II. TINJAUAN PUSATAKA 2.1.
Masyarakat Minang Dan Sejarah Pemerintahan Nagari Masyarakat Minang merupakan etnik yang unik, walaupun adat
istiadatnya berlandaskan pada syariat Islam yang patrilineal (keturunan berdasarkan garis ayah) tapi dalam masyarakatnya diterapkan sistem matrilineal (keturunan berdasarkan garis ibu), ini sesuatu yang sesungguhnya agak bertolak belakang. Dalam kehidupan sosial, keberadaan balai adat dan masjid merupakan dua institusi penting bahkan menjadi syarat untuk membentuk sebuah nagari. Keduanya menjadi simbol bagaimana masyarakat Minang mengintegrasikan dua norma yang berbeda dalam kehidupan sosial mereka “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” (adat bersendi agama, agama bersendikan Al-Quran). Unit sosial terkecil dalam masyarakat Minang berbentuk extended family. Sebuah extended family terdiri dari beberapa keluarga inti yang tinggal bersama dalam satu “rumah gadang”. Pemimpin dalam rumah gadang disebut “tungganai”. Ia merupakan saudara laki-laki tertua atau yang dituakan dari pihak ibu. Sistem kekerabatan matrilineal dalam extended family inilah yang menjadi dasar bagi struktur sosial masyarakat Minang. Kepemimpinan dalam masyarakat tetap berada ditangan laki-lak, walaupun garis keturunan dibuat berdasarkan garis ibu. Dalam hal ini, mamak yaitu saudara laki-laki dari pihak ibu, memainkan peranan yang menentukan. Selanjutnya, berdasarkan garis keturunan ibu ini jugalah terbentuk suku-suku sebagai suatu kesatuan genealogis yang merupakan kelompok-kelompok pembentuk nagari. Berikut ini adalah sejarah pembentukan dan perkembangan nagari yang merupakan bentuk asli sistem pemerintahan dalam masyarakat Minang. Berdasarkan keyakinan mayarakat Minang, nenek moyang mereka berasal dari sebuah daerah di kaki gunung Merapi yang bernama Pariangan. Hal ini tampaknya sejalan dengan pendapat ahli sejarah, De Rooy (dalam MS Amir, 2006), yang menyatakan bahwa Pariangan adalah nagari tertua di Minangkabau. Seiring dengan pertambahan populasi, yang berakibat dari semakin sempitnya lahan pertanian, maka masyarakatnya menyebar ke daerah-daerah di sekitarnya.
Hal senada juga dapat dijumpai dalam tulisan Westenenk (1981) dalam tulisannya de minangkabausche nagari, disebutkan bahwa pembangunan-pembangunan pertama dari berbagai nagari berasal dari nagari tertua yaitu Pariangan, yang terletak di sebelah selatan kaki Gunung Merapi daerah Padang Panjang. Penyebaran penduduk, biasanya dilakukan berkelompok-kelompok, yang terdiri dari orang-orang dari suku yang sama. Daerah yang baru dibuka dan didiami oleh satu suku dinamakan kampung. Biasanya kampung terletak di puncak bukit atau lereng-lereng gunung, dengan rumah yang masih sangat sederhana. Sementara daerah yang mereka buka dan jadikan tempat bercocok tanam dinamakan taratak. Selanjutnya dengan datangnya pendatang yang masuk ke kawasan tersebut maka kampung tempat hunian tadi disebut dusun. Maka dimulailah kehidupan bertetangga dengan jumlah suku yang bertambah, biasanya tahap ini hanya terdiri dari dua suku asal. Populasi masyarakat yang terus bertambah membuat masyarakat dusun mulai turun ke kaki bukit dan bermukim di sana terutama dipinggiran anak-anak sungai yang memiliki daerah dataran yang luas. Kegiatan pertanian dilakukan di daerah ini dengan membuka sawah dan ladang, mereka juga mulai memelihara ternak. Tempat ini dinamakan Koto. Di daerah yang dinamakan koto inilah masyarakat mulai membangun rumah yang lebih baik, bahkan juga Rumah Gadang. Karena mayarakatnya telah banyak dan berkembang, maka dibangunlah balai adat, yang merupakan persyaratan lain keberadaan nagari. Dengan masuknya agama Islam, maka disamping balai adat, dalam nagari juga diharuskan terdapat sebuah masjid, selain juga terdapat surau pada tiap-tiap kaum (MS Amir, 2006). Berdasarkan perkembangan penduduk yang mendiami suatu daerah terbentuklah tiga daerah yang merupakan cikal bakal terbentuknya nagari, yaitu: Taratak
Dusun
Koto
Nagari Gambar 4. Proses Nagari sebuah nagari, Koto Ketiga bentuk pemukiman itu Pembentukan kemudian membentuk kemudian menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi nagari. Demikianlah awal
terbentuknya nagari-nagari yang lama-kelaman jumlahnya semakin banyak. Berikut ini adalah syarat-syarat untuk dapat terbentuknya sebuah nagari yang tertuang dalam pepatah setempat: Nagari ba kaampek suku, Dalam suku ba buah paruik, Kampuang nan ba Tuo, Rumah Gadang Ba tungganai. Maksud dari pepatah tersebut adalah: a. Suatu daerah baru dapat disebut “nagari” bila sekurangnya telah memiliki empat suku yang berbeda. Ketentuan ini dimaksudkan supaya dalam nagari yang baru itu dimungkinkan perkawinan antar suku yang berbeda sesuai dengan perkawinan eksogami. b. Baru dapat dikatakan satu suku jika terdiri dari beberapa paruik yang merupakan sekelompok orang dengan moyang yang sama, berdasarkan garis keturunan ibu. c. Bila kumpulan paruik sudah bertambah besar atau bertambah banyak jumlah keluarganya, maka untuk tiap kelompok yang saparuik, diangkat salah seorang mamak yang tertua atau yang dituakan sebagai “Tuo Kampuang”, dengan tugas antara lain mengawasi penggunaan tanah ulayat, dengan kata lain merupakan pembantu penghulu tanpa gelar datuk. d. Dalam tiap Rumah Gadang terdapat tungganai. Semua saudara laki-laki ibu dinamakan “mamak rumah”, yang tertua dinamakan “tungganai” (Lebih lanjut lihat MS Amir, 2003). Sistem pemerintahan dalam nagari secara umum dapat dikelompok ke dalam dua bentuk yaitu berdasarkan Kelarasan Koto Piliang dan Kelarasan Bodi Caniago. Seperti yang diungkapkan oleh Effendi N (2006), secara tradisional pemimpin dalam Masyarakat Minang adalah penghulu. Penghulu biasanya berhak dan memiliki hak istimewa/khusus untuk menjadi pemimpin sebuah nagari. Penghulu dalam memimpin nagari berada dalam kelembagaan kolektif yang biasa dikenal dengan Kerapatan Adat atau Kerapatan Adat Nagari, secara kolektif, penghulu bersama alim ulama dan cerdik pandai tergabung dalam tali tigo sapilin dan tungku tigo sajarangan. Untuk menjalankan sistem pemerintahan nagari, tradisi sosial politik nagari yang berlaku secara adat adalah berdasarkan: Kelarasan Koto Piliang dan Kelarasan Bodi Caniago.
Kelarasan Koto Piliang bersifat aristrokasi, artinya pemerintah berpusat pada beberapa aristokrat atau elit politik. Sistem pemerintahan pada kelarasan ini digambarkan dengan berjenjang naik bertangga turun, berpucuk bulat berurat tunggang yang mengisyaratkan hirarki kepemimpinan. Dalam kelarasan ini para penghulu bergabung dalam suatu Dewan Penghulu yang diketuai oleh seorang Penghulu Pucuak (pucuk/puncak). Ketua dewan penghulu berhak mengambil keputusan terakhir sesuai dengan adat aristokrat. Susunan kepemimpinan Kelarasan Koto Piliang adalah sebagai berikut: a. Penghulu berposisi sebagai penghulu pucuk atau ketua adat tertinggi. Ia disebut mahkota dalam nagari. Warna kebesarannya adalah hitam b. Malin mengurus soal keagamaan, mereka disebut sebagai suluh bendang (cahaya penerang) oleh nagari. Warna kebesarannya putih c. Manti, menjadi penengah dalam segala perselisihan, menjadi cahaya dan permata dalam nagari, warna kebesarannya adalah ungu. d. Dubalang, adalah kepala keamanan dalam nagari. Ia disebut pagar nagari dengan warna kebesarannya merah. Keempat pejabat di atas sering disebut dengan “Urang Ampek Jinih”. Mereka beserta keluarganya adalah golongan aristokrasi dalam nagari. Kelarasan Bodi Caniago bersifat demokratis, anggota dewan penghulu mempunyai kedudukan yang sama. Sistem pemerintahannya digambarkan dengan, duduak samo randah tagak samo tinggi, yang mengisyaratkan kesetaraan, misalnya seperti yang terdapat pada Nagari Simarasok. Sifat pemerintahan nagari di Minangkabau berbeda-beda antara dua sifat kelarasan tersebut. Dari kedua sistem ini, persamaannya adalah penghulu sama dengan kepala atau pemimpin adat dan dapat juga dikatakan sebagai pemimpin masyarakat Minang. Ia memimpin dan mewakili orang-orang sesukunya. Seorang penghulu haruslah memiliki persyaratan substansial yaitu: lubuk akal, lautan budi, tahu di adat dan pusako, tahu manimbang samo barek, tau ma agak ma agiah (sumber akal dan budi, mengerti adat istiadat dan bersikap adil). Penghulu dengan demikian dianggap sebagai pelindung dan pemimpin rakyat dalam arti sebenarnya.
Westenenk (1981), lebih lanjut menjelaskan bahwa kerajaan Minangkabau tersusun dari nagari-nagari, persekutuan (gemeenten) yang bisa dikatakan mempunyai pemerintahan sendiri. Kemunduran dari generasi raja bisa jadi disebabkan karena pemerintahan yang berkuasa tidak mempunyai pengaruh terhadap organisasi ke dalam nagari itu. Tidak mengherankan bahwa raja, seluruhnya
berada
di
luar
rakyat.
Selanjutnya
nagari
mempunyai
“geanstelijkheid” sendiri dan peradilan adat sendiri yang dipangku oleh gabungan kepala-kepala rakyat yang keputusannya dapat dibanding kepada suatu rapat gabungan dari kepala-kepala rakyat dari federasi-federasi adat di nagari yang bersangkutan. Demikianlah pemerintahan nagari berjalan waktu itu bersifat kolektif. Pada masa penjajahan Belanda, sistim kerajaan sudah tidak ada lagi namun pemerintahan nagari tetap dipertahankan. Pada masa ini pemerintah kolonial mengubah tatanan pemerintahan nagari agar mendukung pemerintahan, maka dibentuklah sebuah badan yang bernama Kerapatan Nagari sebagai lembaga pemerintahan terendah. Penghulu-penghulu yang dulunya memimpin nagari secara bersama-sama sekarang diharuskan untuk memilih salah satu di antara mereka sebagai Kepala Nagari. Jadi pada masa ini seorang kepala nagari telah berperan ganda selain sebagai wakil masyarakatnya di tingkat nagari (peran formal) ia juga merupakan wakil pemerintah Belanda (peran informal). Pada tahun 1914 dikeluarkan Ordonansi Nagari yang membatasi anggota kerapatan nagari hanya pada penghulu yang diakui pemerintah Hindia Belanda. Disamping lembaga Kerapatan Nagari (KN) yang berisikan orang-orang yang disetujui oleh pemerintah Belanda, juga terdapat lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang dibentuk sendiri oleh masyarakat setempat. KAN beranggotakan unsur-unsur ninik mamak, cerdik pandai dan alim ulama yang mendapat legitimasi dari masyarakat . Benda-Beckmann and Benda-Beckmann (2001), mengatakan bahwa ketika Belanda memasuki daerah Padang (Minang) dan kemudian terlibat dalam Perang Paderi, Belanda memasukan pemerintahan nagari ke dalam sistem administrasi Belanda dan politik-ekonomi kolonial. Selanjutnya pemerintah Belanda mengintervensi dan merobah organisasi politik tradisional dalam nagari.
Jika pada awalnya nagari dipimpin oleh para pemimpin suku (penghulu), Belanda merubahnya dengan mengangkat seorang Kepala Nagari sebagai pemimpin tertinggi
dalam
nagari
yang
representatif
dalam
berhubungan
dengan
pemerintahan Belanda. Pada masa Orde Lama sistem demokrasi dalam nagari mencapai titik terendah. Ini berpangkal dari Maklumat Residen No. 22 tahun 1946 yang menyatakan bahwa struktur lembaga nagari terdiri dari Wali Nagari, Dewan Perwakilan Rakyat Nagari (DPRN) dan dewan Harian Nagari. Wali Nagari menjadi penguasa tunggal dalam nagari karena ia juga sekaligus sebagai pemimpin DPRN dan DHN. Berdasarkan SK Gubernur No.50/GP/1950, selanjutnya nagari di hapuskan dan diganti dengan pemerintahan wilayah. Ini menimbulkan keresahan dan tantangan dari masyarakat serta Niniak Mamak Pemangku Adat. Konferensi Niniak Mamak/Pemangku Adat tahun 1953 di Bukittinggi memutuskan agar pemerintaha nagari dikembalikan. Hasilnya dengan SK Presiden RI dan melalui SK Mendagri tanggal 7 Februari 1954, sistem pemerintahan nagari di hidupkan kembali. Pada masa ini timbul gerakan dari masyarakat nagari untuk kembali menghidupkan Kerapatan Adat Nagari. Dan hal itu terwujud melalui SK Gubernur No.15/GSB/1968. KAN kembali hadir dan menjalankan fungsinya dalam nagari (lebih jauh lihat Syahmunir, 2006). Setelah peraturan tersebut dikeluarkan, wali nagari masih menjadi pemimpin dalam nagari, namun kedudukannya tidak lagi sekuat sebelumnya. Pada masa ini, niniak mamak yang tergabung dalam KAN, kembali memainkan peran penting, tidak saja dibidang yang berkaitan dengan adat, namun juga pemerintahan, mereka menjadi penentu politik lokal. Setiap putusan yang akan dibuat oleh Wali Nagari harus mendapat persetujuan dari KAN. Dari penjelasan mengenai sejarah dan perkembangan pemerintahan nagari dapat dilihat bahwa ninik mamak (yang tergabung dalam KAN) merupakan para pemimpin dalam nagari. Kekuasaan mereka ditopang oleh extended family yang merupakan dasar bagi struktur sosial masyarakatnya sebagai mana telah disinggung sebelumnya. Oleh karena itu kuat atau lemahnya pengaruh ninik mamak sangat tergantung dari eksistensi extended family itu sendiri.
Nagari kemudian dihidupkan kembali, sebagian orang (terutama dari kelompok ninik mamak/KAN) mempunyai harapan bahwa mereka akan mendapatkan kekuasaan/otoritas sebagaimana nagari dulu dengan pemerintahan kolektifnya. Namun keadaan sudah berubah, kekuasaan ninik mamak tidak lagi sekuat dulu, salah satunya disebabkan oleh pergeseran bentuk extended family kebentuk keluarga inti. Artinya mereka tidak lagi mempunyai penopang yang kuat untuk mewujudkan harapan/keinginan tersebut. Hal ini sebagai mana yang terungkap dalam penelitian yang dilakukan oleh Witrianto (2005), bahwa saat ini terdapat kecenderungan
melemahnya kekuasaan
mamak seiring dengan
bergesernya extended family ke bentuk keluarga inti dan menguatnya peran ayah. 2.2.
Konsep Tanah Ulayat Berbicara tentang nagari, artinya sedikit banyak juga harus menyinggung
mengenai tanah ulayat karena wilayah nagari merupakan himpunan dari tanahtanah ulayat. Pada dasarnya yang dimaksud dengan hak ulayat adalah tanah milik bersama. Menurut Hukum Adat Minangkabau tanah adalah kepunyaan bersama anggota masyarakat (kaum, suku dan nagari) yang tidak boleh diperseorangkan. Cornelis Van Vollenhoven dalam Kamal M (2000), merumuskan hak ulayat sebagi hak yang dimiliki oleh suatu masyarakat hukum adat untuk menguasai seluruh tanah seisinya di dalam lingkungan wilayahnya. Jadi hak ulayat mencakup tanah dan seisinya. Oleh Van Vollenhoven, hak ulayat memiliki 6 (enam) tandatanda khusus, yaitu: 1. Hanya masyarakat hukum itu sendiri beserta warga-warganya dapat dengan bebas mempergunakan tanah liar yang terletak dalam wilayahnya. 2. Orang asing (luar masyarakat hukum) hanya boleh menggunakan tanah itu dengan izin, penggunaan tanpa izin dipandang suatu delik. 3. Untuk penggunaan tanah tersebut kadang-kadang bagi warga masyarakat dipungut recognitie, tetapi bagi orang luar masyarakat hukum selalu dipungut recognitie. 4. Masyarakat adat bertanggung jawab terhadap delik-delik tertentu yang terjadi di dalam wilayahnya, delik mana tidak dapat dituntut pelakunya. 5. Masyarakt adat tidak dapat melepaskan hak ulayat, memindahkannya ataupun mengasingkannya secara menetap
6. Masyarakat adat masih mempunyai campur tangan (intensif dan kurang intensif) terhadap tanah-tanah yang sudah diolah. Imam Sudiyat (1979) dalam Syahmunir (2005), merumuskan sebuah definisi mengenai tanah ulayat yang diturunkan dari istilah beschikkingsrecht yang dibuat oleh Van Vollenhoven, sebagai berikut: “Hak ulayat adalah suatu hak yang melekat pada suatu masyarakat hukum Indonesia yang hubungannya dengan tanah bersifat kekal, yang perwujudannya ke luar bersifat integritas yang harus dihormati oleh dunia luar, sedangkan berlaku ke dalam berupa wewenang untuk mengatur dan mengurus tanah tersebut yang penyelenggaraannya ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran, kebahagiaan serta kesejahteraan para warga masyarakat tersebut”.
Mhd. Koesnoe dalam Syahmunir (2005) berpendapat bahwa berdasarkan teori Hukum Adat dan hukum normatif maka “tidak ada persekutuan hukum tanpa tanah ulayat”. Ini mengandung arti bahwa hak ulaya masih ada dan akan tetap ada selama persekutuan hukum masih ada. Oleh karena itu untuk pembuktiannya harus dilakukan menurut sistem Hukum Adat dan bukan menurut perundangundangan yang disusun berdasarkan stelsel hukum Barat. Pemerintah sendiri berpegang pada pasal 5 ayat (4) UU No.41 tahun 1999, yang berbunyi: “Apabila dalam perkembangan masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah”. Ini sangat jelas, bahwa pemerintah dalam menentukan ada tidaknya hutan adat (hak ulayat) berdasarkan fungsi dan statusnya, yang digunakan adalah hukum positif yang tertulis dan bukan hukum adat (yang biasanya tidak tertulis). Di Sumatera Barat Sendiri hak ulayat dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu: 1. Hak Ulayat kaum, yaitu tanah yang berasal dari kegiatan “taruko1” atau bekas yang ditempati nenek moyang dan diwariskan secara matrilineal. 2. Hak Ulayat Suku, awalnya berasal dari tanah ulayat kaum namun telah lama sekali dan kaum yang bersangkutan telah berkembang menjadi beberapa kaum dalam satu suku sehingga penguasaan atas tanah tidak lagi oleh satu kaum tertentu namun dikuasai bersama oleh satu suku tertentu. 3. Hak Ulayat Nagari, tanah yang dimiliki bersama oleh masyarakat nagari yang bersangkutan yang bukan ulayat kaum dan bukan pula ulayat suku tertentu. 1
Kegiatan membuka pemukiman atau perladangan pada zaman dulu
Pengurusannya menjadi wewenang pemerintah nagari (Dt. Rajo Mangkuto A, 2001) 2.3.
Konsep Pemerintah dan Pemerintahan Pemerintah adalah salah satu cabang kekuasaan dalam konsep trias
politika yang dikenal dengan eksekutif (Hendarto, 2007). Sementara pemerintahan lebih diartikan sebagai kekuasaan yang ditujukan dalam manajemen sumberdaya sosial dan ekonomi negara untuk tujuan pembangunan (World Bank, 1989 dalam Wiratraman, 2007). Secara definitif pemerintah itu mempunyai arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas pemerintah itu meliputi seluruh organ kekuasaan di dalam negara yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Bahkan dalam arti luas ini pemerintah diartikan sebagai pelaksanaan tugas seluruh badan-badan, lembaga-lembaga dan petugas-petugas yang diserahi wewenang untuk mencapai tujuan negara. Dalam arti sempit pemerintahan hanya mencakup organisasi fungsi-fungsi yang menjalankan tugas pemerintah (eksekutif) (MD Mahfud, 1993: 74). Merujuk pada UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dalam pasal 1 huruf d disebutkan bahwa Pemerintah Daerah adalah penyelenggara Pemerintahan Daerah Otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut azaz desentralisasi. Konsep ini kemudian disempurnakan oleh UU No. 32 tahun 2004, dalam ketentuan Pasal 1 angka 2, dinyatakan bahwa Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan pemerintah daerah dalam pasal 1 angka 3 UU tersebut diartikan sebagai Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara
pemerintahan
daerah.
Artinya,
pemerintah
daerah
merupakan unsur eksekutif karena DPRD (legislatif) tidak termasuk organ dari pemerintah daerah. Permendagri pasal 1 No. 4 tahun 2007 menyebutkan bahwa: Pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan republik Indonesia. Selanjutnya pasal 1 no 5 menjelaskan, bahwa Pemerintah Desa atau disebut dengan nama lain adalah kepala desa dan perangkat desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. Jika konsep tersebut diturunkan hingga tingkat nagari, maka pemerintah nagari adalah penyelenggara pemerintahan nagari yaitu wali nagari. Sedangkan unsur legislatif dalam nagari adalah Bamus (Badan Permusyawaratan Nagari) yang merupakan representasi dari anak nagari meliputi unsur-unsur, ninik mamak, cerdik pandai, alim ulama, bundo kandung, wakil pemuda dan di beberapa tempat juga ditambah dengan perwakilan dari tiap jorong. 2.4.
Pemerintahan Nagari Menurut Peraturan Perundang-Undangan Dalam Perda Sumbar No. 9/2000 Pasal 1 ayat (7) nagari didefinisikan
sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dalam Daerah Propinsi Sumatera Barat yang terdiri dari himpunan beberapa suku yang mempunyai wilayah yang tertentu batas-batasnya, mempunyai kekayaan sendiri, berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan memilih pimpinan pemerintahannya. Dalam pasal ini, kalimat mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat (adat salingka nagari) diakui (recognized seperti apa adanya) dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia ditinggalkan, sehingga nagari dapat berarti nagari yang disusun baru, bukan nagari seperti apa adanya. Adapun struktur pemerintahan nagari yang diamanatkan dalam perda No. 9 tahun 2000 (pasal 4) adalah: ”untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di nagari, dibentuk Pemerintah Nagari, Badan Perwakilan Anak Nagari dan Badan Musyawarah Adat dan Syarak Nagari”. Berikut ini penjelasan mengenai unsur-unsur dalam struktur pemerintahan nagari: 1.
Pemerintahan nagari dipimpin oleh Wali Nagari yang dipilih lansung oleh warga masyarakat nagari, termasuk para perantau yang sedang berada di nagari, dibantu oleh sekretaris nagari dan perangkat nagari lainnya.
2.
Badan Perwakilan Anak Nagari terdiri dari anggota-anggota yang dipilih oleh warga masyarakat nagari.
3.
Badan Musyawarah Adat dan Syarak Nagari terdiri dari utusan Ninik Mamak, Alim Ulama, Cerdik Pandai, Bundo Kanduang dan Komponen Masyarakat lainnya yang tumbuh dan berkembang dalam nagari Ketentuan mengenai struktur pemerintahan nagari selanjutnya mengalami
perubahan, dengan dikeluarkannya Perda No. 2 tahun 2007. Berdasarkan perda yang terbaru ini, lembaga dalam pemerintahan nagari hanya terdiri dari Wali Nagari (beserta perangkatnya) dan Badan Musyawarah Nagari (Bamus Nagari). Selanjunya dalam pasal 12 disebutkan bahwa anggota Bamus Nagari terdiri dari unsur ninik mamak/tokoh adat/kepala suku/penghulu, alim ulama/tokoh agama, cadiak pandai/ cendikiawan, bundo kanduang/tokoh perempuan dan komponen masyarakat lainnya yang tumbuh dan berkembang dalam nagari bersangkutan dengan mempertimbangkan representasi jorong (dusun) yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Tujuan dari Sistem Pemerintahan Nagari sebagai subsistem terendah dari sistem pemerintahan RI harus singkron dengan tujuan dari negara Indonesia, Pemerintahan Propinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota. Menurut konsideran (menimbang) UU No. 34/2004, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat UUD RI Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas perbantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peranserta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI.
Bahwa efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan
pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan golobal dengan memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara. Uraian
di
atas
menyimpulkan
bahawa
tujuan
penyelenggaraan
pemerintahan nagari adalah untuk mewujudkan masyarakat nagari yang adil dan
makmur
(sejahtera)
dengan
prinsip
demokrasi,
pemerataan,
keadilan,
keistimewaan (adat salingka nagari), melalui peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraannya (Abna B, 2008). Dalam konteks otonomi, nagari yang dipahami sebagai sebuah pemerintahan terendah, pada prinsipnya merupakan republik-republik kecil, yang dalam peraturan perudang-undangan disebutkan sebagai “kesatuan masyarakat hukum” yang mempunyai makna sebagai masyarakat yang mengatur dirinya sendiri (self governing community). memahami otonomi.
Konsep-konsep itu digunakan untuk
Otonomi sendiri sering dipahami sebagai hak dan
kewenangan mengatur serta mengurus rumah tangganya sendiri dan kepentingan masyarakat setempat. Mengatur berarti membuat dan melaksanakan peraturan yang mengikat warga, atau menentukan batas-batas yang boleh dilakukan oleh warga. Di nagari, misalnya, mempunyai aturan adat yang sangat kuat dalam hal pengelolaan (terutama tentang aturan tentang pembatasan penjualan) tanah pusako.
Pada
prinsipnya aturan lokal dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan dan keberlanjutan hubungan antar manusia dengan alam dan Tuhan.
Sementara
konsep “mengurus” berarti mengelola barang-barang publik (tanah, air, hasil hutan, pasar, tempat ibadah, dan lain-lain) untuk kepentingan bersama dengan menggunakan hukum adat setempat. Konsep mengurus berarti mencakup kegiatan menggunakan membagi, merawat dan lain-lain. Menurut Eko S (2005), terdapat tiga unsur pentimg yang terkandung dalam otonomi lokal, yaitu: pertama, keleluasaan lokal untuk mengambil keputusan dalam rangka mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri atau kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan kebutuhan dan maspirasi masyarakat. Kedua, kekebalan dari “campur tangan” pemerintah (intervensi) pemerintah yang bisa mengganggu keleluasaan dan menghambat kemandirian. Dalam otonomi lokal, pemerintah tidak campur tangan, tetapi memberikan “uluran tangan”, jika campur tangan berarti mengurusi hal-hal yang bukan menjadi urusannya, maka “uluran tangan” berarti berperan sebagai fasilitator dalam upaya meningkatkan kemampuan dan kemandirian. Ketiga, kemampuan (kapasitas) lokal untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk
mencapai tujuan-tujuan seperti, meningkatkan kesejahteraan, kemandirian, pemerintahan yang baik, pemberdayaan, dan lain-lain. 2.5.
Konsep Pemerintahan Desa Berdasarkan UU No5 tahun 1979, desa adalah suatu wilayah yang
ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah lansung di bawah camat dan berhak untuk mengurus rumah tangganya sendiri
dalam
ikatan
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia.
Hak
menyelenggarakan rumahtangganya dalam pengertian ini bukanlah merupakan hak otonomi, bahkan UU No 5 tahun 1979 mensyarakatkan pemisahan administrasi desa dari hak adat istiadat dan hak asal usul. UU ini memang dibuat untuk menyeragamkan pemerintahan desa karena pengaturan yang tidak seragam mengenai pemerintahan desa dianggap dapat menjadi hambatan untuk melaksanakan pembinaan dan pengendalian yang intensif guna peningkatan taraf hidup masyarakat, oleh karena itu secara tegas dinyatakan bahwa kebijakan mengenai desa diarahkan pada penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa dengan corak nasional Pengaturan mengenai desa mengalami perubahan seiring dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini secara nyata mengakui otonomi desa. Otonomi yang dimiliki oleh desa menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Sehingga yang disebut Desa atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah kabupaten. Dengan demikian, otonomi yang dimiliki desa adalah otonomi asli, yaitu otonomi yang berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat. Sehingga dalam kenyataannya pasti akan timbul berbagai keanekaragaman, baik dari segi nama, susunan pemerintahan, maupun bentuk-bentukan geografisnya. Tegasnya, terdapat keadaan-keadaan khusus yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dari sinilah sebenarnya prinsip-prinsip "Kebhinekaan" itu ada dan berkembang secara nyata
dalam masyarakat. Sehingga secara riil hak-hak, asal-usul, dan istiadat dihormati sebagai modal pembangunan desa. Pengaturan mengenai desa kembali mengalami perubahan seiring dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan mengenai desa di dalam UU No. 32 Tahun 2004 kemudian ditindaklanjuti oleh PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Berkaitan dengan otonomi daerah, bagi pemerintah desa; yang keberadaannya berhubungan langsung dengan masyarakat dan sebagai ujung tombak pembangunan. Desa semakin dituntut kesiapannya baik dalam hal merumuskan kebijakan desa (dalam bentuk Perdes), merencanakan pemba-ngunan desa yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta dalam memberikan pelayanan rutin kepada masyarakat. Demikian pula dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kreativitas dan inovasi masyarakat dalam mengelola dan menggali potensi yang ada sehingga dapat menghadirkan nilai tambah ekonomis bagi masyarakatnya. Dengan demikian, maka cepat atau lambat desa-desa tersebut diharapkan dapat menjelma menjadi desa-desa yang otonom, yakni masyarakat desa yang mampu memenuhi kepentingan dan kebutuhan yang dirasakannya. Salah satu ukuran keberhasilan pelaksanaan otonomi desa adalah pemerintah desa semakin mampu memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dan mampu membawa kondisi masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik. Dengan terselenggaranya Otonomi Desa, maka hal itu akan menjadi pilar penting Otonomi Daerah. Keberhasilan Otonomi Daerah sangat ditentukan oleh berhasil tidaknya Otonomi Desa. Namun demikian, realitas yang terjadi pada era otonomi dan desentralisasi yang muatannya sarat akan nilai-nilai demokrasi dan transparansi ini cenderung sering menghadirkan permasalahan yang kompleks di desa. Pada era tersebut, proses politik berjalan seperti lebih cepat daripada kemampuan untuk mengelola manajemen pemerintahan desa yang otonom (Usman B, 2007). 2.6.
Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai pemerintahan nagari ini bukanlah hal yang baru.
Sebelumnya telah ada beberapa kajian/penelitian mengenai pemerintahan nagari.
Pencantuman penelitian terdahulu ini bertujuan untuk memperlihatkan pada posisi mana penelitian yang akan dilakukan ini berada. Berikut ini dipilih dua hasil kajian mengenai pemerintahan nagari. Pemilihan kedua hasil kajian ini didasarkan atas pertimbangan, bahwa informasi yang tercakup pada kedua kajian ini telah cukup mewakili hasil kajian lainnya, berikut rinciannya: 1. Studi Pelaksanaan Pemerintahan Nagari dan Efektifitasnya Dalam Pelaksanaan Pemerintahan di Sumatera Barat oleh Sjofjan Thalib tahun 2002 (dalam Abna, 2008) Pada tahun 2002, diawal pembentukan pemerintahan nagari, Sjofjan Thalib melakukan kajian mengenai pelaksanaan pemerintahan nagari dengan mengambil kasus di beberapa nagari. Hasil penelitian tersebut diulas oleh Abna (2008) sebagai berikut: a. Perda-perda kabupaten yang telah terlaksana cukup efektif dalam proses kembali ke nagari dan palaksanaan tugas keadministrasian bagi masyarakat nagari, ditandai oleh tidak adanya keluhan dari masyrakat yang berurusan dengan pemerintah nagari. b. Berkenaan dengan tugas-tugas lembaga kenagaraian, perencanaan serta pelaksanaan pemberdayaan nagari/masyarakatnya belum berjalan seperti yang diharapkan, karena personalianya yang begitu banyak menunggu juklak dan juknis dari tugas mereka; c. Kendala yang ditemui setelah kembali ke dalam Pemerintahan Nagari antara lain: terjadinya kesalahpahaman dalam memandang nagari sebagai masyarakat hukum adat teritorial saja, pada hal nagari adalah persekutuan hukum adat genelogis matrilineal teriotorial, sehingga anak nagari yang dirantau sebagai SDM potensial tidak diikutsertakan dalam proses kembali ke nagari dan perencanaan pembangunan nagari; banyaknya lemabaga kenagarian yang ditetapkan dalam perda-perda yang menyimpang dari struktur asli, sehingga diperlukan banyak dana dan tenaga untuk menjalankan tugas mereka; terjadinya kebingungan masyarakat nagari karena nagari sekarang yang ditata secara rinci melalui perda kabupaten dengan menerapkan prinsip trias politica yang tidak dikenal mereka sebagai nagari baru bentukan pemerintah atasan;
serta telihat ekses adanya keberatan dari KAN untuk menyerahkan aset nagari kepada Pemerintah Nagari karena dianggap mendominasi kekuasaan mereka. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan telah terjadi kesalahpaham DPRD Sumatera Barat dan DPRD-DPRD kabupaten terhadap UU No. 22/1999 yang mengakui nagari sebagai masyarakat hukum adat sebagai pelaksana pemerintahan sesuai dengan asal usul dan adat istiadat setempat.
Akibatnya
mereka mengatur secara rinci struktur nagari dan personalianya sehingga menyimpang dari struktur asli, timbulnya konflik antara lembaga bentukan baru dengan lembaga asli, serta terjadinya tumpang tindah tugas dan fungsi antar lembaga. KAN yang selama ini sebagai lembaga musyawarah anak nagari, yang anggotanya adalah niniak mamak (pangulu-pangulu yang mewakili suku/paruik mereka),
Alim
Ulama,
Cadiak
Pandai,
dan
Bundo
Kanduang
untuk
menyampaikan aspirasi anak nagari, hanya ditetapkan sebagai lembaga legislatif yang berfungsi untuk menyelesaikan sengketa sako dan pusako.
Sedangkan
kewenangan KAN dalam menyusun peraturan nagari telah dialihkan kepada BPAN dan BMASN, kewenangan memungut retribusi (bungo kayu, bungo ameh, bungo karang, bungo ampiang, dan sebagainya) dialihkan kepada Pemerintah Nagari.
Akibatnya terjadi keengganan KAN untuk menyerahkan aset nagari
(seperti hutan, tanah, dan sebagainya) yang menurut hukum adat “tanah nan sabingkah rumpuik nan sahalai pangulu nan punyo”, serta pemungutan retribusi (bungo-bungo) kepada pemerintah nagari, sebab pemerintah nagari tidak mereka pandang sebagai organ KAN, yang bertanggungjawab kepada KAN, tetapi organ BPAN dan pemerintah atasan. 2. Recreating The Nagari: Decentralization in West Sumatra oleh Franz von Benda Beckman and Keebet von Benda Beckman (2001) Dalam kajiannya mengenai desentralisasi dan kebijakan kembali ke nagari di Sumatera Barat pada tahun 2001, Beckman dan Beckman menemukan bahwa perubahan tersebut menghendaki adanya reorganisasi pemerintahan nagari yang menyebabkan pergeseran kekuasaan yaitu dari tangan KAN ke pemerintah nagari dalam hal ini wali nagari. Pergeseran tersebut tidak jarang berujung pada pertikaian. Sumber lain yang menjadi pemicu pertikaian adalah mengenai pengaturan ulayat, yang berpindah dari KAN ke pemerintahan nagari.
Kebijakan kembali kenagari dalam kenyataannya tidak diterima oleh semua unsur dalam masyarakat.
Sejumlah mantan kepala desa kemudian
bergabung dalam Forum Komunikasi Kepala Desa dan menyatakan penolakannya untuk kembali ke sistem pemerintahan nagari. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan jika sistem pemerintahan nagari kembali dihidupkan maka desa-desa yang dulu berada dalam satu nagari harus kembali bersatu. Artinya akan terjadi penciutan jumlah pimpinan formal. Penolakan ini terjadi pada tahun 2001, namun pada akhirnya mereka dapat menerima kebijakan untuk kembali ke nagari. Permasalahan lain yang juga muncul adalah berkenaan dengan diterapkannya sistem demokrasi ala barat ke dalam sistem pemerintahan nagari. Seperti yang terjadi di Nagari Limbanang 50 Koto, terdapat beberapa anggota KAN yang diangkat melalui penunjukan. Ini memicu pertentangan, sebagian masyarakat menghendaki diterapkannya sistem demokrasi melalui voting sementara sebagian lain berpendapat sistem voting bukanlah kebiasaan asli masyarakat Minang, mereka lebih menghendaki penunjukan melalui proses musyawarah mufakat, sesuai dengan tradisi asli dalam adat Minangkabau Persoalan lain yang juga muncul dengan kebijakan kembali ke nagari adalah menguatnya isu antara orang asli dan pendatang, seperti yang terjadi di Nagari Salayo, Kabupaten Solok. Para pendatang yang telah berdomisili lama di nagari tersebut, menuntut adanya pengakuan dan kesetaraan atas status mereka. Permasalahan lain yang turut mengemuka di Nagari Salayo ini adalah penolakan dari sebuah desa yaitu Desa Lurah Nan Tigo untuk kembali bergabung ke nagari asal. Awalnya Nagari Salayo terpecah ke dalam 13 desa dan terakhir menciut menjadi lima desa, salah satunya adalah Desa Lurah Nan Tigo. Penolakan itu didorong oleh kenyataan bahwa Desa Lurah Nan Tigo sebagian besar diisi oleh para pendatang yang bekerja sebagai penggarap lahan dari penduduk asli yang berdomisili di pusat nagari yaitu di Desa Gelanggang Tanah. Jika
kembali
bergabung dengan nagari asal, mereka khawatir perasaan sebagai penduduk asli akan menguat dan menyingkirkan para pendatang. 2.7.
Transformasi Sosial Transformasi sosial atau perubahan sosial merupakan hal yang pasti terjadi
dalam masyarakat. Sebagian besar pakar sosiologi memandang penting perubahan
struktural dalam hubungan, organisasi, dan ikatan antara unsur-unsur masyarakat. Hal tersebut tampak pada pendefinisian perubahan sosial yang dirangkum oleh Sztompka (1994) berikut ini: •
Perubahan sosial adalah transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berpikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu (Macionis, 1987:638).
•
Perubahan sosial adalah modifikasi atau transformasi dalam pengorganisasian masyarakat (Persell, 1987:586).
•
Perubahan sosial mengacu pada variasi hubungan antar individu kelompok, organisasi, kultur dan masyarakat pada waktu tertentu (Ritzer, 1987:560).
•
Perubahan sosial adalah perubahan perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu (Farley, 1990:626). Perubahan-perubahan sosial yang terjadi bisa dibagi ke dalam dua kategori
yaitu perubahan sosial yang diharapkan (intended change) dan perubahan sosial yang tidak diharapkan (unintended change). Yang dimaksud dengan perubahan sosial yang diharapkan adalah perubahan yang telah diketahui dan direncanakan sebelumnya oleh para anggota masyarakat yang berperan sebagai pelopor perubahan. Perubahan yang tidak diharapkan, sebaliknya ialah perubahan yang terjadi tanpa diketahui atau direncanakan oleh anggota masyarakat atau pelopor perubahan (Selo Soemardjan, 1981). Masih menurut Soemardjan (1981), proses perubahan yang diharapkan berada di bawah pengawasan para pelopor perubahan, akan tetapi proses perubahan yang tidak diharapkan berada di luar pengawasan suatu bagian masyarakat dan boleh jadi bisa menimbulkan akibat sosial yang tidak disangka sama sekali oleh masyarakat. Jika perubahan yang tidak diharapkan itu sejalan dengan perubahan yang diharapkan, ia akan sangat berpengaruh pada perubahan yang diharapkan sehingga ia tidak lagi bisa dicabut atau dirubah tanpa mengalami perlawanan dari masyarakat. Dengan kata lain, perubahan yang tidak diharapkan boleh jadi diterima oleh masyarakat yang telah menanggapi dengan memprakarsai perubahan-perubahan yang sejalan dengan itu, sehingga terwujud suatu lembaga sosial baru atau yang diperbarui. Sesungguhnya perubahan yang diharapkan dan yang tidak diharapkan seringkali cenderung saling memperkuat.
Berbagai teori dapat digunakan untuk menganalisa perubahan sosial di masyarakat seperti analisa konflik, teori kritis, teori struktural fungsional dan sebagainya. Untuk menganalisa perubahan sosial dalam kasus ini yaitu struktur pemerintahan nagari, maka kurang tepat jika menggunakan teori kritis. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa teori kritis bertujuan untuk membangkitkan kesadaran kritis (dalam kasus ini kesadaran kritis dari para ninik mamak) untuk memperjuangkan hak mereka sebagai pemegang kekuasaan dalam nagari sebagai mana bentuk nagari yang asli. Jika hal itu terjadi, maka perjuangan tersebut akan sia-sia mengingat kekuasan mereka tidak lagi sekuat dulu dan kuatnya kekuasaan negara untuk memaksakan suatu peraturan. Peran ninik mamak/mamak saat ini hanya terbatas pada kegiatan-kegiatan adat, bukan lagi sebagai pengatur dalam kehidupan bermasyarakat. Sebaliknya jika mengunakan teori struktural fungsional, yang menganggap masyarakat sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium (keseimbangan), teori ini dikritik karena seolah-olah meniadakan konflik dalam masyarakat. Oleh karena itu dalam penelitian ini, perubahan sosial dalam masyarakat akan dianalisa dengan menggunakan teori fungsionalisme konflik yang dikembangkan oleh Coser, karena menurut Ritzer dan
Goodman
(2004)
teori
Fungsionalisme
Konflik
mencoba
untuk
mengkombinasikan teori konflik dan struktural dengan asumsi teori itu akan menjadi lebih kuat ketimbang masing-masing berdiri sendiri. Fungsionalisme konflik menyatakan bahwa konflik dapat membantu mengeratkan ikatan kelompok yang terstruktur secara longgar. Perubahan sosial yang terjadi bergerak membentuk pola tertentu. Pola perubahan sosial dapat dianalisa dengan menggunakan dua pandangan. Pandangan pertama, melihat bahwa perubahan sosial berlangsung seperti garis lurus (teori evolusi sosial atau evolusionisme). Masyarakat akan bergerak menuju tujuan yang seragam. Teori ini didukung oleh tokoh-tokoh seperti Plato, Comte , Mao Tse Tung hingga Marx. Pandangan ini disebut juga “paham perkembangan” (developmentalisme).
Memahami
perubahan
sosial
dari
“kaca
mata
perkembangan”, berarti kita melihat masyarakat akan bergerak maju dimulai dari titik yang dianggap terendah hingga mencapai keadaan yang lebih “sempurna”.
Dalam analisa perkembangan dengan dimensi waktu dan kesejarahan, kita akan melihat, bahwa masyarakat akan bergerak dari suatu titik ke titik lain yang lebih tinggi – keadaan yang lebih baik (Sztompka, 1994 dan Lauer, 2003). Pandang yang kedua menganalisa perubahan sebagai sebuah proses melingkar (teori siklus). Pareto sebagai salah satu pendukung dalam teori ini mengatakan bahwa masyarakat sebagai satu kesatuan maupun unsur-unsur yang membentuknya (politik, ekonomi, ideologi) berkembang melaui proses: seimbang – tak stabil – tak seimbang – keseimbangan baru, semuanya terjadi dalam proses melingkar. Masyarakat mewujudkan prinsip heterogenitas: anggotanya terdiri dari orang tak sederajad. Dalam setiap masyarakat selalu ada elit tertentu: elit politik (pemerintah), elit ekonomi dan elit ideologi. Ciri-ciri elit tergantung pada distribusi kecenderungan diantara anggotanya. Perubahan sosial dan historis dilukiskan sebagai lingkaran pergantian elit: berkuasa – lemah – digantikan. Mekanisme pergantian elit ini berdasarkan gelombang pertukaran kecen derungan dan lenyapnya dominasi di dalam elit (Sztopmka, 1994) Kedua teori ini mengacu pada satu tujuan yaitu: bawa pada akhirnya masyarakat akan menuju suatu keseimbangan, dan masing-masing teori samasama menggunakan dimensi waktu dalam menjelaskan perubahan yang terjadi. Perbedaan kedua teori terletak pada pandangan akhir dari perubahan sosial yang terjadi. Teori perkembangan melihat titik akhir dari proses perubahan (disemua masyarakat) adalah suatu keadaan yang lebih baik, misalnya dibidang ekonomi maka bentuk akhir yang dicapai adalah kapitalisme tinggi. Sementara teori siklus melihat bahwa perubahan yang terjadi bisa kemajuan atau bahkan kemunduran yang bisa terjadi silih berganti. Teori evolusionisme atau paham developmentalisme bisa digunakan hanya untuk menganalisa perubahan masyarakat dalam kurun waktu tertentu saja, karena dalam perkembangan sejarah peradaban manusia kita dapat melihat jatuh bangunnya suatu peradaban. Kelemahan lain dari teori evolusionisme adalah asumsi yang digunakannya tidak dapat diterima karena bertentangan dengan kenyataan empiris. Untuk menjelaskan perubahan sosial dengan rentang waktu yang sangat panjang, maka teori siklus lebih bisa diandalkan sebagai alat analisa.
Nagari sebagai kesatuan hukum masyarakat adat dan pemerintah, dalam perkembangannya berkali-kali mengalami perubahan baik struktur maupun lembaga-lembaga yang ada di dalamnya. Berdasarkan perbandingan kedua pandangan di atas, maka perubahan sosial dalam nagari ini akan dijelaskan dengan menggunakan model siklus (Cyclical Model). 2.
8. Teori Fungsionalisme Konflik Berbeda dari beberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dari dua
perspektif yang berbeda-teori kaum struktural fungsional versus teori konflikCoser mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan menyatukan kedua pendekatan tersebut. Coser mengakui beberapa susunan struktural merupakan hasil persetujuan dan konsensus, suatu proses yang ditonjolkan oleh kaum struktural fungsional, tetapi ia juga menunjuk kepada proses lain, yaitu konflik sosial (Poloma, 2007). Menurut Coser, konflik itu memiliki fungsi sosial. Konflik sebagai proses sosial dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan batasbatasnya dapat terbentuk dan dipertahankan. Konflik juga mencegah suatu pembekuan sistem sosial dengan mendesak adanya inovasi dan kreativitas. Oleh karena itu konflik tidak perlu dihindari, sebab konflik konflik tidak boleh dikatakan selalu tidak baik atau memecah-belah atau merusak. Dengan kata lain konflik dapat menyumbang banyak bagi kelestarian kehidupan sosial, bahkan mempererat hubungan antar anggota (Garna, 1992 dalam Mulyadi, 2007). Fungsionalisme konflik
sosial yang dikembangkan oleh Coser,
merupakan sebuah pandangan tentang konflik sosial yang menekankan langkah pada mengenal dan mengkaji sebab dan bentuk konflik yang wujud di dalam masyarakat serta potensi akibatnya dengan perubahan sosial. Langkah ini menunjukan agar konflik dikelola untuk tidak dapat menimbulkan perubahan sosial yang tidak diharapkan. Ada harapan, bahwa konflik yang dikelola dapat diarahkan pada perubahan sosial yang diharapkan. Karena konflik lebih banyak dilihat dari segi fungsi positifnya, maka Teori Konflik yang dikembangkan Coser disebut pula Fungsionalisme Konflik Sosial (Kolopaking LM et al, 2007) Dalam membahas berbagai situasi konflik, Coser membedakan konflik menjadi: konflik realistis dan konflik yang tidak realistis. Konflik yang realistis
berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan partisipan, dan yang ditujukan kepada objek yang dianggap mengecewakan. Misalnya para karyawan yang mengadakan pemogokan menentang manajemen, merupakan contoh konflik yang realistis. Konflik yang tidak realistis adalah yang bukan berasal dari tujuantujuan saingan yang antagonistis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Misalnya pengkambinghitaman, yaitu penggunaan kelompok lain sebagai objek prasangka (Coser, 1959 dalam Poloma 2007). Konflik dapat secara positif fungsional sejauh ia memperkuat kelompok dan secara negatif fungsional sejauh ia bergerak melawan struktur. Coser menyatakan yang penting dalam menentukan apakah suatu konflik fungsional atau tidak ialah tipe isu yang merupakan subyek konflik itu. Konflik fungsional positif bila tidak mempertanyakan dasar-dasar hubungan dan fungsional negatif jika menyerang suatu nilai inti (Poloma, 2007). Coser
menggemukakan
sebuah
konsep
yang
disebutnya
“katup
penyelamat” (Savety-valve) yaitu suatu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. “Katup penyelamat” membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur, konflik membantu “membersihkan suasana” dalam kelompok yang sedang kacau. Katup penyelamat akan berfungsi sebagai “jalan keluar yang meredakan permusuhan” (Poloma, 2007). Dalam kasus konflik yang ada dalam struktur pemerintahan nagari saat ini, maka katup penyelamat dapat berupa lembaga dan kelembagaan yang telah ada atau sengaja dibentuk dalam masyarakat yang dapat digunakan untuk menjadi wadah bagi penyaluran konflik. Contoh dari kelembagaan yang dapat dijadikan sebagai katup penyelamat adalah “musyawarah mufakat”, yang merupakan sebuah cara yang telah hidup dalam masyarakat Minang untuk membicarakan berbagai persoalan atau sengketa. Dalam musyawarah mufakat akan didengarkan keterangan masing-masing pihak yang bersengketa/berkonflik sehingga sehingga pokok persoalan dapat diketahui dan dicarikan jalan keluarnya. 3.
9 Kerangka Pemikiran
Perubahan sosial dapat terjadi karena berbagai faktor penyebab. Dalam kasus pemerintahan nagari ini, kebijakan dan intervensi pemerintah terhadap pemerintahan desa/nagari merupakan salah faktor yang menyebabkan timbulnya perubahan sosial dalam masyarakat. Kebijakan pemerintah untuk mengatur sistem pemerintahan desa secara seragam, yang di tuangkan dalam UU No 5 tahun 1979 telah menghilangkan peran dari lembaga-lembaga tradisional. M.P Tjondronegoro (1999), mengatakan bahwa, untuk di luar Jawa, dengan
diberlakukannya
Undang-Undang
No.5
tahun
1979
mengenai
pemerintahan desa telah menghilangkan bentuk asli dari pemerintahan otonom ditiap-tiap daerah. Penyeragaman pemerintahan desa telah menimbulkan kecenderungan “formalitas desa” dimana birokrasi modern mulai diterapkan hingga kepelosok desa. Dengan sistem sentralisasi yang semakin kuat di satu sisi, maka di sisi lain menyebabkan secara bertahap hilangnya otonomi perintahan desa. Secara bertahap kepala desa diangkat menjadi pegawai negeri. Ini semakin mempermudah kontrol pusat terhadap daerah. Pemberlakuan undang-undang ini menyebakankan desa tidak lagi terbagi secara genealogis teritorial, namun pembagiannya adalah berdasarkan teritorial administratif. Dortier (2005) dalam tulisannya mengenai Max Webber Sosiolog Modernitas, mengatakan bahwa administrasi birokrasi merupakan “tipe murni” dominasi legal. Kekuasaan didasarkan pada kompetensi dan bukan pada asal-usul sosial masuk ke dalam bingkai peraturan yang impersonal. Birokrasi ditandai dengan sebuah cara pengaturan dan cara organisasi yang didasarkan pada rasionalisasi. Penerapan birokrasi modern hingga ke wilayah pedesaan ini secara otomatis menggusur peran lembaga tradisional dalam sistem pemerintahan. Ini karena pemilihan orang-orang yang duduk di pemerintahan desa tidak lagi berdasarkan tradisi.
Misalnya, jika dulu yang menjadi wali Nagari haruslah
seseorang yang bergelar datuk dan mengetahui seluk-beluk urusan adat, maka seorang kepala desa tidak harus memenuhi kriteria itu. Bahkan yang dituntut dari seorang kepala desa adalah kemampuannya di bidang administrasi. Selanjutnya jika dulu KAN menjalan fungsi kontrol terhadap kinerja wali nagari, saat ini fungsi tersebut diambil alih oleh Badan Perwakilan Desa (BPD), yang dipilih
melalui mekanisme voting yang sesungguhnya sesuatu yang asing bagi masyarakat Minang. Anggota-anggota BPD juga tidak harus berasal dari unsur ninik mamak seperti halnya anggota KAN. Secara umum birokrasi dapat diartikan sebagai alat atau instrumen pemerintah untuk melaksanakan keputusan-keputusan serta kebijaksanaannya. Dengan kata lain, birokrasi adalah suatu sistem yang mengatur jalannya suatu pemerintahan, dengan bentuk idealnya yang obyektif, rasional, netral dengan mekanisme kerja yang efisien dan efektif (Nurhadiantomo, 1986:26). Dari pengertian di atas, dapat dimaklumi mengapa kehadiran sistem pemerintahan desa dan birokrasi modernnya kemudian membuat lembagalembaga tradisonal menjadi tersingkir karena lembaga-lembaga tradisional tidak memenuhi kriteria ideal yang disyaratkan oleh sebuah birokrasi modern. Namun demikian, Salim A (2002:49) menyatakan bahwa budaya dari birokrasi menjadi semacam wilayah asing yang “berkedip-kedip” di tengah kegelapan karena birokrasi di dunia ke tiga memiliki dua identitas yang berbeda, yaitu dari dunia barat yang diambil untuk menghidupi kelembagaan di dunia timur. Kebijakan untuk kembali ke nagari, secara ideal ingin memadukan konsep tradisonal yang berakar dari tradisi masyarakat dengan birokrasi modern. Seperti yang telah diatur oleh Perda Provinsi Sumatera Barat No. 2/2007 yang mengatakan bahwa kewenangan nagari mencakup: (a) Urusan pemerintahan berdasarkan hak asal usul nagari, (b) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten yang diserahkan pengaturannya kepada nagari. Selain itu lembaga-lembaga tradisional seperti kelembagaan tunggu tigo sajarangan, tali tigo sapilin (ninik mamak, cerdik pandai dan alim ulama) diberikan ruang untuk masuk ke dalam pemerintahan nagari (yang selama sistem pemerintahan desa telah tersingkir). Pembentukan nagari saat ini, pada dasarnya adalah upaya pemerintah untuk memadukan kebijakan dengan gerakan sosial. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak akan berhasil jika tidak ditopang oleh gerakan sosial yang berasal dari bawah. Di tingkat nagari inilah diharapkan kebijakan pemerintah bersinergi dengan institusi sosial dalam masyarakat. Inilah yang dinamakan oleh
Tjondronegoro
sebagai
sodaliti.
Dengan
demikian
diharapkan
proses
pembangunan dan pemberadayaan sekaligus dapat dilakukan. Pengakuan nagari sebagai bentuk pemerintahan terendah, menghendaki restrukturisasi bentuk pemerintahan nagari. Oleh sebab itu pemerintah mengeluarkan regulasi yang mengatur pembentukan unsur-unsur baru sehingga nagari menjadi sebuah organisasi modern yang sekaligus mengakomodir komponen adat/ tradisional. Namun masalahnya perpaduan dua komponen (tradisional dan modern) tersebut tidak mudah dilaksanakan. Restrukturisasi bentuk pemerintahan bahkan berpotensi menimbukan konflik. Konflik yang terjadi bisa bersifat positif fungsional yaitu dapat memperkuat struktur jika di dalam sistem tersebut terdapat katup penyelamat yang bekerja sebagai media penyalur atau pereda konflik. Memperkuat struktur dalam kasus ini berarti komponen dalam struktur pemerintahan nagari dapat bekerjasama dengan baik untuk mewujudkan otonomi nagari. Sebaliknya, jika tidak terdapat wadah yang berfungsi sebagai katup penyelamat, maka konflik tersebut akan bersifat negatif fungsional yaitu dapat melemahkan struktur. Konflik yang bersifat negatif fungsional akan membuat pemerintahan nagari berjalan tidak efektif karena pertikaian yang berlarut-larut (tidak terselesaikan) akan memperburuk kinerja aparat pemerintahan nagari. Katup penyelamat bisa berupa kelembagaan lokal yang telah ada maupun kelembagaan bentukan baru yang dibuat berdasarkan undang-undang atau perda. Berdasarkan uraian tersebut, maka secara singkat, kerangka pemikiran dari tulisan ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Sosial Budaya
Nagari (Bentuk asli/tradisional)
UU No.5/1979
Desa (Pemerintaha n Sentralistik)
• • •
Kebijaka n Nagari (Perpaduan Modern &Tradisional)
Top
Bottom Kepemimpinan Kolektif/adat
UU No.22/1999 UU No. 32/2004 Perda Sumbar No.
Struktur Pemerintahan •
Otonomi nagari
Aksi Struktur Pemerintahan •
• • •
Katup penyelamat Potensi konflik
• •
Positif fungsional (Memperkuat
Negatif fungsional (Melemahkan
Gambar 5. Bagan alur pemikiran transformasi pemerintahan nagari 35
Hipotesa Pengarah 1. Terdapat tumpang tindih tugas dan fungsi antar berbagai lembaga yang dibentuk dalam nagari, baik lembaga yang telah ada sejak dulu maupun lembaga bentukan baru. 2. Peralihan dari sistem pemerintahan desa ke nagari dan terbentuknya lembagalembaga baru dalam nagari merupakan perubahan yang di sengaja
atau
intended change. 3. Restrukturisasi sistem pemerintahan yang mencoba untuk menggabungkan tradisi berdasarkan adat dan birokrasi modern, belum sepenuhnya dapat diwujudkan dalam pemerintahan nagari, bahkan berpotensi menimbulkan konflik. Kondisi ini merupakan perubahan yang tidak disengaja atau unintended change. 4. Terdapat kelembagaan lokal dan peraturan pemerintah yang berperan sebagai katup penyelamat sehingga pertikaian atau benturan kepentingan antar komponen dalam struktur pemerintahan nagari tidak menjadi konflik terbuka.