II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemahaman Pariwisata 2.1.1. Pariwisata dari Sisi Penawaran Pariwisata dapat di lihat dari dua sisi, yaitu sisi penawaran dan sisi permintaan. Dari sisi penawaran, pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, usaha pariwisata terdiri dari 13 jenis usaha, yaitu: 1. Usaha daya tarik wisata, yaitu usaha yang kegiatannya mengelola daya tarik wisata alam, daya tarik wisata budaya, dan daya tarik wisata buatan manusia. 2. Usaha kawasan pariwisata, yaitu usaha yang kegiatannya membangun dan atau mengelola kawasan dengan luas tertentu untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. 3. Usaha jasa transportasi wisata, yaitu usaha khusus yang menyediakan angkutan untuk kebutuhan dan kegiatan pariwisata, bukan angkutan transportasi reguler/umum. 4. Usaha jasa perjalanan wisata terdiri dari usaha biro perjalanan wisata dan usaha agen perjalanan wisata. Usaha biro perjalanan wisata meliputi usaha penyediaan jasa perencanaan perjalanan dan atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata, termasuk penyelenggaraan perjalanan ibadah. Sementara usaha agen perjalanan wisata adalah usaha jasa pemesanan sarana, seperti pemesanan tiket dan pemesanan akomodasi serta pengurusan dokumen perjalanan.
16
5. Usaha jasa makanan dan minuman, yaitu usaha jasa penyediaan makanan dan minuman yang dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan, dapat berupa restoran, kafe, jasa boga, dan bar/kedai minum. 6. Usaha penyediaan akomodasi, yaitu usaha yang menyediakan pelayanan penginapan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya. Usaha penyediaan akomodasi bisa berupa hotel, vila, pondok wisata, bumi perkemahan, persinggahan karavan, dan akomodasi lainnya yang digunakan untuk tujuan pariwisata. 7. Usaha penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi, yaitu usaha yang ruang lingkup kegiatannya berupa usaha seni pertunjukan, arena permainan, karaoke, bioskop, sertakegiatan hiburan dan rekreasi lainnya yang bertujuan untuk pariwisata. 8. Usaha penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran, yaitu usaha yang memberikan jasa bagi suatu pertemuan sekelompok orang, menyelenggarakan perjalanan bagi karyawan dan mitra usaha sebagai imbalan atas prestasinya, serta menyelenggarakan pameran dalam rangka menyebarluaskan informasi dan promosi suatu barang dan jasa yang berskala nasional, regional, dan internasional. 9. Usaha jasa informasi pariwisata, yaitu usaha yang menyediakan data, berita, feature, foto, video, dan hasil penelitian mengenai kepariwisataan yang disebarluaskan dalam bentuk bahan cetak dan atau elektronik. 10. Usaha jasa konsultan pariwisata, yaitu usaha yang menyediakan saran dan rekomendasi mengenai studi kelayakan, perencanaan, pengelolaan usaha, penelitian, dan pemasaran di bidang kepariwisataan.
17
11. Usaha jasa pramuwisata, yaitu usaha yang menyediakan dan atau mengoordinasikan tenaga pemandu wisata untuk memenuhi kebutuhan wisatawan dan atau kebutuhan biro perjalanan wisata. 12. Usaha wisata tirta, yaitu usaha yang menyelenggarakan wisata dan olahraga air, termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta jasa lainnya yang dikelola secara komersial di perairan laut, pantai, sungai, danau, dan waduk. 13. Usaha spa, yaitu usaha perawatan yang memberikan layanan dengan metode kombinasi
terapi
makanan/minuman
air,
terapi
sehat,
dan
aroma, pijat, olah
rempah-rempah, layanan
aktivitas
fisik
dengan
tujuan
menyeimbangkan jiwa dan raga dengan tetap memperhatikan tradisi dan budaya bangsa. 2.1.2. Pariwisata dari Sisi Permintaan Berdasarkan rekomendasi tentang statistik pariwisata yang diadopsi dari World Tourism Organization oleh United Nations Statistical Commission pada tahun 1993 bahwa pariwisata dari sisi permintaan dapat dibedakan menjadi tiga jenis (Gambar 3), yaitu: 1. Domestic tourism1, yaitu penduduk suatu negara yang melakukan perjalanan dalam wilayah terotori negara dimana mereka tinggal 2. Inbound tourism, yaitu penduduk luar negeri yang melakukan perjalanan ke suatu negara
1
Domestik dalam pengertian pariwisata di sini berbeda dengan domestik dalam pendapatan nasional. Dalam konteks pariwisata pengertian domestik ini merujuk pada penduduk Indonesia yang melakukan perjalanan di wilayah Indonesia baik WNI maupun WNA tetapi tidak termasuk penduduk luar negeri, sementara domestik dalam pendapatan nasional merujuk pada semua aktivitas ekonomi yang ada di wilayah Indonesia baik yang dilakukan oleh penduduk Indonesia maupun penduduk luar negeri
18
3. Outbound tourism, yaitu penduduk yang melakukan perjalanan ke luar negeri.
Domestic
In te
l na
rn
al
tio Na
Inbound
Outbound International
Export
Tourism Balance
Import
Sumber: Recommendation of Tourism Statistics, World Tourism Organization, 1994 Gambar 3. Form of Tourism
Dari tiga klasifikasi seperti yang terlihat pada Gambar 3 dapat dilakukan redefinisi menjadi tiga jenis, yaitu: 1. Internal tourism, yang terdiri dari inbound tourism dan domestic tourism di mana aktivitas pariwisata terjadi dalam wilayah teritori suatu negara baik yang dilakukan oleh penduduk yang ada di negara tersebut maupun penduduk luar negeri 2. National tourism, terdiri dari domestic tourism dan outbound tourism adalah aktivitas pariwisata yang dilakukan oleh penduduk suatu negara baik di dalam negeri maupun di luar negeri
19
3. International tourism, yaitu aktivitas pariwisata internasional yang melibatkan penduduk suatu negara di luar negeri dan penduduk luar negeri di negara yang bersangkutan. Pokok bahasan dalam tulisan ini adalah international tourism yang berkaitan dengan inbound (wisatawan mancanegara) dan outbound (penduduk Indonesia yang pergi ke luarnegeri). Batasan wisatawan mancanegara (wisman) atau inbound adalah setiap orang yang mengunjungi suatu negara di luar tempat tinggalnya, didorong oleh satu atau beberapa keperluan tanpa bermaksud memperoleh penghasilan di tempat yang dikunjungi. Wisatawan mancanegara pada dasarnya dibagi dalam dua golongan (Gambar 4). 1. Wisatawan (tourist), yaitu pengunjung yang tinggal di negara yang dituju paling sedikit 24 jam, akan tetapi tidak lebih dari 6 (enam) 2 bulan, dengan tujuan: (1) berlibur, rekreasi dan olah raga; (2) bisnis, mengunjungi teman dan keluarga, misi, menghadiri pertemuan, konferensi, kunjungan dengan alasan kesehatan, belajar, dan keagamaan. 2. Pelancong (excursionist), yaitu pengunjung yang tinggal di negara yang dituju kurang dari 24 jam, termasuk cruise passanger (penumpang kapal pesiar)yang berkunjung ke suatu negara dengan kapal pesiar untuk tujuan wisata, lebih atau kurang dari 24 jam tetapi tetap menginap di kapal bersangkutan. 2
Batasan yang digunakan oleh WTO sebenarnya adalah 1 (satu) tahun, namun karena konsep kependudukan di Indonesia adalah 6 (enam) bulan, maka definisi wisatawan ini disesuaikan dengan konsep Indonesia.
20
Orang yg Melakukan Perjalanan
Berlibur Bisnis
Termasuk dlm Statistik
Tdk. Masuk dlm Statistik
Kesehatan Belajar Misi/ Pertemuan/ Kongres
Pengunjung
Maksud Kunjungan
Mengunjungi Teman/ Keluarga Agama Olahraga Lainnya
Wisatawan
Pelancong
Bukan Penduduk Indonesia
Penumpang Kapal Pesiar
WNI yang Tinggal di Luar Negeri
Pengunjung Kurang dari 24 jam
Awak Kapal/ Pesawat Bukan Penduduk Indonesia
Pekerja Perbatasan
Nomaden
Penumpang Transit
Diplomat
Pengungsi
Imigran Sementara
Awak Kapal/ Pesawat
Anggota Angkatan Bersenjata
Perwakilan Konsulat
Imigran Tetap
Sumber: Recommenation on Tourism Statistics, World Tourism Organization, 1993 Gambar 4. Klasifikasi Orang yang Melakukan Perjalanan
21
Konsep wisatawan Indonesia yang pergi ke luar negeri (outbound) adalah kebalikan dari inbound, yaitu penduduk Indonesia yang melakukan perjalanan ke luar negeri bukan untuk bekerja atau memperoleh penghasilan di luar negeri dan tinggal tidak lebih dari 6 bulan3 berturut-turut dengan maksud kunjungan untuk: (1) Berlibur,
(2)
Pekerjaan/bisnis,
(3)
Kesehatan,
(4)
Pendidikan,
(5)
Misi/pertemuan/kongres, (6) Mengunjungi teman/keluarga, (7) Keagamaan, (8) Olahraga, dan (9) Lainnya. Sehingga dalam klasifikasi ini termasuk penduduk Indonesia yang melakukan perjalanan untuk ibadah haji dan umroh. 2.1.3. Neraca Perjalanan Wisata Wisatawan mancanegara yang membelanjakan uangnya selama mereka di Indonesia akan berdampak secara nasional maupun lokal di daerah yang mereka kunjungi. Pengeluaran
4
mereka untuk akomodasi, makan,
transportasi lokal (domestic transport), souvenir dan lain-lain adalah merupakan pemasukan devisa melalui konsumsi barang dan jasa seperti tersebut di atas yang mereka nikmati selama mereka di Indonesia maupun yang mereka bawa pulang ke negeri asalnya. Dalam konteks balance of payment (neraca pembayaran), pariwisata merupakan bagian daritravel balance (neraca perjalanan)dalam neraca jasajasayang didefinisikan sebagai selisih antara penerimaan devisa dari luar negeri yang dibawa oleh wisatawan mancanegara (inbound) dengan pengeluaran devisa 3
Berdasarkan konsep WTO adalah 1 (satu) tahun. Namun disesuaikan dengan konsep kependudukan Indonesia, apabila mereka tinggal sudah lebih dari 6 (enam) bulan di luar negeri secara berturut-turut meraka tidak dianggap sebagai penduduk Indonesia. Dalam menghitung jumlah outbound di sini menurut IMF termasuk mereka yang tinggal lebih dari satu tahun di luar negeri dengan tujuan untuk belajar (student) dan berobat (medical patient) 4 Sebenarnya konsumsi mereka tidak hanya jasa tetapi juga barang, namun semua ini tidak melalui proses kepabeanan sehingga secara internasional transaksi ini dimasukkan dalam kelompok jasa.
22
ke luar negeri yang dibawa oleh penduduk Indonesia yang melakukan perjalanan ke luar negeri (outbound). Perjalanan dalam hal ini adalah perjalanan di luar lingkungan kesehariannya kurang dari enam bulan berturut-turut dan bukan untuk memperoleh penghasilan di tempat (negara) yang dikunjungi. Dalam neraca jasa sektor pariwisata ini sering juga disebut sebagai “invisible” ekspor dan impor karena keunikan proses terjadinya perdagangan,di mana wisatawan sebagai konsumen mengkonsumsi jasa/barang di negara asal jasa/barang. Penghitungan devisa pariwisata ini tidak seperti penghitungan eksporimpor barang yang dicatat melalui bea cukai. Devisa pariwisata yang diterima dihitung melalui estimasi berdasarkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Indonesia dikalikan dengan rata-rata pengeluaran mereka selama berada di Indonesia yang diperoleh dari hasil “Passangers’ Exit Survey” (PES) yang dilakukan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Sementara hal yang sama juga dilakukan untuk menghitung jumlah devisa yang dibawa oleh penduduk Indonesia yang melakukan perjalanan ke luar negeri, yaitu merupakan perkalian antara jumlah penduduk Indonesia yang pergi ke luar negeri dengan rata-rata pengeluaran mereka selama berada di luar negeri yang diperoleh melalui Survey Outbound yang dilakukan oleh instansi yang sama.
2.2. Penelitian yang Pernah Dilakukan Pariwisata adalah merupakan produk jasa yang sulit jika menghitungnya dengan pendekatan dari sisi penawaran. Untuk menghitung volume maupun nilai perdagangan jasa (services) jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan volume dan nilai perdagangan barang (goods) sehingga baik besaran maupun pertumbuhan
23
perdagangan jasa menjadi kurang yakin. Lipsey (2006) mencoba untuk mendiskripsikan tentang perdagangan jasa (export dan import) dengan menggunakan beberapa contoh angka dari beberapa negara, antara lain Amerika Serikat. Berdasarkan data terakhir perdagangan jasa di dunia ini mencapai seperempat dari total perdagangan barang. Dari tahun ke tahun pertumbuhan perdagangan jasa ini terus meningkat, khususnya sejak tahun 1975. Ini dikarenakan sudah mulai banyak negara yang menghitung perdagangan jasa secara cermat, di mana pada tahun tahun sebelumnya masih sekedar diperkirakan dengan hasil yang masih underestimate. Di Amerika sendiri, menurut Lepsey (2006), ekspor jasa, termasuk pariwisata telah mencapai 40 persen dari total ekspor barang, sementara impor jasanya mencapai 20 persen dari total impor jasa. Namun peningkatan impor jasa ini meningkat lebih cepat jika dibandingkan dengan peningkatan impor barang dalam lima tahun terakhir ini. Dibandingkan dengan output barang dan jasa, ekspor dan impor jasa ini jauh lebih kecil dari pada ekspor dan impor barang. Untuk menghitung nilai ekspor dan impor jasa pariwisata ini berbeda dengan cara menghitung ekspor dan impor barang, di mana ekspor jasa dikonsumsi oleh bukan penduduk suatu negara (non-resident) sementara impor jasa dikonsumsi oleh penduduk suatu negara (resident) atas produk luar negeri di negara yang mereka kunjungi. Dalam hal ini jasa yang diekspor atau diimpor tidak melalui pencatatan oleh bea cukai (custom) yang bertugas untuk mencatat semua keluar-masuk barang dari dalam dan ke luar negeri. Kesulitan muncul saat jasa pendidikan di Amerika Serikat yang menerima mahasiswa dari luar negeri sebagai non-resident berubah status menjadi resident. Sehingga pencatatan ekspor jasanya
24
menjadi tidak benar karena pada hakekatnya tidak terjadi ekspor. Dan perdagangan jasa yang terjadi adalah perdagangan domestik karena jasa tersebut dikonsumsi oleh penduduk dalam negeri sendiri. Namun berdasarkan Balance of Payment Manual edisi kelima oleh IMF (1993) dinyatakan bahwa khusus untuk pasien rumah sakit (medical patients) dan mahasiswa (students) tetap sebagai nonresident walaupun masa tinggalnya lebih dari satu tahun. Secara umum apabila penduduk tinggal di suatu negara lebih dari satu tahun tanpa melihat kewarganegaraanya dianggap sebagai resident. Perbedaan antara data statistik dengan Balance of Payment dalam pencatatan perdagangan barang dan jasa terletak pada perpindahan kepemilikan barang bukan pada perpindahan fisik lokasi barang. Barang dan jasa yang dibeli dalam suatu negara oleh non-resident dicatat sebagai transaksi domestik untuk data statistik sementara dalam BOP dicatat sebagai ekspor jasa karena kepemilikannya telah berpindah dari produk negara tersebut ke non-resident. Sebaliknya, penduduk suatu negara yang pergi ke luar negeri dan mengkonsumsi barang/jasa di luar negeri, tidak akan dicatat dalam data statistik. Namun dalam BOP transaksi ini dicatat sebagai impor jasa karena adanya perpindahan kepemilikan dari barang/jasa produk luar negeri ke penduduk suatu negara. Ada dua lembaga dunia yang menaungi aktivitas pariwisata yaitu WTO (World Trade Organization) dan UNWTO (United Nation World Tourism Organization). Pemahaman pariwisata dari kedua lembaga tersebut berbeda. Dalam WTO pengertian pariwisata hanya terbatas pada hotel, restoran, biro perjalanan dan pemandu wisata. Definisi ini mengacu pada General Agreement on Trade in Services (GATS). Sementara pengertian pariwisata dari UNWTO sangat
25
luas selain mencakup yang didefinisikan oleh WTO juga meliputi semua usaha yang melayani wisatawan (Roe et al., 2004). Dalam menghadapi era globalisasi ini, negara berkembang, seperti Indonesia, menghadapi tantangan eksternal yang terus menekan laju pertumbuhan ekonomi yaitu meningkatnya harga minyak dunia dan gejolak nilai mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Selain itu tantangan eksternal yang dihadapi adalah komitmen Indonesia untuk melakukan liberalisasi perdagangan sesuai kesepakatan AFTA dan WTO. Di sisi lain tantangan internal juga menjadi hambatan tersendiri dalam mengatasinya seperti masalah kesempatan kerja (pengangguran yang meningkat), defisit neraca pembayaran yang kronis dan terus meningkat, hutang luar negeri yang terus meningkat dan kesenjangan yang semakin lebar dalam distribusi pendapatan (Gonarsyah etal., 2002). Attanayake (1983) mengatakan, seperti aktivitas ekonomi lainnya, pariwisata internasional (inbound dan outbound) juga dipengaruhi oleh perekonomian dunia yang dinamis serta perubahan sosial ekonomi masyarakat. Kenaikan harga minyak dunia, isu terorisme serta situasi sosial politik dunia berdampak terhadap aktivitas perjalanan penduduk dunia. Namun tidak diragukan lagi bahwa pariwisata akan terus berkembang menjadi industri utama dunia. Aly dan Mark (2002) dalam tulisannya mempertanyakan apakah terorisme akan memberikan dampak permanen atau sementara terhadap perkembangan pariwisata. Di Timur Tengah, terorisme, perang yang berkecamuk, dan ketidakstabilan negara menjadi faktor utama yang kontra produktif terhadap upaya pengembangan pariwisata. Untuk melihat shock dalam waktu tertentu apakah bersifat permanen atau sementara dengan menggunakan metode minimum
26
LM unit root test guna menentukan data series yang digunakan apakah stasioner atau tidak stasioner. Dari hasil uji hipotesa dengan level of significant sebesar 10persen untuk Mesir dan 1 persen untuk Israel menolak null hipotesa bahwa data series yang diuji ternyata stasioner artinya bahwa shock yang terjadi secara tidak langsung hanya bersifat sementara terhadap kunjungan wisatawan yang ada di kedua negara tersebut. Dalam tulisan tersebut juga dijelaskan bahwa terorisme yang terjadi di Mesir sebagian besar ditujukan kepada wisatawan dan daerah tujuan wisata, namun tidak demikian halnya yang terjadi di Israel. Dari data series yang dipakai untuk uji hipotesa menyatakan bahwa pada tahun 1991 terjadi shock yang sangat significant terhadap perkembangan pariwisata di Timur Tengah saat terjadinya perang teluk. Pariwisata memiliki dampak yang cukup signifikan dalam perekonomian suatu negara yaitu penerimaan devisa dari luar negeri serta penciptaan lapangan kerja sehingga tidak mengherankan bahwa pariwisata adalah merupakan kegiatan ekonomi yang ikut menggerakkan perekonomian dunia (Katafano, 2004). Pariwisata adalah industri yang cukup besar di dunia dan wisata cruise atau wisata dengan kapal pesiar berkembang cukup pesat dua puluh tahun terakhir ini. Dalam pelayanannya jenis wisata ini tidak membutuhkan fasilitas infrastruktur yang cukup besar seperti hotel karena mereka akan menggunakan sarana akomodasi di dalam kapal. Namun demikian kebocoran penerimaan devisa pada pariwisata cukup besar di mana pengeluaran mereka selama berada di Indonesia akan mengalir kembali ke luar negeri khususnya makanan dan minuman(Chase dan McKee, 2003).
27
SelanjutnyaChase dan McKee (2003) mengukur dampak ekonomi pariwisata kapal pesiar di Jamaica menggunakan model Keynesian dengan tiga persamaan regresi masing-masing untuk melihat dampak terhadap pengeluaran pemerintah, import, dan investasi. Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pariwisata kapal pesiar tidak berdampak terhadap pengeluaran pemerintah. Namun multiplier dalam persamaan investasi menunjukkan bahwa pariwisata kapal pesiar ini akan meningkatkan investasi di Jamaica. Demikian juga halnya dalam persamaan impor, jenis pariwisata ini memberikan pengaruh yang cukup signifikan. Ini menunjukkan bahwa devisa yang dibawa oleh wisatawan ke Jamaica oleh wisatawan, sebagian akan mengalir kembali ke luar negeri dalam bentuk impor makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh wisatawan. Pada tahun 1960an sampai dengan 1970an pariwisata mulai berperan dalam neraca pembayaran dan sebagai salah satu sumber utama penerimaan devisa. Pada tahun 1980an sampai dengan 1990an pariwisata mulai menjadi perhatian karena dampak positipnya dalam perekonomian baik langsung maupun tidak langsung terhadap penerimaan pemerintah, pendapatan nasional dan tenaga kerja. Secara umum pariwisata merupakan sektor yang tumbuh secara pesat di negara berkembang yang mempunyai dampak multidimensi (Aly, 2002). Menurut Roe et tal. (2004), pariwisata sebagai sektor tumbuh begitu pesat di negara berkembang. Pada tahun 2004 sumbangan kegiatan pariwisata dan perjalanan sebesar 11 persen terhadap GDP dunia sementara ekpor pariwisata (inbound) mencapai 6-7 persen dari total ekspor barang dan jasa. Pada tahun 1980 ekspor ini baru mencapai 4 persen meningkat menjadi 5 persen pada tahun 1990 dan pada tahun 1995 meningkat menjadi 6 persen.
28
Sebagai contoh lain di salah satu negara maju, penerimaan devisa pariwisata di Canada pada tahun 2002 mencapai 51.8 juta US$ dan pariwisata ini memberikan sumbangan terhadap GDP sebesar 2.3 persen. Menurut Organization for Economics Cooperation and Development (OECD) pariwisata adalah merupakan industri jasa yang paling besar dan paling dinamis di negara anggota OECD termasuk negara-negara berkembang yang diharapkan terus tumbuh di tahun-tahun mendatang. Kegiatan pariwisata bisa menciptakan lapangan kerja untuk penduduk tua maupun muda dengan keahlian yang sangat bervariasi mulai dari daerah perkotaan sampai ke perdesaan. Di Canada tenaga kerja di bidang pariwisata baik laki-laki maupun perempuan memberikan sumbangan hampir 4 persen terhadap total angkatan kerja (Tourism Count, 2004). Dampak ekonomi pariwisata ini juga dinyatakan oleh Attanayake (2004) bahwa dampak ini muncul ketika wisatawan datang ke tempat tujuan menjadi konsumen barang dan jasa di tempat yang dikunjungi. Pengeluaran mereka biasanya lebih besar jika dibandingkan dengan pengeluaran di tempat tinggalnya. Dari sisi wisatawan, barang dan jasa yang mereka konsumsi adalah merupakan produk pariwisata seperti akomodasi, makanan dan minuman, angkutan, hiburan dan sebagainya. Semua produk tersebut adalah intangible, sementara yang lainnya tangible. Ini adalah alasan mengapa pariwisata dikategorikan sebagai invisible export dalam neraca pembayaran. Karakteristik penting lainnya dari produk pariwisata adalah tetap dalam waktu dan ruang karena tidak bisa disimpan maupun dipindahkan. Pariwisata adalah sektor padat karya (labor intensive) yang menyerap banyak tenaga kerja mulai dari tenaga kerja yang profesional (skilled labor)
29
sampai pekerja tradisional (unskilled labor) sehingga pariwisata bisa sebagai salah satu sektor yang bisa ikut mengentaskan kemiskinan masyarakat yang berada di sekitar daerah tujuan wisata. Chao et al. (2005) menggunakan framework dynamic general equilibrium dampak jangka pendek dan jangka panjang dari pariwisata terhadap tenaga kerja, akumulasi kapital dan kesejahteraan penduduk untuk negara small open economy yang belum mencapai tingkat full employment (ada pengangguran). Dengan menggunakan model ECM (Error Correction Modelling), Tang (2010) meneliti hubungan antara pariwisata dengan pertumbuhan ekonomi di Malaysia. Dari hasil penelitian wisatawan yang berkunjung ke Malaysia dari 12 negara menunjukkan bahwa tidak semua pasar pariwisata Malaysia bisa memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di Malaysia. Hanya ada 5 negara yang memberikan kontribusi dalam bertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang dan hanya 6 negara dalam jangka pendek. Oleh karena itu identifikasi untuk pasar pariwisata potensial menjadi penting agar kebijakan pemasaran pariwisata menjadi lebih efektif. Perkembangan pariwisata dunia yang terus meningkat apakah bisa menciptakan lapangan kerja terhadap penduduk lokal, mengurangi tingkat pengangguran dan memperbaiki kesejahteraan pekerja? Untuk menjawab masalah tersebut, Chao et al. (2005) mengadopsi model minimum wage dari Brecher (1974) di mana pengangguran terjadi dalam suatu perekonomian. Dalam model ini juga dikaitkan dengan perubahan kapital dalam jangka panjang.
30
Pariwisata merupakan kegiatan yang bersifat padat karya maka perluasan usaha pariwisata akan memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak (Tse, 2001). Namun perluasan di sektor pariwisata ini akan menjadikan kontra produktif terhadap sektor lainnya yaitu akan mengurangi akumulasi kapital, jika non-traded sektor pariwisata adalah padat karya dibandingkan dengan traded sektor lainnya. Dan jika traded sektor tidak terlalu padat modal, penurunan dalam kapital tidak akan mengurangi perbaikan tingkat kesejahteraan. Namun demikian jika traded sektor lebih padat modal maka penurunan kapital merupakan faktor yang dominan dalam menurunnya tingkat kesejahteraan. Chao et al. (2005) mencoba simulasi modelnya dengan menggunakan data dari negara Jerman. Menurut Ashley (2002), pariwisata juga bisa dipakai dalam pengentasan kemiskinan. Ada 3 keuntungan dalam pengembangan pariwisata, yaitu keuntungan dari sisi ekonomi, keuntungan pola hidup masyarakat sekitar (perbaikan sosial budaya penduduk), dan keuntungan partisipasi penduduk dalam pengembangan pariwisata. Fokus pengembangan pariwisata untuk lebih bisa meningkatkan keuntungan secara ekonomi meliputi penggunaaan pekerja lokal dan memberikan kesempatan kepada penduduk lokal untuk berusaha di bidang pariwisata baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam melayani wisatawan. Melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, serta memberikan informasi yang benar kepada masyarakat tentang rencana pengembangan pariwisata yang akan dilakukan bisa memberikan manfaat yang cukup signifikan terhadap masyarakat di sekitar daerah tujuan wisata. Singh (1997) mengatakan bahwa penurunan nilai mata uang lokal (devaluasi) terhadap US$ akan berdampak terhadap industri pariwisata.
31
Wisatawan mancanegara yang berkunjung ke negara tersebut akan meningkat karena daya beli mereka meningkat. Selain itu pengeluaran mereka juga akan meningkat sebagai akibat dari lama tinggal mereka yang meningkat karena harga yang kompetitif. Dalam jangka pendek, devaluasi akan berdampak negatif terhadap penduduk untuk melakukan perjalanan ke luar negeri (outbound) karena biaya perjalanan yang meningkat, tetapi dalam jangka panjang tidak akan terlalu berpengaruh. Peningkatan pendapatan negara secara signifikan telah mendorong pertumbuhan pariwisata. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pariwisata juga disinggung oleh Singh (1997) yang terdiri dari pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan masyarakat, stabilitas ekonomi, kemudahan melakukan perjalanan, liberalisasi angkutan udara, teknologi, pemasaran dan promosi yang terfokus melalui berbagai kampanye pariwisata. Sementara menurut Nathakumar, ettal. (2008), ada tiga variabel yang mempengaruhi model permintaan pariwisata internasional yaitu pendapatan per kapita dari negara asal wisatawan, nilai tukar mata uang, dan relatif harga negara asal dan tujuan wisatawan. Di sisi lain menurut Uysal dan Crompton (1984) bahwa permintaan pariwisata internasional tergantung dari pendapatan riil per kapita negara asal wisatawan, nilai tukar relatif mata uang negara asal dan tujuan wisatawan, biaya transportasi, dan besarnya pengeluaran promosi dari negara tujuan wisatawan. Dalam menyusun model permintaan akan pariwisata di Fiji, Katafono (2004) menggunakan variabel tidak bebasnya adalah jumlah kunjungan wisatawan sementara variabel bebasnya adalah Gross Domestic Product (GDP), Exchange Rate dan dua dummy variabel yaitu terjadinya kudeta di Fiji dan terjadinya topan
32
cyclones di Fiji. Model yang digunakan adalah model double log sehingga koefisiennya dari model ini dapat dinterpretasikan sebagai elastisitas. Dalam hal faktor yang bisa mempengaruhi kunjungan wisatawan selama ini Katafano (2004) menggunakan pendapatan dan harga. Jika pendapatan meningkat maka jumlah orang yang melakukan perjalanan juga akan meningkat. Sebagai proxy untuk pendapatan ini digunakan real GDP yang ditimbang dengan perdagangan dari negara utama asal wisatawan. Faktor lainnya mestinya indeks tarip hotel, restoran dan angkutan yang sebenarnya bisa dipakai sebagai proxy untuk faktor harga. Namun data tersebut tidak tersedia sehingga nilai tukar (exchange rate) mata uang asal wisatawan digunakan sebagai proxy harga dengan asumsi tarip hotel dan restoran bergerak sejalan dengan Exchange Rate. Faktor harga ini menjadi penting dalam model karena wisatawan mancanegara itu sensitif terhadap harga apakah itu biaya transportasi (angkutan udara) dan biaya hidup (akomodasi dan makanan) dari negara yang dituju. Sementara itu data tentang biaya perjalanan (ongkos naik pesawat) tidak tersedia dengan baik sehingga variabel ini tidak dimasukkan dalam model. Katafano (2004) juga menyatakan bahwa meningkatnya harga akan mengurangi jumlah kunjungan wisatawan, namun yang terjadi sebaliknya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa dalam kenyataannya kenaikan harga dalam jangka panjang tidak akan mempengaruhi jumlah kunjungan wisatawan, khususnya “high budget tourist”. Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian yang dilakukan oleh Katafano (2004), yaitu Exchange Rate sebagai proxy harga mungkin tidak mencerminkan
harga yang ada di Fiji. Demikian juga halnya faktor biaya
transportasi tidak dimasukkan dalam model.
33
Berdasarkan teori mikroekonomi tentang permintaan bahwa permintaan pariwisata didefinisikan sebagai sejumlah barang dan jasa pariwisata di mana konsumen (wisatawan) bersedia dan mampu untuk membeli dalam waktu dan kondisi tertentu. Dalam model permintaan wisatawan di Tunisia, Choyakh (2008) menetapkan bahwa permintaan pariwisata adalah fungsi dari pendapatan wisatawan, harga barang dan jasa pariwisata, harga barang dan jasa substitusi, serta variabel kualitatif lainnya seperti krisis ekonomi dan perang teluk dengan menggunakan dummy variabel. Variabel bebas yang digunakan dalam fungsi ini adalah malam tamu yang didefinisikan sebagai jumlah wisman yang berkunjung ke Tunisia yang menginap di hotel dikalikan dengan lama menginapnya.Banyak alternatif untuk mengukur jumlah permintaan pariwisata, antara lain: devisa yang diperoleh dari wisatawan, jumlah malam kunjungan di negara tujuan, dan jumlah wisman. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan (Garin-Munoz et al., 2000). Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendapatan per kapita negara asal wisatawan adalah faktor yang paling signifikan mempengaruhi malam tamu wisatawan di hotel di Tunisia. Elastisitas pendapatan hasilnya cukup besar yaitu antara 2.46 sampai 5.83. Ini menunjukkan bahwa kunjungan dan lama menginap wisatawan ke Tunisia sangat dipengaruhi oleh GDP negara asal wisatawan dan besarnya nilai elastisitas lebih dari 1 mengindikasikan bahwa pariwisata adalah merupakan barang “superior” yaitu peningkatan pendapatan di empat negara Eropa asal wisman sebesar 1 persen akan meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke Tunisia lebih dari satu persen (Choyakh, 2008). Witt dan Witt (1995) dalam Aslan et al. (2009) menyebutkan bahwa 75 persen studi tentang permintaan pariwisata menggunakan persamaan double log
34
karena mudah dalam interpretasi dari estimasi koefisiennya yaitu elastisitas permintaan.
Sebagian
besar
literatur
juga
menyarankan
bahwa
untuk
mengestimasi fungsi permintaan pariwisata adalah model fungsi persamaan linier dan log linier. Keuntungan menggunakan persamaan double-log dapat menghasilkan estimasi koefisien dalam persamaan ini yang merupakan elastisitas dari variabel penjelas yang dimasukkan dalam model (Garin-Munoz et al., 2000, Aslan et al., 2009, Tan et al., 2002, Torraleja et al., 2009). Dalam beberapa penelitian tentang permintaan pariwisata menunjukkan bahwa permintaan akan pariwisata dipengaruhi oleh pendapatan dan harga serta kejadian/peristiwa
tertentu
yang
bisa
berdampak
positif
maupun
negatif.Hubungan antara permintaan barang atau jasa dengan pendapatan bisa positif maupun negatif tergantung dari jenis barang dan jasa tersebut, sebagai barang normal atau barang inferior. Konsumen akan membeli barang normal lebih banyak dan barang inferior lebih sedikit saat pendapatan meningkat. Dalam berbagai penelitian menunjukkan bahwa pariwisata termasuk sebagai barang normal (Tan et al., 2002). Hasil penelitian Aslan et al. (2009) menunjukkan bahwa estimasi koefisien elastisitas pendapatan dari wisatawan yang berkunjung ke Turki menghasilkan nilai yang sangat kecil (0.04 – 0.06). Ini menunjukkan bahwa pendapatan tidak terlalu berpengaruh terhadap wisatawan yang berkunjung ke Turki atau dapat dikatakan bahwa pariwisata Turki bukan merupakan barang superior/luxury goods. Ketika persentase perubahan permintaan lebih besar jika dibandingkan dengan persentase perubahan pendapatan atau nilai elastisitas pendapatannya lebih dari 1 maka permintaan barang tersebut elastis. Dan jika
35
kurang dari satu maka permintaan barang tersebut inelastis. Sebagian besar penelitian elastisitas permintaan pariwisata lebih besar dari satu dan menyimpulkan bahwa pariwisata sebagai luxury goods (Tan et al., 2002, dan Venegas Sr., 2009). Demikian juga elastisitas harga tidak terlalu sensitif terhadap kunjungan wisman ke Turki. Namun justru faktor internal dan eksternal lainnya yang berupa data kualitatif, yaitu peristiwa 11 September 2001 dan gempa bumi di Marmara berpengaruh negatif terhadap kunjungan wisman ke Turki. Menurut Tan et al. (2002) bahwa kunjungan wisman ke Indonesia adalah elastis namun cenderung menjadi inelastis. Hasil ini sejalan dengan konsep product life cycle yang menyatakan bahwa elastisitas permintaan cenderung tinggi pada produk baru dan cenderung menurun ketika produk tersebut sudah menjadi biasa. Kunjungan wisman ke Indonesia diuntungkan oleh meningkatnya pendapatan di negara asal. Maka dalam pemasaran pariwisata harus bisa diidentifikasi mana produk yang sudah membosankan dan mana produk yang memiliki prospek untuk dikembangkan. Oleh karena itu pemerintah harus berperan dalam menjaga keseimbangan antara perluasan pasar dan pengembangan infrastruktur. 2.3. Dampak Kebijakan Maju-mundurnya sektor pariwisata tidak terlepas dari kebijakan pemerintah suatu negara. Indonesia sebagai salah satu negara yang terus berupaya meningkatkan kontribusi pariwisata dalam perekonomiannya telah melakukan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan lalulintas pergerakan manusia antar
36
negara. Untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara upaya yang telah dilakukan pemerintah Indonesia antara lain dengan menerapkan kebijakan Bebas Visa Kunjungan Singkat (BVKS) terhadap 145 negara sejak tahun 1991. Namun kebijakan ini pada tahun 2002 diubah menjadi Visa on Arrrival (VOA) terhadap negara yang telah diberikan BVKS namun negara tersebut sebaliknya tidak memberikan bebas visa terhadap warga negara Indonesia yang ingin mengunjungi negara tersebut. Dengan menganut asas resiprokal, negara anggota ASEAN masih tetap mendapatkan BVKS saat warganegaranya mengunjungi Indonesia. Kebijakan negara asal wisatawan mancanegara juga bisa mempengaruhi jumlah kunjungannya ke Indonesia, seperti adanya travel warning dari negara Australia pasca terjadinya bom Bali pada tahun 2002. Secara lebih rinci dampak kebijakan ini akan dijelaskan dalam sub-sub bab 2.3.1. Guna meningkatkan pendapatan negara dan menghambat mengalirnya devisa dari Indonesia ke luar negeri maka pemerintah membebankan biaya fiskal terhadap penduduk Indonesia yang akan melakukan perjalanan ke luar negeri. Namun akhir-akhir ini kebijakan tersebut menuai protes dari beberapa negara anggota ASEAN karena penduduk Indonesia yang ingin mengunjungi negara ASEAN mengurungkan maksud untuk pergi ke luar negeri karena harus mebayar biaya fiskal. Secara lebih rinci dampak kebijakan ini akan dijelaskan dalam subsub bab 2.3.2. 2.3.1. Dampak Travel Warning Pada tahun 2002, saat terjadi bom Bali, beberapa negara menerapkan kebijakan travel warning terhadap penduduknya yang akan berkunjung ke
37
Indonesia.
Isu
terorisme
menjadi
alasan
kuat
bagi
negara
tersebut
memperingatkan penduduknya untuk sementara tidak mengunjungi Indonesia kecuali untuk keperluan yang mendesak. Bahkan pada tingkat tertentu negara asal wisman akan menerapkan travel banned, yaitu melarang sama sekali penduduknya untuk mengunjungi Indonesia. Dampak dari kebijakan negara asal wisatawan ini dapat dijelaskan dalam Gambar 5. Dalam income/output
perekonomian dalam
suatu
jangka
pendek,
perekonomian
menurut
ditentukan
Keynes
oleh
bahwa
Pengeluaran
Rumahtangga (C), Perusahaan (I), Pemerintah (G), dan Luar Negeri (NX) yang selanjutnya disebut sebagai Planned Expenditure (PE) (Mankiw, 2000). Secara matematis dapat ditulis:
PE C (Y T ) I (r * ) G NX (e) dimana Konsumsi Rumahtangga (C) merupakan bagian dari Pendapatan (Y) setelah dikurangi Pajak (T), Investasi (I) merupakan fungsi dari tingkat Suku Bunga Dunia (r*) serta Ekspor dan Impor Barang maupun Jasa (NX) merupakan fungsi dari nilai tukar mata uang yang dicerminkan oleh Daya Saing (e). Pariwisata internasional dalam model ini menjadi bagian dari net ekspor sehingga persamaan Planned Expenditure dapat ditulis: PE C (Y T ) I (r * ) G [ NX NP (e) NX P (e)]
dimanaNXNP adalah net ekspor barang dan jasa selain pariwisata dan NPP adalah net ekspor pariwisata atau neraca pariwisata (tourism balance). Naik turunnya neraca perjalanan tidak hanya dipengaruhi oleh daya saing, namun masih ada faktor lain yang mungkin lebih dominan jika dibandingkan dengan naik turunnya nilai mata uang suatu negara karena kegiatan
38
pariwisata menyangkut lalu lintas manusia antar negara. Faktor tersebut antara lain adanya kebijakan travel warning yaitu kebijakan pemerintah asal negara wisman yang menghimbau rakyat negara tersebut untuk berhati-hati apabila ingin mengunjungi negara lain. Alasan suatu negara menerapkan travel warning terhadap negara yang akan dikunjungi pada umumnya karena faktor keamaan.
S-I
e
Travel warning
e1 e2
NX1 NX2
NX
O
NX2 LM*2
e
NX1 LM*1
A
e1
IS*1
e2 B IS*1
Y
O
Y2
Y1
Sumber: Mankiw, 2000 (dimodifikasi) Gambar 5. Dampak Travel Warning Kebijakan
negara
lain
memberikan
travel
warning
terhadap
penduduknya untuk pergi ke Indonesia setelah terjadinya bom Bali akan
39
mengurangi jumlah kunjungan wisman sehingga tourism balance akan menurun dan net ekspor akan menurun dari NX1 ke NX2,cateris paribus. Penurunan ini akan menggeser kurva IS-LM ke kiri, yaitu dari IS1 ke IS2 dan LM1 ke LM2 sehingga keseimbangan kurva IS-LM bergerak dari titik A ke titik B seperti terlihat dalam Gambar 5. Akibatnya output nasional juga menurun dari Y 1 ke Y2. Dengan menurunnya net ekspor, supply mata uang US$ menurun yang akan melemahkan nilai mata uang Rupiah terhadap US$ dan giliran berikutnya daya saing akan kembali meningkat dari e2 ke e1 sehingga kunjungan wisman ke Indonesia bisa meningkat kembali di mana peningkatan ini berasal dari negara yang tidak menerapkan kebijakan travel warning. Net ekspor akan kembali meningkat ke arah posisi semula yaitu dari NX2 ke NX1. Peningkatan net ekspor ini apakah akan kembali kepada posisi semula seperti sebelum adanya travel warning, atau lebih rendah, atau bahkan lebih tinggi tergantung dari faktor lain yang mempengaruhinya, seperti adanya peningkatan pendapatan dari negara asal wisatawan. 2.3.2. Dampak Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam perekonomian terbuka terjadi arus barang dan jasa dari dan ke luar negeri, sehingga persamaan planned expenditure menjadi PE = C (Y – T) + I (r*) + G + [NXP (e) + NXNP (e)], dimana investasi merupakan fungsi dari tingkat suku bunga dunia (rW),wisatawan mancanegara dan penduduk Indonesia yang pergi ke luar negeri serta ekspor dan impor barang maupun jasa merupakan fungsi dari nilai tukar mata uang yang dicerminkan oleh daya saing (e). Keseimbangan awal terjadi pada titik A dengan output Y1 dan daya saing e1, seperti terlihat dalam Gambar 6.
40
AE,PE
AE=PE
+G 2 I (r*) -T ) + 1
(e ) + NX 2
C (Y 1 PE 2 = 1
) NX (e 2 +G 2 + ) * r ( 4 I -T ) + 1 C (Y 1 (e ) PE 3 = 1 + NX 1 *) +G 1 r ( I + -T ) 1 C (Y 1 PE 1 = 1
Y Y1 r
MS1
MS2
Y3
Y2
r Close Economy
LM1 LM2
r3 r4 r1
r3 r4
B A
L2 (r4, Y3)
r2
L1 (r1, Y1)
r1
B
IS2
C A
IS3
r2 IS1
M/P M/P1
Y
M/P2
Y1
Y3
Y2
LM*1 LM*2 LM* 3
e Open Economy
e2 e1 e3
C B D
IS*2
A
IS*1 Y Y1
Y2
Y3
Sumber: Mankiw, 2000 (dimodifikasi) Gambar 6. Dampak Kebijakan Fiskal dan Moneter terhadap Output Dampak kebijakan fiscal oleh pemerintah pada awalnya akan meningkatkan output dari Y1 ke Y2 dan menggeser kurva LM dari LM*1 ke LM*2. Namun dampak kebijakan fiscal ini juga akan meningkatkan tingkat suku bunga domestik (rD) sehingga tingkat suku bunga dalam negeri lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat suku bunga dunia, atau rD> rW. Tingginya suku
41
bunga domestik akan mengakibatkan investasi masuk dari luar negeri ke dalam negeri (capital inflow) yang akan meningkatkan supply mata uang dolar di dalam negeri. Dalam kasus negara Indonesia peningkatan supply mata uang US$ di dalam negeri akan mengakibatkan mata uang rupiah menjadi menguat, sehingga daya saing pariwisata dan produk ekspor kita menjadi menurun dari e 1 ke e25). Penurunan ini akan menggeser kurva LM ke kiri dari LM*2 kembali ke LM*1, sehingga tidak akan merubah output (tetap pada Y1) yang akhirnya akan menggeser kurva IS ke kanan dari IS*1 ke IS*2 dan equlibrium terjadi pada titik C. Ekspansi moneter oleh Bank Sentral akan menurunkan tingkat suku bunga yang selanjutnya akan meningkatkan investasi. Penurunan suku bunga domestik menyebabkan tingkat suku bunga domestik (r D) lebih kecil dibandingkan dengan tingkat suku bunga dunia (rW), sehingga terjadi capital outflow, mata uang US$ mengalir ke luar negeri. Dalam kasus Indonesia, dengan bertambahnya supply mata uang Rupiah karena adanya kebijakan dari Bank Indonesia dan berkurangnya mata uang US$ akan melemahkan nilai mata uang Rupiah terhadap US$ yang selanjutnya akan meningkatkan daya saing pariwisata dan produk ekspor Indonesia. Pariwisata dan ekspor serta output meningkat akan menggeser kurva LM ke kanan dari LM*1 ke LM*3 serta equilibrium terjadi pada titik D dengan daya saing pada level e 3. Peningkatan output pada negara open economy (Y3) ini akan lebih besar jika dibadingkan dengan negara closed economy (Y2), karena melemahnya nilai mata uang Rupiah tidak hanya dipicu oleh meningkatnya supply mata uang rupiah tetapi juga burkurangnya supply mata uang US$ karena adanya capital outflow. 5
) Daya saing saing menurun namun dalam grafik ini dicerminkan meningkat dari e 1 ke e2 karena e adalah US$ per Rupiah, bukan sebaliknya.
42
2.3.3. Dampak Biaya Fiskal Semakin meningkatnya perdagangan internasional antarnegara, semakin hati-hati suatu negara menerapkan kebijakannya untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Salah satu kebijakan dalam perdagangan internasional adalah kebijakan penerapan tarif terhadap barang impor. Tujuan dari pada penerapan tarif ini adalah melindungi produsen dalam negeri serta meningkatkan pendapatan pemerintah. Tujuan yang sama juga diterapkan terhadap penduduk Indonesia yang ingin melakukan perjalanan ke luar negeri yaitu melalui kebijakan biaya fiskal.
Harga
D0
S0
E0 P0 a
b
P2
E1=Proteksi fiskal
c P1
O
f
Q1
e
Q3
E2= Free trade
d
Q0
Q4
S1
Q2
Quantity
Sumber: Hady, 1998 Gambar 7. Dampak Biaya Fiskal Dalam analisis parsial untuk negara kecil 6 , seperti Indonesia, dampak biaya fiskal bagi penduduk Indonesia yang akan melakukan perjalanan ke luar negeri (outbound) dapat dijelaskan dalam Gambar 7.
6
Dalam definisi ini Indonesia termasuk sebagai negara kecil karena jumlah kunjungan wismannya masih lebih kecil dibanding dengan beberapa negara anggota ASEAN. Demikian juga penduduk Indonesia yang pergi ke luar negeri juga masih lebih rendah dibanding beberapa negara anggota ASEAN.
43
Pada saat lalu lintas manusia antar negara tidak ada (autarki) maka pariwisata yang terjadi hanyalah wisatawan domestik. Penduduk suatu negara tidak ada yang melakukan perjalanan ke luar negeri dan tidak ada penduduk luar negeri yang melakukan perjalanan ke negara tersebut. Tingkat harga jasa pariwisata yang dicerminkan oleh rata-rata pengeluaran mereka selama melakukan perjalanan di dalam negeri sebagai wisatawan domestik adalah sebesar P0 dengan jumlah wisatawan domestik sebanyak OQ0. Setelah batas wilayah negara dibuka di mana penduduk Indonesia bisa melakukan perjalanan dengan bebas ke luar negeri dan penduduk luar negeri bisa berkunjung ke Indonesia maka yang terjadi adalah harga pariwisata turun dari P 0 ke P1 dan konsumsi jasa pariwisata oleh penduduk Indonesia meningkat menjadi OQ2 dimana OQ1 adalah konsumsi oleh wisatawan domestik dan sisanya Q1Q2 adalah konsumsi outbound (impor). Karena konsumsi pariwisata dalam negeri menjadi turun dengan adanya penduduk Indonesia yang pergi ke luar negeri maka bisa berakibat pariwisata dalam negeri menjadi terpuruk dan pengangguran bisa meningkat, sehingga pemerintah memberikan proteksi produk pariwisata dengan membebani biaya fiskal bagi penduduk Indonesia yang ingin melakukan perjalanan ke luar negeri, selain biaya fiskal ini akan menjadi bagian dari penerimaan pemerintah. Akibatnya harga jasa pariwisata di luar negeri meningkat dari P 1 ke P2, konsumsi turun dari OQ2 ke OQ4, dan konsumsi wisatawan domestik meningkat dari OQ1 ke OQ3, sementara konsumsi outbound di luar negeri sebesar Q3Q4. Dari Gambar 7 dapat dijelaskan bahwa: 1. Penerimaan pemerintah melalui biaya fiskal adalah segi empat abde
44
2. Redistribusi income atau subsidi dari konsumen kepada produsen sebesar trapezium P1P2af 3. Biaya proteksi sebesar segitiga aef ditambah segitiga bcd 4. Konsumsi penduduk Indonesia yang pergi ke luar negeri turun dari Q1Q2 menjadi Q3Q4. 2.3.4. Dampak Nilai Tukar Rupiah Ketika terjadi dipresiasi mata uang rupiah terhadap dolar Amerika maka harga barang dan jasa di Indonesia menjadi murah bagi penduduk luar Indonesia. Sebaliknya harga barang luar negeri menjadi mahal bagi penduduk Indonesia. Dengan kondisi ini barang ekspor menjadi lebih murah sementara barang impor menjadi lebih mahal sehingga surplus neraca perdagangan akan meningkat. Ketika Indonesia masih mengikuti kebijakan fixed exchange rate maka dipresiasi mata uang rupiah merupakan salah satu instrumen alternatif kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk meningkatkan daya saing produk ekspor guna menutupi defisit neraca berjalan. Saat ini kebijakan nilai tukar mata uang rupiah mengikuti rejim floating exchange rate di mana besar kecilnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika tergantung dari penawaran dan permintaan mata uang US$. Dengan semakin kondusifnya dunia usaha di Indonesia semakin banyak investor asing berminat untuk menanamkan modalnya di Indonesia sehingga mata uang US$ yang mengalir ke Indonesia semakian banyak melalui capital inflow. Oleh karena itu nilai mata uang rupiah semakin menguat terhadap mata uang US$. Di satu sisi penguatan mata uang rupiah ini akan meningkatkan daya beli penduduk Indonesia terhadap produk impor. Demikian juga dengan industri yang masih banyak
45
memerlukan bahan baku impor diuntungkan dengan apresiasi nilai mata uang rupiah ini. Di sisi lain produk barang ekspor menjadi kurang kompetitif. Hal yang sama juga terjadi pada barang dan jasa pariwisata. Ketika nilai rupiah menguat akan mendorong penduduk Indonesia untuk melakukan perjalanan ke luar negeri karena daya beli penduduk Indonesia terhadap produk luar negeri menjadi meningkat akibat penguatan nilai mata uang rupiah terhadap US$. Selain itu kebijakan bebas fiskal bagi penduduk Indonesia yang akan melakukan perjalanan ke luar negeri juga ikut memicu peningkatan ini. Uang yang mereka belanjakan juga akan semakin meningkat sehingga devisa yang mengalir ke luar negeri juga akan meningkat. Sementara harga barang dan jasa pariwisata di Indonesia menjadi lebih mahal di mata wisatawan mancanegara yang bisa mengakibatkan penurunan jumlah kunjungan wisman maupun pengeluarannya selama di Indonesia sehingga devisa yang dibawa wisman ke Indonesia akan mengalami penurunan. Dengan kejadian ini jumlah wisman yang cenderung menurun dan jumlah penduduk Indonesia yang pergi ke luar negeri yang cenderung meningkat akan mengurangi surplus neraca pariwisata. Jika hal ini terus dibiarkan maka neraca pariwisata yang selama ini mengalami surplus suatu saat akan terjadi defisit. Secara grafik dampak penguatan nilai rupiah terhadap US$ sebagai akibat dari skenario kebijakan dapat dijelaskan sebagai berikut: Pada panel A menunjukkan dampak kebijakan ekspansi fiskal yang terjadi di Indonesia misalnya dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah atau menurunkan tingkat pajak sehingga akan mengurangi tabungan nasional yang ditunjukkan dengan pergeseran kurva S-I ke kiri dari S1-I ke S2-I. Selisih antara
46
tabungan nasional dengan investasi (S-I) akan sama dengan net ekspor (NX=XM). Ketika tabungan nasional menurun maka investasi dari luar negeri diperlukan sehingga supply mata uang US$ akan meningkat yang pada giliran berikutnya akan menguatkan nilai tukar mata uang rupiah terhadap US$. Akibatnya harga pariwisata Indonesia menjadi kurang kompetitif sementara harga pariwisata di luar negeri menjadi lebih murah bagi penduduk Indonesia.Perbedaan harga pariwisata Indonesia dan luar negeri ini mendorong peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang pergi ke luar negeri dan mengurangi minat wisman untuk berkunjung ke Indonesia sehingga neraca pariwisata Indonesia menurun dari NXp1 ke NXp2.
Nilai tukar US$/Rp
S2-I
Nilai tukar US$/Rp
S1-I
S-I(r*2)
A
B
Ɛ2
S-I(r*1)
B Ɛ1
A
A
Ɛ1
B Ɛ2
NXp (Ɛ)
NXp(Ɛ)
0 Nilai tukar US$/Rp
Ɛ2
NXp2
NXp1
S-I2
S-I1
Net ekspor, NXp
0 Nilai tukar US$/Rp
NXp2
Net ekspor, NXp
S-I
C
B
D Ɛ2
A
Ɛ1
NXp1
Ɛ1
B NXp(Ɛ)2
A
NXp(Ɛ)1
NXp(Ɛ) 0
NXp2
NXp1
Net ekspor, NXp
NXp1=NXp2
Net ekspor, NXp
Sumber: Mankiw (2000) dimodifikasi Gambar 8. Dampak Kebijakan terhadap Nilai Tukar Rupiah dan Neraca Pariwisata
47
Pada panel B menunjukkan dampak kebijakan ekspansi fiskal yang terjadi di luar negeri sehingga tabungan di tingkat dunia berkurang yang akan mengakibatkan suku bunga dunia meningkat dari r*1 ke r*2. Suku bunga luar negeri yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan suku bunga domestik akan terjadi capital outflow sehingga supply mata uang US$ berkurang dan nilai rupiah melemah. Pelemahan mata uang rupiah ini akan menyebabkan harga pariwisata Indonesia menjadi lebih murah dan harga pariwisata luar negeri menjadi lebih mahal. Selanjutnya devisa yang masuk ke Indonesia melalui wisman akan meningkat sementara devisa Indonesia yang mengalir ke luar negeri akan menurun. Akibat dari kebijakan ini akan meningkatkan neraca pariwisata Indonesia, NXp bergeser ke kanan dari NXp1 ke NXp2. Pada panel C menunjukkan peningkatan permintaan investasi di dalam negeri yang melebihi tabungan nasional sehingga akan terjadi capital inflow. Masuknya mata uang US$ ke Indonesia akan menguatkan nilai rupiah terhadap US$. Penguatan mata uang rupiah ini akan mengurangi daya saing pariwisata Indonesia. Harga pariwisata Indonesia di mata wisman akan menjadi lebih mahal, sementara harga pariwisata di luar negeri menjadi relatif lebih murah dilihat dari sisi penduduk Indonesia sehingga neraca pariwisata menurun dari NXp 1 ke NXp2. Hal ini bisa terjadi ketika suku bunga dalam negeri lebih tinggi jika dibandingkan dengan suku bunga luar negeri. Pada panel D menunjukkan ketika terjadi larangan (travel warning) beberapa negara asal wisatawan untuk mengunjungi Indonesia terkait dengan keamanan di Indonesia sehingga neraca pariwisata Indonesia menjadi berkurang yang ditunjukkan dengan pergeseran kurva NXp1 ke NXp2. Dengan berkurangnya
48
kunjungan wisman ke Indonesia maka jumlah dolar yang masuk ke Indonesia juga akan berkurang yang mengakibatkan nilai tukar rupiah melemah. Hal ini bisa menyebabkan harga pariwisata Indonesia menjadi lebih murah di mata wisman yang bisa menarik minat wisman untuk berkunjung ke Indonesia, terutama bagi negara yang tidak menerapkan travel warning terhadap Indonesia. Sehingga neraca pariwisata akan meningkat kembali dari NXp 2 ke NXp1.