II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Penegakan Hukum
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the books” (Sudikno Mertukusumo, 1996: 87).
Masyarakat mempertanyakan kinerja aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi, merebaknya mafia peradilan, pelanggaran hukum dalam penilaian APBN dan APBD di kalangan birokrasi. Daftar ketidakpuasan masyarakat dalam penegakan hukum semakin bertambah panjang apabila membuka kembali lembaran-lembaran lama seperti kasus Marsinah, kasus wartawan Udin, kasus
13
Sengkon dan Karta, kasus Tanah Keret di Papua dan lain-lainnya. Pengadilan yang merupakan representasi utama wajah penegakan hukum dituntut untuk mampu melahirkan tidak hanya kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial dan pemberdayaan sosial melalui putusan-putusan hakimnya (Subekti, 2007: 18).
Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan hukum di atas telah mendorong meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum. Mungkin benar apabila dikatakan bahwa perhatian masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum telah berada pada titik akhir. Hampir setiap saat dapat menemukan berita, informasi, laporan atau ulasan yang berhubungan dengan lembaga-lembaga hukum kita. Salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian semua adalah merosotnya rasa hormat masyarakat terhadap wibawa hukum. Bagaimanapun juga masih banyak warga masyarakat yang tetap menghormati putusan-putusan yang telah dibuat oleh pengadilan (Subekti, 2007: 20).
Meskipun demikian sah-sah juga kiranya apabila masyarakat mempunyai penilaian tersendiri terhadap putusan tersebut. Adanya penilaian dari masyarakat ini menunjukkan bahwa hukum/pengadilan tidak dapat melepaskan diri dari struktur sosial masyarakatnya. Hukum tidaklah steril dari perilakuperilaku sosial lingkungannya. Oleh karena itu wajar kiranya apabila masyarakat mempunyai opini tersendiri setiap ada putusan pengadilan yang dipandang tertentangan dengan nilai-nilai keadilan hidup dan tumbuh ditengah-tengah masyarakat (Satjipto Rahardjo, 2000: 84).
14
Persoalannya tidak akan berhenti hanya sebatas munculnya opini publik, melainkan berdampak sangat luas yaitu merosotnya citra lembaga hukum di mata masyarakat. Kepercayan masyarakat akan luntur dan mendorong munculnya situasi yang membingungkan. Masyarakat kebingungan nilai-nilai mana yang benar dan mana yang salah. Dalam pikiran para yuris, proses peradilan sering hanya diterjemahkan sebagai suatu proses memeriksa dan mengadili secara penuh dengan berdasarkan hukum positif semata-mata. Pandangan yang formal legistis ini mendominasi pemikiran para penegak hukum, sehingga apa yang menjadi bunyi
undang-undang,
itulah
yang akan
menjadi
hukumnya
(Mochtar
Kusumaatmadja, 2006: 117-118).
Kelemahan utama pandangan ini adalah terjadinya penegakan hukum yang kaku, tidak diskresi dan cenderung mengabaikan rasa keadilan masyarakat karena lebih mengutamakan kepastian hukum. Proses mengadili dalam kenyataannya bukanlah proses yuridis semata. Proses peradilan bukan hanya proses menerapkan pasalpasal dan bunyi undang-undang, melainkan proses yang melibatkan perilakuperilaku masyarakat dan berlangsung dalam struktur sosial tertentu. Penelitian yang telah dilakukan oleh Marc Galanter di Amerika Serikat dapat menunjukkan bahwa suatu putusan hakim ibaratnya hanyalah pengesahan saja dari kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak (Togat. 2008: 113).
Lembaga pengadilan dalam perspektif sosiologis merupakan lembaga yang multifungsi dan merupakan tempat untuk “record keeping”, “site of administrative
15
processing”,
“ceremonial
changes
of
status”,
“settlement
negotiation”,
“mediations and arbitration”, dan warfare. Marc Galanter, 1981, Justice in Many Rooms (Mochtar Kusumaatmadja, 2006: 117-118).
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa (Subekti, 2007: 18).
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan
16
hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja, karena itu, penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka (Subekti, 2007: 18).
Berdasarkan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan
17
bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan tentang penegakan hukum dapat tentukan sendiri batas-batasnya. Apakah akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi subjeknya maupun objeknya atau batasi hanya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya, hanya menelaah aspek-aspek subjektifnya saja (Istanto Sugeng, 1998: 14).
Seperti disebut di muka, secara objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiel. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiel mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti luas, dalam arti hukum materiel, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggeris juga terkadang dibedakan antara konsepsi ‘court of law’ dalam arti pengadilan hukum dan ‘court of justice’ atau pengadilan keadilan. Bahkan, dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah ‘Supreme Court of Justice’ (Istanto Sugeng, 1998: 14).
Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan itu sendiri, melainkan nilainilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan
18
kebenaran formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materiel yang menyangkut nilainilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materiel untuk mewujudkan keadilan materiel. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di lapangan hukum perdata (Mochtar Kusumaatmadja, 2006: 117-118).
Pengertian tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi penegakan keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subjek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena itu, secara akademis, sebenarnya, persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam keseimbangan konsep hukum dan keadilan. Dalam setiap hubungan hukum terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara paralel dan bersilang. Karena itu, secara akademis, hak asasi manusia mestinya diimbangi dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, isu hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan (Mochtar Kusumaatmadja, 2006: 118).
19
Sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsikan ke dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstitusionalime inilah yang memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy) (Paul Suparno, 2011: 48).
Isu hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya, tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara tersendiri. Lagi pula, apakah hak asasi manusia dapat ditegakkan? Bukankah yang ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan bukannya hak asasinya itu sendiri? Namun, dalam praktek sehari-hari, memang sudah salah kaprah. sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan ‘hak asasi manusia’. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak-hak asasi manusia dan kesadaran untuk menghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan masyarakat kitapun memang belum berkembang secara sehat.
Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari
20
saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana (Mochtar Kusumaatmadja, 2006: 118).
Proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata (Paul Suparno, 2011: 48).
Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di negara selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan
perasaan
atau
nilai-nilai
keadilan
yang
hidup
dalam
21
masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yang yaitu (i) pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and rule making’), (ii) sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation of law, dan (iii) penegakan hukum (the enforcement of law). Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) adminstrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut di atas. Dalam arti luas, ‘the administration of law’ itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan dan putusan (vonis) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah (Mochtar Kusumaatmadja, 2006: 118).
22
B. Tinjauan Tentang Kekuasaan
1. Pengertian
Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo, 2002) atau Kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhi (Ramlan Surbakti,1992: 178).
Merupakan Kemampuan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada individu sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang dapat memengaruhi dan mengubah pemikiran orang lain atau kelompok untuk melakukan suatu tindakan yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan dengan sungguh-sungguh dan atau bukan karena paksaan baik secara fisik maupun mental.
Merupakan sifat atau watak dari seseorang yang bernuansa arogan, egois, serta apatis dalam memengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan tindakan yang diinginkan oleh pemegang kuasa dengan cara paksaan atau tekanan baik secara fisik maupun mental. Biasanya pemegang kekuasaan yang bersifat negatif ini tidak memiliki kecerdasan intelektual dan emosional yang baik,mereka hanya berfikir pendek dalam mengambil keputusan tanpa melakukan pemikiran yang tajam dalam mengambil suatu tindakan, bahkan mereka sendiri kadang-kadang
23
tidak dapat menjalankan segala perintah yang mereka perintahkan kepada orang atau kelompok yang berada di bawah kekuasannya karena keterbatasan daya pikir tadi. dan biasanya kekuasaan dengan karakter negatif tersebut hanya mencari keuntungan pribadi atau golongan di atas kekuasannya itu. karena mereka tidak memiliki kemampuan atau modal apapun selain kekuasaan untuk menghasilkan apapun, dan para pemegang kekuasaan bersifat negatif tersbut biasanya tidak akan berlangsung lama karena tidak akan mendapatkan dukungan sepenuhnya oleh rakyatnya. Di negara demokrasi, dimana kekuasaan adalah ditangan rakyat, maka jalan menuju kekuasaan selain melalui jalur birokrasi biasanya ditempuh melalui jalur partai politik. Partai partai politik berusaha untuk merebut konstituen dalam masa pemilu. Partai politik selanjutnya mengirimkan calon anggota untuk mewakili partainya dalam lembaga legislatif. Dalam pemilihan umum legislatif secara langsung seperti yang terjadi di Indonesia dalam Pemilu 2004 maka calon anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat (Yusuf Qordhawi, 2000: 17).
2. Legitimasi kekuasaan
Pemerintahan mempunya makna yang berbeda: "kekuasaan" didefinisikan sebagai "kemampuan untuk memengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu yang bila tidak dilakukan", akan tetapi "kewenangan" ini akan mengacu pada klaim legitimasi, pembenaran dan hak untuk melakukan kekuasaan. Sebagai contoh masyarakat boleh jadi memiliki kekuatan untuk menghukum para kriminal dengan hukuman mati tanpa sebuah peradilan sedangkan orang-orang yang beradab percaya pada aturan hukum dan perundangan-undangan dan menganggap bahwa hanya dalam suatu pengadilan yang menurut ketenttuan hukum yang dapat
24
memiliki kewenangan untuk memerintahkan sebuah hukuman mati (Oka Mahendra, 1999: 75).
Perkembangan ilmu-ilmu sosial, kekuasaan telah dijadikan subjek penelitian dalam berbagai empiris pengaturan, keluarga (kewenangan orangtua), kelompokkelompok kecil (kewenangan kepemimpinan informal), dalam organisasi seperti sekolah, tentara, industri dan birokrat (birokrasi dalam organisasi pemerintah) dan masyarakat luas atau organisasi inklusif, mulai dari masyarakat yang paling primitif sampai dengan negara, bangsa-bangsa modern atau organisasi (kewenangan politik).
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo, 2002: 14) Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi (Ramlan Surbakti, 1992: 178).
Pada negara demokrasi, dimana kekuasaan adalah ditangan rakyat, maka jalan menuju kekuasaan selain melalui jalur birokrasi biasanya ditempuh melalui jalur partai politik. Partai partai politik berusaha untuk merebut konstituen dalam masa pemilu. Partai politik selanjutnya mengirimkan calon anggota untuk mewakili partainya dalam lembaga legislatif. Dalam pemilihan umum legislatif secara langsung seperti yang terjadi di Indonesia dalam Pemilu 2004 maka calon anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat. Di zaman yang sudah cukup lama,para ahli filsafat sudah membagi bagi kekuasaan, yang kenal ada tiga yaitu : legeslatif,Yudikatif dan eksekutif.Tujuan tokoh dulu agar suatu negara terdapat
25
keseimbangan dalam menjalankan pemerintahan dalam arti lain dapat saling mengontrol kinerja dari masing-masing lembaga, sehingga roda pemerintahan akan berjalan dengan baik dan sempurna (Sarlito Sarwono, 2005: 45).
Kekuasaan merupakan unsur penting dalam kehidupan masyarakat karena peranannya dapat menentukan nasib berjuta-juta orang. Kekuasaan senatiasa ada dalam masyarakat, baik masih sederhana maupun masyarakat besar dan kompleks. Adapun keberadaan kekuasaan tergantung pada sifat hubungan anatar yang berkuasa dan yang terpaksa. Sosiologis mengakui adanya unsur kekuasaan sebagai bagian penolong dalam kehidupan masyarakat. Sosiologis tidak menilai baik dan buruknya kekuasaan karena ukurannya dari kegunaan untuk mencapai suatu tujuan yang telah di tentukan oleh masyarakat (Sarlito Sarwono, 2005: 48).
Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang mempengaruhi orang lain sesuai dengan kehendaknya. Bila kekuasaan itu melembaga dan di akui masyarakatnya, disebut wewenang. Kekuasaan mempunyai aneka bentuk serta sumber yang berbeda- beda misalnya hak milik kebendaan, kedudukan sosial, birokrasi dan intelektualitas. Adapun unsur pokok yang mendasari keberadaan kekuasaan ialah rasa takut, rasa cinta, kepercayaan dan pemujaan atau sugesti. Keempat unsur ini senantiasa dimanfaatkan penguasa dalam menjalankan kekuasaannya (Sarlito Sarwono, 2005: 49). Saluran pelaksanaan kekuasaan dapat berupa : a. Saluran militer Tujuan utamanya adalah untuk menimbulkan rasa takut dalam diri masyarakat,sehingga mereka tunduk pada kemauan penguasa. Untuk itu,
26
dalam organisasi militernya sering di bentuk pasukan khusus, dinas rahasia, dan satuan pengaman kerusuhan. b. Saluran ekonomi Pengusaha berusaha menguasai segala jaringan ekonomi,sehingga penguasa dapat
menyalurkan
perintah-perintahnya
melaui
berbagai
peraturan
perekonomian, baik masalah modal, buruh, ekspor impor dan sebaginya c. Saluran politik Penguasa sengaja membuat berbagai peratuaran yang harus ditaati masyarakat agar berbagai perintahnay berjalan lancar. Untuk itu sengaja di angkat para pejabat yang loyal d. Saluran tradisi Penguasa mempelajari dan memanfaatkan tradisi yang berlaku dlm masyarakat guna kelancaran pemerintah. e. Saluran ideologi Penguasa mengemukakan serangkaian ajaran dan doktrin hingga menjadi ideologi bangsa sekaligus menjadi dasar pembenaran segala sikap dan tindakannya selaku penguasa f. Saluran lainnya Berupa pers, kebudayaan, keagamaan dan sebagainya. Saluran mana yang paling efektif sangat tergantung pada struktur masyarakat yang bersangkutan.
Menururt Mac Iver dapat dijumpai tiga pola umum dari sistem pelapisan kekuasaan atau piramida kekuasaan, yaitu sebagai berikut sistem pelapisan kekuasaan dengan garis-garis pemisahan yang tegas dan kaku. Biasanya di jumpai dalam masyarakat yang berkasta, dimana garis pemisah tak mungkin di tembus.
27
Pada puncak piramida di atas duduk raja, berikut bangsawan, orang pekerja pemerintahan, tukuang-tukang dan pelayan-pelayan, petani dan buruh, serta pada level bawah budak-budak Tipe kedua adalah tipe oligrakis yang masih memiliki garis pemisahan yang tegas, namun terbuka kesempatan bagi warga biasa untuk memperoleh kekuasaan tertentu Tipe demokratis adalah tipe yang memunjukkan kenyataan akan adanya garis-garis pemisah yang sangat terbuka, dengan di tentukan oleh kemampuan dan faktor keberuntungan berikut gambaran perbandingan antara masyarakat praindustri, industri, dan pascaindustri (Sarlito Sarwono, 2005: 48)
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soekanto, 1979: 48).
Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktorfaktor tersebut adalah, sebagai berikut: a. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja. b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
28
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia. a. Undang-undang Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979).
Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979): 1) Undang-undang tidak berlaku surut. 2) Undang-undang yng dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, 3) Mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula. 4) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
29
5) Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu. 6) Undang-undang tidak dapat diganggu guat. 7) Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi).
b. Penegak Hukum Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golngan sasaran atau penegak hukum, Halangan-halangan tersebut, adalah: 1) Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi. 2) Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi. 3) Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi. 4) Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material. 5) Kurangnya
daya
konservatisme.
inovatif
yang sebenarnya
merupakan
pasangan
30
Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap-sikap, sebagai berikut: 1) Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru. 2) Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu. 3) Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya. 4) Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya. 5) Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan. 6) Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya. 7) Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib. 8) Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia. 9) Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan ihak lain. 10) Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitingan yang mantap.
c. Faktor Sarana atau Fasilitas Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.
31
Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas tesebut, sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai berikut (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1983): 1) Yang tidak ada-diadakan yang baru betul. 2) Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan. 3) Yang kurang-ditambah. 4) Yang macet-dilancarkan. 5) Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.
d. Faktor Masyarakat Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka
masyarakat
Masyarakat
dapat
Indonesia
mempengaruhi
mempunyai
penegakan
kecendrungan
hukum
yang
tersebut.
besar
untuk
mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.
e. Faktor Kebudayaan Kebudayaan (system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap
32
buruk (sehingga dihindari). Pasanagn nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1997: 48): 1) Nilai ketertiban dan nilai ketentraman. 2) Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan. 3) Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.
Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah merupakan hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
D. Upaya Penanggulangan Kejahatan
Dalam kompleksitas sudut pandang terhadap kasus ini dapat pula diambil beberapa konsep teori: IW Friedman tentang Legal Theory yang menyatakan bahwa dalam hukum ada empat unsur, yakni : 1) Di dalamnya termuat aturan atau ketentuan 2) Bentuknya dapat tertulis dan tidak tertulis 3) Aturan atau ketentuan tersebut mengatur masyarakat 4) Tersedia sanksi bagi para pelanggarnya
Tujuan hukum adalah sesuatu yang ingin dicapai oleh hukum yakni keadilan dan kepastian hukum (perlindungan hukum). Tujuan mempertahankan ketertiban masyarakat dapat dicapai dengan melindungi kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat secara seimbang. Implementasi dari tujuan hukum tersebut dapat dilaksanakan pada suatu negara yang berdasarkan hukum. Untuk mencapai tujuannya hukum haruslah ditegakkan, dalam hal ini hukum tersebut dapat
33
diasumsikan sebagai hukum yang baik (walau faktanya ada juga hukum yang tidak baik).
Selain itu diperlukan juga sistem hukum yang baik, Friedman menyatakan bahwa dalam sistem hukum terdiri dari struktur, substansi, dan kultur hukum. Menurut Friedman struktur hukum adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia misalnya jika kita berbicara tentang struktur system hukum Indonesia maka termasuk didalamnya struktur institusi penegakan hukum yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, dan lembaga permasyarakatan. Yang dimaksud substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku manusia yang ada dalam system tersebut. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam system hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law ( hukum yang hidup), dan hukum bukan hanya aturan yang tertulis dalam kitab undang-undang atau law in the book.
Kultur hukum adalah sikap manusia terhadap hukum (kepercayaan), nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum juga adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Jadi, kultur hukum sedikit banyak menjadi penentu jalannya proses hukum. Hubungan antara tiga unsur system hukum tersebut dapat diilustrasikan sebagai pekerjaan mekanik yang saling terkait dan tidak dapat bergerak secara keseluruhan apabila salah satu unsurnya tidak dijalankan. Walter C Recless membedakan karir penjahat dalam : penjahat biasa, penjahat
34
berorganisasi, dan penjahat professional. Penjahat biasa adalah peringkat terendah dalam karir kriminil, mereka melakukan kejahatan konvensional, mulai dari pencurian ringan sampai pencurian dengan kekerasan yang membutuhkan keterampilan terbatas, juga kurang mempunyai organisasi. Penjahat terorganisasi umumnya mempunyai organisasi yang sangat kuat dan dapat menghindari penyelidikan, serta mengkhususkan diri dalam bisnis illegal berskala besar, kekuatan, kekerasan, intimidasi dan pemerasan digunakan untuk memperoleh dan mempertahankan pengendalian atas ekonomi diluar hukum.
Penjahat profesional lebih mempunyai kemahiran yang tinggi dan mampu menghasilkan kejahatan yang besar dan sulit diungkap oleh penegak hukum. Penjahat-penjahat ini mengkhususkan diri dalam kejahatan-kejahatan yang lebih membutuhkan keterampilan daripada kekerasan. Menurut G. Peter Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan : a. Penerapan hukum pidana (criminal law application) b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat
mass
media
(influencing
views
of
society
on
crime
and
punishment/massmedia)
Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapatdibagi dua, yaitu lewat jalur 'penal' (hukum pidana) dan lewat jalur 'non penal'(bukan/diluar hukum pidana). Dalam pembagian GP. Hoefnagels tersebut di atasupaya-upaya yang disebut dalam (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya non penal. Beberapa aspek sosial yang oleh Kongres ke-8 PBB tahun 1990 di Havana,
35
Cuba,diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan, antara lain: a. Kemiskinan,
pengangguran,
kebutahurufan
(kebodohan),
ketiadaan/
kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok/serasi; b. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpanganketimpangan sosial; c. Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga; d. Keadaan-keadaan/ kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang beremigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain; e. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan dibidang sosial, kesejahteraan clan lingkungan pekerjaan; f. Menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan/bertetangga; g. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya didalam lingkungan masyarakatnya, keluarganya, tempat kerjanya atau lingkungan sekolahnya; h. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yangpemakaiannya juga diperlukan karena faktor-faktor yang disebut di atas; i. Meluasnya aktivitas kejahatan terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian;
36
j. Dorongan-dorongan (khususnya oleh mass media) mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap-sikap tidak toleransi.