3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Terak Baja 2.1.1. Sejarah dan Definisi Terak Baja Pemakaian terak baja sebagai pupuk telah mulai dicoba sejak tahun 1882/1883 di Jerman, kemudian pada tahun 1884/1885 di Inggris oleh Wrightson. Setelah itu beberapa penelitian terak baja dilakukan baik sebagai sumber silikat maupun sebagai bahan kapur atau untuk tujuan meningkatkan keefisienan pemupukan (Farrar, 1962 dalam Allorerung, 1988). Sejak terak baja menarik perhatian sebagai salah satu bahan pupuk atau perbaikan tanah, penelitian intensif dilakukan. Penggunaan terak baja sebagai pupuk bermula dari pertimbangan akan peranan silikat yang dikandungnya. Terak baja adalah produk sampingan dari proses pemurnian besi cair dalam pembuatan baja. Terak baja mengandung unsur-unsur utama seperti Ca, Mg dan Si. Terdapat beberapa macam jenis terak baja, antara lain blast furnace slag, converter slag dan electric furnace slag. Jenis terak baja ditentukan berdasarkan metode yang digunakan ketika proses pembuatan baja. Metode yang umum digunakan untuk pembuatan terak baja adalah blast furnace dan converter. Berkat kemajuan di bidang industri dan ilmu pengetahuan, maka hasil sampingan tersebut (terak baja) dapat dimanfaatkan sebagai bahan pupuk tanpa melalui proses pembuatan yang khusus sebagai pupuk (Soepardi dan Suwandi, 1981). Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan hasil yang positif terhadap penggunaan terak baja. Menurut Barber (1967), terak baja (steel slag) dalam bidang pertanian berguna untuk menetralkan kemasaman tanah, menurunkan unsur mangan (Mn) dalam tanah, sebagai sumber silikat dan meningkatkan jumlah fosfat dalam tanah karena mengandung 5-10% fosfat tersedia. Silva (1971) menyatakan bahwa terak baja mengandung 80% kalsium karbonat yang potensial untuk pengapuran. Hal ini sesuai dengan penelitian Allorerung (1988) dengan menggunakan terak baja pada Latosol Darmaga, didapatkan hasil bahwa tanggapan positif pemberian terak baja adalah pada tanah-tanah yang bereaksi masam dan kejenuhan Al yang rendah serta kejenuhan basa tergolong sedang.
4
2.1.2. Karakteristik Terak Baja Di Indonesia, terak baja belum banyak dikenal penggunaanya sebagai pupuk (Soepardi dan Suwandi, 1981). Terak baja yang berasal dari Indonesia setiap tahunnya diproduksi sekitar 350.000 ton, tetapi belum banyak yang digunakan untuk bidang pertanian (Mulyadi et al., 2001). Selama ini terak baja banyak digunakan sebagai bahan dasar pembentuk beton. Susunan kimia dari terak baja berbeda-beda, baik dalam jenis, unsur maupun kadarnya, tergantung pada bahan baku dan cara pembuatan baja. Terak baja umumnya mengandung unsur utama Ca dan Si (Mulyadi et al., 2001). Selain itu, terak baja juga mengandung unsur lainnya yang terdapat dalam jumlah sedikit seperti: Mn, Zn, Cu, dan Mo sehingga bahan ini memungkinkan digunakan sebagai pupuk (Boxus, 1965). Hasil penelitian Suwarno dan Goto (1997) menunjukkan bahwa terak baja Indonesia mengandung 42.6% Fe2O3, 7.21% Al2O3, 21.6% CaO, 11.6% MgO, 14.6% SiO2 dan 0.37% P2O5 dan menurut Sumawinata et al. (2010) terak baja Jepang mengandung 8.12% Fe2O3, 2.05% Al2O3, 53.36% CaO, 2.86% MgO, 6.57% SiO2 dan 0.84% P2O5.
2.1.3. Logam Berat dalam Terak Baja Logam berat merupakan istilah yang digunakan untuk unsur-unsur transisi yang mempunyai densitas lebih dari 5 g/cm3 (Fardiaz, 1992 dalam Sudarmadji et al., 2006). Penggunaan terak baja dianggap sebagai limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) diatur dalam PP No. 85 tahun 1999. Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) adalah setiap bahan yang konsentrasi, jumlah dan sifatnya baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan atau merusak lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lainnya (Pasal 1 (17) UU No. 23 1997). Darmono (1995) menyatakan limbah yang mengandung As, Cd, Pb dan Hg selain berasal dari limbah penggunaan batu bara dan minyak juga berasal dari limbah pabrik peleburan besi dan baja, pengabuan sampah, pabrik produksi semen dan limbah dari penggunaaan logam yang bersangkutan untuk hasil produksinya (pabrik baterai atau aki, listrik, pigmen atau cat warna atau tekstil, pestisida, gelas, keramik dan lain-lain).
5
Tanaman memerlukan unsur mineral dari dalam tanah sebagai unsur nutrisi dalam jumlah yang sedikit tetapi peka terhadap kandungan logam berat yang tinggi. Akumulasi logam berat dalam tanaman tidak hanya tergantung pada kandungan logam dalam tanah, tetapi juga tergantung pada unsur kimia tanah, jenis logam, pH tanah dan spesies tanaman yang sensitif terhadap logam berat tertentu (Darmono, 1995). Selanjutnya Alloway (1990) dalam Darmono (2005) mengemukakan bahwa tanaman menjadi mediator penyebaran logam berat pada makhluk hidup dan tanaman menyerap logam berat melalui akar dan daun (stomata). Logam berat terserap ke dalam jaringan tanaman melalui akar yang selanjutnya akan masuk ke dalam siklus rantai makanan.
2.2. Bahan Organik 2.2.1. Pengertian dan Sumber Bahan Organik Bahan organik tanah adalah semua fraksi bukan mineral yang ditemukan sebagai komponen penyusun tanah, biasanya merupakan timbunan dari setiap sisa tumbuhan, binatang dan jasad mikro baik yang sudah terdekomposisi sebagian atau seluruhnya. Sumber asli bahan organik adalah jaringan tumbuhan. Di alam, daun, ranting, cabang, batang dan akar tumbuhan menyediakan sejumlah bahan organik tiap tahunnya. Pelapukan sisa tumbuhan dan bahan organik merupakan reaksi enzimatik yang sangat berpengaruh terhadap sifat kimia, fisik dan biologi pada tanah (Soepardi, 1983). Hasil penelitian Syukur dan Harsono (2008) menambahkan fungsi penting bahan organik lainnya adalah memperbaiki struktur tanah dan daya simpan air, menyuplai nitrat, sulfat dan asam organik untuk menghancurkan material, menyuplai nutrisi, meningkatkan KTK dan daya ikat hara serta sebagai sumber karbon, mineral dan energi bagi organisme. Menurut Susanto (2002) bahan organik yang ditambahkan ketanaman tergantung pada sifat bahan, pertanaman, aras produksi dan situasinya. Semua bahan organik mengandung air, bahan mineral (abu) dan senyawa organik. Kandungan air berkisar antara 20-90% dari berat basah tanaman. Kandungan bahan mineral (abu) meliputi K, Ca, Mg, Na, P dan S serta unsur mikro kurang lebih 1-10% berat kering sedangkan senyawa organik menyusun <50% berat segar tanaman dan sangat dipengaruhi oleh kandungan air dan abu.
6
2.2.2. Bahan Organik (Pupuk Kandang) Pupuk kandang merupakan sumber bahan organik dan terdiri dari campuran kotoran padat, air seni, campuran dan sisa makanan ternak. Susunan kimia dari pupuk kandang berbeda-beda tergantung dari : (1) spesies ternak, (2) umur dan keadaan ternak, (3) sifat dan jumlah campuran dan (4) cara penanganan dan penyimpanan pupuk sebelum dipakai (Soepardi, 1983). Susanto (2002) mengemukakan pupuk organik (pupuk kandang) merupakan bahan pembenah tanah yang paling baik dibanding bahan pembenah lainnya. Pada umumnya nilai hara yang dikandung pupuk organik (pupuk kandang) rendah terutama unsur makro nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K) rendah. Lingga (1986) menyatakan bahwa komposisi hara makro dari pupuk kandang terdiri dari 0.5% N, 0.25% P2O5 dan 0.5% K2O. Kandungan hara dari pupuk kandang relatif lebih rendah dibandingkan dengan pupuk buatan (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004). Pupuk kandang dapat memberikan energi bagi kehidupan mikroorganisme tanah, menambah inokulum ke dalam tanah, serta memperbaiki kondisi lingkungan terutama aerasi dan kelembaban tanah. Pupuk kandang yang diberikan ke dalam tanah dengan nisbah C/N lebih dari 30 segera diubah secara cepat oleh mikroorganisme heterotropik seperti bakteri, fungi dan aktinomicetes.
2.3. Karakteristik Tanah Latosol Di Indonesia, tanah Latosol berada pada ketinggian 900 meter di atas permukaan laut (dpl), di sekeliling kipas volkan dan kerucut volkan. Area Latosol beriklim basah dan tropikal, curah hujan antara 2500 mm sampai 7000 mm (Dudal dan Soepraptohardjo, 1957). Latosol adalah tanah yang penyebarannya luas di Indonesia dan menempati area seluas 9% dari daratan Indonesia (Soepardi, 1983). Tanah ini diantaranya dijumpai di daerah Darmaga, kabupaten Bogor. Latosol coklat kemerahan yang kebanyakan terdapat di Bogor termasuk ke dalam order Inceptisol menurut sistem klasifikasi USDA terletak pada zona fisiografi Bogor bagian barat, dengan bahan induk vulkanik kuarter berasal dari Gunung Salak (Yogaswara, 1977).
7
Menurut Dudal dan Soepraptohardjo (1957) Latosol merupakan kelompok tanah yang mengalami proses pencucian dan pelapukan lanjut, perbedaan horizon tidak jelas, memiliki hara dan pH rendah (4.5-5.5), kandungan bahan organik relatif rendah, konsistensinya lemah dan stabilitas agregatnya tinggi, terjadi akumulasi seskuioksida dan pencucian silika. Warna tanah merah, coklat kemerah-merahan atau kekuning-kuningan atau kuning tergantung dari komposisi bahan induk, umur tanah, iklim dan elevasi. Batas membedakan Latosol adalah berdasarkan warna horizon B seperti Latosol merah, Latosol kekuningan, Latosol coklat kemerahan, Latosol coklat (Subardja dan Buurman, 1990). Tanah ini umumnya mempunyai epipedon umbrik dan horizon kambik (Hardjowigeno, 2003). Selanjutnya Soepardi (1983) menambahkan bahwa kapasitas tukar kation pada tanah Latosol yang rendah lebih disebabkan oleh kadar bahan organik yang kurang dan sebagian lagi oleh sifat liat hidro-oksida, sehingga tanah Latosol ini miskin hara dan basa-basa yang dapat dipertukarkan. Tanah-tanah ini biasanya memberikan respon yang baik terhadap pemupukan dan pengapuran. Sifat lain yang menonjol dan penting dari Latosol adalah terbentuknya keadaan granular. Keadaan itu merangsang drainase dalam yang sangat baik. Selanjutnya, liat hidro-oksida tidak mempunyai sifat plastisitas dan kohesi yang menjadi ciri liat silikat di daerah sedang sehingga memungkinkan tanah Latosol dapat segera diolah setelah hujan lebat tanpa memikirkan fisik tanah yang tidak memuaskan (Soepardi, 1983).
2.4. Karakteristik Tanaman Caisim Menurut Haryanto (2003) caisim (Brassica juncea) dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi
: Spermathophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Brassicales
Famili
: Cruciferae
Genus
: Brassica
Spesies
: Brassica juncea
8
Tanaman caisim dapat tumbuh baik di tempat yang berudara panas maupun berudara dingin sehingga dapat diusahakan di daerah dataran tinggi maupun dataran rendah. Syarat tumbuh caisim mulai dari ketinggian 5-1.200 m di atas permukaan laut dengan kondisi tanah gembur, pH 6-7, banyak mengandung humus, subur serta pembuangan airnya baik. Caisim varietas Tosakan dapat dipanen pada umur 22 hari setelah tanam, tinggi tanaman 40 cm, warna tangkai putih kehijauan, jumlah daun 12 helai, bentuk daun eliptik, memiliki potensi ratarata 400 gram per tanaman. Ciri yang paling khas caisim varietas Tosakan dibanding dengan tanaman caisim varietas lain adalah memiliki warna daun hijau muda sehingga rasa daun tidak pahit (East West Seed Indonesia, 2006). Hasil penelitian Sulistyaningsih (2003) mengemukakan bahwa upaya merekayasa mikroklimat untuk mencapai pertumbuhan optimum tanaman caisim dapat dilakukan dengan penanaman caisim di dalam rumah tanam (greenhouse) yang berupa rumah kaca, rumah plastik atau rumah kassa. Hal ini dilakukan selain dapat menahan pukulan air hujan dan serangan hama, bangunan ini juga dapat mengoptimalkan penggunaan pupuk daun, pestisida, mengawetkan lengas tanah dan menaikkan suhu dimalam hari. Penyakit yang menyerang tanaman ini adalah busuk basah erwina (akar pekuk), yang dapat menjadi parah jika tanaman terluka pada waktu kegiatan budidaya. Penyakit akar pekuk dapat menjadi sangat parah dan menyebabkan pertumbuhan kerdil yang nyata, tetapi penyakit bercak daun Alternaria biasanya tidak menjadi masalah. Penyakit rebai semai (Phythium spp) akan merusak jika tanaman terlalu banyak diairi. Tanaman ini merupakan tanaman yang cepat tumbuh, oleh karena itu pemeliharaan bedengan benih yang bersih merupakan satu-satunya persyaratan untuk mengendalikan gulma (Williams, 1993).
2.5. Analisis Tanaman Analisis tanaman dalam arti sempit adalah penetapan konsentrasi suatu unsur atau suatu fraksi unsur yang dapat diekstrak dari contoh tanaman dari bagian tanaman tertentu dalam waktu tertentu dari bagian perkembangan morfologi tanaman. Konsentrasi biasanya ditetapkan atau dikonversikan dalam bahan kering. Dalam arti luas, dapat meliputi analisis komponen organik seperti
9
asam amino dan asam-asam organik lainnya yang dapat ditentukan berdasarkan konsentrasi hara dalam tanaman sebagai nilai dari seluruh faktor yang mempengaruhinya. Tujuan analisis tanaman adalah untuk mendiagnosis atau memperkuat diagnosis gejala yang terlihat, mengidentifikasi gejala yang terselubung, mengetahui kekurangan hara sedini mungkin, menunjukkan bagaimana hara diserap tanaman, mengetahui interaksi atau antagonisme diantara hara, membantu memahami fungsi hara dalam tanaman dan membantu dalam mengidentifikasi masalah (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004). Tanaman dapat dianalisis dari berbagai senyawa organik dan anorganik, namun dalam pembicaraan di sini hanya senyawa anorganik yang akan dibahas. Menurut Aldrich (1973, dalam Leiwakabessy dan Sutandi, 2004) menyatakan umumnya ada dua jenis analisis tanaman, yaitu analisis total atau analisis kuantitatif (analisis kimia total atau analisis spektrografis) dan analisis semi kuantitatif (uji cepat jaringan tanaman). Masing-masing analisis menggunakan beberapa fase pertumbuhan tanaman dan bagian tanaman tertentu atau seluruh tanaman. Konsentrasi beberapa unsur hara berubah cepat dengan waktu dan kematangan fisiologis (Tyler dan Jorenz, 1962 dalam Leiwakabessy dan Sutandi, 2004). Komposisi hara tanaman tertentu tidak tetap selamanya, komposisi ini berubah dari bulan kebulan, bahkan pula bervariasi pada bagian-bagian tanaman itu sendiri (Jones, 1991 dalam Leiwakabessy dan Sutandi, 2004). Perbedaan konsentrasi hara dapat terjadi pada jenis tanaman, jenis varietas dan lingkungan yang berbeda. Jika salah satu faktor seperti suplai hara, temperatur atau kelembaban dalam tanah bervariasi, maka konsentrasi hara dalam tanaman akan bervariasi (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004).