III. MODEL EKONOMI KESEIMBANGAN UMUM: TEORI DAN APLIKASINYA
3.1.
Teori Keseimbangan Parsial dan Keseimbangan Umum Konsep keseimbangan dalam studi ekonomi dapat dibedakan atas
keseimbangan parsial (Partial Equilibrium) dan keseimbangan umum (General Equilibrium). Perbedaan kedua konsep ini terutama terletak pada asumsi-asumsi yang melandasinya dan luasan cakupan serta kemampuannya untuk menjelaskan kompleksitas siklus aktivitas suatu perekonomian. Konsep keseimbangan telah diperkenalkan dan dikembangkan oleh ekonom tradisional yang dipelopori Alfred Marshall dengan menggunakan keseimbangan antara permintaan dan penawaran dalam proses pembentukan harga pada suatu pasar produk tertentu. Pada perekonomian pasar yang kompetitif, menurut Quirk dan Saposnik (1995) harga ekuilibrium positif untuk satu produk tertentu akan terjadi jika terdapat harga positif yang menyamakan kuantitas permintaan pasar dengan kuantitas penawaran pasar. Dengan kata lain, harga equilibrium terbentuk dari proses interaksi antara permintaan oleh konsumen dan penawaran oleh produsen. Pada proses pembentukan harga, kuantitas permintaan konsumen dianggap hanya dipengaruhi oleh harga barang itu sendiri dengan mengasumsikan harga barang lainnya (barang substitusi atau barang komplemen) dan pendapatan konsumen tidak berubah. Hal yang sama juga berlaku untuk kuantitas penawaran produsen yang dianggap hanya dipengeruhi oleh harga dengan mengasumsikan harga barang lain, anggaran perusahaan dan teknologi produksi tidak berubah. Atas dasar anggapan ini, maka interaksi antara konsumen dan produsen akan membentuk harga equilibrium yang besarnya sesuai dengan harga yang
83 dikehendaki oleh kedua belah pihak. Tingkat harga yang berada di bawah harga ekuilibrium akan menimbulkan excess demand sehingga mendorong kenaikan harga ke posisi ekuilibrium. Sebaliknya tingkat harga di atas harga ekuilibrium akan menimbulkan excess supply sehinga mendorong turunnya harga ke posisi ekuilibrium. Menggunakan konsep mekanisme pembentukan harga pada perekonomian pasar, keseimbangan parsial mengkaji perilaku individu konsumen dalam mengkonsumsi dan menawarkan faktor-faktor produksi, dan perilaku produsen dalam menggunakan faktor-faktor produksi dan menawarkan output yang dihasilkannya secara terpisah. Pada teori keseimbangan parsial perubahan suatu variabel independen atau guncangan (shock) tertentu seperti pendapatan atau teknologi, efeknya hanya dapat diamati terhadap kuantitas permintaan konsumen atau penawaran produsen untuk komoditas itu sendiri tanpa melihat efeknya terhadap permintaan dan penawaran komoditas lain yang berhubungan dengan komoditas tersebut, serta efeknya terhadap permintaan dan penawaran faktorfaktor produksi. Pendekatan keseimbangan parsial tidak dapat mengukur dampak yang ditimbulkannya terhadap kinerja perekonomian pada tingkat ekonomi makro dan kesejahteraan rumah tangga. Teori keseimbangan parsial tidak mampu merekam saling keterkaitan antar aktivitas ekonomi, yang cenderung semakin komplek dengan
berkembangnya
kegiatan
perekonomian.
Nicholson
(1999)
mengemukakan bahwa model tersebut juga tidak dapat menjelaskan masalah efisiensi dalam skala yang lebih luas dan implikasinya terhadap tingkat kesejahteraan dan distribusi pendapatan pada tingkat rumah tangga yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang memiliki hubungan timbal balik antar berbagai pasar dan institusi ekonomi.
84 Keterbatasan-keterbatasan yang melekat pada model keseimbangan parsial tidak mengurangi manfaatnya dalam analisis ekonomi terutama dalam kedaan tidak adanya pengaruh arus timbal balik atau dimana besaran pengaruh variabel lain terhadap variabel-variabel yang diamati relatif kecil sehingga dapat diabaikan. Model keseimbangan parsial juga berperan untuk menyediakan hasilhasil estimasi koefisien-koefisien elastisitas yng dibutuhkan dalam penyusunan data dasar model ekonomi keseimbangan umum. Kedua model tersebut dapat saling berkomplemen dalam analisis ekonomi, sangat bergantung pada konteks permasalahan dan objek yang akan dianalisis. Jadi, tidak ada pertentangan yang perlu diperdebatkan secara luas diantara kedua pendekatan analisis ekonomi tersebut. Pada suatu perekonomian yang sesungguhnya dalam dunia nyata, diantara konsumen, produsen dan pemasok faktor produksi saling terkait satu dengan yang lainnya.
Konsep keseimbangan parsial tidak mampu menjelaskan fenomena
keterkaitan ini dalam suatu keseimbangan yang menyeluruh di semua pasar ouput dan input secara simultan. Efek perubahan suatu variabel terhadap seluruh aktivitas ekonomi pada tingkat mikro dan agregasinya pada tingkat makro tidak dapat ditangkap oleh model-model keseimbangan parsial. Keterbatasan teori keseimbangan parsial dalam menjelaskan perilaku agen-agen ekonomi dan keterbatasan model-model yang dispesifikasikan dalam mengabstraksikan keadaan perekonomian yang sesungguhnya dalam dunia nyata telah mendorong munculnya teori dan model ekonomi keseimbangan umum yang bersifat lebih kompleks. Formulasi teoretik keberadaan keseimbangan umum telah dimulai sejak pertengahan abad ke-19, antara lain rumusan yang dilakukan Gossen (1854), Jevons (1871), Walras (1874), dan Menger (1871). Analisis keseimbangan umum
85 menurut Soedarsono (1985) menjelaskan mekanisme pencapaian keseimbangan pada semua jenis barang disemua pasar yang tidak hanya berlaku bagi konsumen, tetapi juga bagi produsen. Quirk dan Saposnik (1995) di sisi lain mengemukakan bahwa kerangka analisis keseimbangan umum didasarkan atas teori ekonomi mikro, namun konstruksi modelnya dapat menjembatani ekonomi mikro dan ekonomi makro sehingga dampak perubahan suatu variabel atau kebijakan tertentu terhadap kinerja ekonomi mikro dan ekonomi makro dapat diperoleh secara serentak. Teori keseimbangan umum menjelaskan pasar sebagai suatu sistem yang terdiri atas beberapa macam pasar yang saling terkait antara satu pasar dengan pasar lainnya. Keseimbangan umum terjadi jika permintaan dan penawaran pada masing-masing pasar dalam sistem tersebut berada dalam kondisi keseimbangan secara simultan. Tingkat harga keseimbangan yang terwujud merupakan solusi dari sistem persamaan simultan yang menggambarkan perilaku setiap pelaku ekonomi dan keseimbangan disetiap pasar. Apabila dalam kondisi keseimbangan terjadi gangguan yang mengakibatkan ketidakseimbangan (disequilibrium) pada suatu pasar secara parsial, akan segera dikuti oleh penyesuaian di pasar yang bersangkutan dan selanjutnya terjadi proses penyesuaian di pasar lainnya (simultanneous adjusment) yang membawa perekonomian kembali pada kondisi keseimbangan yang baru secara keseluruhan. 3.2.
Perkembangan Model Ekonomi Keseimbangan Umum Penjabaran teoritik analisis keseimbangan umum seperti yang diuraikan di
atas telah memberikan landasan yang kuat bagi perkembangan model keseimbangan umum teoritis dan terapan. Model keseimbangan umum teoritis lebih banyak memfokuskan perhatiannya pada formulasi teoritik model CGE
86 dalam bentuk persamaan-persamaan matematis yang dimaksudkan untuk membuktikan eksistensi keseimbangan umum dalam suatu perekonomian, tanpa diikuti oleh pengaplikasiannya dalam studi empiris sesuai dengan fenomena ekonomi sesungguhnya yang aktual. Perumusan model matematis ini selanjutnya memberikan landasan bagi penyusunan model keseimbangan umum guna mempelajari perilaku ekonomi yang aktual berdasarkan data dan fakta yang ada dalam suatu perekonomian. 3.2.1. Model Ekonomi Kesimbangan Umum Teoritik Penyusunan model CGE teoritik telah dimulai sekitar setengah abad setelah Gossen (1854), Jevons (1871), Walras (1874-1877) dan Menger (1871) mengemukakan formulasi teoritik mengenai keberadaan keseimbangan umum. Abraham Wald (1930-an) dan Cassel (1930-an) merupakan pioner yang mengawali penyusunan model CGE secara teoritik. Keduanya melakukan studi untuk membuktikan keberadaan suatu keseimbangan statis dalam pasar persaingan sempurna. Berdasarkan suvey literatur yang dilakukannya, Hulu (1997) menjelaskan bahwa pembuktian keseimbangan umum oleh para perumus model teoritik CGE telah dilakukan dengan memformulasikan suatu sistem persamaan simultan versi Walras, walaupun pembuktian eksistensi solusinya masih belum lengkap. Formulasi model keseimbangan umum Wald berisikan dua model produksi dengan koefisien tetap (fixed-cofficient) dan satu model pertukaran (exchange) atau perdagangan murni (pure trade). Pembuktian selanjutnya dilakukan oleh John von Neuman pada tahun 1937 yang berhasil menemukan keberadaan keseimbangan umum dengan solusi tunggal. Dalam studinya, Neuman dapat menentukan tingkat produksi dan harga dalam suatu perekonomian yang mengalami pertumbuhan seragam dimana besarnya tingkat
87 bunga sama dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Temuan Neuman seperti dikemukakan Quirk dan Saposnik (1995) kemudian menjadi landasan bagi perkembangan balanced growth model dan turnpike theorems. John Hicks dan Oscar Lange menyusun model keseimbangan umum versi makroekonomi Keynesian, yaitu perekonomian yang terdiri atas empat pasar (pasar barang, pasar uang, pasar tenaga kerja dan pasar kapital). Solusi keseimbangan umum model ini juga menggunakan asumsi Walras. Fondasi model keseimbangan umum yang lebih kokoh berhasil dibangun oleh Kenneth J. Arrow dan Gerrard Debreu pada tahun 1954 dan Lionel W. McKenzie pada tahun 1959. Pengembangan ketiga model teoritis ini berhasil membuktikan bahwa model keseimbangan umum, secara teoritis “ada, memiliki solusi tunggal, dan stabil”. Pada studi lainnya, pembuktian Arrow dan Debreu dilakukan dengan menggunakan sebuah generalisasi berdasarkan pemikiran teori permainan (game theory) untuk Nash equilibrium yang dimainkan oleh n-individu. Kontribusi terpenting Arrow dan Debreu menurut Myles (2001) adalah pembuktian bahwa ekuilibrium memang ada dalam perekonomian berdasarkan asumsi yang realistis dan penjabaran formal properti kesejahteraan dari suatu kondisi ekuilibrium. Hasil studi Arrow dan Debreu telah memberikan sumbangan yang signifikan terhadap perkembangan model CGE teoritis modern setelah kontribusi besar yang diberikan Walras dari sisi teori keseimbangan umum itu sendiri. David Gale (1955) juga berhasil menemukan keunikan keseimbangan umum dengan menggunakan pendekatan fungsi konsumsi dan fungsi produksi individual. Pada perkembangan selanjutnya, hasil studi keseimbangan umum teoritis yang diformulasikan oleh Arrow, Debreu dan McKenzie disebut sebagai model Computable General Equilibrium (CGE).
88 3.2.2. Model Ekonomi Keseimbangan Umum Terapan Seiring
dengan
perkembangan
pemikiran
dan
perumusan
model
keseimbangan umum teoritik, Wassily W. Leontief memperkenalkan model empiris pertama untuk perekonomian nasional pada tahun 1941. Karya Leontief yang
berjudul
“The
Structure
of
the
American
Economy
1919-29”
mempresentasikan suatu studi input-output klasik yang selanjutnya disebut sebagai model Input-Output (I-O). Model ini mengabstraksikan aktivitas perekonomain dengan suatu matrik atau neraca input output, yang merekam saling keterkaitan atau transaksi antar sektor pada suatu waktu tertentu. Peralatan analisis multi sektoral ini kemudian menjadi landasan dan memberikan kontribusi sangat besar bagi pengembangan model CGE terapan. Pengenalan analisis I-O Leontief selanjutnya menjadi semakin lengkap setelah diperluas dengan model Social Accounting Matrix (SAM). Kerangka kerja SAM menggambarkan arus perputaran pendapatan, susunan terpisah dari neraca produksi, konsumsi dan transaksi dengan negara atau wilayah lain. Penyusunan model ini dipelopori oleh Sir Richard Stone pada tahun 1954 melalui artikelnya yang berjudul “Input-Output and Social Account”. Selanjutnya, seperti yang dijelaskan Santos (2003) dan Jackson et al. (2004) bentuk umum kerangka kerja SAM kemudian digambarkan pertama kali oleh Pyatte dan Thorbecke pada tahun 1976. Pengembangan analisis I-O dan SAM tidak hanya memungkinkan dilakukannya analisis keseimbangan umum yang terintegrasi dari sisi ekonomi makro dan ekonomi mikro, tetapi juga telah memberikan kontribusi yang sangat besar untuk menganalisis dampak kebijakan atau suatu guncangan terhadap kemiskinan dan distribusi pendapatan antar kelompok rumah tangga. Dervis et al. (1982) mengemukakan bahwa kelemahan utama model I-O adalah orientasinya yang terlalu ekstrim ke sisi permintaan dan tidak memuaskan
89 bagi analisis aktivitas perdagangan internasional. Sebagai akibatnya, pada awal tahun 1960-an telah dikembangkan model Liner Programming (LP) yang menyediakan model multi sektoral lainnya dalam analisis ekonomi. Berbeda dengan model I-O yang memformulasikan kendala kesamaan (equality constraint) secara kaku, model LP memperkenalkan suatu fleksibilitas yang besar ke dalam struktur dasar input-output liner dengan memperkenankan kendala ketidaksamaan (inequality cvonstraint) dan memperkenalkan maksimisasi eksplisit fungsi preferensi perencana ke dalam model perencanaan ekonomi yang luas. Formulasi kendala kesamaan yang kaku pada model I-O berarti bahwa suatu sektor yang memiliki sejumlah tertentu peralatan modal terpasang, harus menggunakan seluruhnya untuk memproduksi output. Jika diamati rasio impor terhadap produksi domestik, angkanya menjadi suatu koefisien yang tetap dan tidak ada pilihan endogenus diantara memproduksi atau mengimpor yang dapat disimulasikan dalam model. Sebaliknya, model LP memberikan pilihan endogenus terhadap pemanfaatan kapasitas produksi dan penentuan berapa banyak jumlah suatu barang akan dimpor atau diekspor. Pada tahun 1960, Johansen mengkonstruksi model pertumbuhan multisektor dalam disertasi doktornya yang berjudul “A Multy-Sectoral Study of Economic Growth” yang lebih dikenal sebagai model MSG. Studi ini diformulasikan dalam bentuk model liner simultan tanpa referensi harga bayangan seperti pada model LP. Berdasarkan solusi model diperoleh harga dan kuantitas untuk setiap barang, yang oleh Johansen diidentifikasi sebagai keseimbangan umum. Temuan besar Johansen, sebagaimana dikemukakan oleh Dixson dan Parmenter (1996) diacu dalam Qiang (1997) pada saat ini dianggap sebagai fomulasi model CGE terapan yang pertama di dunia.
90 3.3.
Model Keseimbangan Umum Nasional dan Regional Model CGE terapan dapat dibedakan berdasarkan ruang lingkup
analisisnya atau muatan dimensi waktu dalam sistem persamaannya. Berdasarkan ruang lingkup analisisnya, model CGE dapat dibedakan atas model perekonomian nasional (country) dan model perekonomian wilayah (regional). Model CGE nasional dan regional masing-masing dapat diklasifikasikan lagi menjadi model multi-negara (multy-country) dan model multi-wilayah (multy-region). Model nasional memfokuskan analisis pada perekonomian nasional tunggal, sedangkan model multi-negara menganalisis keterkaitan ekonomi antar negara seperti dampak liberalisasi perdagangan global, kerjasama perdagangan kawasan, migrasi internasional, dan ekploitasi sumber daya alam berkelanjutan dalam skala global. 3.3.1. Model Ekonomi Keseimbangan Umum Nasional Model CGE nasional dikontruksi untuk melihat dampak suatu kebijakan atau guncangan tertentu terhadap aktivitas perekonomian pada tingkat nasional yang mencakup kinerja ekonomi makro, ekonomi sektoral dan distribusi pendapatan menurut kelompok rumah tangga. Model CGE terapan sederhana untuk perekonomian nasional telah digunakan sejak beberapa tahun yang lalu. Jones (1965) diacu dalam Oktaviani (2000) misalnya telah menggunakan model ini untuk menganalisis dampak pajak terhadap distribusi pendapatan dan perubahan efek teknologi terhadap komposisi output dan struktur harga. Model CGE merupakan peralatan metodologi yang memiliki kemampuan tinggi untuk analisis kebijakan dan telah digunakan dalam berbagi bidang ilmu ekonomi, termasuk pembangunan pertanian. Model CGE merupakan instrumen yang tepat untuk menganalisis dampak kebijakan domestik dan guncangan eksternal dalam mana keterkaitan multi-sektoral menjadi bagian penting. Melalui muatan multi-sektor, menurut Plassman dan Tideman (1999) model ini dapat
91 mengatasi masalah agregasi sektoral dan regional dalam analisis perekonomian pada tingkat nasional. Oleh karena itu, penerapan model CGE di berbagai negara baik negara maju maupun NSB berkembang dengan pesat terutama sejak awal tahun 1980-an. Pengembangan model CGE oleh Scarf beserta murid-muridnya dalam awal tahun 1970-an di Amerika Serikat dan pengenalan model ORANI untuk model disagregat perekonomian Australia pada tahun 1977 dapat dipandang sebagai pioner yang mendorong perkembangan sangat pesat dalam penerapan model CGE nasional dan regional di dunia. Sejak diperkenalkan pada tahun 1977, model ORANI telah dikembangkan dan diperbaiki lebih lanjut serta digunakan secara kontinyu untuk analisis kebijakan perekonomian Australia dan diadopsi oleh berbagai negara di dunia. Penerapan model CGE di Indonesia juga berkiblat pada dua kelompok pioner utama yaitu Amerika Utara dan Australia. Model ORANI misalnya telah dikembangkan dan diterapkan dalam analisis dampak berbagai kebijakan di Indonesia. Pengembangan model ORANI-G di Indonesia oleh Witweer (1999) telah melahirkan model Wayang, model INDORANI yang diperkenalkan PAU UGM (2000) dan model INDOV yang dibangun Oktaviani (2000). Model wayang misalnya telah dikembangkan lebih jauh dan diterapkan untuk analisis berbagai kebijakan serta dampaknya terhadap makro ekonomi, sektoral dan kemiskinan. Model INDORANI telah digunakan oleh Abimayu (2000) untuk menganalisis dampak kebijakan subsidi dan perdagangan pertanian terhadap makroekonomi, distribusi dan lingkungan. Model INDOV merupakan model GTAP versi Indonesia yang dikonstruksi untuk menganalisis dampak liberalisasi perdagangan APEC terhadap kinerja makroekonomi Indonesia serta ekonomi sektoral khususnya komoditas pertanian.
92 Model-model turunan yang dihasilkan dari model ORANI seperti ORANIF, ORANIGRD, Wayang, dan INDOV telah dikembangkan lagi lebih jauh dalam berbagai versi dan telah digunakan untuk mempelajari berbagai dampak kebijakan domestik dan guncangan eksternal terhadap kinerja perekonomian Indonesia. Model ORANI-F, Wayang dan INDOF misalnya telah dikombinasikan dan dikembangkan oleh Oktaviani et al. (2006) untuk melihat dampak kenaikan tarif dasar listrik (TDL), tarif impor, dan produktivitas industri unggulan terhadap kinerja sektor industri manufaktur. Melalui penyesuaian data dasarnya, model generasi terbaru MONASH juga telah diaplikasikan oleh Oktaviani et al. (2007) untuk melihat dampak perubahan tarif impor terhadap kinerja ekonomi sektoral khususnya sektor perbankan di Indonesia. 3.3.2. Model Ekonomi Keseimbangan Umum Regional Model CGE regional pada prinsipnya merupakan pengembangan lebih lanjut model CGE nasional. Permasalahan umum yang ditemui dalam pengembangan model CGE regional di NSB adalah keterbatasan data untuk menyediakan berbagai koefisien dan parameter yang dibutuhkan. Permasalahan tersebut terutama berkenaan dengan rendahnya keakuratan data runut waktu (time series) dengan periode waktu yang mencukupi untuk melakukan estimasi model ekonometri, konsistensi data dan perubahan signifikan yang sering terjadi pada setiap regim kebijakan seperti dikemukakan de-Melo (1988). Selain itu, pada NSB data arus perdagangan antar wilayah untuk perekonomian domestik umumnya sangat sulit diperoleh. Model CGE terapan untuk analisis perekonomian pada tingkat regional atau wilayah dapat diklasifikasikan berdasarkan pendekatan yang digunakan untuk merumuskannya, yaitu pendekatan top-down (top-down approach) dan
93 pendekatan bottom-up (buttom-up approach). Unsur top dan up berkenaan dengan tingkat nasional, sedangkan down dan buttom berkenaan dengan wilayah. Kedua pendekatan ini masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Pilihan terhadap salah satu dari kedua pendekatan tersebut dalam penyusunan model CGE regional umumnya merupakan konsekuensi dari keberadaan trade off diantara keinginan untuk mengutamakan kesempurnaan teori atau model dalam mengabstraksikan kondisi perekonomian yang sesungguhnya dalam dunia nyata dan kendala ketersediaan data serta informasi lainnya yang diperlukan untuk membangun data dasarnya. 3.3.2.1. Pendekatan Top-Down Konstruksi model CGE regional dengan menggunakan pendekatan topdown telah dikembangkan sejak tahun 1970-an bersamaan dengan pengembangan model CGE nasional. Melalui pendekatan ini model CGE regional diperoleh dengan mendisagregasi perekonomian nasional ke perekonomian pada tingkat sub nasional atau tingkat wilayah yang lebih rendah. Disagregasi perekonomian nasional ke perekonomian wilayah pada pendekatan ini dapat dilakukan dengan metode hibrida yaitu mengawinkan pendekatan top-down dan bottom-up. Metode ini menurut Dixon dan Rimer (2003) telah diperkenalkan oleh Leontief, Morgan, Polenske, Simpson, dan Tower (1965) atau disingkat metode LMPST, yang mendisagregasi hasil-hasil dari model I-O Amerika Serikat ke dalam 50 wilayah negara bagian. Esensi metode ini adalah mendekomposisi industri pada model nasional kedalam komponen wilayah atau mengalokasikan aktivitas ekonomi nasional ke wilayah secara eksogenus dengan mengasumsikan bahwa masingmsing wilayah memiliki pangsa yang konstan dalam aktivitas ekonomi nasional. Pendekatan top-down memiliki keungulan dalam hal kesederhana teori dan
94 data yang diperlukan. Modifikasi model nasional cukup dilakukan dengan menambah satu blok persamaan ekstensi regional, tidak perlu melakukan modifikasi menyeluruh terhadap sistem persamaan pada model awal. Jadi model CGE regional top-down pada prinsipnya merupakan model CGE nasional yang memiliki ekstensi regional. Dilihat dari sisi keperluan data, pendekan ini menurut Witweer (1999) tidak membutuhkan data arus perdagangan antar wilayah intra domestik. Data ini cukup sulit diperoleh terutama pada tingkat disagregasi wilayah yang lebih rendah seperti tingkat provinsi dan kabupaten. Selain itu, pendekatan
ini
efisien
dalam
penggunaan
kapasitas
komputer
yang
memungkinkan untuk membangun model secara lebih mendetail dengan disagregasi sektoral yang lebih rinci dan cakupan jumlah wilayah yang lebih besar, namun dapat diimplementasikan dan dipecahkan dengan relatif lebih mudah. Dibalik keunggulan tersebut di atas, pendekatan ini juga memiliki keterbatasan. Karakteristik spesifik masing-masing wilayah yang tercakup di dalam model tidak terakomodir ketika melakukan analisis dampak ekonomi. Model hanya dapat menangkap kebijakan yang dilakukan pada tingkat nasional dan dampaknya terhadap kinerja perekonomian di tingkat nasional dan wilayah. Umpan balik dari masing-masing wilayah dari kebijakan tersebut tidak tertangkap dalam model. Pengaruh kedekatan wilayah secara geografis juga terabaikan, walaupun faktor jarak memiliki pengaruh yang cukup besar dalam interaksi aktivitas ekonomi antar wilayah. Model tidak dapat digunakan untuk simulasi guncangan kebijakan spesifik yang dilakukan masing-masing wilayah di sisi penawaran seperti peningkatan pajak atas upah tenaga kerja di suatu wilayah tertentu atau guncangan yang disebabkan oleh peningkatan sewa lahan di wilayah pusat industri.
95 Penyusunan model regional dengan pendekatan top-down menggunakan metode LPMST telah dilakukan dalam pengembangan model ORANI untuk menganalisis efek regional dari guncangan kebijakan nasional atau guncangan sisi permintaan regional pada perekonomian Australia. Metode ini juga telah diadaptasi dan digunakan dalam pengembangan ekstensi regional pada model Wayang versi terbaru. Perekonomian nasional pada model ini didisagregasi ke dalam tiga wilayah kepulauan yaitu Pulau Jawa, Pulau Sumatera dan wilayah kepulauan Indonesia lainnya. Model Wayang dan kombinasinya dengan model INDOV selanjutnya telah dikembangkan lebih jauh untuk kepentingan analisis ekonomi regional di Indonesia. Pengembangan pertama oleh Oktaviani et al. (2005) memuat dua wilayah yaitu Sulawesi Utara dan wilayah lainnya yang digunakan untuk menganalisis dampak industri kelapa di Sulawesi. Pengembangan kedua oleh Oktaviani et al. (2006) dilakukan untuk menganalisis dampak ekonomi makro dan sektoral dari investasi pemerintah dan swasta yang memuat 9 wilayah. Pengembangan selanjutnya dilakukan Oktaviani et al. (2007a) dalam penyusunan model regional dengan 11 wilayah untuk melihat dampak guncangan eksternal terhadap kinerja perekonomian nasional dan daerah. Pengembangan yang memuat 30 provinsi juga telah dilakukan Oktaviani et al. (2007b) untuk melihat dampak peningkatan produktivitas sektoral terhadap kinerja perekonomian nasional dan daerah. 3.3.2.2. Pendekatan Bottom-Up Perekonomian wilayah dalam suatu negara bersifat sangat terbuka, saling terkait dan memungkinkan adanya spill over effect dari suatu kebijakan yang dilakukan wilayah tertentu terhadap wilayah lainnya. Keterkaitan antar wilayah
96 dapat terjadi dalam bentuk arus barang, faktor produksi dan pembayaran antar industri atau antar rumah tangga dari suatu wilayah ke wilayah lainnya. Kondisi ini memerlukan penyusunan model regional dengan pendekatan buttom-up. Istilah buttom-up menurut Dixon dan Rimmer (2003) berarti bahwa pendekatan ini menjelaskan aktivitas ekonomi pada tingkat wilayah dan menciptakan hasil-hasil perekonomian yang lebih luas melalui proses agregasi di tingkat nasional. Pada model regional pendekatan buttom-up, setiap wilayah diperlakukan sebagai suatu kelompok ekonomi perdagangan yang terpisah. Interaksi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya menurut Horridge et al. (2005) dan Partridge dan Rickman (2007) terjadi melalui perdagangan ouput, mobilitas arus faktor primer dan arus pembayaran. Melalui spesifikasi demikian, pembentukan model regional pada pendekatan bottom-up, menghendaki modifikasi yang substansial terhadap sistem persamaan yang terdapat pada model awal atau model nasional. Perilaku agen-agen ekonomi pada tingkat wilayah harus dimasukkan kemodel secara eksplisit. Persamaan inti dalam setiap blok harus memiliki dimensi regional dengan penambahan dua subskrip yaitu source dan destination. Pada sistem persamaan seperti ini, setiap wilayah memiliki model yang berdiri sendiri. Oleh sebab itu, model ini disebut sebagai model CGE dengan banyak wilayah (Multi-region CGE=MRCGE) atau model CGE antar wilayah (Interregional CGE =IRCGE). Struktur teori model CGE regional dengan pendekatan buttom-up sebagian besar sama dengan model CGE multi-negara seperti model GTAP yang dibangun Hertel (1997). Model regional buttom-up dapat dianalogkan sebagai model multinegara tetapi dengan intensitas arus perdagangan dan mobilitas faktor produksi yang lebih tinggi, perubahan pajak dan upah yang terkoordinasi, dan exchange rate yang tetap. Kekuatan model CGE multi-negara menurut Dixon dan Rimmer
97 (2003)
adalah
kapasitasnya
untuk
menjelaskan
efek
kebijakan
yang
mempengaruhi biaya relatif antar negara, sementara kekuatan model CGE multiwilayah
adalah
kapasitasnya
untuk
menjelaskan
efek
kebijakan
yang
mempengaruhi biaya relatif antar wilayah. Model CGE multi-wilayah memiliki keunggulan dalam mempelajari dampak suatu guncangan spesifik wilayah karena operasi model ini berbeda-berbeda sesuai dengan karakteristik perekonomian masing-masing wilayah. Jadi, model ini telah memfasilitasi analisis kebijakan dan guncangan yang berasal dari tingkat wilayah, sesuatu yang tidak mungkin untuk dilakukan dengan model CGE regional top-down. Pada model CGE multi-wilayah buttom-up, perekonomian nasional dan wilayah dapat saling mempengaruhi, yakni umpan balik antara perekonomian nasional dan regional dapat terjadi dalam dua arah. Haddad dan Domingues (2005) menjelaskan, berbeda dengan pendekatan top-down yang mendisagregasi perekonomian nasional ke perekonomian wilayah, pada pendekatan buttom-up, hasil-hasil pada tingkat nasional justeru merupakan agregasi dari hasil-hasil perekonomian di tingkat wilayah. Jadi nilai kekayaan keseluruhan ditingkat perekonomian yang lebih tinggi diperoleh dari penjumlahan hasil-hasil perekonomian di tingkat regional. Melalui pendekatan buttom-up hasil-hasil di tingkat wilayah juga akan konsisten dengan hasil-hasil perekonomian pada tingkat yang lebih luas. Konstruksi model CGE dengan pendekatan buttom-up menghendaki data regional yang lebih komplit. Konstruksi data dasar memerlukan data input-output antar wilayah, data arus perdagangan domestik antar wilayah beserta koefisien elastisitasnya dan parameter-parameter wilayah lainnya yang seringkali hasil estimasi ekonometrinya tidak ditemukan dalam literatur. Konsekuensinya diperlukan data time-series masing-masing wilayah untuk keperluan estimasi
98 dengan menggunakan teknik ekonometri. Kendala ini menyebabkan pendekatan buttom-up menjadi kurang praktis dan relatif lebih sulit untuk diimplementasikan dibanding pendekatan top-down. Selain keperluan data awal arus perdagangan antar wilayah, pendekatan ini menurut Dixon dan Rimmer (2003) juga menghendaki perangkat komputasi berkapasitas sangat besar. Pembentukan dan penerapan model CGE regional dengan pendekatan bottom-up telah dimulai oleh Liew (1984) untuk perekonomian Australia. Model ini dinamakan MRSMAE, memuat delapan negara bagian yang masing-masing agen ekonominya dibentuk sebagai sebuah model terpisah. Menurut Dixon dan Rimmer (2003) model ini merupakan konstruksi CGE bottom-up pertama untuk analisis kebijakan-kebijakan yang relevan. Konstruksi dan penerapan model CGE multi-wilayah dengan pendekatan bottom-up masih sangat terbatas di Indonesia. Model CGE antar wilayah yang dibangun Wuryanto (1996) merupakan upaya penerapan pendekatan bottom-up pertama untuk perekonomian Indonesia. Model ini mendisagregasi perekonomian nasional menjadi dua wilayah besar yaitu Pulau Jawa dan luar Jawa dengan 15 sektor ekonomi, yang di proses dengan menggunakan program GAMS. Pambudi (2005) mengadaptasi model TERM untuk mempelajari strategi wilayah dalam menarik investasi di Indonesia. Model ini dimodifikasi menjadi 26 wilayah provinsi dan 26 sektor ekonomi dan dinamakan model EMERALD. Model TERM juga telah dimodifikasi oleh Horridge dan Witweer (2006) menjadi model INDOTERM yang mendisagregasi perekonomian menjadi dua bagian yaitu Jawa Barat dan wilayah Indonesia lainnya untuk mensimulasi dampak kebijakan impor beras terhadap perekonomian Jawa Barat. Pengembangan dan penerapan pendekatan bottom-up untuk model multiwilayah di Indonesia terkendala oleh keterbatasan data arus perdagangan antar
99 wilayah beserta koefisien elastisitas dan parameter lainnya. Secara teknis, hal ini mungkin dapat diatasi dengan menggunakan koefisien elastisitas dan parameterparameter regional di negara lain. Sebagai negara kepulauan dengan karakteristik geografis dan demografis yang sangat heterogen, dimana kondisi perekonomian antar daerah sangat beragam, cara demikian tidak banyak bermanfaat bagi analisis ekonomi antar wilayah di Indonesia. Penyesuaian database perlu dilakukan secara mendasar, terutama data arus perdagangan antar daerah berserta koefisien elastisitas dan parameternya agar model dapat mengabstraksikan kondisi aktual perekonomian wilayah di Indonesia. Menghadapi terbatasnya data yang tersedia, pendekatan top-down merupakan pilihan yang tepat. Sehubungan dengan permasalah tersebut, studi ini masih menerapkan pendekatan top-down dalam mengembangkan model CGE regional untuk melihat dampak infrastruktur terhadap dinamika ekonomi sektoral, rumah tangga, makro dan regional di Indonesia. 3.4.
Model Keseimbangan Umum Statis dan Dinamis Model Keseimbangan umum dapat juga dibedakan atas model CGE statis
atau model periode tunggal untuk analisis statis komparatif (single-period models for comparative-static analysis) dan model CGE dinamis untuk porkas multiperiode (dynamic models for multi-period forcasting). Pengelompokan ini diadasarkan atas pemuatan unsur waktu dalam model terutama pada variabel tenaga kerja dan stok kapital. Tenaga kerja bertambah dari tahun ke tahun karena pertumbuhan jumlah penduduk, sementara stok kapital meningkat karena berakumulasinya investasi bersih. Penerapan model CGE statis dalam analisis ekonomi sudah mencukupi apabila tujuannya hanya sebatas menganalisis dampak suatu kebijakan terhadap
100 berbagai variabel ekonomi ditingkat makro dan mikro. Apabila penerapan model CGE dimaksudkan untuk mengetahui dampak kebijakan atau keberadaan suatu guncangan dalam beberapa periode ke depan dan melakukan forkas atau prediksi, model statis tidak mencukupi sehingga diperlukan spesifikasi model dinamis. Berdasarkan
periode
optimasi
keputusan,
model
CGE
dinamis
dapat
dikelompokkan menjadi model recursive dynamic dan full dynamic. Identik dengan pengelompokan ini, Cockburn dan Decaluwe (2006) mengklasifikasikan model CGE dinamis menjadi sequential dynamic (recursive) dan inter-temporal dynamic. Model recursive dynamic adalah model CGE dimana keputusan dioptimasi untuk periode tunggal (single periode) dengan solusi bertahap misalnya setiap 2, 3, atau 5 tahunan. Menurut Gomes de Menezes et al. (2006), permasalahan agen-agen ekonomi berhubungan secara berpasangan sepanjang waktu, artinya persoalan saat ini hanya mempengaruhi persoalan besok. Model ini menurut Yang (1999), pada dasarnya merupakan suatu rangkaian model statis yang dipecahkan secara bertahap. Kalibrasi hanya diperkenalkan pada periode awal, nilai variabel-variabel pada periode berikutnya dihitung dalam model dengan mengubah eksogenus dan endogenus. Hasil-hasil pada periode berikutnya dapat diperlakukan sebagai kuantitas dari dampak guncangan yang telah dikalibrasi pada periode awal. Skenario yang dipertimbangkan dalam model CGE dinamis rekursiv merupakan suatu rangkaian keseimbangan tandingan faktual berdasarkan kondisi pada periode awal. Walaupun perubahan pada periode berikutnya dapat didefenisikan sebagai eksogenus atau endogenus, asumsi yang kuat mengenai perubahan endogenus seperti pembentukan kapital sangat diperlukan dalam model ini. Berbeda dengan model CGE dinamis rekursiv, pada model full dynamic keputusan dioptimasi selama beberapa periode (multi-period) dimana solusi dapat
101 dihasilkan dalam bentuk tahunan yang berurutan. Seluruh periode waktu berhubungan satu dengan yang lainnya secara simultan. Cockburn dan Decaluwe (2006) mengemukakan, model didasarkan atas asumsi bahwa agen-agen ekonomi akan berperilaku secara rasional dengan perkiraan yang sempurna terhadap waktu ke depan. Realitas menunjukkan, banyak aktivitas ekonomi sesungguhnya bersifat forward-looking. Keputusan menabung saat ini, secara parsial didasarkan atas ekspektasi tingkat pengembalian kapital dimasa yang akan datang, ketersediaan sumber daya, dan ekspektasi guncangan kebijakan yang mempengaruhi pola konsumsi saat ini. Model CGE recursive dynamic tidak dapat mengakomodasi isyu-isyu ini, sehingga diperlukan spesikasi model CGE full dynamic. Pergerakan waktu dalam model CGE dinamis sangat penting untuk mengetahui jalur transisi dari suatu posisi keseimbangan perekonomian ke posisi keseimbangan lainnya. Analisis statis komparatif menurut de-Menezes et al. (2006) hanya memperhatikan perbandingan dua titik antara keseimbaangan awal dengan keseimbangan baru setelah terjadi suatu perubahan kebijakan atau guncangan. Pada analisis dinamis, dinamika transisi atau proses pergerakan perekonomian secara aktual dari suatu keseimbangan ke keseimbangankeseimbangan lainnya menjadi bagian yang sangat penting terutama untuk memperoleh perkiraan kuantitatif mengenai implikasi kesejahteraan dari suatu paket kebijakan tertentu. Pembentukan model CGE dynamis dilakukan dengan memasukkan unsur waktu dan mekanisme penghubung antar waktu (intertemporal) secara eksplisit ke dalam model. Hooridge et al. (1993) diacu dalam Oktaviani (2000) mengemukakan bahwa dalam jangka panjang terdapat cukup waktu bagi agenagen ekonomi untuk melakukan penyesuaian dalam merespon perubahan suatu kebijakan atau guncangan menuju posisi keseimbangan yang baru. Tingkat
102 pengembalian investasi dalam jangka pendek pada berbagai industri dapat berubah ketika merespon kebijakan atau guncangan lainnya pada tingkat stok kapital yang dipertahankan tetap, namun dalam jangka panjang tingkat pengembalian tersebut harus sama antar industri. Kapital dapat bergerak dari satu industri ke industri lainnya atau dari suatu wilayah ke wilayah lainnya dalam jangka panjang, selagi masih terdapat perbedaan tingkat pengembalian investasi antar industri atau antar wilayah. Berlandaskan paham Neo-klasik, pergerakan kapital tersebut pada akhirnya akan menyamakan tingkat pengembalian kapital antar industri atau antar wilayah. Model recursive dynamic dan full dynamic, keduanya merupakan analisis ekonomi jangka panjang. Model dinamis mendefenisikan jangka panjang dalam hubungannya dengan respon akumulasi misalnya akumulasi stok kapital sepanjang waktu. Analisis statis komparatif mengasumsikan tidak adanya investasi yang dilakukan dan stok kapital berada pada tingkat kondisi awalnya ketika merespon suatu guncangan. Sebaliknya, dalam model dinamis keberadaan investasi yang dispesifikasikan secara eksogenus akan merubah stok kapital agregat yang akan dialokasikan ke berbagai industri oleh model. Posisi keseimbangan jangka panjang akan dicapai pada tingkat stok kapital yang lebih tinggi. Pada berbagai studi, model CGE recursive dynamic masih digunakan secara luas. Model CGE recursive dynamic terutama akan menjadi pilihan dalam kondisi terbatasnya data yang tersedia untuk membentuk model full dynamic. Selain itu, model CGE full-dynamic bersandar pada asumsi-asumsi yang ketat misalnya asumsi perkiraan yang sempurna terhadap masa ke depan oleh agenagen ekonomi dalam merespon perubahan kebijakan atau suatu guncangan, padahal perkiraan masa depan bersifat sangat probabilistik.
103 3.5.
Tinjauan Studi Aplikasi Model Ekonomi Keseimbangan Umum Applikasi model CGE untuk menganalisis dampak perubahan kebijakan
domestik atau guncangan eksternal telah mengalami perkembangan yang sangat pesat di NSB termasuk analisis pada tingkat perekonoimian wilayah. Perkembangan pesat aplikasi model CGE di NSB baik pada tingkat nasional maupun wilayah erat kaitannya dengan implementasi berbagai kebijakan penyesuaian dan reformasi ekonomi (economic reform and adjusment policy) sejak awal tahun 1990-an yang mengarahkan perekonomian NSB pada perekonomian pasar bersaing. Peningkatan peran sektor swasta melalui kebijakan privatisasi sebagai konsekuensi dari liberalisasi perekonomian global telah meningkatkan peran mekanisme pasar sebagai instrumen utama dalam menjalankan aktivitas perekonomian pada hampir seluruh NSB. Pada perekonomian Indonesia, peningkatan peran pasar dalam aktivitas ekonomi telah dimulai sejak dilakukannya kebijakan reformasi ekonomi khususnya perbankan dalam awal tahun 1983 yang berlanjut pada intensitas lebih tinggi ketika memasuki dekade 1990-an bersamaan dengan mencuatnya isyu swastanisasi dan liberalisasi perekonomian di berbagai belahan dunia. Sebagai kelanjutan dari reformasi sektor perbankan dan keuangan, pemerintah bersama otoritas moneter memperkenalkan paket kebijakan Oktober 1988 yang mengawali liberalisasi
penuh
sektor
perbankan
Indonesia.
Kebijakan
ini
telah
mengintegrasikan perbankan Indonesia ke dalam pasar keuangan internasional. Ketika dilanda krisis, kerjasama dengan IMF dalam bentuk penandatanganan Letter of Intern (LoI) telah memaksa Indonesia melakukan kebijakan liberalisasi dan swastanisasi secara lebih intensif. Kebijakan ini semakin memperkuat integrasi perekonomian domestik ke perekonomian global dan meningkatkan lebih jauh peran pasar dalam pelaksanaan aktivitas ekonomi. Sebagai salah satu
104 langkah liberalisasi dan swastanisasi, pihak swasta domestik dan asing bahkan diberikan peluang yang besar-besarnya untuk berpartisipasi dalam penyediaan infrastruktur publik yang sebelumnya tertutup. Peningkatan peran pasar dan pihak swasta dalam aktivitas ekonomi domestik meningkatkan relevansi pengaplikasian berbagai model ekonomi terhadap perekonomian domestik termasuk diantaranya model CGE. Menurut Robinson (1989) analisis dampak ekonomi dengan menggunakan model CGE lebih relevan diaplikasikan pada perekonomian yang kinerjanya cenderung menganut sistem pasar bebas atau peran mekanisme pasar cenderung semakin dominan. Perekembangan model CGE terapan yang cukup pesat, terjadi beriringan dengan aplikasinya dalam berbagai studi ekonomi baik pada analisis perekonomian tingkat nasional dan regional, maupun analisis yang mengaitkan aktivitas perekonomian antar negara seperti model GTAP. Pada studi analisis investasi infrastruktur di NSB, model ini telah diterapkan oleh Rioja (1999), Dumont (2000), Lofgreen dan Robinson (2004), Kim (2000) dan Levy (2007). Rioja (1999) menerapkan pendekatan model keseimbangan umum dinamis untuk melihat dampak infrastruktur publik terhadap tingkat produktivitas dan kesejahteraan sosial di Amerika Latin. Studi ini menemukan bahwa penyediaan sumber tambahan bagi investasi infrastruktur dapat menghasilkan peningkatan GDP dan investasi privat. Penyediaan jalan raya dan fasilitas jaringan telekomunikasi dapat mendorong peningkatan investasi perusahaan swasta karena penggunaan input publik ini dapat meningkatkan produktivitas faktor-faktor produksi privat atau input konvensional. Pada
eksperimen
yang
dilakukan,
Rioja
menetapkan
koefisien
infrastruktur publik sebesar 0.15. Simulasi peningkatan rasio investasi
105 infrastruktur terhadap PDB sebesar 1% menghasilkan kenaikan output sebesar 5.37%, investasi privat naik 4.30% dan kesejahteraan meningkat 4.25%. Hasil studi ini lebih jauh menunjukkan bahwa pada tingkat rasio investasi infrastruktur terhadap PDB di bawah 4% tingkat kesejahteraan akan meningkat, namun rasio di atas 4% justeru akan menurunkan kesejahteraan. Berdasarkan sampel pada tujuh negara Amerika Latin yang diamati, studi ini akhirnya menyarankan bahwa secara rata-rata kesejahteraan maksimum di suatu negara akan dapat diperoleh apabila investasi infrastruktur dialokasikan sekitar 4% dari GDP. Penyediaan infrastruktur pada tingkat yang sangat tinggi justru dapat menimbulkan efek negatif terhadap kesejahteraan. Dumont (2000) menggunakan model keseimbangan umum dinamis rekursiv untuk melihat dampak kebijakan anggaran pemerintah khususnya dalam penyediaan infrastruktur publik terhadap pertumbuhan ekonomi sektoral dan daya saing perekonomian Sinegal. Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah kombinasi fungsi produksi Cobb-Douglas dan model CGE dinamis. Pendekatan fungsi froduksi digunakan untuk menghitung Produktivitas Faktor Total (Total Factor Productivity), dimana variasi nilai TFP yang diperoleh diasumsikan berasal dari peningkatan pengeluaran investasi sektor publik. Pada penerapan model CGE, studi ini menggunakan SAM Sinegal tahun 1990 yang mencakup 13 sektor produksi dan komoditi serta lima agen pelaku ekonomi yaitu pemerintah, perusahaan, rumah tangga perkotaan, rumah tangga perdesaan, dan rest of the world. Studi ini menemukan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah untuk penyediaan infrastruktur publik memberikan dampak yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan kinerja ekspor sektor industri manufaktur dan jasa-jasa dibanding peningkatan pengeluaran konsumtif. Bila dilihat dari sumber
106 pembiayaannya, peningkatan pengeluaran investasi infrastruktur yang dilakukan dengan menurunkan pengeluaran konsumsi pemerintah atau dibiayai dari peningkatan pajak tidak langsung memberikan dampak yang lebih besar dari pada pembiayaan yang dilakukan melalui hutang luar negeri. Dampaknya terhadap kesejahteraan rumah tangga menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran konsumsi pemerintah atau pengeluaran investasi infrastruktur yang dibiayai dari hutang luar negeri justru memberikan dampak yang lebih besar bila dibandingkan dengan peningkatan investasi infrastruktur yang dibiayai dari penurunan pengeluaran konsumsi atau peningkatan tarif pajak tidak langsung. Hal ini terjadi, baik untuk kelompok rumah tangga di daerah perdesaan maupun kelompok rumah tangga di perkotaan. Lofgreen dan Robinson (2004) menggunakan model CGE dinamis rekursif untuk menganalisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Sub-Sahara Afrika. Simulasi dasar menghasilkan peningkatan variabel-variabel makro, termasuk konsumsi rumah tangga
rill
sebesar 1.5-2.0 persen, tetapi tidak memiliki dampak yang cukup berarti terhadap penurunan tingkat kemiskinan. Pada simulasi non-dasar, realokasi pengeluaran pemerintah dari pengeluaran yang tidak produktif ke investasi sektor publik khususnya ke sektor pertanian dapat memperbaiki kinerja perekonomian dan menurunkan kemiskinan. Realokasi 10 persen pengeluaran non-produktif ke investasi publik di sektor pertanian akan menurunkan kemiskinan pada akhir periode sebesar 5 persen. Dampak positif terhadap tingkat kesejahteraan rumah tangga dan penurunan kemiskinan juga dapat terjadi melalui ekspansi pengeluaran pemerintah pada investasi publik yang dibiayai dengan hutang luar negeri. Peningkatan efisiensi melalui penurunan tingkat depresiasi stok kapital publik dampaknya tidak jauh berbeda dari realokasi sumberdaya dari sektor nonproduktif ke investasi publik.
107 Kim (2000) secara khusus memfokuskan perhatiannya pada analisis dampak infrastruktur transportasi di Korea. Studi ini mengkombinasikan pendekatan keseimbangan parsial melalui estimasi fungsi biaya translog dan model CGE rekursiv dinamik. Konstruksi model CGE dalam studi ini mespesifikasikan secara lengkap penawaran dan permintaan untuk ketiga agen ekonomi yaitu produsen, konsumen, dan pemerintah. Berdasarkan model yang dikonstruksi,
hasilnya
menunjukkan
bahwa
peningkatan
rasio
investasi
infrastruktur terhadap GDP sebesar 1 persen dari kondisi awal ternyata dapat mendorong secara signifikan laju pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, peningkatan ekspor, penurunan biaya produksi industri manufaktur, permintaan tenaga kerja, perbaikan distribusi pendapatan dan peningkatan kesejahteraan. Studi ini menyimpulkan, untuk menciptakan efisiensi ekonomi dan keseimbangan wilayah diperlukan peningkatan investasi kapital terutama investasi infrastruktur jalan raya di daerah Honam dan daerah Jungbu yang relatif tertinggal. Levy (2007) melakukan studi terhadap alokasi penerimaan sumberdaya minyak pada investasi publik sebagai cara untuk keluar dari kesulitan yang dihadapi perekonomian negara Chad. Model CGE diterapkan untuk melihat dampak makroekonomi dari investasi pada infrastruktur jalan dan irigasi. Hasil studi ini menunjukkan bahwa peningkatan infrastruktur jalan berdampak positif terhadap output sektoral yang meliputi produksi pertanian, kapas, industri, sektor informal dan komoditas. Dampaknya juga positif terhadap pertumbuhan PDB, konsumsi riil rumah tangga, upah riil total dan upah riil perdesaan walaupun disertai oleh peningkatan laju inflasi. Peningkatan infrastruktur irigasi juga berdampak positif terhadap produksi pertanian, kapas, dan komoditas, tetapi tidak berdampak terhadap produksi sektor industri. Dampaknya bahkan negatif terhadap produksi sektor informal.
108 Pada kasus perekonomian Indonesia, aplikasi pendekatan model keseimbangan umum telah dilakukan oleh beberapa peneliti baik pada tingkat perekonomian nasional maupun tingkat perekonomian wilayah. Walaupun demikian, studi yang secara spesifik menggunakan model CGE untuk melihat dampak investasi infrastruktur ekonomi terhadap kinerja perkonomian Indonesia baik pada tingkat perekonomian nasional maupun regional belum pernah dilakukan. Wuryanto (1996) telah mengaitkan alokasi dana pembangunan infrastruktur terhadap kinerja perekonomian melalui alokasi dana Inpres, namun tekanan studi ini lebih mengarah pada aspek desentralisasi atau sentralisasi dalam hubungan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah. Wuryanto melakukan simulasi untuk melihat dampak perubahan proporsi alokasi transfer dana pembangunan infrastruktur ke daerah khususnya dana Inpres ke Jawa dan luar Jawa dan pembiayaan pembanguan oleh pemerintah daerah sendiri. Berdasarkan studinya, Wuryanto berkesimpulan bahwa desentralisasi sistem fiskal, terutama melalui program INPRES, telah berperan penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional pada tingkat yang lebih tinggi dan menurunkan jumlah pinjaman pemerintah. Studi Wuryanto dilakukan dalam kondisi hubungan fiskal pusat-daerah yang masih bersifat sangat sentralistik. Kekakuan pengalokasian dana pembangunan oleh pemerintah daerah pada era tersebut, diperkirakan memberikan dampak yang relatif terbatas terhadap kinerja perekonomian daerah. Studi Wuryanto belum membagi perekonomian daerah ke dalam sektor yang lebih rinci sehingga dampak alokasi dana pembangunan infrastruktur terhadap sektor-sektor ekonomi yang lebih terperinci sesuai dengan keragaman potensi masing-masing daerah tidak dapat diamati dengan lebih baik. Implikasinya, sektor-sektor prioritas yang akan dikembangkan agar penyediaan infrastruktur dapat memberikan
109 dampak yang optimal terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan regional serta distribusi pendapatan belum dapat ditentukan. 3.6.
Kerangka Pemikiran Masalah penyediaan infrastruktur mencuat kembali dan menjadi agenda
utama pada sebagian besar NSB. Munculnya kembali perhatian terhadap masalah infrastruktur, menurut Estache (2006) erat kaitannya dengan menurunnya kemampuan infrastruktur untuk mendukung perkembangan aktivitas ekonomi dan mengimbangi pertumbuhan penduduk. Kekurangan fasilitas infrastruktur bahkan telah menyebabkan iklim investasi di NSB menjadi kurang kondusif khususnya pada negara-negara berpendapatan rendah. Sebagai respon terhadap kondisi ini, pemerintah NSB kemudian menempatkan isyu peningkatan penyediaan dan perbaikan kualitas infrastruktur sebagai prioritas utama dalam proses dan agenda pembangunan ekonominya. Penyediaan infrastruktur dalam jumlah yang mencukupi dan kualitas yang lebih baik di NSB dihadapkan pada permasalahan besarnya jumlah dana yang diperlukan di satu sisi dan terbatasnya kemampuan keungan negara di sisi yang lain. Potensi penerimaan pajak yang relatif rendah dan beban hutang luar negeri yang tinggi merupakan persoalan utama yang dihadapi kelompok negara ini termasuk Indonesia. Upaya peningkatan partisipasi pihak swasta dalam pembangunan infrastruktur dihadapkan pada beberapa karakteristik yang melekat dalam berbagai jenis infrastruktur, yaitu: besarnya dana investasi diperlukan; lokasinya tidak mudah dipindah-pindahkan setelah direalisasikan; lamanya periode waktu untuk penyelesaian konstruksi, sering di atas lima tahun; panjangnya masa pengembalian investasi, sering di atas 20 tahun; dampak negatif kerusakan lingkungan hidup (environment effects and clearances) yang sering
110 menyertai pembangunan infrastruktur; dan banyaknya hambatan regulasi dari pemerintah, termasuk kontrol tarif (price control). Menurut World Bank (2005), regulasi pemerintah dalam bidang infrastruktur sering berubah-ubah dan pemerintah cenderung mengendalikan tingkat harga output infrastruktur secara ketat. Berkaitan dengan kepentingan politis khususnya melindungi kepentingan konsumen, pemerintah seringkali enggan melakukan penyesuaian harga walaupun biaya produksi telah meningkat. Hal ini menimbulkan kerugian dipihak investor karena rendahnya tingkat pengembalian (rate of return) yang diperoleh dari investasi infrastruktur. Keberadaan karakteristik tersebut dan permasalahan regulasi yang berkaitan dengan penetapan tarif menyebabkan tingginya resiko ketidakpastian investasi yang dihadapi pihak swasta dalam pembiayaan infrastruktur. Penurunan investasi swasta asing dalam penyediaan
infrastruktur tidak semata-mata
disebabkan oleh keterbatasan jumlah dana, tetapi lebih berkaitan dengan banyaknya permasalahan rumit dan kompleks yang harus dihadapi oleh pihak swasta. Persoalan penyediaan infrastruktur di Indonesia menjadi sangat berat karena heterogenitas topografi dan wilayah yang tersebar pada berbagai pulau. Hal tersebut ditambah oleh persoalan jumlah penduduk yang sangat besar dan penyebarannya tidak merata antar wilayah. Kondisi ini tidak hanya menyebabkan beragam dan besarnya kebutuhan infrastruktur antar wilayah, tetapi juga memperumit pola alokasi dana yang jumlahnya terbatas ke berbagai wilayah untuk menyediakan berbagai jenis infrastruktur sesuai dengan kebutuhan masingmasing daerah.
111
Kebutuhan Penyediaan Infrastruktur
Kondisi Tofografi dan Demografi
Sumber Pembiayaan Infrastruktur
Pendanaan Infrastruktur
Kondisi Infrastruktur
Skala prioritas
Investasi Swasta
Investasi Pemerintah
Domestik
Pajak
Asing
Hutang
Jenis infrastruktur (Transprtasi, Pelabuhan, Listrik, Komunikasi, Pengairan, Air Bersih, Pendidikan, dan Kesehatan)
Dampak Ekonomi
Regional
Makro
Sektoral
Distribusi
Pendekatan CGE
Gambar 5. Kerangka Pendekatan Analisis Dampak Investasi Infrastruktur Keterbatasan sumber dana bagi pembiayaan penyediaan infrastruktur di satu sisi dan meningkatnya kebutuhan terhadap berbagai jenis infrastruktur untuk mendukung aktivitas ekonomi di sisi lainnya, telah menimbulkan persoalan yang sangat dilematis bagi perekonomian Indonesia. Infrastruktur merupakan input bagi hampir seluruh aktivitas ekonomi atau penyedia jasa transportasi dan komunikasi yang dapat meningkatkan efisiensi karena menurunnya biaya transaksi. Pada kondisi terbatasnya sumber dana yang tersedia, pengalokasiannya harus dilakukan secara selektif dengan memprioritaskan jenis-jenis infrastruktur yang dapat
112 memberikan dampak terbesar terhadap aktivitas ekonomi sektoral pada tingkat nasional dan regional. Peningkatan laju pertumbuhan ekonomi dengan basis yang lebih luas, perluasan kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan dengan distibusi yang lebih merata yang dihasilkan dari alokasi penyediaan infrastruktur secara lebih tepat akan meningkatkan daya tarik pihak swasta untuk berinvestasi dalam penyediaan infrastruktur dan memperluas basis pajak yang memungkinkan pemerintah meningkatkan penerimaan pajak untuk membiayai penyediaan infrastruktur pada periode berikutnya. Kompleksitas permasalahan penyediaan infrastruktur dan peran sentralnya dalam proses pembangunan, membutuhkan anlisis multi-sektor yang dapat memberikan gambaran mengenai dampaknya pada tingkat ekonomi sektoral, rumah tangga, makro dan regional secara simultan. Pendekatan I-O adalah salah satu model yang dapat digunakan untuk menganalisis dampak ekonomi dari peningkatan pembiayaan penyediaan infrastruktur. Meskipun demikian, model I-O memiliki beberapa keterbatasan dalam penerapannya karena dilandasi oleh asumsi-asumsi yang ketat. Penyusunan suatu model I-O statis bersandar pada tiga asumsi utama: 1.
Keseragaman (homogenity) yaitu prinsip dimana setiap sektor hanya menghasilkan satu output (tunggal) dengan struktur input tunggal yang seragam antar sektor dan tidak ada substitusi otomatis terhadap input dari output yang dihasilkan berbagai sektor berbeda.
2.
Kesebandingan (proportionality) yaitu prinsip dimana hubungan antara output pada setiap sektor produksi dispesifikasikan sebagai fungsi liner. Artinya, kenaikan dan penurunan ouput suatu sektor akan sebanding dengan kenaikan dan penurunan input yang digunakan sektor tersebut.
113 3.
Penjumlahan (additivity) yaitu asumsi bahwa total efek dari kegiatan suatu sektor merupakan penjumlahan efek pada masing-masing kegiatan. Sebagai suatu sistem, persoalan pokok yang dihadapi dalam penyusunan neraca inpout-output adalah bagaimana mencatat dan menyajikan berbagai kegiatan ekonomi yang sangat beragam baik sifat, cara berproduksi dan cara melakukan transaksi ke dalam suatu tabel yang lengkap dan komprehensif. Keberadaan asumsi-asumsi di atas membatasi kapasitas model ini untuk
menganalisis dampak ekonomi dalam studi yang lebih luas dengan relevansi dan validitas yang tinggi. Salah satu kelemahan mendasar yang muncul dari asumsiasumsi tersebut adalah koefisien input bersifat konstan selama periode analisis sehingga teknologi yang digunakan oleh setiap sektor dalam proses produksi juga dianggap konstan. Berlandaskan anggapan ini berarti perubahan kuantitas dan harga input selalu sebanding dengan perubahan kuantitas dan harga output. Perubahan teknologi produksi yang berkembang dengan cepat dalam aktivitas perekonomian modern yang aktual pada saat ini tidak terakomodasi dalam model. Pada model ini, seluruh variabel-variabel pengeluaran konsumsi rumah tangga, pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor merupakan bagian output sektor tersebut yang tidak digunakan sebagai input atau permintaan antara oleh sektor-sektor ekonomi lainnya. Keseluruhan variabel ini diperlakukan sebagai eksogenus dalam simulasi. Selain variabel-variabel tersebut, model ini juga mengasumsikan variabel harga sebagai eksogenus. Padahal harga merupakan variabel utama dalam proses bekerjanya sistem ekonomi pasar campuran (mixed market economy) yang pembentukannya merupakan hasil dari interaksi berbagai variabel lainnya sehingga akan lebih realistis bila diperlakukan sebagai endogenus. Kelemahan model I-O statis telah ditutup melalui pengembangan model I-
114 O dinamis, yaitu dengan memperlakukan investasi sebagai endogenus dan memasukkan dua asumsi mendasar lainnya pada model I-O dinamis satu sektor yaitu asumsi incremental capital-output ratio yang tetap pada setiap sektor dan stok kapital sektoral yang mempunyai struktur komposisional tetap. Model ini tetap saja memiliki kemampuan yang terbatas untuk menjelaskan dampak ekonomi dari suatu guncangan atau perubahan kebijakan. Model tersebut hanya dapat melihat perubahan suatu kebijakan atau keberadaan suatu guncangan terhadap kinerja ekonomi sektoral seperti output, nilai tambah, dan tenaga kerja. Selain variabel makro, model ini tetap memperlakukan harga pasar sebagai komponen eksogenus sehingga kemampuannya menjadi sangat terbatas terutama untuk melihat dampak perubahan harga keseimbangan sebagai hasil dari proses penyesuaian akibat perubahan suatu kebijakan atau keberadaan suatu guncangan. Harga, bagaimanpun merupakan variabel endogenus kunci dalam sebuah model ekonomi yang terbentuk dari interaksi antara permintaan dan penawaran baik dipasar output maupun pasar faktor produksi. Model lainnya yang dapat digunakan untuk menganalisis dampak ekonomi investasi infrastruktur adalah model SAM yang merupakan pengembangan model I-O dengan penambahan beberapa neraca seperti institusi rumah tangga, perusahaan dan pemerintah, neraca kapital, dan subsidi. Kontribusi terpenting dari pengembangan ini adalah teratasinya ketidakmampuan model I-O dalam melihat dampak distributif kebijakan atau suatau guncangan. Penambahan neraca institusi rumah tangga yang diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok pendapatan membuka peluang bagi analisis distribusi pendapatan dan kemiskinan ketika terjadi perubahan kebijakan domestik atau guncangan eksternal. Meskipun demikian, aplikasi model ini tetap saja memiliki keterbatasan untuk menganalisis dampak ekonomi secara luas dan serentak dari sisi mikro dan makro. Model ini
115 juga memperlakukan variabel harga pasar sebagai eksogenus seperti halnya model I-O. Oleh sebab itu, penerapan model SAM dalam analisis dampak investasi infrastruktur juga tidak mampu memberikan informasi yang komprehensif terhadap kinerja perekonomian pada tingkat nasional dan regional, dampaknya secara simultan pada tingkat ekonomi makro dan mikro, serta distribusi pendapatan. Keterbatasan-keterbatasan model multi-sektoral I-O dan SAM dalam analisis dampak ekonomi dapat ditasi oleh model CGE. Model ini memanfaatkan Tabel I-O dan SAM sebagai pembentuk data dasarnya sehingga informasi yang dapat diberikan oleh kedua model I-O dan SAM dapat dirangkum oleh model CGE. Wobs (2001) mengemukakan, variabel harga pada sistem persamaan model CGE, dispesifikasikan sebagai endogenus sehingga tingkat harga pasar sebagai hasil interaksi permintaan dan penawaran dari keberadaan suatu kebijakan atau guncangan dapat diketahui. Hal ini berbeda dengan pendekatan ekonometri yang biasanya menempatkan harga sebagai variabel eksogen. Selain itu, menurut Horison (1997) model CGE memiliki beberapa keunggulan dalam analisis dampak ekonomi bila dibandingkan dengan model lainya yaitu: 1. Model CGE memasukkan semua transaksi antara pelaku-pelaku ekonomi, baik di pasar faktor produksi maupun pasar komoditi. Dengan cara ini, dampak suatu kebijakan akan dapat dianalisis pengaruhnya secara kuantitatif terhadap kinerja ekonomi pada tingkat makro dan sektoral. 2. Model I-O dan SNSE menggunakan fungsi produksi Leontief sehingga tidak memungkinkan terjadinya substitusi input, sementara model CGE relatif lebih fleksibel dengan memasukkan beberapa fungsi yang memungkinkan substitusi antar faktor produksi. Dengan pemodelan seperti ini, jika terjadi perubahan harga relatif suatu faktor produksi, akan memungkinkan produsen merubah
116 komposisi penggunaan faktor produksi ke arah faktor produksi yang harganya relatif lebih murah sebagaimana realitas sesungguhnya. 3. Pada model CGE analisis dampak suatu kebijakan atau guncangan mencakup aspek yang sangat luas seperti analisis pada tingkat institusi, distribusi pendapatan diantara golongan rumah tangga, distribusi pendapatan diantara faktor produksi primer, neraca perdagangan dan sebagainya. 4. Bila dibandingkan dengan model I-O dan SAM yang menghubungkan input dan ouput secara liner, model CGE memasukkan persamaan non linier sehingga dapat mengakomodir kemungkinan hubungan antar variabel ekonomi yang bersifat non liner dalam aktivitas produksi dan konsumsi. Selain keunggulan-keunggulan tersebut, model CGE juga memiliki keterbatasan seperti halnya model-model ekonomi lainnya. Keterbatasan tersebut diantarnya adalah asumsi struktur pasar yang bersaing dengan kondisi constant return to scale, padahal beberapa komoditas dihasilkan dalam struktur pasar non kompetitif. Penentuan prilaku dan struktur pasar dalam konstruksi model CGE dapat mampengaruhi solusi yang dihasilkan model. Anggapan struktur pasar yang bersaing masih dapat diterima jika tujuan konstruksi model adalah untuk menentukan pengaruh perubahan eksogenus. Abyasiri-Silva dan Horridge (1996), telah mengkonstruksi model CGE dengan menerapkan struktur pasar monopoli dan kondisi increasing returun to scale pada beberapa sektor. Studi ini ternyata menemukan bahwa simulasi yang diperoleh dengan menggunakan asumsi pasar bersaing sempurna dan pasar monopoli menghasilkon solusi yang tidak jauh berbeda. Penggunaan asumsi pasar persaingan sempurna tidak menimbulkan bias yang terlalu besar bila diterapkan pada perekonomian yang kondisi pasarnya tidak sepenuhnya bersaing sempurna. Walaupun struktur pasar yang berbeda dapat menghasilkan keseimbangan
117 yang sangat berbeda, perubahan keseimbangan yang disebabkan oleh perubahan eksogenus bisa saja tidak berbeda antara suatu struktur pasar dengan struktur pasar lainnya. Artinya penerapan asumsi pasar persaingan sempurna untuk seluruh sektor ekonomi termasuk sektor penghasil jasa infrastruktur tidak akan menghasilkan solusi yang terlalu bias bila dibandingkan dengan konstruksi model yang menspesifikasikan sektor-sektor tertentu dengan struktur pasar tidak bersaing. Sebagai suatu cara mengabstraksikan dunia nyata, setiap model ekonomi memiliki beberapa keunggulan, sekaligus keterbatasan-keterbatasan, namun keunggulan yang dimiliki model CGE jauh melebihi keterbatasannya. Oleh sebab itu, model ini dipilih untuk menganalisis dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh peningkatan penyediaan infrastruktur pada kasus perekonomian Indonesia. Pengaplikasian model CGE regional top-down pada studi ini tidak hanya dapat digunakan untuk menganalisis kinerja ekonomi pada tingkat mikro yaitu ekonomi sektoral dan rumah tangga, tetapi sekaligus dapat digunakan untuk menganalisis dampaka kinerja ekonomi makro dan regional. Dampak penyediaan infrastruktur terhadap kinerja perekonomian dapat dilihat dari 2 sisi yaitu dampak jangka pendek dan dampak jangka panjang. Dampak jangka pendek menggambarkan peran investasi infrastruktur sebagai komponen pengeluaran pemerintah atau pembentukan kapital domestik bruto dalam permintaan agregat. Peningkatan penyediaan infrastruktur, seperti ditunjukkan pada gambar 6, dalam jangka pendek berdampak langsung terhadap peningkatan pengeluaran agregat karena meningkatnya pengeluaran pemerintah untuk pembentukan kapital publik. Pada
perhitungan
pendapatan
nasional
di
Indonesia,
komponen
pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur termasuk ke dalam pembentukan
118 kapital tetap domestik bruto atau investasi (I). Melalui efek penggandaan, peningkatan kapital tetap domestik bruto akan meningkatkan pendapatan nasional dari sisi pengeluaran. Pembiayaan pengeluaran pemerintah, termasuk pengeluaran untuk pembentukan kapital infrastruktur umumnya diabiayai dari penerimaan pajak, hutang atau investasi pihak swasta. Peningkatan pengeluaran pemerintah akan mengurangi sumber dana yang diperlukan untuk investasi oleh pihak swasta. Kelangkaan sumber dana, akan medorong peningkatan suku bunga sehingga menurunkan permintaan investasi oleh pihak swasta. Peningkatan investasi pemerintah menimbulkan efek pendesakan (crowd out) terhadap investasi swasta yang mengurangi daya dorong investasi pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluran. Peningkatan pembiayaan penyediaan infrastruktur akan meningkatkan akumulasi stok kapital infrastruktur di sisi suplai yang selanjutnya meningkatkan kapasitas
produksi
jasa
infrastruktur.
Ketersediaan
jasa
infrastruktur
meningkatkan mobilitas orang dan barang yang memberikan kemudahan akses bagi rumah tangga dan perusahaan-perusahaan karena terhubungnya proses produksi dengan input dan produk dengan pasar. Kemudahan akses juga menekan biaya transportasi dan biaya transaski sehingga aktivitas rumah tangga dan perusahaan menjadi lebih efisien. Selain itu, ketersediaan juga menghasilkan eksternalitas positif bagi rumah tangga dan perusahaan-perusahaan. Stok kapital infrastruktur saling berkomplemen dengan input konvesional tenaga kerja dan stok kapital yang meningkatkan produktivitas kedua input ini dan mempengaruhi
aktivitas
produksi
dalam
jangka
panjang.
Ketersediaan
infrastruktur yang lebih memadai dan kualitas yang lebih baik akan meningkatkan produktivitas perusahaan-perusahaan yang ada dalam memproduksi barangbarang dan jasa-jasa. Ketersediaan infrastruktur kemungkinan akan merangsang
119 perusahaan-perusahaan untuk memaksimumkan kapasitasnya atau melakukan ekspansi atau kemungkinan menerapkan teknologi modern dalam proses produksi. Ketersediaan fasilitas infrastruktur dapat meningkatkan daya tarik investasi swasta pada berbagai sektor ekonomi. Jika perusahaan-perusahaan melakukan ekspansi untuk meningkatkan produksinya, maka penambahan investasi atau menculnya investasi baru akan meningkatkan akumulasi stok kapital swasta. Peningkatan kapasitas produksi akan meningkatkan produksi dan suplai barang dan jasa yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap tingkat harga komoditas baik sektor pertanian, industri berbasis pertanian dan non pertanian maupun sektor jasa-jasa. Jika ekspansi dilakukan melalui peningkatan intensitas penggunan tenaga kerja, peningkatan produksi juga akan diikuti oleh oleh perluasan kesempatan kerja. Perluasan kesempatan kerja akan menjadi lebih besar dengan tumbuh dan berkembangnya aktivitas ekonomi yang baru. Mengingat perannya yang bersifat sentral bagi aktivitas ekonomi, perluasan kesempatan kerja akan terjadi pada seluruh sektor baik pertanian maupun non-pertanian. Perluasan kesempatan kerja disektor pertanian dan aktivitas non pertanian di perdesaan akan meningkatkan pendapatan rumah tangga perdesaan. Peningkatan pendapatan juga terjadi pada rumah tangga perkotaan yang aktivitas ekonominya didominasi oleh sektor non-pertanian. Pola peningkatan pendapatan antar kelompok rumah tangga akan menentukan daya beli dan distribusi pendapatan di perdesaan dan perkotaan. Tingkat pendapatan yang lebih tinggi akan meningkatkan daya beli dan permintaan rumah tangga terhadap barang-barang dan jasa-jasa yang akan mempengaruhi tingkat harga dari sisi permintaan.
120
Investasi Infrastruktur
Pemerintah
Swasta
Akumulasi kapital Infrastruktur
Jasa Infrastruktur
Mobilitas Orang-Barang
Permintaan Agregat Y=C+I+G+(X-M)
Eksternalitas Positif
Input Infrastruktur
Manfaat Sosial
Biaya Transportasi dan Transaksi
Crowd out
Kapasitas Produksi dan Efisiensi
PDB dan Pertb. Ekonomi
Produktivitas Investasi Persh. Lama Lahan
Tumbuhnya Persh. Baru
TK Unskill/Skill
Kapital Var
Petani
Non Pert.
Pngh. Tani
Desa
Kapital Tetap
Produksi Barang dan Jasa
Kesempatan Kerja
Pertanian
Multiplier Effect
Pertanian
Non Pert.
Inflasi
Kota Suplai Domestik
RT Perdesaan
RT Perkotaan Pendapatan dan Distribusi
Permintaan
Harga
Permintaan Ekspor dan Suplai Impor
Gambar 6. Dampak Ekonomi Stok Kapital Infrastruktur Pola perubahan investasi swasta, kesempatan kerja, produksi, dan harga sektoral atau komoditi serta distribusi pendapatan antar kelompok rumah tangga dan antara desa dan kota sangat bergantung pada pola alokasi penyediaan berbagai jenis infrastruktur. Apabila penyediaan infrastruktur lebih terfokus pada jenis infrastruktrur yang bias ke aktivitas sektor pertanian maka peningkatan produksi,
121 kesempatan kerja, dan perubahan harga akan memperbaikai kesejahteraan rumah tangga perdesaan relatif terhadap rumah tangga perkotaan. Sebaliknya, jika penyediaan infrastruktur bias ke sektor non pertanian di perkotaan, dampak yang dihasilkannya justeru akan meningkatkan pendapatan rumah tangga perkotaan relatif terhadap rumah tangga perdesaaan, yang umumnya akan disertai oleh meluasnya disparitas pendapatan antar kelompok rumah tangga dan antar daerah perkotaan dan perdesaan. Bila dikaitkan dengan pola aktivitas ekonomi antar wilayah, alokasi penyediaan infrastruktur yang bias ke sektor pertanian akan memperbaiki kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah yang aktivitas ekonominya lebih didominasi oleh sektor pertanian, yang umumnya berada di daerah perdesaan. Sebaliknya alokasi penyediaan infrastruktur yang bias ke sektor industri terutama industri non-pertanian akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah industri dan aktivitas non-pertanian lainnya. Alokasi penyediaan infrastruktur yang lebih memprioritaskan pada upaya perbaikan distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat dan antar wilayah, seperti telah dikemukakan oleh Takahasi (1998), cenderung menghasilkan laju pertumbuhan yang lebih rendah pada tingkat nasional. Sebaliknya, alokasi penyediaan infrastruktur yang memprioritaskan pada efisiensi dan peningkatan laju pertumbuhan ekonomi secara nasional cenderung menghasilkan distribusi pendapatan yang kurang merata antar wilayah. Pada sebuah model ekonomi keseimbangan umum, perekonomian pasar dapat merespon keberadaan suatu guncangan atau kebijakan secara lebih kompleks mengikuti alur pemikiran teori ekonomi. Kemudahan akses dan
122 peningkatan produktivitas yang terjadi sebagai dampak peningkatan ketersediaan dan kualitas infrastruktur, selain dapat mendorong peningkatan produksi dan kesempatan kerja seperti yang digambarkan di atas, dapat juga diikuti oleh perubahan komposisi penggunaan input dalam proses produksi oleh perusahaanperusahaan seperti akan dijelaskan pada bab berikutnya. Pada struktur model CGE terdapat kemungkinan setiap produsen untuk mensubstitusi penggunaan suatu input dengan input lainnya dalam merespon suatu guncangan atau kebijakan, sementara konsumen memiliki peluang memilih produk domestik atau impor. Pada model ekonomi keseimbangan umum, pasar ouput dan pasar input saling terkait satu dengan yang lainnya. Keberadaan suatu guncangan seperti peningkatan produktivitas sektoral yang disebabkan oleh peningkatan penyediaan infrastruktur akan direspon setiap pasar mengikuti logika teori ekonomi ketika bergerak dari posisi keseimbangan awal menuju posisi keseimbangan yang baru. Dampak suatu guncangan atau kebijakan harus selalu dilihat dari dua sisi secara bersamaan yaitu permintaan dan penawaran baik ouput maupun input. Dampak yang ditimbulkan oleh suatu guncangan pada tingkat sektoral atau mikro dan rumah tangga akan menentukan besarnya dampak yang dihasilkanya pada tingkat ekonomi makro dan regional. Hal ini disebabkan dampak makroekonomi dalam model keseimbangan umum merupakan resultan dari dampak yang ditimbulkannya pada tingkat mikro yaitu sektor-sektor ekonomi dan rumah tangga. Perubahan output yang disertai perubahan konsumsi rumah tangga, investasi swasta, permintaan pemerintah dan ekspor pada setiap komoditi atau sektor ekonomi akan menghasilkan perubahan PDB dari sisi pengeluaran beserta perubahan komponen-komponennya. Perubahan penggunaan faktor-faktor primer
123 yang disertai perubahan harga atau balas jasa atas penggunaannya berupa upah tenaga kerja, sewa lahan, dan sewa kapital akan menentukan pendapatan nasional dari sisi pendapatan faktor. Perubahan tingkat harga masing-masing komoditi akan menghasilkan perubahan laju inflasi ditingkat makro. Perubahan upah tenaga kerja dan inflasi menghasilkan perubahan upah nominal dan rill agregat. Hal yang sama juga berlaku untuk pembayaran atas faktor-faktor produksi primer lainnya. Dilihat dari dampaknya terhadap perekonomian wilayah, perubahan output dan penyerapan tenaga kerja sektoral serta upah, akan menghasilkan perubahan PDRB dan penyerapan tenaga kerja serta upah per wilayah provinsi sesuai dengan proporsinya dalam ouput dan penyerapan tenaga kerja nasional. Jadi dampak yang ditimbulkannya juga saling terkait antara level ekonomi mikro, makro dan regional. Keberadaan keseimbangan di seluruh pasar output dan input yang saling terkait menyebabkan dampak yang ditimbulkan suatu guncangan atau kebijakan dalam sebuah model CGE menjadi sangat komplek. Studi yang dilakukan ini akan mengungkapkan
bagaimana
dampak
empiris
sesungguhnya
yang
akan
ditimbulkan oleh peningkatan penyediaan infrastruktur pengairan, jalan, listrik dan komunikasi dengan memfokuskan analisis pada dinamika ekonomi sektotal dan regional berbasis pertanian. Ini terkait dengan dugaan bahwa reorientasi strategi dan kebijakan industrialisasi dan pembangunan wilayah melalui pengembangan industri berbasis pertanian dapat mendorong pertumbuhan ekonomi regional dan nasional.