II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Permukiman Penduduk 2.1.1. Persyaratan Permukiman Suatu bentuk permukiman yang ideal di kota merupakan pertanyaan yang menghendaki jawaban yang bersifat komprehensif, sebab perumahan dan permukiman menyangkut kehidupan manusia termasuk kebutuhan manusia yang terdiri dari berbagai aspek. Sebingga dapat dirumuskan secara sederhana tentang ketentuan yang baik untuk suatu permukiman yaitu harus memenuhi sebagai berikut: 1) Lokasinya sedemikian rupa sehingga tidak terganggu oleh kegiatan lain seperti pabrik, yang umumnya dapat memberikan dampak pada pencemaran udara atau pencemaran lingkungan lainnya 2) Mempunyai akses terhadap pusat-pusat pelayanan seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, perdagangan, dan lain-lain 3) Mempunyai fasilitas drainase, yang dapat mengalirkan air hujan dengan cepat dan tidak sampai menimbulkan genangan air walaupun hujan yang lebat sekalipun 4) Mempunyai fasilitas penyediaan air bersih, berupa jaringan distribusi yang siap untuk disalurkan ke masing-masing rumah.
5) Dilengkapi dengan fasilitas air kotor/tinja yang dapat dibuat dengan sistem individual yakni tangki septik dan lapangan rembesan, ataupun tanki septik komunal. 6) Permukiman harus dilayani oleh fasilitas pembuangan sampah secara teratur agar lingkungan permukiman tetap nyaman. 7) Dilengkapi dengan fasilitas umum seperti taman bermain bagi anak-anak, lapangan atau taman, tempat beribadat, pendidikan dan kesehatan sesuai dengan skala besarnya permukiman itu. 8) Dilayani oleh jaringan listrik dan telepon (Sinulingga, 2005).
2.1.2. Karakteristik Permukiman Kumuh Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, dapat merupakan kawasan perkotaan dan perdesaan, berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal/hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Menurut UU No.1 Tahun 2011, Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah wilayah budi daya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan/atau hamparan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.
Menurut Silas, dkk (1991) Permukiman Kumuh dapat diartikan menjadi dua bagian, yang pertama ialah kawasan yang proses terbentukannya karena keterbatasan kota dalam menampung perkembangan kota sehingga timbul kompetisi dalam menggunakan lahan perkotaan. Sedangkan kawasan permukiman berkepadatan tinggi rnerupakan embrio permukiman kumuh. Dan yang kedua ialah kawasan yang lokasi penyebarannya secara geografis terdesak perkembangan kota yang semula baik, lambat laun menjadi kumuh. Perkembangan kota yang kumuh disebabkan oleh mobilitas sosial perekonomian yang stagnan. Karakteristik Permukiman Kumuh: 1) Keadaan rumah pada permukiman kumuh terpaksa dibawah standar, rata-rata 6 m2/orang. Sedangkan fasilitas kekotaan secara langsung tidak terlayani karena tidak tersedia. Namun karena lokasinya dekat dengan permukiman yang ada, maka fasilitas Iingkungantersebut tak sulit mendapatkannya. 2) Permukiman ini secara fisik memberi 3) Manfaat pokok, yaitu dekat tempat mencari nafkah (opportunity value) dan harga rumah juga murah (asas keterjangkauan) baik membeli atau menyewa. Manfaat permukiman disamping pertimbangan lapangan kerja dan harga murah adalah kesempatan mendapatkannya atau aksesibilitas tinggi. Hampir setiap orang tanpa syarat yang bertele-tele pada setiap saat dan tingkat kemampuan membayar apapun, selalu dapat diterima dan berdiam di sana, termasuk masyarakat “residu” seperti residivis dan lain-lain (Silas dkk, 1991).
Kriteria Umum Permukiman Kumuh: 1) Mandiri dan produktif dalam banyak aspek, namun terletak pada tempat yang perlu dibenahi. 2) Keadaan fisik hunian minim dan perkembangannya lambat. Meskipun terbatas, namum masih dapat ditingkatkan. 3) Para penghuni lingkungan permukiman kumuh pada umumnya bermata pencaharian tidak tetap dalam usaha non formal dengan tingkat pendidikan rendah. 4) Pada umumnya penghuni mengalami kemacetan mobilitas pada tingkat yang paling bawah, meskipun tidak miskin serta tidak menunggu bantuan pemerintah, kecuali dibuka peluang untuk mendorong mobilitas tersebut. 5) Ada kemungkinan dilayani oleh berbagai fasilitas kota dalam kesatuan program pembangunan kota pada umumnya. 6) Kehadirannya perlu dilihat dan diperlukan sebagai bagian sistem kota yang satu, tetapi tidak semua begitu saja dapat dianggap permanent (Anonim, 2009). Kriteria khusus permukiman kumuh: 1) Berada di lokasi tidak legal 2) Dengan keadaan fisik yang substandar, penghasilan penghuninya amat rendah (miskin) 3) Tidak dapat dilayani berbagai fasilitas kota 4) Tidak diinginkan kehadirannya oleh umum, (kecuali yang berkepentingan)
5) Permukiman kumuh selalu menempati lahan dekat pasar kerja (non formal), ada sistem angkutan yang memadai dan dapat dimanfaatkan secara umum walau tidak selalu murah (Anonim, 2009).
2.1.3. Tipologi Permukiman Kumuh Berdasarkan kondisi dan permasalahan Iingkungan permukiman yang diamati di lapangan, kawasan permukiman kumuh dapat dibedakan dalam 7 (tujuh) tipologi. (Laporan Review Kawasan Permukiman Kumuh Sulawesi Selatan tahun 2002) (Anonim, 2009). Masing-masing tipologi memiliki karakter khas yang memberi corak kehidupan lingkungan permukiman tersebut. Beberapa tipologi permukiman kumuh tersebut adalah sebagai berikut: 1) Permukiman kumuh nelayan Merupakan permukiman kumuh yang terletak di luar arena antara garis pasang terthiggi dan terendah, dengan bangunan-bangunan yang langsung bertumpu pada tanah, baik itu bangunan rumah tinggal atau bagunan lainnya. Rata-rata lokasinya ditepi pantai. 2) Permukiman kumuh dekat pusat kegiatan sosial ekonomi. Merupakan permukiman kumuh yang terletak di sekitar pusat-pusat aktifitas sosial-ekonomi. Seperti halnya lingkungan industri, sekitar pasar tradisional,
pertokoan, lingkungan pendidikan/kampus, sekitar obyek-obyek wisata dan pusat-pusat pelayanan sosial-ekonomi lainnya. 3) Permukiman kumuh pusat kota Merupakan permukiman kumuh yang terletak di tengah kota (urban core), yang sebagai permukiman lama atau kuno atau tradisional. Permukiman yang dimaksud disini adalah permukiman yang dahulu merupakan permukiman yang diperuntukkan bagi hunian kalangan menengah ke bawah. 4) Permukiman kumuh pinggiran kota Merupakan permukiman kumuh yang berada di luar pusat kota (urban fringe), yang ada pada umumnya merupakan permukiman yang tumbuh dan berkembang di pinggiran kota sebagai konsekuensi dari perkembangan kota, perkembangan penduduk yang sangat cepat serta tingkat perpindahan penduduk dari desa ke kota yang sangat tinggi.
5) Permukiman kumuh daerah pasang surut Merupakan permukiman kumuh yang terletak didaerah antara garis pasang tertinggi dan terendah yang secara berkala selalu terendam air pasang, dengan sebagian besar tipe bangunan yang ada baik itu bagunan rumah tinggal maupun bangunan lainnya adalah tipe panggung. Jalan penghubung antara bangunan yang satu dengan bangunan lainnya adalah jalan titian. Karakter lain yang cukup
menonjol adalah perletakan dermaga atau tempat menambak perahu yang berdekatan dengan permukiman. 6) Permukiman kumuh daerah rawan bencana 7) Permukiman kumuh tepian sungai Merupakan permukiman kumuh yang terletak didaerah rawan bencana alam, khususnya tanah longsor, gempa bumi dan banjir. 8) Permukiman kumuh tepian sungai Merupakan permukiman kumuh yang berada di diluar Garis Sempadan Sungai (GSS). Permukiman kumuh tepian sungai ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) tipe. Tipe pertama apa bila sungai yang bersangkutan mempunyai tanggul, maka dengan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, lingkungan permukiman yang dimaksud terletak sekurangkurangnya 5 (lima) meter sepanjang kaki tanggul sedangkan untuk sungai tidak bertanggul, letak permukiman yang dimaksud berada diluar sempadan sungai yang lebarnya ditetapkan oleh pemerintah setempat. Demikian juga permukiman untuk sungai yang bertanggul dan tidak bertanggul, yang berada diwilayah perkotaan, letak permukiman yang dimaksud berada di luar sempadan garis sempadan sungai yang lebamya ditetapkan oleh pemerintah setempat. Kedua lingkungan permukiman yang kumuh yang berada dikota-kota yang secara histories menetapkan sungai sebagai komponen prasarana yang sangat vital dan masih berlangsung sampai saat ini. Pada umumnya letak permukiman kumuh
dikota-kota seperti ini berada di koridor tepian sungai. Karakteristik bangunan dan lingkungan ini dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) tipe, yaitu tipe rakit, panggung dan bertumpu langsung pada tanah. Unit-unit bangunan tipe panggung pada umumnya merupakan transisi antara bangunan tipe rakit yang bertumpu langsung pada tanah. Melihat karakteristik sifat dan tipologi yang diuraikan diatas dapat dikatakan bahwa tipologi penelitian yang dilaksanakan adalah kategori penelitan permukiman kumuh pusat kota dan permukiman kumuh nelayan.
2.2 Faktor yang Menyebabkan Terbentuknya Permukiman Kumuh Sungai menurut Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1999 sebagai suatu tempat atau wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan dan kirinya serta disepanjang pengalirannya oleh garis sepadan. Sungai telah memegang peranan yang sangat penting dalam sejarah perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia. Pada awal pertumbuhannya telah ditandai dengan terbentuknya suatu konsentrasi penduduk dengan membentuk kelompok pemukiman tertentu di lembah sungai yang subur. Peranan sungai di dalam kehidupan sehari-hari, dengan adanya air, manusia memanfaatkan untuk minum, mandi dan mencuci. Kemudian peran sungai berkembang menjadi sarana transportasi, yang mendorong pertumbuhan pennukiman seiring dengan laju pertumbuhan penduduk
dan aktifitas sosial ekonominya makin lama peranannya makin berkembang dan tidak terpisahkan lagi dari keseluruhan sistem pelayan. Pesatnya pertambahan jumlah penduduk di perkotaan akibat dari jumlah kelahiran dan perpindahan penduduk dari pedesaan ke kota, akan berpengaruh langsung terhadap kebutuhan sarana prasarana kota dalam hal ini menyangkut kebutuhan akan perumahan dan permukiman di perkotaan itu sendiri. Hingga dewasa ini pembangunan perumahan dan permukiman di perkotaan, baik yang ditangani pemerintah, swasta maupun swadaya masyarakat belum dapat mengimbangi kebutuhan yang terus meningkat di kota. Bahkan terdapat kecenderungan bahwa pembangunan perumahan dan permukiman di kota semakin tertinggal dari cepatnya pertumbuhan penduduknya (Yudohusodo, 1991). Perkembangan kota dipengaruhi kondisi topografis seperti perbukitan, lautan, sungai dan rintangan alam lainnya yang dapat menghentikan laju perkembangan kota. Daerah yang mempunyai potensi sumber daya alam yang berlimpah dan ditangani dengan baik merupakan daerah yang mempunyai daya tarik kuat untuk berkembang. Secara historis sungai telah memiliki peranan yang cukup penting dalam perkembangan sistem hubungan aktifitas dan struktur internal suatu kota. Untuk kotakota di kawasan tepi sungai mempunyai ciri fisik antara lain:
1) Kondisi Fisik Lingkungan.
Secara topografi, kawasan tersebut merupakan pertemuan antara darat dan air, dataran rendah dan landai sehingga sering terjadi erosi dan sedimentasi yang menimbulkan pendangkalan sungai.
Secara hidrologis, kawasan tersebut merapakan daerah pasang surut, mempunyai air tanah tinggi. Kawasannya sebagian besar mempunyai struktur batuan lepas, tanah lembut serta rawan terhadap bencana alam.
Secara klimatologis, kawasan ini mempunyai dinamika iklim, cuaca, angin, suhu dan kelembaban tinggi.
2) Kondisi Flora dan fauna
Kondisi flora dan fauna sangat spesifik seperti mangrove, kelapa, ikan, bangau dll.
3) Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya
Kawasan ini mempunyai keunggulan lokasi sehingga menjadi pusat pertumbuhan kegiatan ekonomi.
Penduduk kawasan mempunyai kegiatan sosial ekonomi yang khas dan berorientasi ke air.
Terdapat peninggalan sejarah/budaya serta upacara keagamaan tertentu.
4) Kondisi Prasarana dan sarana
Drainase kawasan memerlukan pemecahan khusus karena daerah banjir atau genangan air.
Air limbah dan persampahan buruk.
Air Limbah belum tercukupi karena kondisi air tanah yang buruk (payau/asin)
Memiliki aksessibilitas tinggi, sebab dapat dicapai dari darat maupun air (sungai, pelabuhan menjadi titik pertumbuhan).
Permukiman dan perumahan biasanya berkembang sekitar badan sungai, dengan fasilitas spesifik di dalamnya seperti dermaga, pasar terapung atau tempat pelelangan ikan.
2.3 Permasalahan yang Timbul Akibat Permukiman Kumuh Perumahan kumuh dapat mengakibatkan berbagai dampak. Dari segi pemerintahan, pemerintah dianggap dan dipandang tidak cakap dan tidak peduli dalam menangani pelayanan terhadap masyarakat, Sementara pada dampak sosial, dimana sebagian masyarakat kumuh adalah masyarakat berpenghasilan rendah dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah dianggap sebagai sumber ketidakteraturan dan ketidakpatuhan terhadap norma-norma sosial. Terbentuknya pemukiman kumuh, yang sering disebut sebagai slum area. Daerah ini sering dipandang potensial menimbulkan banyak masalah perkotaan, karena dapat merupakan sumber timbulnya berbagai perilaku menyimpang, seperti kejahatan, dan sumber penyakit sosial lainnya. Penduduk di permukiman kumuh tersebut memiliki persamaan, terutama dari segi latar belakang sosial ekonomi-pendidikan yang rendah, keahlian terbatas dan kemampuan adaptasi lingkungan (kota) yang kurang memadai. Kondisi kualitas
kehidupan yang serba mariginal ini temyata mengakibatkan semakin banyaknya penyimpangan perilaku penduduk penghuninya. Hal ini dapat diketahui dari tatacara kehidupan sehari-hari, seperti mengemis, berjudi, mencopet dan melakukan berbagai jenis penipuan. Terjadinya perilaku menyimpang ini karena sulitnya mencari atau menciptakan pekerjaan sendiri dengan keahlian dan kemarnpuan yang terbatas, selain itu juga karena menerima kenyataan bahwa impian yang mereka harapkan mengenai kehidupan dikota tidak sesuai dan ternyata tidak dapat memperbaiki kehidupan mereka. Mereka
pada
umumnya
tidak
cukup
memiliki
kemampuan
untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak, disebabkan kurangnya keterampilan, tanpa modal usaha, tempat tinggal tak menentu, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, rendahnya daya adaptasi sosial ekonomi dan pola kehidupan kota. Kondisi yang serba terlanjur, kekurangan dan semakin memprihatmkan itu mendorong para pendatang tersebut untuk hidup seadanya, termasuk tempat tinggal yang tidak memenuni syarat kesehatan. Permukiman kumuh umumnya di pusat-pusat perdagangan, seperti pasar kota, perkampungan pinggir kota, dan disekitar bantaran sungai kota. Kepadatan penduduk di daerah-daerah ini cenderung semakin meningkat dengan berbagai latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan asal daerah. Perhatian utama pada penghuni permukiman ini adalah keija keras mencari nafkah atau hanya sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari agar tetap bertahan hidup, dan bahkan tidak sedikit warga setempat yang
menjadi pengangguran. Sehingga tanggungjawab terhadap disiplin lingkungan, norma sosial dan hukum, kesehatan, solidaritas sosial, tolong menolong, menjadi terabaikan dan kurang diperhatikan. Oleh karena para pemukim pada umumnya terdiri dari golongan-golongan yang tidak berhasil mencapai kehidupan yang layak, maka tidak sedikit menjadi pengangguran, gelandangan, pengemis, yang sangat rentan terhadap terjadinya perilaku menyimpang dan berbagai tindak kejahatan, baik antar penghuni itu sendiri maupun terhadap masyarakat lingkungan sekitanya. Kondisi kehidupan yang sedang mengalami benturan antara perkembangan teknologi dengan keterbatasan potensi sumber daya yang tersedia, juga turut membuka celah timbulnya perilaku menyimpang dan tindak kejahatan dari para penghuni pemukiman kumuh tersebut. Kecenderungan terjadinya perilaku menyimpang (deviant behaviour) ini juga diperkuat oleh pola kehidupan kota yang lebih mementingkan diri sendiri atau kelompoknya yang seringkali bertentangan dengan nilai-nilai moral dan normanorma sosial dalam masyarakat. Perilaku menyimpang pada umumnya sering dijumpai pada permukiman kumuh adalah perilaku yang bertentangan dengan normanorma sosial, tradisi dan kelaziman yang berlaku sebagaimana kehendak sebagian besar anggota masyarakat. Wujud perilaku menyimpang di permukiman kumuh ini berupa perbuatan tidak disiplin lingkungan seperti membuang sampah dan kotoran di sembarang tempat. Kecuali itu, juga termasuk perbuatan menghindari pajak, tidak memiliki KTP
dan menghindar dari kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti gotong-royong dan kegiatan sosial lainnya. Bagi kalangan remaja dan pengangguran, biasanya penyimpangan perilakunya berupa mabuk-mabukan, minum obat terlarang, pelacuran, adu ayam, bercumbu di depan umum, begadang dan berjoget di pinggir jalan dengan musik keras sampai pagi, mencorat-coret dinding/bangunan fasilitas umum, dan lain-lain. Akibat lebih lanjut perilaku menyunpang tersebut bisa mengarah kepada tindakan kejahatan (kriminal) seperti pencurian, pemerkosaan, penodongan, pembunuhan, pengrusakan fasilitas umum, perkelahian, melakukan pungutan liar, mencopet dan perbuatan kekerasan lainnya. Keadaan seperti itu cenderung menimbulkan masalah-masalah baru yang menyangkut: (a) masalah persediaan ruang yang semakin terbatas terutama masalah permukiman untuk golongan ekonomi lemah dan masalah penyediaan lapangan pekerjaan di daerah perkotaan sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya perilaku menyimpang, (b) masalah adanya kekaburan norma pada masyarakat migran di perkotaan dan adaptasi penduduk desa di kota, (c) masalah perilaku menyimpang sebagai akibat dari adanya kekaburan atau ketiadaan norma pada masyarakat migran di perkotaan. Di samping itu juga pesatnya pertumbuhan penduduk kota dan lapangan pekerjaan di wilayah perkotaan mengakibatkan semakin banyaknya pertumbuhan peffiukiman-permukiman kumuh yang menyertainya dan menghiasi areal perkotaan tanpa penataan yang berarti.
Masalah yang terjadi akibat adanya perrnukiman kumuh ini, khususnya dikota-kota besar diantaranya wajah perkotaan menjadi memburuk dan kotor, planologi penertiban bangunan sukar dijalankan, banjir, penyakit menular dan kebakaran sering melanda perrnukiman ini. Di sisi lain bahwa kehidupan penghuninya terus merosot baik kesehatannya, maupun sosial kehidupan mereka yang terus terhimpit jauh dibawah garis kemiskinan (Susanto, 1974). Secara umum permasalahan yang sering terjadi di daerah permukiman kumuh adalah: 1) Ukuran bangunan yang sangat sempit, tidak memenuhi standar untuk bangunan layak huni. 2) Rumah yang berhimpitan satu sama lain membuat wilayah permukiman rawan akan bahaya kebakaran. 3) Sarana jalan yang sempit dan tidak memadai. 4) Tidak tersedianya jaringan drainase. 5) Kurangnya suplai air bersih. 6) Jaringan listrik yang semrawut. 7) Fasilitas MCK yang tidak memadai.
2.4 Pengaruh Permukiman Kumuh Terhadap Lingkungan Lingkungan permukiman kumuh memberi dampak yang bersifat multi dimensi diantaranya dalam dimensi penyelenggaraan pemerintahan, tatanan sosial
budaya, lingkungan fisik serta dimensi politis. Di bidang penyelenggaraan pemerintahan, keberadaan lingkungan permukiman kumuh memberikan dampak citra ketidakberdayaan, ketidakmampuan dan bahkan ketidakpedulian pemerintah terhadap pengaturan pelayanan kebutuhan-kebutuhan hidup dan penghidupan warga kota maupun pendatang dan pelayanan untuk mendukung kegiatan sosial budaya, ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Dampak terhadap tatanan sosial budaya kemasyarakatan adalah bahwa komunitas yang bermukim di lingkungan permukiman kumuh yang secara ekonomi pada umumnya termasuk golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah, seringkali dianggap sebagai penyebab terjadinya degradasi kedisiplinan dan ketidaktertiban dalam berbagai tatanan sosial kemasyarakatan (Sri, 1988). Di bidang lingkungan/hunian komunitas penghuni lingkungan permukiman kumuh sebagian besar pekerjaan mereka adalah tergolong sebagai pekerjaan sektor informal yang tidak memerlukan keahlian tertentu, misalnya sebagai buruh kasar/kuli bangunan, sehingga pada umumnya tingkat penghasilan mereka sangat terbatas dan tidak mampu menyisihkan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan perumahan dan permukiman sehingga mendorong terjadinya degradasi kualitas lingkungan yang pada gilirannya memunculkan terjadinya permukiman kumuh. Dampak negatif permukiman kumuh daerah terpinggirkan adalah: menjadi penyakit dari keindahan kota dan pemborosan sumber daya kota; sumber berbagai jenis penyakit epidemi; sumber penyakit psikis atau kejiwaan, seperti tidak suka
tinggal di rumah dan kerawanan sosial. Solusi penataannya membutuhkan peran semua pihak secara timbal balik, khususnya misi dinas terkait, LSM yang paham kompleksitas permasalahan permukiman kumuh, baik dari segi teknis-teknologis ataupun sosial-budaya, dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat permukiman kumuh itu sendiri. Faktor-faktor kendala pelaksanaan program: kendala dari pihak penentu kebijaksanaan, dipecahkan dengan perbaikan mental dan pemahaman terhadap kebutuhan dari masyarakat miskin kota. Kendala dari masyarakat sasaran program dan alternatif yang harus dipecahkan, berupa: kepemilikan lahan, semangat menetap, kemiskinan, kepribadian dan sikap fatalistik kelompok sosial ini (Sulistyawati, 2007). Keberadaan komunitas yang bermukim di lingkungan permukiman kumuh ini akan cenderung menjadi lahan subur bagi kepentingan politis tertentu yang dapat dijadikan sebagai alat negosiasi berbagai kepentingan. Fenomena ini apabila tidak diantisipasi secara lebih dini akan meningkatkan eskalasi permasalahan dan kinerja pelayanan kota. Upaya penanganan permukiman kumuh telah diatur dalam UndangUndang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman, yang menyatakan bahwa “untuk mendukung terwujudnya lingkungan permukiman yang memenuhi persyarakatan keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keandalan bangunan, suatu lingkungan permukiman yang tidak sesuai tata ruang, kepadatan bangunan sanggat tinggi, kualitas bangunan sangat rendah, prasaranan lingkungan tidak memenuhi syarat dan rawan, yang dapat membahayakan kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni, dapat ditetapkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta yang
bersangkutan sebagai lingkungan permukiman kumuh yang tidak layak huni dan perlu diremajakan”. Penanganan peremajaan lingkungan permukiman kumuh yang diatur dalam Inpres No. 5 Tahun 1990, tentang pedoman pelaksanaan peremajaan permukiman kumuh di atas tanah negara dinyatakan bahwa “Pertimbangan peremajaan permukirnan kumuh adalah dalam rangka mempercepat peningkatan mutu kehidupan masyarakat terutarna bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah yang bertempat tinggal di kawasan permukiman kumuh yang berada di atas tanah Negara”. Hal ini disebabkan eksistensi permukiman kumuh tidak dapat dilepaskan dari ekosistim kota, dan justro merupakan potensi ketenagakerjaan yang menunjang tata perekonomian kota (Sri, 1988). Peremajaan permukiman kumuh dalam Inpres No. 5 Tahun 1990 tersebut adalah meliputi pembongkaran sebagian atau seluruh permukiman kumuh yang sebagian besar atau selurahnya berada di atas tanah negara dan kemudian di tempat yang sama dibangun prasarana dan fasilitas rumah susun serta bangunan-bangunan lain sesuai dengan rencana tata ruang kota yang bersangkutan (Koestoer, 1997). Untuk mempereepat pelaksanaan peremajaan permukiman kumuh tersebut, perlu didorong keikutsertaan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan dan Perusahaan Swasta serta masyarakat luas yang pelaksanaannya perlu dilakukan secara terkoordinasi dengan instansi-instansi terkait.
Selanjutnya kebijakan penanganan permukiman kumuh sesuai Surat Edaran Menpera No. 04/SE/M/I/93 Tahun 1993, dinyatakan bahwa perumahan dan permukiman kumuh adalah lingkungan hunian dan usaha yang tidak layak huni yang keadaannya tidak memenuhi persyaratan teknis, sosial, kesehatan, keselamatan dan kenyamanan serta tidak memenuhi persyaratan ekologis dan legal administratif yang penanganannya dilaksanakan melalui pola perbaikan/pemugaran, peremajaan maupun relokasi sesuai dengan tingkat/ kondisi permasalahan yang ada.
2. 5. Pengelolaan Permukiman Kumuh Kemiskinan merupakan salah satu penyebab timbulnya pemukiman kumuh di kawasan perkotaan. Pada dasarnya kemiskinan dapat ditanggulangi dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan, peningkatan lapangan pekerjaan dan pendapatan kelompok miskin serta peningkatan pelayanan dasar bagi kelompok miskin dan pengembangan institusi penanggulangan kemiskinan. Peningkatan pelayanan dasar ini dapat diwujudkan dengan peningkatan air bersih, sanitasi, penyediaan serta usaha perbaikan perumahan dan lingkungan pemukiman pada umumnya. Adapun cara untuk mengatasi permukiman kumuh adalah : 1.
Program perbaikan kampung, yang ditujukan untuk memperbaiki kondisi kesehatan lingkungan dan sarana lingkungan yang ada.
2.
Program uji coba peremajaan lingkungan kumuh, yang dilakukan dengan membongkar lingkungan kumuh dan perumahan kumuh yang ada serta menggantinya dengan rurnah susun yang memenuhi syarat.
2.5.1. Penataan Wilayah Permukiman Kumuh Kegiatan penataan lingkungan kumuh ini menerapkan konsep dasar Tridaya yang
meliputi
aspek
penyiapan
masyarakat
melalui
pemberdayaan
sosial
kemasyarakatan, pendayagunaan prasarana dan sarana lingkungan permukiman serta pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi lokal/masyarakat. Dalam penerapannya, kegiatan ini menggunakan pemberdayaan masyarakat sebagai inti gerakannya, dengan menempatkan komunitas permukiman sebagai pelaku utama pada setiap tahapan, langkah, dan proses kegiatan, yang berarti komunitas pemukim adalah pemilik kegiatan. Pelaku pembangunan di luar komunitas pemukim merupakan mitra kerja sekaligus sebagai pelaku pendukung yang berpartisipasi pada kegiatan komunitas pemukim. Dengan demikian, strategi program ini menitikberatkan pada transformasi kapasitas manajemen dan teknis kepada komunitas melalui pembelajaran langsung (learning by doing) melalui proses fasilitasi berfungsinya manajemen komunitas. Penerapan strategi ini memungkinkan komunitas pemukim untuk mampu membuat rencana yang rasional, membuat keputusan, melaksanakan rencana dan keputusan
yang diambil, mengelola dan mempertanggungjawabkan hasil-hasil kegiatannya, serta mampu mengembangkan produk yang telah dihasilkan. Melalui penerapan strategi ini diharapkan terjadi peningkatan secara bertahap kapasitas sumberdaya manusia dan pranata sosial komunitas pemukim, kualitas lingkungan permukiman, dan kapasitas ekonomi/usaha komunitas. Seluruh rangkaian kegiatan dalam pernberdayaan masyarakat dalam program penataan lingkungan kumuh ini memiliki pola dasar yang secara umum dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok besar kegiatan fasilitasi, yaitu pengorganisasian dan peningkatan kapasitas masyarakat, pelaksanaan pembangunan serta pengembangan kelembagaan komunitas Dalam rangka menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan, masyarakat yang terorganisasi memiliki peluang yang lebih besar dibandmgkan secara individual. Selain itu kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi kebutuhan dan potensinya, serta membuat rencana yang rasional juga menjadi persyaratan keberhasilan kegiatan. Oleh karenanya, fasilitasi kepada komunitas dalam pengorganisasian dan peningkatan kapasitas masyarakat ini merupakan bagian dari konsep dasar khususnya dalam aspek penyiapan masyarakat dan aspek pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi dalam satu kesatuan. Dalam mengaktualkan rencananya, komunitas perlu melakukan pengorganisasian peluang dan sumberdaya kunci yang ada. Dalam kaitannya dengan fasilitasi ini, pemerintah memberikan stimulan dana kepada komunitas untuk
merealisasikan rencananya terutama dalam penataan lingkungan permukiman kumuh, tanpa menutup kemungkinan adanya bantuan tidak mengikat dari pihak lain. Selanjutnya fasilitasi terhadap komunitas dilakukan untuk pengelolaan hasil pembangunan yang telah dilaksanakannya. Rangkaian fasilitasi ini merupakan bagian dari konsep dasar Tridaya, khususnya dalam aspek pendayagunaan prasarana dan sarana lingkungan dan aspek penyiapan masyarakat dalam satu kesatuan. Pengembangan lembaga komunitas merapakan fasilitasi tahap akhir. Dalam rangkaian kegiatannya, fasilitasi ini mengarah kepada pembuatan aturan main lembaga komunitas, formalisasi lembaga komunitas dalam rangka peningkatan kapasitas manajemen dan teknis kepada komunitas maupun lembaga. komunitas, pembentukan jaringan kerja dengan komunitas lain, pemanfaatan akses sumber daya kunci pembangunan dalam rangka kemitraan, dan pembukaan akses terhadap pengabil kebijakan. Rangkaian fasilitas ini merupakan bentuk utuh dari penerapan konsep dasar Tridaya. Secara ringkas penataan wilayah untuk pengananan masalah permukiman kumuh tersebut adalah: 1) Menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam penataan lingkungan permukiman kumuh. 2) Mendorong usaha produktif masyarakat melami perkuatan jarmgan kerja dengan mitra swasta dan dunia usaha.
3) Mencari pemecahan terbaik dalam penentuan kelayakan penataan lingkungan permukiman kumuh. 4) Melaksanakan penegakkan dan perlindungan hukum kepada masyarakat yang tinggal di lingkungan permukiman kumuh. 5) Melakukan pemberdayaan kepada para pelaku untuk mencegah terjadinya permasalahan sosial. 6) Menerapkan budaya bersih dan tertib di lingkungan perumahan dan permukiman. Akhirnya, apabila upaya penataan pennukiman kumuh dapat dilaksanakan maka hasil yang dapat diharapkan adalah meningkatnya pendapatan masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan baru, meningkakan kualitas rumah tinggal bahkan dapat memudahkan perolehan jasa-jasa dari penduduk yang tersedia, meningkatkan kesehatan lingkungan, hal ini dapat berakibat meningkatnya hasrat penduduk untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan bahkan dapat meningkatkan nilai tanah yang ada.
2.5.2 Kualitas Lingkungan Permukiman yang Ideal Sumunar (2000) berhasil mengklasifikasi lingkungan permukiman di Kota Yogyakarta dalam tiga kelas, yakni pertama kelas permukiman dengan kualitas baik, kedua kelas permukiman dengan kualitas sedang, dan ketiga kelas permukiman dengan kualitas buruk. Lebih lanjut ia menyatakan kondisi sosial ekonomi penghuni berpengaruh terhadap kualitas lingkungan permukiman. Variabel-variabel kondisi
sosial ekonomi seperti tahun sukses pendidikan, penghasilan dan besarnya rumah tangga, menunjukkan adanya korelasi dengan kondisi kualitas lingkungan permukiman. Lingkungan permukiman dengan kualitas buruk terutama terdapat di daerah pusat Kota Yogyakarta, sepanjang sungai dan di sekitar jalur kereta api. Biasanya permukiman ini dihuni oleh para penglaju atau commuter yang setiap waktu tertentu pulang kampung. Hasil penelitian Sumunar (2000) sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Marwasta (2001). Marwasta (2001) menyatakan penambahan agihan permukiman kumuh di Kota Yogyakarta umumnya terjadi pada lahan permukiman di sekitar badan sungai, yakni Sungai Winongo, Sungai Code dan Sungai Gajahwong, meskipun terdapat juga agihan yang berasosiasi dengan jalur rel kereta api dalam luasan yang relatif kecil. Penelitian Marwasta (2001) juga menunjukan proses perkembangan permukiman kumuh di Kota Yogyakarta cenderung berlangsung lambat dan terus menerus. Proses perkembangan permukiman kumuh ini lebih didominasi oleh proses pemadatan bangunan rumah dan proses penuaan bangunan rumah mukim, yang keduanya merupakan penyebab terjadinya deteorisasi Iigkungan permukiman. Penelitian lain tentang kualitas lingkungan permukiman dilakukan oleh Yusuf (2005). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa satuan lingkungan permukiman kepadatan rapat tidak teratur cenderung memiliki kualitas lingkungan permukiman jelek, sedangkan satuan lingkungan permukiman kepadatan jarang teratur memiliki
kualitas lingkungan permukiman baik. Keadaan ini membuktikan bahwa faktor kepadatan dan keteraturan bangunan berpengaruh terhadap kualitas lingkungan permukiman. Permukiman
dapat
berfungsi
sebagaimana
mestinya
bila
memiliki
kelengkapan dasar fisik Iingkungan berupa prasarana lingkungan (Pasal 1 Butir 5 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992). Dalam bagian penjelasan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, sarana dasar yang utama bagi berfungsinya suatu lingkungan permukiman ialah: 1) jaringan jalan untuk mobilitas manusia dan angkutan barang, mencegah perambatan kebakaran serta untuk menciptakan ruang dan bangunan yang teratur; 2) jaringan saluran pembuangan air limbah dan tempat pembuangan sampan untuk kesehatan lingkungan; dan Ketiga jaringan saluran air hujan untuk pengalusan (drainase) dan pencegahan banjir setempat. Dalam keadaan tidak terdapat air tanah sebagai sumber air bersih, jaringan air bersih merupakan sarana dasar. Selain
prasarana
lingkungan,
permukiman
juga
memerlukan
sarana
lingkungan. Sarana lingkungan diperlukan sebagai fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya (Pasal 1 Butir 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992). Fasilitas penunjang dapat meliputi aspek ekonomi yang antara lain berapa bangunan perniagaan atau perbelajaran yang tidak mencemari lingkungan, sedangkan fasilitas penunjang yang meliputi aspek sosial budaya, antara lain berapa bangunan pelayanan urnum dan
pemerintahan, pendidikan dan kesehatan, peribadatan, rekreasi dan olah raga, pemakaman, dan pertamanan. Permukiman juga memerlukan utilitas umum sebagai sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan (Pasal 1 Butir 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992). Utilitas umum meliputi antara lain jaringan air bersih, jaringan listrik, jaringan telepon, jaringan gas, jaringan transportasi, dan pemadam kebakaran. Utilitas umum membutuhkan pengelolaan secara berkelanjutan dan profesional oleh badan usaha agar dapat memberikan pelayanan yang memadai kepada masyarakat.