II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Corporate Social Responsibility 2.1.1. Definisi Corporate Social Responsibility Secara umum Corporate Social Responsibility (CSR) atau corporate citizenship merupakan segala upaya dalam dunia usaha untuk mencari pola-pola kemitraan (partnership) dengan seluruh stakeholder agar dapat berperan dalam pembangunan, sekaligus meningkatkan kinerjanya agar tetap dapat bertahan dan bahkan berkembang menjadi perusahaan yang mampu bersaing. Hal tersebut dimaksudkan untuk mendorong dunia usaha lebih etis dalam menjalankan aktivitasnya agar tidak berpengaruh atau berdampak buruk pada masyarakat dan lingkungan hidupnya, sehingga pada akhirnya dunia usaha akan dapat bertahan secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat ekonomi yang menjadi tujuan di bentuknya dunia usaha. Perusahaan diharuskan memperhatikan
kepentingan
stakeholders
perusahaan
dengan
menciptakan nilai tambah (value added) dari produk dan jasa, serta sekaligus memelihara keseimbangan nilai tambah yang di ciptakannya. The
International
Organization
of
Employers
(IOE)
mendefinisikan CSR sebagai "initiatives by companies voluntarily integrating social and environmental concerns in their business operations and in their interaction with their stakeholders." Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pertama, CSR merupakan tindakan perusahaan yang bersifat sukarela dan melampaui kewajiban hukum terhadap peraturan perundang-undangan Negara. Kedua, definisi tersebut memandang CSR sebagai aspek inti dari aktivitas bisnis di suatu perusahaan dan melihatnya sebagai suatu alat untuk terlibat dengan para pemangku kepentingan. Menurut World Business Council on Sustainable Development adalah komitmen dari bisnis atau perusahaan untuk berperilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan,
8
sekaligus meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas (Wibisono, 2007). Sedangkan definisi tanggung jawab sosial yang digunakan Indonesia Business Links (IBL) adalah strategi atau upaya manajemen yang dijalankan entitas bisnis untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan berdasarkan keseimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif dari pilar. CSR didefinisikan secara berbeda oleh masing-masing perusahaan, akan tetapi secara umum artikulasinya mengandung banyak persamaan. Kesamaan artikulasi tersebut terletak pada ketatalaksanaan suatu perusahaan dalam mengelola bisnisnya agar dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat. Crane, dkk (2008) menyatakan bahwa CSR berarti perusahaan melakukan
internalisasi-eksternalitas
dalam
kegiatan
usahanya.
Eksternalitas adalah dampak positif dan negatif aktivitas perusahaan yang ditanggung oleh pihak lain, namun tidak diperhitungkan dalam pengambilan keputusan perusahaan, sehingga tidak tercermin dalam harga produk. Seluruh pakar CSR tidak bisa menerima adanya perusahaan yang mengaku ber-CSR namun tidak melakukan manajemen yang optimal atas eksternalitas. Konsekuensinya, apabila perusahaan hendak dianggap berkinerja sosial yang tinggi, ia berturut-turut harus memastikan tiga hal berikut: dampak negatifnya telah ditekan hingga seminimal mungkin, dampak residual (dampak negatif yang masih tersisa setelah ditekan) telah dikompensasi dengan proporsional, dan dampak positifnya telah dikelola semaksimal mungkin. Pemahaman ini didukung oleh Jalal (Aktivis Lingkar Studi CSR, Senior Associate di Kiroyan Partners) bahwa CSR adalah manajemen dampak. CSR terutama berkaitan dengan
bagaimana keuntungan dibuat
oleh
perusahaan, bukan sekadar berapa dan kepada siapa keuntungan itu disebarkan. Citra positif adalah hasil menjalankan CSR dalam jangka panjang, namun citra bukanlah tujuan menjalankan CSR itu sendiri.
9
Ada berbagai pendapat mengenai aktivitas-aktivitas yang dapat dikategorikan sebagai aktivitas sosial yang menunjukkan bentuk keterlibatan sosial perusahaan terhadap masyarakat. Kotler dan Lee (2005) merumuskan aktivitas yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial dalam 6 kelompok kegiatan, antara lain : a. Promotion, adalah aktivitas sosial yang dilakukan melalui komunikasi yang meyakinkan dalam rangka meningkatkan perhatian dan kepedulian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan isu sosial yang sedang berkembang. b. Marketing,
dilakukan
melalui
komitmen
perusahaan
untuk
menyumbangkan sebesar persentase tertentu hasil penjualannya untuk kegiatan sosial. c. Corporate Social Marketing, dilakukan dengan cara mendukung atau pengembangan dan atau penerapan suatu perubahan perilaku dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. d. Corporate Philantropy, merujuk pada kegiatan yang diberikan langsung. e. Community Volunteering, merupakan bentuk aktivitas sosial yang diberikan perusahaan dalam rangka memberikan dukungan bagi kesejahteraan masyarakat dan lingkungan. Dukungan tersebut dapat diberikan berupa keahlian, talenta, ide, dan atau fasilitas laboratorium. f. Social Responsibility Business Practices, merupakan kegiatan penyesuaian dan pelaksanaan praktik-praktik operasional usaha dan investasi
yang
mendukung
peningkatan
kesejahteraan
hidup
masyarakat dan melindungi atau menjaga lingkungan, misalnya membangun fasilitas pengolahan limbah, memilih supplier dan atau kemasan yang ramah lingkungan, dan lain-lain. Terdapat 3 (tiga) jenis tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang dapat dibedakan, antara lain : 1. Ethical corporate social responsibility, pandangan Lantos yang dikutip oleh Paryati (2006) yaitu bahwa perusahaan memiliki
10
tanggung jawab untuk menghindari terjadinya kerusakan lingkungan atau sosial masyarakat akibat kegiatan bisnis perusahaan. 2. Altoristik corporate social responsibility, adalah aktivitas sosial perusahaan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat tanpa terkait langsung dengan keputusan perusahaan. 3. Strategic corporate social responsibility, adalah aktivitas perusahaan yang ditujukan untuk meningkatkan citra perusahaan pada target pasarnya sehingga meningkatkan pendapatan perusahaan. 2.1.2. Konsep Corporate Social Responsibility Dari berbagai definisi di atas dapat diketahui bahwa pentingnya sustainability (berkesinambungan/berkelanjutan) yaitu dilakukan secara terus-menerus untuk efek jangka panjang dan bukan hanya dilakukan sekali saja. Konsep CSR memang sangat berkaitan erat dengan konsep sustainability development (pembangunan yang berkelanjutan). Dengan demikian, konsep CSR mengandung arti selain memiliki tanggung jawab untuk mendatangkan keuntungan bagi para pemegang saham dan untuk menjalankan bisnisnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku, suatu perusahaan juga memiliki tanggung jawab moral, etika, dan filantropik. Pandangan tradisional mengenai perusahaan melihat bahwa tanggung jawab utama (jika bukan satu-satunya) perusahaan adalah semata-mata terhadap pemiliknya, atau para pemegang saham. Adanya konsep CSR mewajibkan perusahaan untuk memiliki pandangan yang lebih luas yaitu bahwa perusahaan juga memiliki tanggung jawab terhadap pihak-pihak lain seperti karyawan, supplier, konsumen, komunitas setempat, masyarakat secara luas, pemerintah, dan kelompok-kelompok lainnya. Dalam hal ini, jika sebelumnya pijakan tanggung jawab perusahaan hanya terbatas pada sisi finansial saja (single bottom line), kini dikenal konsep triple bottom line, yaitu tanggung jawab perusahaan berpijak pada 3 dasar, yaitu : finansial, sosial, dan lingkungan.
11
CSR suatu perusahaan harus memiliki tiga konsep dasar yang dikenal dengan istilah Triple Bottom Lines (Wibisono, 2007) yaitu profit, people, dan planet : 1. Profit (Keuntungan) Profit merupakan unsur terpenting dan menjadi utama dari setiap kegiatan usaha. Pada hakekatnya profit merupakan tambahan pendapatan yang digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Sedangkan aktivitas yang dapat ditempuh antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efisiensi biaya, sehingga perusahaan mempunyai keunggulan kompetitif yang dapat memberikan nilai tambah semaksimal mungkin. Pada intinya profit berorientasi
untuk
memungkinkan
mencari
untuk
keuntungan
terus
beroperasi
ekonomi dan
yang
melakukan
perkembangan. 2. People (Masyarakat Pemangku Kepentingan) Masyarakat merupakan stakeholder penting bagi perusahaan, karena dukungan
mereka
sangat
diperlukan
bagi
keberadaan,
keberlangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan. Intinya berorientasi pada kepedulian terhadap kesejahteraan manusia seperti pemberian beasiswa bagi pelajar, pembangunan sarana pendidikan dan kesehatan, bantuan modal usaha, dan balai pelatihan keterampilan. 3. Planet (Lingkungan) Lingkungan adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang kehidupan manusia. Semua kegiatan yang manusia lakukan berhubungan dengan lingkungan. Konsep ini mencakup kegiatan peduli terhadap lingkungan hidup dan berkelanjutan keragaman hayati. Prinsip ini biasanya berupa penghijauan lingkungan hidup, penyediaan
sarana
air
pengembangan pariwisata.
bersih,
perbaikan
pemukiman,
dan
12
2.1.3. Prinsip-prinsip Corporate Social Responsibility Secara umum prinsip-prinsip CSR berlandaskan pada konsep pembangunan berkelanjutan dan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance). Warhust dalam Wibisono (2007) mengajukan prinsip-prinsip CSR sebagai berikut : 1. Prioritas korporat. Mengakui tanggung jawab sosial sebagai prioritas tertinggi korporat dan penentu utama pembangunan yang berkelanjutan. Dengan begitu korporat bisa membuat kebijakan, program, dan praktek dalam menjalankan operasi bisnisnya dengan cara yang bertanggung jawab secara sosial. 2. Manajemen terpadu. Mengintegrasikan kebijakan, program, dan praktek ke dalam setiap kegiatan bisnis sebagai satu unsur manajemen dalam sebuah fungsi manajemen. 3. Proses
perbaikan.
Secara
berkesinambungan
memperbaiki
kebijakan, program, dan kinerja sosial korporat berdasarkan temuan riset mutakhir dan memahami kebutuhan sosial serta menerapkan kriteria sosial tersebut secara internasional. 4. Pendidikan
karyawan.
Menyelenggarakan
pendidikan
dan
pelatihan karyawan serta memotivasi karyawan. 5. Pengkajian. Melakukan kajian dampak sosial sebelum memulai kegiatan atau proyek baru dan sebelum menutup satu fasilitas atau meninggalkan lokasi pabrik. 6. Produk dan jasa. Mengembangkan produk atau jasa yang tidak berdampak negatif secara sosial. 7. Informasi publik. Memberikan informasi dan (bila diperlukan) mendidik pelanggan, distributor, dan publik tentang pengunaan yang aman, transportasi, penyimpanan dan pembuangan produk, begitu pula dengan jasa. 8. Fasilitas
dan
operasi.
Mengembangkan,
mengoperasikan
fasilitas
serta
menjalankan
mempertimbangkan temuan kajian dampak sosial.
merancang,
dan
kegiatan
yang
13
9. Penelitian. Melakukan atau mendukung penelitian dampak sosial bahan baku, produk, proses, emisi, dan limbah yang terkait dengan kegiatan usaha dan penelitian yang menjadi sarana untuk mengurangi dampak negatif. 10. Prinsip pencegahan. Memodifikasi manufaktur, pemasaran, atau penggunaan, produk atau jasa sejalan dengan penelitian mutakhir untuk mencegah dampak sosial yang bersifat negatif. 11. Siaga menghadapi darurat. Menyusun dan merumuskan rencana menghadapi keadaan darurat, dan bila terjadi keadaan berbahaya maka bekerja sama dengan layanan gawat darurat, instansi berwenang, dan komunitas lokal. Sekaligus mengenali potensi bahaya yang muncul. 12. Transfer best practise. Berkontribusi pada pengembangan dan transfer praktek bisnis yang bertanggung jawab secara sosial pada semua industri dan sektor publik. 13. Memberi
sumbangan.
Sumbangan
untuk
usaha
bersama,
pengembangan kebijakan publik dan bisnis, lembaga pemerintah dan lintas departemen pemerintah, serta lembaga pendidikan yang akan meningkatkan kesadaran tentang tanggung jawab sosial. 14. Keterbukaan. Menumbuhkembangkan keterbukaan dan dialog dalam pekerja dan publik, mengantisipasi dan memberi respons terhadap potencial hazard dan dampak operasi, produk, limbah, atau jasa. 15. Pencapaian
dan
pelaporan.
Mengevaluasi
kinerja
sosial,
melaksanakan audit sosial secara berkala, serta mengkaji pencapaian berdasarkan kriteria korporat dan peraturan perundang-undangan dalam menyampaikan informasi tersebut pada Dewan Direksi, pemegang saham, pekerja, dan publik. 2.1.4. Model-model Corporate Social Responsibility Menurut Saidi dan Abidin (2004) terdapat 4 (empat) model CSR yang umum diterapkan oleh perusahaan di Indonesia, antara lain :
14
1. Keterlibatan langsung Perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa perantara. Untuk menjalankan tugas ini biasanya perusahaan menugaskan salah satu pejabat seniornya, seperti corporate secretary atau public affair manajer atau menjadi bagian dari tugas pejabat public relation. 2. Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau grupnya. Model ini merupakan adopsi dari model yang lazim diterapkan perusahaan-perusahaan di negara maju. Biasanya perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin, atau dana abadi yang dapat digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan. 3. Bermitra dengan pihak lain Perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga
sosial/organisasi
non
pemerintah
(Ornop),
instansi
pemerintah, universitas atau media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya. 4. Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Dibandingkan dengan model lainnya, pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah perusahaan yang bersifat “hibah pembangunan”. Pihak konsorsium atau lembaga semacam itu yang dipercayai oleh perusahaan-perusahaan yang mendukungnya secara proaktif mencari mitra kerja sama dari lembaga operasional. Sedangkan menurut Wibisono (2007), terdapat 2 (dua) model atau pola CSR yang umum diterapkan oleh perusahaan dalam melakukan kegiatan CSR, antara lain : 1. Self managing Pola keterlibatan secara langsung dan melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Kelebihannya adalah pelaksanaan kegiatan lebih
15
sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan, lebih mudah di kontrol dan di monitor, lebih efisien untuk kegiatan jangka pendek, dan perusahaan dapat belajar langsung merancang program CSR. Kekurangan self managing adalah keterampilan karyawan yang umumnya masih kurang, membutuhkan sumber daya khusus dengan jumlah yang cukup dan berpotensi pada pembengkakan anggaran. 2. Outsourching Outsourching memiliki dua pola. Pola pertama adalah bermitra dengan pihak lain, LSM, instansi pemerintah, universitas, media massa, dan sebagainya. Pola kedua dengan bergabung atau mendukung kegiatan bersama baik jangka pendek ataupun jangka panjang. Kelebihan pola Outsourching adalah perusahaan bisa memilih mitra profesional yang sesuai dengan karakter program, tidak memerlukan SDM dengan kapasitas khusus dan kinerja program dapat dengan mudah di evaluasi. Sedangkan kekurangannya yaitu anggaran yang dikeluarkan perusahaan relatif besar, seringkali perusahaan tidak dapat mengikuti perkembangan secara langsung dan diperlukan mekanisme kontrol yang baik. 2.1.5. Tahap-tahap Penerapan CSR Menurut Wibisono (2007) perusahaan yang telah berhasil dalam menerapkan CSR menggunakan tahapan sebagai berikut : 1. Tahap Perencanaan Perencanaan terdiri atas tiga langkah utama yaitu Awareness Building, CSR Assessement, dan CSR manual building. Awareness Building merupakan langkah awal untuk membangun kesadaran mengenai arti penting CSR dan komitmen manajemen. Upaya ini dapat dilakukan antara lain melalui seminar, lokakarya, diskusi kelompok, dan lain-lain. CSR Assessement merupakan upaya untuk memetakan kondisi perusahaan
dan
mengidentifikasi
aspek-aspek
yang
perlu
mendapatkan prioritas perhatian dan langkah-langkah yang tepat
16
untuk membangun struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan CSR secara efektif. Langkah selanjutnya adalah membangun CSR manual building. Hasil penelitian merupakan dasar penyusunan manual atau pedoman implementasi CSR. Upaya yang mesti dilakukan antara lain melalui benchmarking, menggali dari referensi atau bagi perusahaan yang menginginkan langkah praktis, penyusunan manual ini dapat dilakukan dengan meminta bantuan tenaga ahli independen dari luar perusahaan. Manual ini merupakan inti dari perencanaan karena memberikan petunjuk pelaksanaan CSR bagi komponen perusahaan. Penyusunan manual CSR di buat sebagai acuan, pedoman, dan panduan dalam pengelolaan kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan oleh perusahaan. Pedoman ini diharapkan mampu memberikan kejelasan dan keseragaman pola pikir dan pola tindak seluruh elemen perusahaan guna tercapainya program yang terpadu, efektif, dan efisien. 2. Tahap Implementasi Suatu perencanaan harus diimplementasikan atau dilaksanakan. Tahap implementasi terdiri atas tiga langkah utama yakni sosialisasi, pelaksanaan,
dan
internalisasi.
Sosialisasi
diperlukan
untuk
memperkenalkan berbagai aspek yang terkait dengan implementasi CSR khususnya mengenai pedoman penerapan CSR. Tujuan utama sosialisasi adalah program CSR mendapat dukungan penuh dari seluruh komponen perusahaan, sehingga dalam pelaksanaannya dapat berjalan lancar. Pelaksanaan kegiatan yang dilakukan pada dasarnya harus sejalan dengan pedoman CSR yang ada, berdasarkan pada roadmap yang telah di susun. Sedangkan internalisasi adalah tahap jangka panjang. Internalisasi mencakup upaya-upaya memperkenalkan CSR di dalam seluruh
proses
manajemen
bisnis
kinerja,
perusahaan prosedur
misalnya
pengadaan,
melalui proses
sistem
produksi,
17
pemasaran, dan proses bisnis lainnya. Sehingga penerapan CSR menjadi strategi perusahaan bukan lagi sebagai upaya untuk compliance tapi sudah beyond compliance. 3. Tahap Evaluasi Tahap evaluasi adalah tahap yang diperlukan secara konsisten dari waktu ke waktu untuk mengukur sejauh mana efektivitas penerapan CSR. Evaluasi dilakukan untuk pengambilan keputusan. Misalnya keputusan untuk menghentikan, melanjutkan atau memperbaiki dan mengembangkan aspek-aspek tertentu dari program yang telah diimplementasikan. Evaluasi juga bisa dilakukan dengan meminta pihak independen untuk melakukan audit implementasi atas praktek CSR yang telah dilakukan. Langkah ini tidak terbatas pada kepatuhan terhadap peraturan dan prosedur operasi standar tetapi juga mencakup pengendalian risiko perusahaan. Evaluasi dalam bentuk assessment audit atau scoring juga dapat dilakukan secara mandatori. 4. Tahap Pelaporan Pelaporan ditentukan dalam rangka membangun sistem informasi baik untuk keperluan proses pengambilan keputusan maupun keperluan keterbukaan informasi material yang relevan mengenai perusahaan. Jadi selain berfungsi untuk keperluan shareholder juga untuk stakeholder lainnya yang memerlukan. 2.1.6. Manfaat Melakukan CSR dan Ukuran Keberhasilannya Kotler dan Lee (2005) menyatakan bahwa partisipasi perusahaan dalam berbagai bentuk tanggung jawab sosial dapat memberikan banyak manfaat bagi perusahaan, antara lain : 1.
Meningkatkan penjualan dan market share
2.
Memperkuat brand positioning
3.
Meningkatkan image dan pengaruh perusahaan
4.
Meningkatkan kemampuan untuk menarik hati, memotivasi, dan mempertahankan (retain) karyawan
5.
Menurunkan biaya operasional
18
6.
Meningkatkan hasrat bagi investor untuk berinvestasi. Satyo
(Media
Akuntansi,
Edisi
47/Tahun
XII/Juli
2005)
menyatakan penyajian laporan berkaitan aktivitas sosial dan lingkungan memberikan banyak manfaat bagi perusahaan antara lain meningkatkan citra perusahaan, di sukai konsumen, dan di minati investor. Tanggung jawab sosial perusahaan tersebut memberikan keuntungan bersama bagi semua pihak, baik perusahaan sendiri, karyawan, masyarakat, pemerintah maupun lingkungan. Dari segi perusahaan terdapat berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari aktivitas CSR (Susanto, 2007), antara lain : 1.
Mengurangi resiko dan tuduhan terhadap perlakuan tidak pantas yang di terima perusahaan
2.
Perlindungan dan membantu perusahaan meminimalkan dampak buruk yang diakibatkan suatu krisis
3.
Ketertiban dan kebanggaan karyawan
4.
Memperbaiki dan mempererat hubungan perusahaan
5.
Meningkatkan jumlah penjualan
6.
Insentif-insentif lainnya. Terdapat 2 (dua) indikator keberhasilan yang dapat digunakan
untuk mengetahui efektivitas program CSR (Wibisono, 2007), yaitu : 1.
Indikator internal a. Ukuran Primer/Kualitatif (M-A-O terpadu) 1) Minimize (M) : Meminimalkan perselisihan/konflik/potensi konflik antara perusahaan dengan masyarakat dengan harapan
terwujudnya
hubungan
yang harmonis
dan
kondusif. 2) Asset
(A)
:
Aset
perusahaan
yang
terdiri
dari
pemilik/pemimpin perusahaan, karyawan, pabrik, dan fasilitas pendukungnya terjaga dan terpelihara dengan aman. 3) Operational (O) : Seluruh kegiatan operasional berjalan aman dan lancar.
19
b. Ukuran sekunder
2.
1)
Tingkat penyaluran dan kolektibilitas.
2)
Tingkat compliance pada aturan yang berlaku.
Indikator eksternal a. Indikator ekonomi 1) Tingkat pertambahan kualitas sarana dan prasarana umum. 2) Tingkat
peningkatan
kemandirian
masyarakat
secara
ekonomis. 3) Tingkat peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat secara berkelanjutan. b. Indikator sosial 1)
Frekuensi terjadinya gejolak/konflik sosial.
2)
Tingkat kepuasan masyarakat.
2.2. Perkembangan CSR di Indonesia Perkembangan signifikan tanggung jawab sosial perusahaan-perusahaan di Indonesia ditandainya dengan adanya Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas No 40 Tahun 2007 (UU PT), disahkan pada tanggal 20 Juli 2007 yang mengharuskan perseroan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial (CSR). Pada pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya ini, perusahaan khususnya perseroan terbatas yang bergerak di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam harus melaksanakan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat. Menurut Wibisono (2007) perusahaan memperoleh beberapa keuntungan karena
menerapkan
tanggung
jawab
sosialnya
antara
lain:
untuk
mempertahankan dan mendongkrak reputasi dan brand image perusahaan; layak mendapatkan ijin untuk beroperasi (social license to operate), mereduksi risiko bisnis perusahaan; melebarkan akses ke sumber daya; membentangkan akses menuju pasar; mereduksi biaya; memperbaiki
20
hubungan dengan stakeholders, memperbaiki hubungan dengan regulator; dan meningkatkan semangat dan produktifitas karyawan. Pada awal perkembangannya, bentuk tanggung jawab sosial yang paling umum adalah pemberian bantuan terhadap organisasi-organisasi lokal dan masyarakat miskin di negara-negara berkembang. Pendekatan CSR yang berdasarkan motivasi karitatif dan kemanusiaan ini pada umumnya dilakukan secara parsial dan tidak melembaga. CSR pada tataran ini hanya berbuat baik agar terlihat baik. Perusahaan yang melakukannya termasuk dalam kategori perusahaan
impresif
yang
lebih
mementingkan
promosi
dibanding
pemberdayaannya (Suharto, 2008). Dewasa ini semakin banyak perusahaan yang kurang menyukai pendekatan karitatif semacam itu, karena tidak mampu meningkatkan keberdayaan atau kapasitas masyarakat lokal. Pendekatan community development kemudian semakin banyak diterapkan karena lebih mendekati konsep penguasaan dan perbaikan berkelanjutan. Prinsip-prinsip good corporate governance, seperti kejujuran, keterbukaan, akuntabilitas, dan responsibilitas kemudian menjadi pijakan untuk mengukur keberhasilan program CSR. Kegiatan tanggung jawab sosial yang dilakukan saat ini juga sudah mulai beragam, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat. Mulai dari pembangunan fasilitas pendidikan dan kesehatan, pemberian pinjaman modal bagi UKM, pemberian beasiswa, penyuluhan HIV/AIDS, penguatan kearifan lokal, pengembangan skema perlindungan sosial berbasis masyarakat dan seterusnya. CSR pada tataran ini tidak sekadar berbuat baik agar terlihat baik, melainkan
menciptakan
kebaikan
atau
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat. 2.2.1. CSR dan Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) Di Indonesia telah banyak perusahaan melakukan berbagai kegiatan CSR, sehingga pemerintah perlu mengeluarkan undang-undang yang terkait dengan pelaksanaan CSR beserta dengan sanksi apabila perusahaan tidak menjalankan CSR. Isi Undang-undang PT No. 40 pasal 74 yang mewajibkan pelaksanaan CSR bagi perusahaan-
21
perusahaan yang terkait terhadap SDA dan yang menghasilkan limbah antara lain : Ayat 1, dijelaskan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Ayat 2, dijelaskan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan itu merupakan
kewajiban
perseroan
yang
dianggarkan
dan
diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatuhan dan kewajaran. Ayat 3, menggariskan perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana Pasal 1 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat 4, menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah. Undang-Undang tersebut memiliki multitafsir dan berpotensi tumpang tindih dengan aturan pada tingkat bawahnya. Misalnya, peraturan tentang lingkungan hidup mengharuskan limbah dari kegiatan produksi dikelola oleh perusahaan sesuai dengan standar yang dimasukan oleh pemerintah, belum jelas apakah masuk dalam bentuk tanggung jawab sosial yang dimasukkan dalam UU PT atau ada bentuk lain. Multitafsir tanggung jawab sosial dalam UU PT ini terjadi karena dalam UU PT ini tidak mendefinisikan tanggung jawab sosial secara jelas, belum ada kesamaan persepsi mengenai tanggung jawab sosial dikalangan pelaku usaha, pemerintah, dan DPR. Apalagi pengaturan tanggung jawab sosial dalam UU PT disahkan oleh DPR tanpa proses partisipatif pelaku usaha. Untuk itu pemerintah dan pelaku usaha perlu mengupayakan komunikasi lebih baik untuk menjembatani kesenjangan persepsi tentang tanggung jawab sosial. Peraturan lain yang menyentuh tanggung jawab sosial adalah UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b) menyatakan bahwa ”Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung
22
jawab sosial perusahaan.” Meskipun UU ini telah mengatur sanksisanksi secara terperinci terhadap badan usaha atau usaha perseorangan yang mengabaikan tanggung jawab sosial (Pasal 34), UU ini baru mampu menjangkau investor asing dan belum mengatur secara tegas perihal tanggung jawab sosial bagi perusahaan nasional. Jika dicermati, peraturan tentang tanggung jawab sosial yang relatif lebih terperinci adalah UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. UU ini kemudian dijabarkan lebih jauh oleh Peraturan Menteri Negara BUMN No. 4 Tahun 2007 yang mengatur mulai dari besaran dana hingga tata cara pelaksanaan CSR. Seperti kita ketahui, tanggung jawab sosial milik BUMN adalah Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Dalam UU BUMN dinyatakan bahwa selain mencari keuntungan, peran BUMN adalah juga memberikan bimbingan bantuan secara aktif kepada
pengusaha
golongan
lemah,
koperasi
dan
masyarakat.
Selanjutnya, Peraturan Menteri Negara BUMN menjelaskan bahwa sumber dana PKBL berasal dari penyisihan laba bersih perusahaan sebesar 2 % yang dapat digunakan untuk Program Kemitraan dan Bina Lingkungan. Peraturan ini juga menegaskan bahwa pihak-pihak yang berhak mendapat pinjaman adalah pengusaha beraset bersih maksimal Rp 200 juta atau beromset paling banyak Rp 1 miliar per tahun (Majalah Bisnis dan CSR, 2007). 2.2.2. Isu-isu Tanggung Jawab Sosial Berdasarkan pendapat dari penelitian 73 pakar CSR yang mengamati perkembangan tanggung jawab sosial di wilayah Asia-Pasifik terdapat 5 (lima) urutan isu-isu terbesar sepanjang sepuluh tahun kedepan (Arisyono, 2009) antara lain : 1. Perubahan iklim Isu ini dinyatakan sebagai isu yang paling utama dipilihkan oleh para pakar. Pada isu ini terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu keperluan untuk mitigasi dan adaptasi, keperluan seluruh perusahaan untuk menurunkan dampak yang mereka timbulkan atas perubahan iklim, dan keperluan untuk menjalin kerjasama dengan
23
berbagai pihak dalam melakukan tindakan-tindakan tersebut. Pilihan para pakar ini sejalan dengan terus meningkatnya bukti-bukti bahwa perubahan
iklim
disumbangkan
terutama
oleh
sebab-sebab
antropogenik, dan perusahaan memainkan peran yang sangat signifikan didalamnya. Bukti-bukti terbaru juga menimbulkan interpretasi bahwa dampak perubahan iklim akan lebih parah daripada yang diramalkan sebelumnya. 2. Tata kelola perusahaan Merupakan isu terbaru yang akan terjadi dalam sepuluh tahun mendatang. Dengan meluasnya krisis ekonomi baru yang dipicu oleh kecerobohan dan kerakusan sektor finansial, maka isu tata kelola perusahaan yang baik menjadi sangat penting. Di dalam isu ini termasuk transparansi dan akuntabilitas serta kepentingan untuk melibatkan pemangku kepentingan di dalam struktur tata kelola perusahaan. Ide yang paling belakang ini mungkin ekstrim untuk kebanyakan perusahaan, Sesungguhnya sangatlah logis untuk berharap
ada
menyumbangkan
pihak-pihak pemikiran
di bagi
luar
perusahaan
yang
keputusan-keputusan
bisa
penting
perusahaan, yaitu pemangku kepentingan, karena mereka mampu mempengaruhi dan atau terpengaruh oleh keputusan dan tindakan perusahaan. 3. Pekerjaan dan Sumber Daya Manusia Isu pekerja dan sumber daya manusia yang mencakup juga hak-hak pekerja dalam rantai pemasok serta isu keragaman dan inklusi. Salah satu kasus menarik adalah bagaimana perusahaan-perusahaan membuat kebijakan dan prosedur tindakan manakala ada calon pekerja dan pekerja yang secara jujur menyatakan mengidap HIV/AIDS, atau mengaku homoseksual. Kebanyakan perusahaan di Asia-Pasifik masih dengan jujur melakukan tindakan eksklusi atas mereka yang memiliki masalah-masalah demikian. Di masa mendatang, kemungkinan akan lebih banyak lagi tuntutan hukum atas perusahaan didasarkan pada tindakan eksklusif seperti itu.
24
4. Air, keanekaragaman hayati, dan perubahan tata guna lahan Kelangkaan atau buruknya manajemen air memang telah menjadi isu yang lama di kawasan ini, begitu pula pada keanekaragaman hayati. Namun karena perubahan tata guna lahan seperti dari hutan menjadi penyebab perubahan iklim dan berdampak pada susutnya keanekaragaman hayati, maka isu keanekaragaman hayati menjadi perhatian kembali. 5. Kemitraan Ada dua yang dicakup disini, yaitu pentingnya kemitraan untuk mendorong penyelesaian masalah-masalah ditingkat global serta strategi inovatif terkait dengan investasi di masyarakat. Tentu saja, isu ini menjadi sangat penting mengingat bahwa perusahaan bukanlah satu-satunya aktor pembangunan, dan tak mungkin menyelesaikan berbagai masalah pembangunan yang rumit itu secara sendirian. 2.3. Anggaran 2.3.1. Pengertian Anggaran Menurut Machintosh dan Williams (1992) dalam Syakhroza (2000) mendefinisikan anggaran sebagai alat utama bagi manajer untuk menjalankan fungsi manajemen planning, coordinating, dan controlling dengan mengacu kepada target dan strategi perusahaan dalam rangka mencapai tujuan jangka pendek perusahaan. Menurut Adisaputro dan Asri (2003) bussiness budget adalah suatu pendekatan yang formal dan sistematis daripada pelaksanaan tanggung jawab manajemen di dalam perencanaan, koordinasi, dan pengawasan. Menurut Harahap (1997) menyatakan bahwa budget sebagai suatu konsep yang membantu manajemen dalam mencapai tujuannya melalui upaya menuangkannya secara tertulis sasaran yang akan tercapai perusahaan mulai dari sasaran utama, sasaran khusus, sampai rincian dan penyebabnya. Menurut Nafarin (2007) anggaran adalah suatu rencana keuangan periodik yang disusun berdasarkan program-program yang telah disahkan. Anggaran (budget) merupakan rencana tertulis mengenai
25
kegiatan suatu organisasi yang direncanakan secara kuantitatif dan umumnya dinyatakan dalam satuan uang untuk jangka waktu tertentu. Anggaran merupakan alat manajemen dalam mencapai tujuan. Jadi anggaran bukan merupakan tujuan dan tidak dapat menggantikan manajemen. 2.3.2. Tujuan Anggaran Tujuan penyusunan anggaran menurut Nafarin (2007), antara lain : 1. Untuk digunakan sebagai landasan yuridis formal dalam memilih sumber dan investasi dana. 2. Untuk mengadakan pembatasan jumlah dana yang dicari dan digunakan. 3. Untuk merinci jenis sumber dana yang dicari maupun jenis investasi dana sehingga dapat memudahkan pengawasan 4. Untuk merasionalkan sumber dan investasi dana agar dapat mencapai hasil yang maksimal. 5. Untuk menyempurnakan rencana yang telah disusun, karena dengan anggaran lebih jelas dan nyata terlihat. 6. Untuk menampung dan menganalisis serta memutuskan setiap usulan yang berkaitan dengan keuangan. 2.3.3. Manfaat Anggaran Manfaat penyusunan anggaran menurut Nafarin (2007) adalah sebagai berikut : 1. Segala kegiatan dapat terarah pada pencapaian tujuan bersama. 2. Dapat digunakan sebagai alat menilai kelebihan dan kekurangan pegawai. 3. Dapat memotivasi pegawai. 4. Menimbulkan tanggung jawab tertentu pada pegawai. 5. Menghindari pemborosan dan pembayaran yang kurang perlu. 6. Sumber daya seperti tenaga kerja, peralatan, dan dana dapat dimanfaatkan seefisien mungkin. 7. Alat pendidikan bagi para manajer.
26
Menurut Ahyari (2002), penggunaan anggaran dalam perusahaan akan mendapatkan beberapa manfaat diantaranya : 1. Terdapatnya perencanaan terpadu. Dengan menggunakan anggaran, perusahaan akan dapat menyusun perencanaan seluruh kegiatan secara terpadu. Tidak ada satupun kegiatan yang dilakukan dalam perusahaan yang terlepas dari anggaran, karena seluruh kegiatan yang dilaksanakan tersebut akan memerlukan biaya. 2. Terdapatnya pedoman pelaksanaan kegiatan perusahaan. Dengan adanya anggaran perusahaan, maka pelaksanaan kegiatan yang ada dalam perusahaan tersebut dapat dilaksanakan dengan lebih pasti, karena dapat mendasarkan diri kepada anggaran yang telah ada. Pelaksanaan dengan mempergunakan anggaran yang telah ditetapkan akan menghasilkan kegiatan yang sesuai dengan perencanaan yang telah disusun dalam perusahaan tersebut. 3. Terdapatnya alat koordinasi dalam perusahaan. Penyusunan anggaran akan meliputi seluruh kegiatan yang ada, dengan
demikian
akan
melibatkan
seluruh
bagian
dalam
perusahaan. Pelaksanaan kegiatan dengan menggunakan anggaran sebagai
pedoman
akan
berarti
melakukan
kegiatan
dalam
perusahaan tersebut di bawah koordinasi yang baik. 4. Terdapatnya alat pengawasan yang baik. Jika perusahaan sedang menyelesaikan suatu kegiatan, maka manajemen perusahaan akan dapat membandingkan pelaksanaan kegiatan tersebut dengan anggaran yang telah ditetapkan dalam perusahaan tersebut, dalam hal ini anggaran akan dapat digunakan sebagai alat pengawasan kegiatan yang sedang dilaksanakan dalam perusahaan. 5. Terdapatnya alat evaluasi kegiatan perusahaan. Perusahaan yang mempunyai anggaran untuk kegiatan pelaksanaan kegiatan operasionalnya, akan dapat melaksanakan evaluasi rutin setiap kali selesai melaksanakan kegiatan tersebut. Seberapa jauh
27
penyimpangan pelaksanaan kerja dari rencana yang telah disusun serta penyebab apa saja yang menimbulkan penyimpangan kerja tersebut dapat didiskusikan di dalam perusahaan serta dicarikan jalan keluarnya. 2.3.4. Karakteristik Anggaran Menurut Mulyadi (2001) karakteristik anggaran sebagai berikut : 1. Anggaran dinyatakan dalam satuan keuangan dan satuan selain keuangan. 2. Anggaran umumnya mencakup jangka waktu satu tahun. 3. Anggaran berisikan komitmen atau kesanggupan manajemen, yang berarti bahwa para manajer setuju untuk menerima tanggung jawab untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam anggaran. 4. Usulan anggaran di-review dan disetujui oleh pihak yang berwenang lebih tinggi dari penyusun anggaran. 5. Sekali disetujui, anggaran hanya dapat berubah pada kondisi tertentu. 6. Secara berkala, kinerja keuangan sesungguhnya dibandingkan dengan anggaran selisihnya dianalisis dan dijelaskan. 2.3.5. Fungsi Anggaran Anggaran memiliki fungsi yang sama dengan manajemen yang meliputi fungsi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Hal ini disebabkan anggaran mempunyai fungsi sebagai alat manajemen dalam melaksanakan fungsinya. Menurut Nafarin (2007) fungsi anggaran diantaranya : 1. Fungsi Perencanaan Anggaran merupakan alat perencanaan tertulis yang menuntut pemikiran teliti, karena anggaran memberikan gambaran yang lebih nyata/jelas dalam unit dan uang. 2. Fungsi Pelaksanaan Anggaran merupakan pedoman dalam pelaksanaan pekerjaan sehingga pekerjaan dapat dilaksanakan secara selaras dalam mencapai tujuan (laba). Jadi anggaran penting untuk menyelaraskan
28
(koordinasi) setiap bagian kegiatan, seperti bagian pemasaran, bagian umum, bagian produksi, dan bagian keuangan. Apabila salah satu bagian (departemen) saja tidak dapat melaksanakan tugas sesuai dengan yang direncanakan, maka bagian yang lain juga tidak dapat melaksanakan tugasnya sesuai rencana. 3. Fungsi Pengawasan Anggaran merupakan alat pengendalian/pengawasan (controlling). Pengawasan berarti melakukan evaluasi atas pelaksanaan pekerjaan, dengan cara : a. Membandingkan realisasi dengan rencana anggaran. b. Melakukan tindakan perbaikan apabila dipandang perlu (jika ada penyimpangan yang merugikan). 2.3.6. Organisasi Penyusun Anggaran Rapat Umum Pemegang Saham Dewan Komisaris
Pengusulan
Pengesahan
Komite Anggaran
Review dan Persetujuan Bottom Up Approach
Top Down Approach Departemen Anggaran
Mengajukan Usulan Rancangan Anggaran
Kompilasi Penetapan Negosiasi Usulan dan dan Analisis Kebijakan Pokok Rancangan Anggaran Para Kepala Divisi dan Departemen
Penyusunan Anggaran
Gambar 1. Struktur Organisasi Penyusunan Anggaran (Mulyadi, 2001)
Menurut Mulyadi (2001), dalam organisasi penyusunan anggaran terdapat tiga pihak utama yang terkait dalam penyusunan anggaran yaitu komite anggaran, departemen anggaran, dan para manajer pusat
29
pertanggungjawaban. Struktur organisasi pertanggungjawaban dapat dilihat pada gambar diatas. 1. Komite Anggaran Merupakan unit organisasi yang mengkoordinasikan berbagai jenis usulan anggaran dari berbagai pusat pertanggungjawaban untuk kemudian disusun menjadi rancangan anggaran induk (master budget). Komite anggaran terdiri dari : a. Direktur Utama, sebagai ketua merangkap anggota komite b. Direktur Pemasaran, sebagai anggota c. Direktur Produksi, sebagai anggota d. Direktur Keuangan dan Administrasi, sebagai anggota e. Manajer Departemen Keuangan, sebagai sekretaris komite 2. Departemen Anggaran Departemen anggaran memiliki fungsi : 1. Menerbitkan
prosedur
dan
formulir
untuk
menyiapkan
rancangan setiap pusat pertanggungjawaban dalam perusahaan. 2. Mengkoordinir dan menerbitkan asumsi-asumsi yang dipakai sebagai dasar penyusunan anggaran. 3. Membantu setiap manajer pusat pertanggungjawaban dalam menyusun rancangan anggaran pusat pertanggungjawaban. 4. Mengolah rancangan anggaran pusat pertanggungjawaban menjadi rancangan anggaran induk. 5. Menganalisis rancangan anggaran dan memberikan rekomendasi kepada komite anggaran. 6. Menganalisis realisasi anggaran, menafsirkan hasil-hasilnya dan membuat laporan ringkas mengenai hasil analisisnya tersebut kepada direksi. 7. Mengadministrasikan anggaran perusahaan.
proses
perubahan
dan
penyesuaian
30
2.3.7. Keterlibatan Anggaran Dalam menyusun anggaran terdapat beberapa hal yang membatasi penyusunan anggaran. Menurut Harahap (1997) keterbatasan anggaran tersebut diantaranya : 1. Budget berdasarkan taksiran Budget harus disadari bahwa ia merupakan taksiran saat ini tentang apa yang terjadi dimasa yang akan datang. Dalam penyusunannya tentu apa yang akan dijadikan dasar adalah pengetahuan dan informasi kita berdasarkan masa lalu dan analisis serta taksiran. 2. Memerlukan penyesuaian yang terus menerus Karena sifatnya taksiran dan karena situasi bergerak dan berubah terus maka kita harus terus menerus secara periodik melakukan perbaikan dan penyesuaian, mengikuti
perkembangan
yang
mempengaruhi budget itu. 3. Pelaksanaan budget tidak berjalan secara otomatis Sistem
budget
tidak
dapat
dibiarkan
tanpa
terus-menerus
dikendalikan oleh pimpinan. Budget harus dianalisis, direvisi, dan diikuti, tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri. 4. Tidak dapat mengambil alih tugas manajemen/administrasi Karena sifatnya yang harus diikuti, dinilai, diperbaiki maka budget tidak akan dapat menggantikan posisi pimpinan dan tidak dapat pula menggantikan posisi administrasi. 5. Memerlukan dana/perhatian/resources Sistem budget tentu memerlukan dana, perhatian, dan sumber lainnya untuk dapat berjalan efektif. 6. Dapat mempengaruhi perilaku Sistem budget dapat mempengaruhi perilaku manusia bisa positif dan negatif. 7. Dapat menimbulkan “slack budgeting” Slack budgeting berarti situasi dimana orang menyalahgunakan budget untuk kepentingannya. Hal ini harus diwaspadai oleh perusahaan.
31
8. Harus memenuhi berbagai persyaratan yang kadang sukar disiapkan Sistem budget hanya dapat berjalan jika terpenuhi beberapa persyaratan yang ditetapkan, hal ini mutlak. Seandainya persyaratan ini tidak dapat dipenuhi maka tujuan budget tidak dapat dicapai secara efisien. 9. Tidak menjamin tercapainya target Budget hanya rencana dan fokus. Budget tidak dapat menjamin secara multak bahwa ia akan tercapai. 2.3.8. Metode Pembuatan Anggaran Menurut Harahap (1997), penyusunan anggaran dibagi menjadi tiga cara berdasarkan siapa pembuatnya, antara lain : a. Otoriter atau top down Disusun dan ditetapkan sendiri oleh pimpinan dan anggaran inilah yang harus dilaksanakan bawahan tanpa keterlibatan bawahan dalam penyusunannya. Metode ini baiknya jika karyawan tidak mampu menyusun budget atau dianggap akan terlalu lama dan tidak tepat. b. Demokrasi atau bottom up Disusun
berdasarkan
hasil
keputusan
karyawan.
Bawahan
diserahkan sepenuhnya dalam menyusun budget yang akan dicapai dimasa yang akan datang. Metode ini tepat digunakan jika karyawan sudah memiliki keputusan dalam menyusun budget dan tidak dikhawatirkan akan menimbulkan proses yang lama dan berlarut. c. Campuran atau top down dan bottom up Metode ini adalah campuran dari top down dan bottom up. Perusahaan menyusun budget dengan memulainya dari atas dan kemudian untuk selanjutnya dilengkapi dan dilanjutkan oleh karyawan bawahan. Jadi ada pedoman dari atasan atau pimpinan dan dijabarkan oleh bawahan sesuai dengan pengaruh atasan.
32
2.4. Analisis Varians (Selisih) Anggaran Dalam mempertimbangkan dan mengevaluasi varians untuk menentukan sebab yang mendasarinya, kemungkinan yang perlu dipertimbangkan (Welsch, Hiltong dan Gordon) dalam Hansen dan Mowen (1999) sebagai berikut : 1. Varians tidak material 2. Varians disebabkan oleh kesalahan pelaporan. Sasaran yang direncanakan atau yang dianggarkan dan data aktual yang disediakan oleh Departemen Akuntansi harus diperiksa kebenarannya. 3. Varians
disebabkan
oleh
keputusan
khusus
manajemen.
Untuk
meningkatkan efisiensi atau untuk menghadapi kemungkinan tertentu, manajemen sering membuat keputusan yang menyebabkan adanya varians. 4. Banyak varians yang dapat dijelaskan dalam hal dampak dari faktor yang tidak dapat dikendalikan yang diidentifikasi. 5. Varians yang tidak diketahui penyebabnya harus menjadi perhatian utama dan diselidiki secara teliti. Dari berbagai kemungkinan di atas, analisis varians anggaran dana tanggung jawab sosial PT Pertamina (Persero) banyak disebabkan oleh pertimbangan keputusan khusus manajemen yang sering membuat keputusan yang menyebabkan varians. Hal tersebut membuat menjadikan anggaran yang telah direncanakan tidak terealisasi sesuai dengan program kerja. Menurut Welsch, Hiltong dan Gordon dalam Hansen dan Mowen (1999), beberapa pendekatan utama untuk mempelajari atau menyelidiki varians untuk menentukan sebab yang mendasarinya, yaitu : 1. Pertemuan dengan manajer pusat tanggung jawab dan penyelia dan karyawan lainnya dalam pusat dan tanggung jawab yang terlibat. 2. Analisis situasi kerja termasuk arus kerja, koordinasi aktivitas, keefektifan penyeliaan, dan keadaan umum lainnya. 3. Pengamatan langsung. 4. Penyelidikan di tempat oleh Manajer Lini. 5. Penyelidikan oleh kelompok staf (dispesifikasi menurut tanggung jawab). 6. Pemeriksaan intern.
33
7. Penelitian khusus. 8. Analisis varians. Laporan pelaksanaan anggaran mencantumkan atau menunjukkan varians antara hasil sesungguhnya dan rencana yang telah dianggarkan serta menunjukkan varians yang signifikan. Hal ini sangat berguna bagi pihak manajemen untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan, yang selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan arah kebijakan yang tepat. Analisa perbandingan tersebut dikenal dengan istilah Analisis Varians, yaitu suatu manipulasi matematis dua perangkat data untuk mendapatkan pengertian tentang penyebab varians, salah satu data tersebut digunakan sebagai dasar atas ukuran (Deanto, 2003). Menurut Hansen dan Mowen (1999), varians anggaran adalah perbedaan antara biaya aktual dan biaya yang direncanakan. Varians dapat disebabkan oleh volume (unit) yang tidak sesuai dengan anggaran, tetapi dapat juga karena harga/tarif per unit yang tidak sama dengan anggaran. Varians yang tidak menguntungkan [unfavorable (U)] terjadi bila harga atau penggunaan masukan aktual lebih besar dibandingkan harga atau penggunaan standar. Bila hal sebaliknya terjadi, maka merupakan varians yang menguntungkan [favorable (F)]. Analisis varians sering kali digunakan untuk evaluasi kinerja. Ada dua hal yang bisa dinilai (Horngren, 2005), yaitu : 1. Efektivitas : tingkat pencapaian tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. 2. Efisiensi : jumlah relatif masukan yang digunakan untuk mencapai tingkat keluaran tertentu. Makin sedikit masukan yang digunakan untuk mencapai tingkat keluaran tertentu atau makin banyak keluaran untuk tingkat masukan tertentu, maka makin tinggi efisiensinya. 2.5. Hasil-hasil Penelitian Terdahulu Dedeh
(2009)
menganalisis
faktor-faktor
yang
menjadi
bahan
pertimbangan dalam menyusun anggaran operasional, menganalisis prosedur penyusunan anggaran, menganalisis penyimpangan yang terjadi antara anggaran dengan realisasi pada PDAM TPKB. Faktor-faktor yang menjadi
34
bahan pertimbangan dalam menyusun anggaran operasional PDAM TPKB adalah realisasi kegiatan usaha semester II tahun berjalan, estimasi kegiatan yang dapat dicapai pada semester II tahun berjalan, rencana jangka panjang dan faktor penting lainnya yang tertuang dalam program-program tahunnya. Prosedur penyusunan anggaran diawali dengan pengarahan dari direksi kepada kepala bagian, tiap-tiap bagian menyusun konsep anggarannya, konsep anggaran diserahkan kepada tim penyusun anggaran untuk selanjutnya dibahas dalam rapat koordinasi, dilakukan perbaikan dalam penetapan anggaran, dan selanjutnya direksi mengajukan anggaran tahunan definitif kepada Badan Pengawas untuk mendapat pengesahan. Berdasarkan uji t pada penyimpangan anggaran operasional tahun 2006 dan 2007 diperoleh kesimpulan bahwa penyimpangan total pendapatan, total biaya langsung, total biaya tidak langsung, dan laba bersih anggaran operasional PDAM TPKB masih dalam batas pengendalian manajemen. Kustiani
(2008)
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
penyusunan anggaran CSR pada Unit Pengolahan II PT Pertamina (Persero) yang kemudian menganalisis penyimpangan antara anggaran dengan realisasi pada anggaran CSR serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyimpangan tersebut. Unit Pengolahan II PT Pertamina (Persero) mempunyai program CSR pada bagian Hubungan Pemerintahan dan Masyarakat (Hupmas) dan bagian Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Faktor-faktor yang menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan anggaran program CSR adalah faktor internal dan faktor eksternal. Selama tahun 2005 sampai tahun 2007 terjadi penyimpangan antara anggaran dengan realisasinya, namun penyimpangan ini masih dalam batas pengendalian. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyimpangan tersebut yaitu faktor prioritas kebutuhan dan faktor pihak ke III (penerima bantuan).