4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekofisiologi Tanaman Kelapa Sawit Dalam
konteks
ekofisiologi,
faktor
lingkungan
yang
dominan
mempengaruhi pertumbuhan tanaman kelapa sawit adalah faktor iklim dan keadaan tanah. Faktor iklim meliputi intensitas sinar matahari, temperatur, curah hujan, dan kelembaban udara, sedangkan syarat tanah meliputi sifat fisik dan kimia tanah. 2.1.1. Iklim Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah dengan ketinggian antara 0 – 400 m di atas permukaan laut. Suhu udara sepanjang tahun berkisar 27ºC dengan suhu maksimum 33ºC dan suhu minimum 22ºC, dan umumnya ditemukan di daerah tropika. Curah hujan rata – rata tahunan yang diinginkan berkisar antara 1500 – 2500 mm dengan penyebaran merata sepanjang tahun dan tidak terdapat bulan kering yang nyata. Adanya bulan kering lebih dari dua bulan berturut – turut akan memberikan pengaruh terhadap penurunan produksi pada tahun – tahun berikutnya. Bulan kering > 3 bulan sudah merupakan pembatas berat untuk kelapa sawit, begitu juga defisit air > 400 mm per tahunnya sudah merupakan pembatas berat. Lama penyinaran matahari tidak boleh kurang dari 5 – 7 jam per hari dan kelembaban nisbi yang diinginkan berkisar 50 – 90% atau optimalnya pada kelembaban 80%. 2.1.2. Tanah Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh secara baik pada berbagai jenis tanah, seperti Podsolik (Ultisol), Latosol, Hidromorfik Kelabu, Regosol, Andosol, dan tanah Alluvial (Fauzi et al., 2003) bahkan pada tanah gambut dengan syarat ketebalan gambut yang dapat ditoleransi mencapai 150 cm (Pahan, 2008). Namun kemampuan produksi pada jenis tanah tersebut tidak sama. Ada dua sifat tanah dan lingkungan yang menentukan baik tidaknya tanah sebagai media tumbuh : 1. Sifat fisik Tanah Beberapa hal yang menentukan sifat tanah adalah tekstur, struktur, konsistensi, kemiringan tanah, permeabilitas, ketebalan lapisan tanah dan kedalaman permukaan air tanah. Beberapa kesesuaian sifat fisik tanah untuk kelapa sawit adalah :
5
a) Mempunyai solum yang tebal sekitar 80 cm. Walaupun kenyataan bahwa penyebaran akar kelapa sawit yang terbanyak dijumpai sampai kedalaman 60 cm, namun ujung akar masih mencapai kedalaman 90 cm atau lebih, sehingga dibutuhkan untuk perkembangan akar yang baik. Kedalaman efektif yang ideal adalah minimum 100 cm. b) Lapisan tanah yang keras atau padas dengan tingkat kekerasan >3,0 kg/cm2 pada kedalaman <50 cm merupakan pembatas berat bagi kelapa sawit. c) Tekstur yang ideal adalah pada kisaran liat berpasir, lempung liat berpasir, lempung berdebu, lempung dan lempung liat berdebu. Tanah dengan tekstur pasir kasar dan liat berat yang masif merupakan pembatas berat untuk kelapa sawit. d) Perkembangan struktur yang kuat, konsistensi gembur sampai agak teguh dengan permeabilitas yang sedang sampai baik. e) Permukaan air harus berada di bawah 80 cm dan semakin dalam semakin baik. f) Tanah yang kurang cocok adalah tanah pantai berpasir dan tanah gambut tebal. Topografi yang cukup baik untuk kelapa sawit adalah kemiringan 0 – 15% (datar-berombak). Hal ini memudahkan pengangkutan buah dari areal ke pabrik. Areal dengan kemiringan > 15% (berbukit-curam) masih mungkin ditanami, tetapi perlu dibuat teras, karena akan menyulitkan panen serta pengangkutan tandan buah segar (TBS) ke pabrik (Adiwiganda et al., 1997). Selain itu, tanah dengan kemiringan lereng lebih dari 40% juga beresiko besar mengalami erosi permukaan cukup berat. Topografi lahan yang tidak disertai dengan penerapan konservasi tanah yang standar (teras individu/kontur) berpengaruh terhadap produksi kelapa sawit dan penggunaan tenaga panen. Berdasarkan hasil penelitian Dja'far et al. (2001), perbedaan produksi areal yang bertopografi berombak dengan lahan yang berbukit bisa mencapai 3,96 tonTBS/ha/tahun (28,84%). Pada daerah berbukit walaupun pemakaian tenaga panen lebih banyak 9,11 % dibandingkan dengan daerah berombak tetapi produksi yang dihasilkan tetap lebih rendah disebabkan sekitar 13,31% tandan tidak
6
dipanen
serta
kehilangan
brondolan
mencapai
51,36%.
Hasil
analisis
menunjukkan pengaruh topografi lahan terhadap produksi adalah sebesar 14,56 % dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain seperti penerapan kultur teknis, sumber daya manusia, kesuburan lahan dan varietas tanaman. Bentuk wilayah kebun kelapa sawit plasma di Sei Pagar umumnya datar dengan kemiringan 0-3% dan hanya sebagian kecil saja wilayah dengan kemiringan 3-5%. Vegetasi yang menutupi permukaan tanah di seluruh areal perkebunan terdiri atas rumput-rumputan alami, pakis resam, lumut-lumutan, dan tumbuhan perdu pendek lainnya. Di antara dua barisan pohon kelapa sawit terdapat tumpukan pelepah dahan dan daun kelapa sawit hasil pangkasan. Tumpukan material tersebut berfungsi sebagai penyangga atau penghalang hanyutnya tanah oleh aliran permukaan, sebagai mulsa untuk mencegah gulma dan menjaga suhu tanah. Berdasarkan data yang diperoleh, erosivitas hujan (R) untuk lokasi perkebunan plasma Sei Pagar diperkirakan sebesar 1,750 dengan erodibilitas tanah (K) berkisar antara 0,265-0,345 serta nilai faktor penutupan tanaman dan konservasi tanah (CP) diasumsikan sebesar 0,01. Prediksi erosi tanah pada bentuk wilayah di lahan perkebunan tersebut menunjukkan bahwa besarnya erosi berkisar antara 1,322-3,423 t/ha/tahun, jauh di bawah erosi yang masih dapat diabaikan (tolerable soil loss, TSL) dengan nilai sekitar 15 t/ha/tahun (Wigena et al., 2009). 2. Sifat Kimia Tanah Sifat kimia tanah mempunyai arti penting dalam menentukan kelas kesuburan tanah dan dosis pemupukan. Namun, menurut Adiwiganda et al. (1995) sifat kimia tidak terlalu diperhitungkan dalam plotting areal sawit karena kesuburan kimia tanah secara umum dapat dikendalikan melalui pemupukan yang rasional. Beberapa sifat kimia tanah yang dipakai sebagai pedoman untuk tanaman kelapa sawit adalah : a) Kemasaman (pH) yang diinginkan berkisar antara 4,0-6,0, sedangkan pH optimumnya 5,0 - 5,5. Kemasaman (pH) <3,5 dan >7,0 adalah pembatas berat bagi kelapa sawit (Adiwiganda et al., 1997). b) C/N mendekati 10 dimana kandungan Ca 1 % dan Na 0,1 %.
7
c) Daya tukar Mg dan K berada pada batas normal, yaitu Mg 0,4 – 10 me/100 gram, sedangkan K 0,15 – 1,20 me/100 gram. Berhubung tanaman kelapa sawit dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, maka tanaman ini termasuk tanaman yang relatif mudah dibudidayakan. Keadaan demikian menyebabkan tanaman kelapa sawit dapat beradaptasi dengan sifat kimia tanah yang ekstrem sekalipun, dengan catatan ketinggian lahan tidak lebih dari 500 meter di atas permukaan laut (Fauzi et al., 2003). Menurut Sastrosayono (2006), yang penting tanaman tidak kekurangan air pada musin kemarau dan tidak tergenang pada musim hujan (drainase baik). Di lahan-lahan yang permukaan air tanahnya tinggi atau tergenang, akar akan busuk. Selain itu, pertumbuhan batang dan daunnya tidak mengindikasikan pertumbuhan tanaman yang baik. 2.2. Kultur Teknis Kelapa Sawit 2.2.1. Pembibitan Secara garis besar, menurut Setyamidjaja (2006) teknik budidaya tanaman kelapa sawit meliputi pengadaan bibit, pembukaan lahan, pembuatan rancangan kebun, penanaman bibit kelapa sawit, penanaman tanaman penutup tanah, pemeliharaan tanaman, dan pemeliharaan tanaman menghasilkan (TM). Pembibitan merupakan kegiatan awal di lapangan yang bertujuan untuk mempersiapkan bibit siap tanam. Pemilihan lokasi pembibitan harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain adalah pada areal datar atau bila tidak datar sebaiknya dibuat teras, dekat dengan sumber air, berada di tengah-tengah areal yang akan ditanami, bebas dari gangguan hewan liar maupun piaraan, dan mudah dikunjungi serta diawasi. Sistem pembibitan kelapa sawit yang digunakan dalam perkebunan kelapa sawit terdiri dari dua macam sistem, yaitu (1) single stage system (sistem pembibitan satu tahap) dan (2) double stage system (sistem pembibitan dua tahap). Pembibitan satu tahap artinya penanaman kecambah langsung pada pembibitan utama tanpa tahap pembibitan awal, sedangkan pada sistem pembibitan dua tahap terdapat dua tahapan, yaitu tahap pembibitan awal (pre nursery) dan tahap pembibitan utama (main nursery). Pemeliharaan persemaian (pre nursery) dan pemeliharaan pembibitan utama (main nursery) memiliki proses yang hampir sama, yakni meliputi proses
8
penyiraman, penyiangan gulma, pemupukan, penanggulangan hama dan penyakit, serta semai/bibit.
Menurut
Pahan (2008), Perawatan yang
baik akan
meningkaatkan vigor bibit yang nantinya akan berdampak pada peningkatan produksi pada tahun pertama menghasilkan (TM-1). Secara umum, karakter yang menyimpang pada tanaman kelapa sawit dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu kelainan pada habitus tanaman, kelainan pada bentuk anak daun (leaflet), dan kelainan daya pertumbuhan. 2.2.2. Pembukaan Lahan Cara pembukaan lahan untuk tanaman kelapa sawit disesuaikan dengan kondisi lahan yang tersedia, yaitu: 1. Bukaan baru (new planting) pada hutan primer, hutan sekunder, semak belukar atau areal yang ditumbuhi lalang 2. Konversi, yaitu penanaman pada areal yang sebelumnya ditanami dengan tanaman perkebunan seperti karet, kelapa, atau komoditas tanaman perkebunan lainnya. 3. Bukaan ulangan (replanting), yaitu areal yang sebelumnya telah ditanami kelapa sawit. Luas lahan perkebunan kelapa sawit berkisar antara 6.000 – 12.000 hektar sudah sesuai dengan kapasitas pabrik yang dibangun untuk pengolahan hasilnya. Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan secara mekanis, kimia, atau manual (Setyamidjaja, 2006). Tahapan pekerjaan yang dilakukan dalam pembukaan lahan kelapa sawit meliputi babat pendahuluan, menumbang, merencek (memotong cabang dan ranting kayu), serta merumpuk (menumpuk hasil tebangan). 2.2.3. Rancangan Kebun Setelah pembukaan lahan selesai, langkah selanjutnya adalah membuat rancangan untuk menetapkan lokasi-lokasi emplasement (kantor dan pabrik), perumahan (pondok-pondok) bagi karyawan dan pekerja kebun, jalan-jalan kebun, jembatan dan sebagainya. Rancangan kebun yang penting adalah jaringan jalan dan jembatan, karena sangat diperlukan untuk kegiatan rutin di kebun dan transportasi ke luar perkebunan. Jenis-jenis jalan yang ada di areal perkebunan
9
kelapa sawit diberi nama sesuai dengan kepentingannya dan dikenal beberapa jalan sebagai berikut : 1. Jalan utama, yaitu jalan yang menghubungkan afdeling dengan emplasement, afdeling dengan afdeling, dan keluar kebun/emplasement. 2. Jalan pengangkutan hasil atau jalan produksi, yaitu jalan yang digunakan dalam pengangkutan hasil dari kebun ke pabrik. Tempat pengumpulan hasil (TPH) berada pada jalan ini. 3. Jalan kontrol, yaitu jalan yang berfungsi sebagai batas blok atau batas pinggiran kebun, untuk memudahkan pelaksanaan pengontrolan (pengawasan) kebun oleh pimpinan kebun (Administratur, Asisten Kepala, Asisten, dll.). 2.2.4. Penanaman Tanaman Penutup Tanah Tanaman penutup tanah adalah tanaman kacangan (legume cover crops, LCC) yang ditanam untuk menutupi tanah yang terbuka di antara kelapa sawit karena belum terbentuk tajuk yang dapat menutup permukaan tanah. Jenis-jenis tanaman kacangan penutup tanah yang umum ditanam di perkebunan kelapa sawit adalah Calopogonium caeruleum, Calopogonium mucunoides, Pueraria javanica, Pueraria phaseoloides, Centrocema pubescens, Psophocarphus palustries, dan Mucuna cochinchinensis (Setyamidjaja, 2006) Menurut Pahan (2008), manfaat kacang-kacangan dalam pengusahaan tanaman kelapa sawit adalah sebagai berikut : a. Menambah bahan organik sehingga memperbaiki struktur tanah b. Memperbaiki status hara tanah, terutama nitrogen c. Memperbaiki sifat-sifat tanah akibat pembakaran (pembukaan lahan) d. Melindungi permukaan tanah dan mengurangi bahaya erosi, terutama pada tanah yang curam e. Mengurangi biaya pengendalian gulma f. Mendorong pertumbuhan tanaman dan meningkatkan produksi 2.2.5. Pemeliharaan Tanaman Belum Menghasilkan Tanaman belum menghasilkan (TBM) adalah tanaman kelapa sawit yang berada pada umur mulai ditanam hingga berumur kurang lebih 2,5 – 3 tahun. Beberapa kegiatan pemeliharaan tanaman belum menghasilkan yang penting dilaksanakan adalah sebagai berikut :
10
1. Penyulaman Penyulaman (menyisip) adalah mengganti tanaman yang mati, rusak berat, atau tumbuh abnormal dengan bibit yang baru. 2. Pembuatan dan pemeliharaan piringan Piringan atau bokoran (circle weeding) adalah lingkungan di sekitar individu tanaman yang dijaga agar selalu dalam keadaan bersih, pada radius antara 1,0 – 1,5 m dari pokok kelapa sawit. Pemeliharaan piringan yang penting adalah penyiangan gulma yang tumbuh pada piringan dengan cara dikored, dibabat, atau disemprot dengan herbisida. 3. Pemeliharaan tanaman kacangan penutup tanah Adapun pemeliharaan tanaman kacangan penutup tanah (legume cover crops, LCC) adalah sebagai berikut : a. Membuang gulma yang tumbuh di antara kacangan baik gulma yang berbentuk perdu, maupun rumput-rumputan b. Memelihara kemurnian LCC agar LCC yang ada adalah jenis LCC yang sengaja ditanam. 4. Pemupukan Jenis pupuk yang diberikan untuk tanaman kelapa sawit muda adalah pupuk buatan yang mengandung unsur hara N, P, K, Mg, dan B. Unsur hara B yang harus diberikan pada tanaman muda sangat penting untuk menghindarkan kekurangan B (Boron deficiency) karena kekurangan Boron dapat mengakibatkan kematian pada tanaman kelapa sawit muda. Sementara itu, kekurangan unsur N, P, K, dan Mg hanya akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman sehingga tanaman akan tumbuh lambat dan kerdil, tetapi tidak sampai mematikan. Jenis-jenis pupuk yang digunakan adalah Urea atau ZA (N), Rock Phosphate (P), Muriate of Potash (K), Kieserite (Mg), dan Borax (B). 5. Pemangkasan daun Tujuan pemangkasan daun adalah untuk memperoleh pokok yang bersih, jumlah daun yang optimal dalam satu pohon, dan memudahkan pekerjaan panenan bila tanaman sudah berproduksi.
11
6. Kastrasi bunga Kastrasi adalah pemotongan atau pembuangan bunga jantan dan bunga betina yang masih muda yang telah tumbuh pada tanaman yang berumur 12 – 20 bulan. Kastrasi berlangsung hingga 6 bulan sebelum panen yang pertama dimulai. Tujuan kastrasi bunga adalah : a. Untuk merangsang pertumbuhan vegetatif dan menghemat penggunaan unsur hara dan air, terutama bagi daerah yang curah hujannya relatif rendah. b. Menciptakan keadaan tanaman lebih bersih sehingga mengurangi kemungkinan
terjadinya
gangguan
hama
(tikus,
tupai)
dan
berjangkitnya penyakit Marasmius sp.. c. Memudahkan pelaksanaan penyerbukan buatan karena keadaan mahkota tanaman lebih bersih. Rotasi pelaksanaan kastrasi adalah sebulan sekali dan pemotongan bunga yang dimaksud menggunakan dodos atau IRHO tools. 7. Penyerbukan bantuan 8. Pengendalian hama dan penyakit Beberapa hama dan penyakit yang biasa menyerang tanaman muda (TBM) adalah jenis serangga, misalnya kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros), kumbang (Apogonia sp.), belalang (Valanga sp.), dan ulat perusak daun. Beberapa kegiatan pemeliharaan tanaman menghasilkan (TM) adalah pengendalian gulma, pemupukan, penjarangan, pemeliharaan jalan, serta pengendalian hama dan penyakit. Upaya pengendalian gulma telah dilaksanakan dengan menanami tanaman kacangan penutup tanah di antara tanaman kelapa sawit (gawangan) dan membuat piringan di sekeliling tiap individu tanaman. 2.3. Produktivitas Tanaman Kelapa Sawit Produktivitas tanaman kelapa sawit dipengaruhi oleh iklim, jenis tanah, serta kegiatan kultur teknis. Kegiatan kultur teknis mencakup pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, penunasan dan kegiatan panen. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia 60% tanahnya merupakan tanah Ultisols memiliki kualitas yang rendah dimana pH tanah < 5, KTK tanah rendah, <15 me/100g, Corganik < 1%, cadangan mineral rendah, tingkat erodibilitas dan pencuciannya
12
sangat tinggi (Adiwiganda et al., 1997). Produktivitas tanah Ultisols yang rendah ini harus diiringi dengan pemupukan yang berimbang untuk mendapat hasil yang optimum. Bila tidak dilakukan perbaikan kesuburan tanahnya, produksi tanaman yang diusahakan pada tanah tropika ini sangat rendah. Pemupukan yang berimbang perlu dilakukan sehubungan dengan tingkat kesuburan dan produksi yang rendah sehingga produktivitas tanah tropika dapat ditingkatkan.
Prinsip
pemupukan
berimbang
bertujuan
untuk
mencapai
pemupukan yang efektif dan efisien. Konsep pemupukan berimbang harus diterapkan berdasarkan status hara tanah dan kebutuhan hara tanaman. Pemupukan berimbang adalah upaya untuk meningkatkan mutu intensifikasi dengan menambah jenis dan takaran pupuk. Dosis pupuk yang berimbang dibuat atas dasar beberapa pertimbangan antara lain; 1) jumlah hara yang terangkut oleh hasil panen, 2) jumlah hara yang terimmobilisasi dalam batang, cabang, pelepah/daun, 3) jumlah hara yang dikembalikan ke dalam tanah, 4) jumlah hara yang terfiksasi dan hilang dalam tanah, dan 5) jumlah hara yang tersedia dalam tanah. Pemupukan perlu dilakukan secara rasional sesuai dengan kebutuhan tanaman, kemampuan tanah menyediakan unsur-unsur hara, sifat-sifat tanah, dan pengelolaan oleh petani. Kelebihan pemberian pupuk selain merupakan pemborosan, juga mengganggu keseimbangan unsur-unsur hara dalam tanah, sedangkan pemberian terlalu sedikit tidak akan memberikan produksi yang optimal. Seperti terlihat bahwa produktivitas tanaman kelapa sawit pada umur 3 – 13 tahun dari beberapa wilayah, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Utara dan Riau masih di bawah produktivitas baku lahan kelas kesesuaian lahan S-3 (Tabel 1). Persentase total produksi rata-rata di Kalimantan baru sekitar 60 persen, dan di Sumatera baru mencapai 70 persen dari potensi produksi baku lahan kelas S-3. Produksi standar kelas kesesuaian lahan S-3 untuk kelapa sawit umur 3 – 13 tahun sebesar 226,8 ton tandan buah segar per hektar (Poeloengan, et al., 2001 dalam Barchia, 2009).
13
Tabel 1. Perbandingan Produktivitas Kelapa Sawit di Kalimantan dan Sumatera terhadap standar kelas kesesuaian lahan S-3 Wilayah
Total Produksi (3 - 13 tahun)
Perbandingan Produksi terhadap
(Ton TBS/ha)
Standar S-3 (%)
138,1 141,8
60,8 62,5
Kalimantan Barat Kalimantan Timur Rata-rata
140,2
61,8
Sumatera Utara
174,4
76,9
Riau
142,8
62,9
Rata-rata
158,6
69,9
Sumber: Poeloengan, et al., 2001 dalam Barchia (2009) Produktivitas tandan buah kelapa sawit dapat diperhitungkan dari komponen-komponennya, yaitu jumlah tandan dan rata-rata berat tandan. Ratarata berat tandan akan meningkat sejalan dengan umur tanaman, sedangkan jumlah tandan akan menurun dengan semakin bertambahnya umur tanaman (Siregar, 1998). Pada keadaan normal, tandan buah kelapa sawit dapat mencapai matang panen untuk pertama kalinya setelah tanaman berumur 3-4 tahun di lapangan. Produktivitas tandan kelapa sawit meningkat dengan cepat dan mencapai maksimum pada umur tanaman 8-12 tahun, kemudian menurun secara perlahan-lahan dengan tanaman yang makin tua hingga umur ekonomis 25 tahun (Corley, 1976 dalam Siregar, 2003). 2.4. Produktivitas Kelapa Sawit antara Perkebunan Inti dengan Plasma Produktivitas kelapa sawit pada tanah tropika yang dikelola oleh perusahaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang dikelola oleh petani. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan, teknologi, tenaga, dan modal dari petani yang mengusahakan tanaman tersebut. Hasil kelapa sawit yang senjang antara produktivitas di perkebunan inti yang dikelola langsung oleh perusahaan perkebunan swasta besar dan plasma yang dikelola oleh petani terlihat nyata dari kebun kelapa sawit di Sumatera Utara seperti disajikan pada Tabel 2. Produktivitas puncak kebun sawit dicapai pada tahun ke-9 umur tanaman, pada perkebunan inti dengan hasil dapat mencapai 27,6 ton TBS/ha/tahun, sedangkan pada kebun plasma hanya berproduksi 13,6 ton TBS/ha/tahun, atau sekitar 50% dari produktivitas kebun inti.
14
Tabel 2. Produktivitas Kelapa Sawit pada Kebun Inti dan Plasma di Kalimantan Timur dan Sumatera Utara (Poeloengan, et al., 2001 dalam Barchia, 2009). Umur
Kalimantan Timur
Sumatera Utara
tanaman
Tabara
Sosa (ton TBS/ha/tahun)
tahun ke-
Inti
Plasma
Inti
Plasma
3
2,6
3,6
5,8
3,2
4
4,9
7,3
10,9
8,1
5
9,2
8,1
16,4
8,7
6
11,7
11,1
19,5
12,2
7
17,2
14,1
20,7
13,1
8
17,7
15,2
22,4
13,5
9
18,4
15,1
27,6
13,6
10
18,8
16,7
22,6
13,8
11
16,2
15,8
20,5
12
15,9
16,7
19,5
13
15,4
13,0
18,3
Rendahnya produktivitas pada kebun plasma disebabkan oleh kualitas sumberdaya petani plasma dan kemampuan swadayanya yang rendah. Pengelolaan tanah tropika untuk perkebunan kelapa sawit di tingkat plasma dihadapkan pada permasalahan adopsi teknologi yang tidak baku teknis karena keterbatasan pengetahuan dan daya beli sarana produksi yang rendah.
2.5. Konsep Usahatani Ilmu usahatani biasanya diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif bila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki (yang dikuasai) sebaik-baiknya, dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input). Tujuan dari analisis usahatani pada dasarnya yaitu mencari
15
informasi tentang keragaan suatu usaha tani yang dilihat dari berbagai aspek. Telaah seperti ini (kajian berbagai aspek) sangat penting karena tiap macam tipe usahatani pada tiap macam skala usaha dan pada tiap lokasi tertentu berbeda satu sama lain; karena hal tersebut memang ada perbedaan dalam karakteristik yang dipunyai pada usahatani yang bersangkutan (Soekartawi, 1995). Analisis struktur biaya usahatani menurut Soekartawi (1995), biasanya sering dilakukan dengan dua cara, yaitu: (a) Analisis finansial, dan (b) Analisis ekonomi. Dalam analisis finansial, data biaya yang dipakai adalah data riil yang sebenarnya dikeluarkan. Misalnya jumlah tenaga kerja yang dipakai 100 HKSP (Hari Kerja Setara Pria) dengan upah Rp 3.000/hari; maka biaya tenaga kerja adalah 100 × Rp 3.000 = Rp 300.000. Bila diantara 100 HKSP tersebut, 25 HKSP diantaranya adalah tenaga dalam keluarga, maka nilai upah yang dihitung hanya upah tenaga kerja yang menyewa saja sebesar 75 HKSP tersebut. Dalam analisis ekonomi, data upah yang dipakai adalah upah menurut ukuran harga bayangan (shadow price). Upah tenaga kerja di Jawa yang jumlah penduduknya berlebihan ini memungkinkan upah tenaga kerja riil lebih kecil daripada upah menurut ukuran perhitungan harga bayangan. Mungkin upah tersebut bernilai Rp 5.000/hari. Bila demikian, biaya untuk 100 HKSP menjadi 100 × Rp 5.000 = Rp 500.000. Rodjak (2002) mengemukakan bahwa usahatani adalah organisasi dari alam, kerja, modal yang ditujukan pada produksi di lapangan pertanian. Berdasarkan definisi tersebut, terdapat empat unsur pokok dalam usahatani yang saling terkait dalam pengelolaannya, yakni lahan, tenaga kerja, modal, dan manajemen. 1. Lahan merupakan faktor produksi utama dalam usahatani yang memiliki sifat-sifat khusus, yaitu masih relatif luas, tidak dapat dipisah-pisahkan dan sangat membutuhkan perawatan (pemupukan). Lahan sebagai faktor produksi usahatani mengandung pengertian bahwa lahan tersebut harus dikombinasikan dengan faktor produksi lainnya (modal, tenaga kerja, dan keterampilan) sehingga dapat menghasilkan produk yang berupa tanaman atau ternak. Lahan pada usahatani dapat berupa lahan pekarangan, tegalan, dan sebagainya.
16
2. Tenaga kerja merupakan faktor produksi kedua dalam proses produksi pertanian. Tenaga kerja sebagai faktor produksi mengandung arti bahwa tenaga kerja tersebut merupakan sub-sistem produksi, artinya apabila faktor tenaga kerja tidak ada, maka produksi suatu barang/tanaman dan ternak tidak akan terjadi atau sistem produksi tidak akan berjalan. Besar kecilnya peranan tenaga kerja terhadap hasil produksi usahatani akan dipengaruhi oleh keterampilan tenga kerja yang tercermin oleh tingkat produktivitasnya. Tingkat produktivitas tenaga kerja dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, pengalaman kerja, kesehatan, alat bantu yang diberikan, serta tingkat upah dan waktu bekerja. Berdasarkan sumbernya, tenaga kerja berasal dari dalam dan luar rumah tangga (keluarga). Kebutuhan tenaga kerja dipengaruhi oleh jenis komoditas, jenis tanah yang diolah, intensitas pengolahan, pola tanam yang dilakukan, keadaan sistem pengairan, dan tekhnologi. Ada beberapa sistem upah tenaga kerja dalam usahatani, yaitu sistem upah harian tidak tetap, sistem upah harian tetap, sistem upah borongan, dan sistem upah kontrak. Konversi tenaga kerja untuk pria : wanita : anak adalah 1 : 0,8 : 0,5 3. Modal merupakan faktor produksi ketiga yang diartikan sebagai barang ekonomi, artinya bahwa modal merupakan sebagian dari hasil produksi, yang disisihkan untuk dipergunakan dalam proses produksi selanjutnya. Modal dapat berupa lahan, bangunan, peralatan, mesin, tanaman (benih/bibit), stok produksi dan uang tunai. Menurut sifatnya, modal dibedakan atas : - Modal tetap, yaitu modal yang dapat digunakan untuk beberapa kali produksi. Yang termasuk modal tetap diantaranya adalah lahan usaha yang dimiliki, bangunan, traktor dan bajak, tanaman budidaya, ternak, alat pembasmi hama dan penyakit. - Modal tidak tetap atau modal lancar, yaitu modal yang habis digunakan dalam satu kali produksi perlengkapan, uang tunai, benih, dan piutang. 4. Manajemen
usahatani
merupakan
kemampuan
petani
dalam
menentukan, mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi usahatani (laahn, tenaga kerja, dan modal). Peranan keterampilan
17
manajemen dalam proses produksi akan tercermin dalam kualitas hasil usahatani yang diperoleh. Hal ini akan terlihat bahwa apabila suatu usahatani dikelola oleh tenaga yang mempunyai keahlian dan keterampilan yang tinggi, maka akan diperoleh hasil usahatani yang mempunyai kualitas yang tinggi denagn penggunaan faktor produksi yang efektif dan efisien. Dengan demikian, keberhasilan usahatani dapat diukur dari produktivitas yang tinggi dan ditentukan oleh pengelolaan yang baik dari setiap faktorfaktor produksi tersebut. Hal-hal yang menyebabkan petani sering kurang berhasil dalam mengelola usahatani adalah; -
Pengetahuan cara produksi (teknologi) yang kurang
-
Tidak memiliki akses pada sumber-sumber permodalan
-
Kurangnya informasi tentang kondisi pasar
-
Belum mampu mengetahui perubahan ekonomi, politik, dan sosial budaya.
2.6. Perkembangan Wilayah Konsep perkembangan wilayah dikembangkan dari kebutuhan suatu daerah untuk meningkatkan fungsi dan perannya dalam menata kehidupan sosial, ekonomi, budaya, pendidikan dan kesehateraan masyarakat. Pengaruh globalisasi, pasar bebas dan regionalisasi menyebabkan terjadinya perubahan dan dinamika spasial, sosial, dan ekonomi antarnegara, antardaerah (kota/kabupaten), kecamatan hingga perdesaan. Pengembangan dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu wilayah untuk mengembangkan kualitas hidup masyarakatnya. Jadi pengembangan wilayah harus dipandang sebagai sutau proses yang memiliki keterkaitan dan saling mempengaruhi antar faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkembangan tersebut serta dapat diidentifikasi dan dianalisis dengan seksama sehingga diketahui runtutan peristiwa yang timbul yang akan mewujudkan peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat dari satu tahap pembangunan ke tahap pembangunan selanjutnya (Sitorus, 2006). Pengembangan perdesaan merupakan suatu pendekatan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat melalui pengembangan sistem usaha pertanian yang mengubah struktur kegiatan ekonomi dari yang bercorak subsisten ke modern, disertai dengan proses transformasi sosial dan lingkungan fisik. Pengembangan
18
wilayah merupakan suatu pendekatan pengarahan proses transformasi ekonomi, sosial, dan lingkungan ke dalam tatanan ruang berdasarkan pada pengembangan interaksi ekonomi antar regional, penyediaan infrastruktur dan pengembangan kawasan permukiman dengan mempertimbangakan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup untuk meningkatkan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Secara sederhana konsep pengembangan wilayah perlu dilakukan dalam perencanaan perdesaan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan memperkuat masyarakat di lapisan bawah agar dapat mempengaruhi pasar secara berkelanjutan. Berdasarkan konsep wilayah nodal, pusat atau hinterland suatu wilayah dapat ditentukan dari kelengkapan fungsi pelayanan suatu wilayah. Secara teknis hal tersebut dapat dilakukan dengan mengidentifikasi jumlah dan jenis fasilitas umum, industri, dan jumlah penduduknya. Unit wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, industri, dan jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas yang secara relatif paling lengkap dibandingkan dengan unit wilayah lain akan menjadi pusat atau mempunyai hirarki lebih tinggi. Sebaliknya, jika suatu wilayah mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, industri, dan jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas paling rendah merupakan wilayah hinterland dari unit wilayah yang lain (Rustiadi et al., 2009). Secara teoritis, hierarki wilayah sebenarnya ditentukan oleh tingkat kapasitas pelayanan wilayah secara totalitas yang tidak terbatas ditunjukkan oleh kapasitas infrastruktur fisiknya saja tetapi juga kapasitas kelembagaan, sumberdaya manusia serta kapasitas perekonomiannya. Dalam perencanaan tata ruang hierarki dapat ditentukan dengan teknik skalogram. Oleh karena itu, dalam penyusunan suatu hirarki dapat ditentukan jumlah jenis sarana. Hirarki dari pusat pelayanan yang lebih tinggi memiliki jumlah dan jenis sarana pelayanan yang lebih banyak dan lebih beragam dari pusat pelayanan yang berhirarki lebih rendah.