II. DATA HIDROLOGI UNTUK PERENCANAAN BANGUNAN AIR 2.1. Pengertian Umum Pada setiap perencanaan bangunan air akan selalu dilakukan kegiatan analisis hidrologi dan analisis hidraulika. Seperti telah diuraikan pada bab terdahulu, pembuatan bangunan air pada sungai yang umumnya merupakan bagian dan suatu upaya pemanfaatan potensi wilayah sungai, akan menyebabkan adanya perubahan dalam hal fisik, karakteristik hidrologi maupun lingkungan. Dalam hal mi tentunya hams diusahakan agar rancangan bangunan air yang akan dibuat semaksimal mungkin dapat menekan perubahan karakteristik DAS ke arah yang merugikan baik bagi masyarakat setempat maupun terhadap kesetimbangan lingkungan. Untuk itu karakteristik hidrologi dan hidraulika yang ada pada saat sebelum bangunan air dibuat hams diketahui dan dianalisis menggunakan prosedur yang benar untuk dapat menyajikan
data
perencanaan
yang
akurat.
Setiap
kegiatan
dalam
rangka
perencanaan bangunan sungai akan selalu diperlukan data hidrologi dan data hidraulika (Pedoman Perencanaan Hidrologi dan Hidraulika untuk Bangunan di sungai, 1987). Informasi penting yang umum dipakai sebagai dasar pertimbangan suatu rencana pembuatan bangunan sungai adalah karakteristik hidrologi DAS dan karakteristik hidraulika dan sungai dimana suatu bangunan air akan dibuat. Kedüa hal tersebut saling terkait yang mana perubahan yang dapat terjadi merupakan proses alami menuju kepada suatu keseimbangan barn. Dalam hal ini sifat-sifat hidarulika suatu alur sungai akan sangat tergantung kepada proses hidrologi yang ada pada DAS tersebut. Contoh yang mudah ditelaah adalah sebuah waduk serbaguna yang besar dengan konstruksi bendungan yang dibangun pada alur sungai di bagian hulu DAS. Akibat adanya waduk tersebut maka tipikal aliran sungai di bagian hilir tentunya akan sangat tergantung kepada pola operasi pelepasan air dan waduk. Demikian pula dengan proses angkutan dan pengendapan sedimen pada alur sungai di bawah waduk juga akan berubah yang menyebabkan perubahan pada sifat geometri sungai seperti kemiringan dasar dan kekasaran dasar sungai. Apabila waduk tersebut juga dimaksudkan untuk pengendalian banjir, tentunya kapasitas tampungan dan pola operasi waduk harus didasarkan pada seberapa besar tingkat pengurangan volume aliran banjir yang diinginkan, terutama pada periode
Universitas Gadjah Mada
musim banjir. Untuk itu diperlukan analisis perkiraan volume banjir dengan menggunakan data debit dan hujan ekstrim yang pernah terjadi pada lokasi waduk. Untuk keperluan irigasi, diharapkan waduk dapat menampung air sebanyak mungkin untuk digunakan pada musim kemarau dimana kebutuhan suplai air untuk pertanian meningkat karena curah hujan sudah sangat kecil dan debit sungai juga berkurang, bahkan tidakjarang dijumpai adanya kekeringan yang cukup panjang. Beberapa waduk besar terutama di Jawa digunakan untuk keperluan pasok energi listrik (PLTA). Waduk demikian menghendaki kontinuitas potensi pelepasan air untuk menggerakkan turbin generator PLTA yang relatif tidak terlalu tergantung kepada periode musim (penghujan dan kemarau), karena kebutuhan pasok energi listrik relatif tetap, fluktuasi mungkin hanya terjadi dalam kurun waktu harian, antara siang dan malam. Secara skematis, ilustrasi singkat terkait dengan persoalan perlunya data hidrologi dan data hidraulika mi, ditunjukkan pada Gambar 2.1. Dari sedikit uraian tersebut dapat dipahami bahwa pola penggunaan air sangat bervariasi, sedangkan sifat ketersediaan air relatif tetap yang dapat diketahUi dan hasil analsis hidrologi pada DAS yang ditinjau. Dalam hal penerapan analisis hidrologi untuk keperluan rancangan bangunan air, selain prosedur yang benar dan metode yang sesuai, ketersediaan data hidrologi yang memadai baik dalam hal jumlah/panjang data maupun kualitas data juga akan sangat menentukan ketelitian hasil yang didapatkan. Selain itu juga macam data dan cara-cara pengolahan data dasar untuk disiapkan sebagai masukan dalam hitungan analsis hidrologi juga hams diperhatikan. Pada bab ini akan diuraikan beberapa macam data dasar hidrologi dan cara atau metode pengolahan yang umum berlaku untuk keperluan analisis hidrologi, khususnya dalam kaitannya dengan perencanaan bangunan sungai. Sedikit tentang data hidraulika juga akan disampaikan untuk menambah pengertian keterkaitan antara kedua macam data tersebut. Termasuk dalam kelompok data hidrologi adalah: a. Sifat/karakteristik DAS, b. curah hujan, penguapan dan infiltrasi, c. debit atau aliran sungai, d. koefisien aliran, e. sedimen (macam bahan, ukuran butir, intensitas angkutan).
Universitas Gadjah Mada
Gambar 2.1 dan Tabel 2.1 menyajikan ilustrasi singkat tentáng beberapa data dasar hidrologi dan kegunaanya.
Manfaat Flood control
Target analisis Pengurangan limpasan
Parameter rancangan
volume
banjir
dan
debit puncak
Hidrograf
banjir
Kebutuhan data hidrologi Karakteristik DAS
rancangan sebelum dan
Hujan DAS
sesudah ada waduk
Debit sungai di A
Kapasitas
dan B
tampungan
waduk untuk peredaman banjir
(Flood
control
storage) Suplai irigasi
Volume tampungan air
Ketersediaan
air
(debit
Hujan di sub DAS hulu
waduk pada awal musim
anda-
Hujan efektif di areal
kemarau
Ian) Kebutuhan air irigasi
irigasi Evapotranspirasi Debit
diA
Infiltrasi,
perkolasi PLTA
Volume
tampungan
Inflow andalan
Karakteristik DAS D Hujan
maximum
dan
Kebutuhan energi listrik
di sub DAS hulu
mum
(HWL
&
minimini LWL
storages) Kapasitas energi Iistrik
Debit
sungai
Evaporasi produksi
evapotranspirasi
di
A dan
2.2. Karakteristik DAS Setiap bangunan yang dibuat di sungai, baik yang dibangun pada alur atau bangunan yang melintas di atas alur sungai, harus direncanakan secara baik dengan memperhatikan karakteristik DAS. Karakteristik DAS yang dimaksudkan dalam hal ini adalah meliputi tipikal bentuk geometri, luas, keadaan topografi, vegetasi dan tata guna lahan, karakteristik geoteknik dan sifat fisik tanah. DAS dibatasi oleh garis di permukaan tanah yang membentuk suatu luasan dimana limpasan permukaan akibat adanya curah hujan akan mengalir menuju sebuah sungai. Umumnya nama sebuah DAS ditetapkan dan nama sungai atau sungai utama pada DAS tertentu. Sebagai contoh kita kenal DAS Serayu di Jawa Tengah, DAS Citarum di Jawa Barat, DAS Brantas di Jawa Timur, DAS Bengawan Solo yang membentang dan Jawa Tengah sampai ke wilayah Jawa Timur, dan lain-lain. Dalam kaitannya dengan analisis aliran sungai pada periode debit besar, data bentuk DAS, topografi, jenis dan distribusi tataguna lahan serta kerapatan jaringan sungai akan sangat diperlukan untuk menentukan hidrografbanjir rancangan, yaitu liku perubahan debit terhadap waktu pada saat terjadi aliran banjir. Pada kejadian hujan yang merata, DAS yang memanjang menghasilkan hidrograf banjir yang tidak begitu meruncing, karena waktu menuju debit puncak relatif panjang. Sifat DAS ini ditandai dengan nilai waktu konsentrasi Tc (time of
concentration), yaitu waktu yang diperlukan untuk pengatusan limpasan permukaan secara menyeluruh menuju alur sungai. Nilai besaran hidrologi ini tergantung dan kemiringan permukaan dan tataguna lahan DAS serta kerapatan jaringan kuras
(drainage density). Penjelasan lebih rinci tentang hubungan antara karakteristik DAS dan hidrografbanjir diuraikan pada bab selanjutnya (Bab III).
2.3. Curah Hujan Data curah hujan merupakan data yang penting, khususnya untuk kasus analisis pada DAS yang tidak terdapat data aliran, dimana data hujan dapat digunakan untuk perkiraan debit aliran yang terjadi pada suatu rentang periode waktu tertentu. Data curah hujan dapat berupa data curah hujan hanian atau curah hujan pada periode waktu yang lebih pendek, misal setiap menit. Data hujan tipe pentama dapat diukur dengan penakar hujan biasa terdiri dari bejana dan corong seluas 200 cm2 yang dipasang setinggi 120 cm dan permukaan tanah. Data hujan untuk peniode pendek didapat dari alat penakar hujan otomatis ARR (automatic rainfall recorder) yang dapat merekam setiap kejadian hujan selama jangka waktu tertentu. Berdasarkan
Universitas Gadjah Mada
mekanisme perekaman data hujan ada tiga jenis ARR, yaitu tipe weighing bucket bucket, tipping bucket dan float. Tipe pertama (weighing weighing bucket) bucket) dapat menekam jumlah kumulatif hujan secara kontinyu. Alat ini tidak dilengkapi dengan sistem pengurasan otomatik. Mekanisme pencatatan data hujan dengan menggunakan alat tipe ini dijelaskan pada Gambar 2.2.
Penurunan bucket akibat beban air hujan diteruskan diteruskan ke pena perekam yang mencatat data hujan kontinyu pada kertas grafik pembungkus silinder. Silinder berputar sesuai dengan waktu. Alat penakar hujan otomatis dengan tipping bucket digunakan untuk pengukuran khusus. Secara skematis, sistem kerja alat penakar hujan tipe ini ditunjukkan pada Gambar 2.3.
Air hujan yang tertampung ke dalam corong akan diteruskan ke saringan kemudian masuk ke dalam tipping pping bucket. bucket Kapasitas bucket ini didesain khusus setara dengan 0.5 mm, sehingga apabila tampungan air hujan tercapai akan terjungkir (tipping)) yang akan diteruskan dengan proses perekaman. Prinsip mekanisme kerja alat penakar hujan otomatis tipe ketiga yaitu float adalah dengan memanfaatkan memanfaatkan gerakan naik pelampung dalam bejana akibat tertampungnya curah hujan. Pelampung ini berhubungan dengan sistem pena perekam di atas kertas berskala yang menghasilkan grafik rekaman data hujan. Alat ini dilengkapi dengan sistem pengurasan otomatis, yaitu pada saat air hujan yang tertampung telah mencapai kapasitas receivernya akan dikeluarkan dan b bejana dan pena akan kembali pada posisi dasar kertas rekaman reka an data hujan. Gambar 2.4 menyajikan ilustrasi prinsip kerja alat penakar hujan tipe float.
Alat penakar akar hujan tersebut harus harus dipasang mengikuti ketentuan yang berlaku, yaitu WMO (World World Meteorological Organization) Organization) atau aturan nasional yang berlaku di suatu negara tertentu. Penempatan dan pema pemasangan sangan alat tersebut pada setasiun hidrologi harus memenuhi syarat arat teknis sebagai berikut ini (Sri Harto, 1993). a. Penakar hujan ditempatkan pada lokasi sedemikian sehingga kecepatan angin di tempat tersebut sekecil mungkin dan terhindar dan pengaruh penangkapan air hujan oleh benda lain di sekitar alat penakar hujan.
b. Penempatan setasiun hujan hendaknya berjarak minimum empat kali tinggi rintangan terdekat. c. Lokasi di suatu lereng yang miring ke sam arah tertentu hendaknya dihindarkan. d. Penempatan corong penangkap hujan diusahakan dapat menghindari pengaruh percikan curah hujan ke dalam dan disekitar alat penakar sebaiknya ditanami rumput atau berupa kerikil, bukan lantai beton atau sejenisnya. Dalam pemakaiannya, data curah hujan ini akan diolah untuk memperoleh intensitas hujan dan curah hujan rata-rata rata DAS; Untuk menentukan tukan besarn besarnya hujan rata-rata rata DAS atau sering dikatakan sebagai hujan DAS, dapat digunakan 3 cara, yaitu metode Aritmatik, Poligon Thiessen dan cara Isohyet. Masing-masing Masing masing metode hitungan curah hujan DAS tersebut secara singkat diuraikan sebagai berikut ini. 1.
Metode Aritmatik Curah hujan rata-rata rata DAS dapat ditentukan dengan dengan menjumlahkan curah hujan
dari semua tempat pengukuran untuk suatu periode tertentu dan membaginya dengan banyaknya setasiun pengukuran. Metode ini dapat dipakai pada daerah yang datar dengan jumlah setasiun hujan relatif banyak, dengan anggapan bahwa di DAS tersebut sifat curah hujannya adalah merata (uniform). ( ). Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
dengan: P
= curah hujan rata-rata, rata
P1, P2, …..Pn = curah hujan pada setiap setasiun yang diamati, n
= banyaknya setasiun curah hujan. Metode ini sangat sederhana dan mudah diterapkan, akan tetapi kurang
memberikan hasil yang teliti mengingat tinggi curah hujan yang sesungguhnya tidak mungkin benar-benar enar merata pada pada seluruh DAS. Utamanya di wilayah ilayah tropis termasuk di Indonesia, sifat distribusi hujan menurut ruang sangat bervariasi, sehingga untuk suatu DAS yang relatif besar, metode Aritmatik tidak cocok untuk digunakan.
2. Metode Poligon Thiessen Curah hujan rata-rata a didapatkan dengan membuat poligon yang memotong tegak lurus pada tengah-tengah tengah garis penghubung dua setasiun hujan. Dengan demikian setiap setasiun penakar hujan akan terletak pada suatu wilayah poligon tertutup luas tertentu. Cara ini dipandang lebih baik ba dan cara reráta aljabar (Aritmatik), yaitu dengan memasukan faktor luas areal yang diwakili oleh setiap setasiun hujan. Jumlah perkalian antara tiap-tiap tiap tiap luas poligon dengan besar curah hujan di setasiun dalam poligon tersebut dibagi dengan luas seluruh DAS akan menghasilkan nilai c urah h uj an rata-rata ata D AS. P rosedur h itungan ini dilukiskan pada pada persamaan (2.2) dan Gambar 2.4 berikut ini.
Dimana : P
= curah hujan rata-rata, rata
F1,. .., Pn
= curah hujan pada setiap setasiun,
A1,. .., An
= luas yang dibatasi tiap poligon.
Nilai perbandingan antara luas poligon yang mewakili setiap stasiun tasiun terhadap luas total DAS tersebut disebut sebagai faktor bobot Thiessen untuk setasiun tersebut. Dengan demikian cara ini dipandang lebih baik dan pada cara rerata aijabar, karena telah memperhitungkan pengaruh letak penyebaran setasiun penakar hujan. Metode ini cocok untuk menentukan hujan rata rata-rata rata dimana lokasi setasiun tidak banyak dan hujannya tidak merata.
3. Metode Isohyet Metode
ini
menggunakan
pembagian
DAS
dengan
garis-garis garis garis
yang
menghubungkan tempat-tempat tempat dengan curah hujan yang sama besar (isohyet). (isohyet Curah hujan rata-rata rata dan daerah aliran sungai didapatkan dengan menjumlahkan perkalian antara curah hujan rata-rata rata di antara garis-garis garis garis isohyet dengan luas daerah yang dibatasi oleh garis batas DAS dan dua garis isohyet, kemudian dibagi dengan luas seluruh DAS. secara manual, dimana Cara ini mempunyai kelemahan yaitu apabila dikerjakan secara setiap kali haruss mengambarkan garis isohyet yang tentunya hasilnya sangat tergantung kepada masing-masing masing pembuat garis. Unsur subyektivitas ini dapat dihindarkan dengan penggunaan perangkat lunak komputer yang dapat menghasilkan gambar garis isohyet berdasarkan sistem interpolasi interpolasi grid, sehingga hasilnya akan sama untuk setiap input data di masing-masing masing setasiun hujan. Ilustrasi hitungan hujan rerata DAS menggunakan cara mi disajikan pada Gambar 2.6. Rumus hitungan hujan rerata metode isohyet dapat dituliskan sebagai ber berikut:
dengan: P
= rata-rata rata curah hujan,
P1,..., P,
= besaran curah hujan yang sama pada setiap garis isohyet,
A,
= luas total DAS (A1 + A2 + ... An).
Dalam praktek pemakaian hitungan hujan DAS tersebut, banyak digunakan cara kedua, yaitu poligon Thiessen yang dipandang lebih praktis dengan hasil cukup baik.
Area
P1
A
Area
P1
A
I.
2,05
0,0663
X.
2,25
0,0965
II.
2,05
0,0426
XI.
2,35
0,0468
III.
2,15
0,0166
XII.
2,45
0,0512
IV.
2,25
0,0098
XIII.
2,55
0,0417
V.
2,35
0,0027
XIV.
2,25
0,0237
VI.
2,15
0,2952
XV.
2,25
0,0563
VII.
2,25
0,0444
XVI.
2,15
0,0778
VIII.
2,35
0,0370
XVII.
2,05
0,0138
IX.
2,15
0,0776
Gambar 2.6 Hitungan hujan rerata DAS dengan metode Isohyet (Sumber : Scientific Hydrology, R.L.,Bras,1992) 2.4. Penguapan 2.4.1. Pengertian Umum dan Kegunan Data Penguapan Penguapan merupakan salah satu proses penting yang terjadi pada daur hidrologi. Mengingat kuantitas penguapan harian relatif kecil, dalam hal tertentu dimana penguapan bukan merupakan unsur dominan, jumlah penguapan kadang tidak terlalu diperhatikan. Misalnya nya pada kasus analisis debit banjir, besarnya penguapan dari tampungan air di alur sungai umumnya diabaikan. Akan tetapi untuk keperluan irigasi, penguapan merupakan data masukan utama untuk hitungan kebutuhan air irigasi. Pada prinsipnya kebutuhan air irigasi ir di petak areal tanam terdiri dari kebutuhan
air tanaman (consumptive use) dan kebutuhan untuk pengelolaan lahan (field management). Kebutuhan air tanaman merupakan jumlah air yang diperlukan untuk menjaga tanaman agar dapat tumbuh secara sehat. Untuk itu, tanaman harus dijaga agar terjadi keseimbangan dalam melakukan proses fisiologis pertumbuhan, yang dalam hal ini proses utamanya adalah transpirasi melalui stomata daun. Apabila ketersediaan lengas tanah pada zona perakaran cukup, diharapkan tanaman dapat tumbuh dengan baik. Dengan kata lain pemberian air harus mencukupi jumlah air untuk mengganti evapotranspirasi, yaitu jumlah penguapan dan tubuh tanaman (transpirasi) dan dan lahan maupun muka air bebas apabila lahan dalam keadaan tergenang. Jumlah evapotranspirasi nyata tergantung pada jenis tanaman dan tahap pertumbuhan
(growing
stage).
Untuk
keperluan
praktis
digunakan
nilai
evapotranspirasi potensial sebagai nilai acuan untuk menghitung perkiraan kebutuhan air tanaman dengan mengunakan koefisien tanaman (crop coefficient). Pada kasus analisis imbangan air di waduk lapangan yang mempunyai luas tampungan relatif kecil, nilai penguapan harian menjadi masukan penting, terutama pada musim kemarau. Perhitungan menyangkut perancangan dan pengoperasian waduk lapangan akan sangat memerlukan data evaporasi yang akurat. 2.4.2. Faktor-faktor Penentu Besarnya Penguapan Penguapan (evaporation) secara singkat dapat diartikan sutau proses perubahan dari molekul air dalam bentuk zat cair ke dalam bentuk gas (Sri Harto, 1993). Proses sebaliknya yang terjadi di atas permukaan air atau di atmosfir adalah pengembunan atau kondensasi (condensation). Dalam tinjauan secara global, laju penguapan atau evaporasi umumnya dianggap sebagai laju neto yang dinyatakan sebagai selisih antara laju evaporasi dan laju kondensasi. Ada dua faktor utama yang menentukan besarnya laju evaporasi pada permukaan air terbuka/bebas, yaitu suplai energi untuk menyediakan kalor latent yang diperlukan untuk proses penguapan dan kemampuan untuk melakukan proses transport uap air ke atas permukaan air (Chow, dkk., 1988). Dalam hal ini sumber utama energi panas adalah radiasi matahari dan kapasitas proses transport uap air tergantung kepada kecepatan angin dan gradien kelembaban udara di atas permukaan air. Angin dalam hal ini berfungsi memindahkan lapisan udara yang mempunyai tingkat kelembaban tinggi yang menghambat proses penguapan. Selain itu juga ada parameter kualitas air, yaitu salinitas yang cenderung mengurangi laju penguapan (Sri Harto, 1993).
Universitas Gadjah Mada
Proses penguapan di suatu areal tertentu yang sebenarnya terjadi adalah evaporasi
langsung
dari permukaan tanah dan tanaman melalui intersepsi
(interception), ), serta penguapan air dan tanaman melalui stomata daun yang disebut dengan proses transpirasi (transpiration transpiration). ). Keseluruhan proses penguapan ini disebut dengan istilah evapotranspirasi (evapotranspiration) ( ) yang jumlahnya akan tergantung kepada keadaan lengas tanah (soil ( moisture). ). Apabila suplai kandungan air dalam tanah tidak terbatas, dalam pengertian proses transpirasi akan menjamin tanaman dapat tumbuh secara normal, jumlah evapotranspirasi disebut dengan istilah evapotranspirasi potensial (potential potential evapotranspiration). evapotranspiration 2.4.3. Pengukuran Evaporasi Besarnya evaporasi dapat diperkirakan dengan pendekatan teoritis maupun dengan pengukuran langsung. Cara pertama memerlukan banyak data meteorologi dan data penunjang lain yang tidak selalu mudah didapatkan. Oleh karena itu pengukuran langsung di lapangan sering dilakukan untuk keperluan analisis secara lebih praktis. Umumnya dikehendaki nilai evaporasi atau evaporasi harian, namun dalam hal tertentu kadang diinginkan pula informasi distribusi data dalam jam-jaman. jam jaman. Untuk mengukur besarnya ya evaporasi dapat digunakan beberapa alat sebagai berikut ini (Sri Harto, 1993). 1.
Atmometer Alat pengukur evaporasi orasi inii cukup sederhana, berupa bejana berpori yang diisi
air. Besarnya ya penguapan dalam jangka waktu tertentu, misalnya harian didapatkan dari da nilai selisih pembacaan sebelum dan sesudah percobaan. Beberapa jenis atmometer antara lain Fiche, Livingstone dan Black Bellani.
2.
Evaporation Pan Untuk mengukur evaporasi dan muka air bebas dapat digunakan panci
penguapan (evaporation evaporation pan). pan). Terdapat tiga macam panci penguapan yang sering digunakan, yaitu panci penguapan klas k A (class A evaporation pan), panci penguapan tertanam (sunken sunken evaporation pan) pan) dan panci penguapan terapung ((floating evaporation pan). ). Pada prinsipnya pengukuran evaporasi dengan ketiga macam alat tersebut sama, yaitu dengan pembacaan tinggi muka air di panci pada dua saat yang berbeda sesuai uai dengan interval waktu pengukuran yang diinginkan. Pada setiap pengamatan umumnya juga dilakukan pengukuran temperatur air. Pan evaporasi lebih sering digunakan untuk mengukur evaporasi harian yang dinyatakan dalam mm mm/hari. Ilustrasi cara pemasangan panci pan evaporasi klas A ditunjukkan pada Gambar 2.8.
Maksud pemasangan bejana logam di atas rangka kayu adalah agar pengaruh turbulensi angin dapat dikurangi, karena akan mempengaruhi laju penguapan. Mengingat cara pengukuran tidak dapat mewakili keadaan yang yan sebenarn rnya, hasil pengukuran dengan panci evaporasi akan selalu lebih besar dan nilai penguapan yang sesungguhnya. Kejadian tersebut karena beberapa hal berikut (Sri Harto, 1993): a. luas permukaan air di panci penguapan relatif sempit dan tidak terdapat pengaruh gelombang di permukaan air, serta turbulensi udara di permukaan lebih kecil, b. terdapat perbedaan kemampuan massa air untuk menyimpan panas (heat (heat storage capacity) antara panci penguapan dan danau atau massa air yang lebih besar, c. terjadinya pertukaran an panas (heat exchange)) antara panci penguapan dengan tanah, air dan udara di sekitarnya. Untuk itu, nilai penguapan yang sesungguhnya dapat diperkirakan dengan mengalikan koefisien panci (pan pan coefficient) coefficient yang besarnya antara 0.65-0.85 0.85 tergantung dan spesifikasi esifikasi alat. Penggunaan alat panci penguapan tertanam didasari pada kelemahan panci klas as A tersebut, yaitu dengan upaya memperhitungkan pengaruh latent heat
yang terdapat dalam tanah di sekitar massa air yang menguap dengan cara memasang panci masuk ke bawah permukaan tanah. Sebagai contoh adalah Colorado sunken pan seperti dapat dilihat pada Gambar 2.9. Koefisien panci pa alat in ini besarnya 0.75-0.86.
Untuk panci terapung, pada dasa dasarnya ya bentuk alat mirip dengan tipe lain. Alat tipe ini dapat digunakan untuk mengukur penguapan di danau atau waduk dimana alat diapungkan di atas ponton yang diikat dengan angker dan dilengkapi dengan kisi kisi-kisi untuk mencegah terjadinya percikan air (splashing) ke dalam panci penguapan. Ilustrasi pemasangan alat tipe ini disajikan pada Gambar 2.10.
2.4.4. Perkiraan Evaporasi dengan Pendekatan Teoritik Seperti telah disinggung pada uraian tentang faktor-faktor fa faktor yang mempengaruhi laju penguapan, pendekatan teoritik untuk perkiraan nilai penguapan memerlukan d data parameter klimatologi. Data tersebut meliputi temperatur udara (T), ( ), kelembaban relatif udara atau relative humidity (RH), kecepatan angin pada ketinggian tertentu, yang umumnya diukur pada ketinggian 2 m di atas permukaan tanah (U2), lama penyinaran matahari atau sunshine duration dalam jam (n), lama penyinaran matahari maksimum
pada suatu hari tertentu di lokasi pengukuran (N), radiasi matahari (Rn) dan kemungkinan data lain tergantung pada pendekatan yang digunakan untuk menurunkan rumus empiris hitungan evaporasi. Pada diktat ini tidak akan diuraikan secara rinci tentang formulasi beberapa rumus empiris yang umum dikenal dalam bidang hidrologi. Pembaca dapat merunut pustaka yang memuat penurunan rumus-rumus tersebut. Setidaknya ada 3 prinsip pendekatan hitungan evaporasi, yaitu persamaan keseimbangan air (water balance), persamaan keseimbangan energi (energy balance method) dan Aerodynamic method. Pendekatan Water Balance Cara ini sangat sederhana dengan rumus berikut ini (Sri Harto, 1993). I=0± S dengan I 0
= total inflow, = total outflow,
S
= selisih jumlah tampungan.
Dalam penerapannya rumus di atas sering dijumpai kesulitan, karena tidak setiap komponen imbangan air dapat dipantau dan diukur dengan teliti, terutama nilai S. Rumus tersebut sangat memungkinkan untuk dipakai pada analysis untuk mendapatkan perkiraan nilai evaporasi yang tidak perlu sangat akurat atau kondisi dimana nilai S sangat kecil mendekati nol. Pendekatan Energy Balance Method Sumber energi panas untuk proses penguapan pada permukaan air adalah perubahan panas neto (net radiation flux) di permukaan bumi (Rn). Besarnya Rn merupakan selisih antara serapan panas efektif di permukaan bumi dan pancaran panas ke udara (emitted radiation) seperti dijelaskan pada rumus dan Gambar 2.11 berikut ini. Rn=Ri(1 - ) - Re di mana Ri adalah panas yang sampai di permukaan bumi yang sebagian dipantulkan dengan faktor refleksi atau albedo danjuga adanya pancaran panas ke udara Re.
Universitas Gadjah Mada
Selanjutnya laju penguapan dapat diperkirakan diperkirakan dengan memperhitungkan perubahan panas internal akibat proses penguapan air dengan rumus berikut (Chow, dkk., 1988):
dengan E lv
= laju evaporasi (mm/hari), (mm = panas latent untuk penguapan (J/kg),
w
= massa jenis air (kg/m (kg/ 3),
Rn
= radiasi neto (W/m (W/ 2),
Hs
= suplai panas ke aliran udara (W/m (W/ 2),
G
= suplai panas ke dalam tanah (W/m2).
Berdasarkan prinsip pendekatan keseimbangan energi dan hukum Dalton telah dikembangkan rumus empiris Penman yang banyak digunakan untuk hitungan evaporasi dan evapotranspirasi. Dalarn perkernbangannya, untuk keperluan praktis bahkan telah dibuat nornogram Penman untuk hitungan penguapan dengan rnernperhitungkan faktor kelembaban udara (RH), larna penyinaran matahari ((n), temperatur udara (7), panas radiasi atau nilai Angot (Ra) dan kecepatan angin 2m di atas tanah (U2). Uraian lebih rinci dapat dilihat pada buku Analisis Hidrologi (Sri Harto, Br., 1993). Pendekatan Aerodynamic Method Selain suplai enegi panas, faktor lain yang mengontrol laju evaporasi adalah kemampuan emampuan untuk memindahkan uap air dan permukaan air. Proses pemindahan uap air ini akan tergantung kepada besarnya besarnya pertambahan kelembaban arah vertikal (gradient of humidity)) dan kecepatan angin di udara dekat permukaan air. Kedua proses tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan persamaan perpindahan massa
dan momentum di udara. Penurunan rumus hitungan evaporasi dengan cara ini menghasilkan persamaan berikut (Chow, dkk., 1988):
dengan
Ea
= evaporasi dari muka air bebas selama periode pengamatan,
B
= faktor empiris tergantung kepada konstanta von Karman (k), rapat massa udara (p a), rapat massa air (p w) kecepatan angin pada 2 m di atas permukaan (U 2) dan tekanan ekanan udara ambient (p),
eas
= tekanan uap jenuh di udara pada temperatur sama dengan temperatur air,
ea
= tekanan uap nyata pada ketinggian pengamatan.
2.4.5. Rumus Hitungan Perkiraan Evapotranspirasi Hitungan perkiraan laju evapotrasnpirasi, yaitu jumlah evaporasi dari permukaan mukaan tanah dan transpirasi dari tanaman juga diturunkan dengan memperhatikan faktor-faktor faktor seperti halnya pada penurunan rumus evaporasi. Faktor lain yang diperhitungkan adalah suplai lengas tanah pada zona penguapan. Meng Mengingat evapotranspirasi tergantung pada jenis dan tahap pertumbuhan tanaman, maka digunakan acuan hitungan yaitu evapotranspirasi tanaman acuan (reference reference crop evapotranspiration)) yang didefinisikan sebagai berikut (Doorenbos dan Pruitt, 1977): “Laju evapotranspirasi transpirasi dan hamparan tanaman rumput dengan tinggi merata sama yang tumbuh normal dengan suplai airyang cukup “.
Nilai evapotranspirasi potensial suatu jenis tanaman pada periode tumbuh tertentu (E10) didapat dengan mengalikan evapotranspirasi tanaman acuan (Etr) dengan koefisien tanaman (kc). Memperhatikan kondisi lengas tanah (soil moisture), nilai evapotranspirasii nyata (Et) didapat dari perkalian antara E10 dan koefisien tanah (ks). Salah satu contoh rumus hitungan evapotranspirasi evapotranspirasi potensial dengan menggunakan indeks panas bulanan adalah rumus Thornthwaite sebagai berikut mi (Sri Harto, 1993).
PE*=1.6 12
J=
10t a J
j
n −1
jn =
tn 5
dengan
PE*
= evapotranspirasi potensial tahunan,
J
= indeks panas tahunan,
jn
= indeks panas bulanan pada bulan ke n,
tn
= suhu rerata pada bulan ke n,
t
= suhu rerata tahunan,
a
= konstanta.
Rumus lain untuk memperkirakan nilai evapotranspirasi potensial berdasarkan gabungan pendekatan cara energy balance method dan aerodynamic method juga banyak dikembangkan. Salah satu rumus yang sering dipakai di Indonesia dan beberapa negara Asia adalah rumus Penman. Pembaca dapat mempelajari lebih detil tentang rumus penman tersebut dari beberapa pustaka yang tercantum pada diktat ini. 2.5. Infiltrasi 2.5.1. Pengertian Umum Infiltrasi adalah proses masuknya air ke bawah permukaan tanah. Kalau kita cermati kembali ilustrasi seperti di tunjukkan pada Gambar 1.1, dapat dimengerti bahwa infiltrasi merupakan salah satu komponen penting dari daur hidrologi. Besarnya infiltrasi
merupakan
informasi
penting
sebagai
masukan
dalam
hitungan
pengalihragaman hujan menjadi aliran yang mana jumlah dan laju limpasan permukaan sangat ditentukan oleh faktor kehilangan air akibat proses infiltrasi. Besamya infiltrasi dapat dinyatakan dalam kapasitas infiltrasi (infiltration capacity) dan laju infiltrasi (infiltration rate). Kapasitas infiltrasi adalah nilai laju infiltrasi maksimum untuk suatu jenis tanah dengan sifat tertentu, sedangkan laju infiltrasi merupakan kecepatan infiltrasi nyata yang diukur pada saat tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya laju infiltrasi adalah kondisi permukaan tanah, vegetasi penutup lahan, karakteristik tanah seperti porositas, konduktivitas hidraulik (hydraulic conductivity) dan kelengasan tanah (soil moisture). Oleh karena itu, laju infiltrasi juga
Universitas Gadjah Mada
akan bervariasi secara vertikal mengikuti distribusi lapisan tanah. Pada lapisan dengan pori-pori kecil, gerakan air vertikal ke bawah akibat gaya gravitasi akan mendapat hambatan akibat gaya geser yang lebih besar. Pada lapisan dengan pori-pori besar, pengaruh gaya kapiler yang menarik butir-butir air ke pori-pori terdekat sangat minim, sehingga pengaruh gaya gravitasi Iebih dominan. Dengan demikian laju infiltrasi terkait dengan 3 proses berikut: a. masuknya air melewati permukaan tanah, b. tampungan air di lapisan bawah permukaan tanah yang mempengaruhi kelengasan tanah, c. pergerakan air di dalam lapisan tanah. Apabila kondisi lengas tanah memungkinkan, akibat gaya gravitasi proses infiltrasi di bagian lapisan bawah akan diteruskan secara vertikal ke bawah menuju zona air tanah. Proses mi disebut dengan perkolasi (percolation). 2.5.2. Pengukuran Infiltrasi Dalam kaitannya dengan analisis hidrologi, informasi yang diperlukan adalah laju infiltrasi yang berubah dengan waktu. Untuk mendapatkan data tersebut pengukuran laju infiltrasi pada suatu tempat tertentu dapat dilakukan dengan 2 cara, yaiu pengukuran langsung di lapangan dan dengan pendekatan menggunakan analisis hidrograf (Sri Harto, 1993). Pengukuran lapangan Cara pertama dapat dilakukan dengan menggunakan alat berikut: a. single ring infiltrometer, b. double ring infiltrometer, c. rainfall simulator.
Universitas Gadjah Mada
Single Ring infiltrometer berupa silinder baja yang dimasukkan ke dalam tanah dan dilengkapi dengan skala dalam mm dan hook gauge untuk mengukur penurunan muka air yang ng diisikan ke dalam silinder baja yang diamati dalam rentang waktu tertentu. Prinsip pengukuran infiltrasi dengan double ring infiltrometer sama dengan single ring infiltrometer,, hanya saja digunakan 2 buah silinder baja untuk menahan rembesan air ke arah horisontal dengan cara mengisi air pada ruang di antara dua silinder baja. Gambar 2.12 menyajikan ilustrasi pengukuran laju infiltrasi menggunakan double ring infiltrometer. Rainfall simulator dapat digunakan untuk mengetahui sifat infiltrasi dan karakteristik hidrograf untuk berbagai keadaan DAS (Sri Harto, 1993). Alat mi terdiri dan sam set sprinkler nozzle yang berfungsi untuk membuat hujan tiruan dengan cara memancarkan air ke dalam suatu bidang bidang tanah sample pada suatu daerah alira aliran dan petak tanah terisolasi dari bidang tanah di sekitarnya sekitarnya sehingga limpasan dapat diukur dengan teliti. Prosedur pengukuran ditempuh dengan cara sebagai berikut ini (J.. Martha W dan W. Adidarma, 1982). 198 a. Hujan buatan diberikan ikan dengan intensitas
tertentu sedemikian sehingga
nilainya inya konstan dan lebih besar dari perkiraan kapasitas infiltrasi (i> ). b. Sebagian airr yang tidak terinfiltrasi (i-f (i p) akan mengalir di permukaan dan dapat diukur untuk dihitung sebagai limpasan q dalam intensitas (mm/jam). c. Nilai hasil pengukuran q dan i diplot terhadap waktu untuk menggambarkan grafik perubahan laju limpasan q sampai keadaan dimana laju infiltrasi konstan dan limpasanjuga konstan (q) seperti dilukiskan pada pada gambar berikut:
d. Sesudah hujan buatan dihentikan limpasan tidak akan langsung berhenti, tetapi akan mengalami resesi karena masih ada sisa air tentahan di permukaan sebagai air detensi (detention). e. Selama masih ada air di permukaan tanah maka infiltrasi infiltrasi masih terus terjadi, meskipun lajunya akan berkurang. Dengan asumsi bahwa penurunan infiltrasi linier terhadap penurunan limpasan maka dapat diperoleh rumusan berikut:
Dengan f dan q masing-masing masing adalah laju infiltrasi dan limpasan pada saat hujan dihentikan, sedangkan f,’. dan qr masing-masing masing masing adalah laju infiltrasi dan limpasan pada saat resesi. f.
Volume total dan limpasan dan infiltrasi pada saat resesi sama dengan simpanan (storage) air yang terjadi pada awal percobaan. Sehingga kurva laju infiltrasi ( ) dapat dikoreksi untuk mendapatkan kurva
yang sesungguhnya,
yaitu dengan menarik kurva yang menyatakan laju storage awal di mana volume storage awal (S) ( ) sama dengan jumlah volume limpasan dan infiltrasi pada saat resesi seperti dilukiskan dilukiska pada Gambar 2.13. Pengukuran dengan analisis hidrograf Penggunaan cara analisis hidrograf dimaksudkan untuk memperkirakan nilai rerata dan laju infiltrasi yang terjadi selama hujan berlangsung pada suatu DAS tertentu. Memperhatikan ilustrasi daur hidrologi hidrologi seperti pada Gambar 1.1, debit sungai
yang terjadi pada ada saat ada hujan terbentuk dari empat komponen aliran, yaitu hujan yang jatuh langsung ke alur sungai (channel ( precipitation), ), aliran permukaan ((surface runoff, aliran antara (interfiow) interfiow) dan aliran dasar (base flow). Analisis hidrograf debit sungai dapat disederhanakan dengan memisahkan komponen aliran menjadi dua bagian, yaitu limpasan langsung (direct (direct runof runoff) yang terdiri dari limpasan permukaan dan aliran antara serta aliran dasar. Komponen aliran dasar dianggap akibat proses infiltrasi, sehingga jumlah volumenya dapat disamakan dengan jumlah air hujan yang terinfiltrasi. Dengan anggapan ini dapat dicari laju infiltrasi konstan n selama hujan terjadi yang disebut dengan indeks phi (phi (phi index index). Prosedur penentuan nilai indeks phi dapat dilakukan dengan cara seperti ditunjukkan pada Gambar 2.14.
Perlu ditekankan lagi bahwa cara di atas didasari anggapan bahwa laju infiltrasi konstan selama hujan berlangsung. Untuk keperluan analisis yang menghendaki keluaran akurat cara tersebut tidak dapat dipergunakan. Beberapa rumus empiris yang mencoba
menjelaskan skan
karakteristik
perubahan
laju
infiltrasi
telah
banyak
dikembangkan. Salah satu rumus yang cukup dikenal adalah persamaan Horton (1939) sebagai berikt ini.
f (t ) = fc + ( f 0 − fc ).e − kt
dengan f(t) =
laju infiltrasi pada saat t diukur dan awal percobaan,
fc
=
laju infiltrasi konstan,
fo
=
laju infiltrasi pada saat awal pengukuran,
k
=
konstanta penurunan laju infiltrasi.
Philip (1969) mengembangkan rumus lain yang mirip persamaan Horton dengan memperhitungkan perubahan lengas tanah. Pendekatan teoritis dengan memperhitungkan
konduktivitas
hidraulik
juga
telah
dikembangkan
periode
sebelumnya oleh Green dan Ampt (1911). 2.6.
Debit Ahran Sungai Data aliran merupakan data pokok dalam kaitannya dengan analisis hidrologi
untuk penentuan potensi ketersediaan air pada suatu DAS. Informasi ketersediaan air ini penting untuk masukan rencana pemanfaatan sumberdaya air terkait dengan rancangan kapasitas bangunan air yang diperlukan. Dengan mengetahui data aliran sungai, potensi ketersediaan air dapat diperkirakan. Dalam rangka penanganan persoalan banjir diperlukan studi hidrologi untuk mengetahui karakteristik debit banjir. Umumnya dikehendaki hidrograf banjir rancangan untuk keperluan perencanaan bangunan pengendali banjir seperti tanggul banjir, saluran pengelak, bendung gerak dan lain-lain. Apabila tersedia catatan data debit banjir ekstrim yang panjang (lebih dan 20 tahun), maka tanpa menggunakan data curah hujan dan parameter fisik DAS dapat ditentukan nilai debit banjir rancangan dengan pendekatan statistik. Dalam hal tertentu diinginkan hidrograf banjir dengan parameter aliran yang diperlukan adalah: debit puncak, waktu capai puncak aliran, volume air banjir dan tinggi muka air banjir. Koefisien aliran adalah perbandingan antara volume aliran permukaan dan volume curah hujan yang terjadi untuk kurun waktu tertentu. Nilai koefisien aliran dipengaruhi oleh karakteristik DAS dan fungsi lahan. Parameter sifat fisik tanah yang sangat menentukan adalah kapasitas infiltrasi yang tergantung kepada karakteristik geoteknik dan penutupan lahan di DAS. Nilai koefisien aliran dapat berubah dan waktu ke waktu sesuai dengan perubahan kondisi DAS, terutama kelembaban tanah dan tataguna lahan. Biasanya nilai koefisien aliran diambil untuk tanah dalam keadaan jenuh pada waktu penuulaan hujan (dengan pertimbangan lebih aman). Untuk menentukan besamya pengaruh dan masing-masing faktor tersebut sangat sulit, sehingga dalam praktek penentuan
Universitas Gadjah Mada
besarnya ya koefisien aliran didasarkan pada pertimbangan faktor faktor-faktor faktor tersebut secara keseluruhan. Tabel 2.2 menyajikan contoh nilai koefisien aliran yang dapat digunakan dalam hitungan analisis hidrologi. Tabel 2.2 Nilai koefisien aliran berdasarkan karakteristik DAS dan tataguna lahan
Sumber: Applied Hydrology (Chow dkk, 1988) 2.7. Data Hidraulika Dalam konteks persoalan perancangan bangunan di sungai, data hidraulika yang diperlukan adalah data tentang morfologi sungai yang mencakup geometri sungai dan sifat atau perilaku aku sungai. Geometri atau bentuk bentuk sungai dapat berubah dalam dimensi ruang (vertikal, horisontal) dan waktu sebagai akibat dan perubahan morfologi sungai. Data geometri sungai yang umum dipergunakan dipergunakan untuk perancangan bangunan di sungai adalah:
a. panjang, b. lebar, c. kemiringan dasar d. kekasaran tebing dan dasar. Data tersebut dapat diperoleh dengan pengukuran secara langsung di lapangan, menggunakan peta topografi atau dengan penginderaan jauh. Khusus untuk koefisien kekasaran, dapat diperoleh berdasarkan hasil pengukuran langsung, atau dengan menggunakan besaran yang bersumber dan pustaka yang umum dipakai. Tabel 2.3 menyajikan contoh harga koefisien kekasaran untuk beberapa kondisi saluran.
Sumber: Applied Hydrology (Chow dkk, 1988) Contoh penggunaan data-data data data tersebut pada kegiatan perancangan bangunan di sungai dapat dilihat pada uraian di bab selanjutnya.