IMPLEMENTASI BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2005 DI KABUPATEN PESISIR SELATAN SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Studi Strata Satu (S1)
Disusun oleh:
SEPTIAN RIZKI YUDHA
NIP: 106043201352
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH STUDI ANALISIS HUKUM ISLAM DAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR 04 TAHUN 2OO5 TENTANG BERPAKAIAI{ MUSLIM DAN MUSLIMAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah
Oleh: Septian Rizki Yudha
NIM: 106043201352
Di bawah bimbingan:
Pembimbing
Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. NrP. 196511 19199803 i002
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1435
Hl 2014 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul oolmplementasi Berpakaian Muslim dan Muslimah Dalam
Perspektif Hukum Islam dan Peraturan Daerah Nomor
4 Tahun 2005
di
Kabupaten Pesisir Selatan" telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Konsentrasi Perbandingan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 November 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Perbandingan Hukum. akarta, 1 0 Novemb er 2014 Mengesahkan Dekan, J
/'-
-
Dr. Phill. J.M. Muslimin, M. A. NIP. 1 96808121999031014
PANITIA UJIAN MUNAQASY I(etua Mailis
Sekretaris
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. NrP. 1965 1 1 191998031002
Majlis : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si. NIP. 1 9742 1132003121002 Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. NrP. 19651 i 19199803 1002
Pembimbing
:
Penguji I
: Dr.
Penguji II
: Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si.
DiawahirHejazziey, SH., MA., MH. NIP. 19551015197903
NrP.
1
97
42rt32003r2t002
ilt
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah
ini:
Nama
Septian Rizki Yudha
NIM
r060432013s2
Konsentrasi
Perbandingan Hukum
Prodi
Perbanding an Madzhab D an Hukum
Fakultas
Syariah Dan Hukum
Judul Skripsi
:"Implementasi Berpakaian Muslim dan Muslimah Dalam Perspektif
Hukum Islam dan Peraturan Daerah Nomor
4
Tahun 2005 di
Kabupaten Pesisir Selatan". Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1.
Skripsi ini merupakankarya asli saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S-1) di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah lakarta.
3. Jika dikemudian
hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakuta.
Jakarta, 1 0 November 2014
Septian Rizki Yudha
t0604320r352
IV
ABSTRAK Septian Rizki Yudha. NIM 106043201352. IMPLEMENTAS BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2005 DI KABUPATEN PESISIR SELATAN. Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum, Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 / 2014 M. ix + 65 halaman. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan yang terjadi dalam Peraturan Daerah di Kabupaten Pesisir Selatan menurut hukum Islam dan Undangundang tahun 1945. Dalam pelaksanaannya Peraturan Daerah di Kabupaten Pesisir Selatan begitu baik khususnya bagi masyarakat yang beragama Islam mereka lebih bisa melaksanakan peraturan tersebut karena sudah perintah agamanya. Sedangkan kalo dibandingkan dengan masyarakat non-Muslim malah sebaliknya mereka merasa peraturan tersebut menjadi bebaban karena tidak terbiasa memakai pakaian yang lebih tertutup untuk mematuhi peratuan tersebut. Pada penelitian ini penulis memilih penelitian komparatif untuk membandingkan studi analisis hukum Islam. Penulis ingin mengetahui Implementasi Perpu tentang Perda berpakaian Muslim dan Muslimah dan hukum Islam. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka, yaitu menggunakan data berupa buku dan karya tulis lain yang berhubungan dengan pembahasan mengenai masalah yang di teliti dan sifatnya persepektif dan terapan. Sedangkan teknik dan pengumpulan data adalah mereduksi berbagai ide, teori, dan konsep dari berbagai literatur yang relevan serta menitikberatkan pada pencarian kata kunci yang diambil dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan pendapat para ulama. Data-data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua, yaitu data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data, dan data display. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peraturan Daerah tentang berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Pesisir Selatan ternyata bertentangan sekali dengan UUD tahun 1945 dan melanggar HAM karena Perda tersebut tidak sesuai dengan Undang-undang yang ada. Perda tersebut seharusnya tidak bisa diterapkan karena yang mengenai urusan Agama adalah Pemerintah Pusat karena sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembimbing Daftar pustaka
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag. : Tahun 1983 sampai 2014
v
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الر حيم Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT Tuhan Semesta Alam, yang telah menciptakan manusia dengan kesempurnaan sehingga dengan izin dan ridhoNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul: “Implementasi Berpakaian Muslim dan Muslimah Dalam Perspektif Hukum Islam dan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 di Kabupaten Pesisir Selatan”. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW, penunjuk jalan kebenaran dan penyampai rahmat bagi semesta alam. Tidak lupa kepada keluarga, para sahabat, serta yang mengamalkan sunnahnya dan menjadi pengikut setia hingga akhir zaman. Dalam menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini, penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah memberikan pemikiran dan dukungan secara moril maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai yang diharapkan karena dengan adanya mereka segala macam halangan dan hambatan dalam penulisan skripsi ini menjadi mudah dan terarah. Oleh sebab itu penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada yang terhormat: 1. Dr. Phill. J.M. Muslimin, M. A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
2. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si., Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., selaku pembimbing yang dengan penuh kesabaran bersedia mengoreksi secara teliti seluruh isi tulisan ini yang mulanya masih tidak sempurna sehingga menjadi lebih layak dan berarti. Semoga kemudahan dan keberkahan selalu menyertai beliau dan keluarganya, Amin. 5. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai tempat interaksi penyusun selama menjalani studi pada jenjang Perguruan Tinggi di Jakarta. 6. Untuk Ayahanda (H. Noan bin Amat) dan Ibunda (Hj. Anih binti Menan) yang sangat saya cintai, mungkin kata-kata tidaklah cukup untuk menggambarkan kasih sayang dan cinta kalian. Terimakasih banyak Bapak, Ibu, sudah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang dan tidak pernah lelah untuk menyayangi, menyemangati, menasehati, dan membimbing saya dari kecil hingga dewasa seperti sekarang ini, tanpa doa dan dukungan dari Bapak dan Ibu mungkin saya tidak bisa menjadi seperti sekarang ini. 7. Untuk kakak yang tercinta, (Nonih, Panky Wijaya, Yenih, Sumiati, Nur Hasanah, Siti Aminah, Ahmad Yanih dan Atih Hariyati), terimakasih atas vii
masukan dan sarannya dalam memberi semangat untuk menjalani kehidupan adikmu ini. 8. Untuk Keponakan ku yang tersayang Nurul Safitri Panjaya S.D., yang sudah memberikan semangat dan Doa, Teman-teman Alumni MTS. Al-Kautsar, MTP. Makanul Abidin, MTP. Fastabikul Khoirot, Orange Speed dan yang lainnya. Teman-teman Perbandingan Hukum angkatan 2006 dan 2007, Fauzi Ramdan S.Sy., Dwi Prasetyo S.Hi., Ahmad Fariz Ihsanuddin, Alfiah dan Yani Suryani yang selalu mendukung, memberi semangat dan memberikan Doa untuk menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya, penyusun sadar bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, dan atas semua kekurangan didalamnya, baik dalam pemilihan bahasa, teknik penyusunan dan analisisnya sudah tentu menjadi tanggung jawab penyusun sendiri. Karena itu, kritik dan saran dari para pembaca sangat diharapkan dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan karya ilmiah ini, juga untuk penelitianpenelitian selanjutnya. Penyusun berharap, skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan para pembaca pada umumnya serta dapat menjadi khazanah dalam ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu hukum Islam. Atas semua bantuan yang diberikan kepada penyusun, semoga ALLAH SWT memberikan balasan yang selayaknya, Amin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Ciputat, 10 November 2014
Penulis viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ iii LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. iv ABSTRAK ....................................................................................................... v KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi DAFTAR ISI .................................................................................................... viii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... 4 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 5 D. Metode Penelitian ..................................................................... 6 E. Teknik Penulisan ...................................................................... 10 F. Sistematika Penulisan............................................................... 10
viii
BAB II
BERPAKAIAN
MUSLIM
DAN
MUSLIMAH
MENURUT
HUKUM ISLAM A. Pengertian Berpakaian Muslim dan Muslimah ........................ 12 B. Tata Cara Berpakaian Muslim dan Muslimah.......................... 15 C. Prinsip-Perinsip Berpakaian Muslim dan Muslimah................ 17 D. Fungsi Berpakaian Muslim dan Muslimah .............................. 22
BAB III
PERATURAN DAERAH NO.4 TAHUN 2005 DI KABUPATEN PESISIR SELATAN A. Peraturan Daearah.................................................................... 25 1. Pengertian Perda .................................................................. 26 2. Landasan Pembuatan Perda ................................................. 26 3. Muatan dan Mekanisme Penyusunan Perda ........................ 29 B. Otonomi Daerah ....................................................................... 31 C. Kebijakan Publik ...................................................................... 36 1. Pengertian Kebijakan Publik ............................................... 36 2. Kebijakan Pemerintah ......................................................... 40 3. Peraturan Daerah Sebagai Kebijakan Publik ....................... 41
ix
BAB IV
TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWAJIBAN BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH PADA PERDA NOMOR 4 TAHUN 2005 DI KABUPATEN PESISIR SELATAN A. Kewajiban Berpakaian Muslim dan Muslimah Menurut Hukum Islam ......................................................................................... 43 B. Implementasi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Kewajiban Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Pesisir Selatan........................................................................... 49 1. Impelementasi Peraturan Daerah Di Kabupaten Pesisir Selatan ................................................................................ 49 2. Dampak Peraturan Daerah Di Kabupaten Pesisir Selatan .. 53
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan............................................................................... 57 B. Saran ......................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Islam sebagai etika normatif bagi pemeluknya diharapkan dapat diwujudkan nilainya secara sempurna. Oleh karena itu Islam bukan agama yang hanya terbatas dalam kehidupan pribadi yang semata-mata mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, akan tetapi memberikan pedoman hidup yang utuh dan menyeluruh. Lengkapnya nilai Islam dalam mengatur kehidupan manusia, maka tidak ada fenomena kehidupan yang tidak terbatas dalam ajaran Islam, termasuk aturan berbusana bagi kaum wanita muslimah. Hal itu nampak dari beberapa ayat AlQur’an yang mengupas tentang busana muslimah, mulai dari pembahasan tentang aurat wanita sampai pada batasan atau criteria busan muslimah itu sendiri. Pembatasan perempuan dalam berbusana menurut Islam adalah bertujuan untuk melindungi perempuan itu sendiri. Pencegahan awal ini untuk menjaga agar perempuan tetap mulia dan menjadi anggota masyarakat yang terhormat, serta sebagai pembinaan ahklak agar terhindar dari persaingan, dengki dan lain-lain. Selain itu busana muslim bagi laki-laki juga menanamkan suatu tradisi yang universal dan fundamental untuk mencabut akar-akar kemerosotan moral dengan
1
2
menutup pintu pergaulan bebas.1 Busana atau pakaian, berhubungan dengan peradaban manusia. Kebutuhan untuk berpakaian bukan hanya dirasakan manusia yang hidup diera indutrialisasi, tetapi sejak zaman Nabi Adam AS. Sejak Nabi Adam dan Isrtinya terbujuk untuk memakan buah kuldi dan mereka mulai mengenal rasa malu bila auratnya terbuka, maka sejak itulah sebenarnya manusia akan pakaian sudah ada. Keterbatasan teknologi yang menyebabkan pakaian mereka hanya daun-daun Surga.2 Pakaian adalah kebutuhan pokok manusia yang tidak berkaitan dengan kesehatan, etika, estetika, tetapi juga berhubungan dengan kondisi sosial budaya, bahkan juga ekspresi idiologi. Bagi manusia pakian tidak berdimensi keindahan, tetapi juga kehormatan bahkan keyakinan. Itulah sebabnya, aturan tentang pakian termasuk yang dipandang penting oleh Allah SWT, sehingga tercantum dalam AlQur’an yang mulia. Berpakaian secara Islam, terutama bagi muslimah adalah bagian dakwah yang penting dalam Syiar Islam diseluruh dunia, karena petunjuknya jelas (muhkamat) dalam Al-Qur’an. Dalam dalil-dalil Al-Qur’an, busana muslimah merupakan ketentuan tata busana bagi kaum muslimah untuk menutup auratnya 1
Husein Shahab, Jilbab menurut Al-Qur’an dan As-sunnah (Jakarta: Mizan, 1983), h.18, juga dalam Istadianta, Hikmah Jilbab dalam Pembinaan Ahklak (Sala: Ramdhani, Tt), h.Baca juga Abu Abdillah Al Mansur, Wanita dalam Quran, (Jakarta Gema Insani Prees, 1986), h. 34 2
Sitoresmi Prabuningrat, “Gejolak Kebangkitan Busana Muslimah Di Indonesia”, dalam Islam Aswab Machasin (eds), Ruh Dalam Budaya Bangsa Konsep Estetika, (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996) h. 256-257
3
berdasarkan syariat Islam. Persyaratan menutup aurat itu diterapkan secara integral kedalam berbagai ragam busana daerah yang sudah ada, sehingga tercipta desain dengan berbagai ragam, baik secara struktural (potongan, bentuk, tenunan tekstil) maupun secara dekoratif
(corak, warna, ragam hias, tekstur, motif dan aksesoris).3 Hal ini
menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam dengan mudah masuk kedalam budaya lokal masyarakat muslim diseluruh dunia dan menyatu dengan nilai-nilai luhur yang mereka anut. Perpaduan itu membentuk ciri khas yang unik, tanpa perlu menghilangkan perbedaan faktor-faktor historis, geografis, ras, etnis, ataupun mazhab. Fungsi pakaian terutama sebagai penutup aurat, sekaligus sebagai perhiasan, memperindah jasmani manusia. Agama Islam memerintahkan kepada setiap orang untuk berpakaian yang baik dan bagus. Baik berarti sesuai dengan fungsi pakaian itu sendiri, yaitu menutup aurat, dan bagus berarti cukup memadai serasa sebagai perhiasan tubuh yang sesuai dengan kemampuan sipemakai untuk memilikinya. Untuk keperluan ibadah misalnya untuk shalat di masjid, kita dianjurkan memakai pakaian yang baik dan suci. Berpakaian dengan mengikuti muda yang berkembang saat ini, bukan merupakan halangan, sejauh tidak menyalahi fungsi menurut Islam. Namun demikian kita diperintahkan untuk tidak berlebih-lebihan. Berpakaian bagi kaum wanita mukmin telah digariskan oleh Al3
Beryl C. Syamwil, “Akar Sejarah Busana Muslimah Indonesia”, dalam Aswab Machasin (eds), Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa Konsep Estetika,…,h. 239
4
Qur’an adalah menutup seluruh auratnya. Hal tersebut selain sebaya identitas mukminah juga menghindari diri dari gangguan yang tidak diinginkan pada dasarnya pakaian muslim tidak menghalangi pemakaiannya untuk melakukan kegiatan sehari-hari dalam bermasyarakat. Semuanya kembali kepada niat sipemakainya dalam melaksanakan ajaran Allah. Dengan melihat latar belakang yang dipaparkan diatas, maka penulis terdorong untuk melakukan penelitian dan pembahasan, sehingga penulis menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul “Implementasi Berpakaian Muslim Dan Muslimah Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 di Kabupaten Pesisir Selatan.”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Mengingat keluasan dan kompleksitas masalah dalam berpakaian muslim dan muslimah, maka untuk fokus dalam pembahasannya penulis akan membatasi permasalahan kewajiban berpakaian muslim dan muslimah dengan pembatasan masalah pada Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.
5
2. Perumusan Masalah Untuk memahami masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: a.
Bagaimanakah Implementasi Berpakaian Muslim dan Muslimah dalam perspektif hukum Islam dan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 di Kabupaten Pesisir Selatan?
b.
Bagaimanakah Faktor-faktor timbulnya Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas, maka tujuan penelitian yang akan dicapai dalam penulisan ini adalah: a.
Untuk mengetahui implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.
b.
Untuk mengetahui Faktor-faktor timbulnya Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.
6
2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut: a.
Menambah wawasan pembaca terhadap ilmu hukum dan hukum islam yang berkaitan dengan Analisis Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.
b.
Memberikan informasi terhadap masyarakat khususnya mengenai Analisis Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.
D. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian skripsi ini, karena metode penelitian dapat menentukan langkah-langkah dari suatu penulisan. Adapun metode penelitian yang dipakai sebagai dasar penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Dalam penelitian hukum ada dua jenis penelitian, yaitu penelitian normatif dan penelitian empiris/sosiologis atau penelitian lapangan. Penelitian normatif adalah penelitian hukum kepustakaan, dimana dalam penelitian hukum normatif bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut memiliki ruang
7
lingkup yang sangat luas sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah.4 Dalam karya ilmiah ini, penulis akan menggunakan jenis penelitian normatif karena dalam hal ini penulis akan meneliti tentang kewajiban berpakaian muslim dan muslimah dalam perspektif Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah. Penelitian ini saya lakukan melalui pendekatan yuridis normatif, yang mempunyai pengertian bahwa penelitian ini didasarkan pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku dan teori-teori hukum yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.
2. Sumber Data Data-data yang dikumpulkan dalam penulisan skripsi ini adalah data kualitatif bukan data kuantitatif. Data kualitatif yaitu penelitian yang data umumnya dalam bentuk narasi atau gambar-gambar. Sedangkan data kuantitatif adalah data yang dapat diukur sehingga data dapat menggunakan statistik dalam pengujiannya.5 Data yang dikumpulkan dalam skripsi ini adalah data-data yang berkaitan dengan kewajiban berpakaian muslim dan 4
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet. Ke- IV, h. 23 5
Ronny Kountur, Metode Penelitian (Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis). (Jakarta, PPM, 2004), cet. Ke-II, h. 16
8
muslimah yang terdapat dalam al-Qur’an dan Undang-Undang, kitab atau buku. Sejalan dengan permasalahan diatas dan untuk memperoleh data yang sesuai, maka literatur yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain: a.
Sumber data primer, yaitu: Sumber data primer adalah sumber data yang paling utama dan harus dipenuhi dalam penulisan skripsi, ini yaitu: Al-Qur’an, Al-Hadits, Undang-Undang diantaranya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
b.
Sumber data sekunder, yaitu: Sumber data sekunder adalah sumber data pelengkap dan harus dipenuhi dalam penulisan skripsi ini. Adapun sumber data sekunder mencakup atas buku bacaan, jurnal, media cetak, website, dan sumber data lainnya yang berkaitan langsung dengan pembahasan skripsi ini.
c.
Data Tersier Data Tersier adalah data yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap data-data primer dan skunder, yaitu berupa kamus-kamus
9
ilmiah dan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
3. Teknik Pengumpulan Data Didalam penelitian, pada umumnya dikenal tiga jenis alat pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan wawancara atau intervie.6 Dalam hal ini, penelitian yang digunakan oleh penulis adalah menggunakan teknik studi dokumen atau bahan pustaka dan observasi yaitu suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis yang biasa ditemukan dalam bahan pustaka yang terdiri dari bukubuku atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pembahasan ini.
4. Penyajian dan Teknik Analisis Data Data hasil penelitian dalam skripsi ini disajikan dalam bentuk deskriptif, yaitu penulis menggambarkan hasil penelitian tentang kewajiban berpakaian muslim dan muslimah dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah dengan sejelas-jelasnya. Adapun tujuan dari penyajian seperti ini tidak lain adalah agar pembaca dapat memahami dengan jelas tentang kewajiban pakaian muslim dan muslimah dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah. 6
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 2010), h. 21
10
Sedangkan teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a.
Content Analysis, yaitu melakukan analisis isi dokumen secara terperinci dengan mengambil sari dari dokumen yang menjadi sumber data baik dari buku-buku atau dokumen yang berisi tentang hukum positif atau hukum Islam yang sesuai dengan kajian skripsi ini.
b.
Comparative Analysis, yaitu melakukan analisis perbandingan dalam dua hal yang berbicara pada substansi yang sama.
E. Teknik Penulisan Teknik penulisan dalam skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan Secara keseluruhan persoalan yang akan dibahas dalam skripsi ini akan penulis sajikan atau paparkan dalam 5 Bab, diantaranya: Bab I
Membahas tentang pendahuluan. Pada bab ini memuat uraian tentang aspek-aspek rancangan pelaksanaan penelitian yang terdiri dari sub-sub bab tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tekhnik penulisan dan sistematika penulisan.
11
Bab II
Membahas tentang pengertian berpakaian muslim dan muslimah,tata cara berpakaian muslim dan muslimah, perinsip-perinsip berpakaian muslim dan muslimah dan fungsi berpakaian muslim dan muslimah.
Bab III
Membahas tentang Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2005 di Kabupaten Pesisir selatan, otonomi daerah dan kebijakan publik.
Bab IV
Membahas tinjauan yuridis tentang kewajiban berpakaian muslim dan muslimah dalam Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2005 di Kabupaten Pesisir Selatan.
Bab V
Pada bab ini sebagaimana umumnya dalam setiap karya ilmiah lazim dibuat suatu penutup yang berupa kesimpulan dari beberapa persoalan yang dibahas dan saran dari penulis untuk masyarakat umum.
BAB II BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Bepakaian Muslim dan Muslimah Pengertian berpakaian Muslim dan Muslimah adalah untuk menutup semua aurat baik itu laki-laki dan Perempuan. Aurat berasal dari bahasa Arab, Aurat artinya “an naqsu” atau keaiban. Menurut istilah fiqih aurat adalah bagian tubuh seseorang yang wajib ditutupi dari pandangan. Dalam kamus dijelaskan bahwa Aurat adalah hal yang jelek untuk dilihat atau sesuatu yang memalukan bila dilihat. Menurut syara’ yang dikatakan aurat adalah sesuatu yang diharamkan Allah untuk diperlihatkan kepada orang lain yang tidak dihalalkan Allah untuk melihatnya. Dalam kejadiannya, manusia dilahirkan kemuka bumi salah satunya membawa potensi malu terhadap lingkungannya dimana ia tinggal. Oleh untuk menutupinya rapat-rapat, karena jika tidak bisa menutupinya maka aib yang ada pada dirinya akan diketahui orang lain. Karena itu, untuk menutupi malunya manusia berusaha semaksimal mungkin secara lahiriah manusia berusaha melindungi tubuhnya dari berbagai macam gangguan, maka dari itu busana merupakan sesuatu yang mendasar baginya untuk menjaga gangguan tersebut. Bagaimanapun usaha untuk selalu menutup tubuh itu akan selalu ada walaupun dalam bentuk yang sangat minim atau terbatas sesuai dengan kemampuan hidupnya, raga dan akal manusia. 12
13
Dengan pakaian manusia ingin membedakan antara dirinya atau kelompoknya dengan orang lain. Pakaian memberikan identitas diri sehingga dapat mempengaruhi tingkah laku si pemakai dan juga dapat mencerminkan emosi pemakainya yang pada saat bersamaan dapat mempengaruhi emosi orang lain.1 Pada prinsipnya Islam tidak melarang umatnya untuk berpakaian sesuai dengan mode atau trend masa kini, asal semua itu tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Islam membenci cara berbusana seperti busana-busana orang jahiliyah yang menampakkan lekuk-lekuk tubuh yang mengundang kejahatan dan kemaksiatan. Konsep Islam adalah mengambil kemaslahatan dan menolak kemudoratan.2 Pada dasarnya, Islam tidak menentukan model dan coraknya. Tetapi Islam sebagai agama yang sesuai untuk setiap masa dan tempat, memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada wanita muslimah untuk merancang mode yang sesuai dengan selera masing-masing. Tak ada mode khusus yang diperintahkan kita dapat mengenalkan apa yang kita sukai asalkan tetap pada batas-batas Islam, mode bukan masalah asal kita tidak mengikuti secara membabi buta. Kita harus
1, h. 13
1
Quraish Shihab, “Wawasan Al-Quran” (Bandung: Mizan, 1996), cet. Ke-4 h. 161.
2
Ahmad Hasan Karzun, “Adab Berpakaian Pemuda Islam” (Jakarta: Darul Falah, 1999), cet.
14
mempunyai kesadaran terhadap busana yang tidak Islami, dan berani menjadi orang yang tidak mengikuti perkembangan mode yang berlaku pada saat itu.3 Busana dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang kita pakai mulai dari kepala hingga sampai ujung kaki.4 Hal ini mencakup antara lain Pertama, semua benda yang melekat pada badan, seperti baju, celana, sarung, dan kain panjang. Kedua, semua benda yang melengkapi pakaian dan berguna bagi si pemakai seperti selendang, topi, sarung tangan, dan kaos kaki. Ketiga, semua benda yang berfungsi sebagai hiasan untuk keindahan pakaian seperti, gelang, cincin, dan sebagainya.5 Dalam pengertian berbusana, Al-Qur’an tidak hanya menggunakan satu istilah saja tetapi menggunakan istilah yang bermacam-macam sesuai dengan konteks kalimatnya. Menurut Qurais Shihab paling tidak, ada 3 istilah yang dipakai yaitu :6 1)
Al-Libas (bentuk jamak dari kata Al-Lubsu), yang berarti segala sesuatu yang menutup tubuh. Kata ini digunakan Al-Qur’an untuk menunjukkan pakaian lahir dan batin.
2)
Ats-Tsiyab (bentuk jamak dari Ats-Tsaubu), yang berarti kembalinya sesuatu pada keadaan semula yaitu tertutup.
3
Huda Khattab, “Buku Pegangan Wanita Islam” (Bandung: Al-Bayan, 1990), cet. Ke-2, h. 40 W. J. S. Poerwa Darunuda, “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), h. 172 4
5
Nina Surtiretna, “Anggun Berjilbab” (Bandung: Al-Bayan, 1995), cet. Ke-2 h. 28
6
Quraish, Wawasan,,,,h. 155-157.
15
3)
AZ-sarabil yang berarti pakaian apapun jenis bahannya.
Dari pengertian diatas, dapat ditarik pengertian busana muslim sebagai busana yang dipakai oleh wanita muslimah yang memenuhi, kriteria-kriteria (prinsip-prinsip) yang ditetapkan ajaran Islam dan disesuaikan dengan kebutuhan tempat, budaya, dan adat istiadat.
B. Tata Cara Berpakaian Muslim dan Muslimah Busana muslim dan muslimah merupakan pakaian yang dikenakan laki-laki dan perempuan selama tidak keluar dari ajaran Islam. Setiap laki-laki dan perempuan muslim diharuskan untuk mengenakan busana muslim dan muslimah agar terhidnar dari berbagai macam gangguan yang datang kepadanya. Pokok pangkal dari berbusana muslim bukan apakah sebaliknya laki-laki atau wanita memakai busana muslim dalam pergaulannya dengan masyarakat, melainkan apakah laki-laki bebas mencari kelezatan dan kepuasan memandang wanita. Laki-laki hanya dibolehkan memandang wanita dalam batas-batas keluarga dan pernikahan saja. Hal ini dimaksudkan demi tercipatanya keluarga yang sehat, harmonis dan saling mempercayai sebagai sendi terwujudnya masyarakat yang sehat, damai, beriwibawa dan menjunjung tinggi harkat wanita.7
7
10, h. 18.
Husein Shabah, Jilbab Menurut al-quran dan as-Sunnah, (Bandung: Mizan, 2000), cet, ke-
16
Pakaian wanita muslimah menanamkan tradisi yang universal dan fundamental untuk mencegah kemerosotan moral dengan menutup pergaulan bebas. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Fuad M. Facruddin yang mengatakan bahwa busana yang dikenakan seorang muslimah bukan hanya menutup badan saja, melainkan harus menghilangkan rasa birahi yang menimbulkan syahwat.8 Ada 8(delapan) tata cara dalam menutup Aurat menurut Islam: 1. Pakaian itu mestilah meutup aurat. 2. Pakaian itu tidak terlalu tipis sehingga tampak bayangan tubuh badan dari luar. 3. Pakaian itu tidak ketat atau sempit. 4. Warna pakaian itu suram atau gelap, seperti warna hitam atau kelanu asap. Tujuannya adalah agar lelaki tidak bernafsu melihatnya (terutamanya pakaian seperti jilbab atau abaya). 5. Tidak memakai wangi-wangin, pakaian jangan sekali-kali disemerbakan dengan bau-bauan yang harum, demikian juga tubuh badan wanita itu, karena bau-bauan ini menimbulkan pengaruhnya atas nafsu laki-laki. 6. Tidak seperti pakaian laki-laki, pakaian itu tidak bertashabbuh dengan pakaian laki-laki yakni tiada meniru-niru atau menyerupai pakaian lakilaki.
8
Fuad Mohd. Fachruddin, Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Mata Islam, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1991), cet ke-2, h. 33.
17
7. Pakaian itu tiada bertashabbuh dengan pakaian perempuan-perempuan kafir dan musyrik 8. Pakaian itu bukanlah libasu sh-shuhrah, yakni pakaian untuk bermegahmegahan, untuk menunjuk-nunjuk atau bergaya. Dalam Al-Qur’an Islam telah mengatur tata cara tentang menutup aurat dalam surat Al-A’raf ayat 26 yang berbunyi :
)
)
Artinya: ”Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi, pakaian taqwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat”. (QS. Al-A’raf/7: 26). Dari penjelasan diatas, maka seseorang muslimah harus memakai pakaian yang menutupi seluruh auratnya sesuai dengan ajaran Islam. Apabila wanita muslimah memakai busana secara bebas tanpa memperhatikan etika yang akan menimbulkan konsekuensi yang sangat buruk bagi mereka.
C. Prinsip-Prinsip Berpakaian Muslim dan Muslimah Dalam perkembangannya, busana muslim mau tidak mau harus mengikuti mode dari zaman ke zaman, busana muslim bisa selalu Survive ditengah-tengah
18
masyarakat yang selalu gandrung terhadap mode yang sedang age-trend namannya. Dengan demikian, busana muslim tidak akan hilang "eksistensinya" selama ia bisa menyesuaikan dengan zaman. Berkembangnya zaman akan mengakibatkan pada berkembangnya mode termasuk busana muslim. Namun demikian tentunya busana muslim yang berusaha menyesuaikan dengan zamannya tetap harus berada pada prinsip-prinsip yang berlaku sesuai dengan urutan Islam yang notabene berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Adapun prinsip-prinsip yang ditentukan dalam tuntunan Islam antara lain:9 1)
Prinsip Pemotongan Kain yang Akan di Jahit Dimaksud dengan pemotongan kain (pola) busana tersebut adalah menjahit (pembuatan busana). Jaitan busana seorang wanita, harus sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Islam dibidang penjahitan busana tersebut, kemudian mengenai pakaiannya pada badan semua harus memperhatikan kriteria-kriteria dibawah ini : a)
Busana harus menyelubungi seluruh badan Hal diatas dimaksudkan agar pakaian yang dipakai dapat menutupi seluruh badan kecuali telapak tangan dan wajah.10Hal ini karena Islam lebih menitik beratkan busana sebagai penutup, bukan
9
Syaik Abdullah Shahih al-Fauzan, (1995) cet, ke-1, h. 15. 10
Kriteria Busana Muslimah (Jakarta:Khazana Shun,
Husein Shabah, Jilbab Menurut al-quran dan as-Sunnah, h. 51.
19
sebagai hiasan. Bila menampakkan perhiasan merupakan larangan, maka dalam hal ini menampakkan letak-letaknya lebih dilarang, dan seandainya tidak dikenakan busana tentu tampaklah letak-letak perhiasan, berupa dada, kedua telapak kaki dan betis. Oleh karena itu seharusnya seorang wanita mengenakan celana yang menutupi betisnya ataupun dua kaos kaki yang menutupi kedua kakinya. b)
Busana tidak ketat yang dapat membentuk tubuh. Pakaian yang ketat akan membentuk postur tubuh wanita ataupun sebagainya. Wanita yang mengenakan pakaian ketat sehingga dapat membentuk potongan-potongan postur tubuhnya dan keluar pada perkumpulan-perkumpulan
kaum
laki-laki,
maka
busana
itu
dikhawatirkan termasuk kategori diantara pakaian-pakaian telanjang. Termasuk dalam pengertian pakaian telanjang adalah seorang wanita yang mengenakan pakaian yang ketat yang tampak jelas lekuklekuk dan bentuk asli tubuhnya. Tidak diragukan lagi bahwa busana tersebut termasuk dalam kategori pakaian telanjang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. c)
Busana Wanita Tidak Menyerupai Busana Laki-Laki Tidak diragukan lagi bahwa salah seorang diantara dua jenis menyerupai pada jenis lainnya adalah menyimpang dari fisik, serta sebagai bukti bahwa secara Islam tidak normal lagi. Penyerupaan
20
adalah penyakit yang tidak bisa diobati yang tertransfer ke dalam budaya kita sebagai konsekuensi dari ikut-ikutan gaya Barat. Hal ini merupakan hal yang dilarang agama. d)
Tidak Menyerupai Wanita Kafir Sekarang ini, banyak wanita muslimah yang merancang busananya dengan pola yang bertentangan dengan ketentuan syar'a dan norma-normanya dibidang busana. Berdasarkan realita yang muncul dewasa ini yang popular disebut dengan "mode” dimana ia mengalami perkembangan dan perubahan setiap hari dari yang buruk hingga yang lebih buruk. Bentuk-bentuk busana wanita dewasa ini sudah tidak sesuai lagi dengan ajaran-ajaran Islam dan sama sekali tidak pernah dikenal dikalangan wanita-wanita muslimah. Hal ini terbukti dengan banyaknya pakaian-pakaian yang apabila dipakai wanita, maka aurat wanita si pemakai akan terlihat dengan jelas. Tujuan wanita dilarang menyerupai dengan orang-orang kafir, diantaranya adalah penyerupaan dengan mereka dalam berbusana.
2)
Prinsip yang berhubungan dengan corak (bentuk) busana Adapun kriteria-kriteria corak busana muslimah antara lain sebagai berikut:11 a)
Tidak menjadikan busana sebagai perhiasan pada dirinya Maksud dari busana tersebut adalah pakaian yang tampak.
11
Syaik Abdullah, Kriteria Busana,,, h. 21-25.
21
Seorang wanita muslimah dilarang memakai pakaian dari sejumlah pakaian, bilamana pakaian-pakaian itu merupakan pakaian tembus pandang sebagaimana dalam pengertian secara umum. b)
Busana tidak tipis yang masih memperlihatkan bentuk aurat yang berada dibaliknya. Hal ini sesuai dengan tujuan berbusana yaitu menutup. Tujuan tersebut tidak akan tercapai kecuali dengan busana yang tebal. Karena busana yang tipis itu bukan merupakan busana menurut pandangan Islam.
c)
Busana tidak bercorak glamour Dilarang bagi seorang wanita muslimah memilih berbagai corak pakaian yang hanya menuruti tuntutan kesenangannya dan sama sekali tidak ada relevansinya dengan prinsip-prinsip busana, tidak lain bertujuan untuk menghilangkan pandangan kaum laki-laki kepadanya.
d)
Tidak diberi wewangian atau parfum yang menimbulkan syahwat Hal ini dilarang karena parfum dikhawatirkan membangkitkan nafsu birahi. Para ulama bahkan mengikut yang semakna dengannya sebagai pakaian indah, perhiasan yang tampak dan megah serta bercampur baru dengan laki-laki.12
12
Abu al-Ghifari, Kudung Gaul. Berjilbablah Tapi Telanjang. (Bandung: Mujahid, 2002)cet. Ke2, h. 62-63.
22
D. Fungsi Berpakaian Muslim dan Muslimah Fungsi utama pakaian adalah untuk menutupi aurat, yaitu bagian tubuh yang tidak boleh dilihat oleh orang lain kecuali yang dihalalkan dalam agama. Dan dianjurkan untuk berpakaian terbaik yang dimilikinya dengan tidak berlebihan. Semakin dinamisnya budaya peradaban manusia, maka terciptalah busana yang beraneka ragam motif dan mode. Busana dikenakan manusia tidak begitu saja tercipta dan terpakai tanpa adanya pemikiran tentang fungsi dan tujuan dari berbusana tersebut. Secara umum fungsi mengapa manusia menggunakan busana adalah :13 1. Memenuhi syarat peradaban sehingga tidak menyinggung rasa kesusilaan. 2. Memenuhi syarat kesehatan, yaitu melindungi badan dari gangguan luar, seperti panas, hujan, angin dan lain-lain. 3. Memenuhi keindahan. 4. Menutupi segala kekurangan yang ada pada tubuh kita. Dari sudut sosiologis, busana muslimah berfungsi sebagai :14 1. Menjauhkan wanita dari pergaulan laki-laki. 2. Membedakan wanita yang berakhlak mulia dengan wanita berakhlak hina. 3. Mencegah timbulnya fitnah dari laki-laki.
13
Labib Mz, Wanita dan Jilbab (Gresik: CV. Bulan Bintang, 1999), cet. Ke 1, h. 115.
14
M. Thalik, Analisa dalam Bimbingan Islam, (Surabaya: al-ikhlas, 1987) h. 23.
23
4. Memelihara kesucian agama wanita yang bersangkutan. Menurut Istadiyanto, fungsi busana muslimah Pertama membentuk pola sikap atau akhlak yang luhur dalam diri remaja sebagai pencegah terhadap dorongan melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran syariat. Kedua mencegah orang lain untuk berbuat sewenang-wenang terhadap si pemakai.15 Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menyebutkan beberapa fungsi busana yaitu:16 1. Sebagai penutup aurat. 2. Sebagai perhiasan, yaitu untuk penambah rasa estetika dalam berbusana. 3. Sebagai perlindungan diri dari gangguan luar, seperti panas terik matahari, udara dingin dan sebagainya. Menurut M. Quraish Shihab, selain tiga hal diatas, busana juga mempunyai fungsi sebagai petunjuk identitas dan pembela antara seseorang dengan orang lain,17sebagian ulama bahkan menyatakan fungsi busana yang lainnya adalah fungsi takwa dalam arti busana dapat menghindarkan seseorang terjerumus dalam bencana dan kesulitan, baik bencana duniawi maupun ukhwawi.18
15
lstadiyanto, Hikmah Jilbab dan Pembinaan Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1998), h. 23.
16
Nina Surtiretna, Anggun,,, h. 15.
17
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung: Mizan 1998), cet. Ke-13, h. 279. 18
Quraish, Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah, h. 161.
24
Dari beberapa fungsi busana yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa fungsi busana muslimah adalah sebagai petunjuk identitas, penutup aurat, pelindung diri dan sebagai pakaian takwa. Oleh karena itu Allah SWT memerintahkan kepada kaum wanita untuk memakai busana sesuai dengan ajaran Islam, yakni menutup aurat (berbusana muslimah).
BAB III PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2005 DI KABUPATEN PESISIR SELATAN
A. Peraturan Daerah Sistem Pemerintahan Daerah yang berlaku, menempatkan kepala daerah sekaligus sebagai pimpinan daerah otonom dan perwakilan pemerintah pusat di dalam lingkungan pemerintahan daerah dan disebut kepala wilayah. Maka pada tingkat daerah ini dikenal ada 2(dua) macam peraturan perundang-undangan yang mempunyai sifat mengatur, yaitu Peraturan Daerah (selanjutnya disebut perda) dan Keputusan Kepala Daerah.1 Perda dan keputusan Kepala Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk menyelenggarakan Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah adalah satuan Pemerintah teritorial tingkat lebih rendah yang berhak mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintah sebagai urusan-urusan rumah tangga daerah yang bersumber pada otonomi dan tugas pembantuan.2
1
Abdul Latief, Hukum Dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan Daerah, Yogyakarta : UII Pres, 2005. Cet. 1. h. 62 2
UUD 1945 pasal 18, ayat 2: “Pemerintah daerah Propinsi, daerah kabupaten, dan mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. M. Alfan Alfian M. Ed. Bagaimana memenangkan pilkada langsung?. Jakarta: Akbar Tanjung Institute, 2005, Cet. 1. h. 35-36
25
26
Pengertian Perda
1.
Peraturan Daerah adalah Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah atau salah satu unsur Pemerintah Daerah yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan daerah.3 Sedangkan Perda menurut ketetapan MPR tahun 2000 adalah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum diatasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan.4
2.
Landasan Pembuatan Perda Perda merupakan Implementasi sarana demokrasi dan sarana komunikasi
timbal balik antara Perda dan masyarakat. Pembuatan Perda memiliki perbedaan sifat substansi materi sebab muatan Perda dibuat kadang dalam rangka penyelenggaraan otonomi, pembantuan maupun substansi Perda sebagai penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh karena Perda adalah suatu perundang-undangan yang menjadi sarana komunikasi dan demokrasi antara Perda itu sendiri dengan masyarakat, maka sekurang-kurangnya dalam penyusunan Perda harus memiliki 3(tiga) landasan dalam pembuatannya.5 3
Abdul Latief, Hukum Dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan Daerah,,, h. 58
4
TAP MPR NO. III TAHUN 2000, Pasal 3, Ayat 7
5
Syamsul Bachrie, “Keberadaan Peraturan Daerah dan Permasalahannya”, Jurnal Clavia Fakultas Hukum Universitas 45 Makasar, Vol. 5, No. 2, 2004, h. 211
27
1.
Landasana yuridis, yaitu landasan hukum yang menjadi dasar kewenangan pembuatan Perda, apakah kewenangan seseorang penjabat atau badan mempunyai dasar hukum yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau tidak. Dasar yuridis sangat penting dalam pembuatan Perda karena akan menunjukan adanya wewenang pembuat perda, kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur, mengikuti tata cara tertentu, dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya.6 Kalau tidak, maka peraturan Perundang-undangan itu akan batal demi hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.7 Adapun dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah : 1. UUD 45 Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B 2. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah 3. Keputusan Presiden No. 44 tahun 1999 tentang tehnik penyusunan peraturan perundang-undangan, bentuk rancangan undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden 4. Keputusan Mentri Dalam Negri No. 21, 22, 23 dan 24 tahun 2003
6
Tata urut Perundang-undangan Republik Indonesia adalah: (1) UUD 4; (2) Ketetapan MPR RI; (3) Undang-undang. (4) Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang (Perpu); (5) Peraturan Pemerintah; (6) Keputusan Presiden; (7) Peraturan Daerah. 7
Abdul Latief, Hukum Dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan Daerah,,, h. 54-56
28
5. Tata Tertip DPRD Propinsi Kabupaten/Kota8 6. UU NO. 23 tahun 2004 7. UU No. 10 tahun 20049 2.
Landasan Sosiologis (Sosiologische Gronsleg). Suatu Perda dikatakan mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Hal ini berarti bahwa Perda yang dibuat harus dipahami oleh masyarakat, sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat yang bersangkutan. Pada perinsipnya yang dibentuk harus sesuai dengan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat, dan jika tidak sesuai dengan tata nilai, keyakinan dan kesadaran masyarakat tidak akan ada artinya. Tidak mungkin dapat diterapkan karena tidak ditaati dan dipatuhi.
3.
Landasan Filosofis (Filosofische Gronngslag). Pandangan hidup suatu bangsa tiada lain berisi nilai-nilai moral dan etika yang pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan tidak baik. Nilai yang baik adalah pandangan dan cita-cita yang dijunjung tinggi dari suatu daerah tertentu. Didalamnya ada nilai kebenaran, keadilan, kesusilaan dan berbagai nilai lainnya yang dianggap baik.
8
Peraturan Daerah dan Permasalahannya, website, http:// www.iri-indonesia.org/ 21 februari tahun 2006 9
Abdul Latief, Hukum Dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan Daerah,,, h. 59
29
Perda dikatakan mempunyai nilai filosofis apabila rumusnya atau normanya mendapat pembenaran, dikaji secara filosofis. Jadi, ia mempunyai alasan yang dapat dibenarkan apabila sejalan dengan nilai-nilai yang baik.10
Muatan dan Mekanisme Penyusunan Perda
3.
Peraturan Daerah sebagai peraturan perundang-undangan ditingkat daerah untuk menyelenggarakan Pemerintah Daerah dibidang urusan rumah tangga daerah berdasarkan asas desentralisasi dan asas pembantuan.11 Jadi pada perinsipnya Perda dibentuk untuk; Pertama, dalam rangka penyelenggaraan otonomi,12 tugas pembatuan dan penjabaran lebih lanjut peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Kedua, Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentinggian umum, perda lain dan peraturan perundang-undangan yang lain.13 Sedangkan mekanisme penyusunan Perda dapat dilihat dalam penjelasan umun UU No. 32 tahun 2004 yang menyebutkan bahwa kewenangan yang ada
10
Syamsul Bachrie, “Keberadaan Peraturan Daerah dan Permasalahannya”, Jurnal Clavia Fakultas Hukum Universitas 45 Makasar,, h. 218-219 11
Abdul Latief, Hukum Dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan Daerah,,, h. 148
12
Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999 disebutkan: Kewenangan Daerah mencakaup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negri, pertahanan keamanan, pengadilan, moneter, fiskal, Agama, serta kewenangan bidang lainya. Penjelasan ayat ini berbunyi antara lain: khusus bidang keagamaan sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh Pemerintah Kepala Daerah sebagai upaya keikut sertaan daerah dalam menumbuhkembangkankehidupan beragama. 13
Syamsul Bachrie, “Keberadaan Peraturan Daerah dan Permasalahannya”, Jurnal Clavia Fakultas Hukum Universitas 45 Makasar,, h. 220-222
30
pada Kepala Daerah dan DPRD mangandung pengertian bahwa pembentukan peraturan daerah dilakukan bersama-sama. Inisiatif pembentukan Perda dapat dilakukan Kepada Daerah atau DPRD.14 Rancangan Perda baik hasil prakarsa Kepala Daerah maupun prakarsa DPRD, harus melalui beberapa tahapan pembahasan dalam lingkup DPRD,15 sampai pengambilan keputusan persetujuan DPRD terhadap rancangan Perda tersebut. Pembahasan di DPRD biasanya diformat dengan tahapan pengantar eksekutif pada sidang paripurna Dewan, pemandangan umum fraksi, pembahasan dalam PANSUS, catatan akhir fraksi, persetujuan anggota DPRD terhadap draf raperda yang kemudian disampaikan kembali oleh pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan sebagai Perda. Penandatanganan Perda yang sudah disetujui dilakukan oleh Kepala Daerah dan ditandatangani serta pimpinan DPRD.16 Dalam konsep hukum, Perda tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum materil terhadap pihak yang menyetujuinya sejak ditandatangani. Oleh sebab itu rumusan hukum yang ada dalam raperda tersebut sudak tidak dapat diganti secara sepihak.
14
UU No. 32 tahun 2004, Pasal 140 ayat (1) menyebutkan Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD, gubernur, atau Bupati/Walikota. 15
UU No. 10 tahun 2004, Pasal 10 ayat (11-14)
16
UU No. 5 tahun 1974, Pasal 44 ayat (22)
31
Pengundangan dalam lembaran Daerah adalah tahapan yang harus dilalui agar raperda mempunyai kekuatan hukum yang memikat kepada publik. Dalam konsep hukum, maka draf raperda sudah menjadi Perda yang berkekuatan hukum formal dan sudah dapat diterapkan.17
B. Otonomi Daerah Menurut sejarahnya, otonomi daerh dalam sistem kenegaraan di Indonesia telah mengalami perkembangan yang secara konstitusional merupakan amanat pasal 1 dan 18 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang No 22 Tahun 1999 yang kemudian di amandemen menjadi Undang-Undang No 32 Tahun 2004. Berdasarkan Undang-Undang ini, otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyrakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan kesatuan Republik Indonesia.18
17
Peraturan Daerah dan Permasalahannya, website, http:// www.iri-indonesia.org/ 21 februari tahun 2006 18
158
Masykuri Abdillah, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta : Renaisan, 2005), h.
32
Otonomi daerah diharapkan dapat menciptakan keseimbangan antara pusat dan daerah dalam aspek politik, ekonomi, sosial-budaya. Tidak heran mengapa sebagian besar masyarakat meresponnya secara positif sekaligus banyak berharap pada keputusan politik ini demi masa depan mereka yang lebih baik. Tentu ada juga
kelompok
masyarakat
yang
menggunakan
momen
ini
untuk
memperjuangkan kepentingan dan aspirasi polotik mereka.19 UU No. 22 Tahun 1999 menyerahkan setidaknya 11 kewenangan pusat kepada pemerintah daerah, yaitu bidang pertahanan, pertanian pendidikan dan kebudayaan, tenaga kerja, kesehatan, lingkungan, pekerjaan umum, transportasi, perdagangan dan industri, investasi modal dan koperasi. Ada lima(5) bidang yang tetap menjadi wewenang pemerintah pusat, yaitu bidang politik luar negeri, pertanahan dan keamanan, peradilan dan kebijakan moneter dan fiscal, serta Agama. Dalam Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa proses legislasi dalam bentuk perda tidak lagi disahkan oleh Pemerintah Pusat asal tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 juga diadopsi kembali asas umum penyelenggaraan negara yaitu: asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas 19
Sulis Syakhsiyah Annisa, Perda Wajib Berbusana Muslim di Sijunjung, website, http:// Syakhsiyah.wordprees.com/2009/09/18/64/, tanggal 21 April 2001
33
efektivitas. Pencantuman kembali asas-asas umum penyelenggaraan Negara di dalam Undang-Undang ini tidak lain ingin mengadopsi konsep good governance dalam kebijakan desentralisasi dan penyelenggaraan otonimi daerah.20 Adapaun prinsip dan asas yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah adalah: a.
Prinsip otonomi daerah adalah menggunakan prinsip ekonomi seluasluasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan Pemerintah diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Sejalan dengan perinsip tersebut dilaksanakan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi yang nyata adalah untuk menangani urusan Pemerintah dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Adapun yang dimaksud otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud otonomi, yang pada dasarnya untuk meningkatkan kesejahterahan masyarakat. Asas dari otonomi daerah adalah asas desentralisasi, dekonsentrasi dan
b.
tugas pembantuan.
20
Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya, (Jakarta : Djambatan, 2004, h. 107-110.
34
1.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kepala Daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang Pemerintah oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal diwilayah tertentu.
3.
Tugas pembantu adalah penugasan dari Pemerintah Kepada Daerah dan/atau desa dari Pemerintah Provinsi Kepada Desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Setelah
diterapkannya
otonomi
daerah
yang
ditandai
dengan
diberlakukannya Undang-Undang No 20 Tahun 1999 sejak 1 Januari 2001 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang N0 32 Tahun 2004, setiap Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota) diberikan kewenangan yang sangat untuk mengatur dan memerintah daerahnya masing-masing. Peluang yang diberikan oleh kebijakan otonomi daerah itu diterjemahkan beragam oleh daerah. Salah satu “terjamah” yang dipakai adalah dengan membuat beragam peraturan daerah (Perda). Dibeberapa daerah, termasuk Kabupaten Pesisir Selatan terdapat fenomena yang menarik untuk dikaji secara akademik, khusususnya dari perspektif hukum Islam dan hukum. Fenomena tersebut adalah munculnya perda yang mengatur persoalan-persoalan terkait dengan prilaku seseorang dan/atau kelompok di masyarakat, diantaranya adalah
35
perda Kabupaten Pesisir Selatan No 4 Tahun 2005 tentang Berbusana Muslim dan Muslimah yang dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai perda Syariah. 21 Munculnya Perda benuansa syariah demikian munculnya pro dan kontra di masyarakat. Bagi kalangan yang pro, lahirnya perda syariah dianggap sebagai terobosan untuk menjamin ketertiban masyarakat, baik dari sisi hubungan antar individu maupun jaminan moral untuk individu di masyarakat. Bagi kalangan yang kontra, mereka menganggap bahwa perda syariah dinilai berlebihan, bahkan ada yang mengatakan secara terbuka bahwa perda syariah tersebut bertentangan dengan peraturan perudang-undangan yang lebih tinggi.22 Nilai-nilai ajaran dan budaya Islam dalam norma kehidupan sosial cukup berpengaruh dalam kebiasaan dan landasan moral masyarakat, sehingga sering di jadikan standar dalam menilai suatu prilaku masyarakat. Begitu juga dengan Kabupaten Pesisir Selatan yang penduduknya mayoritas muslim sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moral kesopanan sebagai bentuk masyarakat yang melambangkan kondisi masyarakat Pesisir Selatan terbebas dari segala bentuk kemaksiatan.
21
22
Disajikan dari majalah tempo, 14 Mei 2006, h. 29
Sukron Kamil, Syariah Islam dan HAM Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, hak-hak perempuan dan non-Muslim, (Jakarta; CSRS, 2007, h. 116
36
C. Kebijakan Publik Pengertian Kebijakan Publik
1.
Kebijakan Publik merupakan “(wisdom) aturan-aturan yang semestinya dan harus diakui tanpa pandang bulu, mengikat kepada siapapun dengan kebijaksanaan tersebut. Sedangkan kebijakan (policy) adalah suatu ketentuan dari pemimpim yang berbeda dengan aturan yang ada, yang dikenakan kepada seseorang karena adanya alasan yang dapat diterima untuk tidak memberlakukan aturan yang berlaku.”23 Kebijakan Publik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a.
Bukanlah suatu tindakan yang serba kebetulan, melainkan tindakan yang direncanakan.
b.
Terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola yang mengarah kepada tujuan-tujuan tertentu.
c.
Apa yang senyatanya dilakuakn oleh pemerintah dalam bidang-bidang tertentu.
d.
Bisa berbentuk positif dan negatif.
e.
Memiliki daya ikat yang kuat terhadap masyarakat/memiliki daya paksa.
23
Subarsono, A.G. Analisis kebijakan Publik Konsep Teori dan Amplikasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), h. 2
37
Sedangkan dari model Implementasinya, kebijakan publik terdiri dari:24 a.
Implementasi sistem rasional (top down) Menurut
Parson
model,
rasional
ini
berisi
gagasan
bahwa
Implementasi adalah menjadikan orang melakukan apa-apa yang di perintahkan dan mengontrol urutan tahapan dalam sebuah sistem. Beberapa Ahli yang mengembangkan model Implementasi top down adalah sebagai berikut: 1)
Van Meter dan Van Horn Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Dwiyanto (2009),
implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah: aktivitas implementasi dan komunikasi
antar
organisasi,
karakteristik
agen
dan
pelaksanaan/implementor, kondisi ekonomi, sosial dan publik, kecenderungan implementor. 2)
George Edward III Salah satu pendekatan studi implementasi adalah harus dimulai
dengan pernyataan abstrak, seperti; apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan, apakah yang menjadi penghambat utama bagi keberhasilan implementasi kebijakan. Sehingga untuk menjawab 24
Dwiyanto Indiahono, Kebijakan publik, Berbasis Dynamic Policy Analysis (Yogyakarta; Gava Media, 2009), h. 9
38
pertanyaan tersebut Edward III mengusulkan 4(empat) variabel; komunikasih, resourcees atau sumber-sumber, sikap dan struktur birokrasi. 3)
Model Grindle Menurut Grindle implementasi kebijakan ditentukan oleh isi
kebijakan implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan
di
tranformasikan,
barulah
implementasi
kebijakan
dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan mencakup hal-hal sebagai berikut:25 - Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan - Jenis manfaat yang akan dihasilkan - Drajat perubahan yang diinginkan - Pelaksanaan program - Sumber daya yang dikerahkan Sementara itu konteks implementasinya adalah: - Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat - Karakteristik lembaga dan pengusaha - Kepatuhan dan daya tangkap
25
Indiahono, Kebijakan Publik, h. 10-11
39
b.
Implementasi kebijakan bottom up Model dengan implementasi bottom up muncul secara kritik terhadap
model pendekatan rasional atau top down. Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan terhadap model implementasi ini adalah Adam Smith. Menurut Smith dalam Dwiyanto (2009), implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur. Smith memandang proses implementasi kebijakan dari prose kebijakan dari perspektif perubahan sosial dan politik. Dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sarana. Menurut Smith, Implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat faktor: 1)
Idelized policy yaitu pada interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk memandang, mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya.
2)
Target groups yaitu bagian dari policy stakeholders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan.
3)
Impelenting organization yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggungjawab dalam implementasi kebijakan.
40
4)
Environmental factors yaitu unsur-unsur didalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik.26
Kebijakan Pemerintah
2.
Sebuah kebijakan dapat diklasifikasikan kedalam bebera tipologi kebijakan yaitu kebijakan distributive, Kebijakan Regulasi, dan Kebijakan Konstituen.27 Kebijakn-kebijakan tersebut dapat digunakan oleh berbagai lembaga baik organisasi swasta maupun pemerintah, akan tetapi pada umumnya penggunaan istilah kebijakan merujuk kepada kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah bagi warganya atau sering disebut sebagai kebijakan publik. Karenanya kebijakan publik, biasanya, sama dengan kebijakan pemerintah. Di Indonesia, Kebijakan Pemerintah dapat berbentuk tata peraturan perundan-undangan yang dimaksudkan untuk memandu jalanya pelaksanaan kenegraran,
pemerintahan,
perlindungan
masyarakat,
dan
pembangunan.
Sebagaimana perundang-undangan yang berlaku, jenis kebijakan pemerintah berbentuk peraturan perundang-ndangan secara hirarkis adalah meliputi UndangUndang Dasar 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
26
27
Indiahono, Kebijakan Publik, h. 11
Tachjan, Implementasi Kebijakan Publik dalam Konteks Indonesia, (Lemlit UMPAD; 2006), Cet.1 h. 25
41
Presiden, Peraturan Presiden, Intruksi Presiden, Peraturan Keputusan Mentri dan Peraturan Daerah. Peraturan Daerah Sebagai Kebijakan Publik
3.
Peraturan Daerah (Perda) adalah naskah dinas yang berbentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur urusan otonomi daerah dan tugas pembentukan untuk mewujudkan kebijaksanaan baru, melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan menetapkan suatu organisasi dalam lingkungan Pemerintah Daerah yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).28 Keberadaan Perda penting sebab menjadi panduan dalam penentuan kebijakan daerah dan dalam rangka melaksanakan tugas, wewenang, kebijakan, dan tanggungjawabnya. Kebijakan Daerah dalam Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta peraturan daerah lain.29 Peraturan daerah dibuat oleh DPRD bersama-sama Pemerintah Daerah, artinya prakarsa berasal dari DPRD maupun dari Pemerintah Daerah. Khusus peraturan daerah tentang APBD rancangannya disiapkan oleh Pemerintah Daerah yang telah mencakup keuangan DPRD, untuk dibahas bersama DPRD. Peratuaran Daerah dan ketentuan daerah lainnya yang bersifat mengatur diundangkan dengan 28
Winarno, Budi, Teori dan Proses Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Media Presindo, 2002),
29
Tacjhan, Implementasi Kebijakan Publik, (Lemlit UNPAD). 2006: Cet. 1.h. 11
h. 32
42
penempatannya dalam Lembaga Daerah. Peraturan Daerah tertentu yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, perubahan APBD, dan tataruang, akan berlaku jika telah melalui tahapan evaluasi dari Pemerintah Pusat. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan untuk melindungi ketertiban umum, menyelaraskan dan menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan Daerah lainnya, terutama peraturan daerah mengenai pajak daerah dan retribusi daerah.30
30
Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, h. 34
BAB IV TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWAJIBAN BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH DALAM PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2005 DI KABUPATEN PESISIR SELATAN
A. Kewajiban Berbusana Muslim dan Muslimah Menurut Hukum Islam Dalam kehidupan didunia ini, manusia seakan selalu menemukan corak dan mode busana yang selalu berkaitan erat dengan agama, adat istiadat, dan kebudayaan setempat. Karena di setiap tempat memiliki gaya berpakaian yang berbeda-beda. Pakaian yang dikenakan oleh seorang hamba memiliki nilai ibadah di sisi Allah Ta’ala. Dia dan Rasul-Nya telah menetapkan kaidah umum dalam berpakaian, yang intinya adalah menutup aurat seorang hamba. Melalui cara berpakaian, sesungguhnya Allah berkehendak memuliakan manusia sebagai makhluk yang mulia dan sebagai identitas keislaman seseorang.1 Adapun Islam menganggap bahwa pakaian memiliki karakteristik yang sangat jauh dari tujuan ekonomis apalagi yang mengarah pada pelecehan penciptaan makhluk Allah. Karena itu di dalam Islam : 1.
Pakaian dikenakan oleh seorang muslim dan muslimah sebagai ungkapan ketaatan dan ketundukan kepada Allah, karena itu
1
fikih-pakaian muslim dan muslimah, website http:// abu mujahidah/1 januari tahun 2014
43
44
berpakaian seorang muslimmemiliki nilai ibadah. 2.
Kepribadian seseorang ditentukan semata-mata oleh aqliyahnya (bagaimna dia menjadikan ide-ide tertentu untuk pandangan hidupnya) dan nafsiyahnya (dengan tolak ukur apa dan seberapa banyak dia berbuat dalam memenuhi kebutuhan hidup dan melampiaskan nalurinya).
3.
Setiap manusia memiliki kedudukan yang sama, yang membedakan adalah taqwanya.
Adapun pakaian yang dikenakan oleh seseorang muslimah haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1.
Menutup aurat
2.
Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah (pakaian yang terulur langsung dari atas sampai ujung kaki) dan memenuhi kriteria irkha’)
3.
Tidak tembus pandang
4.
Tidak menunjukan bentuk dan lekuk tubuh
5.
Tidak tabarruj (menonjolkan keindahan betuk tubuh, kecantikan dan perhiasan di depan laki-laki non muslim atau didalam kehidupan umum)
6.
Tidak menyerupai pakaian laki-laki
7.
Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir
45
Fungsi utama pakaian adalah untuk menutupi aurat, yaitu bagian tubuh yang tidak boleh dilihat oleh orang lain kecuali yang dihalalkan dalam agama. Dan dianjurkan untuk berpakaian terbaik yang dimilikinya dengan tidak berlebihan. Busana juga berfungsi sebagai penutup tubuh dari cuaca dingin dan panas. Dan karena perkembangan zaman arti berbusana menjadi lebih meluas sebagai pernyataan lambang status pemakaiannya. Seorang muslimah yang telah mengenakan jilbab secara tidak langsung jelas menunjukkan identitasnya yang konsisten terhadap ajaran agama yang dianutnya. Di dalam Al-Quran tidak diharuskan mengenakan busana muslimah ala timur tengah atau asia, karena memang pakaian sifatnya yang universal, sedangkan modenya terserah kepada selera masing-masing pemakai untuk memilih atau menciptakan berbagai kreasi busana, karena berbusana termasuk dari kebudayaan atau kebiasaan suatu bangsa menurut iklim negerinya dan dipengaruhi oleh waktu.2 Indonesia sebagai negara yang sebagian berpenduduk muslim atau menganut ajaran islam, yang menjunjung nilai estetika dalam pergaulan seharihari. Berbusana dalam islam merupakan suatu sistem yang lengkap sesuai fitrah insani karena agama islam menuntut seluruh aspek kehidupan manusia dan
2
Hamka, Membahas Tentang Soal-Soal Islam, (Jakarta: Dhama Caraka, 1985), h. 160-161
46
memberikan pedoman untuk budaya.3 Pemakaian busana muslimah diawali dengan proses pengetahuan tentang busana muslim yang didapat dari hasil interaksi dengan lingkungan, misalnya hubungan keluarga, masyarakat, sekolah, maupun dari media. Pada proses ini manusia memberikan makna dan nilai pada busana muslimah, ini sebagai bentuk simbol keagamaan yang bersumber pada ajaran agama dan memiliki nilai-nilai moral, namun pemberian nilai dan makna pada busana muslimah setiap individu berbeda. Standar berpakaian itu ialah takwa yaitu pemenuhan ketentuan-ketentuan agama. Berbusana muslim dan muslimah merupakan pengamalan akhlak terhadap diri sendiri, menghargai dan menghormati harkat dan martabat dirinya sendiri sebagai makhluk yang mulia. Berikut adalah kaidah umum tentang cara berpakaian yang sesuai dengan ajaran Islam yang mulia: 1.
Pakaian harus menutup aurat, longgar tidak membentuk lekuk tubuh dan tebal tidak memperlihatkan apa yang ada dibaliknya.
2.
Pakaian laki-laki tidak boleh menyerupai pakaian perempuan atau sebaliknya.
3
29
3.
Pakaian tidak merupakan pakaian syuhroh (untuk ketenaran).
4.
Tidak menyerupai pakaian khas orang-orang non-Muslim.
5.
Jangan memakai pakaian bergambar makhluk yang bernyawa.
Syahrul Amin, Menuju Persaingan Pokok Islam. (Yogyakarta: Salahuddin Press, 1983), h.
47
Pakaian wanita muslimah menanamkan tradisi yang universal dan fundamental untuk mencegah kemerosotan moral dengan menutup pergaulan bebas. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Fuad M. Facruddin yang mengatakan bahwa busana yang dikenakan seorang muslimah bukan hanya menutup badan saja, melainkan harus menghilangkan rasa birahi yang menimbulkan syahwat.4 Agama adalah salah satu bentuk konstruk sosial yang dimana Tuhan, ritual, nilai, hierarki, keyakinan dan perilaku religiusitas hanya untuk memperoleh kekuatan kreatif atau menjadi subjek dari kekuatan lain yang lebih ketat dalam dunia sosial.5 Dalam kajian sosiologi, busana muslimah tidak hanya sebagai sarana ibadah yang dianggap sakral tetapi memiliki fungsi-fungsi sosial di antaranya:6 1.
Fungsi identitas Dengan cara ini agama mempengaruhi pengertian individu tentang siapa ia, dan mau apa ia. Dengan demikian manusia yang memakai busana islami mempunyai ciri yang melekat padanya, dan pada akhirnya menjadi nilai identitas keislaman.
4
Fuad Mohd. Fachruddin, Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Mata Islam, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1991), cet ke-2, h. 33
h. 26
5
Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, ed. (Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 267
6
Thomas F.O Dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengantar Awal. (Jakarta: CV. Rajawali, 1985),
48
2.
Fungsi realisasi diri Perubahan yang mendasar dan lebih cepat, khususmya meninggalkan suatu cara tertentu diganti dengan cara hidup yang lain. Fungi pelindung
3.
Dalam islam fungsi pakaian untuk menutupi aurat, tetapi juga sebagai fungsi pelindung dari cuaca dingin dan panas. 4.
Fungsi kontrol sosial Karena kerangka acuan pada agama yang memiliki sanksi-sanksi yang sakral yang didalamnya sifatnya memaksa tetapi sebagai acuan individu dalam menjalani kehidupannya. Penerapan Perda bernuansa Syariah di Kabupaten Pesisir Selatan
merupakan sebuah upaya yang lebih menitik beratkan pada pengalaman rukun Islam dengan sungguh-sungguh baik dan benar tidak lebih dari sekedar usaha untuk mengingatkan masyarakat Islam melaksanakan kewajibanya, seprti shalat lima waktu, zakat, puasa, menghindari perbuatan-perbuatan yang dilarang Agama, maupun undang-undang yang dikeluarkan Pemerintah seperti mabukmabukan, bermain api dengan urusan drugs (narkoba) serta segala sesuatu yang bertentangan dengan Agama dan Hukum.7 Karena didalam Islam terjadi banyak penafsiran tentang masalah batasan aurat, maka Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 4 Tahun
7
Wawancara pribadi dengan Jon Hendra, A.Md
49
2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Pesisir Selatan yang mengatur batasan berpakaian sebagaimana yang terdapat dalam perda tersebut merupakan larangan terhadap tafsir yang berbeda dengan salah satu paham agama (mainstream), sehingga perda tersebut merupakan pemaksaan terhadap paham atau penafsiran tunggal.
B. Implementasi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Kewajiban Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Pesisir Selatan 1.
Implementasi Peraturan Daerah Di Kabupaten Pesisir Selatan Penerapan Perda Syariah di Kabupaten Pesisir Selatan sebuah upaya yang
lebih menitikberatkan pada pengalaman Rukun Islam dengan sungguh-sungguh baik dan benar, tidak lebih dari sebuah usaha untuk meningkatkan masyarakat Islam melaksanakan kewajibanya, seperti Sholat lima waktu, Zakat, Puasa, menghindari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama, maupun undang-undang yang dikeluarkan Pemerintah seperti mabuk-mabukan, bermain api dengan urusan drugs (narkoba) serta segala sesuatu yang bertentangan dengan agama dan hukum. Terjadinya penerapan Perda Syariah di Kabupaten Pesisir Selatan karena dilihat dari mayoritas agama Islam dibandingkan Agama lainnya dan adanya peraturan dari Bupati maka terlaksana perda tersebut. Upaya formalisasi Syariah dibanyak daerah khususnya Kabupaten Pesisir Selatan melalui penerapan perda syariah sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari
50
berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai bagian dari agenda demokratisasi di Indonesia paska runtuhnya orde baru. Otonomi daerh dalam sistem kenegaraan di Indonesia telah mengalami perkembangan yang secara konstitusional merupakan amanat pasal 1 dan 18 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No 5 Tahun 1974 dan UndangUndang No 22 Tahun 1999 yang kemudian diamandemen menjadi UndangUndang No 32 Tahun 2004. Berdasarkan Undang-Undang ini, otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyrakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan kesatuan Republik Indonesia.8 UU No. 22 Tahun 1999 menyerahkan setidaknya 11 kewenangan pusat kepada pemerintah daerah, yaitu bidang pertahanan, pertanian pendidikan dan kebudayaan, tenaga kerja, kesehatan, lingkungan, pekerjaan umum, transportasi, perdagangan dan industri, investasi modal dan koperasi. Ada lima(5) bidang yang tetap menjadi Wewenang Pemerintah Pusat, yaitu bidang politik luar negeri, pertanahan dan keamanan, peradilan dan kebijakan moneter dan fiscal, serta 8
h.158
Masykuri Abdillah, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta : Renaisan, 2005),
51
Agama. Dalam Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa proses legislasi dalam bentuk perda tidak lagi disahkan oleh pemerintah pusat asal tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dari penjelasan diatas bahwa Pemerintah Daerah memiliki wewenang yang sangat luas untuk menjalankan otonomi daerah dan menetapkan peraturan daerah serta peraturan-peraturan lainnya untuk melaksanakan otonomi daerah. Namun perlu diperhatikan juga bahwa ada statemen didalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 18 ayat (5) yaitu: “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”.9 Dengan demikian maka UndangUndang Dasar 1945 menentukan bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan absolut terhadap daerah terutama tentang masalah Agama, melainkan ada batasannya yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian, Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Pesisir
9
Pasal 10. Bandingkan dengan Pasal 7 UU No. 22 tahun 1999. Pada pasal 7 UU No.22 tahun 1999 menyebutkan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam, serta tegnologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
52
Selatan bertentangan dengan spirit pasal 18 ayat (5) UUD 1945 jo. pasal 10 UU No. 32 tahun 2004 yang membatasi kewenangan daerah dalam urusan agama.10 Dalam UU No 32 tahun 2004 Pasal 22 secara jelas juga disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi daerah, daerah berkewajiban menjaga persatuan, kesatuan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pasal 27 juga menyebutkan bahwa kepala daerah berkewajiban memegang teguh dan mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 serta siap mempertahankan dan memelihara kedaulatan NKRI. Jika rumusan ini dipegang teguh oleh seluruh Pemerintah Daerah di Indonesia, maka perda yang bernuansa keagamaan tidak akan keluar dari jalur konstitusi, sebab dalam sebuah negara yang berdasarkan Pancasila, seluruh produk hukumnya harus mengacu dan bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Berbicara tentang HAM yang sudah diataur didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28I ayat 2 yaitu: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”11 Mengandung arti bahwa salah satu hak asasi yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar tahun
10
Latar belakang pemberian wewenang dalam urusan agama oleh pemerintah pusat yang telah diuraikan di atas dapat dijadikan tafsiran terhadap “urusan agama” dalam UU No. 32 Tahun 2004. Memahami peraturan perundang undangan dengan melihat pada sejarah hukum maupun sejarah pembentukannya disebut penafsiran (interpretasi) historis. Lihat Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum; Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta: UII Press, 2006, h. 84-85. 11
Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 28I ayat 2 tentang HAM.
53
1945 adalah hak untuk mendapatkan persamaan bagi seluruh warga negara dalam segala aspek kehidupan tanpa membedakan apapun, baik itu didasarkan pada ras, agama, warna kulit, dan suku bangsa. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya memberikan kebebasan kepada warganya untuk mengikuti suatu paham keagamaan tertentu yang diyakininya, bukan memaksakan terhadap suatu paham keagamaan tertentu.12 Berdasarkan pasal ini, Indonesia merupakan negara netral yang
tidak
membedakan perbedaan ras, agama, warna kulit, maupun suku bangsa. Negara tidak membagi masyarakat beragama menjadi keluarga minoritas dan mayoritas, kesemuanya memperoleh hak yang sama. Kebebasan beragama adalah bagian yang paling penting dari hak-hak sipil. Jadi, kebebasan beragama diletakkan pada tingkat individu, sehingga tidak mengenal istilah minoritas dan mayoritas. Bisa dilihat bahwa Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 di Kabupaten Pesisir Selatan Tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan juga melanggar Hak Asasi Manusia.
2.
Dampak Peraturan Daerah Di Kabupaten Pesisir Selatan Munculnya Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Berpakaian
Muslim dan Muslimah di Kabupaten Pesisir Selatan menimbulkan pro dan kontra
12
Gregorius Sri Nurhartanto, Upaya Memerangi Diskriminasi hak Asasi Manusia. Dalam Ibid., h. 229.
54
di masyarakat. Bagi kalangan yang pro, lahirnya perda syariah dianggap sebagai terobosan untuk menjamin ketertiban masyarakat, baik dari sisi hubungan antar individu maupun jaminan moral untuk individu di masyarakat. Bagi kalangan yang kontra, mereka menganggap bahwa perda syariah dinilai berlebihan, bahkan ada yang mengatakan secara terbuka bahwa perda syariah tersebut bertentangan dengan peraturan perudang-undangan yang lebih tinggi dan juga melanggar Hak Asasi Manusia.13 Begitu juga dari kalangan non-Muslim begitu sangat memiliki dampak karena masyarakat non-Muslim tidak terbiasa memakai pakaian yang lebih tertutup dan itu sangat tidak nyaman sekali bagi mereka, apabila meraka tidak mengikuti Perda tersebut maka mereka bisa terkena sanksi dari pemerinah daerah. Karena sudah ada beberapa kasus pemaksaan seperti di Kabupaten Cianjur seorang non-Muslim yaitu karyawan kantor pos yang dipaksa mengenakan pakaian muslim di kantor stiap hari jumat, seorang guru di sekolah negeri harus memakai pakaian muslimah karena tidak ada keringanan bagi guru untuk tidak memakai pakaian muslimah karena guru lah yang mewajibkan seluruh siswinya unutuk mengenakan jilbab di sekolahnya setiap hari jumat, dan seorang siswi SMA (sekolah menengah keatas), Bagi siswi yang menolak, maka orang tuanya harus mengajukan permohonan dan pernyataan bahwa siswi tersebut adalah non-
13
Sukron Kamil, Syariah Islam dan HAM Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, hak-hak perempuan dan non-Muslim, (Jakarta; CSRS, 2007, h.116
55
Muslim.14 Untuk warga sipil non-Muslim tetap harus bepakai yang sopan tidak boleh memkai pakaian yang memperlihatkan lekuk tubuh mereka apabila mereka ingin melakukan aktifitas di luar rumah. Maka dari itu Peraturan Derah ini sangat meresahkan sekali khususnya dari kalangan non-Muslim, mereka sulit sekali melaksanakan aktifitasnya karena tidak terbiasa memakai pakaian yang sangat tertutup, bahkan terkadang menjadi ejekan dari masyarat lain tentang penampilannya tersebut, bahkan ada yang sampai tidak ingin melakuakan aktifitas keluar rumah akibat ejekan tersebut. Begitu sangat memperihatinkan peristiwa itu bisa terjadi dikalangan masyarakat hanya karena larangan dari Peraturan Dearah tesebut. Disinilah peran pemerintah Daerah sangat penting untuk menanggapi dan berjiwa adil untuk tidak memberatkan salah satu dari masyarakat itu sendiri karena negara ini berpedoman dengan Pancasila. Dari masalah diatas penulis dapat memaparkan bahwa Peraturan Daerah No. 4 tahun 2005 di Kabupaten Pesisir Selatan tentang Berbusana Muslim dan Muslimah sangat bertentangan sekali dengan Undang-undang Dasar 1945 dan melanggar HAM (hak asasi manusia). Karena peraturan yang bernuansa Agama sudah menjadi
Wewenang Pemerintah Pusat, dalam Undang-undang No. 22
Tahun 1999 yaitu: bidang politik luar negeri, pertanahan dan keamanan, peradilan dan kebijakan moneter dan fiscal, serta Agama. 14
Ibit dan Lily Zakiyah munir, “Simbolisasi, Politisasi dan dan kontrol terhadap Perempuan di Aceh” dalam Burhanudin( Ed), Syariat Islam Pandangan Muslim Liberal, Jakarta: JIL, tahun2003, h. 133
56
Dalam UU No 32 tahun 2004 Pasal 22 secara jelas juga disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi daerah, daerah berkewajiban menjaga persatuan, kesatuan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pasal 27 juga menyebutkan bahwa kepala daerah berkewajiban memegang teguh dan mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 serta siap mempertahankan dan memelihara kedaulatan NKRI. Jika rumusan ini dipegang teguh oleh seluruh pemerintah daerah di Indonesia, maka perda-perda yang bernuansa keagamaan tidak akan keluar dari jalur konstitusi, sebab dalam sebuah negara yang berdasarkan Pancasila, seluruh produk hukumnya harus mengacu dan bersumber pada Pancasila dan UUD 1945.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang di kemukakan dalam skripsi ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1.
Munculnya Implementasi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Pesisir Selatan menimbulkan pro dan kontra dimasyarakat. Bagi kalangan yang pro, lahirnya perda syariah dianggap sebagai terobosan untuk menjamin ketertiban masyarakat, baik dari sisi hubungan antar individu maupun jaminan moral untuk individu dimasyarakat. Bagi kalangan yang kontra, mereka menganggap bahwa perda syariah dinilai berlebihan, bahkan ada yang mengatakan secara terbuka bahwa perda syariah tersebut bertentangan dengan peraturan perudangundangan yang lebih tinggi dan juga melanggar Hak Asasi Manusia.
2.
Faktor-Faktor yang mempengaruhi lahirnya Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2005 di Kabupaten Selatan yaitu mayoritasnya Agama Islam dibandingankan non-Muslim, orang yang kuat seprti para Ulama yang ada di Kabupaten Pesisir Selatan, peraturan Bupati Kabupaten Pesisir Selatan dan dukungan dari Masyarakat Islam itu sendiri maka
57
58
terjadinlah Peraturan Daerah berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Pesisisr Selatan.
B. Saran Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian yang dikemukakan diatas, maka dapat diajukan saran sebagai berikut : 1.
Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan kedepannya dapat membuat perda yang lebih baik dan dapat membawa perubahan yang lebih baik lagi untuk mayarakat Kabupaten Pesisir Selatan.
2.
Setiap rancangan perda harus melalui uji publik terlebih dahulu secara terbuka dan tidak sekedar main-main. Harus ada yang diciptakan dari Pemerintah Daerah untuk mendapatkan partisipasi masyarakat dan tidak ada satu pun yang dirugikan.
3.
Kepala Pemerintah Daerah harus lebih baik memecahkan masalahmasalah yang riil terhadapat masyarakat, seperti kemiskinan dari pada merespon usulan penerapan Syariah Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Latief, Hukum Dan Peraturan Kebijaksanaan Pada Pemerintahan Daerah, Yogyakarta : UII Pres, 2005. cet. Ke-1. Abu al-Ghifari, Kudung Gaul. Berjilbablah Tapi Telanjang. (Bandung: Mujahid, 2002). cet. Ke-2. Ahmad Hasan Karzun, “Adab Berpakaian Pemuda Islam” (Jakarta: Darul Falah, 1999), cet. Ke-1. Beryl C. Syamwil, “Akar Sejarah Busana Muslimah Indonesia”, dalam Aswab Machasin (eds), Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa Konsep Estetika. Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya, (Jakarta : Djambatan, 2004). Disajikan dari majalah tempo, 14 Mei tahun 2006. Dwiyanto Indiahono, Kebijakan publik, Berbasis Dynamic Policy Analysis (Yogyakarta; Gava Media, 2009). Fuad Mohd. Fachruddin, Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Mata Islam, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1991), cet ke-2. Gregorius Sri Nurhartanto, Upaya Memerangi Diskriminasi hak Asasi Manusia. Dalam Ibid. Hamka, Membahas Tentang Soal-Soal Islam, (Jakarta: Dhama Caraka, 1985). Huda Khattab, “Buku Pegangan Wanita Islam” (Bandung: Al-Bayan, 1990), cet. Ke2. Husein Shabah, Jilbab Menurut al-quran dan as-Sunnah, (Bandung: Mizan, 2000), cet, ke-10. Husein Shahab, Jilbab menurut Al-Qur’an dan As-sunnah (Jakarta: Mizan, 1983), h.18, juga dalam Istadianta, Hikmah Jilbab dalam Pembinaan Ahklak (Sala: Ramdhani, Tt), h.Baca juga Abu Abdillah Al Mansur, Wanita dalam Quran, (Jakarta Gema Insani Prees, 1986). Ibit dan Lily Zakiyah munir, “Simbolisasi, Politisasi dan dan kontrol terhadap Perempuan di Aceh” dalam Burhanudin( Ed), Syariat Islam Pandangan Muslim Liberal, Jakarta: JIL, tahun 2003. Istadiyanto, Hikmah Jilbab dan Pembinaan Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1998). Labib Mz, Wanita dan Jilbab (Gresik: CV. Bulan Bintang, 1999), cet. Ke-1.
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung: Mizan 1998), cet. Ke-13. M. Thalik, Analisa dalam Bimbingan Islam, (Surabaya: al-ikhlas, 1987). Masykuri Abdillah, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta : Renaisan, 2005). Nina Surtiretna, “Anggun Berjilbab” (Bandung: Al-Bayan, 1995), cet. Ke-2. Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, ed. (Yogyakarta: LkiS, 2000). Quraish Shihab, “Wawasan Al-Quran” (Bandung: Mizan, 1996), cet. Ke-4 Ronny Kountur, Metode Penelitian (Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis). (Jakarta, PPM, 2004), cet. Ke-II. Sitoresmi Prabuningrat, “Gejolak Kebangkitan Busana Muslimah Di Indonesia”, dalam Aswab Machasin (eds), Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa Konsep Estetika, (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996). Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet. Ke-4. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 2010). Subarsono, A.G. Analisis kebijakan Publik Konsep Teori dan Amplikasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005). Sukron Kamil, Syariah Islam dan HAM Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, hak-hak perempuan dan non-Muslim, (Jakarta; CSRS, 2007). Syahrul Amin, Menuju Persaingan Pokok Islam. (Yogyakarta: Salahuddin Press, 1983). Syaik Abdullah Shahih al-Fauzan, Shun, (1995) cet, ke-1.
Kriteria Busana Muslimah (Jakarta:Khazana
Syamsul Bachrie, “Keberadaan Peraturan Daerah dan Permasalahannya”, Jurnal Clavia Fakultas Hukum Universitas 45 Makasar, Vol. 5, No. 2, 2004. Tachjan,
Implementasi Kebijakan Publik dalam Konteks Indonesia, (Lemlit UMPAD; 2006), cet.Ke-1.
Tacjhan, Implementasi Kebijakan Publik, (Lemlit UNPAD). 2006: cet. Ke-1. Thomas F.O Dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengantar Awal. (Jakarta: CV. Rajawali, 1985).
W. J. S. Poerwa Darunuda, “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (Jakarta: Balai Pustaka, 1987). Wawancara pribadi dengan Jon Hendra, A.Md. Winarno, Budi, Teori dan Proses Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Media Presindo, 2002). Peraturan PnerUndang-Undang Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999 disebutkan: Kewenangan Daerah mencakaup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negri, pertahanan keamanan, pengadilan, moneter, fiskal, Agama, serta kewenangan bidang lainya. Penjelasan ayat ini berbunyi antara lain: khusus bidang keagamaan sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh Pemerintah Kepala Daerah sebagai upaya keikut sertaan daerah dalam menumbuhkembangkankehidupan beragama. Latar belakang pemberian wewenang dalam urusan agama oleh pemerintah pusat yang telah diuraikan diatas dapat dijadikan tafsiran terhadap “urusan agama” dalam UU No. 32 Tahun 2004. Memahami peraturan perundang undangan dengan melihat pada sejarah hukum maupun sejarah pembentukannya disebut penafsiran (interpretasi) historis. Lihat Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum; Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta: UII Press, 2006. Pasal 10. Bandingkan dengan Pasal 7 UU No. 22 tahun 1999. Pada pasal 7 UU No.22 tahun 1999 menyebutkan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia,pendayagunaa nsumber daya alam, serta tegnologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional. TAP MPR NO. III TAHUN 2000, Pasal 3, Ayat 7. Tata urut Perundang-undangan Republik Indonesia adalah: (1) UUD 4; (2) Ketetapan MPR RI; (3) Undang-undang. (4) Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang (Perpu); (5) Peraturan Pemerintah; (6) Keputusan Presiden; (7) Peraturan Daerah. Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 28I ayat 2 tentang HAM. UUD 1945 pasal 18, ayat 2: “Pemerintah daerah Propinsi, daerah kabupaten, dan mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan”. M. Alfan Alfian M. Ed. Bagaimana memenangkan pilkada langsung?. Jakarta: Akbar Tanjung Institute, 2005, cet.Ke-1. UU No. 5 tahun 1974, Pasal 44 ayat (22). UU No. 32 tahun 2004, Pasal 140 ayat (1) menyebutkan Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD, gubernur, atau Bupati/Walikota. UU No. 10 tahun 2004, Pasal 10 ayat (11-14). Internet fikih-pakaian muslim dan muslimah, website http:// abu mujahidah/1 januari tahun 2014. Peraturan Daerah dan Permasalahannya, website, http:// www.iri-indonesia.org/ 21 februari tahun 2006. Sulis Syakhsiyah Annisa, Perda Wajib Berbusana Muslim di Sijunjung, website, http:// Syakhsiyah.wordprees.com/2009/09/18/64/, tanggal 21 April 2001.
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR : 04 TAHUN 2005 TENTANG BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH KABUPATEN PESISIR SELATAN “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA” BUPATI PESISIR SELATAN Menimbang : a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undangundang dasar 1945, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. b. bahwa menutup aurat di dalam Islam hukumnya wajib baik di dalam ibadah yang bersifat mahdah (khusus) maupun yang bersifat ammah (umum). c. bahwa sebagai salah satu wujud dari pelaksanaan ajaran agama islam tercermin dari pakaian yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. d. bahwa sesuai dengan kondisi yang ada terhadap pakaian yang dipakai umat islam sebagian besar tidak lagi mencerminkan nilai agama dan budaya serta adat dalam minangkabau. e. bahwa untuk mewujudkan suasana kehidupan masyarakat yang mencerminkan kepribadian muslim dan muslimah di masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan maka, dipandang perlu ditetapkan Peraturan Daerah tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Sumatera Tengah Jis Undang-undang Nomor 21 Drt.Tahun 1957 Jo Undang-undang Nomor 58 Tahun 1958 ; 2. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125) 4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Propinsi / Kabupaten sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara nomor 3952) 5. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden (Lembaga Negara Tahun 1999 Nomor 70). 6. Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 05 tahun 2004 tentang Tiga Pilar Pembangunan. 7. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil
DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN DAN BUPATI PESISIR SELATAN MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR TENTANG BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH
SELATAN
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : a. Daerah adalah Kabupaten Pesisir Selatan; b. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahandaerah; c. Pakaian Muslim dan Muslimah adalah pakaian yang bercirikan islami d. Masyarakat adalah Masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan yang beragama islam berdomisili dan bekerja di Kabupaten Pesisir Selatan BAB II MAKSUD, TUJUAN DAN FUNGSI Bagian Pertama Maksud Pasal 2 Berpakaian Muslim dan Muslimah bagi Masyarakat adalah untuk menggambarkan seseorang atau masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dalam mengamalkan ajaran agama islam. Bagian Kedua Tujuan Pasal 3 Tujuan Berpakaian Muslim dan Muslimah adalah: (1) Membentuk sikap sebagai seseorang Muslim dan Muslimah yang baik dan beraklak mulia. (2) Membiasakan dari berpakaian Muslim dan Muslimah dalam kehidupan seharihari dan demi siarnya agama islam. (3) Menciptakan masyarakat yang mencintai budaya islam dan budaya Minangkabau. (4) Melestarikan nilai-nilai adat dan budaya minang kabau sesuai dengan pitua “ Syarak Mangato Adat Memakai”
Bagian Ketiga Fungsi Pasal 4 Berpakain Muslim dan Muslimah adalah untuk menjaga kehormatan dan sebagai identitas diri umat islam serta budaya adat minang kabau. BAB III KEWAJIBAN DAN PELAKSANAAN Bagian pertama Kewajiban Pasal 5 Setiap karyawan/ karyawati, mahasiswa/mahasiswi dan siswa/siswi Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau Madrasyah Aliyah (MA) serta pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau Madrasyah Tsanawiyah (MTSN) diwajibkan berbusana Muslim dan Muslimah, sedangkan bagi warga masyarakat umum bersifat himbauan/anjuran. Bagian Kedua Pelaksanaan Pasal 6 (1) Berpakaian Muslim dan Muslimah sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 dilaksanakan pada : a. Instansi Pemerintah dan swasta b. Lembaga Pendidikan Sekolah dan Luar Sekolah mulai dari tingkat SLTP/MTS. c. Acara-acara resmi. (2) Bagi masyarakat umum dianjurkan/dihimbau untuk berpakaian Muslim dan Muslimah dalam kehidupan sehari-hari termasuk pada acara hiburan umum. Pasal 7 (1) Ketentuan mengenai pakaian Muslim dan Muslimah bagi karyawan dan karyawati pada Instansi Pemerintah dan Swasta sebagaimana tersebut dalam pasal 6 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut: a. Karyawan 1) Memakai celana panjang 2) Memakai baju lengan panjang/pendek b. Karyawati 1) Memakai baju lengan panjang dan menutupi pinggul 2) Memakai rok atau celana panjang yang menutupi sampai mata kaki. 3) Memakai kerudung yang menutupi rambut, telinga, leher, tengkuk dan dada. (2) Pakaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tembus pandang, dan tidak memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh (tidak ketat). (3) Ketentuan mengenai model pakaian Muslim dan Muslimah diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati.
Pasal 8 (1) Ketentuan memakai pakaian Muslim dan Muslimah bagi siswa dan mahasiswa sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) huruf b adalah sebagai berikut: a. Laki-laki 1) Memakai celana panjang 2) Memakai baju lengan panjang/pendek b. Perempuan 1) Memakai baju lengan panjang dan menutupi pinggul yang dalamnya sampai lutut 2) Memakai rok yang menutupi sampai mata kaki. 3) Memakai kerudung yang menutupi rambut, telinga, leher, tengkuk dan dada. (1) Pakaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tembus pandang, dan tidak memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh (tidak ketat). (2) Ketentuan mengenai model pakaian Muslim dan Muslimah diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati. Pasal 9 Ketentuan memakai pakaian Muslim dan Muslimah pada acara resmi sebagaimana dimaksud pada pasal 6 ayat (1) huruf c, menyesuaikan dengan jenis acara dan ketentuan yang berlaku setempat. BAB IV SANKSI Pasal 10 Setiap pelanggaran terhadap ketentuan peraturan daerah ini dikenakan sanksi sebagai berikut: a. Bagi karyawan/karyawati Instansi Pemerintah dilingkungan pemda Kabupaten Pesisir Selatan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil b. Bagi Siswa dan Mahasiswa dikenakan sanksi secara bertingkat sebagai berikut: 1. Ditegur secara lisan 2. Ditegur secara tertulis 3. Diberitahukan kepada orang tua/wali 4. Tidak dibolehkan mengikuti pelajaran di Sekolah 5. Dikeluarkan/dipindahkan dari sekolah Kabupaten Pesisir Selatan c. Tata cara Pelaksanaan saksi sebagaimana dimaksud pada poin b bagi siswa dan mahasiswa diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati d. Bagi panitia yang menyelenggarakan acara resmi, dikenakan sanksi berupa teguran secara lisan agar panitia menertibkan undangan BAB V PENGAWASAN Pasal 11 Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah ini dilakukan oleh Bupati dan atau pejabat lain yang ditunjuk serta tokoh masyarakat.
BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 12 (1) Peraturan daerah ini ditujukan bagi masyarakat yang beragama islam dan berdomisili atau bekerja di Daerah Kabupaten Pesisir Selatan . (2) Bagi Karyawan/karyawati, mahasiswa/mahasiswi, siswa/siswi dan pelajar serta masyarakat yang tidak beragama islam busananya menyesuaikan dan sopan. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 13 Hal-hal yang belum diatur dalam peraturan ini, Sepanjang pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
mengenai
Pasal 14 Peraturan Daerah ini mulai berlaku efektif 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Pesisir Selatan. Ditetapkan : Painan Pada tanggal: 5 September 2005 BUPATI PESISIR SELATAN
d.t.o
DARIZAL BASIR
Diundangkan di : Painan Pada Tanggal : 5 September 2005 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN
d.t.o
Drs. ADRIL NIP. 010 087 271
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN TAHUN 2005 NOMOR 14 SERI E 2
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR : 04 TAHUN 2005
TENTANG BERPAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH KABUPATEN PESISIR SELATAN I.
PENJELASAN UMUM Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, bahwa penyelenggaraan Otonomi Daerah menetapkan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, dan diantara kewajiban daerah adalah meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat, memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. Dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional dinyatakan Pendidikan Nasional dinyatakan Pendidikan Nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa meningkatkan keimanan dan ketagwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Maka dari itu dengan melihat persoalan krisis akhlak tersebut dipandang dari sisi berpakaian yang dipakai bagi siswa dan generasi muda serta masyarakat dan karyawan/karyawati yang merupakan kekwatiran kita bersama untuk dicarikan jalan keluarnya. Didorong dari kegiatan tersebut dan adanya peluang bagi daerah untuk mengelola rumah tangga sendiri terutama dalam upaya meningkatkan ketentraman dan ketertiban serta kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut maka daerah menyusun rancangan peraturan daerah ini menjadi pendorong kuat untuk mengambil langkah-langkah kongkrit dalam rangka mewajibkan bagi setiap karyawan/karyawati dan siswa/siswi Sekolah lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau Madrasah Aliyah (MA) serta pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan atau Madrasah Tsanawiyah (MTS) diwajibkan berbusana/berpakaian muslim dan muslimah, sedangkan bagi warga masyarakat umum bersifat himbauan.
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 s/d Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 huruf a dan b Cukup jelas Pasal 6 huruf c Berpakaian muslim dan muslimah pada Acara-acara Resmi dimaksud adalah Pada peringatan Hari-hari Besar Islam dan Nasional serta acara-acara resepsi.
Pasal 6 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 7 s/d Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Huruf a s/d c Cukup jelas Pasal 10 Huruf d Bagi Panitia yang dikenakan Sanksi tersebut terhadap yang melanggar ketentuan dalam pasal 9 Pasal 11 s/d Pasal 14 Cukup jelas