5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Metode Pendugaan Cadangan Karbon Keberadaan karbon merupakan bagian penting dari siklus kehidupan di bumi. Ada empat reservoir karbon utama yaitu atmosfer, biosfer teresterial (daratan), lautan, dan sedimen. Beberapa dekade terakhir terjadi ketidak seimbangan neraca karbon global diakibatkan semakin bertambahnya populasi manusia. Pemanenan karbon melalui perubahan penggunaan lahan, pembakaran biomassa, penambangan bahan bakar fosil dan pencemaran di laut menyebabkan peningkatan jumlah karbon di atmosfer. Bagian terbesar dari karbon yang berada di atmosfer adalah gas karbon dioksida (CO2), metan (CH4) dan kloroflorokarbon (CFC merupakan gas artifisial atau buatan). Gas-gas tersebut adalah gas rumah kaca yang berperan dalam pemanasan global (Yulianti, 2009). Cadangan karbon pada ekosistem teresterial (daratan) terbagi menjadi karbon diatas permukaan dan karbon di bawah permukaan atau dalam tanah. Karbon di atas permukaan tanah meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan gulma), nekromassa (bagian pohon atau tanaman yang sudah mati) dan serasah (bagian tanaman yang gugur berupa daun dan ranting). Karbon bawah permukaan meliputi biomassa akar dan bahan organik tanah (sisa tanaman, hewan dan manusia yang mengalami dekomposisi) serta hamparan lahan gambut (Hairiah dan Rahayu, 2007). Biomassa tanaman digunakan sebagai dasar untuk menduga karbon atas permukaan. Teknik untuk mengukur biomassa bisa dilakukan dengan metode destruktif dan menggunakan persamaan alometrik. Penggunaan metode destruktif sangat memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang panjang terutama jika dilakukan terhadap vegetasi hutan. Oleh karena itu salah satu metode pemecahannya dapat digunakan persamaan alometrik yang telah disusun dari tanaman yang sejenis. Persamaan ini menghubungkan biomassa tanaman dengan diameter dan tinggi tanaman (Pearson, Brown, Birdsey, 2007). Karbon atas permukaaan dapat diduga jika biomassa telah diketahui.
6
Metode pendugaan cadangan karbon atas permukaan dengan pendekatan biomassa merupakan salah satu metode yang bisa diterapkan (Gibbs et al., 2007). Biomassa dapat diduga melalui pengukuran lapangan yang intensif atau dikembangkan dengan persamaan alometrik yang telah disusun sebelumnya (Brown, 1997). Model pendugaan biomassa dapat disusun berdasarkan parameter tinggi dan diameter pohon (Johnsen et al., 2001). Persamaan alometrik merupakan persamaan yang menghubungkan dimensi-dimensi dari pohon dengan nilai biomassa pohon. Setiap tanaman yang berbeda akan memiliki pola yang berbeda untuk membentuk persamaan alometrik ini. Penyusunan persamaan alometrik untuk kelapa sawit yang telah dilakukan oleh Thenkabail et al. (2004) menghasilkan persamaan berikut : Berat Kering (kg) = 0,3747*tinggi (cm) + 3,6334 (R2= 0,9804) Tetapi persamaan tersebut disusun berdasarkan data biomassa dan dimensi kelapa sawit yang ditanam pada lahan mineral di Afrika. Sementara itu, pada lahan gambut persamaan alometrik yang didapatkan dalam penelitian Yulianti (2009) didapatkan persamaan sebagai berikut : Berat Kering (kg) = 2,24 exp-3*diameter1,85*tinggi0,68 (R2= 0,99) 2.2. Kelapa Sawit Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jacq) adalah jenis tanaman dari famili palmae dan sub famili Cocoideae yang mampu menghasilkan minyak nabati. Berdasarkan warna buah kelapa sawit dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu (i) nigrrescent dengan buah berwarna ungu tua pada buah mentah dan memiliki “topi” coklat atau hitam pada buah masak, (ii) virescens dengan warna hijau pada buah mentah dan orange tua pada buah masak, dan (iii) albenscens yang tidak memiliki warna. Berdasarkan ketebalan cangkang, kelapa sawit dikelompokkan menjadi Dura (tebal 2-8 mm), Tenera (tebal 0.5-4 mm), dan Pisifera (tidak bercangkang). Buah sawit bergerombol dalam tandan dan muncul dari tiap pelepah. Tiga lapisan yang terdapat pada buah sawit yaitu eksoskarp adalah bagian kulit buah yang berwarna kemerahan dan licin, mesokarp adalah serabut buah, dan endoskarp yang menjadi cangkang pelindung inti. Inti sawit sering disebut kernel merupakan endosperma dan embrio dengan kandungan minyak inti yang berkualitas tinggi (Ditjenbun, 2006).
7
Kelapa sawit merupakan tanaman yang berasal dari Afrika. Pertama kali diintroduksikan ke Indonesia oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1848, tepatnya di Kebun Raya Bogor (s’Lands Plantentuin Buitenzorg). Pada tahun 1911, K.Schadt seorang berkebangsaan Jerman dan M.Adrien Hallet berkebangsaan Belgia mulai mempelopori budidaya tanaman kelapa sawit. Schadt mendirikan perusahaan kelapa sawit di Tanah Ulu, sedangkan Hallet mendirikan di Pulu Raja (Asahan) dan Sungai Liput (Aceh). Sejak saat itulah, mulai dibuka perkebunan-perkebunan baru. Pada tahun 1938, di Sumatera diperkirakan sudah ada 90.000 ha perkebunan kelapa sawit (Pahan, 2008). Pohon kelapa sawit berbentuk silinder, pada tahun pertama atau kedua pertumbuhan membesar terlihat sekali pada bagian pangkal, di mana diameter batang bisa mencapai 60 cm. Setelah itu, batang akan mengecil, biasanya hanya berdiameter 40 cm, tetapi pertumbuhan tingginya menjadi lebih cepat. Pertambahan tinggi batang umumnya bisa mencapai 35-75 cm per tahun, tergantung pada keadaan lingkungan tumbuh dan keragaman genetik. Sistem perakaran kelapa sawit merupakan sistem akar serabut yang mengarah ke samping dan bawah, terdiri dari akar primer, sekunder, tersier, dan kuartener. Akar primer umummnya berdiameter 6-10 mm, keluar dari pangkal batang dan menyebar secara horizontal dan menghujam ke dalam tanah dengan sudut beragam. Akar primer bercabang membentuk akar sekunder yang diameternya 2-4 mm. Akar sekunder bercabang membentuk akar tersier yang berdiameter 0,7-1,2 mm dan umumnya bercabang lagi membentuk akar kuartener sedangkan akar tersier dan kuarter membentuk ikatan pada 30 cm lapisan atas tanah pada radius 1,5-2 m dari pohon kelapa sawit. Daun sawit mempunyai panjang antar 3-10 m dengan jumlah anakan daun sekitar 204-360 helai dan panjang 32-64 cm (Pahan, 2008). Hasil dari kelapa sawit berupa minyak sawit (CPO) dan minyak inti sawit dimanfaatkan sebagai bahan baku pangan emulsifier, margarine, minyak goreng, minyak makan merah, shortening, susu kental manis, es krim, dan yogurt. Sementara manfaatnya di bidang non pangan sebagai senyawa ester, lilin, kosmetik, farmasi, biodiesel, pelumas, asam lemak sawit, fatty alkohol bahkan pada industri baja. Produk sampingan (limbah) berupa tandan kosong sawit digunakan untuk pulp dan kertas, kompos, karbon dan rayon (www.FitAgri.com,
8
di unduh 4 Februari 2010). Sejak tingginya harga minyak bumi dan maraknya isu penekanan emisi karbon dari bahan bakar fosil (fossilfuel) maka pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan bakar nabati (biofuels) semakin meningkat. Perkebunan kelapa sawit sangat memberikan keuntungan secara ekonomi bagi negara. Pada tahun 2005, devisa yang diperoleh dari ekspor produk kelapa sawit di Indonesia mencapai US $ 4.513 juta (Ditjenbun, 2006). 2.3. Penyimpanan Karbon pada Lahan Gambut. Lahan Gambut merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai fungsi hidro-orologi dan fungsi ekologi lain yang penting bagi kehidupan seluruh makhluk hidup. Umumnya gambut terbentuk di daerah basah, beraerasi yang buruk seperti di daerah danau-danau yang dangkal, kolam, rawa dan daerah berlumpur dan hasil akhir dari eutrofikasi alamiah. Eutrofikasi adalah proses yang terjadi di daerah danau dangkal dan kolam yang terjadi pengkayaan unsur-unsur hara kemudian terisi oleh tanaman dan sisa bahan tanaman. Sisa-sisa tanaman terakumulasi di dasar danau yang dangkal dan kolam yang beraerasi dan berdrainase buruk sehingga perombakan yang terjadi tidak berjalan sempurna. Proses permulaan hingga terbentuknya gambut dinamakan paludisasi, yaitu proses geogenik (bukan pedogenik), yang dalam hal ini berupa akumulasi bahan organik mencapai ketebalan lebih dari 40 cm. Pada keadaan akumulasi bahan organik tersebut dapat dianggap suatu proses pembentukan bahan induk tanah gambut. Pada proses pembentukan dan perkembangan tanah gambut selanjutnya, bahan induk dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu; kelembaban, susunan bahan organik, kemasaman, aktivitas jasad renik dan waktu (Hardjowigeno, 1993). Hidrologi pada lahan gambut sangat berperan penting. Awal terbentuknya gambut tropik karena berada pada daerah yang selalu tergenang. Kondisi hidrologi pada lahan gambut merupakan fungsi dari : (i) keseimbangan antara air masuk dan air keluar, (ii) topografi tanah mineral yang menopang endapan gambut, dan (iii) keadaan musim yang dapat berpengaruh terhadap fluktuasi permukaan air genangan (Mitsch dan Gosselink, 1993). Apabila tidak terdapat kondisi anaerob yang menyebabkan lambatnya dekomposisi bahan organik maka tidak akan terbentuk gambut (Noor, 2001).
9
Ketebalan gambut dalam suatu bentang lahan tidak menunjukkan permukaan datar. Berdasarkan pengukuran (H), terdapat perbedaan tinggi antara permukaan bagian tengah dengan permukaan bagian tepinya sebesar 2,5 m (Sabiham, 2006). Pada umumnya topografi lahan gambut membentuk kubah (dome). Peningkatan ketebalan menuju kubah kurang 1 m setiap jarak 1 m. Contohnya, penampang melintang antara sungai Sebangau dan Sungai Bulan di Kalimantan Tengah sepanjang 24,5 km serta puncak kubah berjarak 16,5 m. Peningkatan ketebalan mencapai 4 m pada jarak 1–3 km dari pinggir Sungai Sebangau dengan ketinggian mencapai 4 m di atas permukaan sungai. Wilayah transisi dari hutan rawa campuran ke hutan tiang, pada jarak 3–6 km mempunyai ketebalan yang meningkat seiring peningkatan ketinggian permukaan dari sungai antara 6,25–9 m. Pada jarak 6–11 km yang merupakan wilayah hutan maka ketebalan gambut meningkat mencapai 10 m (Noor, 2001) Luas areal gambut di Indonesia merupakan areal terluas di daerah tropik. Bahan gambut tropika berasal dari akumulasi pepohonan dari hutan tropik sehingga sangat sulit untuk didekompisisi mengakibatkan gambut yang terbentuk menjadi sangat tebal. Neuzil (1997 dalam Noor, 2001) menyatakan bahwa laju penimbunan gambut di kawasan tropik lebih cepat tiga hingga enam kali dibandingkan dengan gambut di kawasan subtropik. Adapun unsur utama yang menjadi komposisi bahan organik yaitu C, H, dan O. Menurut (Suhardjo dan Widjaja, 1976 dalam Noor, 2001) melaporkan bahwa kandungan C organik gambut meningkat setiap peningkatan ketebalan. Pada gambut yang sangat dalam (>3 m) mengandung C organik sebesar 54,11 %, sedangkan gambut dangkal (0,5– 1 m) mengandung C organik sebesar 49,80 %. Gambut Kalimantan Tengah berkisar antara 53,1–57,8 % (Salampak, 1999). Apabila terjadi dekomposisi bahan organik tersebut maka akan melepaskan CO2 dan H2O. Selama ribuan tahun lahan gambut telah berperan penting untuk menjaga iklim global terutama pada era holosin. Pada ekosistem lahan gambut tropika terjadi siklus karbon. Sekitar 50 % total karbon akan digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman dalam proses fotosintesis. Sisa tanaman yang mati akan terdekomposisi kembali ke dalam sistem tanah menjadi sumber hara dan sebagian akan teremisi ke atmosfer
10
dalam bentuk CO2. Dalam kondisi normal siklus ini selalu membentuk keseimbangan karbon di biosfer. Kemampuan gambut yang besar dalam pemendaman karbon akan sangat efektif untuk mengatasi laju emisi karbon. Gorham (1991) menunjukkan bahwa fraksi karbon di lahan gambut tropika mencapai 528 000 Mt. Wojick (2005) menyatakan C-sequentration di lahan gambut dan lahan basah lainnya antara 0,1–0,7 Gt. Simpanan karbon bisa mencapai 70 Gt sedangkan kapasitas simpanan C mencapai 240-480 Gt atau sekitar 20% dari total secara global (Rieley et al., 1997). Melling et al. (2008) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa cadangan karbon yang dilakukan pada gambut dalam di Malaysia yaitu sebesar 3.771 ton C/ha. Besarnya karbon yang terkandung pada lahan gambut menjadikannya sebagai sumber (source) dan penyimpan (sink) karbon teresterial terbesar.