II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Subak Subak adalah organisasi tradisional dibidang tata guna air dan tata tanaman di tingkat usaha tani pada masyarakat adat di Bali. Subak bersifat sosioagraris, religius, ekonomis yang secara historis terus tumbuh dan berkembang, seperti dinyatakan dalam pemerintah-daerah Provinsi Bali No.09/PD/DPRD/2012. Arif (l999) memperluas pengertian karakteristik sosioagraris-religius dalam sistem irigasi subak. Dengan menyatakan lebih tepat subak itu disebut berkarakteristik sosio-teknis-religius, karena pengertian teknis cakupannya menjadi lebih luas, termasuk diantaranya teknis pertanian, dan teknis irigasi. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.20 Tahun 2006 tentang Irigasi, yang dimaksud dengan irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa dan irigasi tambak. Sedangkan sistem irigasi meliputi prasarana irigasi, air irigasi, manajemen irigasi, kelembagaan pengelolaan irigasi, dan sumber daya manusia. Jaringan irigasi adalah satu kesatuan saluran dan bangunan yang diperlukan untuk pengaturan air irigasi, mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian, pemberian dan penggunaannya. Mengingat komponen sistem irigasi seperti dituangkan dalam peraturan pemerintah juga dijumpai dalam komponen irigasi pada subak di Bali, maka sistem subak di Bali tidak bertentangan dengan sistem irigasi seperti yang dimaksud dalam peraturan pemerintah tersebut.
5
6
Selanjutnya, dalam PP No.20 Tahun 2006 juga disebutkan bahwa perkumpulan petani pemakai air adalah kelembagaan pengelolaan irigasi yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah pelayanan irigasi yang dibentuk oleh petani pemakai air sendiri secara demokratis, termasuk lembaga lokal pengelola irigasi. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa subak merupakan bentuk kelembagaan pengelola irigasi di Bali yang secara resmi diakui keberadaannya oleh pemerintah. Pusposutardjo (l997) dan Arif (l999) yang meninjau subak sebagai sistem teknologi dari suatu sosio-kultural masyarakat, menyimpulkan bahwa sistem irigasi (termasuk subak) merupakan suatu proses transformasi sistem kultural masyarakat yang pada dasarnya memiliki tiga subsistem yaitu subsistem budaya (pola pikir, norma dan nilai), subsistem sosial (termasuk ekonomi), dan subsistem kebendaan (termasuk teknologi). Semua subsistem itu memiliki hubungan timbalbalik, dan juga memiliki hubungan keseimbangan dengan lingkungannya seperti terlihat dalam Gambar 1.
Gambar 1. Hubungan Timbal Balik Antar Subsistem Dalam Sistem Manajemen Irigasi Masyarakat yang Bersifat Sosio-kultural (Sumber: Pusposutardjo, l997 dan Arif, l999)
7
Gambar 1 menunjukkan bahwa dengan menyatunya antar ketiga subsistem dalam sistem irigasi subak, maka secara teoritis konflik antar anggota dalam organisasi subak maupun konflik antar subak yang terkait dalam satu sistem irigasi yang tergabung dalam satu wadah kordinasi akan dapat dihindari. Keterkaitan antar semua subsistem akan memungkinkan munculnya harmoni dan kebersamaan dalam pengelolaan air irigasi dalam sistem irigasi subak yang bersangkutan. Hal itu bisa terjadi karena kemungkinan adanya kebijakan untuk menerima simpangan tertentu sebagai toleransi oleh anggota subak (misalnya adanya sistem pelampias dan sistem saling pinjam air irigasi). Di Subak Timbul Baru Kabupaten Gianyar, dilakukan kebijakan sistem pelampias dengan memberikan tambahan air bagi sawah yang ada di hilir pada lokasi-lokasi bangunan-bagi di jaringan tersier. Besarnya pelampias tergantung dari kesepakatan anggota subak (Sutawan, l986). 2.2. Subak Natak Tiyis Subak Natak Tiyis merupakan subak yang sumber airnya tidak langsung dari sungai atau mata air tetapi dari Pangkung atau Jelinjing Aya. Pangkung atau Jelinjing Aya merupakan saluran drainase Umumnya
dari subak yang terletak di hulu.
Pangkung atau Jelinjing Aya tersebut merupakan gabungan dari
beberapa saluran drainase yang kecil yang pada beberapa subak dikenal dengan nama Telepas Pengutangan. Secara skematis tata letak Subak Natak Tiyis sesuai dengan arah aliran air irigasi terkait dengan subak di hulu disajikan pada Gambar 2 berikut.
8
U U
Telabah Subak Semi Teknis Sungai
S U Pangkung/ Jelingjing Aya
Telabah telabah
Subak Semi Teknis
Subak Natak Tiyis
Gambar 2. Skema Subak Natak Tiyis (Tika, 2013) Subak Natak Tiyis pola tanamnya dalam siklus setahun tidak teratur, tercatat sepuluh tahun terakhir terjadi perubahan pola tanam yang tadinya padi dua kali atau sekali dan disela dengan sekali palawija umumnya kedelai. Kini menjadi
hanya penanaman padi yang
dilakukan dua atau tiga kali setahun
tergantung pada ketersediaan air irigasinya yang merupakan sisa dari subak di hulu. 2.3. Sistem Irigasi Sudjarwadi (1990) mendefinisikan tiga pernyataan tentang sistem irigasi diantaranya penyediaan bahan pangan yang terbatas, sistem irigasi dan kelompok sistem irigasi sebagai berikut. Kebutuhan pangan terutama beras terus meningkat dari waktu ke waktu sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Di sisi lain ketersediaan pangan terbatas sehubungan dengan terbatasnya lahan yang ada
9
untuk bercocok tanam, teknologi, modal dan tenaga kerja, sehingga defisit penyediaan bahan pangan masih sering terjadi di negeri ini. Untuk itu berbagai pihak tidak henti-hentinya berupaya untuk mengatasi masalah tersebut melalui berbagai kebijaksanaan dan program. Irigasi merupakan salah satu faktor penting dalam produksi bahan pangan. Sistem irigasi dapat diartikan sebagai satu kesatuan yang tersusun dari berbagai komponen, menyangkut upaya penyediaan, pembagian, pengelolaan dan pengaturan air dalam rangka meningkatkan produksi pertanian. Beberapa komponen dalam sistem irigasi diantaranya sebagai berikut: 1. siklus hidrologi (iklim, air atmosferik, air permukaan, air bawah permukaan). 2. kondisi fisik dan kimiawi (topografi, infrastruktur, sifat fisik dan kimiawi lahan). 3. kondisi biologis tanaman, aktivitas manusia (teknologi, sosial, budaya, ekonomi). Ditinjau dari proses penyediaan, pemberian, pengelolaan dan pengaturan air, sistem irigasi dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. sistem irigasi permukaan (surface irrigation system), 2. sistem irigasi bawah permukaan (sub surface irrigation system), 3. sistem irigasi dengan pemancaran (sprinkle irrigation system), 4. sistem irigasi dengan tetesan (trickle irrigation / drip irrigation system). Pemilihan jenis sistem irigasi sangat dipengaruhi oleh kondisi hidrologi, klimatologi, topografi, fisik dan kimiawi lahan, biologis tanaman sosial ekonomi dan budaya, teknologi (sebagai masukan sistem irigasi) serta keluaran atau hasil
10
yang akan diharapkan (Bustomi, 2000). Representasi sistem irigasi sebagai suatu kesatuan hubungan masukan (input), proses dan keluaran (output) dapat digambarkan pada Gambar 3. Proses
Masukan:
Kondisi hidrologi Kondisi klimatologi Kondisi topografi Kondisi fisik dan kimiawi lahan Kondisi biologis tanaman pendistribusian air Kondisi sosial ekonomi dan budaya Teknologi
Cara penyediaan air Cara pemberian dan pendisteribusian air Cara pengelolaan dan pengaturan
Keluaran:
Peningkatan produksi pertanian
Umpan Balik Gambar 3. Representasi Sistem Irigasi (sumber: Bustomi, 2000) 2.4. Neraca Air Irigasi Neraca air irigasi merupakan perbandingan dari ketersediaan air irigasi dan kebutuhan air irigasi. Neraca air irigasi dapat ditinjau dari dua kondisi yaitu kondisi pada saat musim hujan dan pada saat musim kemarau. Dengan neraca air ini diharapkan dapat diketahui potensi sumber daya air suatu daerah dan tingkat kekritisan airnya (Triatmodjo, 2000). Apabila debit tersedia pada saluran inlet melimpah, maka luas daerah irigasi akan terpenuhi kebutuhan airnya, apabila debit pada saluran inlet terjadi kekurangan air irigasi, terdapat tiga pilihan yang harus dipertimbangkan yaitu luas daerah irigasi dikurangi, melakukan modifikasi dalam pola tanam, rotasi atau golongan.
11
Analisa menyeluruh di wilayah pertanian umumnya menerapkan teknikteknik program matematika (mathematical programming) seperti Program Linier dan Program Dinamik (Kumar, 2006). Persamaan neraca air menggambarkan prinsip bahwa selama selang waktu tertentu, masukan air total pada suatu ruang tertentu harus sama dengan keluaran total ditambah perubahan bersih dalam cadangan. Kegunaan mengetahui kondisi air pada surplus dan defisit dapat mengantisipasi bencana yang kemungkinan terjadi, serta dapat pula untuk mendayagunakan air sebaik-baiknya. Dalam menghitung neraca air ada beberapa komponen yang perlu di perhatikan, yaitu sebagai berikut. 1. Kapasitas menyimpan air atau jumlah ruang pori tanah merupakan bagian yang diduduki udara dan air. Jumlah ruang pori sebagian ditentukan oleh susunan butir-butir padat, apabila letak keduannya cenderung erat, seperti pada pasir atau sub soil yang padat, total porositasnya rendah. Sedangkan tersusun dalam agregat yang bergumpal seperti yang terjadi pada tanahtanah yang bertekstur sedang yang besar kandungan bahan organiknya, ruang pori persatuan volume akan tinggi (Buckman and Brady, 1982). 2. Infiltrasi merupakan peristiwa masuknya air ke dalam tanah melalui permukaan dan secara vertikal. Jika cukup air, maka air infiltrasi akan bergerak terus ke bawah yaitu ke dalam profil tanah (Arsyad, 2006). 3. Limpasan permukaan (run-off) adalah bagian dari curah hujan yang mengalir diatas permukaan tanah dan mengangkut partikel-partikel tanah. Limpasan terjadi karena intensitas hujan yang jatuh di suatu daerah melebihi kapasitas infiltrasi, setelah laju infiltrasi terpenuhi air akan
12
mengisi cekungan-cekungan pada permukaan tanah. Setelah cekungancekungan tersebut penuh, selanjutnya air akan mengalir (melimpas) diatas permukaan tanah. 4. Evapotranspirasi merupakan perpaduan dua proses yakni evaporasi dan transpirasi. Evaporasi adalah proses penguapan atau hilangnya air dari tanah dan badan-badan air (abiotik), sedangkan transpirasi adalah proses keluarnya air dari tanaman akibat proses respirasi dan fotosistesis. 5. Curah hujan adalah uap air yang mengembun akibat proses kondensasi dan jatuh ke tanah. Jumlah curah hujan dinyatakan dalam ketebalan curah hujan (mm). 6. Jenis vegetasi merupakan jenis tumbuhan penutup permukaan bumi. Vegetasi seperti ini dapat berbeda berdasarkan lokasi dan waktu serta bergantung pada komposisi penyusunnya. Vegetasi yang ada di suatu tempat akan berubah seiring dengan perubahan iklim. 2.4.1. Ketersediaan Air Irigasi Ketersediaan air untuk keperluan irigasi secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu ketersediaan air di lahan dan ketersediaan air di bangunan pengambilan. Ketersediaan air irigasi di bangunan pengambilan diharapkan dapat mencukupi kebutuhan air irigasi untuk tanaman. Informasi ketersediaan air irigasi diperlukan untuk mengetahui besaran debit yang tersedia
di bangunan
pengambilan, sehingga pola tanam dilakukan berdasarkan debit yang tersedia di bangunan pengambilan. Dalam ketersediaan air irigasi memiliki tiga komponen diantaranya debit andalan, curah hujan efektif, dan ketersediaan air di lahan (Anonim, 1986).
13
2.4.1.1. Debit Tersedia Soewarno (2000) mendefinisikan dua pernyataan tentang debit tersedia dan infiltrasi. Perhitungan debit tersedia bertujuan untuk menentukan areal persawahan yang dapat diairi. Perhitungan ini menggunakan cara analisis water balance dari Dr. F. J. Mock berdasarkan data curah hujan bulanan, jumlah evapotranspirasi dan karakteristik hidrologi daerah pengaliran. Prinsip perhitungan ini adalah hujan yang jatuh di atas tanah (presipitasi) sebagian akan hilang karena penguapan (evaporasi), sebagian akan menjadi aliran permukaan (direct run off) dan sebagian akan masuk tanah (infiltrasi). Infiltrasi mula-mula menjenuhkan permukaan (top soil) yang kemudian menjadi perkolasi dan akhirnya keluar ke sungai sebagai base flow. 2.4.1.2. Curah Hujan Efektif Curah hujan efektif adalah curah hujan yang diharapkan akan jatuh pada areal pertanian selama masa tumbuh tanaman dan dapat langsung menambah ketersediaan air selama masa tumbuh tanaman. Besarnya curah hujan efektif diperoleh dari pengolahan data curah hujan harian hasil pengamatan pada stasiun curah hujan yang ada di daerah irigasi/daerah sekitarnya. Curah hujan efektif ini dimanfaatkan oleh tanaman untuk memenuhi kehilangan air akibat evapotranspirasi tanaman dan perkolasi. Jumlah hujan yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman tergantung pada jenis tanaman (Chow, 1988).
14
2.4.1.3. Ketersediaan Air di Lahan Ketersediaan air di lahan adalah air yang tersedia di suatu lahan pertanian yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air irigasi di lahan itu sendiri. Ketersediaan air di lahan yang dapat digunakan untuk pertanian terdiri dari dua sumber, yaitu konstribusi air tanah dan hujan efektif. Konstribusi air tanah sangat dipengaruhi oleh karakteristik tanah, kedalaman akuifer dan jenis tanaman. Untuk daerah irigasi yang berada pada daerah akuifer dangkal, konstribusi air tanah diperoleh melalui daya kapiler tanah. Untuk daerah yang berada pada daerah aquifer dalam konstribusi air tanah sangat kecil dan dapat dianggap bernilai nol (Anonim, 1986). 2.4.2. Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan air irigasi adalah besarnya air irigasi yang di perlukan untuk memenuhi kebutuhan bercocok tanam pada petak sawah di tambah dengan kehilangan air pada jaringan irigasi. Kebutuhan air di sawah untuk padi dan palawija ditentukan oleh beberapa factor yaitu kebutuhan air untuk pengolahan lahan yang meliputi pengolahan lahan untuk padi dan pengolahan lahan untuk palawija, dan kebutuhan air untuk pertumbuhan yaitu evapotranspirasi potensial, koefisien tanaman (Kc), perkolasi dan rembesan. Pemenuhan kebutuhan air pada fase pertumbuhan tanaman, dapat menyesuaikan antara waktu panen dan permintaan pasar, maka pelaksanaan pengelolaan air melalui irigasi sangat dibutuhkan khususnya untuk memenuhi kebutuhan air di musim kemarau (Jhon 2011).
15
2.4.2.1. Kebutuhan Air untuk Pengolahan Lahan Tanaman Padi Kebutuhan air untuk pengolahan atau penyiraman lahan menentukan kebutuhan maksimum air irigasi. Faktor-faktor yang menentukan besarnya kebutuhan air untuk pengolahan tanah, yaitu besarnya penjenuhan, lamanya pengolahan (periode pengolahan) dan besarnya evaporasi dan perkolasi yang terjadi (Joetata, 1997). Waktu yang diperlukan untuk penyiapan lahan adalah selama 30 hari. Kebutuhan air untuk pengolahan tanah bagi tanaman padi 200 mm jika tanah tersebut bertekstur berat, cocok untuk digenangi dan lahan tersebut belum bero, setelah tanam selesai lapisan air di sawah ditambah 50 mm. Sedangkan untuk lahan yang tidak ditanami (sawah bero) dalam jangka waktu 2,5 bulan diambil 300 mm (Anonim, 1986). 2.4.2.2. Kebutuhan Air untuk Pertumbuhan 1. Evapotranspirasi Potensial Evapotranspirasi potensial merupakan jumlah air untuk evaporasi dari permukaan areal tanaman dengan air untuk transpirasi dari tubuh tanaman. Faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi potensial adalah tersedianya air yang cukup banyak. Jika jumlah air tersedia secara berlebihan dari yang diperlukan oleh tanaman selama proses transpirasi, maka jumlah air yang ditranspirasikan relatif lebih besar dibandingkan dengan ketersedian air. Penggunaan konsumtif air oleh tanaman diperkirakan berdasarkan metode prakira empiris dengan menggunakan data iklim dan koefisien tanaman pada tahap pertumbuhan. Penggunaan konsumtif dihitung secara setengah bulanan (Joetata, 1997).
16
Data iklim yang dibutuhkan untuk perhitungan kebutuhan air irigasi adalah temperatur (harian maksimum, dan rata-rata), kelembaban relative, sinar matahari (lamanya dalam sehari), kecepatan angina dan evaporasi (catatan harian). Besarnya evapotranspirasi dapat dihitung dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut: Penman, Thornthwaite, Blaney-Criddle, Turc–Langbein–Wundt
dan
menggunakan
Software
CROPWAT
(Viessman, 1977). Cropwat merupakan suatu program komputer “under DOS” (Program yang dipakai melalui perintah DOS) untuk menghitung evapotranspirasi Penman Modifikasi dan kebutuhan air untuk tanaman. Selanjutnya dapat juga menghitung kebutuhan air irigasi, jadwal pemberian air irigasi untuk macam-macam kondisi pengelolaan dan suplai air untuk seluruh daerah irigasi dengan bermacam-macam pola tanam tertentu. Prosedur dalam perhitungan kebutuhan air bagi tanaman dan rencana kebutuhan air untuk irigasi ini didasarkan pada makalah FAO–ID No. 24 mengenai “kebutuhan air bagi tanaman” dan No. 33 mengenai “respon tanaman terhadap air”. 2. Koefisien Tanaman (Kc) Besarnya koefisien tanaman (Kc) tergantung dari jenis tanaman dan fase pertumbuhan. Nilai-nilai koefisien ini diberikan untuk menghubungkan
evapotranspirasi
(ETo)
dengan
evapotranspirasi
tanaman acuan (ETtanaman) dan dipakai dengan rumus evapotranspirasi
17
Penman. Selama setengah bulan terakhir pemberian air irigasi ke sawah dihentikan, kemudian koefisien tanaman diambil “nol” dan padi akan menjadi masak dengan air yang tersedia (Joetata, 1997). 3. Penggunaan Konsumtif (Etc) Penggunaan konsumtif diartikan sebagai jumlah air yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. (Doorenbos and Kassam, 1979) mendefinisikan kebutuhan air tanaman sebagai jumlah air yang disediakan untuk mengimbangi air yang hilang akibat evaporasi dan transpirasi. 2.5. Pola Tanam Padi Pola tanam adalah susunan rencana penanaman berbagai jenis tanaman pada lahan sawah selama satu tahun. Terbatasnya persediaan air adalah alasan yang mempengaruhi penyusunan pola tanam dalam satu tahun. Jenis pola tanam ada dua yaitu pola tanam tunggal (single cropping) dan pola tanam ganda (multiple cropping). Pola tanam ganda dibagi lagi menjadi tumpang gilir (tanaman berbeda, waktu tanamnya berbeda pada lahan yang sama) dan tumpang sari (tanaman berbeda, waktu tanamnya bersamaan pada lahan yang sama) (Suryadi, 2011). Padi termasuk genus Oryza L yang meliputi kurang lebih 25 spesies, tersebar didaerah tropik dan daerah sub tropik seperti Asia, Afrika, Amerika dan Australia. Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan ini merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Meskipun padi dapat digantikan oleh makanan lainnya, namun padi memiliki
18
nilai tersendiri bagi orang yang biasa makan nasi dan tidak dapat dengan mudah digantikan oleh bahan makanan yang lain (Rizka dan Ninda, 2008). Pengelolaan air berperan sangat penting dan merupakan salah satu kunci keberhasilan peningkatan produksi padi di lahan sawah. Produksi padi sawah akan menurun jika tanaman padi menderita cekaman air (water stress). Tanaman padi membutuhkan air yang volumenya berbeda untuk setiap pertumbuhannya. Dengan demikian teknik pengelolaan air perlu secara spesifik dikembangkan sesuai dengan sistem produksi padi sawah dan pola tanam (Subagyono, 2004). Tanaman padi dapat tumbuh baik di daerah tropis atau subtropis pada 450 LU sampai dengan 450 LS dengan daerah yang berhawa panas dan banyak mengandung uap air. Curah hujan yang baik rata-rata 200 mm per bulan atau lebih, curah hujan yang dikehendaki selama satu tahun sekitar 1500–2000 mm/tahun. Suhu yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi adalahn 23 °C dan tinggi tempat yang cocok untuk tanaman padi berkisar antara 0–1500 meter diatas permukaan laut. Tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi adalah tanah sawah yang kandungan fraksi pasir, debu dan lempung dalam perbandingan tertentu dengan diperlukan air dalam jumlah yang cukup (Ayu, 2009). Permasalahan yang umumnya dihadapi di lahan sawah adalah ketersediaan air, sehingga petani mengahadapi kendala untuk bertanam padi dua kali setahun. Lahan sawah yang kering biasanya diberakan oleh petani. Agar pendapatan petani meningkat, lahan ini dapat dimanfaatkan dengan penanaman palawija setelah panen padi sawah.
19
2.6. Alternatif Jadwal Tanam Alternatif jadwal tanam yang perlu diperhatikan adalah jenis tanaman yang mendapat prioritas untuk dikembangkan dan kecenderungan ketersediaan air pada daerah irigasi tersebut. Hal ini disebabkan karena waktu tanam dapat menentukan efisiensi penggunaan air pada daerah irigasi tersebut (Fagi, 1990). Pola tanam yang baik harus dapat memanfaatkan dan mengintegrasikan komponen-komponen yang tersedia, seperti lahan,
iklim, air, jenis, dan varietas tanaman. Sistem
pengairan dan curah hujan sangat memengaruhi bentuk-bentuk pola tanam yang dapat dikembangkan (Sutidjo,1986). Dengan memperhatikan grafik Neraca air yang berdasarkan pada ketersediaan dan kebutuhan air irigasi, akan dilakukan pengaturan jadwal tanam sehingga diperoleh alternatif jadwal tanam yang dapat meminimalkan terjadinya kekurangan air irigasi. Alternatif jadwal tanam diterapkan berdasarkan keadaan musim di mana terjadi masa kekurangan dan kelebihan air irigasi pada bangunan inlet. Dari segi manajemen air irigasi pada waktu musim kemarau akan terjadi kekurangan air irigasi sedangkan pada musim hujan tidak terjadi kekurangan air irigasi.