di Jawa Timur masih rendah. Berdasarkan hasil Riskesdas 2007 cakupan rumah tangga yang menggunakan garam beryodium di Jawa Timur hanya 45%, sedangkan pada tingkat nasional sebesar 62,8 %, padahal target untuk USI (Universal Salt Iodization) sebesar 90%.(Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Kesehatan , 2008). Hal ini berbeda dengan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2011)presentasi desa yang tergolong baik untuk konsumsi garam beryodium sebesar 57,34 %. Dari data diatas menggambarkan masih banyak rumah tangga yang belum mengkonsumsi garam beryodium, dimana hal tersebut akan berpengaruh terhadap status kesehatan keluarga, terutama anakanak yang sedang dalam fase tumbuh kembang. Jika dilihat dari data monitoring produksi garam beryodium, maka penyebab banyaknya produksi garam beryodium di bawah standart merupakan penyebab utama. Berdasarkan pada monitoring di pasar yang ada di Sidoarjo pada tahun 2012, dari 38 jenis sampel yang diperiksa dengan Iodinates, 26 sampel berwarna ungu, 11sampel berwarna biru, dan 8 sampel berwarna putih. Ini mengindikasikan masih banyaknya garam beryodium yang belum memenuhi standar yang beredar di pasaran. Berdasar hasil monitoring eksternal bulan Januari 2013 oleh Micronutrient Initiative (Micronutrient Initiative , 2012) , bahwa prosentasi garam yodium
hasil produksi industri kecil dan menengah di 4 kabupaten (Blitar, Sidoarjo, Pasuruan dan Kediri) yang memenuhi syarat hanya 56% (≥ 30 ppm) sedang 44% sisanya adalah garam dibawah standar (< 30 ppm). Di Sidoarjo, sejak tahun 2005 telah ada Perda Kabupaten Sidoarjo Nomor 3 Tahun 2005 tentang Larangan Pengadaan dan Peredaran Garam Konsumsi Tidak Beryodium dan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan, yang sampai saat ini implementasinya belum sepenuhnya dilaksanakan. Dari fenomena diatas, maka perlu dilakukan kajian mengenaiimplementasi Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2005 tentang Larangan Peredaran dan Perdagangan Garam Konsumsi Non Yodium dan Penggunaan Bahan Tambahan Makanan di Sidoarjo dari perspektif healthy public policy. Hal ini karena healthy public policy mengacu pada paradigma sehat yang memfokuskan pada upaya promotif preventif daripada kuratif rehabilitatif. Dan jika kita lihat substansi dari Perda Nomor 3 Tahun 2005 ini merupakan kebijakan yang bersifat preventif untuk mencegah terjadinya gangguan akibat kekurangan yodium. Pendekatan health in all policies atau healthy public policy didasarkan pada pengakuan bahwa kesehatan penduduk tidak hanya produk kegiatan sektor kesehatan saja, tetapi untuk sebagian besar ditentukan oleh kondisi hidup dan berbagai faktor social, ekonomi dipengaruhi juga oleh kebijakan dan aktifitas di luar sektor kesehatan (determinant of health). Untuk mencapai healthy public policy, maka beberapa sektor pemerintah yang terkait dengan pertanian, perdagangan, pendidikan, industri, dan komunikasi harus menempatkan aspek kesehatan sebagai faktor penting dalam setiap membuat kebijakan (World Health Organization, 2009).
M Baidlowi Mahbub, dkk., Implementasi Kebijakan Garam.....103
Ada enam elemen dasar penyusun healthy public policy (Donev et al., 2007) yakni tujuan sosial yang difokuskan pada kesehatan masyarakat, meningkatkan opini masyarakat tentang kesehatan, mendapatkan dukungan ekonomi dalam mengimplementasikan healthy public policy, dana untuk kesehatan, menciptakan sistem informasi yang mendukung kesehatan, keikutsertaan masyarakat sipil. . Konsep health in all policiesdikembangkan menjadi lima elemen utama (Stahl et al., 2006), yakni berorientasi pada keadilan, kesehatan dan keberlanjutan, mendukung kerjasama intersektoral, manfaat untuk semua pihak, melibatkan semua stakeholder, menciptakan perubahan struktur atau prosedur. Dari hal diatas, maka penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi implementasi Perda Nomor3 Tahun 2005 tentang Larangan Pengadaan dan Peredaran Garam Konsumsi Non Yodium dan Penggunaan Bahan Tambahan Makanan dalam konteks healthy public policy dan bagaimana faktor tersebut mempengaruhi implementasi kebijakan, serta menyusun rekomendasi mengenai implementasi kebijakan garam beryodium yang lebih berpihak kepada masyarakat di wilayah Sidoarjo. METODE Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif, dengan pengumpulan data melalui interview informan, observasi di lapangan serta dokumentasi. Adapun informan berasal dari Tim GAKYKabupaten Sidoarjo , produsen serta pedagang di pasar. Kerangka penelitian didasarkan pada konsep implementasi kebijakan publik oleh Merille S. Grindle, kajian implementasi kebijakan publik dibagi menjadi dua hal yaitu substansikebijakan dan konteks implementasi kebijakan. (Nugroho, 2012). Aspek substansikebijakan yang diteliti adalah keuntungan bersama, manfaat sosial, perubahan yang ingin dicapai, kerjasama intersektoral dan
alokasi sumber daya. Sedang aspek konteks implementasi kebijakan yang diteliti adalah intervensi luar, strategi implementasi, peran preventif pemerintah dan kepatuhan sasaran. Lokasi penelitian adalah di Kabupaten Sidoarjo , dengan durasi waktu mulai Mei-Agustus 2013. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Dalam penelitian kualitatif analisis data dilakukan sebelum ke lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai dari lapangan. (Sugiyono, 2012). Pengujian data dilakukan dengan triangulasi. HASIL Hasil penelitian dibagi menjadi dua kelompok yakni aspek substansi kebijakan dan konteks implementasi kebijakan. Aspek Substansi Kebijakan. Pada aspek keuntungan bersama, Perda Kabupaten Sidoarjo No 3 Tahun 2005 telah memuat aspek keuntungan bersama.Keuntungan bersama yang termuat dalam perda : bagi produsen dan pemerintah adalah menjadi acuan untuk memproduksi garam beryodium, terhindar dari sanksi hukum bagi produsen dan pedagang, keuntungan sosial yakni untuk kesehatan masyarakat agar terhindar dari GAKY, kalium yodat ini tidak menjadi beban bagi produsen, karena akan masuk dalam harga jual, dan perda menjadi aturan main yang adil dan kompetisi yang sehat jika dilaksanakan oleh pemerintah sesuai aturan. Pada aspek manfaat sosial, aspek yang termuat adalahaspek keadilan, perda ini sasarannya adalah seluruh masyarakat tidak terkecuali, serta adanya peningkatan pengetahuan masyarakat meningkat dan masyarakat dapat membuat pilihan pilihan untuk kesehatannya. Aspek perubahan yang ingin dicapai dalam perda ini adalah perbaikan kualitas kesehatan masyarakat melalui pencegahan gangguan akibat kekurangan yodium, yang pada akhirnya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Serta peningkatan kualitas produksi garam yodium yang sesuai SNI sehingga garam
104 Jurnal Promkes, Vol. 2 No. 1, Juli 2014 : 101-115
yang beredar di masyarakat aman untuk dikonsumsi. Pada aspek intersektoral, regulasi ini masih mengandung mandat untuk kesehatan masyarakat dan masih bisa dilaksanakan, namun perlu penyesuaian kekinian dengan berbagai produk hukum yang lebih atas maupun yang lain karena ada substansi dari produk hukum yang terbaru tidak dimiliki oleh Perda Nomor 3 Tahun 2005 ini, Jika dilihat dari tupoksi dinas, khususnya Dinas Kesehatan, maka tupoksi dinas telah sesuai dengan yang diberikan oleh Kementrian Kesehatan, namun ada ketidaksinkronan pada ruang lingkup program antara mandat dari daerah yakni Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) termasuk perda dengan mandat dari atas yakni Standar Pelayanan Minimal (SPM) maupun Permendagri Nomor 63 Tahun 2010. Disamping itu aspek integrasi untuk penanganan program untuk GAKY belum tercermin.Komponen penanganan GAKY yang banyak hanya diintervensi pada konsumsi garam beryodium saja, sedang intervensi untuk adequasi yodium dalam urin, balita, Wanita Usia Subur (WUS) belum dilakukan. Pada aspek kesesuaian tugas pokok dan fungsi, tupoksi dinas terkait (Dinas Kesehatan, dan Diskoperindag) telah sinkron dengan mandat yang diemban dari perda, yakni fungsi pembinaan dan pengawasan. Sedang keterlibatan sektor lain seperti Bappeda sebagai koordinator belum diatur, atau Satpol PP atau instansi yang lain belum diatur. Selain itu mekanisme intersektoral serta struktur organisasi dalam Tim GAKY juga belum ada, sehingga masih sering hilang koordinasi. Pada aspek sumber daya, ada ketidakjelasan dalam pengaturan anggaran untuk operasional Tim GAKY. Dalam peraturan bupati disebutkan alokasi anggaran GAKY diserahkan pada dinas terkait, namun belum diatur secara detail dan kontinyu tiap tahun. Sedangkan dinas lain yang langsung terkait dengan GAKY tidak mempunyai anggaran, sehingga implementasi masih berjalan parsial. Alokasi sumber daya manusia telah tercantum dalam Surat Keputusan, namun
mengenai detail jumlah serta kompetensinya belum ada kejelasannya. Aspek Konteks Implementasi Kebijakan. Dari penelitian, ada indikasi intervensi pihak dari luar pemerintah untuk mempengaruhi pelaksanaan perda ini, baik dari dalam kabupaten maupun luar Kabupaten Sidoarjo Sedang untuk strategi implementasi, ditemukan beberapa hal, yaitu penegakan hukum belum dilaksanakan sehingga terjadi kompetisi yang tidak adil dan belum membuat jera bagi yang melanggar. Belum dilaksanakan tata niaga bahan baku sampai barang jadi yang dijual di pasar, sehingga belum bisa melindungi UMKM dari produsen besar disamping juga menciptakan kompetisi yang adil. Disamping itu, pengawasan pemerintah masih kurang, baik itu di produsen, pasar maupun konsumen. Pembinaan telah dilakukan oleh pemerintah, namun ada UMKM yang merasa masih kurang, sehingga perlu reorientasi apakah pembinaan lagi atau metode lain. Hal lain terkait UMKM adalah belum adanya dukungan untuk pengembangan usaha terutama untuk mengembangkan mesin produksi serta belum adanya kemudahan dalam memperoleh ijin dari pemerintah masih dirasakan oleh UMKM. UMKM juga merasa masih sedikit bantuan yang telah diberikan oleh pemerintah. Oleh karena itu UMKM masih mengharapkan bantuan lagi. Produsen garam juga mengeluhkan banyaknya Kalium Iodate (KIO3) palsu yang beredar di pasaran. UMKM mengharapkan adanya peran pemerintah dalam pengadaan KIO3 sehingga ada jaminan kualitas. Pada aspek sosialisasi, sebagian UMKM merasa masih kurangnya sosialisasi dari pemerintah mengenai garam beryodium. Sedangkan untuk sosialisasi ke masyarakat mengenai konsumsi garam beryodium belum dilakukanSedikitnya jumlah SDM pemerintah untuk pendampingan UMKM menyebabkan pemantauan terhadap kemajuan UMKM menjadi terhambat. Koordinasi intersektoral sinkronisasi antar sektor yang tergabung dalam Tim
M Baidlowi Mahbub, dkk., Implementasi Kebijakan Garam.....105
GAKY masih lemah, menyebabkan implementasi kebijakan menjadi terhambat. Disamping itu dukungan dari level atas terhadap kabupaten masih lemah. Formasi Tim GAKY yang tiap tahun ganti mengakibatkan keberlanjutan program serta institusionalisasi jadi terhambat. Pelibatan masyarakat dalam implementasi kebijakan ini masih lemah. Pelibatan pihak lain seperti media massa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi,dan lain lain juga belum ada. Eksekusi pelaksanaan perda murni diemban oleh pemerintah. Penanggulangan GAKY secara menyeluruh dan intervensi yang direncanakan oleh pemerintah pusat kepada dinas kabupaten masih kurang. Pemerintah masih memprioritaskan alokasi anggaran untuk kuratif, sedang untuk preventif masih kecil. Disamping itu anggaran preventif belum bisa mengakomodir kepentingan program preventif secara maksimal. Pada aspek sumber daya manusia dimana satu sisi dianggap kurang dari jumlah, namun pendapat lain menganggap sudah cukup untuk mengimplementasikan perda. Kepatuhan sasaran yakni produsen dan pedagang masih rendah, meskipun dalam wawancara mengatakan patuh. Hal ini dapat dilihat dari prosentase capaian produksi garam beryodium yang sesuai SNI. PEMBAHASAN Aspek Substansi Kebijakan. Dari hasil penelitian, ada keuntungan yang terkandung dalam peraturan daerah ini baik bagi produsen, pedagang, pemerintah dan masyarakat. Perda sebagai produk dari kebijakan publik agar mudah dan bisa dilaksanakan maka kebijakan harus memuat aspek manfaat atau keuntungan bagi sasaran. (Dunn, 2003). Salah satu elemen penting dalam healthy public policy adalah keuntungan untuk banyak pihak, yang bertujuan untuk mempertahankan dukungan dari mitra serta memastikan efektifitas penggunaan sumber daya pemerintah yang terbatas (Pierre et al.,
2010). Salah satu kunci untuk mencapai Health in All Policies adalah adanya penciptaan kerjasama dan kemitraan yang mengakui kepentingan bersama dan share targets (Government of South Australia, 2010). Pada aspek manfaat sosial , peraturan daerah ini mempunyai manfaat untuk kesehatan masyarakat, yakni memenuhi kebutuhan elemen yodium dalam tubuh, sehingga terhindar dari gondok, kerusakan otak yang irreversible pada janin dan bayi, juga gangguan perkembangan psikomotorik pada anakanak(World Health Organization, 1994). Dalam healthy public policy, manfaat sosial merupakan prinsip yang digunakan dalam setiap pembuatan kebijakan dibidang kesehatan yang bertujuan untuk memperbaiki kesehatan masyarakat dan memperbaiki ketidakadilan(Rudolph et al., 2013). Tujuan dasar dari aksi promosi kesehatan yaitu mengurangi perbedaan status kesehatan saat ini dan memastikan kesempatan dan sumber daya yang sama untuk memungkinkan orang mencapai potensi kesehatan sepenuhnya(Donev et al., 2007). Undang-Undang Kesehatan Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 juga menyebutkan mengenai manfaat sosial ini, yakni pada pasal 2 yang berbunyipembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama (Sekretariat Negara, 2009). Aspek lain yang menjadi manfaat sosial adalah peningkatan pengetahuan masyarakat terutama mengenai kesehatan. Peningkatan pengetahuan masyarakat bertujuan agar masyarakat dapat membuat pilihan pilihan untuk kesehatan, serta dapat mendukung dan melaksanakannya (Donev et al., 2007). Di samping itu, adanya peningkatan pengetahuan masyarakat juga dapat menjadi fungsi kontrol terhadap peredaran garam yang tidak memenuhi standar, Aspek perubahan yang ingin dicapai, adalah pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dan peningkatan produksi garam beryodium yang sesuai SNI. Hal ini sesuai dengan
106 Jurnal Promkes, Vol. 2 No. 1, Juli 2014 : 101-115
Sistem Kesehatan Nasional, Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta Keputusan Presiden Nomor 69 Tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Beryodium. Dalam Sistem Kesehatan Nasional dan Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, disebutkan bahwa tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Melihat pentingnya pencegahan GAKY ini, maka presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 69 Tahun 1994 mengatur pengadaan garam beryodium (Sekretariat Negara, 1994). Hal ini sesuai dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, dijelaskan bahwa salah satu asas dalam pembentukan peraturan adalah asas kejelasan tujuan, yang mengandung arti bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harusmempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. (Sekretariat Negara , 2011). Pada aspek kerjasama intersektoral, pada Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2005 secara konten pada pasal 6 ayat 1 dinyatakan bahwa untuk tugas pembinaan terhadap produsen garam, makanan dan minuman dilaksanakan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (sekarang Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian, Perdagangan, Energi dan Sumber Daya Mineral atau Diskoperindag, Dinas Kesehatan dan Instansi terkait lainnya. Sedang pada ayat 2 dinyatakan bahwa pengawasan terhadap perdagangan, peredaran, pengemasan, dan pelabelan garam konsumsi serta makanan dan minuman dilaksanakan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Jika kita bandingkan dengan Tupoksi Dinas Kesehatan sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Sidoarjo (Sekretariat Daerah Kabupaten Sidoarjo, 2008),maka tugas pembinaan seperti yang dinyatakan pada peraturan daerah tersebut telah sesuai dengan pasal
4 butir c yang berbunyi Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang kesehatan. Dokumen lain adalah Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 267 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Pengorganisasian Dinas Kesehatan Daerah, yang didalamnya memberi mandat kepada Dinas Kesehatan daerah untuk menyelenggarakan urusan pembinaan, monitoring, pengawasan, dan evaluasi skala kabupaten kota, serta untuk dapat menyelenggarakan perbaikan gizi untuk keluarga dan masyarakat, serta penyelenggaraan promosi kesehatan (Departemen Kesehatan RI, 2008). Fungsi Dinas Kesehatan dalam Peraturan Daerah ini telah sesuai dengan tupoksi baik dari Kementrian Kesehatan maupun dari Keputusan Bupati. Untuk Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian, Perdagangan, dan Energi Sumber Daya Mineral atau Diskoperindag, yang bertugas untuk melakukan pembinaan dan pengawasan dalam peraturan daerah ini, telah sesuai denganTupoksi pada Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2008. Jika dilihat dari mandat yang diberikan oleh Perda Nomor 3 Tahun 2005 dan dibandingkan dengan Tupoksi Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian, Perdagangan, dan Energi Sumber Daya Mineral (Diskoperindag) , maka Perda Nomor 3 Tahun 2005 tersebut telah sesuai dengan tupoksi dinas. Namun, implementasi Peraturan Daerah ini akan melibatkan banyak instansi dan memerlukan koordinator yakni Badan Perencananaan Pembangunan Daerah sesuai dengan Permendagri 63 Tahun 2010. Hal ini berlawanan dengan struktur organisasi Tim Pembina dan Pengawasan Program Gizi Masyarakat (TP3GM) 2013 dimana Bappeda sebagai anggota.(Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, 2010). Konsep Health in all Policies mengajak bersama mitra dari berbagai sektor untuk mengakui bahwa ada keterkaitan antara sektor kesehatan dengan sektor yang lain serta keterkaitan kesehatan dengan kebijakan (Stahl et al., 2006). Pendekatan Health in All Policies lebih fokus pada kerjasama yang mendalam daripada pendekatan satu per satu. Prinsip Health in All Policies menciptakan perubahan
M Baidlowi Mahbub, dkk., Implementasi Kebijakan Garam.....107
yang permanen untuk hubungan antara lembaga satu dengan yang lain dan bagaimana keputusan pemerintah dibuat. Hal ini membutuhkan dukungan, baik berupa struktur yang menjamin keberlanjutan kerjasama intersektoral, maupun mekanisme yang dapat memastikan bahwa kesehatan dan keadilan menjadi hal yang utama dalam seluruh proses pembuatan keputusan oleh pemerintah. Untuk mengetahui apakah kerjasama intersektoral akan bisa mencapai tujuan yang diharapkan, ada governance tools (Pierre et al., 2010) yang bisa digunakan yakni Struktur dari intersektoral. Dari peraturandaerah serta Surat Keputusan Bupati mengenai Tim GAKY (2002), Tim TPG (2010), dan Tim TP3GM (2013), terlihat bahwa bentuk organisasi pelaksana adalah tim dengan masa kerja hanya 1 tahun berdasar pada anggaran tahunan. Hal ini mempunyai dampak pada keberlanjutan tim serta kinerja yang sedang dilakukan untuk mencapai tujuan, apalagi dengan tujuan untuk mengubah perilaku manusia. Hal ini kurang sesuai dengan salah satu elemen dalam Health in All Policies(Government of South Australia, 2010)yakni struktur yang permanen dan sistem manajemen yang horizontal untuk program promosi kesehatan untuk menjamin pengakuan bahwa promosi kesehatan merupakan bagian strategi yang penting.Struktur yang ada dapat dinilai berdasarkan keterlibatan elemen yang ada didalamnya, yang didasarkan pada kompetensidan fungsi (Robbins, 2005). Pada aspek lain, struktur organisasi yang ada tidak melibatkan pihak di luar pemerintah, yaitu lembaga sosial, sektor non pemerintah, oleh penguasa lokal, industri maupun media, masyarakat sipil atau akademisi. Padahal secara prinsip healthy public policy (Rudolph et al., 2013) salah satu elemen adalah kerjasama intersektoral untuk mencapai tujuan dalam bidang kesehatan. Pelibatan stakeholder menjadi penting untuk memastikan bahwa pekerjaan yang dilakukan merespon kebutuhan masyarakat serta untuk mengumpulkan informasi yang berharga
dalam membuat perubahan yang penting dan mempunyai dampak (Pierre et al., 2010). Proses Yang dimaksud dengan proses adalah mekanisme yang ada dalam kerjasama intersektoral seperti perencanaan bersama, implementasi, monitoring dan evaluasi. Pada aspek ini, peraturan daerah dan peraturanbupati belum mengatur mengenai proses. Pada Surat Keputusan Bupati Nomor 188 Tahun 2010 diatur mengenai proses secara global, namun pada Surat Keputusan TP3GM Tahun 2013 tidak ada pengaturan proses. Seharusnya proses ini secara sistemik mengambil peran dalam interaksi antar sektor sehingga ada mekanisme baku dalam hubungan intersektoral tersebut (Government of South Australia, 2010). Proses pengambilan keputusan di dalam organisasi juga belum ada aturan, apakah semua diserahkan kepada pimpinan (sentralistik) atau desentralistik. Seharusnya jika semua mempunyai kedudukan yang sama di dalam organisasi, maka sistem desentralistik bisa diaplikasikan dalam organisasi ini. Kerangka Keuangan. Berdasar hasil penelitian, sampai saat ini, belum ada kerangka keuangan untuk pelaksanaan program garam beryodium yang baku, konsisten dan permanen antara satu dengan yang lain. Dalam RPJMD 2010-2015 Kabupaten Sidoarjo bahwa memang tidak ada alokasi anggaran selama 5 tahun untuk pembinaan indutrsi garam beryodium oleh Diskoperindag. Sementara untuk Dinas Kesehatan menyatu dengan kegiatan pembuatan media promosi kesehatan dan program perbaikan gizi masyarakat, yang didalamnya ada 7 jenis program.(Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sidoarjo, 2011). Dalam Permendagri Nomor 63 Tahun 2010 dimana jelas disebutkan bahwa pendanaan penanggulangan GAKY dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi, anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupatenataukota, anggaran pendapatan dan belanja desa dan sumber pendanaan
108 Jurnal Promkes, Vol. 2 No. 1, Juli 2014 : 101-115
lain yang sah dan tidak mengikat. Hal ini karena penanggulangan GAKY menurut mandat harus dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana KerjaPemerintah Daerah (RKPD). Jika kita mengacu pada salah satu elemen dari healthy public policy, yakni pembiayaan untuk kesehatan, dimana penekanan konsep ini pada investasi untuk kesehatan, maka sumber daya yang ada ditujukan untuk memproduksi kesehatan (Donev et al., 2007). Investasi kesehatan tidak hanya ditujukan untuk mengalokasikan sumber daya penyedian saja, tetapi juga untuk sektor yang lain seperti pendidikan, perumahan, pemberdayaan perempuan, tumbuh kembang anak. Juga perlu reorientasi distribusi sumber daya dalam sektor kesehatan sendiri untuk promosi kesehatan dan pencegahan penyakit. Jadi kerangka keuangan yang paling baik adalah termuat dalam RPJMD dengan distribusi anggaran ke semua sektor terkait. Mandat. Mandat dari kebijakan ini adalah Keppres Nomor 69 Tahun 1994, Permendagri Nomor 63 Tahun 2010, Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2005, Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2011. Mandat dari tupoksi masing masing dinas berdasarkan pada Peraturan Daerah Nomor.21 Tahun 2008. Aspek yang lain adalah alokasi sumber daya. Syarat agar kebijakan dapat diimplementasikan adalah adanya dukungan sumberdaya. Kebijakan harus realistis mendasarkan pada sumberdaya yang dimiliki (Subarsono, 2011). Dari kajian dokumen terhadap peraturan daerah dan peraturan bupati, ada dasar hukum untuk mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan kebijakan ini, meskipun tidak disebutkan secara detail bagaimana mekanisme penganggaran ini akan dialokasikan. Penganggaran seharusnya tidak di sektor kesehatan saja, namun sektor yang lain juga.. Jika alokasi anggaran diletakkan pada Dinas
Kesehatan saja, maka bentuk implementasi akan berada pada isu kesehatan saja,yakni penyuluhan garam beryodium, pemeriksaan Balita dan WUS. Sedangkan isu dari sektor lain tidak dapat terwakili. Dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2011 tentang RJMD Sidoarjo Tahun 2010-2015 di penetapan kinerja Daerah Kabupaten Sidoarjo Tahun 20112015 tidak ada indikator yang terkait dengan GAKY, atau garam beryodium khususnya. Sedang pada perencanaan anggaran dalam RPJMD, anggaran konsumsi garam beryodium terbagi dengan 7 bidang lainnya, sehingga plotting bisa berubah sewaktu waktu. Jika melihat mandat yang ada untuk program GAKY, maka pada Keppres Nomor 69 Tahun 1994 diamanatkan bahwa segala biaya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibebankan pada Anggaran Belanja Departemen Perindustrian. Sedang pada Permendagri Nomor 63 Tahun 2010 pun dicantumkan dalam pasal alokasi untuk GAKY dibebankan kepada APBD kabupaten. Terkait anggaran ini, seharusnya untuk mengimplementasikan kebijakan publik diperlukan birokrasi yang terorganisir, dukungan keuangan untuk belanja publik, dan kegiatan lembaga eksekutif (Dye, 1981). Dalam perspektif healthy public policy, pembiayaan untuk kesehatan, tidak hanya terbatas pada investasi untuk sektor kesehatan saja, namun juga sektor lain yang terkait yang mempengaruhi kesehatan seperti pendidikan, perumahan, pemberdayaan perempuan dan perkembangan anak anak. Investasi kesehatan yang lebih besar juga berdampak pada reorientasi distribusi sumber daya yang ada dalam sektor kesehatan untuk promosi kesehatan dan pencegahan penyakit (Donev et al., 2007). WHO menyebutkan bahwa berdasarkan pilot project yang dilakukan oleh WHO di Eropa bahwa keberhasilan Health in All Policies harus didukung oleh dukungan politik dan finansial yang kontinyu dan pengembangan jaringan kerja untuk implementasi.Mengamankan pendanaan untuk Health in All Policies
M Baidlowi Mahbub, dkk., Implementasi Kebijakan Garam.....109
dan kesehatan masyarakat, dengan mempertimbangkan beberapa faktor penentu kesehatan yang lebih luas dan mencerminkan dukungan politik untuk Health in All Policies seluruh negara South Eastern Europe Health Network (SEEHN) (World Health Organization; European Commission; South Eastern Europe Health Network, 2013). Jadi alokasi anggaran untuk implementasi di perda belum menggambarkan sistem penganggaran yang kontinyu dan sistematis, serta mencakup semua sektor terkait.
Aspek alokasi lain adalah sumber daya manusia. Alokasi sumber daya yang ada sesuai dengan Surat Keputusan Bupati dalam pembentukan Tim GAKY atau TPG atau TP3GM telah ditetapkan, mencakup, antara lain Bappeda, Dinas Kesehatan, Diskoperindag, Satpol PP, Dinas Kelautan dan Perikanan, dan banyak instansi lain. Namun, hal ini belum tentu efektif dan efisien, karena akan mempengaruhi rentang kendali. Sumber daya bisa menjadi faktor kritis di dalam mengimplementasikan kebijakan publik. Sumberdaya penting meliputi staf dengan jumlah yang cukup dengan keterampilan untuk melakukan tugasnya serta informasinya, otoritas dan fasilitas yang perlu untuk menerjemahkan konsep program kedalam pemberian pelayanan publik. Apabila sumber daya yang tersedia tidak memadai, maka akan mendatangkan rintangan terhadap implementasi kebijakan (Subarsono, 2011). Dalam health in all policies, sumber daya manusia sangat penting perannya terkait dengan beberapa hal, yaitu ruang lingkup kerja yang lintas sektoral, fokus pada analisis kebijakan, dan penilaian terhadap prioritas terkait kesehatan (Koivosalu & Sparks, 2012). Dalam good governance, sumber daya manusia juga penting untuk melakukan fungsi responsif terhadap stakeholder (Graham et al., 2003). Disini jelas bahwa pengalokasian sumber daya manusia harus didasarkan beban kerja yang berpengaruh pada jumlah sumber daya manusia serta kompetensi yang harus dipenuhi untuk melaksanakan tugas tersebut.
Namun diluar aspek diatas, ada aspek yang belum termuat pada substansi kebijakan diatas yakni partisipasi masyarakat untuk mengubah kondisi kesehatan ke arah yang lebih baik dan berkelanjutan. Aspek Konteks Kebijakan.
Pembahasan
Implementasi
implementasi didasarkan pada semua yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan. Pada aspek intervensi luar, hasil penelitian menunjukkan ada indikasi terlibatnya pihak diluar pemerintah yang mengintervensi pelaksanaan kebijakan ini. Intervensinya bisa langsung dilakukan sendiri atau melalui oknum di dalam pemerintahan. Hal ini bisa disebabkan oleh kepentingan bisnis ataupun kepentingan kelompok tertentu. Jadi pada pelaksanaan perda memang ada pengaruh pihak luar terhadap implementasi perda. Aspek strategi implementasi,hasil penelitian ditemukan beberapa aspek strategi yang tidak atau maupun kurang dilaksanakan dalam strategi implementasi kebijakan garam beryodium selama ini. Strategi yang belum dilaksanakan oleh pelaksana peraturan daerah adalah penegakan hukum . Kurangnya penegakan hukum ini sangat dirasakan oleh produsen yang telah memproduksi garam beryodium sesuai SNI. Jika merunut pada peraturan hukum, maka ada UndangUndang Perlindungan Konsumen, dan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2005 Kabupaten Sidoarjo. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2005 sebenarnya telah mengatur mengenai sanksi bagi pelanggar peraturan daerah. Berdasarkan interview dan pengamatan peneliti, belum dilaksanakannya penegakan hukum dipengaruhi oleh dua hal yakni kerjasama intersektoral yang lemah dan kurangnya komitmen pendanaan . Kurangnya komitmen pendanaan dikarenakan selama ini tidak ada plotting yang jelas mengenai pendanaan. Seharusnya tiap sektor atau dinas atau badan atau lembaga yang terlibat dalam garam beryodium dialokasikan dana saat perencanaan., sehingga saat implementasi
110 Jurnal Promkes, Vol. 2 No. 1, Juli 2014 : 101-115
dana tersebut dapat digunakan secara terintegrasi sesuai dengan visi yang ada. Sebaiknya ada mekanisme pendanaan yang permanen untuk jangka waktu menengah, seperti 5 tahun sesuai masa RPJMD sehingga kontinyuitasnya dapan dijamin. Strategi pemberlakuan tata niaga garam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada aturan tata niaga untuk garam meliputi bahan baku sampai produk garam beryodium itu sendiri. Pemerintah sendiri sebagai regulator, telah diberi mandat untuk mengatur tata niaga produk makanan dan minuman ini, yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan pasal 55 dan 56 Dari peraturan diatas, seharusnya pemerintah sebagai regulator bisa membuat dan melaksanakan aturan main untuk garam beryodium. Strategi pengawasan, monitoring dan evaluasi baik di tingkat produsen, tingkat pedagang, maupun tingkat konsumen Pengawasan adalah pemantauan dengan penilaian untuk tujuan pengendalian pelaksanaan agar pelaksanaanya sesuai rencana yang telah ditetapkan (Nugroho, 2012). Di tingkat produsen dan pedagang, pengawasan, monitoring dan evaluasi untuk memantau dan menjamin hasil produksi sesuai standar kurang dilakukan oleh Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian, Perdagangan, dan Energi Sumber Daya Mineral (Diskoperindag). Di tingkat konsumen, pemantauan penggunaan garam beryodium di rumah tangga dilakukan oleh Dinas Kesehatan secara random dan belum bisa mewakili gambaran kondisi sesungguhnya.Aspek keadilan bagi konsumen atau masyarakat menjadi aspek penting dalam tugas ini. Whitehead mengatakan dalam perspektif health in all policies, bahan hasil monitoring dan evaluasi menjadi dasar untuk pembuatan kebijakan yang berkeadilan serta memperbaiki kebijakan yang telah ada. Aksi untuk mengurangi ketidakadilan didasarkan pada informasi terkait masalah yang ada yang dikumpulkan melalui monitoring evaluasi (Whitehead, 2000). Strategi pembinaan. Pembinaan dari pemerintah masih dirasakurang oleh
produsen. Sesuai dengan mandat dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah bahwa pembinaan merupakan kewajiban pemerintah dalam hal ini Diskoperindag , dimana dilakukan melalui pelatihan, dan bimbingan untuk operasional, manajemen, pemasaran, penelitian dan pengembangan usaha. Kekurangan ini disebabkan oleh keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia. Terkait anggaran, jika dilihat dari RPJMD Tahun2010-2015 Kabupaten Sidoarjo, alokasi anggaran untuk pembinaan UMKM tergolong kecil dibanding dengan jumlah bidang usaha, yakni 72 bidang usaha. Berdasarkan pengamatan peneliti, pembinaan UMKM garam beryodium sudah waktunya untuk dikurangi karena hasilnya masih rendah dibandingkan dengan lamanya pembinaan yang telah dilakukan. Dari hasil monitoring menunjukkan kurang dari 50% produsen kecil memengah garam beryodium yang menghasilkan produk sesuai SNI (Micronutrient Initiative , 2012). Strategi sosialisasi, yang masih dianggap kurang bagi UMKM. Berdasarkan pengamatan peneliti, sosialisasi untuk garam beryodium dengan kandungan KIO3 minimal 30 ppm, telah diterima oleh semua produsen garam beryodium di Sidoarjo, namun bagi pedagang di pasar, sosialisasi mengenai garam beryodium masih kurang. Strategi bantuan atau fasilitas untuk pengembangan usaha dari pemerintah, dimana masih dirasakan kurang oleh UMKM. Dalam Undang undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM pasal 16 menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan usaha dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia dandesain dan teknologi. Berdasarkan pengamatan peneliti, bahwa sebenarnya pemerintah dalam hal ini Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian, Perdagangan, dan Energi Sumber Daya Mineral (Diskoperindag) Sidoarjo telah memberikan bantuan untuk produksi berupa alat iodisasi beberapa tahun lalu, dan juga pembebasan biaya untuk Surat Ijin Usaha Perdagangan
M Baidlowi Mahbub, dkk., Implementasi Kebijakan Garam.....111
(SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Dalam RPJMD Kabupaten Sidoarjo Tahun 2010-2015 untuk bidang program peningkatan kapasitas iptek sistem produksi untuk UMKM dengan produk garam beryodium, yang merupakan item untuk bantuan fasilitas proses produksi untuk tahun 2011-2015 tidak ada anggaran sama sekali. Sedang untuk bantuan modal usaha, ada alokasi anggaran untuk tahun 2012-2015, namun tergolong kecil jika dibanding dengan jumlah UMKM yang menjadi target program. Strategi kerjasama intersektoral harus ditingkatkan. Guna mengetahui beberapa faktor yang mempengaruhi kerjasama intersektoral selama ini, ada governance tools yang bisa digunakan(Pierre et al., 2010), yakni: Struktur dari intersektoral, dari struktur yang ada yakni mulai dari awal implementasi, yaitu Tim GAKY tahun 2002, kemudian Tim TPG (2010) sampai terakhir Tim TP3GM(2013) selalu ada perubahan. Perubahan ini berdampak pada tingkat institusionalisasi visi ke dalam tim, hasil capaian kinerja tim, kualitas konsolidasi internal, penciptaan budaya organisasi. Disamping itu ketiadaan sekretariat sebagai center hub dalam struktur yang selalu berubah sangat berpengaruh terhadap kinerja tim. Aspek intersektoral di luar pemerintah, pelibatan stakeholder sangat kurang, misalkan LSM, akademisi, media massa, perusahaan swasta, Asosiasi Produsen Garam Konsumsi Beryodium (Aprogakob). Pelibatan stakeholder ini adalah penting untuk memastikan bahwa pekerjaan yang dilakukan ini adalah untuk merespon kebutuhan masyarakat, dan untuk mengumpulkan informasi yang berharga untuk membuat perubahan yang penting dan mempunyai dampak.(Pierre et al., 2010). Proses yang ada didalam tim GAKY belum terbangun dengan baik. Hal ini disebabkan oleh adanya bias dalam memahami surat keputusan Tim GAKY.Dalam Surat Keputusan TP3GM, posisi Bappeda sebagai anggota, sedangkan Dinas Kesehatan sebagai Wakil Ketua II.
Hal yang kedua adalah belum ada prosedur operasional standar atau SOP yang memuat mekanisme yang ada dalam kerjasama intersektoral seperti perencanaan bersama, implementasi, monitoring dan evaluasi. Sudah seharusnya ada proses yang sistemik yang mengatur peran dalam interaksi antar sektor sehingga ada mekanisme baku dalam hubungan intersektoral tersebut (Government of South Australia, 2010). Kerangka keungan, untuk aspek kerangka keuangan, dalam RPJMP 20102015, anggaran terkait untuk garam beryodium hanya ada di Dinas Kesehatan, dinas lain tidak ada. Sampai saat ini penganggaran diplot tiap tahun berdasar tahun anggaran. Sehingga kerangka keuangan yang ada belum menggunakan kerangka health in all policies.Jika kita menganut kerangka health in all policies, maka kerangka keuangan disesuaikan dengan sistem yang ada. Seperti sistem keuangan pemerintah daerah yang ada, maka keuangan yang berbasis health in all policies untuk garam beryodium dapat diletakkan pada masing masing sektor yang terkait dengan program ini, seperti pemantauan konsumsi rumah tangga di Dinas Kesehatan, pembinaan industri dan pengawasan pasar di Diskoperindag, penertiban di pasar maupun jalur distribusi di Satpol PP, operasi jalur distribusi lewat laut dan darat di Dinas Perhubungan, dan lain lain. Kontribusi dari luar, perusahaan swasta juga bisa menjadi sumber keuangan. Agar permanen dan kontinyu, maka pada penyusunan RPJMD, penganggaran ini harus direncanakan langsung 5 tahun, dan serempak di semua sektor. Mandat, dari hasil penelitian, bahwa mandat untuk melaksanakan kebijakan garam beryodium Perda Nomor 3 Tahun 2005 adalah Surat Keputusan Bupati Nomor 188 atau 86 atau 404.1.3.2 atau 2013 tentang TP3GM Tahun 2013. Menurut peneliti ada kesalahan dalam mandat ini, yakni susunan kepengurusan yang menempatkan Bappeda di posisi anggota, dan Dinas Kesehatan di posisi Wakil Ketua II, sehingga susunan ini akan menghambat kinerja tim sendiri.Strategi untuk menjamin KIO3 yang digunakan oleh produsen. Banyak KIO3 yang beredar
112 Jurnal Promkes, Vol. 2 No. 1, Juli 2014 : 101-115
tidak mengandung KIO3 yang disyaratkan, yaitu 99,99% karena belum ada tata niaga yang berlaku dengan produk terkait.Strategi yang perlu ditambahkan adalah partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, sampai ke pengawasan, dan evaluasi, karena selama ini masyarakat tidak dilibatkan dan dianggap tidak mempunyai peran dalam proses tersebut. Pada aspek peran preventif pemerintah, berdasarkan hasil penelitian, intervensi pemerintah lebih cenderung ke komponen garam beryodium, yakni pembinaan industri, pengawasan di pasar, penyuluhan rumah tangga, sedang komponen lain untuk identifikasi dini gejala GAKY yang merupakan domain Dinas Kesehatan belum banyak diintervensi. Komponen tersebut antara lain pemeriksaan adequasi yodium dalam urine pada bumil dan WUS, penemuan dini kasus GAKY pada bayi. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan prioritas antara Kementrian Kesehatan melalui SPM dengan Dinas Kesehatan, dimana dalam SPM tidak ada indikator garam beryodium. Namun meskipun tidak masuk SPM, indikator tersebut wajib dikembangkan menjadi indikator yang sifatnya spesifik daerah, jika dianggap sebagai kebutuhan. Dinas Kesehatan seharusnya bisa mengembangkan indikator GAKY atau garam beryodium jika dianggap penting bagi kesehatan masyarakat Sidoarjo. Jadi sebenarnya tidak ada permasalahan dengan SPM. Begitu juga dengan RPJMD 20102012, GAKY maupun garam beryodium tidak masuk secara spesifik menjadi indikator kinerja daerah Kabupaten Sidoarjo, namun menjadi bagian dari program perbaikan gizi masyarakat.Jadi dengan adanya otonomi daerah ini, daerah dapat mengembangkan program berdasar kebutuhan daerah, tidak terbatas pada SPM. Pada aspek organisasi, Tim TP3GM dibentuk tahun 2013, tapi sampai saat ini belum pernah melaksanakan kegiatan koordinasi. Permasalahan utama adalah susunan keanggotaan TP3GM yang menempatkan Bappeda sebagai anggota biasa bukan koordinator menjadi kendala utama dalam sistem koordinasi.
Sedangkan untuk Dinas Kesehatan karena gizi merupakan domain dinas ini, maka sebaiknya agar lebih mudah dalam operasionalnya, Sekretariat Tim dipegang oleh Dinas Kesehatan. Pada aspek alokasi anggaran, dalam implementasi kebijakan garam beryodium di Kabupaten Sidoarjo berdasar RPJMD 2010-2015, Diskoperindag tidak ada alokasi anggaran untuk pembinaan dan pengawasan garam beryodium. Dinas Kesehatan menganggarkan desa konsumsi garam beryodium masuk menjadi bagian dari program perbaikan gizi masyarakat, yang didalamnya ada 7 komponen lainnya. Satpol PP program garam beryodium tidak menjadi prioritas anggaran untuk bidang ketentraman dan ketertiban, karena garam beryodium tidak masuk komponen prioritas ketentraman dan ketertiban. Minimnya anggaran disebabkan oleh garam beryodium dan dampaknya belum menjadi perhatian dan tidak dianggap sebagai ancaman karena data yang tersedia menunjukkan bahwa cakupan garam beryodium sudah tinggi. Di Sidoarjo, berdasarkan data Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2010, cakupan desa baik mengkonsumsi garam beryodium di Sidoarjo adalah 76,72 %, sedangkan cakupan rumah tangga yang mengkonsumsi garam beryodium adalah 94, 86% (diatas USI 90%). Tingginya angka cakupan ini karena adanya perbedaan indikator. Indikator desa baik atau keluarga mengkonsumsi garam beryodium, yakni kandungan KIO3 pada sampel > 30 ppm yang merupakan indikator kuantitatif. Namun selama ini untuk mengetahui kandungan KIO3 dalam sampel adalah kualitatif, dengan menggunakan rapid test Iodinates, dimana indikatornya adalah warna ungu atau tidak berwarna. Metode ini tidak valid dan menimbulkan banyak bias dalam mengartikan hasil. Seharusnya pengukuran menggunakan metode kuantatif karena indikator yang ingin dicapai adalah kuantitatif. Pada aspek peran preventif pemerintah, intervensi pemerintah untuk program garam beryodium maupun GAKY masih parsial, hal ini dikarenakan
M Baidlowi Mahbub, dkk., Implementasi Kebijakan Garam.....113
keterbatasan anggaran untuk usaha usaha preventif. Anggaran pemerintah lebih banyak ke program kuratif. Hal ini dapat dilihat pada RPJMD 2010-2015 yang didalamnya bahwa komponen pengadaan obat, pelayanan kesehatan bagi penduduk sakit, peningkatan sarana dan prasarana puskesmas, dan rumah sakit mendapat porsi yang sangat besar. Pada aspek kepatuhan, belum semua produsen dan pedagang patuh untuk mengikuti aturan ini karena penegakan hukum untuk perda ini belum dijalankan, sehingga tidak ada sanksi bagi yang tidak patuh. Hal ini sesuai dengan Teori Kepatuhan Milgram (Obidience Theory) (Milgram, 1974) mengatakan bahwa faktor legitimasi dan figur penguasa dapat mempengaruhi kepatuhan seseorang : Orang cenderung untuk mematuhi orang lain jika mereka mengakui otoritas mereka sebagai benar secara moral dan atau secara hukum Bagi produsen, ketidakpatuhan ini bisa juga disebabkan oleh alasan pada fase pembinaan, sehingga masih ada toleransi untuk tidak memenuhi aturan. KESIMPULAN Isi Perda Nomor 3 Tahun 2005 ini telah memuat keuntungan bersama. Adapun keuntungan bersama tersebut adalah acuan baku dalam memproduksi garam beryodium, sehingga produsen terhindar dari sanksi hukum, dengan menjaga kualitas, maka kepercayaan konsumen terhadap produk garam beryodium makin meningkat, untuk menjaga mutu, maka yodium bukan menjadi beban lagi bagi produsen , bagi masyarakat, perda ini memberikan jaminan atas kebutuhan yodium untuk tubuh yang diperoleh melalui garam beryodium, sehingga dapat mencegah GAKY, bagi pemerintah, perda ini dijadikan landasan hukum untuk menegakkan keadilan bagi yang melanggar. Perda Nomor 3 Tahun 2005 juga memuat perubahan yang ingin dicapai. yaitu pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi tingginya, serta adanya peningkatan jumlah produksi garam beryodium yang sesuai SNI.
Pada isi Perda Nomor 3 Tahun 2005 ini, pemberian mandat kepada Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian, Perdagangan, ESDM (Diskoperindag) untuk fungsi pembinaan dan pengawasan, serta kepada Dinas Kesehatan untuk fungsi pembinaan sudah tepat dan sesuai tupoksi. Hal yang belum termuat dalam perda terkait kerjasama intersektoral adalah fungsi Bappeda sebagai koordinator antar sektor, pelibatan stakeholder luar pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan, struktur organisasi pelaksana yang permanen yang mempunyai sistem manajemen horizontal, proses yang secara sistemik mengambil peran dalam interaksi antar sektor, kerangka kerja keuangan untuk pendanaan implementasi program garam beryodium yang baku, konsisten dan permanen. Perda Nomor 3 Tahun 2005 ini belum memuat alokasi anggaran, baik khusus untuk garam beryodium maupun anggaran yang secara tak langsung menunjang program garam beryodiumyang kontinyu dan sistematis, serta mencakup semua sektor terkait. Sedangkan untuk alokasi sumber daya manusia telah termuat dalam surat keputusan namun belum memperhitungkan aspek efektifitas fungsi sumber daya manusia tersebut. Dari hasil penelitian, ada indikasi intervensi pihak diluar pemerintah yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan garam beryodium, baik dilakukan secara langsung maupun melalui oknum di dalam pemerintahan. Dalam implementasi, strategi yang digunakan dalam pelaksanaan perda ini masih lemah. Adapun kelemahan strategi tersebut adalah belum dilaksanakannya penegakan hukum sebagai bagian dari pelaksanaan perda oleh pemerintah, belum adanya tata niaga dalam garam yodium dari pemerintah, dari bahan baku sampai produk jadi, lemahnya pengawasan, monitoring dan evaluasi dari pelaksana perda yakni pada level produsen, pasar maupun konsumen, pendekatan pembinaan yang ada perlu dievaluasi dan diubah agar tidak disalahgunakan oleh pihak tertentu, kurangnya sosialisasi dari pemerintah atau lembaga lain kepada produsen baru,
114 Jurnal Promkes, Vol. 2 No. 1, Juli 2014 : 101-115
pedagang, dan konsumen mengenai regulasi garam beryodium dan dampaknya bagi kesehatan, belum meratanya bantuan baik alat maupun pinjaman lunak serta kemudahan ijin bagi UMKM untuk pengembangan usaha, masih lemahnya kerjasama intersektoral khususnya di internal pemerintah untuk pelaksanaan perda, tidak adanya jaminan ketersediaan dan kualitas Kalium Iodate (KIO3)dari pemerintah, serta kurang dilibatkannya masyarakat dalam proses perencanaan sampai pelaksanaan perda oleh pemerintah. Pada aspek keberpihakan pemerintah untuk aspek preventif masih kurang. Alokasi anggaran untuk program promotif-preventif yang langsung terkait dengan garam beryodium yaitu di Dinas Kesehatan maupun Diskoperindag sangat kecil. Alokasi anggaran banyak difokuskan pada aspek kuratif, seperti pembangunan sarana prasarana serta layanan kesehatan. Sumber daya manusia yang menangani aspek promotif preventif baik di Dinas Kesehatan maupun Diskoperindag masih kurang. Peran Tim GAKY atau TP3GM belum bekerja maksimal. Pada aspek kepatuhan, sasaran perda yakni produsen garam khususnya UMKM dan pedagang belum patuh terhadap peraturan (Perda Nomor 3 Tahun 2005) karena tidak adanya sanksi dari pemerintah bagi pihak yang melanggar aturan . DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Kesehatan , 2008. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sidoarjo, 2011. Perda Kabupaten Sidoarjo Nomor 12 tahun 2011 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Sidoarjo Tahun 2010-2015. Sidoarjo: Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kabupaten Sidoarjo. Departemen Kesehatan RI, 2008. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 267atauMenkesatauSKatauIIIatau 2008 tentang Pedoman Teknis Pengorganisasian Dinas Kesehatan Daerah. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2011. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2010. Surabaya: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Donev, D., Pavlekovic, G. & Kragelj, L.Z., 2007. Health Promotion and Disease Prevention: A Handbook for Teachers, Researches, Health Professionasl and Decision Makers. Skopje: Hans Jacobs Publishing Company. Dunn, W.N., 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. 5th ed. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Dye, T.R., 1981. Understanding Public Policy. 4th ed. New Jersey: Prentice Hall Inc. Government of South Australia, 2010. Health in All Policies Adelaide 2010 International Meeting. SA Health, Government of South Australia. Graham, J., Amos, B. & Plumptre, T., 2003. Principles for Good Governance in the 21st Century. Policy Brief No. 15, August. Koivosalu, M. & Sparks, M., 2012. Health in All Policies Framework for Country Action. WHO. Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, 2010. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 63 Tahun 2010 tentang Pedoman Penanggulangan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium. Jakarta : Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia.
M Baidlowi Mahbub, dkk., Implementasi Kebijakan Garam.....115
Micronurient Intiative, 2011. Project Concept Note Format. Jakarta: Micronutrient Initiative. Micronutrient Initiative , 2012. Laporan Bulan Oktober Monitoring Kendali Mutu Garam Beryodium Area Jawa Timur. Micronutrient Initiative. Milgram, S., 1974. Obedience to Authority An Experimental View. London: Tavistock Publications. Nugroho, R., 2012. Public Policy. 4th ed. Jakarta: Elex Media Komputindo. Pierre, L.S. et al., 2010. Governance Tools And Framework For Health in All Policies. Research. Ottawa: NCCHPP National Collaborating Center for Healthy Public Policy. Robbins, S.P., 2005. Organization Behavior. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Rudolph, L., Caplan, J., Ben-Moshe, K. & Dillon, L., 2013. Health in All Policies: A Guide for State and Local Goverrment. Washington DC: American Public Health Association and Public Health Institute. Sekretariat Daerah Kabupaten Sidoarjo, 2008. Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 21 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Sidoarjo. Sidoarjo: Sekretariat Daerah Kabupaten Sidoarjo. Sekretariat Negara , 2011. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jakarta: Sekretariat Negara. Sekretariat Negara, 1994. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 69 tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Beryodium. Jakarta: Sekretariat Negara. Sekretariat Negara, 2009. Undang Undang Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta: Sekretariat Negara. Stahl, T. et al., 2006. Health in All Policies Prospects and potensials. Finland: Ministry of Social Affair and Health, Health Department Finland. Subarsono, A., 2011. Analisis Kebijakan Publik Konsep, Teori dan Aplikasi. VI ed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sugiyono, 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Whitehead, M., 2000. The Concept and Principles of Equity and Health. Paper. Copenhagen: WHO for Regional Office for Europe World Health Organization. World Health Organization; European Commission; South Eastern Europe Health Network, 2013. Opportunities for Scaling Up and Strengthening The Health in All Policies Approach in South Eastern Europe. World Health Organization. World Health Organization, 1994. Iodine and Health Eliminating Iodine Deficiency Disorders Safely Through Salt Iodization. Geneva: World Health Organization. World Health Organization, 2009. Milestone in Health Promotion Statements from Global Conferences. Geneva: WHO Press. Yayasan Viktoria dan Micronutrient Initiative, 2011. Survei Profil Produsen Garam Skala Kecil dan Mengenah Di Jawa Timur. Jakarta: Yayasan Viktoria Yayasan Viktoria dan Micronutrient Initiative.