II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Proses Penyelidikan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana defenisi penyelidikan sebagai serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan yang diatur dalam undang-undang ini. Dari pengertian penyelidikan menurut undang-undang diatas kita dapat dengan jelas mengerti bahwa sebenarnya penyelidikan itu adalah penentuan suatu perbuatan dapat dikatakan suatu tindak pidana atau tidak. ketika suatu perbuatan tersebut dianggap sebagai suatu tindak pidana, baru dapat dilakukan proses penyidikan. Organisasi kepolisian menyebut peyelidikan menggunakan istilah reserse yang tugasnya adalah terutama tentang penerimaan laporan dan pengaturan menyetop orang yang dicurigai untuk diperiksa (Andi Hamzah, 2005: 119). Syarat formal untuk menjadi penyelidik diatur dalam Pasal 1 Ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu: “Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyidikan”
15
B. Teknik dan Taktik Interogasi
Teknik dan taktik interogasi memiliki tujuan untuk memberikan seorang penyidik atau interogator memiliki suatu keyakinan bahwa pengakuan yang didapat dari saksi atau tersangka yang diperiksa dapat menyingkapkan kebenaran. Karena di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia tidak diatur bagaimana cara menghadapi saksi-saksi yang berbohong, membangkang dan sebagainya. Menerapkan teknik dan taktik interogasi seorang penyidik atau interogator harus tetap memperhatikan hak asasi manusia tersangka atau saksi yang sedang diperiksa karena pokok dari pelaksanaan interogasi adalah mencari kebenaran dalam penegakan keadilan bukan hanya mencari kesalahan semata. Banyak ditemukan penerapan teknik dan taktik interogasi yang dilakukan seorang penyidik menyalahi hak asasi manusia dari seorang tersangka atau saksi yang sedang dalam proses interogasi. Sebagai contoh teknik dan taktik interogasi yang diajarkan dan diterapkan oleh personil US Military oleh S.E.R.E ( US Military Training Program Survival, Evasion, Resistance, Escape ) Amerika Serikat yang digunakan dalam menginterogasi tahanan di penjara Guantanamo di Amerika Serikat yang di kenal sebagai tragedi Guantanamo (As Nugroho, 2009: 34) yaitu sebagai berikut: a. Isolation yaitu dengan cara tersangka ditempatkan di ruang tersendiri tanpa bisa melakukan kontak apapun dengan orang lain. Dalam periode tertentu tersangka akan mengalami kegelisahan berat karena keinginan yang sangat kuat untuk berinteraksi dengan orang lain. b. Sleep Deprivation yaitu dengan cara mencegah tersangka untuk tidur selama beberapa hari. Setelah beberapa hari tersangka akhirnya
16
diperbolehkan tidur tapi segera dibangunkan lagi dan langsung diinterograsi. Selain menimbulkan halusinasi, sleep deprivation yang lebih dari 24 jam akan menimbulkan kegilaan sementara. c. Sensory Deprivation yaitu dengan cara metode dengan menempatkan tersangka disemacam tabung yang mengisolasi total semua rangsangan dari luar. Tabung tersebut diberi sebuah lubang kecil untuk tempat bernafas penghuninya. Pada percobaan yg dilakukan terhadap 17 orang subyek, hanya 6 orang yang bertahan sampai 36 jam. Yang lainnya mengalami kegelisahan berat dan kepanikan. d. Stress Position yaitu dengan cara Tersangka dipaksa berdiri selama berjam-jam tanpa diberi pegangan apapun. Variasi lainnya selain berdiri tahanan juga disuruh mengangkat lengannya. Metode ini pada penerapannya di lapangan berkembang menjadi semakin inovatif seperti mengikat tangan kebelakang lalu diikatkan lagi ke pergelangan kaki pada posisi ditarik. e. Sensory Bombardment yaitu dengan cara menyuruh tahanan berdiri menghadap tembok. Mata ditutup dan tangan diikat erat lalu tahanan akan dibombardir dengan sinar lampu sangat terang dan suara-suara keras sehingga mengakibatkan kekacauan indra tubuh akibat rangsangan yang berlebih, gangguan tidur dan konsentrasi. Salah seorang sumber di tahanan menyebutkan ada seorang tahanan yang keras kepala mengalami penyiksaan ini selama 7 hari tanpa henti. f. Forced Nudity yatiu dengan menelanjangi tersangaka di depan tahanan yang lain dan membiarkannya tetap bugil dalam jangka waktu yang lama. Akibatnya tersangka akan merasa malu luar biasa. Prakteknya metode ini banyak diterapkan tentara Amerika di Irak saat menginterograsi tawanan perang. g. Sexual Humiliation yaitu dengan cara disesuaikan dengan budaya dan kepercayaan yang dianut oleh si tersangka. Cara-caranya seperti tersangka dipaksa melakukan adegan sex dengan sesama jenis, disuruh memakai pakaian wanita (untuk tersangka pria) lalu dipaksa menari striptease di depan personil wanita. h. Cultural Humiliation yaitu seperti poin diatas cara ini juga disesuaikan dengan budaya setempat. Metode ini pada intinya memaksa tersangka melakukan sesuatu yang menurut pandangan tersangka merupakan sesuatu yg dilarang atau memalukan. Contohnya bagi muslim dipaksa makan babi. Selain itu biasa juga dengan penghinaan-penghinaan verbal sampai tersangka merasa sangat terhina dan mematahkan semangatnya. i. Extreme Cold yaitu cara ini dulunya berasal dari Cina yang diterapkan kepada tahanan politik atau para aktivis keagamaan. Umumnya tahanan secara rutin tubuhnya diguyur air dingin dan dibiarkan berada di dalam atau di luar ruangan yang juga bersuhu rendah. Ada juga yang dipaksa
17
berdiri ditengah hujan salju cuma mengenakan pakaian seadanya. Metode yang berlawanan adalah menggunakan panas yaitu dgn mengurung tahanan di semacam ruang sempit yang minim ventilasi dan bersuhu tinggi. Disebut juga hot box. Tersangka baru akan dikeluarkan setelah mau bekerjasama dengan interogatornya. j. Phobias yaitu cara yang digunakan untuk menimbulkan perasaan panik pada diri tersangka. Contohnya kalo si tersangka takut dengan laba-laba maka selnya akan diisi penuh dengan laba-laba sampai tersangka tersebut mengalami rasa takut dan panik yang luar biasa. Pada tahap tersebut barulah interogasi dilaksanakan. k. Water Boarding yaitu metode ini belakangan dilarang digunakan dalam US Military. Tapi tidak ada yg menjamin apakah aturan tersebut benarbenar dilaksanakan atau tidak. Water Boarding dilakukan dengan mengikat tubuh erat-erat tersangka pada sebuah papan atau meja dengan posisi kaki lebih tinggi daripada kepala, lalu matanya ditutup. Kemudian wajah tersangka disiram dengan air berulang kali dengan teknik tertentu. Secara psikologi tersangka akan merasa dirinya tenggelam dan timbul reaksi tersedak karena air yang diguyurkan ke wajahnya itu. Metode ini sangat efektif karena dalam percobaan yang dilakukan tahadap anggota CIA sendiri ternyata ratarata mereka hanya bertahan selama 14 detik .
Di Indonesia sendiri menurut literatur yang digunakan di pusat pendidikan dan pelatihan instansi penegak hukum memiliki beberapa teknik dan taktik interogasi yang biasa di pergunakan dalam pemeriksaan oleh para penyidik. Teknik dan taktik yang diterapkan yaitu;
a. Sikap Pemeriksa / Interogator
Membicarakan sikap pemeriksa, sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari membicarakan watak seseorang. Ada 12 (dua belas) sikap yang sebaiknya dilakukan oleh seorang interogator (G.W. Bawengan, 1974: 14-21) . Sikap-sikap tersebut adalah:
1. Hindarilah sikap yang menimbulkan kesan pada tersangka bahwa pemeriksa hendak berusaha untuk memperoleh pengakuan atau hendak
18
mencari kesalahan. Adalah suatu kebijaksanaan untuk menampilkan diri sebagai orang yang berusaha untuk menampilkan kebenaran 2. Pada pemeriksaan pendahuluan sebaiknya pemeriksa menjauhi alat tulis dan kertas yang biasanya dipergunakan sebagai alat-alat untuk melakukan catatan. Sikap sedemikian itu untuk membentuk suasana informil sehingga dirasakan oleh tersangka sebagai susana yang tidak tegang dan kaku. Apabila perlu untuk mencatat beberapa hal penting diperbolehkan memnggunakan alat tulis dan kertas tetapi harus terhindar dari pandangan tersangka atau saksi yang sedang diperiksa. Penggunaan alat tulis barulah digunakan setelah pemeriksaan pendahuluan selesai dan siap untuk ditulis dan ditanda tangani. Lebih jauh lagi dikemukakan agar setiap pemeriksa mengenakan baju biasa bukan baju dinas yang menimbulkan ketegangan dan kekakuan dan ketegangan. Sejauh manakah hal yang demikian itu dapat diterima di Indonesia mengingat bahwa jaksa dan hakim pun telah menjadi uniform minded. Mungkin suatu ketika apabila uniform minded telah berubah menjadi non uniform minded, ide tersebut dapat dipraktekkan. 3. Istilah-istilah tegas seperti membunuh, mencuri serta mengaku atau tidak sebaiknya tidak digunakan oleh pemeriksa. Lebih bijaksana untuk menggunakan istilah-istilah seperti menembak, mengambil, atau katakanlah yang sebenarnya. Jika tersangka yang diperiksa kelihatan berbohong, sebaiknya tidak menggunakan istilah bohong tetapi lebih baik jika dipergunakan ialah belum menjelaskan semuanya secara benar. Menggunakan kata-kata psikologis dapat membuat orang marah, tertawa, sedih, atau bungkam, ataupun mengaku. Kata-kata sebagai alat komunikasi yang ampuh, dengan sendirinya dibiasakan untuk memperoleh perhatian khusus. 4. Sebagaimana halnya dengan unsur yang disarankan pada poin kedua di atas, maka dipandang bermanfaat jika pemeriksaan dilakukan tanpa menggunakan meja tulis. Pemeriksa dan yang diperiksa dapat duduk saling berdekatan. Gunakanlah kursi yang mempunyai tangan dan sandaran, agar pemeriksa dan yang diperiksa merasa kelegaan dalam pemeriksaan itu. Bahkan dianjurkan agar mata pemeriksa dan mata yang diperiksa berada pada suatu tingkat atau ketinggian yang sama. Pemeriksa yang berpengalaman mampu membaca kebohongan dan kebenaran dengan memperhatikan bola mata seseorang. Selain itu peranan sugestif dari pemeriksa dengan halus dan taajam dapat mendorong seseorang mengakui kesalahannya hanya dengan penguasaan melalui mata. 5. Sebaiknya pemeriksa tidak mondar-mandir di dalam ruangan selama pemeriksaan dilakukan. Duduk dengan tenang, melakukan pemeriksaan bagai melakukan percakapan biasa. Mondar-mandir dapat menggangu pemusatan pikiran orangyang diperiksa dalam hal mengingat sesuatu. Mondar-mandir kesana kemari atau berputar-putar di dalam ruangan akan merupakan suatu bukti bahwa pemeriksa kurang sabar dan mudah
19
dikendalikan oleh emosi. Seseorang pemeriksa yang melakukan tugasnya sambil duduk dengan tenang membuktikan kemampuannya dalam tugas. 6. Pemeriksa hendaknya berusaha sedapat mungkin untuk tidak merokok hal itu membuat seseorang yang sedang diperiksa melakukan hal yang sama. Jika pemeriksa ingin merokok, sebaiknya ia mulai dengan menyuguhkan lebih dahulu kepada orang yang diperiksa. Jika sekiranya pemeriksa brniat untuk menghindarkan rokok selama pemeriksaan itu, sebaiknya tempat abu rokok, korek api dan sebagainya disingkirkan. 7. Pergunakanlah bahasa yang sudah dimengerti. Sebaliknya apabila orang yang diperiksa menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing, maka pemeriksa harus dapat mungkin untuk mengambil kesimpulan dan memahaminya. 8. Pemeriksa hendaknya selalu berusaha untuk tetap menghargai pribadi orang yang diperiksa, betapapun buruk perbuatan yang telah dilakukanya. Perlakuan dan penghargaan yang wajar terhadap seorang tersangka, betapapun buruk perbuatan yang telah dilakukannya, akan lebih bermanfaat daripada perlakuan yang sebaliknya. 9. Apabila pemeriksa menjumpai bahwa orang yang diperiksanya berbohong, janganlah segera mencelanya.lebih bijaksana untuk menyembunyikan reaksi-reaksi yang menyebabkan kekecewaan. Tanpa menyanggahnya, lebih baik pemeriksa menunjukan hal-hal yang dapat menimbulkan kesan kepada orang yang diperiksa bahwa pemeriksa tahu tentang keadaan yang sebanarnya yang belum diceritakan oleh yang diperiksa. 10. Jika pemeriksa merasa perlu adanya suasana tanpa ketegangan dan ketakutan selama proses pemeriksaan dilakukan, sebaiknya jika orang yang diperiksa tidak mengenakan dibelenggu selama proses pemeriksaan, itu menunjukkan suatau jaminan bahwa orang yang diperiksa dapat dipercaya untuk tidak melarikan diri atau tidak akan melakukan perlawanan terhadap pemeriksa. 11. Pemeriksa harus dapat menempatkan dirinya di dalam sepatu orang yang diperiksa. Maksud dari hal ini adalah bahwa seorang pemeriksa harus dapat merasakan apabila ia menjadi orang yang diperiksa. Jika demikian, maka pemeriksa dapat merasakan bagaimana jalan pikiran orang yang diperiksa, bagaimana ia akan bereaksi, kata-kata apa yang akan digunakan. 12. Pandanglah bahwa orang yang diperiksa adalah manusia dengan sifatsifat kemanusiaanya. Janganlah memendangnya sebagai binatang buruan, apalagi memandaangnya sebagai suatu objek yang disangka dapat dibentuk semau pemeriksa.
20
b. Klasifikasi Tersangka
Klasifikasi tersangka perlukan dilakukan oleh seorang pemeriksa atau interogtor agar dapat menentukan teknik dan taktik interogasi kepada jenis-jenis tersngka yang berbeda. Menurut G.W. Bawengan (1971: 22-28) membagi klasifiksi tersangka menjadi 2 (dua) golongan tersangka yaitu:
1. Tipe A yaitu tersangka yang kesalahannya sudah defenitif atau dapat dipastikan. Dalam menghadapi tersangka tipe A itu, maka pemeriksaan dilakukan untuk memperoleh pengakuan tersangka serta menyesuaikan pembuktian-pembuktian yang segala sesuatunya ditujukan untuk lengkapnya bahan-bahan di depan sidang pengadilan. 2. Tipe B yaitu tersangka yang kesalahannya belum pasti. Dalam menghadapi tersngka tipe B maka pemeriksa akan merasakan berada dipersimpangan jalan, apakah ia menghadapi orang yang bersalah ataukah tidak. Dia harusmenggunakan metode pemeriksaan yang efektif untuk tiba pada suatu kesimpulan yang meyakinkan. Pemeriksa yang menghadapi golongan tersangka tipe A ada beberapa variasi teknik dan taktik interogasi / pemeriksaan yaitu:
1. Yakin akan kesalahan tersangka Suatu anjuran bagi pemeriksa menunjukkan keyakinannya bahwa tersangka telah melakukan pelanggaran hukum. Keyakinan ini janganlah dikemukakan secara angkuh dan sombong tetapi sekedar menunjukan kepercayaan pemeriksa terhadap dirinya sendiri. Karena sikap pemeriksa pada tingkat kontak permulaan sangat menentukan berhasil atau tidaknya pemeriksaan keseluruhannya. 2. Tunjukan sebagian dari pembuktian Anjuran ini berlaku terhadap perkara-prkara penting yang tidak bersifat sumir sebab pada perkara-perkara sumir kebanyakan masalahnya telah diketahui oleh tersangka. Teknik ini lebih tepatnya mengemukakan sebagian dari bahan pembuktiansehingga tersangka akan dihadapkan pada situasi untung rugi apabilaa ia berbohong atau mengakui kesalahannya.
21
3. Perhatikanlaah gejala-gejala psikologis dari tersangka Jika pemeriksa dapat membimbing jalan pikiran tersangka kearah suatu pemikiran bahwa tersangka memilikikelemahan-kelemahan psikologis dengan reaksi-reaksi refleks yang merupakan pertanda dari dosa yang telah dilakukanya, atau pelanggaran hukum yang tidak daapat disembunyikannya, maka tersangka akan merasakan terdesak kesudut, kehilangan keseimbangan dan tak berdaya, kecuali mengakui kesalahannya. 4. Berikan simpati terhadap tersangka Seorang tersangka akan merasa lega apabila pemeriksa menyaatakan baahwa siapapun akan berbuat sama dengan yang dilakukan tersangka jika menghadapi keadaan serupa. Memang ucapan demikian itu dapatmemperbesar hati tersangkan sehingga situasi lunak antara pemeriksa dan yang diperiksa dapat tercipta, kemudian memberi kesempatan pada pemeriksa untuk membimbing tersangka kearah pengakuan. 5. Mengatasi rasa bersalah tersangka Menghadapi tersangka yang mengalami kecemasan sebaiknya pemeriksa membimbingnya terlerbih dahulu kearah peristiwa yang sama yang terjadi pada orang lain, untuk menunjukkan bahwa dia bukanlah satu-satunua orang yang berbuat kesalahan. Maksudnya adalah sekedar untuk menunjukan kenyataan hidup dengan itu diharapkan agar kecemasannya dapat berkurang. 6. Memilih kalimat sopan Terutama dalam menghadapi kejahatan susila, maka pemeriksa akan menemui beberapa istilah-istilah porno untuk dikemukakan. Walaupun tersangka telah melakukan kejahatan susila, namun penggunaan istilahistilah porno sering dirasakan oleh tersangka itu sendiri sebagai masalah yang menggelikan atau menjijikkan untuk dijawab. Maka istilah-istilah porno tidak dipergunakan dan digantikan dengan istilah yang tidak membawa arti langsung tapi tidak menghilangkan maksud sebenarnya. 7. Menunjukan rasa simpatik pada tersangka yang suka menyalahkan korbanya Apabila seorang pemeriksa menghadapi tersangka yang menyatakan kesalahan korbannya, tersangka tersebut suka melihat keluar mempersalahkan orang daripada mengakui kesalahan sendiri adalah tergolong egosentris. Asalkan pemeriksa tidaak tegas-tegas menentang seorang egosentris yang daapat bersikap keras kepala pemeriksa dapat
22
mengikuti aliran pikiran mereka namum tetap pada persoalan pokok ialah kebenaran melalui proses pemeriksaan itu. 8. Memanfaatkan saling pengertian antara pemeriksa dan yang diperiksa Hal ini berarti bahwa sebelum pemeriksaan dimulai maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah usaha pemeriksa untuk menciptakan suasana saling mengerti antara keduabelah pihak. Salah satu cara yang ampuh dapat dipergunaakan oleh pemeriksa ialah menjamah atau menepuk pundak tersangka dengan diiringi pertanyaan-pertanyaan terarah. Pemeriksa yang menghadapi golongan tersangka tipe B ada beberapa variasi teknik dan taktik interogasi / pemeriksaan yaitu:
1. Mengajukan pertanyaan mengapa tersangka diperiksa Pertanyaan pertama yang biasanya dipergunakan pemeriksa adalah “tahukah mengapa anda, mengapa anada diperiksa?” atau pertanyaan-pertanyaan yang senada dengan itu. Seseorang yang telah melakukan kesalahan, apabila mendengar pertanyaan itu, akan menunjukan sikap waspada. Maka ia akan berhati-hati, mungkin ada yang menarik nafas panjang, mungkin tersenyum, atau mungkin juga menjadi pucat, bahkan ada yang langsung menunjukan sikap bermusuhan. Pemeriksa yang bijaksana, adalah pemeriksa yang dapat membaca situasi waspada itu. Apabila tresangka memberikan jawaban “iya”, iapun akan tetap menunjukan sikap waspada. Sebaliknya apabila tersangka bila mendengar pertanyaan tadi ia akan menunjukan sikap semakin heran dan mungkin curiga. Jawaban yang akan muncul secara spontan adalaah “tidak tahu” atau “mengapa saya pun ingin bertanya?”. Dikatakaan semeakin hran , karana sikaap haeran daan curiga sudah tampak. 2. Tanyakan kegiatan tersangka kegiatan tersangka sebelum, ketika, dan setelah tindak pidana terjadi. Menanyakan kegiatan tersangka sekitar peristiwa sebelum, ketika, dan sesudah terjadinya tindak pidana adalah termasuk berusaha untuk menyesuaikan alibi tersangka. Pertanyaan demikian akan menempatkan tersangaka pada tiga peristiwa yang terpisah namun memiliki kaitan antara peristiwa yang satu dengan yang lain. Kemungkinan besar, tersangka akan bersikap waspada apabila menjelaskan kegiatannya di sekitar ketika tindak pidana tejadi. Kewaspadaan itu terpusat pada ketika tindak pidana terjadi secara tidak sadar melemahkan kewaspadaan terhadap sebelum dan setelah tindak pidana terjadi.
23
Kelemahan-kelemahan yang dijumpai ketika tersangka menjelaskan kegiatanya sekitar sebelum dan setelah tindak pidana terjadi akan menjadi kunci, apakah bebar tersangka telah memberikan keterangan yang lengkap, jelas dan benar. 3. Pelajari persoalan sebelum pemeriksaan Sebelum menghadapi tersangka, pemeriksa harus lebih dahulu mempelajari duduk permasalahan peristiwa pidana dimana subjek diajukan sebagai tersangka, karena pemeriksa yang menguasai seluruh persoalan, tingkah laku yang dilakukanya akan dipandang tersangka sebagai orang yang berwibawa. Kewibawaan tidak perlu dicari-cari atau dibuat-buat,tidak perlu menggertak tersangka, tapi sebaliknya dengan menunjukan kesanggupan, kemampuan, dan percaya pada diri sendiri, mengemukakan pertanyaanpertanyaan akan langsung mengena pada tersangka. 4. Tunjukan beberapa bukti Orang yang telah melakukan kesalahan akan berusaha untuk menyembunyikan jejeknya dan akan gelisah apabila penyidik akan memperoleh bukti-bukti yang dapat dipergunakan utuk menuduhnya. Sebaliknya orang yang tidak bersalah tidak perlu menutupi jejaknya dan karena itu ia tidak perlu gelisah menghadapi pemeriksaan 5. Tanyakan apakah terangka pernah memikirkan sebelumnya melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya Pernah melakukan suatu tidak pidana akan memberi petunjuk tentang kejahatan yang direncanakan lebih dulu. Maka pertanyaan kearah itu bukan saja akan menyingkapkan tentang tindak pidana yang direncanakan terlebih dahulu atau setidak-tidaknya menunjukkan bahwa perbuatan itu telah dilakukan dengan sengaja.
C. Pengertian Proses Penyidikan
Penyidikan berasal dari kata “sidik”, petama sidik berarti terang, jadi penyidikan artinya membuat menjadi terang atau jelas. Kata sidik berari juga “bekas”, sehingga menyidik berarti mencari bekas-bekas kejahatan, yang berarti setalah bekas ditemukan dan terkumpul kejahataan mejadi terang atau jelas. Bertolak dari kedua kata “terang” dan “bekas” maka arti kata penyidikan artinya membuat terang kejahatan. Terkadang juga digunakan istilah “pengusutan”.
24
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan defenisi dari
penyidikan daalam Pasal 1 Ayat (2) ialah sebagai berikut:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalaam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya”
Menurut bahasa Belanda penyidikan disamakan dengan dengan opsporing. Menurut de Pinto, menyidik (opsporing) berarti “pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuaty pelangaran hukum (Andi Hamzah, 2005: 120).
Bidang reserse kriminal penyidikan biasanya dibedakan antara:
a. Penyidikan dalam arti luas, yang meliputi penyidikan pengusutan dan pemeriksaan, yang sekaligus rangkaian dari tindaka-tindakan terus-menerus, tidaka ada pangkal permulaan dan penyelesaiannya. b. Penyidikan dalam arti kata sempit, yaitu semua tindaakan-tindakan yang merupakan suatu bentuk operasi represif dari reserse kriminal kepolisian yang merupakan permulaan dari pemeriksaan perkara pidana (R. Soesilo, 1974: 13).
Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyartakan dengan pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak asasi manusia. Bagian-
25
bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagaai berikut:
1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik. 2. Ketentuan tentang diketahuinya tejadinya delik. 3. Pemeriksaan di tempat kejadian. 4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa. 5. Penahanan sementara. 6. Penggeledahan. 7. Pemeriksaan atau interogasi. 8. Berta acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat). 9. Penyitaan. 10. Penyampingan perkara. 11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum (Andi Hamzah, 2005: 120).
Adapun sifat dari penyidikan adalah untuk mempertahankan hak asasi manusia. Dituntut dan harus disadari pula, bahwasanya dengan adanya sila kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai salah satu sila dari Pancasila sudah sepatutnya bahwa di Indonesia ini berlaku suatu Hukum Acara Pidana yang bersifat akusatoir moderen, dimana seseorang tersangka diperlakukan sebgai subjek, sebagai manusia.dimana pemeriksaan perkara pidana, baik pemeriksaan daalam sidang pengadilan, maupun pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh polisi atau jaksa bersifat terbuka dan tersangka dapat didampingi oleh penasihat hukum. Namun demikian sesuai dengan kepentingan teknik pemeriksaan pidana, dimana untuk menjaga kerahasiaan maupun nama baik tersangka yang belum tentu
26
bersalah, ditingkat pemeriksaan awal oleh polisi itu dirahasiakan untuk umum, jadi sifat penyidikan adalah rahasia atau inkuisatoir. Ini tidak mengurangi ketentuan, bahwa tersangka boleh dibela oleh penasihat hukum untuk untuk menghindarkan kemungkinan mengaburkan jalannya penyidikan pendahuluan (R. Soesilo, 1974: 14).
D. Pengertian Tersangka dan Hak-Haknya
1. Pengertian Tersangka
menurut terminologi hukum pidana seseorang yang diduga karena keberadaanya menurut bukti dan petunjuk awal melakukan suatu tindak pidana disebut tersangka. Dalam Kitab Undang-Undang Acara Pidana definisi tersangka disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (14) sebagai berikut: “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatanya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”.
Sebutan tersangka biasanya dipakai setelah polisi telah melakukan penyidikan terhadapnya dan jaksa penuntut umum sedang mempersiapkan kasusnya. Namun, setelah jaksa penuntut umum telah membacakan dakwaan depan persidangan yang akan menetapkan apakah orang tersebut bersalah atau tidak, dia selanjutnya disebut terdakwa.
Di dalam Kitab Undang-Undang Acara Pidana antara tersangka dan terdakwa dibedakan. Definisi terdakwa di dalam Kitab Undang-Undang Acara Pidana
27
disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (15) sebagai berikut:
“Terdakwa adalah, seorang tersangka yang dituntut , diperiksa dan diadili disidang pengadilan.”
Wetboek van Strafvordening Belanda tidak membedakan isatilah tersangka dan terdakwa karena tidak laagi memakai dua istilah yaitu beklaagde dan verdachte, tetapi hanya memakai satu istilah untuk kedua macam pengertian itu, yaitu istilah verdachte. Namun demikian, dibedakan pengertian verdachte sebelum penuntutan dan sesudah penuntutan, dan pengertian verdachte sebelum penuntutan paralel dengan pengertian tersangka dalam Kitab Undang-Undang Acara Pidana Indonesia. Aadapun pengertian verdachte sesudah penuntutan paralel dengan pengertian terdakwa seperti tersebut pada pengertian di atas. Yang sama dengan pengertian istilah Kitab Undang-Undang Acara Pidana Indonesia ialah Inggris dibedakan pengertian the suspect (sebelum penuntutan) dan the accused (sesudah penuntutan (Andi Hamzah, 2008: 65).
2. Hak-Hak Tersangka
Tersangka mempuyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh para penegakan hukum dalam proses peradilan. Hak-hak tersangka sediri diatur dan dijamin di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun konvensi-konvensi internasional.
Salah satu hak yang sering menimbulkan perbedaan pendapat dari berbagai akademisi maupun penegak hukum ialah hak tersangka atau terdakwa untuk memilih atau menjawab atau tidak pertanyaan dari penyidik kepolisian, penuntut
28
umum, maupun hakim. Ketententuan ini dianggap penerapan dari asas akuisator atau asas pemeriksaan yang saling berhadapan.
Polisi atau penyidik di Indonesia tidak dikenal asas akuisator tersebut karena pengaturan untuka asas tersebut tidak diatur dalam Kitab Undang -Undang Hukum Acara Pidana di Indonesia. Di dalam Kitab Undang -Undang Hukum Acara Pidana di Indonesia hak yang mirip dengan asas tersebut hanya diatur dalam Pasal 52 disebutkan sebagai berikut:
“Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.”
Pengertian pasal tersebut jelas yang dimaksud ialah tersangka tidak boleh dipaksa atau ditekan. Ketidakjelasan apakah tersangka atau terdakwa berahak untuk tidak menjawab pertanyaan dari penyidik, penuntut umum, bahkan hakim. Tujuanya adalah agar pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang dari keadaan yang sebenarnya, jadi tersangka atau terdakwa wajib dijauhkan dari perasaan takut. Oleh sebab itu wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan (Andi Hamzah, 2005: 67).
Berbeda dengan di Inggris, di sana berlaku ketentuan bahwa pemeriksa atau interogator harus memulaai pemeriksaanya dengan mengatakan kepada tersangka bahwa tersangka mempunyai hak untuk diam dan tidak menjawab pertanyaan.
Di Belanda juga ada ketentuan yang sama dengan yang ada di Inggris. Hak tersangka untuk diam dan tidak menjawab pertanyaan diakui oleh Ned. Sv. Pasal
29
29, mengatakan bahwa hakim atau pegawai lain tidak boleh berusaha mendapaat suatu keterangan dari terdakwa, yang dianggap tidak diberikan secara sukarela. Terdawa tidak wajib memberikan jawaban atas pertanyaan apapun juga. Hak ini harus diberitahukan kepada tersangka sebelum didengar keterangannya, kecuali dalam sidang pengadilan. Pemberitahuan tersebut wajib dicantumkan dalam berita acata pemeriksaan. Pengakuan dari terdakwa juga harus ditulis dengan kata-kata tersangka sendiri (Andi Hamzah, 2008: 68).
Ketentuan bahwa pemeriksa atau penyidik harus memberikan penjelasan kepada tersangka bahwa ia berhak untuk diam atau tidak menjawab pertanyaan sebelum pemeriksaan dimulai, dirasa berlebihan. Hal ini akan cukup mempersulit pemeriksaan pemeriksa atau penyidik dalam rangka mengungkap kebenaran demi keadilan.
Menurut Andi Hamzah (2005: 69), hak-hak tersangka atau terdakwa dalam hal memberikan keterangan menurut Pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, masih perlu mengerti oleh para penegak hukum. Bukan hanya pemeriksa atau penyidik yang harus menyadari tugas yang dipikulkan kepundaknya, yaitu mencari kebenaran materiil demi kepentingan individu, tetapi juga tersangka itu sendiri harus dapat mengetahui dan menyadari hak-hak dan kewajibanya yang dijamin oleh undang-undang.
Tersangka atau terdakwa diberikan seperangkat hak-hak oleh Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana mulai dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 dan Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Hak-hak itu
30
meliputi yang sebagai berikut ini:
1. Hak untuk segera diperiksa, diajukan ke pengadilan dan diadili (Pasal 50 ayat (1),(2)dan (3)). 2. Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan (Pasal 51 butir a dan b). 3. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim (Pasal 52). 4. Hak untuk mendapat juru bahasa (Pasal 53 ayat (1)). 5. Hak untuk mendapat bantuan hukum (Pasal 54). 6. Hak untuk mendapat bantuan hukum dari penasihat hukum yang ditunjuk oleh pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan bagi pidana mati dengan biaya cuma-cuma. 7. Hak tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing untuk menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya (Pasal 57 ayat (2)). 8. Hak untuk menghubungi dokter bagi tersangka atau terdakwa yang ditahan (Pasal 58); 9. Hak untuk diberitahu kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa yang ditahan untuk mendapat bantuan hukum atau bagi jaminan bagi penangguhannya dan hak untuk berhubungan dengan keluarga yang dimaksud yang sama diatas (Pasal 59 dan 60). 10. Hak untuk dikunjungi sanak keluarga yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa. Untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan (Pasal 61).
31
11. Hak tersangka atau terdakwa untuk berhubungan surat menyurat dengan penasihat hukumnya (Pasal 62). 12. Hak tersangka atau terdakwa untuk menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan (Pasal 63). 13. Hak tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi dan ahli yang a de charge (Pasal 68). 14. Hak tersangka atau terdakwa untuk menuntut ganti kerugian (Pasal 68). 15. Hak terdakwa (pihak yang diadili) untuk ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya (Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman) (Andi Hamzah, 2005: 70).
E. Pengertian Tindak Pidana Terorisme
Seperti di kemukakan di awal terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
Pengertian tindak pidana terorisme menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme yaitu:
“Segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini”.
32
Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme yaitu:
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional”. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme yaitu: “Setiap orang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional”. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme yaitu: “Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang: a. menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut; b. menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut; c. dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru; d. karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan
33
terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru; e. dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain; f. dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara; g. karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai, atau rusak; h. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan; i. dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan; j. dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan; k. melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat, dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang; l. dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut; m. dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan; n. dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan
34
pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan; o. melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan lebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l, huruf m, dan huruf n; p. memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan; q. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan; r. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan”. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yaitu:
“Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme”. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yaitu:
“Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional”
Pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yaitu: “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan
35
atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10”. Pasal 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yaitu: “Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan : a. tindakan secara melawan hukum menerima, memiliki, menggunakan, menyerahkan, mengubah, membuang bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kematian atau luka berat atau menimbulkan kerusakan harta benda; b. mencuri atau merampas bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya ; c. penggelapan atau memperoleh secara tidak sah bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya; d. meminta bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya secara paksa atau ancaman kekerasan atau dengan segala bentuk intimidasi; e. mengancam : 1) menggunakan bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya untuk menimbulkan kematian atau luka berat atau kerusakan harta benda; atau 2) melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf b dengan tujuan untuk memaksa orang lain, organisasi internasional, atau negara lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. f. mencoba melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, atau huruf c; dan g. ikut serta dalam melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f”.
36
Definisi yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:
1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut. 2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu. 3. Menggunakan kekerasan. 4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah. 5. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.