II. TINJUAUAN PUSTAKA
A.
PALA
Tanaman pala (Myristica fragrans houtt) adalah tanaman asli Indonesia yang pada mulanya berasal dari pulau Banda. Tanaman ini merupakan tanaman keras yang dapat berumur panjang hingga lebih dari 100 tahun. Tanaman pala tumbuh dengan baik di daerah tropis. Selain di Indonesia tanaman pala terdapat pula di Amerika, Asia dan Afrika. Pala termasuk famili Myristicaceae yang terdiri atas 15 genus (marga) dan 250 species (jenis). Dari 15 marga tersebut 5 marga di antaranya berada di daerah tropis Amerika, 6 marga di daerah tropis Afrika dan 4 marga di daerah tropis Asia (Rismunandar 1990). Tanaman pala merupakan tumbuhan berbatang sedang dengan tinggi mencapai 18 m, memiliki daun berbentuk bulat telur atau lonjong yang selalu hijau sepanjang tahun. Pohon pala dapat tumbuh di daerah tropis pada ketinggian di bawah 700 m dari permukaan laut, beriklim lembab dan panas, curah hujan 2.000-3.500 mm tanpa mengalami periode musim kering secara nyata. Daerah penghasil utama pala di Indonesia adalah Kepulauan Maluku, Sulawesi Utara, Sumatra Barat, Nanggroe Aceh Darusalam, Jawa Barat dan Papua. Produksi pala Indonesia sekitar 19,9 ribu ton per tahun. Luas areal tanaman pala semakin meningkat dari tahun ke tahun dan pada tahun 2005 mencapai 68.691 ha. Jenis-jenis tanaman pala Di Indonesia dikenal beberapa jenis pala, yaitu : 1. Myristica fragrans, yang merupakan jenis utama dan mendominasi jenis lain dalam segi mutu maupun produktivitas. Tanaman ini merupakan tanaman asli pulau Banda. 2. M. argenta Warb, lebih dikenal dengan nama Papuanoot asli dari Papua, khususnya di daerah kepala burung. Tumbuh di hutan-hutan, mutunya dibawah pala Banda. 3. M. scheffert Warb. terdapat di hutan-hutan Papua. 4. M. speciosa, Terdapat di pulau Bacan. Jenis ini tidak mempunyai nilai ekonomi 5. M. succeanea, terdapat di pulau Halmahera. Jenis ini tidak mempunyai nilai ekonomi. Komposisi kandungan kimia daging buah pala dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia daging buah pala (Soetanto, 1998) No Komposisi Jumlah 1 Kalori 42.00 kal 2 Air 88.10 % 3 Protein 0.30 g 4 Lemak 0.20 g 5 Karbohidrat 10.90 g 6 Kalsium 32.00 mg 7 Fosfor 24.00 mg 8 Besi 1.50 mg 9 Vitamin A 29.00 S.I 10 Vitamin B1 0.00 mg 11 Vitamin C 22.00 mg Sumber : (Direktorat Gizi,1979 dalam Soetanto, 1998) Dari seluruh bagian tanaman pala yang mepunyai nilai ekonomis adalah buahnya yang terdiri dari empat bagian yaitu daging buah, fuli, tempurung dan biji. Perbandingan dari keempat bagian tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 dan gambar buah pala dapat dilihat pada Gambar 1. Daging buah
3
pala cukup tebal dan beratnya lebih dari 70% dari berat buah, berwarna putih kekuning-kuningan, berisi cairan bergetah yang encer, rasanya sepet dan mempunyai sifat astringensia. Oleh karena itu jika buah masih mentah/muda, daging buah pala tidak bisa dikonsumsi langsung tetapi dapat diolah menjadi berbagai produk pangan Minyak pala dan fuli digunakan sebagai penambah flavor pada produk-produk berbasis daging, pikel, saus, dan sup, serta untuk menetralkan bau yang tidak menyenangkan dari rebusan kubis (Lewis dalam Librianto, 2004). Pada industri parfum, minyak pala digunakan sebagai bahan pencampur minyak wangi dan penyegar ruangan. Sebagai obat, biji pala bersifat karminatif (peluruh angin), stomakik, stimulan, spasmolitik dan antiemetik ( Weil, 1966). Minyak pala juga digunakan dalam industri obat-obatan sebagai obat sakit perut, diare dan bronkhitis. Sedangkan menurut Chevallier, (2001) pala berguna untuk meningkatkan daya cerna, mengobati diare dan mual. Selain itu juga untuk mengobati desentri, maag, menghentikan muntah, mulas, perut kembung serta obat rematik. Di beberapa negara Eropa, biji pala digunakan dalam dosis kecil sebagai bumbu masakan daging dan sup. Fulinya lebih disukai digunakan dalam penyedap masakan, acar, dan kecap. Menurut Rismunandar (1990), minyak atsiri dalam daging buah pala mengandung komponen myristicin. Komponen myristicin dalam daging buah pala dapat menimbulkan rasa kantuk. Minyak pala sebagai bahan penyedap pada produk makanan dianjurkan memakai dosis sekitar 0,08%, karena dalam dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan keracunan. Minyak ini memiliki kemampuan lain, yaitu dapat mematikan serangga (insektisidal), antijamur (fungisidal), dan antibakteri. Selain itu evaluasi terhadap karakteristik antioksidan dari biji pala telah diteliti oleh Jukic et al (2006) dengan pembanding BHT, asam askorbat dan a-tokoferol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak atsiri biji pala mempunyai sifat antioksidan yang kuat. Aktivitas antioksidan tersebut disebabkan sinergisme di antara komponen-komponen minyak atsiri tersebut. Akhir-akhir ini ada perkembangan baru pemanfaatan minyak atsiri pala, yaitu sebagai bahan baku dalam aromaterapi. Dilaporkan bahwa komponen utama pala dan fuli yaitu myristicin, elemicin dan iso-elemicin dalam aroma terapi bersifat menghilangkan stress. Di Jepang, beberapa perusahaan menyemprotkan aroma minyak pala melalui sistem sirkulasi udara untuk meningkatkan kualitas udara dan lingkungan. Untuk tujuan yang sama akhir-akhir ini banyak dijumpai penggunaannya dalam bentuk lain yaitu dalam bentuk potpourri, lilin beraroma, atomizer dan produk-produk pewangi lainnya.
Biji buah pala Fuli Daging buah pala
Gambar 1. Buah pala Tabel 2. Persentase berat dari bagian-bagian buah pala. Bagian buah Persentase basah % Daging 77.8 Fuli 4 Tempurung 15.1 Biji 13.1 Sumber : (Rismunandar, 1990)
Persentasi kering angin % 9.93 2.09 8.4
4
B.
MANISAN PALA
Manisan adalah jenis makanan ringan yang terbuat dari buah yang diawetkan terutama dengan menggunakan gula. Dipasaran ada empat macam manisan yang diperdagangkan. Golongan pertama adalah manisan basah dengan larutan gula encer. Buah yang sering diolah menjadi manisan jenis ini ialah salak, jambu biji, lobi-lobi, mangga, kedongdong, dan pepaya mengkal. Golongan kedua adalah manisan basah dengan larutan gula kental. Buah diolah menjadi manisan jenis ini ialah pala, ceremai, belimbing, dan lobi-lobi. Golongan ketiga ialah manisan kering bertabur gula pasir kasar. Buah yang diolah menjadi manisan jenis ini ialah asam, pala, dan kedondong. Golongan keempat ialah manisan kering asin. Rasanya asam, asin dan manis karena relatif banyak digarami. Jenis buah yang diolah ialah mangga, jambu biji, papaya, belimbing, ceremai, lobi-lobi, dan sebagainya. (Satuhu, 2004). Bahan baku untuk pembuatan manisan pala adalah buah pala yang segar, oleh karena itu buah pala yang hendak dipanen sebaiknya berumur sedang, yaitu (6-7) bulan sejak berbunga. Buah pala untuk manisan pala kering dipilih yang berukuran sedang sampai besar agar mudah dibentuk. Buah pala yang berukuran kecil tidak baik untuk pembuatan pala kering, namun masih dapat digunakan untuk diolah menjadi pala basah. Bahan penolong yang digunakan antara lain gula pasir, dan garam. Mula-mula pala direndam dalam larutan garam. Persyaratan mutu manisan pala dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Spesifikasi persyaratan mutu manisan pala SNI 01-4443-1998 No. Jenis uji Keadaan - Bau - Rasa - Warna 2 Benda-benda asing 3 Air, (b/b) 4 Gula (dihitung sebagai Sukrosa), (b/b) 5 Bahan Tambahan Makanan - Pemanis buatan - Pengawet - Pewarna tambahan 6 Cemaran Logam : - Timbal (Pb) - Tembaga (Cu) - Seng (Zn) - Raksa (Hg) 7 Arsen (As) 8 Cemaran Mikroba - Angka lempeng total - Coliform - E. Coli 9 Kapang Sumber : SNI 01-4443-1998
Satuan
Persyaratan
1
%
Khas Khas Normal Tidak boleh ada Maks. 44
%
Min. 25
-
Tidak boleh ada Sesuai SNI 01-0222-1995 Sesuai SNI 01-0222-1995
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks. 0,05 Maks. 0,5
Koloni/g APM/g APM/g Koloni/g
Maks. 1,0 x 102 Maks. 20 <3 Maks. 50
Larutan garam dibuat dengan jumlah larutan separuh dari berat bahan yang akan diolah, jadi apabila pala yang akan direndam sebanyak 10 kg maka diperlukan larutan perendam sebanyak 5 liter dengan kandungan garam 10%. Buah pala yang telah disortir dan dibersihkan selanjutnya dikupas dan
5
direndam dalam larutan garam selama 1 malam, kemudian ditiriskan. Perendaman dengan larutan garam dimaksudkan agar buah pala tidak mengalami pencoklatan setelah dikupas. Biji yang masih terbungkus fuli dan masih berada di dalam daging buah dikeluarkan dan dikumpulkan. Kemudian diangkat dan ditiriskan. Buat larutan gula dengan cara memasak atau merebus 2 liter air bersih, 500 g gula pasir. Setelah larutan agak dingin, irisan buah pala dimasukan, dan diaduk hingga merata (Soetanto, 1998). Persyaratan mutu manisan pala dapat dilihat pada Tabel 3.
C.
Kalsium Klorida (CaCl2)
Jaringan sel tananaman yang keras terutama disebabkan oleh adanya ikatan molekul antara gugus karboksil bebas dari komponen penyusun dinding sel yaitu pektin. Sayur-sayuran dan buahbuahan dapat mengalami perubahan tekstur menjadi lunak akibat pelunakan selulosa dan perubahan pektin menjadi bentuk yang mudah larut (Mc Williams,1980 dalam Jendrawati, 1989). Menurut Adam dan Blunstone (1972) dalam Jendrawati (1989) zat pektin yang berperan dalam perubahan tekstur adalah protopektin yang mempunyai sifat tidak larut dalam air. Selama proses pematangan, penyimpanan, dan pengolahan pada suhu tinggi, sebagian protopektin akan berubah menjadi pektin yang larut dalam air sehingga tekstur menjadi lunak. Perubahan tekstur menjadi lunak dapat dicegah mengunakan garam kalsium dimana kalsium akan bereaksi dengan gugus karboksil dari pektin. Kalsium bervalensi dua, sehingga terjadi ikatan yang menyilang antara karboksil dari pektin tersebut dengan kalsium, dan bila ikatan tersebut dalam jumlah banyak membentuk jaringan molekul kalsium pektat yang tidak larut air. (Mc Williams 1980, dalam Jendrawati, 1989). Untuk memperoleh tekstur yang keras, dapat ditambahkan garam kalsium sebanyak 600 ml/kg bahan. Karena itu CaCl2 sering digunakan sebagai pengeras dan penggaring pada pengolahan buahbuahan dan sayuran, Selain dapat memperkeras tekstur, CaCl2 juga dapat mencegah terjadinya reaksi pencoklatan non enzimatis. Hal ini disebabkan oleh karena ion kalsium bereaksi dengan asam amino sehingga menghambat reaksi asam amino dengan gula pereduksi yang menyebabkan pencoklatan (Susanto dan Saneto, 1984).
D.
PROSES PENGALENGAN
Pengalengan merupakan cara pengawetan bahan pangan dalam wadah yang tertutup rapat (hermetis) dan disterilisasi dengan panas (Desrosier, 1988). Setelah proses sterilisasi harus segera dilakukan proses pendinginan untuk mencegah terjadinya “over cooked” pada makanan dan tumbuhnya kembali bakteri termofilik (Winarno dan Fardiaz, 1980). Proses pengalengan modern biasanya melibatkan operasi-operasi sebagai berikut : 1. Pembersihan dan preparasi. Semua bagian yang tidak dapat dimakan dihilangkan dari bahan makanan yang dikalengkan, kemudian dipotong-potong dan dicuci. 2. Blansir. Hampir semua pangan yang berupa sayuran diblansir, dengan cara dicelup dalam air mendidih atau diuapi. Proses blansir ini berguna untuk membersihkan jaringan dan mengurangi jumlah mikroba awal, meningkatkan suhu produksi produk atau jaringan, membuang udara yang masih ada di dalam jaringan, menginaktivasi enzim, menghilangkan rasa mentah, memberikan warna yang dikehendaki dan mempermudah pengaturan produk dalam kaleng. 3. Pengisian dan Exhausting. Kaleng terbuka yang telah dicuci diisi dengan sejumlah berat makanan. Untuk sayuran, buah-buahan dan beberapa jenis makanan yang lain, kaleng dituangi cairan sampai 1 cm dari bibir atas. Jika bahannya sayuran umumnya digunakan
6
cairan larutan garam, atau sirup jika bahannya buah-buahan. Kaleng yang telah diisi dengan buah (dan sirop) kemudian dilakukan proses exhausting. Tujuan exhausting adalah untuk menghilangkan sebagian besar udara dan gas-gas lain dari dalam bahan dan kaleng sesaat sebelum dilakukan penutupan kaleng. Exhausting penting dilakukan untuk memberikan kondisi vakum pada kaleng setelah penutupan. 4. Penutupan. Tutup dipasang pada kaleng, dan ditutup mengunakan mesin penutup otomatis, yang membengkokan bagian pinggir tutup dan mulut kaleng dalam bentuk gulungan. Gulungan tersebut kemudian dipipihkan membentuk suatu segel yang tertutup rapat, kedap udara. Seperti tertera pada Gambar 2. 5. Sterilisasi bertujuan untuk menghancurkan mikroba pembusuk dan pathogen, selain juga berguna untuk membuat produk menjadi cukup masak, dilihat dari penampilan, tekstur, dan cita rasanya sesuai dengan yang diinginkan. (Adawyah 2007). 6. Pendinginan. Setelah proses sterilisasi, kaleng kemudian didinginkan, proses pendinginan dinyatakan selesai bila suhu air dalam retort telah mencapai 38-42°C. Tujuan dari pendinginan adalah untuk memperoleh kesegaran (waktu dan suhu) dalam proses dan untuk mempertahankan mutu akhir. Pendinginan dilakukan secepatnya setelah proses pemanasan selesai, untuk mencegah pertumbuhan kembali bakteri, terutama bakteri termofilik. Apabila pendinginan terlalu lambat dilakukan maka produk akan cenderung terlalu masak sehingga akan merusak tekstur dan cita rasanya.
Gambar 2. Proses penutupan kaleng (Hariyadi, 2000)
E.
PROSES TERMAL
Proses termal merupakan suatu ilmu yang berkembang sejak termokopel digunakan untuk mengukur suhu. Secara industri, teknik pengemasan untuk mengawetkan makanan sudah sangat berkembang, sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk pangan hingga waktu beberapa bulan hingga beberapa tahun. Menurut Hariyadi (2000), ada beberapa keuntungan dari proses termal. Keuntungan dari proses pemanasan atau pemasakan ini adalah : a. Terbentuknya tekstur dan cita rasa yang khas dan disukai b. Rusak atau hilangnya beberapa komponen anti gizi c. Peningkatan ketersediaan beberapa zat gizi, misalnya peningkatan daya cerna protein dan karbohidrat d. Terbunuhnya mikroorganisme sehingga meningkatkan keamanan dan keawetan pangan e. Menyebabkan inaktifnya enzim-enzim perusak, sehingga mutu produk lebih stabil selama penyimpanan. Namun, ada pula kerugian yang diakibatkan oleh proses pemanasan, antara lain adanya kemungkinan rusaknya beberapa zat gizi dan mutu (umumnya yang berkaitan dengan mutu
7
organoleptik seperti tekstur, warna, dan lain-lain), terutama jika proses pemanasan tidak terkontrol dengan baik. Oleh karena itu, proses pengolahan dengan suhu tinggi perlu dikendalikan dengan baik. Kontrol terpenting dalam pemanasan adalah kontrol suhu dan waktu. Selama pemanasan terdapat dua hal penting yang terjadi, yaitu destruksi atau reduksi mikroba dan inaktivasi enzim yang tidak dikehendaki. Proses pemanasan untuk meningkatkan daya simpan, dilakukan dengan cara blansir, pasteurisasi, dan sterilisisasi.
F.
PERHITUNGAN KECUKUPAN PANAS
1. Kalkulasi Proses Thermal Berbagai cara untuk mengkalkulasi proses thermal sudah banyak dilaporkan. Umumnya metode kalkulasi ini pada prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu (1) metoda golongan I yang menghitung berdasarkan evaluasi derajat kematian pada titik di dalam kaleng yang paling lambat menerima panas, dan (2) metode golongan II yang menghitung berdasarkan evaluasi derajat kematian rata-rata pada seluruh isi kaleng secara terintegrasi. Secara garis besar metode golongan ini dapat dibagi menjadi dua yaitu : metoda umum dan metoda formula. Metoda yang pertama umumnya tidak dapat digunakan untuk meramalkan bagaimana hubungan antara waktu dan suhu dalam suatu bahan pangan selama pemanasan, sedangkan metoda yang kedua dapat meramalkan hal tersebut. (Muchtadi, 2008). a. Metoda Umum Metoda ini adalah metoda yang paling teliti dalam mengkalkulasi proses sterilisasi, karena suhu bahan pangan yang diukur dalam percobaan, secara langsung digunakan dalam perhitunganperhitungan tanpa mengasumsi hubungan waktu-suhu dari makanan tersebut. Untuk mengestimasi nilai sterilisasi produk, secara matematik dapat digunakan persamaan sebagai berikut (Muchtadi, 2008). Target pembunuhan proses termal sering dinyatakan dalam satuan reduksi desimal mikroba, misalnya 12D artinya reduksi mikroba 12 siklus logaritma atau reduksi dari 1 menjadi 10-12. Dalam persamaan dapat ditulis sebagai berikut (Muchtadi, 2008) : (1) Keterangan : D = Waktu pemanasan pada suhu tertentu untuk mereduksi mikroorganisme menjadi 1/10 a dan b = Jumlah mikroorganisme yang tahan setelah pemanasan t1 dan t2= Waktu dalam menit Nilai z adalah derajat kenaikan atau penurunan suhu untuk menurunkan atau menaikkan nilai D 10 kali. Dalam persamaan dapat ditulis sebagai berikut (Muchtadi, 2008) : (2) Keterangan : Z = Jumlah derajat F dibutuhkan oleh kurva melewati 1 siklus logaritma D1 dan D2 = Waktu pemanasan pada suhu tertentu untuk mereduksi mikroorganisme T1 dan T2 = Suhu
8
Metode umum didasarkan pada hubungan lethal rate (L) dan waktu (t). L adalah tingkat sterilitas mikroba yang disetarakan pada suhu 121.1 oC atau 250 oF (Hariyadi, Kusnandar 2000). L dalam persamaan dapat dilihat pada persamaan (3) dalam (Muchtadi, 2008). 10 Keterangan : L Z T
(3)
= Tingkat sterilitas mikroba yang disetarakan pada suhu 121.1 oC = Jumlah derajat F dibutuhkan oleh kurva melewati 1 siklus logaritma = Suhu produk
Kurva kematian Termal untuk spora dan sel-sel vegetative organisme yang resisten terahadap panas dapat dilihat pada Gambar 3.
Kurva waktu kematian termal
Termal death time (menit)
D2 Satu sik‐ lus log
Harga z
D1
Nilai F
Gambar 3. Kurva kematian Termal untuk spora dan sel-sel vegetative organisme yang resisten terahadap panas dapat dilihat pada (Desrosier, 2008). Untuk evaluasi dan penetapan proses termal, maka harus diidentifikasi mikroorganisme yang dijadikan target. Kinetika destruksi mikroorganisme yang menjadi target (nilai D, z, dan lethal rate) harus diketahui. Untuk perhitungan dengan Metode Umum, letalitas proses dihitung dengan cara integrasi lethal rate terhadap waktu, dalam persamaan berikut (4). Fo adalah ekivalen letalitas proses termal dengan waktu pemanasan pada suhu 121.1 oC atau 250 oF. ∑
∆
(4)
9
Luasan di bawah kurva hubungan L dan waktu menunjukkan Fo proses sterilisasi. Luasan kurva dapat ditentukan dengan melakukan pendekatan jumlah luasan trapesium tiap satuan waktu. Metode umum (trapezoidal) menganggap letalitas antar titik (waktu) yang diukur membentuk garis lurus sehingga letalitas setiap selang waktu adalah luas trapesium dengan tinggi (tn-tn-1), panjang atas dan bawah masing-masing Ln dan Ln-1. Perhitungan dapat dilakukan dengan menggunakan spreadsheed (Excel). Nilai Fo merupakan hasil penjumlahan Fo parsial atau luasan dibawah kurva trapesium. n
Fo = ∑ i =1
∧t ( Lo + 2 L1 + 2 L2 + 2 L3 + ....................... + 2 L( n −1) + 2 Ln ) 2
(5)
Perhitungan letalitas proses termal dengan metode umum dapat dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel dari data penetrasi panas yang telah diperoleh. Berikut langkah-langkah perhitungan letalitas proses termal dengan metode umum dengan bantuan Microsof Excel : 1. Masukkan data waktu pada satu kolom (misal kolom A). Rentang waktu tidak harus sama. 2. Masukkan data ∆t pada kolom berikutnya (kolom B) dengan cara t2-t1 Excel = A3 − A 2 3. Masukkan data suhu produk pada kolom berikutnya (misalnya kolom C). 4. Pada kolom ketiga (kolom D) masukkan rumus untuk menghitung letalitas dan copy untuk baris-baris di bawahnya pada kolom tersebut.
Excel = 10∧ ((B2 − 176) / 12) 5. Pada cell pertama kolom ke-4 masukkan rumus untuk menghitung ∆t.L Excel = B3 * D 3 6. Untuk menduga nilai letalitas sepanjang proses (Fo), pada kolom berikutnya (E) tulis rumus penjumlahan tersebut, cell diatasnya dengan kolom sebelumnya pada cell tersebut. Excel = E 3 + D 4
1.
Konsep 12D dan 5D
Konsep 12D merupakan konsep yang umum digunakan dalam sterilisasi komersial untuk menginaktifkan mikroorganisme yang berbahaya, yaitu Clostridium botulinum. Arti 12D adalah bahwa proses termal yang dilakukan dapat mengurangi mikroba sebesar 12 siklus logaritma atau F=12D. Bila bakteri C. botulinum memiliki nilai D121= 0.25 menit, maka nilai sterilisasi (Fo) dengan menerapkan konsep 12D harus ekuivalen dengan pemanasan pada 121˚C selama 3 menit. Apabila produk pangan mengandung 103 cfu/ml mikroba awal, maka setelah melewati proses 12D tersebut, maka peluang mikroba yang tersisa adalah 10-9 cfu/ml. FDA menetapkan bahwa untuk mencapai tingkat sterilisasi komersial yang terjamin, jumlah bakteri dalam produk pangan setelah sterilisasi harus mencapai 10-9 cfu/ml (artinya, peluang kebusukan adalah 1 per 1 milyar kaleng). Dengan demikian, konsep 12D dapat diterapkan dalam proses sterilisasi apabila jumlah awal mikroba tidak melebihi 103 cfu/ml. Konsep 5D banyak diterapkan untuk produk pangan yang dipasteurisasi, karena target mikroba yang dibunuh lebih rendah dibanding pada produk yang disterilisasi komersial. Dalam konsep 5D
10
diterapkan 5 siklus logaritma, yang artinya telah terjadi pengurangan sebanyak 5 desimal atau pembunuhan mikroba mencapai 99.999%. Misalnya, bila digunakan mikroba target untuk pasteurisasi adalah Bacillus polymyxa (D100=0.5 menit), maka nilai F dengan menerapkan konsep 5D harus ekivalen dengan pemanasan pada 100˚C selama 2.5 menit. Kurva Daya tahan mikroba terhadap panas sebagai pengaruh dari umur dan fase pertumbuhan Gambar 4.
Gambar 4. Daya tahan mikroba terhadap panas sebagai pengaruh dari umur dan fase Pertumbuhan (Hariadi,2004).
b. Metoda Formula Metode Formula digunakan untuk merancang proses termal karena metode ini dapat meramalkan hubungan waktu dengan suhu dalam bahan pangan selama pemanasan. Untuk perhitungan proses termal menggunakan metode formula, data penetrasi panas diolah sehingga diperoleh karakteristik penetrasi panas dalam pangan yang diproses (fh, fc, jh, jc). Parameter respon suhu fh dan fc menunjukkan laju penetrasi panas ke dalam produk dalam wadah, fh adalah waktu yang diperlukan kurva penetrasi panas melewati 1 siklus log pada fase pemanasan, dan fc untuk fase pendinginan. Lag factor jh dan jc menggambarkan waktu lag (kelambatan) sebelum laju penetrasi mencapai fh dan fc. Persamaan umum hubungan suhu produk dengan waktu pemanasan pangan dalam wadah adalah sebagai berikut (Muchtadi, 2008) : 10
(6)
11
Atau: (7) dimana: t = waktu proses T = suhu produk (pada titik terdingin) Tr = suhu retort saat proses Ti = suhu awal produk fh= waktu diperlukan kurva penetrasi panas melewati 1 siklus log Ball menggunakan fakta bahwa nilai sterilitas porsi pemanasan dari proses termal merupakan fungsi dari slope (kemiringan) kurva pemanasan (fh) dan perbedaan suhu medium pemanas dengan suhu produk pada akhir pemanasan (Tr - T) = g. Dari persamaan hubungan suhu produk dengan waktu pemanasan, maka diturunkan persamaan berikut (Muchtadi, 2008): .
log tB = waktu proses, log
log
⁄
⁄
(8) ,
(9)
Dari tabel atau kurva hubungan fh dan waktu pemanasan pada suhu retort untuk mencapai sterilitas yang diinginkan (U = Fo/Lr) dengan nilai g, dapat ditentukan nilai g, sehingga nilai tB dapat dihitung. Atau sebaliknya jika waktu proses (tB) telah diketahui, nilai sterilitas proses (Fo) dapat dihitung. Pertama dihitung log kemudian nilai sterilitas letalitas proses Fo = (fh x Lr) / (fh/U). Ball formula method menggunakan asumsi: fh = fc, jc = 1.41 dimana transisi pemanasan ke pendinginan berupa parabola pada plot semilog dan suhu medium pendinginan 180 di bawah suhu medium pemanasan. B atau tB = Ball processing time = 0.42 tc + tp th = total heating time = tc + tp tc = come up time = waktu sejak uap dimasukkan sampai retort mencapai suhu proses tp = operator time = waktu sejak suhu retort mencapai suhu proses diinginkan sampai suplai uap dihentikan. Stumbo memasukkan nilai jc dalam perhitungan proses termal tanpa asumsi, sehingga akan berbeda dengan metode Ball jika nilai jc tidak sama dengan 1.41. Tabel hubungan fh/U dengan nilai g atau nilai log (g) pada berbagai nilai jc telah tersedia. Untuk perhitungan harus diingat bahwa bentuk persamaan umum hubungan suhu dengan waktu adalah (10) dimana: t = waktu proses T = suhu produk (pada titik terdingin) Tr = suhu retort saat proses Tpih = suhu awal semu berdasarkan kurva linier Fh = waktu diperlukan kurva penetrasi panas melewati 1 siklus log
12
Dalam Metode Formula, data suhu – waktu dari percobaan penetrasi panas diplotkan pada kertas semi-logaritma. Untuk memperoleh kurva pemanasan, perbedaan antara suhu retort dan suhu bahan pangan di dalam kaleng diplotkan pada skala logaritma sebagai fungsi dari waktu pada skala linier. Hal ini dapat dilakukan dengan memutar kertas semi-logaritma 180o, kemudian garis tertinggi diberi tanda dengan suhu retort dikurangi satu derajat (oF), setelah itu plotkan data pengamatan yang diperoleh. Untuk memperoleh kurva pendinginan, perbedaan antara suhu bahan pangan di dalam wadah dengan suhu air pendingin diplotkan pada skala logaritma sebagai fungsi dari waktu pada skala linier. Dalam hal ini kertas semi-logaritma dibiarkan pada posisi normal dan garis terbawah diberi tanda dengan suhu air pendingin ditambah satu derajat (oF), setelah itu plotkan data pengamatan yang diperoleh. Jika ingin kertas semilog dalam posisi normal sehingga dapat menunjukkan bahwa hubungan linier adalah antara nilai log perbedaan suhu proses (retort) dan suhu bahan atau ditulis log (Tr - T) dengan waktu, bukan log suhu bahan atau log (T) dengan waktu, sebelumnya harus dihitung nilai-nilai suhu retort dikurangi suhu produk pada setiap titik pengukuran.
G.
PEMILIHAN JENIS KEMASAN
Pangan steril komersial bisa dikemas dalam berbagai jenis, antara lain dengan menggunakan kemasan kaleng, botol, plastik atau kertas. Pemilihan jenis kemasan untuk makanan kaleng sering kali mempertimbangkan faktor penampilan, perlindungan, fungsional, harga dan biaya, dan sifat kuat/kokoh/tahan terhadap proses pemanasan pada suhu tinggi, serta tetap hermetis selama dan setelah proses pengolahan. Menurut Buckle et al. (1983) wadah yang digunakan untuk mengalengkan dapat berupa kaleng (tin plate), botol jar dan aluminium. Syarat utama wadah yang dapat digunakan untuk pengalengan makanan adalah tertutup rapat (hermetis), tidak dapat dimasuki udara, uap air atau mikroba. 1.
Wadah Kaleng (tin plate) Kemasan kaleng umumnya terbuat dari tin plate, yaitu baja yang dilapisi dengan timah untuk mengurangi korosi. Namun, sekarang banyak digunakan tin free steel, yaitu baja yang dilapisi dengan chromium untuk mencegah korosi. Tin plate biasanya terdiri atas 9 lapisan dengan bagian tengah terbuat dari baja yang pada setiap sisinya dilapisi oleh suatu lapisan campuran timah-besi, kemudian timah, selapis oksida dan selanjutnya lapisan tipis minyak. Baja yang digunakan untuk membuat kaleng makanan mengandung kadar karbon rendah. Penelitian-penelitian telah membuktikan bahwa komposisi baja merupakan faktor penting untuk memperoleh umur pakai kaleng yang memadai bagi bahan pangan yang korosif. (Muchtadi D, 1991). Baja jenis L khusus dibuat mengandung kadar fosfor dan mineral lain yang rendah, sehingga harganya relatif lebih mahal. Pelat baja jenis ini khususnya digunakan untuk membuat kaleng bagi bahan pangan yang sangat korosif, misalnya buah ceri, buah prem kering dalam sirup, buah prembus dan arbei serta asinan. Baja jenis MS sama dengan jenis L tetapi mengandung kadar tembaga yang lebih tinggi. Pelat baja jenis ini banyak digunakan dalam pembuatan kaleng untuk asinan kubis. Pelat baja jenis MR khususnya digunakan dalam pembuatan kaleng untuk buah-buahan yang agak masam seperti jeruk dan sari buahnya, buah persik, dan buah nenas. Pelat baja jenis ini mengandung fosfor lebih tinggi dari pada jenis L, tetapi kadar mineral lainnya tidak dibatasi secara khusus. Untuk bahan pangan yang kadar asamnya sangat rendah, misalnya daging, ikan dan sayur-sayuran dapat digunakan semua jenis pelat baja. Umumnya yang digunakan adalah jenis MR C. Beberapa jenis bahan pangan
13
yang digolongkan berdasarkan korosifitasnya dan jenis pelat baja yang digunakan dalam pembuatan wadah kalengnya dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5. Tabel 4. Klasifikasi bahan pangan berdasarkan korosifitasnya dan jenis pelat baja yang diperlukan Golongan bahan pangan Karakteristik Contoh Jenis pelat baja L Sangat korosif Bahan pangan berasam Sari buah apel prambus dan arbei, tinggi atau sedang, termasuk buah-buahan ceri, prem asinan berwarna dan asinan Jenis MS Asinan kobis Korosif moderat Sayur-sayuran yang Jenis MR Aprikot diasamkan dan buahJeruk buahan yang agak Anggur asam Persik Jenis MR Agak korosif Bahan pangan Kacang polong Jenis MC berasam rendah Jagung Daging Ikan Jenis MR atau Tidak korosif Bahan pangan kering Sop kering jenis MC dan tidak disterilkan Makanan beku Kacang-kacangan dan shortening Sumber : (Ellis, 1983 dalam Muchtadi D, 1991) Tabel 5. Spesifikasi kimia baja sebagai bahan baku dalam pembuatan kaleng makanan Persentasi yang diijinkan Elemen
Jenis L
Jenis MS
Jenis MR
Jenis MC
Mineral
Tutup kaleng bir
Mangan
0.25-0.60
0.25-0.60
0.25-0.60
0.25-0.60
0.25-0.60
Karbin
Maks 0.12
Maks 0.12
Maks 0.12
Maks 0.12
Maks 0.15
Fosfor
Maks 0.015
Maks 0.015
Maks 0.02
0.07-0.11
0.10-0.15
Belerang
Maks 0.05
Maks 0.05
Maks 0.05
Maks 0.05
Maks 0.05
Silika
Maks 0.01
Maks 0.01
Maks 0.01
Maks 0.01
Maks 0.01
Tembaga
Maks 0.06
0.10-0.20
Maks 0.20
Maks 0.20
Maks 0.20
Nikel
Maks 0.04
Maks 0.04
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Khrom
Maks0.06
Maks 0.06
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Molibdat
Maks 0.05
Maks 0.05
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Arsen
Maks0.02
Maks 0.02
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Sumber : (Ellis, 1963 dalam Muchtadi D,1991). Keuntungan kaleng (tin plate) antara lain adalah dapat melindungi bahan pangan dari kontaminasi mikroba akibat kekuatan dan kekakuannya, dapat dikerjakan dengan kecepatan tinggi, mempunyai daya ketahanan tinggi terhadap karet, penampakan menarik, tahan terhadap tekanan dan
14
suhu tinggi. (Buckle et all, 2009). Kaleng yang digunakan dalam penelitian merupakan kaleng jenis MR. 2.
Kemasan gelas
Gelas didefinisikan sebagai suatu larutan silikat yang cocok dibentuk dengan pemanasan dan fusi, dengan pendinginan untuk mencegah terjadinya kristalisasi. Gelas merupakan suatu cairan amorf, jernih atau bening (Desrosier, 2008). Gelas biasanya terdiri dari tiga jenis oksida : 1) Oksida silikat pemebenttuk gelas (pasir kualitas tinggi). Fosfat tertentu yang juga merupakan bahan pembentuk gelas. 2) Oksida pencair. Natrium, kalium, dan litium oksida digunakan pula, yang pertama yang paling menonjol. Pencampuran dari oksida pencair dengan oksida pemebntuk gelas menghasilkan suatu produk yang larut dalam air. 3) untuk menurunkan kelarutan ini digunakan suatu kelompok oksida ketiga yang dikenal dengan oksida pemantap, pada umumnya ialah kalsium dan magnesium. Oksida barium dan aluminium digunakan dalam jumlah sedikit. Kemasan gelas makanan terdiri dari natrium, kalsium dan magnesium silikat. Perkiraan komposisi gelas untuk botol buah-buahan adalah sebagai berikut : SiO2 74 persen, Na2O 18 persen, CaO 7 persen, MgO 1 persen dan sejumlah kecil FeO3 dan MnO2. 3.
Kemasan plastik film
Berbagai jenis bahan kemasan lemas mulai bermunculan diantaranya polyethylene, polypropylene, polyester untuk membungkus makanan atau dalam bentuk lapisan dengan bahan lain yang direkatkan bersama. Kombinasi tersebut disebut laminasi. Dengan prinsip kemasan laminasi tersebut, memungkinkan mengembangkan berbagai jenis kemasan yang mampu memiliki berbagai unggulan yang dituntut oleh persyaratan keperluan baik oleh produk itu sendiri, konsumen maupun produsen. Sifat-sifat laminasi dari dua atau lebih film dapat memiliki sifat yang unik. Contohnya kemasan yang terdiri dari lapisan kertas/polyethylene/aluminium foil/polypropylene, sangat cocok untuk kemasan makanan kering. Lapisan luar terdiri dari kertas berfungsi untuk cetakan permukaan yang ekonomis dan murah. Polyethilene berfungsi sebagai perekat antara aluminium foil dengan kertas. Aluminium foil meskipun hanya setipis 0.00035 inch, memiliki barier yang kuat dan superior. Sedang polyethylene bagian dalam mampu memberikan kekuatan dan kemampuan untuk direkat atau ditutup dengan panas. Dengan konsep laminasi, masing-masing lapisan saling menutupi kekurangannya sehingga menghasilkan lembar kemasan yang bermutu tinggi. Persyaratan agar kemasan lemas dapat digunakan sebagai retort pouch adalah memiliki daya simpan tinggi, teknik penutupan mudah, kuat dan tidak mudah sobek tertusuk, dan tahan terhadap proses panas sterilisasi tinggi (Winarno, 2004). Suatu contoh dari hasil perkembangan kemasan lemas adalah polyester/adhesive/aluminium foil/polypropylene. Polyester adalah plastik yang memiliki ketahanan tinggi terhadap suhu tinggi, kuat, dan dapat dilakukan pencetakan pada permukaannya dan ternyata sekaligus dapat bekerja sebagai adhesive bagi aluminium foil. Polypropylene juga bersifat adhesive terhadap aluminium foil dan dapat ditutup secara kuat dengan pemanasan (thermoplastis). Susunan bahan kemasan tersebut terdiri dari film polyester (0.5 mil) yang dilapis dengan kertas aluminium (0.00035 inch) dan kemudian dilaminasi lagi dengan film polypropylene, masing-masing lapisan memerankan peranan yang penting dalam pengemasan jadi.
15
H.
PARAMETER PEMANASAN
Pada pengawetan pangan, secara teknis ada beberapa cara yang menggunakan prinsip mikrobiologis yaitu mengurangi jumlah seminimal mungkin organisme pembusuk, mengurangi kontaminasi mikroorganisme, menciptakan suasana lingkungan yang tidak sesuai mikroorganisme pembusuk, serta mematikan mikroorganisme dengan cara pemanasan (Adawyah, 2007). Mikroorganisme dapat dibagi menjadi dua kelompok besar berdasarkan ketahanannya terhadap panas yaitu sel-sel vegetatif dan spora-spora dari ragi dan jamur, yang mudah dihancurkan oleh panas pada suhu sampai 80%, dan spora-spora bakteri dimana banyak diantaranya yang tahan pada pemasakan dalam air mendidih untuk jangka waktu yang lama. Ketahanan panas mikroorganisme dan spora-spora dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuk: 1. Umur dan keadaan organisme atau spora sebelum dipanaskan 2. Komposisi medium dimana organisme atau spora itu tumbuh. 3. pH dan aw media pemanasan. 4. Suhu pemanasan. 5. Konsentrasi awal organisme atau sporanya. Tabel 6. Perbandingan Daya Tahan Terhadap Panas dari Beberapa Organisme yang Penting dalam Kerusakan Makanan Kaleng. Kelompok mikroorganisme Perkiraan kisaran daya tahan terhadap panas D (menit) Z (kisaran o C) Bahan pangan berasam sedang dan rendah (pH di atas 4,5) Termofilik (spora) D121 Asam tawar (flat sour) B. stearothermophilus 4,0 - 5,0 7,6 -12,1 Pembusuk pembentuk gas (gaseous-spoiler) C. Thermosaccharoly ticun 3.0 – 4,0 8,8 -121,1 Pembusuk pembentuk sulfit ( sulfit stinker) C. nigrificans 2,0 – 3,0 8,8 – 12,1 Mesofilik (spora) Pembusuk anaerobic (putrefractive anaerobes) C. botulinum (tipe A,B) 0,1 – 0,20 7,6 - 10,0 C. sporogenes (termasuk P.A. 3679) 0,10 - 1,5 7,6 - 10,0 Bahan pangan asam (pH 3,7 atau 4,0-4,5) Thermofilik (spora) B. thermoacidurans (coagulans) (fakultatif mesofilik) 0,01 – 0,07 7,6 - 10,0 Mesofilik (spora) D100 B. polymyxa, B. macerans 0,10 – 0,50 6,5 – 8,8 Anaerobik Butirik 10 – 0,50 6,5 – 8,8 C. pasteurianum Bahan pangan berasam tinggi (pH di bawah 3,7-4,0) Mesofilik, bakteri tidak berspora D65 Lactobacillus spp, leuconostoc spp, ragi dan 0,50 – 1,00 4,4 – 5,5 jamur Sumber: (Buckle, et all, 2009).
16
Ketahanan panas mikroorganisme biasanya dinyatakan dengan istilah waktu reduksi desimal (decimal reduction time) atau waktu yang dibutuhkan pada suhu tertentu untuk menurunkan jumlah sel atau spora sepuluh kali lipat, atau waktu kematian akibat panas (thermal death time), waktu yang dibutuhkan pada suhu tertentu untuk membinasakan secara sempurna organisme atau sporanya. (Buckle, et all, 2009). Nilai Z suatu organisme atau spora adalah selang suhu dimana akan terjadi penambahan atau pengurangan sepuluh kali lipat dalam waktu yang dibutuhkan baik untuk menurunkan sampai 90% atau pembinasaan seluruhnya. (Buckle, et all, 2009). Menurut (Buckle, et all, 2009), nilai pH makanan merupakan faktor yang penting dalam menentukan besarnya pengolahan dengan panas yang dibutuhkan untuk menjamin tercapainya sterelisasi komersial. Bahan pangan biasanya termasuk ke dalam satu diantara empat kelompok berikut berdasarkan nilai pH-nya : 1. Bahan pangan tidak asam: pH diatas 5.0 (atau 5.3) 2. Bahan pangan berasam sedang: pH diantara 4.5 dan 5 (atau 5.3) 3. Bahan pangan asam: pH diantara (3.7 atau) 4.0dan 4.5 4. Bahan pangan berasam tinggi: pH dibawah (3.7 atau) 4.0.
I.
PERANAN MIKROORGANISME DALAM BIDANG PANGAN
Mikroorganisme tersebar luas di alam lingkungan, dan sebagai akibatnya produk pangan jarang sekali yang steril dan umumnya tercemar oleh berbagai jenis mikroorganisme. Bahan pangan dapat bertindak sebagai perantara atau subtract untuk tumbuhnya organisme yang bersifat patogenik terhadap manusia. Penyakit menular yang cukup berbahaya seperti tipes, kolera, disentri, TBC, dan poliomilitis dengan mudah disebarkan melalui bahan pangan. Banyak bakteri saprofitik yang hidup pada bahan makanan dapat merusak serta meracuni bahan makanan tersebut. akibat aktivitas tersebut, tidak sedikit kerugian yang ditimbulkannya. Berikut adalah contoh bakteri perusak pada bahan makanan, yaitu : Pseudomonas cocovenenans penghasil asam bongkrek pada tempe bongkrek. Clostridium botulinum penghasil toksin pada makanan dan minuman kaleng. Erwina, Bacillus dan Clostridium bersifat pektolitik yang menyebabkan busuk air atau busuk lunak (soft rot) pada sayuran dan buah-buahan dan juga dapat menyebabkan hilangnya kemampuan membetuk gel pada sari buah. Alcaligens viscolactis dan enterobacter aerogenes menyebabkan pelendiran pada produk buah-buahan, sayuran, cider, dan bir. Spora bakteri termofilik pada umumnya sangat resisten terhadap pemanasan sehingga mampu bertahan hidup/survive. Karena bakteri ini bersifat termofilik, maka pada suhu biasa mereka tidak akan tumbuh. Tetapi bila kaleng tidak didinginkan dengan cukup, produk pengalengan tetap pada kisaran suhu yang panas maka spora kuman termofilik kemudian mampu bergerminasi dan mulai berkembang biak. Hal yang sama pula bila produk jadi pasca panen sterilisasi disimpan dalam ruangan dengan suhu panas lebih dari 38 0C. Pada waktu spora bakteri termofilik bermigrasi dan tumbuh, terbentuklah suatu zat yang asam, sehingga memberikan kesan bau atau rasa masam.
17