II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Koi Herpes Virus 2.1.1. Karakteristik Koi Herves Virus (KHV) Virus merupakan kompleks nucleoprotein, dan bersifat parasitik. Pada keadaan yang paling sederhana, virus terdiri atas satu molekul asam nukleat (RNA atau DNA, tidak pernah keduanya) dan suatu selubung protein. Virus memiliki ukuran yang sangat kecil sehingga tidak bisa dilihat dengan mikroskop cahaya, kebanyakan berukuran 30-100 nm, namun ada pula lebih besar seperti poxvirus (200-400 nm) dan fitovirus (lebih dan 1000 nm) (Voyle 2002).
Dalam
kehidupannya virus bersifat parasit intraseluler, tidak mempunyai metabolisme sendiri dan hanya dapat bereplikasi dengan bantuan sel-sel lain (inangnya), karena itu virus tidak dianggap sebagal organisme yang berdiri sendiri. Virus bersifat patogen karena dalam perkembangannya ia dapat mengganggu/merusak sel-sel inang sehingga menyebabkan terjadinya penyakit (Voyle 2002). Virus herpes merupakan salah satu jenis virus yang berbiak dalam inti sel inang dan membentuk badan inklusi yang disebut cowdry type A. Dalam penyebarannya virus herpes bergerak dari satu sel ke sel lainnya melalui jembatan antar sel karena bersatunya sel-sel (cell fusion), dengan demikian tidak ada kontak antara virus dengan lingkungan di luar sel (Malole 1988). Berdasarkan strukturnya morfologinya kelompok virus Herpesviridae terdiri atas genom DNA linier utas ganda yang dikemas dalam suatu kapsid ikosahedral, bagian kapsid ini dikelilingi oleh permukaan tegument proteinaceous dan pada bagian terluar terdapat selubung (amplop) (Waltzek et al. 2005). Dari sejumlah banyak virus DNA yang menyerang ikan, Herpesvirus merupakan jenis virus yang paling banyak ditemui, namun masih sedikit yang dapat diisolasi (Hedrick et al. 2000).
Salah satu virus dari kelompok
Herpesviridae yang menyerang kelompok ikan Cyprinidae yang telah berhasil diisolasi yaitu Cyprinid herpesvirus (CHV). Cyprinid herpesvirus (CHV) telah diisolasi dan kemudian didemonstrasikan oleh Sano (Hedrick et al. 2000) menyebabkan carp pox, yaitu kelainan kulit musiman yang dikarakterisasi melalui
5
keberadaan tumor pada sisik/mukus ikan mas (Cyprinus carpio). Sejak tahun tahun 1998, agen virus dari kelompok Herpesviridae yang lain telah menimbulkan wabah kematian yang hebat pada ikan mas dan koi (Cyprinus carpio), dengan kematian di kolam berkisar 80-100% (Pirelberg et al. 2003), dan sebaran wilayahnya menyeluruh meliputi, Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Italia, Belanda, Israel, Indonesia, Jepang dan Korea (Hedrick et al. 2000; Gilad et al. 2003; Ronen et al. 2003; Ilouze et al. 2006). Hedrick et al. (2000) berhasil melakukan isolasi terhadap agen virus tersebut pada kultur sel (Koi Fin cells-1), dan observasi yang lebih detail dengan menggunakan mikroskop elektron menunjukkan bahwa morfologi dan ukuran dari virus adalah konsisten ke dalam famili Herpesviridae (Hedrick et al. 2005). Virion virus tersebut tersusun atas suatu inner capsid dengan simetri ikosahedral dengan kisaran diameter 100-110 nm.
Dijelaskan pula bahwa virion virus
mempunyai tegument yang terletak diantara amplop dan nukleokapsid, sehingga diameter virion matang berkisar 170-230 nm. Berdasarkan morfologi dan ukurannya serta tahapan perkembangannya dalam inang, maka virus ini dinamai KHV (koi herpes virus). 2.1.2. Patogenitas dan Gejala Klinis Menurut Malole (1988), patogenitas merupakan studi tentang proses atau mekanisme terjadinya infeksi virus sampai menimbulkan penyakit, yang meliputi interaksi antara virus, inang dan lingkungan. Untuk menginfeksi suatu sel, pertama-tama virus harus kontak dengan permukaan sel, lalu masuk ke dalam dinding sel. Dijelaskan pula oleh Fenner et al. (1993) bahwa kulit merupakan permukaan tubuh terbesar, virus dari famili Herpesviridae dapat masuk melalui luka/lecet kecil pada permukaan kulit. Di dalam dinding sel virus membuka selubungnya untuk memungkinkan keluar dan bereplikasi. Virus herpes merupakan salah satu jenis virus yang berbiak dalam inti sel inang dan membentuk badan inklusi yang disebut cowdry type A. Memperoleh amplopnya sewaktu budding melalui membran inti sel. Penyebaran virus dari sel ke sel melalui jembatan antar sel karena bersatunya sel-sel (cell fusion). Dengan demikian tidak ada kontak antara virus dengan lingkungan di luar sel. Apabila
6
virus herpes telah menginfeksi inang, maka sejumtah virus ini akan tetap tinggal dalam bentuk laten seumur hidup inangnya (Malole 1988). Menurut Taukhid et al. (2004), mekanisme penularan KHV dalam kegiatan akuakultur umumnya terjadi melalui kontak antar ikan, cairan dari ikan yang terinfeksi, lewat air/lumpur yang terkontaminasi, peralatan perikanan serta media transportasi. Hal ini didukung pula oleh pendapat (Perelberg et al. 2003) bahwa partikel virus tersebut masih dapat bertahan di luar inang (dalam air) dan masih infektif sekurangnya selama 4 jam. Walaupun KHV dalam penyebarannya tergolong penyakit yang sangat menular, namun ternyata bahwa inang dari virus ini sangat terbatas kisarannya. Spesies ikan yang dapat terinfeksi KHV hanya dua jenis, yaitu ikan mas (Cyprinus carpio) dan koi (Cyprinus carpio koi), kedua jenis ikan tersebut sebagai inang utama dan tidak terdapat inang antara. Hasil pengujian Perelberg et al. (2003) menunjukkan bahwa KHV tidak menginfeksi ikan tilapia (Oreochromis niloticus), silver perch (Bidyanus bidyanus), silver carp (Hypopthalmus molitrix), goldfish (Carasius auratus) dan grass carp (Ctenopharyngodon idella). Hasil pengujian Taukhid et al. (2004) mengungkapkan pula bahwa infeksi buatan dengan menggunakan homogenate organ insang asal ikan positif KHV, terhadap beberapa jenis ikan budidaya seperti ikan nila, gurame, komet dan lele; menunjukan bahwa ikan-ikan tersebut bukan inang yang cocok. Pada sisi lain mekanisme infeksi KHV sangat dipengaruhi pula oleh faktor suhu lingkungan. Dalam sistem budidaya virus ini dapat menginfeksi ikan pada suhu lingkungan yang sangat spesifik, yaitu pada suhu air 18-27 oC (OATA, 2001), 18-28 oC (Gilad et al. 2003; Pirelberg et al. 2003; Perelberg et al. 2005; Ilouze et al. 2006). Kematian ikan akan menurun bahkan berhenti bila suhu berada diatas atau dibawah kisaran toleransi suhu tersebut (Gilad et al. 2003). Kisaran toleransi suhu bagi kehidupan KHV teramati pula pada penelitian secara in vitro, dimana virulensi dan replikasi virus tersebut pada kisaran toleransi suhu 15-25 °C, dan tidak ada atau minim replikasinya pada suhu 4, 10, 30, 37 °C (Gilad et al. 2003). Penyakit KHV menyebabkan kematian yang besar dan bersifat sporadis pada ikan koi dan mas (Hedrick et al. 2000). Kejadian wabah ditandai tingkat
7
kematian yang tinggi, 80-100% dari populasi dalam 6-22 hari setelah infeksi pada suhu 18-28 °C (Pirelberg et al. 2003). Menurut OATA (2001), pada suhu 23-28 °C kekuatan sistem pertahanan ikan lebih rendah dibanding virulensi KHV, sehingga ikan tidak mampu menghadapi serangan KHV, dan pada suhu di atas 30 o
C sistem pertahanan ikan lebih kuat dibanding virulensi KHV, sehingga tidak ada
lagi kematian ikan oleh virus. Gejala klinis ikan mas yang terinfeksi KHV menunjukkan kondisi ikan yang lemah, kehilangan keseimbangan dan sulit bernafas. Penampakan luar dari penyakit meliputi luka pada epithelium dengan hilangnya mukus dan kasar, pendarahan pada operkulum, sirip dan insang (Sunarto et al. 2005). Menurut OATA (2001), serangan penyakit ini menunjukkan kematian yang sangat cepat, ikan akan terlihat sakit dan akhirnya mati dalam waktu 24-48 jam. Gejala klinis ikan yang terserang virus herpes adalah pendarahan pada insang, bercak pucat pada insang, mata cekung dan ikan gelisah (kadang tidak aktif berubah menjadi sangat aktif atau sebaliknya). Dijelaskan pula oleh Taukhid et al. (2004) bahwa serangan koi herpes virus menunjukkan gejala-gejala berupa: 1) produksi lendir (mukus) berlebih sebagai respon fisiologis terhadap kehadiran patogen, selanjutnya produksi lendir menurun drastis sehingga tubuh. ikan terasa kasat, 2) insang berwarna pucat dan terdapat bercak putih atau coklat (sebenarnya adalah kematian sel-sel insang atau nekrosa insang), selanjutnya menjadi rusak, geripis pada ujung tapis insang dan akhirnya membusuk. Secara makroskopis menunjukkan adanya kerusakan jaringan yang serius serta kematian sel yang berat, 3) pendarahan (haemorage) di sekitar pangkal dan ujung sirip serta permukaan tubuh lainnya, 4) Adanya kulit melepuh, 5) hati berwarna pucat selanjutnya menjadi rusak, 6) ginjal (anterior dan posterior) berwarna pucat. Hasil pengamatan (Hedrick et al. 2000) melalui mikroskop cahaya menunjukkan bahwa ikan yang terinfeksi mengalami kelainan pada insang dan organ internal seperti ginjal, limpa, jantung dan saluran pencernaan. Pada insang terjadi hipertropi, hiperplasia dan fusi pada lamella sekunder insang. Sunarto et al. (2000), melakukan pengamatan histopatologi pada jaringan insang dan ginjal terinfeksi KHV.
Hasil pewarnaan hematoksilin dan eosin pada jaringan
8
tubuh/organ yang terinfeksi menunjukan perubahan jaringan berupa pembentukan badan inklusi yang bersifat eosinofilik dengan inti hipertropi dan kromatin yang sedikit bersifat basofilik. Hipertropi pada inti disebabkan karena penumpukan virion-virion dalam nukleus. 2.1.3. Diagnosa Virologis KHV Menurut Taukhid et al. (2004) upaya untuk mendiagnosa KHV dapat dilakukan melalui 2 pendekatan yaitu secara langsung dan tidak langsung. Pendekatan langsung adalah dengan melihat keberadaan virus atau partikel virus secara langsung, melalui kegiatan isolasi dan identifikasi virus secara in vitro pada kultur jaringan dengan pengamatan cytophatic effects (CPE); penggunaan mikroskop elektron untuk pengamatan partikel virus dan teknik polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA virus. Sedangkan secara tidak langsung dilakukan dengan mendeteksi respon dari inang akibat infeksi virus (misalnya antibodi). Diagnosa tidak langsung dilakukan dengan pengamatan enzim linked immunosorbent assay test (uji ELISA) dan flouresecent antibody tecnique (FAT) Metoda diagnosa KHV pada ikan mas dan koi telah distandarkan pula oleh FAO/NACA/OIE (Sunarto et al. 2005), yang dilakukan melalui 3 level diagnosa. yakni : pengamatan lapangan dan gejala klinis (level 1), perubahan histopatologi (level 2) dan biologi molekuler (level 3). Karakter kematian ikan mas dan koi yang tinggi dalam 7 hari dengan menunjukkan kerusakan insang dengan atau tanpa gejala klinis (level 1), secara histopatologi pada ikan sakit, konsisten ditemukan adanya amphophilik intranuklear badan inklusi dengan marginasi kromatin periperal pada sel epitel insang dan sel epitel pada
tubular ginjal
(diagnostik level 2), deteksi PCR menggunakan primer spesifik (diagnostik level 3). Karakter gejala klinis (level 1) yang telah umum dikenal yaitu munculnya warna pucat pada insang dan terdapat bercak putih (Hedrick et al. 2000; Taukhid et al. 2004; Hedrick et al. 2005). 2.2. Hematologi Darah ikan tersusun dari sel-sel darah yang tersuspensi dalam plasma dan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh melalui sistem sirkulasi tertutup. Menurut Takashima dan Hibiya (1995), darah tersusun atas cairan darah (plasma darah)
9
dan elemen-elemen seluler (sel-sel darah). Plasma darah terdiri dari air, protein (yakni albumin, globulin, dan faktor-faktor koagulasi), lipid dan ion. Adapun sel darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit) dan sel darah putih (leukosit). Sel darah merah (eritrosit) ikan mempunyai inti, umumnya berbentuk bulat dan oval tergantung pada jenis ikannya. Inti sel eritrosit terletak sentral dengan sitoplasma terlihat jernih kebiruan dengan pewarnaan giemsa (Chinabut et al., 1991). Sel darah putih (leukosit) ikan merupakan bagian dari sistim pertahanan tubuh yang bersifat non spesifik. Leukosit ikan terdiri dan granulosit dan agranulosit. Lagler et al. (1977) mengungkapkan, bahwa granulosit terdiri dari limfosit, monosit dan trombosit, sedangkan agranulosit terdiri dari basofil, netrofil dan eosinofil. Secara morfologinya, limfosit adalah berupa sel darah kecil dengan nukleus yang besar (menempati bagian terbesar dari sel) tidak bergranula dan dikelilingi sejumlah kecil sitoplasma (Chinabut et al. 1991; Takashima & Hibiya 1995). Limfosit biasanya merupakan proporsi sel darah putih terbanyak (Takashima dan Hibiya 1995). Menurut Blaxhall (1972) kisaran limfosit adalah 71.12-82.88 % dari total leukosit. Namun kisaran jumlah limfosit pada ikan sangat bervariasi, tergantung tempat, musim , umur, spesies dan dipengaruhi pula oleh sex dan tingkat kematangan (Svobodova et al. 2001; Tierney et al. 2004). Limfosit
merupakan
sel-sel
respon
pertahanan
tubuh
terpenting,
dan
diklasifikasikan kedalam 2 sub-klas: sel B dan sel T. Sel B mempunyai kemampuan untuk bertranformasi menjadi sel plasma, yaitu sel yang memproduksi antibodi.
Sedangkan sel T sangat berperan dalam mengontrol
respon imun (Kresno 2001; Almendras & Catap 2002). Monosit ikan berbentuk bulat-oval, intinya terletak ditengah sel dengan sitoplasmanya tidak bergranula (Takashima dan Hibiya 1995). Monosit berkemampuan masuk ke jaringan dan berdiferensiasi menjadi sel makrofag. Peran monosit sangat penting, sebagai sel fagosit utama untuk menghancurkan berbagai patogen penyerang dan berperan pulan sebagai antigen presenting cells (APC) yang fungsinya untuk menyajikan antigen kepada sel limfosit (Kresno 2001; Kollner et al. 2002).
10
Trombosit merupakan sel darah yang tidak berinti dan paling kecil ukurannya.
Ciri khusus trombosit adalah lingkaran sitoplasmanya tipis di
sekeliling inti, yang berwarna cerah dengan pewarnaan giemsa (Chinabut et al. 1991).
Trombosit ini berperan penting dalam kejadian imflamasi dan dan
pendarahan (membantu proses pembekuan darah) (Kresno 2001). Chinabut et al. (1991) menyebutkan, bahwa netrofil berbentuk bulat dengan inti dapat memenuhi sebagian ruang sitoplasma dan terdapat granula dalam sitoplasmanya. Seperti halnya monosit/makrofag, sel netrofil berperan pula dalam respon nonspesifik dengan melakukan fagositosis untuk menyingkirkan mikroorganisme penyerang (Kresno 2001; Kollner et al. 2002). Selain netrofil, terkadang dapat pula ditemukan adanya granulosit lainnya yakni basofil dan eosinofil Ferguson (1989). Sitoplasma basofil terlihat kebiruan, bergranula besar, intinya berlobus dua; sedangkan sitoplasma eosinofil berwarna merah, dengan granula besar dan intinya terletak ditepi sel. Sel dan cairan darah (plasma darah) mempunyai peran fisiologi yang sangat penting. Berbagai perubahan fisiologis pada ikan terjadi karena sangat dipengaruhi oleh lingkungan maupun agen infeksius, dan perubahannya dapat dinilai berdasarkan perubahan dalam komponen-komponen darah (Kollner et al. 2002; Swain et al. 2007). Dijelaskan pula oleh Ellsaesser et al. (1985) bahwa pemeriksaan darah penting artinya untuk memantapkan diagnostik suatu penyakit. Sehingga perubahan gambaran darah banyak digunakan untuk menilai status kesehatan ikan (Amrullah 2004; Hastuti 2004) Dalam penelitian hematologik ikan, parameter darah yang diukur meliputi jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, hematokrit, lekosit total dan hitung jenis lekosit (Wedemeyer dan Yasutake 1977). Parameter lainnya yang juga sering diukur antara lain protein plasma total, titer antibodi, aktivitas fagositik dan kadar kortisol plasma (Anderson dan Siwicki 1993). Blaxhall (1972) mengatakan, bahwa kadar Hb merupakan indikator anemia. Menurunnya kadar hematokrit dapat dijadikan petunjuk mengenai rendahnya kandungan protein pakan, defisiensi vitamin atau ikan mendapat infeksi, sedangkan meningkatnya kadar hematokrit, menunjukkan ikan ada dalam keadaan stres (Anderson dan Siwicki 1993).
11
Rendahnya jumlah eritrosit menunjukkan ikan menderita anemia, kerusakan ginjal; sedangkan tingginya jumlah eritrosit menandakan ikan dalam keadaan stres (Wedemeyer dan Yasutake 1977). Perubahan nilai leukosit total dan hitungan jenis leukosit dapat dijadikan indikator adanya penyakit infeksi tertentu yang terjadi pada ikan (Blaxhall 1972). Anderson dan Siwicki (1993) mengulas tentang aktivitas fagositik yang rendah berkaitan dengan infeksi kronis dan meningkat dalam keadaan permulaan infeksi. Berkaitan dengan kondisi stres, Anderson (1990) mengemukakan, bahwa secara umum ikan dalam keadaan stres kadar kortisol dan kadar glukosa dalam plasma darah tinggi. 2.3. Sistim Pertahanan Ikan Ikan mengalami kontak yang sangat intim dengan lingkungannya, yang mengandung berbagai mikroba patogen, misalnya bakteri, virus, fungus, protozoa dan
parasit
yang
dapat
menyebabkan
infeksi
(Ellis
2001).
Untuk
mempertahankan diri terhadap serangan berbagai patogen tersebut ikan memiliki berbagai respon pertahanan tubuh yang tersusun dalam suatu sistem pertahanan yang komplek dan disebut sebagai sistem imun (Almendras & Catap 2002). Berbagai komponen pendukung sistem imun dibentuk oleh jaringan limfoid. Pada ikan, jaringan ini menyatu dengan jaringan mieloid, sehingga dikenal sebagai jaringan limfomieloid. Organ limfomieloid pada ikan teleostei adalah ginjal depan, timus dan limpa (Fange 1982), produknya berupa sel-sel darah dan respon pertahanan selular dan humoral. Menurut (Rombout et al. 2005), pada ikan teleostei ginjal merupakan organ myelopoeitic, berperan dalam pembentukan berbagai kelompok sel darah putih seperti monosit/makrofag dan granulosit (netrofil, basofil, eosinofil), selain itu ginjal depan berperan pula sebagai organ utama dalam pembentukan sel limfosit B. Organ timus dalam perkembangannya berperan sebagai organ limfoid yaitu membentuk limfosit T. Adapun organ limpa lebih banyak berperan dalam pembentukan sel trombosit dan sel darah merah (eritrosit). Dijelaskan pula oleh Takashima dan Hibiya (1995), peran lain limpa dalam sistem pertahanan adalah pengaturan volume darah yang beredar di jaringan dan melakukan penjeratan berbagai material antigen.
12
Berdasarkan sifat responnya dalam menghadapi agen patogen penyerang, sistem imun terbagi atas sistem pertahanan alamiah (innate immunity) yang bersifat non spesifik dan pertahanan adaptif (adaptive immunity) yang bersifat spesifik (Almendras & Catap 2002).
Menurut Ellis (2001) pertahanan non
spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan, bereaksi cepat/langsung dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme patogen (antigen). Disebut pertahanan non spesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu dan telah ada sejak lahir (alamiah). Sedangkan sistem pertahanan spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan responnya. Jadi pertahanan spesifik merupakan lapis pertahanan kedua, namun sangat spesifik terhadap antigen tertentu yang menginduksinya dan mampu membentuk memori spesifik antigen (Shoemaker et al. 2001). Namun dalam implementasinya, mekanisme pertahanan terhadap antigen merupakan interaksi antara peran sitem non spesifik maupun spesifik dan respon keduanya bersifat saling menguatkan. Sistem Imun Non Spesifik Sistem pertahanan nonspesifik pada ikan, meliputi barrier mekanik dan kimiawi (mukus, kulit, sisik dan insang) serta respon imun selular yang melibatkan sel-sel yang mampu memfagosit (monosit/makrofag, dan kelompok granulosit) (Almendras & Catap 2002). Mukus ikan, menyelimuti permukaan tubuh, insang dan terdapat juga dalam lapisan mukosa usus berperan untuk memperangkap patogen secara mekanik dan mengeliminasinya secara kimiawi dengan lisosim dan enzim proteolitik lainnya. Selain itu mukus mengandung imunoglobulin, aglutinin alamiah dan lisin yang berkemampuan untuk mengeliminir patogen (Balfry & Higgs 2001). Menurut Almendras dan Catap (2002), sistem imun non spesifik ikan didukung dua komponen utama yaitu respon selular dan respon humoral. Dijelaskan pula bahwa respon selular dalam implementasinya terdapat dalam beberapa tipe mekanisme meliputi: imflamasi, fagositosis (fagositosis killing mechanism), fagositosis sebagai penyajian antigen (antigen presenting cells), dan non specific citotoxic cells.
13
Imflamasi merupakan upaya proteksi dan pengisolasian suatu situs infeksi, hal ini terjadi segera setelah masuknya antigen (bakteri, virus, fungus, parasit). Masuknya antigen ke dalam jaringan akan merangsang terjadinya pemusatan selsel sistem imun dan produk yang dihasilkannya di area infeksi (Secombes 1996; Balfry & Higgs 2001). Dijelaskan pula oleh Tizard (1988) bahwa inflammatory respons merupakan upaya proteksi reaksi restoratif dari tubuh sejak ikan berusaha menjaga kondisi homeostasis/kestabilan sistem dari pengaruh lingkungan yang kurang baik. Aktivitas fagositik merupakan pertahanan pertama dari respon selular (Woo, 1995) dan dilakukan oleh monosit/makrofag dan granulosit (Kollner et al. 2002). Proses fagositosis meliputi pengenalan material yang akan dieliminir, tahap kemotaksis, tahap perlekatan, tahap penguraian sel dan melakukan digesti internal dengan beberapa mekanisme antimikrobial. Menurut Kollner et al. (2002) sirkulasi sel darah putih (monosit/makrofag, dan granulosit) membentuk suatu kesatuan jaringan pertahanan yang mampu mengeliminasi berbagai patogen penyerang dan sekresinya (faktor terlarut) melalui fagositosis tanpa suatu aktivasi awal. Proses fagositosis oleh sel-sel fagosit berkontribusi pula dalam mekanisme penyajian antigen (antigen presenting cells) untuk menstimulasi respon sel limfosit. Partikel yang difagosit diproses dan dipresentasikan sebagai peptide antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas II pada permukaan sel fagosit. Presentasi antigen kepada sel limfosit (T-helper) menyebabkan terjadinya seksresi berbagai mediator terlarut yang terlibat dalam aktivasi sel limfosit seperti interleukuin 1 (IL-1) (Murphy et al. 1999; Almendras & Catap 2002). Mekanisme lain dari pertahan seluler adalah non specific cytotoxic cells (NCCs), pada mamalia dikenal sebagai sel natural killer.
Sel natural killer
merupakan subpopulasi sel limfosit yang dapat membunuh sel sasaran secara spontan tanpa pengaktifan terlebih dahulu dan tanpa bergantung pada produkproduk MHC.
Pada ikan, respon sel sitotoksik ini bersifat spontan dan
mempunyai toksisitas non spesifik yang dapat menghancurkan berbagai sel-sel asing yang menyerang (Murphy et al. 1999; Almendras & Catap 2002). Identifikasi NCCs terdapat pada chanel catfish. Pada tingkat genetik ditemukan
14
pula sekuen putative dari natural killer enhancing factor (NKEF) pada ikan rainbow trout dan mas (Fischer et al. 2006). Sistem imun non spesifik didukung pula oleh berbagai faktor humoral yang dapat berperan pula dalam perlawanan terhadap invasi patogen. Subtansi ini bereaksi melakukan lisis berbagai mikroba patogen, melapisi (opsonisasi) atau menghambat pertumbuhannya. Berbagai subtansi tersebut meliputi: acute phase protein, komplemen, interferon, lytic enzyme dan enzim inhibitor. Diantara berbagai subtansi tersebut, komplemen dan interferon sangat berperan dalam respon pertahan terhadap infeksi virus (Murphy et al. 1999; Almendras & Catap 2002). Menurut Almendras dan Catap (2002) sistem komplemen terdiri dari sekitar 30 protein serum yang dapat diaktifkan menjadi komplemen bagi respon imun. Terdapat dua jalur pengaktifan komplemen yaitu: (1) jalur klasik yang tergantung pada keberadaaan kompleks antigen-antibodi dan (2) jalur alternatif, jalur pengaktifannya tidak tergantung antibodi. Beberapa faktor eksternal seperti: LPS, dinding sel fungi (B-1,3-glucan) dapat mengaktifkan jalur alternatif (Almendras & Catap 2002; Magnadottir et al. 2005). Pada infeksi virus aktivasi jalur alternatif tersebut terjadi terutama setelah infeksi oleh amplop virus yang matang oleh budding melalui membran plasma sel inang (Murphy et al. 1999), karena aktivasinya tidak memerlukan antibodi sehingga respon dapat segera terjadi setelah adanya invasi virus. Interferon adalah sekresi protein (sitokin) yang menginduksi status anti viral pada sel inang, dan memainkan peran dalam pertahanan terhadap infeksi virus pada vertebrata. Interferon disekresikan oleh sel inang yang terifeksi dan ditransfer ke dalam darah untuk memberi isyarat bahaya pada sel-sel lain dalam tubuh. Pada ikan, aktifitas seperti interferon (IFN-like activity) teridentifikasi sejak tahun 1965, terdeteksi pada sel dari sejumlah spesies ikan, setelah infeksi oleh virus. Baru-baru ini IFNs ikan dengan struktur dan fungsi yang sama dengan IFNs tipe I telah diklon dari Atlantic salmon, chanel catfish, pufferfish dan zebrafish (Robertsen 2006). Dijelaskan pula oleh Robertsen (2006) bahwa dua famili dari IFNs (tipe I dan II) dan dapat dibedakan berdasarkan pada sekuensi gen, struktur protein dan fungsi yang dimilikinya. IFNs tipe I terdiri dari classical
15
IFN-α/ßs, yang diinduksi umumnya oleh virus di dalam sel, sedangkan IFN tipe II adalah identik dengan IFN-γ dan ia diproduksi melalui sel natural killer (sel NK) dan limfosit T sebagai respon terhadap interleukin-12 (IL-12), interleukin-18 (IL-18), mitogen atau antigen (Robertsen 2006). Sistem Imun Spesifik Sel limfosit merupakan inti dalam respon imun spesifik karena sel-sel ini merupakan merupakan sel yang mengenal berbagai antigen, baik antigen yang terdapat intraselular maupun ekstraselular misalnya dalam cairan tubuh atau dalam darah (Kresno 2001).
Menurut Almendras dan Catap (2002), antigen
adalah substansi spesifik yang dapat merangsang suatu respon imun antigen dapat berupa molekul yang berada pada permukaan patogen atau juga dapat berupa toksin yang diproduksi oleh patogen. Umumnya substansi antigen tersebut berupa molekul besar seperti protein, polisakarida dan asam nukleat. Sistem imun ikan mengenal dan merespon hanya pada bagian kecil dari molekul besar antigen, yang dikenal dengan istilah antigenic determinant atau hapten.
Sel limfosit
mempunyai reseptor membran bagi antigen spesifik.
Reseptor tersebut berupa protein yang secara spesifik mengenal dan berikatan dengan antigen (Almendras dan Catap 2002). Sistem imun spesifik (adaptive immunity) pada dasarnya
merupakan
mekanisme interaksi antara sel limfosit dan fagosit. Respon spesifik ini diawali dengan kerja sel-sel fagosit/makrofag atau antigen presenting cell (APC) yang memproses dan mempresentasikannya pada sel-sel imun spesifik (Kresno 2001; Kollner et al. 2002). Pengolahan antigen merupakan proses yang penting untuk stimulasi limfosit selanjutnya, karena reseptor pada sel limfosit akan mengenali antigen berdasarkan susunan asam amino dalam rantai peptida (bukan bentuk proteinnya). Peptida antigen (hasil pengolahan) akan dipresentasikan bersamasama molekul protein MHC (major histocompatibility complex) haplotype tertentu membentuk struktur yang unik pada permukaan sel makrofag/APC, dan dapat dikenali oleh reseptor sel T (TcR) (Kresno 2001). Pengenalan struktur unik MHC-peptida antigen oleh limfosit T, mengakibatkan sel-sel imun berproliferasi dan berdiferensiasi, menjadi sel yang memiliki kopetensi imunologik dan mampu bereaksi dengan antigen tersebut. Berdasarkan bentuk responnya, sistem imun
16
spesifik pada dasarnya terbagi dua yaitu: respon imun selular yang merupakan fungsi dari sel limfosit T, dan respon humoral yang merupakan fungsi dari sel limfosit B (Almendras & Catap 2002). Respon imun selular sangat diperlukan untuk melawan organisme intraselluler. Sub populasi sel T yang disebut sel T penolong (T-helper) akan mengenali mikroorganisme atau antigen bersangkutan melalui MHC (major histocompatibility complex) kelas II yang terdapat pada permukaan sel makrofag. Sinyal ini menginduksi limfosit untuk memproduksi berbagai jenis limfokin, termasuk diantaranya interferon yang dapat membantu makrofag menghancurkan mikroorganisme tersebut. Sub populasi limfosit T yang lain disebut T-sitotoksik, berfungsi untuk menghancurkan mikroorganisme intrasel yang yang disajikan melaiui MHC kelas I secara Iangsung (cell to cell). Selain itu, juga menghasilkan gamma interferon yang mencegah penyebaran mikroorganisme ke dalam sel lain (Kresno 2001; Almendras & Catap 2002). Menurut Fischer (2006), mekanisme ini dikenal sebagai spesifik cell-mediated cytotoxicity (spesifik CMC). Respon humoral pada sistem imun spesifik dilakukan melalui sekresi protein-protein terlarut yaitu antibodi atau immunoglobulin (Ig), yang mengalir dalam darah dan limpa, mereka bergabung dengan antigen dan menetralkannya. Struktur dasar molekul immunoglobulin (Ig) terdiri dari dua rantai polipeptida berat (rantai H) dan polipeptida rantai ringan (rantai L) (Shoemaker et al. 2001). Kedua rantai tersebut ditautkan oleh ikatan disulfida dan memiliki situs pengikatan antigen. Ikan hanya memiliki 1 kelas Ig yaitu Ig M-like (Rosenhein et al. 1986) dengan berat molekul 700kDa (Lobb 1986). Respon humoral yang diperantarai antibodi awalnya merupakan fungsi dari sel limfosit B. Sel B dapat mengenal antigen dan berinteraksi dengan afinitas yang tinggi karena adanya immunoglobulin spesifik (sIg) yang berfungsi sebagai reseptor antigen. Sel B sebagai APC akan menangkap antigen melalui proses endositosis, masuk ke dalam sitoplasma, diproses menjadi fragmen-fragmen. Fragmen antigen tersebut bersama-sama dengan MHC kelas II selanjutnya dipresentasikan pada limfosit Th (penolong), proses pengenalan komplek protein MHC kelas II-fragmen antigen (hapten) akan mengaktivasi sel B untuk berproliferasi dan kemudian berdiferensiasi menjadi sel plasma yang dapat
17
menghasilkan antibodi (Fenner et al. 1993; Kresno 2001; Almendras & Catap 2002). Mekanisme pengaktifan sel-sel limfosit oleh suatu antigen, selain menyebabkan proliferasi dan diferensiasi klon limfosit yang diperlukan untuk menghadapi antigen, juga menyisakan klon limfosit memori (Almendras & Catap 2002). Klon limfosit memori ini dapat mengenali antigen bersangkutan, dan mampu menghasilkan respon imun yang lebih cepat dan kuat pada kejadian infeksi di masa depan. 2.4. Virulensi KHV, Respon Imunitas Ikan dan Suhu Lingkungan Ikan merupakan hewan poikilothermik, ia tidak mampu untuk mengatur suhu internal tubuhnya (Bowden et al. 2006). Karena suhu badan ikan sangat dipengaruhi oleh suhu air sebagai lingkungannya, maka proses-proses fisiologis yang terjadi di dalamnya sangat dipengaruhi oleh suhu air. Demikian pula halnya dengan respon imun sebagai suatu proses fisiologi dipengaruhi oleh suhu (Manning dan Nakanishi 1996). Beberapa faktor lainnya yang juga mempengaruhi pembentukkan respon imun adalah hormon kortisol, umur ikan dan densitas ikan (Ellis 1988). Suhu merupakan faktor lingkungan utama yang menstimulasi perubahan respon imun pada beberapa spesies ikan, baik innate maupun acquired/adaftive immune respon (Bowden et al. 2006). Sebagian peneliti berpendapat bawa respon imun non spesifik (innate immunity) tidak dipengaruhi oleh suhu, dan sebaliknya acquired immunity dipengaruhi oleh suhu (Elllis 2001). Namun terbukti pada ikan chanel catfish dan tench bahwa innate imunity juga dapat dipengaruhi suhu (Bowden et al. 2006). Suhu yang lebih tinggi (pada kisaran fisiologi normal) dapat meningkatkan respon imun (Bowden et al. 2006), sedangkan suhu yang lebih rendah akan menekan fungsi imunitas (non permissive temperature ), dan terdapat pula kisaran suhu optimal untuk aktivitas respon imun terbaik (immunologycally permissive) (Manning dan Nakanishi 1996). Pada dasarnya di dalam suatu mekanisme respon imun terdapat berbagai kejadian kompleks, dimana beberapa fase/kejadian mungkin lebih sensitif terhadap suhu dibanding dengan kejadian lainnya.
18
Pengaruh suhu terhadap respon imun spesifik terutama respon humoral telah diuji oleh (Morvan et al 1998). Respon ikan mas yang diimunisasi terhadap bovine serum albumin, terbukti bahwa repon primer antibodi mengalami hambatan pada suhu rendah. Sedangkan hasil penelitian lainnya, menunjukkan bahwa pada suhu yang lebih rendah respon primer antibodi bersifat terunda namun nilai besarannya tetap (Rijkers et al. 1980), atau terkurangi (Einarsdottir et al. 2000). Gangguan dalam pembentukan antibodi mencerminkan fungsi pembangkitan sel limfosit T-helper yang peka terhadap suhu rendah (Morvan et al. 1998). Menurut Manning dan Nakanishi (1996), proliferasi dari sel limfosit T terhadap mitogen ConA berkurang pada suhu rendah.
Dijelaskan pula oleh
Morvan et al. (1998) bahwa pembangkitan T-helper mengalami hambatan pada suhu rendah, sedang sel T memori dan sel B tidak terganggu. Pengujian lain mencatat pula bahwa suhu rendah menekan pula terhadap fungsi spesifik limfosit sitotoksik pada ginjal ikan mas (Morvan et al. 1998). Jadi pada sistem imun spesifik, suhu rendah dapat berpengaruh negatif terhadap respon humoral maupun seluler. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengaruh suhu rendah dapat bersifat menekan pula pada sistem imun non spesifik. Respon imun non spesifik yang mendapat perhatian adalah fagositosis dan NCCs (Nonspecific cytotoxic Cells).
Berdasarkan evaluasi terhadap aktivitas fagositosis pada ikan chanel
catfish (Ichtalurus punctatus), menunjukkan bahwa sel-sel fagosit bersifat resisten terhadap suhu rendah, bahkan mekanisme adaptasi dari sel fagosit mampu mendorong peningkatan aktivitas ledakan respirasi (respiratory burst) (Morvan et al. 1998). Sedangkan NCCs bersifat lebih sensitif pada suhu rendah (Morvan et al. 1998). Tercatat bawa aktivitas aktivitas lytic yang diperantarai oleh NCCs terhadap sel-sel murine mastocytoma meningkat pada suhu rendah.
Respon
peningkatan NCCs dapat terjadi segera (24 jam) setelah ia diekpos pada suhu rendah, dan efek maksimum terjadi pada minggu ke-4 dan menghilang pada minggu ke-8. Sebagai tambahan adalah aktivitas komplemen lewat jalur alternatif berperan dominan selama periode suhu rendah, sedangkan jalur klasik tertekan (Morvan et al. 1998). Kesimpulannya, pada suhu rendah sistem pertahanan non spesifik pada ikan teleost cenderung lebih berperan menggantikan respon imun
19
spesifik yang tertekan, sebelum pada akhirnya akan terjadi pula mekanisme adaptasi dari respon spesifik. Kasus KHV umumnya sangat terkait dengan kondisi lingkungan perairan, terutama suhu air. Bahkan Gilad et al. (2003) menyimpulkan bahwa faktor yang paling nyata mempengaruhi virulensi KHV adalah suhu air. Berdasarkan penelitian pada kondisi laboratorium, kisaran toleransi untuk virulensi dan replikasi virus tersebut secara invitro adalah pada kisaran 15-25 °C, dan tidak ada atau minim replikasinya pada suhu 4, 10, 30 dan 37°C. Sedangkan berdasarkan data lapang yang dihimpun OATA (2001), bahwa serangan virus herpes yang menyebabkan kematian adalah pada suhu 18-27°C. Pada kejadian wabah di Indonesia tercatat serangan KHV yang mematikan adalah pada suhu 23-27°C, dan kematian ikan akan menurun bila suhu berada diatas atau tidak terdapat kejadian infeksi pada suhu 30°C dan diatasnya (Taukhid et al. 2004). Virulensi KHV pada kasus infeksi ikan mas sangat dipengaruhi suhu, dimana suhu akan berpangaruh langsung terhadap replikasi virus, dan di lain pihak replikasi virus dipengaruhi secara tidak langsung oleh perubahan (berkurang atau bertambahnya) keampuhan respon imun ikan (Alcorn et al. 2002). Karena respon imun ikan sebagai vertebrata ectothermic, sangat dipengaruhi suhu (Ahne et al. 2002). Masuknya patogen ke tubuh ikan dicapai melalui beberapa mekanisme yang tergantung pada fisiologis ikan (status kesehatan organisme), virulensi dan jumlah dari agen patogen dan kondisi lingkungan. Jika kesehatan organisme menurun, atau kondisi Iingkungan kurang mendukung, maka organisme akan mengalami
stres.
Hal
ini
akan
menyebabkan
kemampuan
organisme
mempertahankan diri dari serangan penyakit menurun, sehingga patogen dapat menginfeksi ikan (Elliss 1981). 2.5. Kromium-ragi (Cr3+) sebagai Immunostimulan Immunostimulan merupakan suatu senyawa biologi dan sintetis atau bahan lainnya yang dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Apabila masuk ke dalam tubuh ikan, akan merangsang makrofag untuk memproduksi interleukin yang akan menggiatkan sel limfosit yang kemudian membelah menjadi limfosit-T dan B. Limfosit-T memproduksi interferon yang meningkatkan kemampuan
20
makrofag sehingga dapat memfagositosis bakteri, virus dan partikel asing lainnya yang masuk ke dalam tubuh ikan. Masuknya immunostimulan juga akan merangsang makrofag untuk memproduksi lebih banyak lisozim dan komplemen. Interleukin juga menggiatkan limfosit-B untuk memproduksi antibodi (Raa et al. 1992). Berdasarkan sumber bahannya (Sakai 1999; Dalmo dan Bricknell 2005) membagi immunostimulan dalam beberapa kelompok yaitu: bahan asal bakteri, bahan asal alga, bahan asal hewan, faktor nutrisi dan hormon/sitokin. Beberapa bahan dari faktor nutrisi berpengaruh dalam mendukung kesehatan dan mengurangi kerentanan terhadap penyakit (Gatta et al. 2001), sehingga bahan tersebut tergolong sebagai bahan immunostimulan. Sejumlah bahan nutrisi mikro berupa vitamin meliputi vitamin (ascorbic acid) C, (tocopherol) E, retinol dan pyridoxine, mampu berperan sebagai immunostimulan (Blazer, 1992 ; Pulsford et al. 1995 dalam Gatta et al. 2001). Bahan mikro nutrisi kromium akhir-akhir ini mendapat perhatian pula sebagai bahan immunostimulan bagi ikan (Gatta et al. 2001; Hastuti 2004). Kromium (Cr3+) merupakan trace element essential untuk hewan dan manusia (Lall 2002) dan merupakan komponen penting pada GTF (glucose toleranice faktor). GTF (glucose tolerance faktor) adalah suatu komponen hati yang larut dalam air, plasma darah, ragi brewer (brewer’s yeast) dan beberapa ekstrak biologis serta sel (Linder 1992). GTF yang mengandung Cr (kompleks organik) berpotensi meningkatkan bioaktivitas insulin sampai 2 kali lipat dalam rnentransfer glukosa ke sel, glikogenesis, lipogenesis, dan transport serta pengambilan asam amino. Beberapa kriteria fisiologis tubuh, termasuk fungsi imunitas, dapat ditingkatkan oleh kromium trivalensi, dan efeknya terlihat lebih jelas selama stres. Sistim imunitas dipengaruhi secara negatif selama stres. Hubungan antara kromium dan fungsi imunitas telah diteliti pada sapi dan angsa. Konsentrasi total imunoglobulin dan IgM ditemukan mengalami peningkatan setelah stres transportasi pada sapi yang diberi suplemen ragi yang mengandung kromium (Chang dan Mowat 1992). Suplementasi kromium dalam ikatan chelat juga
21
meningkatkan produksi antibodi dalam merespon ovalbumin pada sapi setelah melahirkan (Van de Ligt et al. 2002). Hasil penelitian yang konsisten adalah bahwa kromium mereduksi tingkat kortisol serum (Berger 1996). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian kromium sangat bermanfaat selama periode stres, karena dalam periode tersebut, hewan akan meningkatkan mobilisasi kromium dan simpanan dalam tubuh (Berger 1996). Dalam periode stres, sapi mudah mengalami defisiensi Cr, dan setelah diberi suplemen kromium organik menghasilkan produksi, status kekebalan dan kesehatan yang nyata meningkat, namun konsentrasi kortisol dalam darah menurun selama kondisi sangat stres (Burton 1995). Respon penurunan kortisol (kortikosteron) juga ditemukan pada burung quail yang diberi pakan dengan suplemen kromium-pikolinat dan dipelihara dalam kondisi stres suhu (Sahin et al. 2002). Studi peran kromium pada ikan umumnya terkait dengan metabolisme, pertumbuhan dan toksisitas.
Sejumlah penelitian mengenai peran kromium
dalam metabolisme menunjukkan bahwa kromium berpengaruh positif dalam peningkatan pertumbuhan ikan mas (Jain et al. 1994 dalam Gatta et al. 2001), dan meningkatkan pemanfaatan karbohidrat pada ikan mas dan nila (Hertz et al. 1989; Shiau & Chen 1993; Shiau & Shy 1998 dalam Gatta et al. 2001). Namun aplikasi kromium pada ikan chanel catfish (Ichtalurus punctatus) oleh (Ng & Wilson 1997) dan gilthead sea bream (Sparus aurata) oleh (Fernandes et al. 1999) menunjukkan respon negatif. Peran kromium sebagai immunostimulan pada mamalia telah mendorong pula kajian yang sama pada ikan. Hasil pengujian Gatta et al. (2001) pada ikan rainbow trout (Onchorinchus mykiss), menunjukkan bahwa kromium ragi (Cr3+) mampu berperan meningkatkan respon imunitas berupa peningkatan aktivitas selsel fagosit, respiratory burst dan serum lysozyme. Aplikasi kromium-ragi (Cr3+) dalam pakan baru-baru ini efektif juga diterapkan sebagai immunostimulan pada ikan gurame (Hastuti 2004).
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
penambahan kromium-ragi (Cr3+) dalam pakan sebesar 1.5 hingga 3.2 ppm mampu meningkatkan respon imunitas ikan gurame yang dinfeksi oleh bakteri, ditandai dengan kenaikan total sel leukosit dan total immunoglobulin.
22
Kebutuhan kromium dipengaruhi oleh kondisi fisiologis ikan. Stres meningkatkan mobilisasi kromium dari jaringan dan selanjutnya meningkatkan ekskresinya. Sehingga stres akan mempengaruhi defisiensi kromium marginal dan meningkatkan kebutuhannya (Sahin et al. 2002). Kromium dibutuhkan dalam konsentrasi yang kecil dan belum diketahui dengan pasti. Sumber kromium yang ekonomis dalam diet kemungkinan adalah kromium klorida, ragi yang kaya kromium, kromium nikotinat dan kromium pikolinat (Berger 1996; Lall 2002).