Imam Aspuri Kumpulan Cerpen
Cermin & Perempuan Penerbit: Tenar Media
CERMIN & PEREMPUAN Oleh:
Imam Aspuri
Copyright © 2010 by Imam
Aspuri
Penerbit:
Tenar Media Email:
[email protected] Desain Sampul:
IMAS MEDIA Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
Ucapan Terimakasih: Alhamdulillah... demikian pertama-tama yang dapat saya sampaikan, dengan diterbitkannya buku pertama kumpulan cerpen Cermin & Perempuan ini. Berkat kehendakNya apa pun bisa terjadi. Bagiku Bung Komarudin kawan yang menyenangkan, sekaligus sobat bersastra yang berdedikasi tinggi. Ketika saya sedih dia slalu menghiburnya, saya letih bersastra dia slalu memberi „vitamin‟ inspirasi. Orangnya juga konsisten. Mbuh sekarang, soalnya lagi sibuk berbisnis. Kalau sudah kaya raya ingat anak bini ya, eh jangan lupa gue...he he he! Tak lupa buat teman-teman di “scuil kampus” PGSMTP Negeri Purwokerto lulusan 1987 khususon di kelas A1-1, tuh gambarnya di sampul belakang atas dua lagi: Salam kangen slalu ya! Saya sampaikan jua penghargaan yang tak terhingga kepada penerbit Nulis Buku Com atas diterbitkannya buku kumpulan cerpen Cermin & Perempuan ini sebagai buku kumpulan cerpen ke satu yang sudah saya bukukan mulai 1995, dan baru sekarang ini bisa hadir di hadapan pembaca. Mimpi-mimpi indahku kini jadi kenyataan! *** Teristimewa, buat: Istri dan anak-anakku tersayang! *** ** * 2
Kata Pengantar Menulis cerpen bagi saya adalah mereka-reka. Dari yang tidak ada menjadi ada. Ada di sini dari fikiran saya, perenungan saya, atau malah dari sekedar melihat yang orang lain lihat dan dari mendengar yang orang lain dengar, saya olah, yang pada akhirnya, ya itu tadi: mereka-reka! Jadi kalau ada kesamaan kejadian dan tempat yang sama, bukan disengaja namun hanyalah kebetulan saja. Dari Cermin dan Perempuan, seperti judul cerpen saya atau malah isi cerpen yang saya ambil, sekaligus saya jadikan sebagai judul buku kumpulan cerpen saya yang pertama ini, yang memang saya pilih dari cerpen-cerpen yang lain. Terutama pada Perempuan yang saya tampilkan sebagai urutan cerpen ke dua di buku ini tidaklah bermaksud mengedepankan (baik buruknya?) sebuah cerpen namun hanyalah secara kebetulan pula merupakan cerminan sebagaimana, dan sudah barang tentu, cerpen Cermin yang menjadi bagian dari judul buku ke satu kumpulan cerpen ini. Saya memang dalam kondisi masih mereka-reka, termasuk dalam hal penerbitan buku kumpulan cerpen Cermin & Perempuan yang berisi 17 cerpen ini, saya mendamba semoga ada manfaatnya, meski itu hanya sedikit. Sehingga, kritik dan saran yang membangun saya harapkan dari pembaca. Penulis
3
DAFTAR ISI 1. Cermin 2. Perempuan 3. Anak 4. Berlaga Cinta 5. Mencari Cinta di Timor Timur
6. Gerobak 7. Kekasih Mencari Ganti 8. Kursi Malas 9. Multatuli 10. Nur Indriastuti 11. Pulang 12. Ratih 13. Remang Remang Cinta 14. Sang Pengarang 15. Senandung Jatuh Cinta 16. Yang Terjerat 17. Sepucuk Surat Cinta ***
4
Halaman 7 14 26 34 47 57 65 77 87 95 104 117 126 136 146 155 163
CERMIN Pak Supriyanto masuk ke kamar, seusai melakukan lembur berbagai macam pekerjaan di rumah. Istrinya sudah tergolek di kasur. Tertidur. “Jam dua belas malam,” bisiknya, sambil mengangkat pergelangan tangannya. Kemudian Pak Supriyanto mendekati toilet, hendak membasuh muka. “Hah …?!” betapa ia terkejut, ketika menatap kaca di atas toilet itu. Sebab, wajahnya tak tampak di sana! Pak Supriyanto meraba-raba cermin di hadapannya. Tapi masih utuh, tak pecah. Dicobanya berulangkali untuk bercermin, bahkan untuk mempertegas wajahnya ada atau tidak ada di kaca, seluruh lampu di kamar dinyalakannya. Namun, tetap kosong. Aneh! Ia jadi gusar, dan gelisah. Buru-buru Pak Supriyanto membangunkan istrinya. Dioprak-opraknya Maesaroh, istrinya itu yang sudah tertidur pulas. “Pak, ada apa sih? Koq ribut-ribut segala,” gerutu Maesaroh, sambil mengucek-ucek matanya yang masih ngantuk. “Sini …! Pak Supriyanto menggandeng istrinya menuju toilet. Bagai kerbau dicocok hidung, istrinya manut. Menurut. “Lihatlah di cermin,” sambung Pak Supriyanto. “Iya, ada apa?” tanya Maesaroh, tak mengerti.
5
“Wajah saya tak ada di cermin!” kata Pak Supriyanto dengan suara bergetar. “Ah, masa?” ucap istrinya, kaget. “Nah, itu hanya kau yang kelihatan.” “Lha, itu Bapak ada,” timpal Maesaroh. “Mana?” Pak Supriyanto melototkan matanya. “Itu,” Maesaroh menuding ke cermin. “Nggak ada.” “Itu …!” “Jangan main-main!” “Sudahlah tidur! Pukul berapa ini, nanti kesiangan. Besok „kan mau mengurusin proyek. Buat apa mikirin cermin, lagian selama ini Bapak tak pernah bercermin!” omel Maesaroh sembari menuju ke tempat tidur kembali, diikutinya suaminya. Pak Supriyanto pun menghempaskan tubuhnya di sisi istrinya yang mungkur diatas kasur, sedang ia telentang seraya kedua belah tangannya ditekukkan pada lehernya. Galau! Ya, Pak Supriyanto memang tidak pernah bercermin. Di kantornya, ia tebal muka. Meski sebagai pimpinan banyak terjadi kekurangan, dibutakan matanya. Sering dirasani bawahannya, ia tulikan telinganya. Para karyawannya resah, kesejahteraan mereka tidak diperhatikan. Hanya diperas untuk bekerja keras, anggapannya mereka sudah digaji Pemerintah, ya itu bayarannya. Sedang sripilan-sripilan lain ia lumat habis, atau sisa uang anggaran maupun uang cadangan dan dana taktis anggaran tahun lalu yang tak digunakan, ia tilep sendiri, sedang pegawainya cuma gigit jari. Demikian juga hidupnya di lingkungan masyarakat, meski Pak Supriyanto sudah menjadi cibiran tetangga kanan kirinya, ia tak pernah peduli. Yang penting 6
hidupnya senang, dan bertumpuk harta. Penghormatan warga setempat pun hanya bersifat semu, karena mereka takut ia sering menggunakan „kekuatan‟ sebagai arogansinya kekuasaannya. Padahal siapa yang tak tahu sih, kalau Pak Supriyanto dulunya anak tukang sayur yang memelas!? Bagai “buruk muka cermin dibelah” Pak Supriyanto pun yang tak bisa lagi melihat dirinya di kaca menjadi membabi buta. Semua cermin di rumahnya dipecah. Ia jadi stress berat. Terlebih ketika ia hendak berangkat ke kantor, kaca di spion mobil dinasnya juga tak menampakkan wajahnyasaat ia mencoba mengintip dirinya. Bahkan cermin „pengintai‟ suasana di belakang mobil itu blabur! “Setan alas mana yang telah mengerjain ini semua. Sialan!” gerutu Pak Supriyanto sambil turun kembali dari mobil dan menutup pintunya keras-keras disertai tendangan kaki, tapi tak urung kesakitan sendiri. Sambil ngedumel Pak Supriyanto lalu masuk lagi ke rumahnya, dan menelpon karyawannya untuk memanggil supirnya yang biasa menunggu di kantor, menjemput dirinya di rumah. Gara-gara cermin itu membuat Pak Supriyanto kian repot. Ia bertambah senewen. Namun ia tidak ingin mengatakan kepada orang lain atau diketahui siapapun, kecuali istrinya. Ia jadi begitu benci terhadap benda mengkilap yang bisa membuat “kembar” wajahnya itu. Muak. Ia pun jadi sering murung dan lebih banyak mengurung diri, kalau tidak boleh dikatakan nyaris kembali. “Pak, ini mungkin sebagai isyarat Bapak untuk bercermin untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan 7
Yang Maha Esa. Bukankah selama ini Bapak lebih banyak meninggalkan sholat lima waktu, dan tak pernah menyisihkan sebagian hartanya kepada orang-orang yang membutuhkannya. Padahal, harta kita berlimpah ruah,” ujar Maesaroh menasehati suaminya itu. “Tidak mungkin!” sergah Pak Supriyanto.“Ini cuma ulah orang yang iri hati dan berusaha menjatuhkan saya, serta menginginkan mengganti jabatan saya. Bukankah Ibu tahu, kedudukan yang saya pegang ini termasuk tempat yang basah,” tambahnya dengan suara meninggi. Maesaroh terdiam. Ia yang sudah puluhan tahun mendampingi suaminya itu, sudah terlalu mengerti akan wataknya. Kalau punya pendapat, tak bisa diganggu gugat. Ingin menangnya sendiri. Apalagi disertai emosi, seperti sekarang ini sering marah-maranh. Bila mau aman, lebih baik diam. Sedang Pak Supriyanto kemudian pergi, menemui orang pintar. Namun ketika pulang kembali ke rumah, tambah jengkel dan mangkel. Sebab, apa yang dikatakan sang Dukun itu sama seperti omongan istrinya. “Duit melulu … !!!” sewotnya, dengan sumpah serapah. Tiba-tiba Pak Supriyanto jadi teringat main tennis. Bukankah sudah cukup lama tidak main olahraga, bisik hatinya. Kata orang, olahraga juga bisa sebagai rekreasi. Dan daripada sumpek di rumah, begini terus. Kenapa tidak lagi bermain tennis? “Mau olahraga ah,” katanya sambil menuju ke sepeda motornya untuk ditumpangi, seperti yang selama ini ia gunakan ke Lapangan Sirandu. Betapa girangnya Pak Supriyanto ketika Honda yang sedang melaju dinaiki itu, secara tak sengaja, ia bisa 8
melihat kembali wajahnya di spion. Dalam hati ia juga memuji “suhu”nya itu, meski bawel dan macem-macem. “Kemungkinan juga Bapak dibuat orang untuk tidak bisa bercermin, tetapi jangan kuatir, Mbah akan menyingkirkannya,” kata sang Dukun saat ia datang. Saking gembiranya Pak Supriyanto esok harinya berangkat kerja dengan menggunakan Hondanya.Ia memang begitu rindu, wajahnya nongol lagi di kaca. Sangat kangen, menemukan dirinya di cermin. Dan sekarang setelah imitasi dirinya dapat bertahta di kaca pengilon, seakan ia kembali menemukan kepercayaan diri. Ia pun sambil menjalankan sepeda motornya, acap kali melongokkan wajahnya ke kaca spion, sehingga membuat orang di jalan raya yang melihatnya jadi mesem-mesem. Gilakah ia? Kedatangan Pak Supriyanto ke kantor yang tak biasanya itu, juga menjadi tanya besar bagi para pegawainya. “Bapak, saya lihat tadi berangkat hanya menggunakan sepeda motor,” sambut Samsudin, begitu Pak Supriyanto masuk. “Pak Samsudin, jangan sok tahu urusan orang!” makinya. Karuan saja Kasubsi Bagian Proyek itu melengos, hendak kembali duduk di kursinya. Namun urung, karena pimpinan memanggilnya kembali. “He, Pak Samsudin ke sini!” serunya. “Iya, Pak,” Samsudin mendekat. “Laporan Proyek Jalan itu sudah jadi?” “Belum, Pak.” “Nah, urus itu. Pekerjaan sendiri juga belum rampung!” 9
“Tapi, Pak… Bapak meminta besok pagi selesainya.” “Hari ini harus jadi!” perintah Pak Supriyanto. “Ya, Pak,” ucap Samsudin dengan begitu hormat. Pak Supriyanto menghembuskan nafas keras-keras, menahan emosinya. Sekarang Pak Supriyanto selalu berangkat dan pulang kantor naik Astrea Supra-nya itu. Hal itu yang menjadi pembicaraan hangat para pegawainya untuk ngrumpi, sehingga suasana kantor menjadi ramai saat pimpinan tidak ada. Memang sampai kini tidak tahu alasan atasannya, kenapa hanya memakai sepeda motor. Dan pada pokoknya pembicaraan mereka mencemoohkan Pak Supriyanto yang tak lagi menggunakan mobil, dengan tujuan untuk pengiritan. Semua karyawan „kan tahu, pimpinannya itu pelitnya bukan main! Namun Bu Nurlaeli, Bendaharawan itu kena batunya. Sebab, saat sedang grumpi ketahuan Pak Supriyanto yang baru masuk kantor, habis melakukan tugas luar. “Bu Nur, menghadap saya!” serunya. Wanita setengah baya itu gemetar, duduk di hadapan pimpinannya.............
Selamat Melanjutkan/menikmati cerpen ini yang mungkin bisa tuk “cermin”,dan cerpen lain yang tak kalah menarik...!!!
10