12
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Kebijakan Publik
1.
Konsep Kebijakan Publik
Eyestone dalam Winarno (2012:20) mengatakan bahwa secara luas kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Sementara itu menurut James Anderson kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Laswell mendefinisikan kebijakan publik sebagai program proyeksi tujuan, nilai-nilai, dan praktik. Easton melihat itu sebagai dampak dari kegiatan pemerintah. Austin Ranney melihat kebijakan publik sebagai cara yang dipilih dari tindakan atau deklarasi niat (Nugroho, 2008:32).
Selain itu, Thomas R. Dye dalam Nugroho (2008) mengatakan bahwa kebijakan publik sebagai segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda merupakan pemahaman yang paling banyak dikembangkan. Dikatakannya demikian: Public policy is whatever government choose to do or not to do. Government do many things. Note that we are focusing not only on
13
government action but also on government in action, that is, what government choose not to do. We contend that government in action can have just as great an impact on society as government action.” Public policy is what government do, what they do it, and what difference it makes Definisi diatas dapat diartikan kebijakan publik adalah apa saja yang pemerintah memilih untuk melakukan atau tidak melakukan. Pemerintah melakukan banyak hal. Perhatikan bahwa kita fokus tidak hanya pada tindakan pemerintah tetapi juga pada pemerintah dalam tindakan, yaitu, apa yang pemerintah memilih untuk tidak melakukannya. Kami berpendapat bahwa pemerintah dalam tindakan dapat memiliki hanya sebagai besar berdampak pada masyarakat sebagai tindakan pemerintah. Kebijakan publik adalah apa yang pemerintah, apa yang mereka lakukan itu, dan apa bedanya (Nugroho, 2008).
David Easton memahami kebijakan publik alokasi nilai-nilai yang dilakukan oleh pemerintah secara otorotatif. Dikatakan demikian: The authorithative allocation of value for the whole society but is turns out that only the government can authoritatively act on the “whole” society, and everything that government choose to do or not to do results in the allocation of values.
Pernyataan diatas dapat diartikan alokasi otoritatif nilai bagi seluruh masyarakat tetapi ternyata bahwa hanya pemerintah otoritatif dapat bertindak pada seluruh masyarakat, dan segala sesuatu yang pemerintah memilih untuk melakukan atau tidak melakukan hasil dalam alokasi nilai-nilai. Nugroho (2012:123) secara sederhana mengatakan bahwa kebijakan publik adalah setiap keputusan yang dibuat oleh negara, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari negara. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal,
14
memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju masyarakat yang dicitacitakan.
Dari definisi-definisi diatas, penulis memilih definisi kebijakan publik menurut Riant Nugroho yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai setiap keputusan yang dibuat oleh negara, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari negara. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju masyarakat yang dicitacitakan. Dari definisi-definisi tersebut juga dapat dikenali ciri-ciri kebijakan publik. Pertama, kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh negara, yaitu berkenaan dengan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kedua, kebijakan publik adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan publik, dan bukan mengatur kehidupan orang seorang atau golongan. Kebijakan publik mengatur semua yang ada pada wilayah (domain) lembaga publik. Kebijakan publik mengatur masalah bersama, atau masalah pribadi atau golongan, yang sudah menjadi masalah bersama dari seluruh masyarakat di daerah itu. Ketiga, dikatakan sebagai kebijakan publik jika terdapat tingkat eksternalitas yang tinggi, yaitu dimana pemanfaat atau yang terpengaruh bukan saja pengguna langsung kebijakan publik, tetapi juga yang tidak langsung.
2.
Bentuk kebijakan publik
Undang-undang No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan Pasal 7 mengatur jenis hierarki Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut: 1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
15
2.
Tap MPR
3.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4.
Peraturan Pemerintah
5.
Peraturan Presiden
6.
Peraturan Daerah Provinsi
7.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Ketujuh produk tersebut merupakan bentuk pertama kebijakan publik, yaitu peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi secara formal dan legal. Pemahaman kontinentalis mengelompokkan kebijakan publik menjadi tiga, yaitu: 1.
Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar, yaitu kelima peraturan yang disebut di atas.
2.
Kebijakan publik yang bersifat messo atau menengah, atau penjelas pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Bupati, dan Peraturan Wali Kota. Kebijakannya dapat pula berbentuk Surat Keputusan Bersama atau SKB antar-menteri, gubernur, dan bupati atau wali kota.
3.
Kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi kebijakan di atasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah menteri, gubernur, bupati, dan wali kota (Nugroho, 2012:131).
3.
Jenis Kebijakan
Jenis kebijakan publik menurut Anderson dalam Nugroho (2012:137) yaitu:
16
1.
Constituent
Menurut Theodore Lowi dalam Nugroho (2012:137), kebijakan constituent dipahami sebagai berikut: constituent policies are policies formally and explicitly concern with the establishment of government structure, with the establishment of rules (or procedures) for the conduct of government, of rules that distribute or divide power and jurisdictions within which present and future government policies might be made. Pernyataan diatas dapat diartikan kebijakan konstituen adalah kebijakan formal dan eksplisit keprihatinan dengan pembentukan struktur pemerintahan, dengan pembentukan aturan atau prosedur untuk pelaksanaan pemerintahan, aturan yang mendistribusikan atau membagi kekuasaan dan yurisdiksi di mana kebijakan pemerintah sekarang dan masa depan bisa dibuat. Ini adalah jenis kebijakan yang membuktikan keberadaan negara, termasuk di dalamnya kebijakan tentang keamanan negara. 2.
Distributive
Kebijakan distributive adalah kebijakan yang berkenaan dengan alokasi layanan atau manfaat untuk segmen atau kelompok masyarakat tertentu dari suatu populasi, termasuk di dalamnya kebijakan pembangunan irigasi oleh pemerintah untuk kelompok petani pangan. Berdasarkan penjelasan tersebut, Pendidikan Inklusif termasuk dalam jenis kebijakan distributive karena memberikan manfaat atau layanan pada kelompok tertentu dalam masyarakat dalam hal ini adalah Anak Berkebutuhan Khusus.
17
3.
Regulatory
Kebijakan regulatory adalah kebijakan yang memaksakan batasan atau larangan perilaku tertentu bagi individu ataupun kelompok. Kebijakan regulatory biasanya dibuat untuk mengatasi konflik yang terjadi di antara kelompok, termasuk di dalamnya kebijakan antimonopoli, kebijakan ketenagakerjaan, dan kebijakan kesetaraan gender. Ada juga kebijakan yang bersifat spesifik untuk membatasi persaingan atau competitive regulatory policies yang membatasi jumlah pelaku bisnis dalam industri tertentu agar tidak terjadi persaingan yang saling membunuh. Misalnya, pembatasan jumlah industri televisi siaran, industri telekomunikasi, atau industri semen. 4.
Self regulatory
Kebijakan self regulatory hampir sama dengan regulatory, hanya kebijakannya dirumuskan oleh para pelakunya, misalnya kebijakan tentang praktik dokter bagi mereka yang menjadi anggota dokter profesional atau praktik akuntan bagi mereka yang sudah mempunyai sertifikasi akuntan profesional. Hal yang sama juga dirumuskan bagi para pengacara dan pengusaha-terikut perizinan sebagai anggota Kadin atau industri tertentu, misalnya Asosiasi Kontraktor. 5.
Redistributive
Kebijakan redistributive berkenaan dengan upaya pemerintah untuk memberikan pemindahan alokasi kesejahteraan, kekayaan, atau hak-hak dari kelompok tertentu di masyarkat, yaitu kelompok kaya atau sejahtera, ke kelompok lain, yaitu kelompok miskin atau berkekurangan. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang
18
pelik karena berkenaan dengan uang, hak, dan kekuasaan yang harus diperbagikan ulang. Selain lima jenis kebijakan tersebut, Anderson dalam Nugroho (2012:138) juga mengembangkan pemahaman tentang dua jenis kebijakan atas dasar kenampakan (tangibility), yaitu kebijakan yang berkenaan dengan manfaat (atau larangan) yang material, atau tampak, atau kasatmata, misalnya pelayanan kesehatan, subsidi pendidikan, dan lain-lain. Sementara itu, kebijakan simbolik adalah kebijakan yang memberikan manfaat (atau larangan) yang bersifat simbolik.
4.
Tujuan Kebijakan Publik
Tujuan kebijakan publik dapat dibedakan dari sisi sumber daya atau risoris, yaitu antara kebijakan publik yang bertujuan men-distribusi sumber daya negara dan yang bertujuan menyerap sumber daya negara. Pemahaman pertama adalah distributif versus absortif. Kebijakan absorptif adalah kebijakan yang menyerap sumber daya, terutama sumber daya ekonomi dalam masyarakat yang akan dijadikan modal atau biaya untuk mencapai tujuan bersama. Menurut Kolb dalam Nugroho (2012) kebijakan ini juga sering disebut extractive policy, dan termasuk di dalamnya dan terutama adalah kebijakan perpajakan. Menurut Kolb dalam Nugroho (2012) Kebijakan yang berdiri diametral dengan kebijakan absorptif adalah kebijakan distributif, yaitu kebijakan yang secara langsung atau tidak langsung mengalokasikan seumber-sumber daya material ataupun nonmaterial ke seluruh masyarakat Sering kali ada ilmuwan yang
19
membedakannya dengan kebijakan redistributive. Pada dasarnya, keduanya bermakna sama, hanya berbeda dalam sekuensi. Ada juga yang mempergunakan istilah alokatif, yang mempunyai makna sama dengan distributif, namun lebih menekankan pada lokus atau ruang tempat adanya distribusi. Kebijakan distributif murni misalnya kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan dari daerah untuk menguasai dan mengelola sejumlah sumber daya. Kebijakan redistributif, biasanya merupakan koreksi kebijakan distributif sebelumnya yang menciptakan bias kebijakan, seperti kebijakan kenaikan BBM yang diimbangi dengan kebijakan redistributif subsidi BBM dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Kebijakan absorptif misalnya kebijakan perpajakan yang menghimpun pendapatan untuk negara-untuk kemudian didistribusikan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan nasional. Pemilahan kedua dari tujuan kebijakan adalah regulatif versus deregulatif. Kebijakan regulatif bersifat mengatur dan membatasi, seperti kebijakan tarif, kebijakan pengadaan barang dan jasa, kebijakan HAM, kebijakan proteksi industri, dan sebagainya. Kebijakan deregulatif bersifat membebaskan, seperti kebijakan privatisasi, kebijakan penghapusan tarif, dan kebijakan pencabutan daftar negatif investasi. Pemilahan ketiga adalah dinamisasi versus stabilisasi. Kebijakan dinamisasi adalah kebijakan yang bersifat menggerakkan sumber daya nasional untuk mencapai
kemajuan
tertentu
yang
dikehendaki.
Misalnya,
kebijakan
desentralisasi, kebijakan zona industri eksklusif, dan lain-lain. Kebijakan stabilisasi bersifat mengerem dinamika yang terlalu cepat agar tidak merusak
20
sistem politik, keamanan, ekonomi, maupun sosial. Kebijakan ini misalnya kebijakan pembatasan transaksi valas, kebijakan penetapan suku bunga, dan kebijakan tentang keamanan negara. Pemilahan keempat adalah kebijakan yang memperkuat negara versus memperkuat pasar. Kebijakan yang memperkuat negara adalah kebijakankebijakan yang mendorong lebih besar peran publik atau mekanisme pasar daripada peran negara. Kebijakan yang memperkuat negara misalnya kebijakan tentang pendidikan nasional yang menjadikan negara sebagai pelaku utama pendidikan nasional daripada publik. Kebijakan yang memperkuat pasar atau publik misalnya kebijakan privatsisasi BUMN, kebijakan perseroan terbatas, dan lain-lain. Dari pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan kebijakan publik dapat dibedakan sebagai berikut: a.
Mendistribusi sumber daya negara kepada masyarakat, termasuk alokatif, realokatif, dan redistribusi, versus mengabsorpsi atau menyerap sumber daya ke dalam negara.
b.
Regulatif versus deregulatif
c.
Dinamisasi versus stabilisasi
d.
Memperkuat negara versus memperkuat masyarakat/pasar (Nugroho, 2012:138-140).
5.
Proses Kebijakan Publik
Nugroho (2012:185) mengemukakan dasar proses kebijakan sebagai berikut:
21
Bagan 2.1 Proses Kebijakan Publik Perumusan kebijakan Implementasi
Isu kebijakan
kebijakan Evaluasi kebijakan Sumber: Nugroho (2012:185)
Gambar tesebut dapat dijelaskan dalam sekuensi berikut: 1.
Isu kebijakan. Disebut isu apabila bersifat strategis, yakni bersifat mendasar, yang menyangkut banyak orang atau bahkan keselamatan bersama, (biasanya) berjangka panjang, tidak bisa diselesaikan oleh orang-seorang, dan memang harus diselesaikan. Isu ini diangkat sebagai agenda politik untuk diselesaikan. Isu kebijakan terdiri atas dua jenis, yaitu problem dan goal. Artinya, kebijakan publik dapat berorientasi pada permasalahan yang muncul pada kehidupan publik, dan dapat pula berorientasi pada goal atau tujuan yang hendak dicapai pada kehidupan publik. Pada saat itu, sebagian besar kebijakan publik mengacu pada permasalahan darpada antisipasi ke depan, dalam bentuk goal oriented policy, sehingga dalam banyak hal kita melihat kebijakan publik yang berjalan tertatih-tatih di belakang masalah publik yang terus bermunculan dan akhirnya semakin tak tertangani.
2.
Isu kebijakan ini kemudian menggerakkan pemerintah untuk merumuskan kebijakan publik dalam rangka menyelesaikan masalah tersebut. Rumusan kebijakan ini akan menjadi hukum bagi seluruh negara dan warganya termasuk pimpinan negara.
22
3.
Setelah dirumuskan, kebijakan publik ini kemudian dilaksanakan baik oleh pemerintah atau masyarakat maupun pemerintah bersama-sama dengan masyarakat.
4.
Namun, dalam proses perumusan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan, diperlukan tindakan evaluasi sebagai sebuah siklus baru untuk dinilai apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan dengan baik dan benar dan diimplementasikan dengan baik dan benar pula.
5.
Implementasi kebijakan bermuara pada output yang dapat berupa kebijakan itu sendiri ataupun manfaat langsung yang dapat dirasakan oleh pemanfaat.
6.
Dalam jangka panjang, kebijakan tersebut menghasilkan outcome dalam bentuk impak kebijakan yang diharapkan semakin meningkatkan tujuan yang hendak dicapai dengan kebijakan tersebut.
Dengan melihat skema diatas, terdapat tiga kegiatan pokok yang berkenaan dengan kebijakan publik, yaitu: 1.
Perumusan kebijakan
2.
Implementasi kebijakan
3.
Evaluasi kebijakan dan, dengan penambahan:
4.
Revisi kebijakan, yang merupakan perumusan kembali dari kebijakan.
Pemahaman sederhana tersebut sebenarnya mempunyai bentuk yang lengkap sebagai berikut:
23
Bagan 2.2 Proses Kebijakan Publik Evaluasi kebijakan Monitoring kebijakan Isu kebijakan
Perumusan kebijakan
Implementa si kebijakan
Kinerja kebijakan
Pelanjutan kebijakan
Revisi kebijakan Isu kebijakan (baru)
Penghentian kebijakan
Lingkungan Kebijakan Sumber: Nugroho (2012:186)
Sebuah isu, baik berupa masalah bersama maupun tujuan bersama, ditetapkan sebagai suatu isu kebijakan. Dengan isu kebijakan ini, dirumuskan dan ditetapkan kebijakan publik. Kebijakan ini kemudian diimplementasikan atau implementasi kebijakan. Pada saat implementasi dilakukan pemantauan atau monitoring untuk memastikan implementasi kebijakan konsisten dengan rumusan kebijakan. Hasil implementasi kebijakan adalah kinerja kebijakan. Pada saat inilah diperlukan evaluasi kebijakan. Evaluasi yang pertama berkenaan dengan seberapa jauh kebijakan mencapai hasil yang diharapkan. Selanjutnya, dilakukan evluasi secara paralel pada implementasi kebijakan, rumusan kebijakan, dan lingkungan tempat kebijakan dirumuskan, diimplementasikan, dan berkinerja. Hasil evaluasi menentukan apakah kebijakan dilanjutkan ataukah membawa isu kebijakan yang
24
baru, yang mengarah pada dua pilihan: diperbaiki atau revisi kebijakan, ataukah dihentikan, penghentian kebijakan. (Nugroho, 2012:185-187) Sedangkan tahap – tahap kebijakan publik menurut Dunn dalam Winarno (2012: 36 – 37) adalah sebagai berikut: Perumusan Agenda Formulasi Kebijakan Adopsi Kebijakan Implementasi kebijakan Evaluasi Kebijakan
B. Tinjauan Tentang Implementasi Ripley dan Franklin dalam Winarno (2012:148) berpendapat bahwa implementasi adalah apa yag terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Lebih jauh menurut mereka, implementasi mencakup banyak kegiatan. Pertama, badan-badan pelaksana yang ditugasi oleh undangundang dengan tanggung jawab menjalankan program harus mendapatkan sumber-sumber yang dibutuhkan agar implementasi berjalan lancar. Sumbersumber ini meliputi personil, peralatan, lahan tanah, bahan-bahan mentah, dan diatas semuanya yaitu uang. Kedua, badan-badan pelaksana menegembangkan bahasa anggaran dasar menjadi arahan-arahan konkret, regulasi, serta rencanarencana
dan
desain
program.
Ketiga,
badan-badan
pelaksana
harus
25
mengorganisasikan kegiatan-kegiatan mereka dengan menciptakan unit-unit birokrasi dan rutinitas untuk mengatasi beban kerja. Akhirnya, badan-badan pelaksana memberikan keuntungan atau pembatasan kepada para pelanggan atau kelompok-kelompok target. Mereka juga memberikan pelayanan atau pembayaran atau batasan-batasan tentang kegiatan atau apapun lainnya yang bisa dipandang sebagai wujud dari keluaran yang nyata dari suatu program (Winarno, 2012:148149). Sementara
itu,
Grindle
dalam
Winarno
(2012:149)
juga
memberikan
pandangannya tentang implementasi dengan mengatakan bahwa secara umum, tugas implementasi adalah membentuk suatu ikatan (linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Selanjutnya, Van Meter dan Van Horn dalam Winarno (2012:149) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Dari definisi-definisi diatas peneliti memilih definisi implementasi menurut van Meter dan van Horn dalam Winarno (2012:149) yang membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.
26
C. Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan
1.
Konsep Implementasi Kebijakan
Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier dalam bukunya Implementation and Public Policy yang dikutip oleh Agustino (2008:139) mendefinisikan Implementasi Kebijakan sebagai: ”Pelaksana keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya”. Sedangkan, Van Meter dan Van Horn (1975), mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabt-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan.
Dari dua definisi tersebut dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu: (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan; (2) adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan; dan (3) adanya hasil kegiatan. (Agustino, 2008:139)
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Kebijakan publik dalam
27
bentuk undang-undang atau Peraturan Daerah adalah jenis kebijakan yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung dioperasionalkan antara lain Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Daerah, Keptusan Kepala Dinas, dan lain-lain (Nugroho, 2012:674-675). Pengertian implementasi di atas apabila dikaitkan dengan kebijakan adalah bahwa sebenarnya kebijakan itu tidak hanya dirumuskan lalu dibuat dalam suatu bentuk positif seperti undang-undang dan kemudian didiamkan dan tidak dilaksanakan atau diimplmentasikan, tetapi sebuah kebijakan harus dilaksanakan atau diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu. 2.
Model Implementasi Kebijakan
Sebagaimana dikemukakan oleh Peter de Leon dan Linda deLeon dalam Nugroho (2012), pendekatan-pendekatan dalam implementasi kebijakan publik dapat dikelompokkan menjadi tiga generasi. Generasi pertama, yaitu pada tahun 1970an, memahami implementasi kebijakan sebagai masalah-masalah yang terjadi antara kebijakan dan eksekusinya. Peneliti yang mempergunakan pendekatan ini antara lain Graham T. Allison dengan studi kasus misil kuba (1971, 1999). Pada generasi ini implementasi kebijakan berhimpitan dengan studi pengambilan keputusan di sektor publik. Generasi kedua, tahun 1980-an, adalah generasi yang mengembangkan pendekatan implementasi kebijakan yang bersifat dari atas ke bawah (top-downer perspective). Perspektif ini lebih fokus pada tugas birokrasi
28
untuk melaksanakan kebijakan yang telah diputuskan secara politik. Para ilmuwan sosial yang mengembangkan pendekatan ini adalah Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier (1983), Robert Nakamura dan Frank Smallwood (1980), dan Paul Berman (1980). Pada saat yang sama, muncul pendekatan bottom-upper yang dikembangkan oleh Michael Lipsky (1971, 1980), dan Benny Hjern (1982, 1983). Generasi ketiga, 1990-an, dikembangkan oleh ilmuwan sosial Malcolm L. Goggin (1990), memperkenalkan pemikiran bahwa variabel perilaku aktor pelaksanakan implementasi kebijakan lebih menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Pada saat yang sama muncul pendekatan kontijensi atau situasional dalam implementasi kebijakan yang mengemukakan bahwa implementasi kebijakan banyak di dukung oleh adaptabilitas implementasi kebijakan tersebut (Nugroho, 2012:682-683). Menurut teori implementasi kebijakan Donald Van Metter dan Carl Van Horn dalam Agustino (2008:141), terdapat enam variabel yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik, yaitu: 1.
Ukuran dan tujuan kebijakan Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jikadan-hanya-jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang mengada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopis) untuk dilaksanakan di level warga, maka agak sulit memang merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil.
29
2.
Sumber daya Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas dari sumber-sumber daya itu nihil, maka kinerja kebijakan publik sangat sulit untuk diharapkan. Tetapi diluar sumber daya manusia, sumber daya lain yang perlu diperhitungkan juga ialah sumber daya finansial dan sumber daya waktu. Karena itu sumber daya yang diminta dan dimaksud oleh Van Metter dan Van Horn adalah ketiga bentuk sumber daya tersebut.
3.
Karakteristik Agen Pelaksana Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan (publik) akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan.
30
4.
Sikap/Kecenderungan (Disposition) para Pelaksana Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang akan implementor pelaksanaan adalah kebijakan dari atas (top down) yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebtuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan.
5.
Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahankesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.
6.
Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja implementasi publik dalam perspektif yang ditawarkan oleh Van Metter dan Van Horn adalah, sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal. (Agustino, 2008: 141-144)
31
Menurut teori implementasi kebijakan Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier dalam Agustino (2008:144), variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan pada proses implementasi dapat dikategorikan menjadi tiga kategori besar, yaitu: 1.
Mudah atau tidaknya masalah yang akan digarap, meliputi: a. Kesukaran-kesukaran teknis b. Keberagaman perilaku yang diatur c. Presentase totalitas penduduk yang tercakup dalam kelompok sasaran d. Tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki
2.
Kemampuan kebijakan menstruktur proses implementasi secara tepat Para pembuat kebijakan mendayagunakan wewenang yang dimilikinya untuk menstruktur proses implementasi secara tepat melalui beberapa cara: a. Kecermatan dan kejelasan penjenjangan tujuan-tujuan resmi yang akan dicapai b. Keterandalan teori kausalitas yang diperlukan c. Ketetapan alokasi sumber dana d. Keterpaduan hirarki di dalam lingkungan dan diantara lembaga-lembaga atau instansi-instansi pelaksana e. Aturan-aturan pembuat keputusan dari badan-badan pelaksana f. Kesepakatan para pejabat terhadap tujuan yang termaktub dalam undangundang g. Akses formal pihak-pihak luar
3.
Variabel-variabel diluar undang-undang yang mempengaruhi implementasi a. Kondisi sosial-ekonomi dan teknologi
32
b. Dukungan publik c. Sikap dan sumber-sumber yang dimilikikelompok masyarakat d. Kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana (Agustino 2008:144-148)
Menurut teori implementasi kebijakan George C. Edward III dalam Agustino (2008:149), terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu: 1.
Komunikasi
Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai (atau digunakan) dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi, yaitu: a.
Transmisi
b.
Kejelasan
c.
Konsistensi
2.
Sumber Daya
Indikator sumber daya terdiri dari beberapa elemen, yaitu: a.
Staf
b.
Informasi
c.
Wewenang
d.
Fasilitas
3.
Disposisi
Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi adalah: a.
Pengangkatan birokrat
b.
Insentif
33
4.
Struktur Birokrasi
Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebagiankan sumber daya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik. (Agustino 2008:149-153). Menurut teori implementasi kebijakan Merilee S. Grindle dalam Agustino (2008:154), terdapat dua variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik. Keberhasilan implementasi suatu kebijakan publik dapat diukur dari proses pencapaian hasil akhir (outcomes), yaitu tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin diraih. Hal ini dikemukakan oleh Grindle, dimana pengukuran keberhasilan implementasi kebijakan tersebut dapat dilihat dari dua hal, yaitu: 1.
Dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan kebijakan sesuai dengan yang ditentukan (design) dengan merujuk pada aksi kebijakannya.
2.
Apakah tujuan kebijakan tercapai. Dimensi ini diukur dengan melihat dua faktor, yaitu: a. Impak atau efeknya pada masyarakat secara individu dan kelompok b. Tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran dan perubahan yang terjadi.
34
Keberhasilan suatu implementasi kebijakan publik, juga menurut Grindle, amat ditentukan oleh tingkat implementability kebijakan itu sendiri, yang terdiri atas Content of Policy dan Context of Policy (1980:5). 1.
Content of Policy menurut Grindle adalah:
a.
Interest Affected (kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi)
b.
Type of Benefits (tipe manfaat)
c.
Extent of Change Envision (derajat perubahan yang ingin dicapai)
d.
Site of Decision Making (letak pengambilan keputusan)
e.
Program Implementer (pelaksana program)
f.
Resources Committed (sumber-sumber daya yang digunakan)
2.
Context of Policy menurut Grindle adalah:
a.
Power, Interest, and Strategy of Actor Involved (kekuasaan, kepentingankepentingan, dan strategi dari aktor yang terlibat.
b.
Institution and Regime Characteristic (karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa)
c.
Compliance and Responsiveness (tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana)
Dari penjelasan beberapa teori diatas mengenai implementasi kebijakan publik maka pada penelitian ini peneliti menggunakan teori implementasi kebijakan publik dari Donald Van Metter dan Carl Van Horn. Pada model ini terdapat enam variabel yang saling berkaitan yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik yaitu ukuran dan tujuan kebijakan, sumber daya, karakteristik agen pelaksana, sikap/kecenderungan (disposition) para pelaksana, komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana, dan lingkungan ekonomi sosial politik (Agustino, 2008).
35
Van Meter dan Van Horn memberikan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang menghubungkan kebijakan dengan kinerja kebijakan. Model ini menegaskan bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep yang penting dalam prosedur-prosedur implementasi. Dengan memanfaatkan konsep-konsep tersebut maka permasalahan yang perlu dikaji dalam hubungan ini adalah mengenai hambatan, tingkat efektifitas mekanismemekanisme kontrol pada setiap jenjang struktur, dan keterikatan masing-masing orang
dalam
organisasi
atau
masalah
kepatuhan
(sumber:
http://mulyono.staff.uns.ac.id diakses pada tanggal 24 februari 2014 pukul 14.35).
D. Tinjauan Tentang Pendidikan Inklusif
1.
Konsep Pendidikan Inklusif
Inklusif merupakan sebuah kata yang berasal dari terminologi Inggris yakni inclusion yang berarti termasuknya atau pemasukan. Prinsip pendidikan inklusif pertama kali diadopsi pada konverensi dunia di Salamanca tentang pendidikan kebutuhan khusus tahun 1994: Hildegun Olsen dalam Tarmansyah (2009) mengemukakan: Inclusive education means that schools should accommodate all children regardless of physical, intelletual, social emotional, linguistic or other condition. This should include disabled and gifted children, street and working children, children from rewmote or nomadic population, children from linguistic, ethnic or cultural minorities and childen from other disavantage or marginalised areas or group Pengertian diatas dapat diartikan yaitu Pendidikan inklusif berarti sekolah harus mengakomodasikan semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual,
36
sosial, emosional, linguistik atau kondisi lainnya. Ini harus mencakup anak-anak penyandang cacat dan berbakat, anak-anak jalanan dan pekerja, anak yang berasal dari populasi terpencil atau yang berpindah-pindah, anak dari kelompok etnis minoritas, linguistik atau budaya dan anak-anak dari area atau kelompok yang kurang beruntung atau termarjinalisasi (Tarmansyah, 2009). Pendidikan inklusif pada hakikatnya terkait dengan perubahan pada sekolah bukan perubahan pada anak. Seperti halnya perubahan dalam suatu sistem, perubahan dalam pendidikan inklusif merupakan proses panjang yang tidak dapat dicapai dalam waktu singkat, perubahan terjadi sejalan dengan pemahaman dan komitmen semua pihak penyelenggara pendidikan, terutama sekolah dalam menerapkan prinsip-prinsip pendidikan inklusif. Inti pendidikan inklusif adalah hak azasi manusia atas pendidikan yang dituangkan pada Deklarasi Hak Azasi manusia tahun 1949 yang sama pentingnya adalah hak anak agar tidak didiskriminasikan, hal ini dimuat dalam artikel 2 Konvensi Hak Anak (PBB, 1989). Suatu konsekuensi logis dari hak ini adalah bahwa semua anak mempunyai hak untuk menerima pendidikan yang tidak didiskriminasikan dengan dasar kecacatan, etnis, agama, bahasa, jenis kelamin, kemampuan dan lain lain (Tarmansyah, 2009). Terdapat banyak pengertian mengenai pendidikan inklusif. UNESCO menyatakan salah satu pengertian yang cukup komprehensif yaitu Pendidikan inklusif bukan hanya sebuah gagasan kecil terkait upaya mengintegrasikan siswa tertentu dalam pendidikan umum. Lebih dari itu, pendidikan inklusif adalah sebuah pendekatan yang mengupayakan perubahan dalam sistem yang bebas hambatan dan
37
mendorong semua siswa agar terlibat secara penuh dalam kegiatan pembelajaran. Hambatan tersebut berhubungan dengan latar belakang suku, gender, status sosial, kemiskinan, disabilitas, kebutuhan khusus, dan lain-lain. Pada umumnya, kelompok yang paling rentan terhadap diskriminasi dalam pendidikan adalah anak dengan
disabilitas dan/atau berkebutuhan khusus. Namun demikian, siswa
dengan kebutuhan khusus bukan merupakan kelompok masyarakat yang homogen. Oleh karena itu, dalam rangka memenuhi kebutuhan semua anak yang beragam, sekolah dan penyelenggara pendidikan lain harus menerapkan sistem yang fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan serta kemampuan semua anak. Lebih lanjut sekolah dan penyelenggara pendidikan tersebut juga harus proaktif daam mencari informasi terkait anak-anak yang belum mendapatkan layanan pendidikan (ASB, 2011). Dari definisi mengenai pendidikan inklusif diatas, perlu diingat bahwa pendidikan atau sekolah inklusif bukan sebuah sekolah bagi siswa yang memiliki kebutuhan khusus melainkan sekolah yang memberikan layanan efektif bagi semua (education fol all). Dengan kata lain menurut Watterdal dalam Wiyono (2011) pendidikan inklusif adalah pendidikan di mana semua anak dapat memasukinya, kebutuhan setiap anak diakomodir atau dirangkul dan dipenuhi bukan hanya sekedar ditolerir. Permendiknas No.70 tahun 2009 Pasal 4 Ayat 1 menegaskan bahwa Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit satu sekolah dasar, dan satu sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima
38
peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1). Selanjutnya diperjelas dalam Ayat 2 Pasal yang sama yaitu, Satuan pendidikan selain yang ditunjuk oleh kabupaten/kota dapat menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1). Perbedaan pendidikan inklusif dengan pendidikan reguler yaitu pada pendidikan inklusif peserta didiknya adalah peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang ada di sekolah reguler. Sehingga kurikulum, tenaga guru, sarana dan prasarana, lingkungan belajar dan proses pembelajarannya harus dirancang sedemikian rupa untuk memungkinkan semua peserta didik dapat mengembangkan potensinya. Sementara untuk sekolah reguler, pada umumnya peserta didik dalam pendidikan umum atau pendidikan reguler adalah peserta didik normal, sehingga kurikulum, tenaga guru, sarana dan prasarana, lingkungan belajar dan proses pembelajarannya dirancang untuk anak normal. Sedangkan perbedaan Pendidikan Inklusif dengan Pendidikan Terpadu terletak pada sistem pendidikan yang ada di sekolah tersebut. Pendidikan terpadu merupakan pendidikan yang memberi kesempatan kepada peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Sekolah terpadu, peserta didiknya mengikuti sistem yang ada di sekolah reguler. Sedangkan pendidikan inklusif, sistem pendidikan yang digunakan menyesuaikan dengan kebutuhan peserta didiknya.
39
Dalam sekolah inklusif ada dua kategori siswa yaitu siswa yang tidak memiliki ketidakmampuan (non difabel) dan siswa yang memiliki ketidakmampuan (difabel). Berdasarkan kemampuan intelektualnya, peserta didik berkebutuhan khusus atau yang disebut juga dengan peserta didik berkelainan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata, dan peserta didik berkelainan yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Kelompok yang pertama merupakan peserta didik yang dapat mengikuti pendidikan inklusif. Hal ini sesuai dengan Lampiran Peraturan Menteri No.22 Tahun 2006 yang berbunyi: Peserta didik pendidikan inklusif adalah peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata yang berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang pendidikan tinggi. Berkelainan dalam hal ini adalah tunanetra, tunarungu, tunadaksa ringan, dan tunalaras. Anak berkebutuhan khusus dalam pendidikan inklusif terdiri dari beberapa jenis. Secara garis, jenis kebutuhan khusus tersebut, sebagaimana yang dikemukakan Hallahan dan Kauffman, Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa dan Hadiyanto dalam Wiyono (2011) adalah: a. Tunanetra b. Tunarungu c. Tunadaksa d. Anak yang berbakat/memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa e. Tunagrahita f. Anak yang lamban belajar (slow learner) g. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik
40
h. Tunalaras i. Tunawicara j. Autisme k. ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) l. Cerebral Palsy (CP) atau lumpuh otak m. Anak korban narkoba serta HIV/AIDS
2.
Landasan Pendidikan Inklusif
Ada tiga landasan yang harus dijadikan acuan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Keempat landasan tersebut antara lain landasan filosofis, landasan religi, landasan historis, dan landasan yuridis (Wiyono, 2011). a.
Landasan Filosofis
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia baik secara vertikal atau perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan sebagainya, maupun secara horisontal atau perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya. Keunggulan dan kekurangan juga merupakan suatu bentuk kebhinnekaan seperti halnya ras, suku, agama, latar budaya, dan sebagainya. Bertolak dari filosofi ini pendidikan yang ada harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi siswa yang beragam.
41
b.
Landasan Historis
Masa masa awal. Pada awalnya, masyarakat bersikap acuh tak acuh bahkan menganggap sebagai sampah dan menolak, orang-orang yang memiliki ketidakmampuan (disability) tertentu (Olsen&Fuller, 2003:161) dalam Wiyono (2011). Zaman purbakala dan pada zaman pertengahan. Pada masa ini, muncul seorang fisikawan yakni Hippokrates (460-377 SM) yang mulai mendobrak paradigma lama dengan menggagas bahwa berbagai permasalahan emosional lebih merupakan kekuatan natural daripada kekuatan supra natural sebagaimana yang selama ini diyakini. Lebih tegas lagi pada tahun 427-347 SM, Plato, seorang filosof besar Yunani, yang merupakan murid Socrates, mengatakan bahwa mereka yang tidak stabil secara mental tidak bertanggungjawab atas perilaku mereka. Gagasan kedua tokoh besar ini membawa perubahan. Hal ini terbukti dalam abad pertengahan. Dimana dalam abad itu, muncul berbagai kelompok religious yang memberikan pelayanan dan tempat tinggal bagi mereka yang diabaikan oleh keluarganya (Olsen&Fuller, 2003:161) dalam Wiyono (2011). Abad Sembilan belas dan abad dua puluh (masa transisi). Seperti yang diungkapkan oleh Olsen&Fuller (2003:162) dalam Wiyono (2011) bahwa dalam abad ini, masyarakat semakin terbuka bagi mereka
yang mengalami
ketidakmampuan tertentu. sejak abad sembilan belas di Amerika Serikat telah berdiri sekolah bagi mereka yang buta dan tuli. Watterdal dalam Wiyono (2011) mengatakan bahwa pencetusan pendidikan inklusif ini terjadi karena selama jangka waktu yang cukup lama, para siswa
42
penyandang cacat dididik secara ekslusif. Dengan kata lain, mereka tetap diperlakukan sebagai orang-orang yang bukan merupakan bagian dari masyarakat. Akibatnya, masyarakat umum masih merasa aneh dengan kehadiran mereka. Tidak hanya itu, penggunaan sistem integrasi yang telah diterapkan dulu juga meninggalkan berbagai persoalan. Sistem integrasi mengandung makna bahwa siswa penyandang cacat diikutkan ke dalam sekolah reguler setelah anak tersebut mengikuti kelas khusus dan dianggap siap untuk mengikuti suatu kelas di sekolah reguler. Sayangnya, disana mereka sering ditempatkan dalam suatu kelas berdasarkan tingkat keberfungsiannya dan pengetahuannya bukan menurut usianya. Misalnya kita dapat menemukan anak berusia 12 tahun berada di kelas satu. Karena situasi tersebut dan semakin munculnya kesadaran akan kesamaan hak dan martabat sebagai manusia maka disuarakanlah hak anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan hak dan pelayanan yang sama. Sampai pada tahun 1994 hal itu dikukuhkan dengan adanya Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusif oleh UNESCO. c.
Landasan Yuridis
Landasan yuridis memiliki hirarki dari undang-undang dasar, undang-undang, peraturan pemerintah, kebijakan direktur jendral, peraturan daerah, kebijakan direktur, hingga peraturan sekolah. Juga melibatkan kesepakatan-kesepakatan internasional yang berkenaan dengan pendidikan. Adapun landasan yuridis pendidikan inklusif dalam Wiyono (2011) sebagai berikut: Instrumen Internasional
43
a. 1948: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia b. 1989: Konvensi PBB tentang Hak Anak c. 1990: Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (Jomtien) d. 1993: Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para Penyandang Cacat e. 1994: Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus f. 1999: Tinjauan 5 tahun Salamanca g. 2000: Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia (Dakar) h. 2000: Tujuan Pembangunan Millenium yang berfokus pada Penurunan Angka Kemiskinan dan Pembangunan i. 2001: Flagship PUS tentang Pendidikan dan Kecacatan Instrumen Nasional a. UUD 1945 (amandemen) pasal 31 b. UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3, 5, 32, 36 ayat (3), 45 ayat (1), 51, 52, 53. c. UU No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 5 d. Deklarasi Bandung (Nasional) ”Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif” 8-14 Agustus 2004 e. Deklarasi Bukit Tinggi (Internasional) Tahun 2005 f. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Nomor 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 tentang pendidikan inklusif g. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
44
3.
Tujuan Pendidikan Inklusif
Tujuan pendidikan inklusif mengacu kepada UU No 20 tahun 2003, Sisdiknas Pasal 1 ayat 1: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi pribadinya untuk memiliki kekuatan sepiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan tujuan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah tahun 2003, tentang pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus (RPP-PK dan PLK) Bab II pasal 2 mengemukakan mengenai tujuan pendidikan bahwa pendidikan bagi peserta didik berkelainan bertujuan mengembangkan potensi peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional dan atau sosial agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab. Sementara itu dalam Pasal 12 mengenai Pendidikan Terpadu dan Inklusi yaitu: 1. Pendidikan Terpadu dan Inklusi bertujuan memberi kesempatan kepada peserta didik berkelainan untuk mengikuti pendidikan secara terintegrasi melalui sistem persekolahan reguler dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan pendidikan. 2. Pendidikan Terpadu dan Inklusi dapat diselenggarakan pada satuan pendidikan dasar, menengah dan tinggi.
45
3. Penyelengaraan Pendidikan Terpadu dan Inklusi dapat melibatkan satu atau beberapa jenis peserta didik berkelainan sesuai dengan kemampuan sekolah. 4. Sekolah yang menyelenggarakan Pendidikan Terpadu dan Inklusi perlu menyediakan tenaga serta sarana dan prasarana khusus yang diperlukan peserta didik berkelainan. 5. Peserta didik yang mengikuti Pendidikan Terpadu dan Inklusi berhak mendapat penilaian secara khusus sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan khusus peserta didik yang bersangkutan. 6. Pemerintah mengupayakan insentif bagi sekolah yang menyelengarakan Pendidikan Terpadu dan Inklusi. 7. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur oleh Menteri dan atau Pemerintah Daerah.
Tujuan pendidikan inklusif menurut peraturan menteri pendidikan nasional nomor 70 tahun 2009 pasal 2 yaitu: (1) Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya; (2) Mewujudkan
penyelenggaraan
pendidikan
yang
menghargai
keanekaragaman, dan tindak diskriminatif bagi semua peserta didik sebagaimana yang dimaksud pada huruf a.
Tujuan pendidikan inklusif
yang terdapat dalam panduan standar pelayanan
minimum penyelenggaraan pendidikan inklusif, adalah untuk memastikan bahwa
46
semua anak memiliki akses terhadap pendidikan yang baik, relevan, sesuai dengan kemampuan dan efektif di dalam komunitas mereka. Pendidikan yang dimaksud dalam hal ini adalah pendidikan di dalam keluarga, pendidikan formal, pendidikan non formal, dan segala jenis pendidikan berbasis masyarakat lainnya. Dalam ranah sekolah formal pendidikan inklusif merupakan pendekatan yang bertujuan untuk
mengembangkan
pendidikan
yang
berpusat
pada
anak
dengan
mempertimbangkan bahwa anak merupakan individu yang memiliki kebutuhan dan kecepatan dalam belajar yang berbeda-beda. Dari beberapa tujuan pendidikan inklusif diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam konteks Indonesia Pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian, baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik.
4.
Manfaat Pendidikan Inklusif
Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) menyatakan beberapa alasan terkait dengan aspek pendidikan dan sosial tentang keutamaan pendidikan inklusif, sebagai berikut: a.
Semua anak mempunyai hak yang sama untuk tidak didiskriminasikan dan memperoleh pendidikan yang bermutu.
47
b.
Semua anak mempunyai kemampuan untuk mengikuti pelajaran tanpa melihat kelainan dan disabilitasnya.
c.
Perbedaan merupakan penguat dalam meningkatkan mutu pembelajaran bagi semua anak.
d.
Sekolah dan guru mempunyai kemampuan untuk belajar merespon dari kebutuhan pembelajaran yang berbeda.
Pada sisi lain, ternyata pendidikan inklusif tidak hanya bermanfaat bagi anak berkebutuhan khusus, tetapi juga bermanfaat bagi pihak lain yang terlibat di dalamnya. Pernyataan yang menyebutkan bahwa pendidikan inklusif akan menambah beban kerja bagi guru karena mereka harus memenuhi kebutuhan semua anak tidak sepenuhnya benar. Sebaliknya, para guru memperoleh keuntungan
dari
penyelenggaraan
pendidikan
inklusif
terutama
dalam
pengembangan kapasitas mengajar. Melalui proses pembelajaran yang inklusif, guru akan termotivasi untuk mengeksplorasi ide dan inovasi guna merespon kebutuhan individu semua anak dengan lebih baik dan efektif. Karena proses pembelajaran inklusif terbuka dalam berkomunikasi dan menerima masukan dengan/dari pihak luar, maka ide-ide dan inovasi kreatif tersebut dapat saja timbul dari hasil konsultasi guru denga pihak lain termasuk guru SLB, pakar pendidikan, orang tua, dan sebagainya. Jika kapasitas guru meningkat, maka pandangan negatif terhadap sekolah inklusif tidak akan terbukti. Lebih jauh, pendidikan inklusif dapat mempromosikan kesuksesan sekolah dalama mengembangkan kapasitas, baik kapasitas guru maupun siswa dengan minimalisir hambatan dalam proses belajar mengajar. Selain itu, kualitas pendidikan terjamin karena
48
keterbukaan sekolah terhadap konsultasi dan masukan dengan/dari internal sekolah maupun pihak luar. Terkait dengan aspek ekonomi, sebuah jurnal umum mengenai pendidikan inklusif menyebutkan keutamaan pendidikan inklusif dari segi ekonomi yaitu, Membangun dan memelihara sekolah yang mendidik semua anak secara bersamasama akan lebih hemat bila dibandingkan dengan membangun sebuah sistem pendidikan yang kompleks yang terdiri dari berbagai jenis sekolah dan diperuntukan
untuk
kelompok-kelompok
anak
tertentu.
Sekolah
inklusi
menawarkan efektifitas dalam pencapaian pendidikan untuk semua yang hemat biaya.
Ditinjau dari aspek plurarisme, pendidikan inklusif memberikan ruang untuk terciptnya keharmonisan di dalam keberagaman Bangsa Indonesia. Indonesia merupakan negara pluralis yang terdiri atas beragam agama, ras, suku, bahasa, tingkat sosial dan sebagainya. Pendidikan inklusif memberikan kesempatan bagi semua anak dengan beragam latar belakang tersebut untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang sesuai. Pendidikan iklusif juga menanamkan kepada anak mengenai nilai-nilai perbedaan yang berkontribusi pada terjaganya persatuan bangsa Indonesia di masa yang akan datang. Filosofi yang menjunjung tinggi nilai keberagaman ini juga tercermin pada motto bangsa Indonesia yakni Bhinneka Tunggal Ika (Tim ASB, 2011).
49
5.
Model Pendidikan Inklusif
Dalam
Pedoman
Penyelenggaraan
Pendidikan
Inklusif
Sesuai
dengan
Permendiknas No. 70 Tahun 2009, Pendidikan Inklusif memiliki beberapa model, yakni: a.
Kelas Reguler Penuh (Inklusi Penuh) Di kelas reguler penuh peserta didik berkebutuhan khusus belajar bersamasama peserta didik reguler. Kurikulum standar nasional yang berlaku bagi peserta didik reguler juga berlaku bagi peserta didik berkebutuhan khusus.
b.
Kelas Regular dengan Guru Pembimbing Khusus Di Kelas reguler dengan Guru pembimbing khusus peserta didik berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan peserta didik reguler dengan
menggunakan
kurikulum
standar
nasional,
namun
peserta
berkebutuhan khusus memperoleh layanan khusus dari guru/GPK. Model pengelolaannya adalah: (1) Jika pada saat pembelajaran di kelas terdapat GPK, maka guru kelas/guru mata pelajaran melaksanakan pembelajaran klasikal pada umumnya, juga menerapkan pembelajaran individual untuk materi tertentu disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Contoh: mengajarkan peta Indonesia kepada tunanetra, maka guru harus menyediakan peta timbul; (2) GPK selama pembelajaran berlangsung berperan sebagai pendamping (mengarahkan dan membimbing) peserta didik berkebutuhan khusus agar dapat mengikuti dan berpartisipasi dalam pembelajaran.
50
c.
Kelas Khusus di Sekolah Regular Kelas khusus merupakan salah satu sistem layanan di sekolah inklusif dengan cara memisahkan peserta didik berkebutuhan khusus di kelas tersendiri dari peserta didik regular. Sebagian besar pelaksanaan pembelajaran mereka di kelas tersendiri tersebut. Untuk beberapa kegiatan/program pembelajaran tertentu mereka diikutsertakan di kelas regular.
Ma’ruf (2009) mengemukakan setiap sekolah inklusi dapat memilih model mana yang akan diterapkan, terutama bergantung pada: a.
Jumlah anak berkebutuhan khusus yang akan dilayani
b.
Jenis kelainan masing-masing anak
c.
Tingkat kelainan anak
d.
Ketersediaan dan kesiapan tenaga kependidikan
e.
Sarana dan prasarana yang tersedia
E. Kerangka Pikir Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia alinea ke empat menyatakan bahwa tujuan dibentuknya negara Indonesia salah satunya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa inilah diperlukan layanan pendidikan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam pasal 31 ayat (1) bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Jadi setiap warga negara tanpa terkecuali berhak atas pendidikan dan pengajaran. Manusia diciptakan Tuhan dengan keadaan yang berbeda-beda, baik itu dari segi fisik maupun psikis. Dalam dunia pendidikan pun demikian, terdapat perbedaan
51
kemampuan pada setiap individu. Yang terpenting adalah bahwa pemerintah harus menyediakan layanan pendidikan untuk anak-anak bangsa tersebut. Inilah yang disebut dengan konsep education for all atau pendidikan untuk semua. Maksudnya adalah bahwa pemerintah wajib mengakomodasi keberagaman kebutuhan siswa yang normal maupun yang memiliki kebutuhan khusus. Sebagaimana yang terdapat dalam Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pasal 5, ayat 1 yang menegaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Namun dalam pelaksanaannya, kebijakan pendidikan di Indonesia belum mampu untuk menjangkau semua anak usia sekolah untuk bisa mendapat layanan pendidikan yang memadai. Hal ini terlihat dari masih banyaknya anak berkebutuhan
khusus
yang
belum
dapat
mengakses
sekolah.
Untuk
mengakomodir anak-anak berkebutuhan khusus dalam sistem pendidikan nasional, diterbitkanlah Permendiknas no 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Pendidikan inklusif menurut Permendiknas nomor 70 tahun 2009 pasal 1, merupakan sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memliki potensi kecerdasan
dan/atau
bakat
istimewa untuk
mengikuti
pendidikan atau
pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Tujuan dari pendidikan inklusif ini adalah untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang
52
memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Kota Metro merupakan salah satu dari empat kota di Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan inklusif. Sebagai langkah awal diterbitkan Peraturan Walikota Metro nomor 34 tahun 2012 tentang penyelenggaran pendidikan inklusif di Kota Metro. Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam keseluruhan struktur kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan. Begitu juga dengan progam Pendidikan Inklusif ini, program ini harus diimplementasikan karena melalui prosedur ini proses kebijakan secara keseluruhan dapat dipengaruhi oleh tingkat keberhasilan atau tidaknya pencapaian tujuan. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan publik dipengaruhi oleh variabel yang mempengaruhi kebijakan publik itu sendiri. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan model implementasi kebijakan publik Donald Van Metter dan Carl Van Horn yang melihat suatu implementasi kebijakan publik ditentukan oleh enam variabel yang mempengaruhi kebijakan publik. Enam variabel tersebut yaitu Ukuran dan tujuan kebijakan, Sumber daya, Karakteristik agen pelaksan, Sikap/kecenderungan (disposition) para pelaksana, Komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana, Lingkungan ekonomi, sosial, dan politik. Secara jelas kerangka pikir bisa dilihat pada bagan berikut:
53
Bagan 2.3 Kerangka Pikir
Konsep education for all Banyaknya anak berkebutuhan khusus yang belum dapat mengakses sekolah
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 tahun 2009
Peraturan Walikota Metro No.34 tahun 2012
Implementasi Kebijakan Publik Model Van Meter Van Horn (Agustino, 2008:141)
Pendidikan Inklusif di Kota Metro
1. 2. 3. 4. 5. 6.
(Sumber: Diolah oleh peneliti, 2014)
Ukuran dan tujuan kebijakan Sumber daya Karakteristik agen pelaksana Sikap/kecenderungan (disposition) para pelaksana Komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana Lingkungan ekonomi, sosial, dan politik