III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran Menurut teori Lewis (Todaro, 1988), tingkat pengalihan tenaga kerja dan penciptaan kesempatan kerja di sektor modern sebanding dengan tingkat akumulasi kapital sektor modern. Semakin cepat tingkat akumulasi kapital, semakin tinggi tingkat pertumbuhan sektor moderen dan semakin cepat penciptaan lapangan kerja baru di kota. Akan tetapi kenyataan itu tidak terjadi karena keuntungan para kapitalis cenderung diinvestasikan kembali pada barang-barang modal yang lebih canggih dan lebih hemat tenaga kerja. Sehingga meskipun jumlah output telah meningkat sangat tinggi, upah secara keseluruhan dan kesempatan kerja tetap tidak berubah, semua output tambahan diterima oleh pengusaha dalam bentuk kelebihan keuntungan. Marx dalam Hayami (2001) mengasumsikan bahwa pertumbuhan tenaga kerja di sektor industri lebih lambat daripada kecepatan akumulasi kapital, bahkan adanya penggunaan teknologi modern pada industri-industri menyebabkan terjadinya penekanan penggunaan jumlah tenaga kerja dan tingkat upah buruh. Kenyataan ini mengakibatkan pertumbuhan industri-industri di kota-kota tidak diikuti oleh pertumbuhan jumlah kebutuhan tenaga kerja di sektor industri. Model pembangunan ekonomi kapitalis Marx menjelaskan sebagai berikut : Sebagaimana tampak pada Gambar 1 pada periode awal (0) kurva permintaan tenaga kerja pada sektor kapitalis modern terletak pada garis D0D0 yang sama dengan kapital (K0 ). Keseimbangan awal terjadi pada titik A dengan tenaga kerja OL0 pada upah rata -rata OW. Menurut asumsi Marx, jumlah pekerja yang mencari pekerjaan dalam sektor industri modern sama dengan WR 0 yang
lebih lebar dari OL0. Dari gambar tersebut terlihat bahwa jumlah tenaga kerja yang dapat diperkerjakan di sektor industri moderen hanya sebesar WA, sehingga masih tersisa sejumlah tenaga kerja yang mencari pekerjaan di sektor industri sebesar AR 0. Tenaga kerja yang tidak mendapatkan pekerjaan di sektor industri modern ini (AR0), akan mempertahankan keberadaannya atau dapat menjaga subsistennya pada aktivitas informal di kota.
(W) D1
u p a h
S1
S0 D0 A
B
R0
R1
W D0 (K0) D1(K1) 0
L0 L1
(L)
Sumber : Hayami, Y. 2001 Gambar 1. Model Pembangunan Ekonomi Kapitalis Marx
Karena para pemilik modal (kapitalis) cenderung menginvestasikan keuntungan yang diperolehnya dalam teknologi, yang mengakibatkan peningkatan permintaan jumlah tenaga kerja menjadi lebih lambat (dari OL 0 ke OL1 ), sedangkan pertumbuhan output meningkat tajam dari daerah AD0 OL0 ke BD1 OL 1, yang menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran tenaga kerja BR1. Kelebihan permintaan tenaga kerja di sektor industri moderen tidak akan pernah
terjadi, karena kurva upah horizontal pada industri model kapitalis, yang menyebabkan peningkatan jumlah pencari kerja di sektor industri yang tidak mendapatkan pekerjaan akan memasuki sektor informal yang lebih bersifat subsisten. Jadi tenaga kerja di sektor informal ini merupakan ”industrial reserve army” sebagaimana dikemukakan Marx. Pengamatan data statistik menunjukkan bahwa jumlah migran selalu memperlihatkan kecenderungan meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun migran tidak atau belum mendapatkan pekerjaan tetap di kota keputusan migran untuk pulang kembali ke daerah asal tampaknya jarang terjadi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang dilakukan dalam mempertahankan hidup di kota. Bagaimana perilaku migran sejak awal kedatangannya di kota dan bagaimana strategi yang ditempuh untuk bertahan hidup (survive) di kota. Menarik untuk dikaji sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 2. pada dasarnya ada dua tahapan yang dilalui pelaku sektor informal dalam mempertahankan keberadaannya di kota, yaitu; 1. Strategi pemenuhan kebutuhan dasar; bentuk strategi yang digunakan dalam memperoleh pekerjaan di kota. 2. Strategi peningkatan kesejahteraan; tahap pengembangan usaha untuk meningkatkan perolehan penghasilan.
pendapatan
formal
informal waktu Gambar 2. Bagan mobilitas sosial ekonomi informal
Asumsi yang mendasari tahapan mobilitas sosial ekonomi sektor informal adalah : (1) bahwa tidak ada migran yang sama sekali tidak mempunyai pekerjaan sesaat setelah tiba di kota, artinya bagaimanapun caranya
migran yang
bersangkutan akan mendapatkan penghasilan dari sektor informal,
sambil
mencari pekerjaan yang lebih ”sesuai” di sektor lainnya. (2) bahwa semakin lama migran berada di kota akan semakin banyak hubungan, dan sistem informasi mereka lebih baik sehingga penghasilan yang diperoleh akan lebih tinggi dibandingkan dengan yang baru datang ke kota, meskipun dengan tingkat keterampilan yang sama. Ekonomi di sektor informal umumnya berkisar pada produk-produk yang kecil, mudah dipindahkan, dan disimpan, serta penawaran jasa yang sangat mudah diakses oleh setiap orang. Oleh karenanya pola pasar barang atau jasa di sektor informal membentuk rantai jalur pasar yang panjang, melewati sejumlah pedagang, mengakibatkan sistem pemasaran yang terbentuk memberikan keuntungan yang tipis atau kecil. Hal inilah yang menyebabkan produktivitas di
sektor informal sangat rendah, tetapi memberikan peluang yang sangat besar dalam kesempatan kerja, karena banyak celah kegiatan ekonomi yang terbentuk sepanjang jalur produksi. Sebagai sumber penghidupan, ekonomi informal merupakan pilihan pantas dan rasional bagi migran di kota. Ekonomi ini dapat memberikan tingkat penghasilan yang setara dengan lapisan bawah ekonomi formal, dan menawarkan secara terbuka untuk memperoleh tingkat penghasilan maksimal bagi semua pelakunya. Pada sektor formal, tingkat pendapatan berbeda-beda untuk tiap golongan dan jenis pekerjaan, yang ditentukan oleh beberapa faktor, seperti pendidikan, dan lama mengabdi. Demikian juga pada sektor informal, ditemukan hal yang sama. Namun demikian, pada sektor informal tidak berlaku ukuran baku, bahwa tingkatan tertentu dalam suatu jenis usaha akan menunjukkan tingkat pendapatan yang sama. Bahkan meskipun jenis barang dan jasa yang di pasarkan sama, lokasi, lama bekerja dan statusnya sama, perolehan penghasilan bisa berbeda. Sehingga menarik untuk dikaji faktor-faktor apa yang sebenarnya mempengaruhi tingkat pendapatan migran informal. Berdasarkan teori, tinjauan pustaka, dan pengamatan lapang, diduga kuat bahwa umur, pendidikan, status kawin, lama bekerja di kota, mobilitas horizontal, mobilitas vertikal, status pekerjaan, daerah asal, dan jenis usaha merupakan faktor -faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan migran sektor informal.
3.2. Metode Penelitian Dengan bertitik tolak pada kerangka pemikiran yang telah diuraikan terlebih dahulu, maksud utama sub bab ini membahas antara lain, cara penentuan wilayah survei, model analisis yang digunakan untuk menganalisa permasalahan, menguji hipotesis yang telah diutarakan dan cara penguraian terhadap variabel yang dipilih.
3.2.1. Wilayah Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Agustus sampai Desember 2002 di Kota Tangerang. Dipilihnya Kota Tangerang secara sengaja didasarkan pada tingkat perkembangan ekonomi wilayah, dimana sebelumnya Kota Tangerang yang merupakan bagian administratif dari Provinsi Jawa Barat, yang berkontribusi pada 1/3 dari PDRB Jawa Barat. Saat ini Kota Tangerang merupakan bagian dari Provinsi Banten, adalah kota yang paling tinggi pertumbuhan ekonominya. Letak wilayahnya yang berbatasan dengan Jakarta, menjadikan Kota Tangerang berfungsi sebagai salah satu kota penyangga DKI Jakarta. Indikator yang digunakan adalah pesatnya perkembangan Kota Tangerang, ini dapat terlihat jelas dari jumlah prasarana dan sarana penduduk yang semakin banyak dan berskala besar, tingginya PDRB, dan meningkatnya arus tenaga kerja dari desa ke kota (migrasi), yang tergambar dari peningkatan jumlah penduduk usia kerja yang sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk keseluruhan, yang dapat menggambarkan secara jelas kaitan migrasi dengan sektor informal, ekonomi migran yang bekerja di sektor informal, serta bentuk strategi yang dilakukan dalam mempertahankan keberadaannya di kota.
Kota Tangerang terdiri dari 13 kecamatan,
yaitu Kecamatan Ciledug,
Larangan, Karang Tengah, Cipondoh, Pinang, Tangerang, Karawaci, Jatiuwung, Cibodas, Periuk, Batuceper, Neglasari, dan Kecamatan Benda. Penelitian ini dilakukan di lima kecamatan, yang mewakili tipe kecamatan padat penduduk dan kecamatan padat industri, yaitu; Kecamatan Tangerang (padat penduduk), Kematan Cibodas (padat industri), Kecamatan Karawaci (padat penduduk dan industri), Kecamatan Cipondoh (padat penduduk dan industri), dan Kecamatan Ciledug (padat penduduk dan industri).
3.2.2. Model Analisis Pertanyaan mendasar dari analisa ini adalah untuk menelaah mengapa pekerja sektor informal ini masih terus berkembang walaupun mereka hanya sekedar dapat bertahan hidup (survival). Perkembangan sektor informal ini bahkan memperlihatkan potensi yang tidak kalah dengan sektor lainnya. Hal ini dapat dilihat dari besarnya pangsa (share) tenaga kerja di sektor informal yang laju pertumbuhannya lebih besar daripada sektor industri. Tidak semua migran segera memperoleh pekerjaan di sektor informal. Dengan menggunakan analisa deskriptif dari acuan hasil data primer (150 responden), akan dikaji hubungan antara karakteristik migran dengan tingkat ekonomi. Fokus kajian penelitian pada empat kelompok pelaku ekonomi informal (pemulung, lapa k, pedagang kakilima makanan, dan pedagang kakilima pakaian), diharapkan dapat mengungkapkan strategi yang digunakan migran dalam aktivitas ekonomi informal di Kota Tangerang dan pola ekonomi yang terbentuk di antara mereka.
Dihipotesiskan bahwa tingkat pe ndapatan migran di perkotaan dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, tingkat pendidikan, status kawin, lama bekerja di kota, mobilitas horizontal, mobilitas vertikal, status pekerjaan, jenis pekerjaan, dan asal daerah. Dengan alasan semakin tinggi tingkat umur, tingkat pendidikan, dan lama bekerja di kota, maka kemampuan dan pengalaman juga akan tinggi, sehingga diharapkan tingkat pendapatan yang diperoleh juga akan tinggi. Dengan status menikah, berarti harus menanggung beban hidup istri dan anak, pada kondisi ini, maka seseorang harus mendapatkan pekerjaan yang dapat memberikan tingkat penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan melakukan mobilitas horizontal; yaitu memindahkan lokasi pasar barang atau jasa atau mobilitas vertikal; yaitu mengganti barang atau jasa, maka diharapkan perolehan tingkat pendapatan juga akan meningkat. Demikian juga status pekerjaan, untuk tiap kelompok status pekerjaan yang berbeda akan memberikan tingkat pendapatan yang berbeda. Variabel jenis pekerjaan dipertimbangkan karena untuk adanya range keuntungan yang berbeda dari jenis barang atau jasa yang di pasarkan, demikian juga asal daerah yang berkaitan dengan jenis usaha. Model struktur tersebut tersusun sebagai
berikut: mobilitas horizontal
yang disertai perubaha n status pekerjaan dan perubahan jenis penis pekerjaan serta perubahan modal usaha (mobilitas vertikal) menyebabkan besarnya pendapatan yang diperoleh di kota. Pendapatan migran sektor informal diduga bukan hanya dipengaruhi oleh faktor -faktor tersebut, melainkan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terjalin dalam pola yang membentuk suatu model struktural dengan berbagai ubahan
antara (seperti; manajemen, informasi pasar dan keberuntungan). Model struktural tersebut tersusun sebagai berikut;
X3
X5
X4
X2
Keterangan: X1 = Mobilitas horizontal
X2
X2 = Status pekerjaaan X3 = jenis pekerjaan X4 = Mobilitas vertikal X5 = Pendapatan di kota
Gambar 3. Model Struktur Peningkatan Pendapatan Migran Sektor Informal
Untuk melihat faktor yang paling dominan memberi sumbangan efektif dalam meningkatkan pendapatan migran di perkotaan digunakan analisis regresi ganda, dengan model regresi sebagai berikut; YMIG = bo + b1UMIG + b2PEND + b3 STAT + b4LAMB + b5MOBH + b6 MOBV + b7 STKJ 1 + b8STKJ 2 + b9JNPK 1 + b10 JNPK2 + b11ASDA
dimana ; YMIG = Pendapatan migran sektor informal (Rp/bulan) UMIG = umur (dalam tahun) PEND = tingkat pendidikan (0=SD, 1=SMP, 2=SMA, 3=Sarjana) STAT = status perkawinan (1 = menikah, 0 = tidak menikah) LAMB = lama bekerja di kota (dalam tahun) MOBH = mobilitas horizontal (frekuensi perpindahan lokasi kerja) MOBV = mobilitas vertikal (frekuensi perpindahan jenis usaha) STKJ 1 = Status pekerjaan (1 = majikan, 0 = lainnya) STKJ 2 = Status pekerjaan (1 = usaha sendiri, 0 = lainnya) JNPK 1 = Jenis pekerjaan (1= pakaian, 0 = lainnya) JNPK 2 = Jenis pekerjaan (1= makanan, 0 = lainnya) ASDA = Asal daerah ( 1= Jawa Barat, 0 = lainnya) Untuk menguji kelayakan model di atas dilakukan analisa korelasi Pearson, jika tidak ada kolinearitas atas variabel-variabel independen tersebut, maka model tersebut pantas untuk digunakan dalam menggambarkan hubungan antara variabel penjelas dengan variabel yang dijelaskan. Dalam ekonomi informal penin gkatan pendapatan berkaitan erat dengan peningkatan status kerja (tingkat sosial ekonomi). Untuk melihat hubungan status pekerjaan dengan pendapatan dilakukan pengujian dengan uji Duncan Multiple Range (DMRT), yaitu uji beda nilai tengah rata-rata pendapa tan untuk status pekerjaan. Pergeseran tingkat sosial migran dalam masyarakat tersebut dapat terjadi secara revolusioner dan evolusioner. Pergeseran tingkat sosial secara revolusioner dimaksudkan apabila migran di sektor informal kemudian “meloncat” terser ap
oleh sektor formal. Hal ini dapat terjadi terutama bagi mereka yang berpendidikan relatif tinggi dengan umur yang masih muda. Sambil bekerja di kota mereka mengamati terus pembangunan industri dan sektor modern lainnya yang membuka peluang kerja di sega la jenjang pekerjaan dari pekerja kasar hingga pekerja profesional. Terbukanya peluang tersebut merupakan daya tarik tersendiri bagi kaum migran, sehingga kerja sektor informal yang dilakukan selama itu hanya sebagai batu loncatan. Pergeseran tingkat sos ial secara evolusioner dimaksudkan bila pekerjaan migran di sektor informal berangsur-angsur berkembang hingga mampu menerobos masuk ke kategori usaha legal (sektor formal). Hasil kajian kualitatif di lapangan terhadap riwayat perkembangan pekerjaan kaum migran yang pekerjaannya berkembang ke ambang sektor formal, menunjukkan terjadinya pergeseran sektoral secara evolusioner melalui “model penyatuan rekonstruksi pekerjaan sektor informal”. Ekonomi informal mempunyai karakteristik yang menggambarkan hubunga n antara bentuk-bentuk ekonomi seperti produksi subsisten yang berbasis utama pada hubungan sosial lokal, seperti keluarga, tetangga, dan teman-teman, dengan kegiatan sektor informalnya, yang membangun hubungan ekonomi berdasarkan kultural di antara mereka (Evers dan Korff, 2002). Hubungan sosial diantara migran di kota, merupakan penentu untuk memasuki pasar tenaga kerja di sektor informal, sebagai persyaratan yang harus dimiliki migran dalam mempermudah mendapatkan pekerjaan. Hubungan sosial yang didasari atas kesamaan daerah asal, lebih banyak menentukan keterkaitan di
antara sesama migran, bukan hanya dalam hal mendapatkan informasi lowongan kerja, juga dalam hubungan antara produsen dan konsumen. 3.2.3. Pengumpulan Data Dalam penelitian ini data yang digunakan sebagai bahan analisis adalah data primer migran yang bekerja di sektor informal, untuk mengungkapkan bagaimana pola ekonomi yang terbentuk, serta bentuk strategi yang dilakukan dalam aktivitas ekonomi mereka. Populasi dalam penelitian ini adalah migran yang bekerja di sektor informal, pada industri daur ulang (lapak dan pemulung), dan pedagang kaki lima (pakaian dan makanan), dengan jumlah responden sebanyak 150 orang. Responden pada industri daur ulang sebanyak 30 orang (lapak 7 orang, dan pemulung 23 orang), pedagang kakilima makanan 60 orang, dan pedagang kakilima pakaian sebanyak 60 orang. Pengambilan contoh dilakukan secara sengaja (purposive sampling), dengan pertimbangan agar mudah mendapatkan informasi data yang dibutuhkan. Data sekunder jumlah penduduk dan tenaga kerja antar sektor, untuk menganalisa aliran tenaga kerja menuju ke Kota Tangerang, khususnya di sektor informal. Cara pengumpulan data adalah : a. Pengumpulan data primer dilakukan terutama dengan cara melakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner, untuk menelaah ekonomi migran di sektor informal, yang dilakukan pada Agustus sampai Desember 2002. b. Pengumpulan data sekunder, untuk menganalisa aliran tenaga kerja menuju ke Kota Tangerang, publikasi tahun 1998 – 2002, meliputi data statistik, dokumentasi dan publikasi dari instansi pemerintah, seperti Biro Pusat
Statistik, Departemen Tenaga Kerja, Kantor Badan Pemerintah Daerah Kota Tangerang.
3.2.4. Pengujian Hipotesis Analisa deskriptif digunakan dengan mengacu pada teori Marx dalam Hayami (2001), bahwa sektor industri formal memiliki kemampuan terbatas untuk menciptakan output dan kesempatan kerja. Oleh karena industri-industri besar dapat menekan tingkat upah dan jumlah tenaga kerja untuk mendapatkan output yang tinggi dengan menggunakan teknologi modern. Akibatnya kesempatan kerja di sektor ini tidak meningkat secara seimbang dengan kenaikan output, maka penambahan penawaran tenaga kerja baik karena migrasi atau dari penduduk kota itu sendiri, akan memasuki sektor informal, yang memiliki kesempatan kerja yang lebih luas. Untuk menguji hipotesis pertama, dilakukan telaah perilaku pelaku sektor informal pada industri daur ulang dalam hal ini pemulung dan lapak, serta pedagang kakilima, yaitu pedagang makanan dan pedagang pakaian. Bagaimana saat awal keberadaannya di kota, dan periode selanjutnya dalam mempertahankan keberadaannya di kota Tangerang. Dengan analisis deskriptif dapat terungkap strategi-strategi para migran informal dalam mempertahankan kehidupannya, maupun da lam mengembangkan potensi ekonominya. Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan migran sektor informal dilakukan telaah pada status pekerjaan dengan menggunakan analisis uji Duncan, dan untuk menelaah faktor-faktor yang sangat berperan dalam peningkatan pendapatan dilakukan analisis regresi berganda dari data primer 150 responden yang meliputi;
umur, tingkat pendidikan, status kawin, lama kerja di kota, mobilitas horizontal, mobilitas vertikal, status pekerjaan, jenis pekerjaan, dan asal daerah.
3.2.5. Jenis Peubah dan Pengukuran a. Struktur perekonomian dan Struktur Ketenagakerjaan Digunakan data sekunder dari PDRB atas dasar harga berlaku dalam periode 1996- 2001, dan data sekunder jumlah tenaga kerja berdasarkan sektor pekerjaan, dalam periode 1996-2001.
b. Migrasi Migrasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah migrasi tetap, yaitu migrasi dari perdesaan ke kota Tangerang dan menetap. Peubah-peubah yang diukur adalah jumlah penduduk yang melakukan migrasi dari tiap daerah ke Kota Tangerang dalam satuan jiwa, pada kurun waktu tertentu. Dan jumlah pekerja sektor informal adalah jumlah penduduk yang bekerja di setiap jenis kegiatan sektor informal.
c. Status Pekerjaan Status pekerjaan adalah kedudukan seseorang dalam melakukan pekerjaan di suatu unit usaha . Status pekerjaan dibedakan menjadi: (i)
Buruh, adalah seseorang yang bekerja pada orang lain atau instansi dengan menerima upah baik berupa barang maupun uang.
(ii)
Berusaha sendiri, adalah mereka yang bekerja orang lain.
sendiri tanpa
bantuan
(iii) Berusaha dengan dibantu orang lain, adalah seseorang yang melakukan usahanya dibantu oleh anggota rumahtangga atau buruh tidak tetap (iv) Majikan dengan buruh lepas, adalah seseorang yang melakukan usahanya dengan memperkerjakan buruh tidak tetap. (v)
Majikan dengan buruh tetap, adalah seseorang yang melakukan usahanya dengan memperkerjakan buruh tetap.
d. Perubahan Status Pekerjaan (i)
Pekerjaan Menurun, adalah kondisi seseorang yang mengalami penurunan status, misalnya dari majikan menjadi buruh.
(ii)
Pekerjaan stabil/ tidak berkembang, adalah kondisi seseorang yang selama di kota tidak mengalami perubahan keadaan pekerjaan.
(iii) Pekerjaan berkembang, adalah kondisi seseorang yang melakukan usahanya mengalami peningkatan skala usaha (usaha berkembang).
e. Definisi Ekonomi Informal Di dalam penelitian ini penulis membatasi definisi sektor informal sebagai kegiatan perdagangan barang dan atau jasa yang dapat memberikan penghasilan bagi pelakunya (minimal sebagai usaha untuk bertahan hidup), dilakukan oleh siapa saja tanpa spesifikasi tertentu yang mengikat.
dan
dapat