II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekonomi Perubahan Iklim Peningkatan suhu rata-rata bumi sebesar 0,5 0C. Pola konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi seperti sekarang, maka diperkirakan pada tahun 2100 konsentrasi CO2 akan meningkat dua kali lipat dibanding zaman industri, yaitu sekitar 580 ppm. Berbagai model sirkulasi global memperkirakan peningkatan suhu bumi antara 1,7-4,5 0C. Peningkatan yang besar terjadi pada daerah lintang tinggi, sehingga akan menimbulkan berbagai perubahan lingkungan global yang terkait dengan pencairan es di kutub, distribusi vegetasi alami dan keanekaragaman hayati, produktivitas tanaman, distribusi hama dan penyakit tanaman dan manusia. Studi yang dilakukan oleh Handoko et al. (2008) dampak sosio-ekonomi akibat perubahan iklim diantaranya yaitu : 1. Penurunan produksi dan produktivitas 2. Penurunan pangsa GDP sektor pertanian 3. Fluktuasi harga produk pertanian di pasar dunia 4. Perubahan distribusi geografis dari rezim perdagangan 5. Peningkatan jumlah penduduk yang berisiko kelaparan dan ketidakamanan pangan Secara tidak langsung pengaruh perubahan iklim terhadap penurunan produksi pangan dunia, misalnya terjadi melalui peningkatan area dan produksi bio-fuel (konversi dari lahan pangan), yang mengakibatkan kenaikan harga bahan pangan karena area yang dialokasikan ke bahan pangan mengalami penurunan. Variabilitas produktivitas sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim,
karena variabilitas hasil akan menyebabkan variabilitas supply (penawaran), maka perdagangan internasional sering digunakan sebagai alat untuk mengatasi variabilitas penawaran ini. Dampak perubahan iklim terhadap perdagangan dipengaruhi oleh tiga faktor: (1) total produksi pertanian di dalam negeri, (2) Keseimbangan antara produk yang diekspor dan yang dipasarkan di dalam negeri, dan (3) struktur produksi pertanian itu sendiri. Bidang Aplikasi Klimatologi dan Lingkungan (2009) menyatakan bahwa produktivitas pertanian di daerah tropis diperkirakan akan mengalami penurunan bila terjadi kenaikan suhu rata-rata global antara 1-2 0C sehingga meningkatkan risiko bencana kelaparan. Meningkatnya frekuensi kekeringan dan banjir diperkirakan akan memberikan dampak negatif pada produksi lokal, terutama pada sektor penyediaan pangan di daerah subtropis dan tropis. Terjadinya perubahan musim di mana musim kemarau menjadi lebih panjang dan cenderung kering dengan trend hujan makin turun sehingga menyebabkan gagal panen, krisis air bersih dan kebakaran hutan. Pola musim mulai tidak beraturan sejak 1991 yang mengganggu swasembada pangan nasional hingga kini tergantung impor pangan. Terjadinya pergeseran musim dan perubahan pola hujan, akibatnya Indonesia harus mengimpor beras. Dampak perubahan iklim akan diperparah oleh masalah lingkungan, kependudukan, dan kemiskinan, karena lingkungan rusak, alam akan lebih rapuh terhadap perubahan iklim. Dampak terhadap penataan ruang dapat terjadi antara lain apabila penyimpangan iklim berupa curah hujan yang cukup tinggi, memicu terjadinya gerakan tanah (longsor) yang berpotensi menimbulkan bencana alam,
berupa banjir dan tanah longsor. Daerah rawan bencana menjadi perhatian perencanaan dalam mengalokasikan pemanfaatan ruang. 2.1. 1 Konsep Perubahan Iklim Iklim adalah rata-rata jangka panjang dari kondisi atmosfer (cuaca) di suatu tempat. Secara singkat iklim dapat dikatakan sebagai rata-rata dari cuaca. Cuaca suatu daerah akan berfluktuasi dalam rentang waktu detik sampai harian. Nilai rataan dari kondisi unsur-unsur cuaca pada jangka panjang merupakan gambaran dari kondisi iklim daerah tersebut. Kemajuan teknologi informasi, mmperkirakan perubahan iklim disebabkan oleh perubahan komposisi atmosfer atau faktor-faktor lainnya, secara umum, relatif dapat dilakukan (Handoko et al. 2008). Perubahan iklim adalah perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun (inter centenial). Perubahan iklim tersebut disebabkan oleh kegiatan manusia (anthropogenic), khususnya yang berkaitan dengan pemakaian bahan bakar fosil dan alih-guna lahan. Kegiatan manusia yang dimaksud adalah kegiatan yang telah menyebabkan peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer, khususnya dalam bentuk karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrous oksida (N2O). Gas-gas inilah yang selanjutnya menentukan peningkatan suhu udara, karena sifatnya yang seperti kaca, yaitu dapat meneruskan radiasi gelombang-pendek yang tidak bersifat panas, tetapi menahan radiasi gelombangpanjang yang bersifat panas. Akibatnya atmosfer bumi makin memanas dengan laju yang setara dengan laju perubahan konsentrasi GRK.
Secara umum, perubahan iklim akan membawa perubahan pada parameter-parameter cuaca, yaitu temperatur, curah hujan, tekanan, kelembaban udara, laju serta arah angin, kondisi awan, dan radiasi matahari (Aliadi et al. 2008). Peningkatan suhu yang besar terjadi pada daerah lintang tinggi, sehingga akan menimbulkan perubahan lingkungan global yang terkait dengan pencairan es di kutub, distribusi vegetasi alami, dan keanekaragaman hayati. Daerah tropis atau lintang rendah akan terpengaruh dalam hal produktivitas tanaman, distribusi hama dan penyakit tanaman dan manusia. Peningkatan suhu pada gilirannya akan mengubah pola distribusi dan curah hujan. Kecenderungannya adalah bahwa daerah kering akan menjadi makin kering dan daerah basah menjadi semakin basah sehingga kelestarian sumberdaya air akan terganggu (Salim, 2003). 2.2 Adaptasi Petani terhadap Perubahan Iklim Strategi adaptasi adalah pengembangan berbagai upaya yang adaptif dengan situasi yang terjadi akibat dampak perubahan iklim terhadap sumberdaya infrastruktur dan lain-lain melalui (a) reinventarisasi dan redelineasi potensi dan karakterisasi sumberdaya lahan dan air, (b) penyesuaian dan pengembangan infrastruktur pertanian, terutama irigasi sesuai dengan perubahan sistem hidrologi dan potensi sumberdaya air, (c) penyesuaian sistem usahatani dan agribisnis, terutama pola tanam, jenis tanaman dan varietas, dan sistem pengolahan tanah (Las, 2007). Adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan suatu proses yang masyarakat memiliki kemampuan dari dalam dirinya sendiri dalam menghadapi ketidakpastian iklim di masa mendatang. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat mampu mengembangkan cara-cara tertentu yang dapat mengurangi dampak
negatif dari perubahan iklim dengan melakukan penyesuaian dan perubahan secara tepat pada aktivitas mereka. Hal ini dapat berupa penyesuaian teknologi hingga perubahan tingkah laku individual, seperti perubahan jenis tanaman ketika ketersediaan air mulai menipis. Menurut World Bank, 2008 dalam Handoko et al. (2008), adaptasi merupakan suatu proses dimana masyarakat membuat dirinya menjadi lebih baik menghadapi ketidakpastian hasil panen di masa mendatang. Adaptasi perubahan iklim merupakan suatu upaya yang benar untuk mengurangi dampak negatif dengan melakukan suatu penyesuaian atau perubahan. Beberapa pilihan untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim diantaranya peningkatan sistem teknologi seperti meningkatkan keamanan laut atau melindungi kawasan pemukiman di sekitar pesisir pantai, merubah pola pikir seseorang untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim, mengurangi penggunaan air pada saat terjadi kekeringan, dan menggunakan insektsida pembasmi hama. Upaya perbaikan sistem informasi mengenai kondisi iklim yang terjadi di suatu wilayah perlu dilakukan dalam rangka memperkuat perencanaan dan koordinasi, melakukan investasi pada pengembangan teknologi dan menciptakan sistem keuangan yang efektif dalam upaya antisipasi perubahan iklim. Adaptasi
terhadap
perubahan
iklim
bersifat
multidimensi
dan
menggabungkan berbagai komponen yang ada seperti peningkatan kesadaran terhadap perubahan iklim, pengaturan yang harus diprioritaskan, perencanaan yang tepat terhadap adaptasi perubahan iklim, pengembangan penelitian dan teknologi dan pergerakan sumberdaya. Resiko perubahan iklim dan tindakan
adaptasi yang dilakukan memerlukan kerjasama antar individu, komunitas dan pemerintah. Faktor-faktor yang menyebabkan tingkat adaptasi sistem produksi tanaman pangan nasional terhadap kejadian iklim ekstrim masih rendah antara lain (i) lokasi perluasan areal umumnya pada wilayah yang rawan kejadian iklim ekstrim sebagai salah satu akibat dari rendahnya kemampuan dalam memanfaatkan informasi iklim, (ii) masih lemahnya kemampuan peramalan musim, dan rendahnya kemampuan pengguna dalam memanfaatkan hasil ramalan, (iii) belum berkembangnya teknologi antisipasi atau rendahnya tingkat adopsi petani dalam memanfaatkan teknologi antisipasi (Gintings et al. 2003). Literatur studi sebelumnya menunjukkan bahwa studi mengenai dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian telah banyak dilakukan oleh para peneliti, studi mengenai analisis perubahan pendapatan petani berdasarkan sistem pola tanam dan faktor-faktor yang mempengaruhi petani melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim belum dilakukan di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Oleh karena itu penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan. 2.2.1 Perubahan Pola Tanam sebagai Upaya Adaptasi terhadap Perubahan Iklim Salah satu dampak dari fenomena perubahan iklim adalah kejadian perubahan pola curah hujan. Perubahan pola hujan ini dapat menyebabkan perubahan waktu musim hujan dan kemarau yang dalam bidang pertanian dapat menimbulkan pergeseran waktu tanam serta perubahan pola tanam pertanian. Studi yang telah dilakukan oleh Handoko et al. (2008) menyatakan bahwa perubahan iklim yang terjadi telah mengubah pola tanam yang dilakukan oleh
petani. Secara umum dua provinsi di Jawa (Jawa Barat dan Jawa Timur) yang pasokan airnya lebih tersedia, memiliki intensitas tanam yang lebih tinggi dibandingkan empat provinsi lainnya di luar Jawa, namun di Jawa Barat dan Jawa Timur telah terjadi perubahan pola tanam yang sebelumnya padi-padi-padi menjadi padi-padi-palawija. Sebaliknya pola tanam tidak mengalami perubahan sama sekali di empat provinsi luar Jawa, walaupun mereka merasakan ada perubahan iklim, yakni penurunan muka air tanah dan curah hujan. Mereka seluruhnya tetap mengusahakan lahannya hanya untuk dua kali tanam per tahun berupa padi-padi atau padi-palawija. Perubahan pola tanam sebagai dampak perubahan iklim dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perubahan Pola Tanam sebagai Dampak Perubahan Iklim Provinsi Jawa Barat Jawa Timur Sulawesi Utara dan Gorontalo Sulawesi Selatan Sumatera Utara
Pola Tanam 5 Tahun Lalu Sekarang Padi-Padi-Padi Padi-Padi-Palawija Padi-Padi-Padi Padi-Palawija-Padi Padi-Padi Padi-Padi Padi-Palawija Padi-Palawija Padi-padi Padi-Padi
Sumber : Handoko et al. (2008)
2.3 Dampak Perubahan Iklim terhadap Hasil Produksi, Input dan Pendapatan Petani FAO Committee on Food Security, Report of 31st Session (2005) dalam Handoko et al mengungkapkan bahwa 11% dari lahan pertanian di negara-negara berkembang dipengaruhi oleh perubahan iklim, yang dampaknya telah mempengaruhi produksi bahan pangan biji-bijian di 65 negara dan telah mengakibatkan 16% penurunan GDP. Warren et al. (2006) dalam Handoko et al. (2008) memprediksi bahwa peningkatan suhu sebesar 3 0C akan menimbulkan kelaparan bagi sekitar 600 juta jiwa, terutama di negara-negara berkembang yang
penduduknya memiliki resiko kekurangan pangan. Oleh karena itu, dampak adanya perubahan iklim akan mempengaruhi hasil produksi (output) dan penggunaan input, sehingga akan mempengaruhi pendapatan petani. Studi yang dilakukan oleh Handoko et al. (2008) mengungkapkan bahwa secara temporal akan terjadi potensi peningkatan curah hujan pada musim hujan dan penurunan curah hujan pada musim kemarau di beberapa wilayah. Ini yang dirasakan oleh banyak petani di sebagian besar wilayah yang di survey dalam rangka verifikasi lapang, dan hal tersebut berpotensi menjadi bencana banjir
serta bencana
kekeringan yang dapat mengganggu produksi pangan strategis. Sektor pertanian akan terpengaruh melalui penurunan produktivitas pangan yang disebabkan oleh peningkatan sterilitas serealia, penurunan areal yang dapat diirigasi dan penurunan efektivitas penyerapan hara serta penyebaran hama dan penyakit. Beberapa tempat di negara maju (lintang tinggi) peningkatan konsentrasi CO2 akan meningkatkan produktivitas karena asimilasi meningkat, tetapi di daerah tropis yang sebagian besar negara berkembang, peningkatan asimilasi tersebut tidak signifikan dibanding respirasi yang juga meningkat. Secara keseluruhan jika adaptasi tidak dilakukan, dunia akan mengalami penurunan produksi pangan hingga 7 persen, namun dengan adaptasi yang tingkatnya lanjut, artinya biayanya tinggi, produksi pangan dapat distabilkan. Artinya bahwa stabilisasi produksi pangan pada iklim yang berubah akan memakan biaya yang sangat tinggi, misalnya dengan meningkatkan sarana irigasi, pemberian input (bibit, pupuk, insektisida/pestisida) tambahan. Negara Indonesia dengan skenario konsentrasi CO2 dua kali lipat dari saat ini produksi padi akan meningkat hingga 2,3 persen jika irigasi dapat
dipertahankan. Jika sistem irigasi tidak mengalami perbaikan produksi padi akan mengalami penurunan hingga 4,4 persen. 2.4 Penelitian Terdahulu Handoko et al. (2008) melakukan studi mengenai keterkaitan perubahan iklim dan produksi pangan strategis. Hasil penelitian ini mengungkapkan sepuluh skenario perubahan iklim dan program adaptasi pertanian yang dikembangkan bertujuan untuk menganalisis proyeksi surplus (defisit) pangan strategis yang akan terjadi hingga tahun 2050. Hasilnya menunjukkan bahwa faktor perubahan suhu udara memiliki potensi dampak negatif lebih besar dibandingkan dengan faktor perubahan curah hujan dalam mempengaruhi surplus (defisit) pangan Indonesia. Penelitian mengenai dampak perubahan iklim terhadap pendapatan petani padi telah dilakukan oleh Asikin (2010). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode persamaan simultan. Selain itu, adanya keterbatasan petani dalam memahami perubahan iklim dan keterbatasan informasi dan teknologi sehingga menyebabkan adaptasi yang dilakukan oleh petani menjadi terbatas. Hasil dari penelitian Asikin adalah dampak dari adanya perubahan iklim menyebabkan terjadinya penurunan pendapatan petani sebesar 0,91%. Mayoritas petani hanya mampu beradaptasi dengan cara merubah waktu penanaman. Mayangsari (2010) melakukan analisis dampak perubahan iklim terhadap tingkat kesejahteraan nelayan perahu motor tempel di Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi. Estimasi perubahan kesejahteraan nelayan dilakukan dengan menggunakan nilai tukar nelayan (NTN). Berdasarkan perhitungan Nilai Tukar Nelayan (NTN), dapat diketahui bahwa telah terjadi penurunan tingkat
kesejahteraan nelayan perahu motor tempel di tahun 2009. Rata-rata NTN untuk nelayan perahu motor tempel berubah dari 1,53 di tahun 2008 menjadi 0,89 di tahun 2009 yang berarti rata-rata penerimaan nelayan perahu motor tempel sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Penelitian yang dilakukan oleh Syahbana (2010) mengenai analisis dampak perubahan iklim lokal terhadap kesejahteraan petambak udang, Kabupaten Bekasi. Metode yang digunakan untuk mengukur perubahan kesejahteraan petambak dilakukan dengan menggunakan Nilai Tukar Nelayan (NTN). Perubahan iklim yang terjadi di wilayah yang diteliti menyebabkan gagal panen dan kerugian bagi para petambak udang. Penurunan produktivitas yang terjadi menyebabkan penurunan volume produksi udang 25-50% dan peningkatan total biaya produksi sebesar 201,01%, yaitu meningkat dari Rp 203.700.000, menjadi Rp 409.600.000 akibat adanya perubahan iklim. NTPU turun dari 1,74 tahun 1999 menjadi 1,16 pada tahun 2010 atau mengalami penurunan sebesar 33,58%. Perubahan iklim telah mendorong para petambak udang melakukan adaptasi. Bentuk adaptasi yang dilakukan adalah berhenti sejenak untuk bertambak, merubah waktu panen udang, membuat atau meninggikan tanggul untuk menahan banjir, dan menanam mangrove di sekitar tambak. Osmaleli (2010) melakukan penelitian mengenai analisis dampak perubahan iklim lokal dan kesejahteraan nelayan, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten. Dampak perubahan iklim lokal yang terjadi ditandai dengan perubahan musim yang tidak menentu, musim barat dan timur yang sulit diprediksi oleh nelayan. Perubahan iklim global saat ini belum berpengaruh terhadap perubahan iklim lokal Labuan, tetapi model dugaan grafik suhu global
dan suhu lokal hingga tahun 2010 mengalami peningkatan. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan suhu rata-rata bumi selama 150 tahun yang mengindikasikan peningkatan suhu di Indonesia. Daya dukung lingkungan sebesar 32.044 orang, nilai EF sebesar 1,8715 ha/kapita dan biocapacity (BC) hanya tersedia sebesar 1,1382 ha/kapita. Hasil ini memperlihatkan bahwa BC/EF (defisit sumberdaya alam) di Labuan. Kondisi daya dukung ekologis dan lingkungan Labuan tersebut dapat diartikan dalam status rendah (daya dukung rendah). Kesejahteraan nelayan berdasarkan daya dukung lingkungan dan nilai tukar nelayan, masyarakat di Labuan belum sejahtera.