ISSN 0215-1243
WARTA
IHP
JURNAL INDUSTRI HASIL PERTANIAN Journal of Agro-based Industry
Warta IHP
Vol. 32
No.1
Hal 1--44
Bogor, Juli 2015
ISSN 0215-1243
Halaman | i
ISSN 0215-1243 VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 – 44
Warta Industri Hasil Pertanian (IHP) (Journal of Agro-based Industry) Warta Industri Hasil Pertanian (IHP) adalah wadah informasi bidang riset teknologi industri hasil pertanian yang meliputi makalah penelitian dan ulasan/ review dibidang industri agro (sains dan teknologi pangan, teknologi industri pertanian, kemurgi dan minyak asiri, rekayasa peralatan, mikrobiologi pangan, energi terbarukan, analisis kimia, dan teknik pangan (food engineering)). Terbitan pertama dimulai pada tahun 1984 dan selanjutnya terbit dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Juli dan Desember pada tahun berjalan. Penanggungjawab
Kepala Balai Besar Industri Agro
Officially incharge
Head of Center for Agro-based Industry
Ketua Dewan Redaksi
Dr. Ir. Rizal Alamsyah, M.Sc. (Teknologi Pertanian, Bioenergy dan Food Engineering) Balai Besar Industri Agro, Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122;
Chief Editor
[email protected]
Anggota Dewan Redaksi Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc (Postharvest Technology) Editorial board
Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, Gedung Fateta Lantai 2, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 Dr. Ir. Tania Surya Utami, M.T. (Bioseparation) Departemen Teknik Kimia, Universitas Indonesia;
[email protected]
Dr. Ir. Lamhot Parulian Manalu, M.Si. (Teknologi Pertanian) BPPT Gd. 2 Lt 15 Jl. MH. Thamrin 8 Jakarta 10340;
[email protected],
[email protected]
Dr. Hendra Wijaya, S.Si., M.Si. (Kimia Pangan, Pangan Fungsional) Balai Besar Industri Agro, Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122;
[email protected]
Ir. Agus Sudibyo, M.P. (Rekayasa dan Teknologi Pangan) Balai Besar Industri Agro, Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122;
[email protected]
Ning Ima Arie Wardayanie, S.T.P., M.PharmSc. (Kimia Pangan, Analisis Kimia, Pangan Fungsional) Balai Besar Industri Agro, Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122;
[email protected]
Mitra Bestari
Prof. Dr. Ono Suparno, S.T.P, M.T. (Teknologi Proses Industri Pertanian)
Peer Reviewer
Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, PO Box 220, Bogor 16002;
[email protected]
Prof. Dr. Ing. Misri Gozan, M.Tech. (Environmental (Bio)Process Engineering) Departemen Teknik Kimia, Universitas Indonesia;
[email protected]
Prof. Dr. Ir. Sutrisno Mardjan, M.Agr. (Teknik Biosistem dan Teknik Pasca Panen) Department of Mechanical and Bio-System Engineering, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor;
[email protected]
Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc. (Food Processing and Engineering, Food Process and Engineering Laboratory) Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University. PO Box 220 Bogor 16110;
[email protected],
[email protected]
Dr. Ir. Inggrid S. Surono, M.Sc. (Mikrobiologi Pangan dan Bioteknologi Pangan) Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknik, Universitas Bina Nusantara;
[email protected]
Dr. Ir. Bambang Hariyanto, M.Si. (Teknik Pertanian Pengolahan Pangan) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Gedung BPPT II Lt. 15, Jl. MH. Thamrin No. 8 Jakarta Pusat
Redaksi Pelaksana Copyeditor Desain Grafis Graphic Design Sekretariat Secretariat
Rina Septi Agnisari, S.T. Anggraeni, S.A.P. Rika Sumarteliani, S.T. Meity Suryeti
ALAMAT: Balai Besar Industri Agro (BBIA), Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri (BPKIMI), Kementerian Perindustrian Jl. Ir. H. Juanda No. 11, Bogor 16122 Tel.: 0251 8324068; Fax.: 0251 8323339 e-mail :
[email protected]
Halaman | ii
ISSN 0215-1243 VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 – 44
Warta Industri Hasil Pertanian (IHP) (Journal of Agro-based Industry)
DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul ............................................................................................................. Daftar Isi ..................................................................................................................... Kata Pengantar ............................................................................................................ Lembar Abstrak ...........................................................................................................
i ii iii iv
Pendugaan Umur Simpan “Beras Cerdas” Berbasis Mocaf, Tepung Jagung Menggunakan Metode Accelerated Shelf-Life Testing (ASLT) Pendekatan Arrhenius Nurud Diniyah, Giyarto, Achmad Subagio, dan Resti Agustin Akhiriani ...........................
1-8
Pengaruh Suhu dan Waktu Maserasi terhadap Komponen Volatil yang Terlibat pada Ekstraksi Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC) Yuliasri Ramadhani Meutia, Ning Ima Arie Wardayanie , Rienoviar , Titin Mahardini, dan Indera Wirawan ...........................................................................................................
9-15
Kajian Keamanan Pangan Senyawa Ester 3-MCPD dalam Produk Minyak/ Lemak Pangan dan Produk Pangan Lainnya Agus Sudibyo dan Nami Lestari ..............................................................................
16-23
Pengembangan Proses Pengolahan Shortening Berbahan Minyak Sawit pada Skala Industri Kecil Kapasitas 50 kg/ Batch Hasrul Abdi Hasibuan dan Magindrin............................................................................
24-32
Penggunaan Berbagai Cocoa Butter Substitute (CBS) Hasil Hidrogenasi dalam Pembuatan Cokelat Batangan Mirna Isyanti, Agus Sudibyo, Dadang Supriatna, dan Ade Herman Suherman ..................
33-44
Pedoman Penulisan Warta IHP ..................................................................................... Ucapan Terima Kasih ...........................................................................................................
xi xviii
Halaman | iii
ISSN 0215-1243 VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 – 44
Warta Industri Hasil Pertanian (IHP) (Journal of Agro-based Industry)
KATA PENGANTAR Warta IHP adalah majalah ilmiah Balai Besar Industri Agro (BBIA), Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI), Kementerian Perindustrian, yang diterbitkan dua kali dalam setahun. Warta IHP mempublikasikan hasil penelitian dan ulasan/ review dibidang industri agro (sains dan teknologi pangan, teknologi industri pertanian, kemurgi dan minyak asiri, rekayasa peralatan, mikrobiologi pangan, energi terbarukan, analisis kimia, dan teknik pangan (food engineering)). Dalam penerbitan Warta IHP Volume 32 No. 1 Juli 2015 ini menyajikan 5 (lima) karya tulis ilmiah yang merupakan hasil litbang, yaitu: (1) Pendugaan Umur Simpan “Beras Cerdas” Berbasis Mocaf, Tepung Jagung Menggunakan Metode Accelerated Shelf-Life Testing (ASLT) Pendekatan Arrhenius; (2) Pengaruh Suhu dan Waktu Maserasi terhadap Komponen Volatil yang Terlibat pada Ekstraksi Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC); (3) Kajian Keamanan Pangan Senyawa Ester 3-MCPD dalam Produk Minyak/ Lemak Pangan dan Produk Pangan Lainnya; (4) Pengembangan Proses Pengolahan Shortening Berbahan Minyak Sawit pada Skala Industri Kecil Kapasitas 50 kg/ Batch; dan (5) Penggunaan Berbagai Cocoa Butter Substitute (CBS) Hasil Hidrogenasi dalam Pembuatan Cokelat Batangan. Kami mengharapkan kritik dan saran para pembaca agar dapat meningkatkan kualitas majalah ilmiah ini. Demikian semoga majalah ilmiah ini menjadi sumber informasi dan pengetahuan yang bermanfaat bagi pembaca dan pelaku industri. Dewan Redaksi
Halaman | iv
ISSN 0215-1243 VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 – 44
Warta Industri Hasil Pertanian (IHP) (Journal of Agro-based Industry)
LEMBAR ABSTRAK
Pendugaan Umur Simpan “Beras Cerdas” Berbasis Mocaf, Tepung Jagung Menggunakan Metode Accelerated Shelf-Life Testing (ASLT) Pendekatan Arrhenius Nurud Diniyah, Giyarto, Achmad Subagio, dan Resti Agustin Akhiriani Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember Jln. Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto Jember 68121
[email protected] /
[email protected]
“Beras cerdas” merupakan beras tiruan yang dibuat dari bahan-bahan non beras dan non terigu dengan menggunakan ekstruder ulir ganda. Bahan baku “beras cerdas” meliputi Mocaf, tepung jagung, susu skim, air, alginat, STPP, dan minyak sawit. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan umur simpan “beras cerdas” menggunakan metode ASLT melalui pendekatan Arrhenius. Penentuan umur simpan “beras cerdas” dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah uji organoleptik dengan menggunakan sampel yang disimpan pada suhu 30 °C, 40 °C, 50 °C dan 60 °C untuk menentukan batas akhir penyimpanan berdasarkan parameter aroma dari penilaian panelis. Tahap kedua adalah penentuan umur simpan dengan metode Arrhenius berdasarkan perubahan kualitas produk selama penyimpanan. Lebih dari 50% panelis menyatakan “beras cerdas” beraroma tengik berakhir pada minggu ke-4 suhu 60°C. Reaksi yang sesuai dengan parameter nilai peroksida dan asam lemak bebas adalah reaksi orde nol. Nilai energi aktivasi terkecil digunakan untuk penentuan umur simpan produk yaitu nilai peroksida dengan regresi linier y = -713,25x + 8,167. Umur simpan “beras cerdas” adalah 3,40 minggu pada suhu 30 °C. Kata kunci: ASLT, “beras cerdas”, pendekatan Arrhenius
Pengaruh Suhu dan Waktu Maserasi terhadap Komponen Volatil yang Terlibat pada Ekstraksi Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC) Yuliasri Ramadhani Meutia, Ning Ima Arie Wardayanie, Rienoviar, Titin Mahardini, dan Indera Wirawan Balai Besar Industri Agro (BBIA) Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122
[email protected]
Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) merupakan tanaman rempah khas Sumatera Utara yang banyak digunakan sebagai bumbu masak karena memiliki citarasa yang khas. Selain itu andaliman memiliki beberapa manfaat antara lain sebagai antimikroba, antioksidan dan sebagai immunomodulator. Studi mengenai pengaruh proses ekstraksi terhadap komponen flavor andaliman telah dilakukan, namun belum
Halaman | v
ISSN 0215-1243 VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 – 44
Warta Industri Hasil Pertanian (IHP) (Journal of Agro-based Industry) ada yang melihat pengaruh suhu dan waktu maserasi terhadap komponen flavor pada ekstrak yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh suhu dan waktu maserasi terhadap komponen volatil yang terlibat di dalamnya. Andaliman diekstrak dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol dan etil asetat (1:1) pada suhu ruang dan pada suhu 40 °C selama 2 jam, 4 jam, dan 6 jam. Hasil ekstraksi dianalisis komponen volatilnya dengan menggunakan GC-MS dilanjutkan dengan analisis komponen aroma yang terdeskripsikan dengan GC-O. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen flavor utama yang dihasilkan dari proses ekstraksi andaliman dengan maserasi menggunakan pelarut etanol: etil asetat (1:1) pada suhu ruang didominasi oleh senyawa geranyl acetate meskipun setelah 6 jam maserasi terjadi dominasi D-Limonene menggantikan dominasi geranyl acetate. Maserasi pada suhu 40 °C juga menunjukkan geranyl acetate sebagai komponen volatil dominan pada 2 jam maserasi. Setelah 4 jam maserasi 40 °C, citronellol merupakan komponen volatil dominan, sedangkan setelah 6 jam maserasi 40 °C komponen volatil yang dominan adalah D-Limonene diikuti oleh geranyl acetate. Suhu maserasi dan waktu pada proses maserasi yang berbeda dapat menyebabkan perubahan pada komponen flavor yang dominan pada ekstrak andaliman. Namun komponen flavor yang dominan pada GC-MS tersebut tidak menunjukkan aroma yang terdeskripsikan pada GC-O. Aroma yang terdeskripsikan dari sniffing port pada andaliman yang dimaserasi pada suhu ruang bervariasi dari andaliman-like, green, flowery, sour, dan earthy. Sedangkan pada andaliman yang dimaserasi pada suhu 40 °C adalah aroma flowery, green, sweet, and spicy lebih banyak terdeskripsikan. Hal ini dapat menunjukkan bahwa suhu maserasi dapat mempengaruhi aroma yang terdeskripsikan dengan menggunakan GC-O. Kata kunci: andaliman, komponen volatil, flavor , maserasi, Zanthoxylum acanthopodium
Kajian Keamanan Pangan Senyawa Ester 3-MCPD dalam Produk Minyak/Lemak Pangan dan Produk Pangan lainnya Agus Sudibyo dan Nami Lestari Balai Besar Industri Agro (BBIA) Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122
[email protected]
Dalam permintaan produk pangan untuk kesehatan dan keamanan pangan global sekarang ini, konsumen menghendaki dan sedang mencari produk pangan tanpa atau paling sedikit terkena kontaminasi produk. Senyawa ester 2- dan 3-monochloropropan-1,2-diol (MCPD) dan ester glisidol diketahui merupakan salah satu komponen kontaminan pada produk hasil olahan minyak makan yang telah banyak digunakan sebagai bahan pangan atau bahan ingredien pangan. Senyawa 3-monochloropropan-1,2-diol atau lebih dikenal dengan 3-MCPD merupakan kontaminan pangan yang diklasifikasikan sebagai bahan yang kemungkinan bersifat karsinogen; oleh karena itu, hanya boleh dikonsumsi dengan dosis/konsentrasi sebesar 2 µg/kg berat badan. Hasil studi terkini menunjukkan adanya senyawa ester 3-MCPD teridentifikasi dalam jumlah cukup tinggi pada produk minyak/lemak pangan, seperti margarin dan minyak goreng serta pangan yang mengandung lemak termasuk produk pangan infant formula dan susu manusia. Senyawa ester-ester lain seperti 2-MCPD dan ester glisidol pun diduga dapat terjadi. Namun, hingga saat ini hanya terdapat sedikit data informasi tentang toksikologi yang dapat diperoleh untuk senyawa ester 3-MCPD pada produk pangan. Tulisan ini akan membahas dan menjelaskan proses terjadinya senyawa 3-MCPD pada produk pangan, faktor-faktor yang memungkinkan penyebab terbentuknya senyawa ester 3-MCPD pada produk pangan, studi tentang efek beracun senyawa 3-MCPD atau toksikologi dan penentuan senyawa ester 3-MCPD dalam produk pangan. Kata kunci: Kajian, ester 3-MCPD, minyak/lemak pangan, keamanan pangan.
Halaman | vi
ISSN 0215-1243 VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 – 44
Warta Industri Hasil Pertanian (IHP) (Journal of Agro-based Industry)
Pengembangan Proses Pengolahan Shortening Berbahan Minyak Sawit pada Skala Industri Kecil Kapasitas 50 kg/Batch Hasrul Abdi Hasibuan dan Magindrin Kelompok Peneliti Pengolahan Hasil dan Mutu, Pusat Penelitian Kelapa Sawit Jl.Brigjend Katamso No. 51 Medan
[email protected]
Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan proses pembuatan shortening frying, creaming, baking dan butter oil substitute pada skala industri kecil dengan kapasitas 50 kg/batch. Kondisi proses yang dioptimasi adalah suhu dan waktu pendinginan di dalam reaktor dengan tiga kondisi yaitu 5±2, 12±2, 20±2 °C selama waktu proses 0, 30, 60, 90, 120 menit. Shortening yang dihasilkan pada setiap kondisi dianalisa kadar air, bentuk dan warna serta mutu produk selama penyimpanan 5 minggu meliputi kestabilan emulsi, bentuk dan tekstur. Produk shortening yang dihasilkan dengan ketiga kondisi suhu dan waktu proses hingga 120 menit mengandung kadar air yang memadai (< 0,1%). Pada suhu media pendingin 5±2 °C dan 12±2 °C dengan waktu proses lebih dari 45 menit menghasilkan shortening berbentuk cream dan berwarna pucat hingga putih. Selama penyimpanan, produk berbentuk cream terpisah menjadi dua lapisan yaitu cream dan minyak (oily) kecuali shortening untuk creaming. Kondisi optimum dalam pembentukan tekstur yang baik untuk keempat jenis shortening diperoleh pada suhu media pendingin 5±2 °C atau 12±2 °C selama 30 menit. Pada kondisi tersebut diperoleh produk yang memiliki bentuk semi padat atau padat dengan tekstur lunak atau keras yang relatif stabil selama penyimpanan 5 minggu. Kata kunci: Shortening, minyak sawit, tekstur, optimasi kondisi proses, reaktor texturing
Penggunaan Berbagai Cocoa Butter Substitute (CBS) Hasil Hidrogenasi dalam Pembuatan Cokelat Batangan Mirna Isyanti, Agus Sudibyo, Dadang Supriatna, dan Ade Herman Suherman Balai Besar Industri Agro Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122
[email protected]
Penelitian pemanfaatan Cocoa Butter Substitute (CBS) untuk produk olahan cokelat telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan Cocoa Butter Substitute (CBS) hasil hidrogenasi menjadi cokelat batangan, menganalisis berbagai jenis CBS dalam proses pembuatan cokelat batangan, dan mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap produk olahan cokelat batangan tersebut. Analisis yang dilakukan dilakukan yaitu : analisis proksimat, titik leleh, profil trigliserida, profil asam lemak, total padatan lemak (SFC), ukuran partikel, informasi nilai gizi, serta masa simpan (akselerasi). Analisis fisiko kimia cokelat batangan menunjukkan kadar air berkisar 0,98-1,36%, kadar abu 1,43-2,37%, protein 1,90-7,05%, lemak 31,1-37,7%, bilangan iod 4,0-16,9 g iod per 100 g, indeks bias 1,4485-1,4545, dan tidak mengandung lemak trans. Titik leleh cokelat batangan berkisar 320C-400C. Titik leleh produk cokelat batangan terpilih, Fully Hydrogenated Palm Kernel Stearin (FHPKSt) sebesar 32 0C, dengan kandungan lemak padat meleleh mendekati sempurna pd suhu 40 °C. Produk cokelat komersial menunjukkan suhu titik leleh yang tinggi, 370C dan 400C. Berdasarkan uji organoleptik, produk cokelat batangan CBS yang terpilih adalah jenis FHPKSt menggunakan 30 persen CBS. Jenis CBS yang cocok untuk cokelat batangan adalah jenis Fully Hydrogenated Palm Kernel Stearin (FHPKSt) dengan proses hidrogenasi sempurna. Profil trigliserida cokelat batangan terpilih (FHPKSt) dan cokelat komersial terlihat dominasi TAG LaLaLa, LaLaM, LaMM/LaLaP dan
Halaman | vii
ISSN 0215-1243 VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 – 44
Warta Industri Hasil Pertanian (IHP) (Journal of Agro-based Industry) LMM/LaOM dari minyak inti sawit. Ukuran partikel cokelat batangan hasil penelitian lebih kecil dibandingkan cokelat komersial. Masa simpan produk cokelat batangan selama 35 minggu pada suhu 25 0C dengan parameter kritis yaitu kadar air. Kata kunci: Cocoa Butter Substitute (CBS), cokelat batangan, hidrogenasi, minyak inti sawit.
Halaman | viii
ISSN 0215-1243 VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 – 44
Warta Industri Hasil Pertanian (IHP) (Journal of Agro-based Industry)
Shelf Life Prediction of Beras Cerdas Made from Mocaf, Corn Flour Using Accelerated Shelf-Life Testing (ASLT) Method of Arrhenius Approach Nurud Diniyah, Giyarto, Achmad Subagio dan Resti Agustin Akhiriani Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember Jln. Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto Jember 68121
[email protected] /
[email protected]
“Beras cerdas” is an artificial of rice made from non rice and non wheat raw material by twin screw extruder. The ingredients of “beras cerdas” were Mocaf, corn flour, skim milk, water, alginate, STPP, and palm oil. The objective of this study were to observe the shelf life of “beras cerdas” using ASLT method with Arrhenius approach. Determination of shelf life of “beras cerdas” carried out in two stages. The first stage was the organoleptic test using a sample stored at a temperature of 30 °C, 40 °C, 50 °C and 60 °C to determine the end point of storage life based on the parameters aroma of panelist assessment. The second stage was to determine the shelf life by the Arrhenius method based on changes in the quality of the product during storage. More than 50 % of panelists expressed rancid flavored “beras cerdas” ended at week 4. The reaction in accordace with the parameters of the peroxide value and free fatty acid is zero order reactio. The results showed that the parameter had the smallest activation energy was the critical parameters for the expired date. The peroxide value was used as a model in determining the expired date by linear regression y = -713,25x + 8,167. The expired date of beras cerdas was 3,40 weeks at 30 oC. Keywords: arrhenius approach, ASLT, “beras cerdas”
Effect of Temperature and Maseration Time on Volatile Aroma Constituents of Andaliman Zanthoxylum acanthopodium DC. Yuliasri Ramadhani Meutia, Ning Ima Arie Wardayanie , Rienoviar , Titin Mahardini, dan Indera Wirawan Balai Besar Industri Agro Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor
[email protected]
Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) is typical of North Sumatra spice plant that is widely used as specific flavor. In other hand andaliman has several benefits such as antimicrobial, antioxidant and as an immunomodulator. Studies on the effect of the extraction of the flavor components or potent odorant of andaliman has been done, but the effect of maceration time and temperature on extraction to the flavor components have not reported yet. This research were conducted to study the effect of temperature and time of maceration of andaliman gainst theirs volatile compounds.. Andaliman extracted by maceration method using ethanol and ethyl acetate (1: 1) for 2 hours, 4 hours, and 6 hours on room temperature and 40 °C. The extracts were analyzed using GC-MS followed by GC-O to analyze potential odorants. The results showed that geranyl acetate were the main compound of andaliman extracted using ethanol: ethyl acetate (1: 1) at room temperature while after 6 hours of maceration D-Limonene replaced the dominance of geranyl acetate. Maceration at 40 ° C also show geranyl acetate as the dominant volatile components at 2 hours maceration. After 4 hours of maceration 40 ° C, citronellol played as dominant volatile compound, whereas after 6 hours of maceration at 40 °C D-Limonene played as dominant volatile compound followed by geranyl acetate. That can showed that temperature and time of maceration process of andaliman can affect the dominant flavor compound of the extract. However aroma were described from sniffing port of GC-O on andaliman are macerated at room temperature varies from andaliman-like, green, flowery, sour and earthy. While on andaliman macerated at 40 °C the aroma described are flowery aroma, green, sweet, and spicy. This may conclude that the process of drying of raw materials could affect aroma that described by using GC-O. Keywords: andaliman, flavor, maceration, volatile compound, Zanthoxylum acanthopodium
Halaman | ix
ISSN 0215-1243 VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 – 44
Warta Industri Hasil Pertanian (IHP) (Journal of Agro-based Industry)
Review on Food Safety of 3 – MCPD Esters in Edible Oils/ Fats and in Other Foods Agus Sudibyo dan Nami Lestari Balai Besar Industri Agro (BBIA) Jl. Ir. H. Juanda No. 11, Bogor 16122
[email protected]
In today’s global demand for healthy and safe foods, consumers are looking for foods without or with least contaminants. Esters of 2–and 3–mono-chloro-propane–1.2–diol(MCPD) and glycidol esters are important contaminants of processed edible oils used as foods or food ingredients. 3–mono-chloro-propane–1.2–diol (3–MCPD) esters is a food contaminants classified as a possible human carcinogen, so for a tolerable daily intake was established of 2 µ g/kg body weight.Recent studies have identified high levels of 3 – MCPD esters in refined edible fats, such as margarine and oils and in fat containing foods including infant formula and human milk. Other related esters compounds such as 2-MCPD esters and glycidol esters are also expected to occur. Only a little toxicological data are available in 3–MCPD esters. This review describes the occurrence of 3–MCPD esters in food products, possible factors that cause the formation of 3–MCPD esters, toxicological studies and determination of 3–MCPD esters in food products. Keywords: review, 3 – MCPD esters, edible oils, food safety
Development of Production Process of Palm Oil Based Shortening in Small-Scale Industry with Capacity of 50 kg/Batch Hasrul Abdi Hasibuan dan Magindrin Kelompok Peneliti. Pengolahan Hasil dan Mutu, Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Jl. Brigjend Katamso No.51, Medan, Telp: 061 7862477
[email protected]
This research was conducted to develop the manufacturing process of frying, creaming, baking and butter oil substitute shortenings on a small scale industry with a capacity of 50 kg/batch. The process conditions optimized were temperature and time of cooling in the reactor with three conditions, namely 5±2, 12±2, 20±2 °C during the processing time of 0, 30, 60, 90, 120 minutes. Shortening that generated in each condition were analyzed the water content, form and color as well as the quality of the product during storage of 5 weeks include emulsion stability, shape and texture. Shortening products were produced by the three conditions of temperature and processing time up to 120 minutes contained adequate moisture content (<0.1%). At the temperature of the cooling medium 5±2 °C and 12±2 °C with a processing time of more than 45 minutes resulted in shortening shaped and pale cream to white. During storage, the products shaped cream were separated into two layers of cream and oil (oily) except for creaming shortening. The optimum conditions in the formation of a good texture for the four types of shortening the cooling medium were obtained at temperature of 5±2 °C or 12±2 °C for 30 minutes. In these conditions the products were obtained had a semi-solid or solid form with a soft or hard texture that relatively stable during storage of 5 weeks. Keywords: shortening, palm oil, texture, optimization process condition, texturing reactor
Halaman | x
ISSN 0215-1243 VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 – 44
Warta Industri Hasil Pertanian (IHP) (Journal of Agro-based Industry)
Use of Various Cocoa Butter Substitute (CBS) Hydrogenated in Making Chocolate Bar Mirna Isyanti, Agus Sudibyo, Dadang Supriatna, dan Ade Herman S. Balai Besar Industri Agro Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122
[email protected]
Research utilization of Cocoa Butter Substitute (CBS) for the processed chocolate products have been conducted. This study aims to harness Cocoa Butter Substitute (CBS) hydrogenated into chocolate bars, analyze various types of CBS in the process of making chocolate bars, and determine the level of consumer acceptance of the products processed chocolate bars. Analyze were proximate analysis, melting point, the profile of triglycerides, fatty acid profile, total fat solids (SFC), the particle size, nutritional value information, and expired date (accelerated). Physical and chemical analysis chocolate bars indicate the water content ranged from 0.98 to 1.36%, ash content of 1.43 to 2.37%, from 1.90 to 7.05% protein, fat from 31.1 to 37.7%, numbers iodine 4.0 to 16.9 g iodine per 100 g, the refractive index of 1.4485 to 1.4545, and there were no trans fats found. The melting point of chocolate bar products selected FHPKSt 32°C, the solid fat content in the form steep near-perfect start to melt temperature pd 40°C. Poduk commercial chocolate showed a high melting point, 37°C and 40°C. Product acceptance testing CBS chocolate bars with ingredients chosen by the panelists was the type Fully Hydrogenated Palm Kernel Stearin (FHPKSt), with CBS percentage of 30 percent. Based on the origin of the hydrogenation process, CBS types suitable to be made into chocolate bars are CBS types Fully Hydrogenated Palm Kernel Stearin (FHPKSt) with a perfect through the hydrogenation process. Selected triglyceride profiles chocolate bars (types FHPKSt) and commercial chocolate showed a dominance TAG LaLaLa, LaLaM, LaMM/LaLap and LMM/LaOM derived from palm kernel oil. Particle measurement chocolate bars that particle size is smaller than the commercial one. The shelf life of the product is a chocolate bar for 35 weeks with storage at 25oC with the critical parameter is the moisture content. Keywords: Cocoa Butter Substitute (CBS), chocolate bars, hydrogenated, palm kernel oil
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 1-8 Halaman | 1
Pendugaan Umur Simpan “Beras Cerdas” Berbasis Mocaf, Tepung Jagung Menggunakan Metode Accelerated Shelf-Life Testing (ASLT) Pendekatan Arrhenius Shelf Life Prediction of Beras Cerdas Made from Mocaf, Corn Flour Using Accelerated Shelf-Life Testing (ASLT) Method of Arrhenius Approach Nurud Diniyah, Giyarto, Achmad Subagio, dan Resti Agustin Akhiriani Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember Jln. Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto Jember 68121
[email protected] /
[email protected]
Riwayat Naskah: ABSTRAK : “Beras cerdas” merupakan beras tiruan yang dibuat dari bahan-bahan non beras Diterima 04, 2015 Direvisi 05, 2015 Disetujui 06, 2015
dan non terigu dengan menggunakan ekstruder ulir ganda. Bahan baku “beras cerdas” meliputi mocaf, tepung jagung, susu skim, air, alginat, STPP, dan minyak sawit. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan umur simpan “beras cerdas” menggunakan metode ASLT melalui pendekatan Arrhenius. Penentuan umur simpan “beras cerdas” dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah uji organoleptik dengan menggunakan sampel yang disimpan pada suhu 30 °C, 40 °C, 50 °C dan 60 °C untuk menentukan batas akhir penyimpanan berdasarkan parameter aroma dari penilaian panelis. Tahap kedua adalah penentuan umur simpan dengan metode Arrhenius berdasarkan perubahan kualitas produk selama penyimpanan. Lebih dari 50% panelis menyatakan “beras cerdas” beraroma tengik berakhir pada minggu ke-4 suhu 60°C. Reaksi yang sesuai dengan parameter nilai peroksida dan asam lemak bebas adalah reaksi orde nol. Nilai energi aktivasi terkecil digunakan untuk penentuan umur simpan produk yaitu nilai peroksida dengan regresi linier y = -713,25x + 8,167. Umur simpan “beras cerdas” adalah 3,40 minggu pada suhu 30 °C. Kata kunci: ASLT, “beras cerdas”, pendekatan Arrhenius
ABSTRACT: “Beras cerdas” is an artificial of rice made from non rice and non wheat raw material by twin screw extruder. The ingredients of “beras cerdas” were Mocaf, corn flour, skim milk, water, alginate, STPP, and palm oil. The objective of this study were to observe the shelf life of “beras cerdas” using ASLT method with Arrhenius approach. Determination of shelf life of “beras cerdas” carried out in two stages. The first stage was the organoleptic test using a sample stored at a temperature of 30 °C, 40 °C, 50 °C and 60 °C to determine the end point of storage life based on the parameters aroma of panelist assessment. The second stage was to determine the shelf life by the Arrhenius method based on changes in the quality of the product during storage. More than 50 % of panelists expressed rancid flavored “beras cerdas” ended at week 4. The reaction in accordace with the parameters of the peroxide value and free fatty acid is zero order reactio. The results showed that the parameter had the smallest activation energy was the critical parameters for the expired date. The peroxide value was used as a model in determining the expired date by linear regression y = -713,25x + 8,167. The expired date of beras cerdas was 3,40 weeks at 30 oC. Keywords: arrhenius approach, ASLT, “beras cerdas”
1. Pendahuluan Indonesia Kebutuhan beras di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya namun belum diimbangi dengan peningkatan produksi padi.
Kondisi tersebut mengakibatkan ketersediaan beras Indonesia belum bisa mencukupi kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan beras dapat dilakukan dengan substitusi komoditi pangan lokal (indigenous resources) yang lain sebagai upaya
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Citation: Diniyah, N., Giyarto, Subagio, A. & Akhiriani, R. A. (2015) Pendugaan Umur Simpan “Beras Cerdas” Berbasis Mocaf, Tepung Jagung Menggunakan Metode Accelerated Shelf-Life Testing (ASLT) Pendekatan Arrhenius. Warta IHP, 32(1), 1-8.
Halaman | 2
diversifikasi pangan. Substitusi pangan lokal dapat dilakukan dengan pembuatan “beras cerdas” berbahan pangan lokal. Beras tiruan adalah beras yang dibuat dari non padi dengan kandungan karbohidrat mendekati atau melebihi beras yang terbuat dari tepung lokal atau tepung beras (Samad, 2003). Menurut Gumilar (2012), “beras cerdas” reguler dengan tidak adanya penambahan daun katuk dan kacang merah memiliki komposisi kimia yakni kadar air 7,80 %, kadar lemak 5,76 %, kadar abu 1,60 %, kadar protein 9,12 %, kadar serat kasar 6,80 %, dan kadar pati 61,06 %. Komposisi “beras cerdas” dapat terdiri dari mocaf, tepung jagung, dan bahan lainnya yang terdiri dari susu skim, air, alginat, garam, STPP, dan minyak sawit (Subagio et al., 2012). Adanya kandungan lemak yang terdapat pada masing-masing bahan berpotensi memicu terjadinya perubahan kimiawi “beras cerdas” selama penyimpanan yang dapat mengurangi umur simpannya. Umur simpan produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan berdasarkan karakteristik penampakan, rasa, aroma, tekstur dan nilai gizi (IFST, 1974). Perubahan kimiawi yang terjadi pada “beras cerdas” adalah oksidasi lemak. Selama penyimpanan, resiko komponen lemak mengalami oksidasi besar. Pendugaan umur simpan “beras cerdas” dilakukan dengan metode Accelerated ShelfLife Testing (ASLT). Metode ini dilakukan dengan menggunakan suatu kondisi yang dapat mempercepat proses penurunan mutu pangan, seperti suhu (Rahayu, Arpah dan Diah, 2005). Peningkatan suhu menyebabkan perubahan mutu cepat terjadi, sehingga menyebabkan umur simpan pendek. Penelitian ini bertujuan untuk menduga umur simpan “beras cerdas” berbasis mocaf dan tepung jagung dengan metode Accelerated Shelf Life Test (ASLT) melalui pendekatan Arrhenius. 2. Bahan dan Metode 2.1. Bahan Bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini ialah “beras cerdas” yang diperoleh dari pabrik beras cerdas di Jalan Yos Sudarso, Kelurahan Kranjingan Kecamatan Sumbersari, Jember. Sedangkan bahan kimia dengan kualifikasi pro analis digunakan sebagai bahan analisis meliputi: etanol netral 96%, indikator pp, larutan NaOH 0,1 N standar, larutan asam asetat-kloroform (3:2), larutan jenuh KI, larutan pati 1%, larutan Na 2S2O3 0,1 N dan aquades.
2.2. Metode Penentuan umur simpan “beras cerdas” ini dilakukan dalam 2 tahap yaitu penentuan karakteristik mutu kritis dan penentuan umur simpan menggunakan metode Arrhenius berdasarkan perubahan mutu produk selama penyimpanan. Tahap pertama, penentuan mutu kritis dilakukan menggunakan uji organoleptik untuk menentukan batas akhir dari penyimpanan berdasarkan penilaian panelis. Sampel yang digunakan pada tahapan ini adalah sampel yang disimpan pada suhu 60 °C untuk. Uji organoleptik ini dilakukan setiap seminggu sekali dan berakhir ketika 50% panelis menyatakan menolak “beras cerdas”. Tahap kedua, penentuan umur simpan dengan pendekatan Arrhenius berdasarkan perubahan mutu “beras cerdas” selama penyimpanan. Tahapan ini meliputi penentuan perubahan mutu secara kimia, plot data kurva perubahan mutu (sumbu y) terhadap lama penyimpanan(sumbu x), dan ln perubahan mutu (sumbu y) terhadap lama penyimpanan (sumbu x), penentuan ordo reaksi berdasarkan koefisien determinasi (R2), plot kurva pra-eksponensial k (ln k) versus suhu (1/T dalam °K), penentuan energi aktivasi, dan prediksi umur simpan. 2.2.1. Preparasi sampel Preparasi sampel dilakukan dengan mengemas “beras cerdas” menggunakan plastik polipropilen, kemudian sampel disimpan pada suhu 30 °C, 40 °C, 50 °C dan 60 °C (suhu penyimpanan dikondisikan pada suhu penyimpanan komersial dan di atas suhu penyimpanan untuk mempercepat terjadinya kerusakan). 2.2.2 Penentuan karakteristik mutu kritis beras cerdas Penentuan batas umur simpan dapat dilakukan dengan uji organoleptik, dengan menetapkan persentase peluang penolakan konsumen terhadap produk (Hough, Garitta, Go’mez, 2006). Pengujian organoleptik (aroma) dilakukan oleh panelis semi terlatih sebanyak 7 orang (Gacula dan Kubala, 1975) yaitu mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember yang melakukan penelitian mengenai “beras cerdas” karena panelis sudah terbiasa dengan karakteristik sampel, dilakukan setiap seminggu sekali dan pada setiap pengamatan panelis yang digunakan tidak berubah. Sampel disimpan pada suhu 30 °C, 40 °C, 50 °C, dan 60 °C. Dalam uji organoleptik, panelis diminta memutuskan apakah “beras cerdas” yang diuji masih dapat diterima atau ditolak. Batas akhir dari pengujian organoleptik ketika 50% panelis menolak produk tersebut. Uji organoleptik ini
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 1-8 Halaman | 3
dilakukan dengan metode line scale. Masing-masing panelis disajikan satu piring kecil yang terdiri empat sampel “beras cerdas” yang disimpan suhu 30 °C, 40 °C, 50 °C, dan 60 °C dan satu piring berupa “beras cerdas” standar (segar atau baru diproduksi), kemudian panelis diminta untuk mengamati secara keseluruhan apakah produk tersebut sudah ditolak, lalu menentukan skor penolakan terhadap aroma. Berikut adalah skor penolakan aroma “beras cerdas” berbasis mocaf dan tepung jagung : Parameter aroma: 1= Sama sekali tidak terdapat adanya perubahan aroma ketengikan 2= Sangat sedikit adanya perubahan aroma ketengikan 3= Sedikit ada adanya perubahan aroma ketengikan 4= Cukup terdeteksi terlihat adanya perubahan aroma ketengikan 5= Cukup kuat terdeteksi adanya aroma ketengikan 6= Terdeteksi dengan kuat dan jelas adanya aroma ketengikan 2.2.3 Pengujian umur simpan pendekatan Arrhenius
adalah energi aktivasi dan R adalah konstanta gas ideal yaitu 1,986 kal/mol K (Hermanianto, Arpah, dan Jati, 2000; Sithole, Mc Daniel, Goddik, 2005). d. Penentuan energi aktivasi Nilai slope (b) dari persamaan Arrhenius dikali dengan R akan menghasilkan nilai energi aktivasi (Ea kal/mol). e. Prediksi umur simpan Laju reaksi k pada suhu tertentu ditentukan dengan memasukkan nilai suhu T (K) ke dalam persamaan Arrhenius. Prediksi umur simpan didapatkan dari selisih perubahan mutu sesudah penyimpanan dengan sebelum penyimpanan dibagi nilai k (Lee and Krochta, 2002). Adapun rumus penentuan umur simpan adalah sebagai berikut:
keterangan :
berdasarkan
a. Plot kurva perubahan mutu (A) versus waktu (t) Perubahan mutu produk yang diukur selama penyimpanan dengan analisis kimia, pada tahap ini diplotkan ke dalam kurva (A) (sumbu y) versus (t) (sumbu x), dan kurva ln (A) versus (t), sehingga masing-masing kurva akan didapatkan 4 (empat) persamaan linier y = a + bx (persamaan pada suhu 30, 40, 50, dan 60 °C), dimana nilai slope (b) dan nilai konstanta (k). b. Penentuan ordo reaksi Ordo reaksi ditentukan dari persamaan kurva yang memiliki nilai koefisien determinasi (R2) yang lebih besar. Ordo nol ditentukan jika nilai R2 persamaan pada kurva (A) vs (t) lebih besar dibandingkan dengan nilai R2 pada persamaan kurva ln (A) vs (t). Sedangkan ordo satu ditentukan jika nilai R2 persamaan pada kurva ln (A) vs (t) lebih besar dibandingkan dengan nilai R2 pada persamaan kurva (A) vs (t). c. Plot kurva pra-eksponensial k (ln k) versus suhu (1/T dalam K) Nilai slope b persamaan yang digunakan berdasarkan ordo reaksi yang ditentukan. Praeksponensial (ln k) dari nilai slope kemudian diplotkan ke dalam kurva pra-eksponensial (ln k) (sumbu y) versus invers suhu (1/T dalam K) (sumbu x). Dari kurva nilai pra-eksponensial (ln k) versus invers suhu (1/T dalam K) akan dihasilkan persamaan linier y = a + bx atau ln k = ln ko – (Ea/R) (1/T) atau disebut persamaan Arrhenius, dengan ln ko adalah intersep, Ea/R adalah slope, Ea
2.2.4 Analisis asam lemak bebas (Nielsen, 2011) Pertama-tama 0,2 g sampel diletakkan dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan 50 ml alkohol netral yang panas dan 2 ml indikator pp, dan titrasi dengan larutan 0,1 N NaOH sampai warna merah jambu dan tidak hilang 30 detik. Rumus penentuan asam lemak bebas adalah :
2.2.5 Analisis angka peroksida (Sudarmadji dkk, 1997) Uji angka peroksida dilakukan untuk mengetahui terjadinya reaksi oksidasi dalam bahan yang mengandung lemak. Sampel “beras cerdas” ditimbang seberat 1 g dalam labu erlenmeyer 250 ml, kemudian dimasukkan 30 ml campuran pelarut asam asetat:khloroform (3:2). Setelah beras cerdas larut, ditambahkan 0,5 ml larutan kalium iodida jenuh dan didiamkan selama 1 menit kadang kala digoyang, kemudian ditambahkan 30 ml aquades. Selanjutnya dilakukan titrasi 0,1 N Na 2S2O3 sampai warna kuning hampir hilang. Kemudian ditambahkan 0,5 ml larutan pati 1%. Selanjutnya dilakukan titrasi sampai warna abu-abu mulai hilang. Kadar angka peroksida ditentukan berdasarkan rumus :
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Citation: Diniyah, N., Giyarto, Subagio, A. & Akhiriani, R. A. (2015) Pendugaan Umur Simpan “Beras Cerdas” Berbasis Mocaf, Tepung Jagung Menggunakan Metode Accelerated Shelf-Life Testing (ASLT) Pendekatan Arrhenius. Warta IHP, 32(1), 1-8.
Halaman | 4
2.2.6.
3.2. Kinetika Arrhenius berdasarkan perubahan mutu
Analisis data
Data yang didapatkan dianalisis menggunakan metode regresi linier pada program Microsoft Excel. 3.
Hasil dan Pembahasan
Kinetika reaksi dasar dihutung dari masingmasing produk yang disimpan pada suhu 30, 40, 50 dan 60 °C melalui analisis kimia yang meliputi kadar air, angka peroksida dan asam lemak bebas.
3.1. Karakteristik mutu kritis “beras cerdas”
3.3. Kadar peroksida
Penentuan mutu kritis “beras cerdas” dilakukan pada suhu penyimpanan 60 °C dengan tujuan untuk mempercepat kerusakan produk. Rata-rata jumlah panelis yang melakukan penolakan terhadap aroma “beras cerdas” yang dibuat dari Mocaf dan tepung jagung selama disimpan pada suhu 60°C dapat dilihat pada Tabel 1.
Laju pembentukan peroksida “beras cerdas” berbasis mocaf dan tepung jagung pada berbagai suhu penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 1 Persentase penolakan panelis terhadap aroma “beras cerdas” selama penyimpanan pada suhu 60 oC % Penolakan Panelis Lama Penyimpanan “Beras Cerdas” (Minggu Ke-) 0 0 1 0 2 0 3 28,57 4 71,42
Berdasarkan Tabel 1, beras cerdas tersebut ditolak oleh 50% panelis setelah penyimpanan pada minggu ke-4 dengan persentase penolakan panelis terhadap aroma sebesar 71,42%. Skor penolakan terhadap aroma mengalami peningkatan selama penyimpanan dikarenakan aroma tengik pada “beras cerdas” berbasis Mocaf dan tepung jagung semakin terdeteksi. Setelah diketahui batas akhir penerimaan konsumen, selanjutnya dilakukan analisis kimiawi parameter mutu untuk menentukan nilai karakteristik mutu akhir “beras cerdas” (At). Nilai karakteristik mutu awal (A0) dan nilai karakteristik mutu akhir “beras cerdas” (At) digunakan untuk menentukan umur simpan “beras cerdas” melalui plot umur simpan berdasarkan orde reaksinya. Adapun nilai karakteristik mutu awal (A0) dan akhir (At) “beras cerdas” pada saat ditolak oleh panelis dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Karakteristik nilai mutu awal (ao) dan nilai mutu akhir (at) “beras cerdas” selama penyimpanan pada suhu 60 OC No. Parameter Nilai Mutu Ao At 1. Angka peroksida (meq/ kg sampel) 580,93 2125,69 2. Kadar asam lemak bebas (%) 2,93 4,86
Tabel 3. Laju terbentuknya peroksida pada “beras cerdas” pada berbagai suhu penyimpanan Lama Laju Terbentuknya Peroksida (meq/kg Penyimpanan sampel) (Minggu ke-) 30 °C 40 °C 50 °C 60 °C 0 580,93 580,93 580,93 580,93 1 707,01 985,86 1200,38 1407,47 2 1199,20 1451,28 1969,29 1985,00 3 1662,17 2079,74 2170,87 2307,38 4 1712,02 1907,20 2101,14 2125,69
Hasil pengamatan terhadap kadar peroksida pada berbagai suhu penyimpanan “beras cerdas” yang dibuat dari mocaf dan tepung jagung menunjukkan terjadinya peningkatan kadar peroksida pada awal masa penyimpanan hingga penyimpanan pada minggu ke-3 kemudian cenderung menurun lagi. Kenaikan angka peroksida di awal penyimpanan tersebut diduga karena sejumlah oksigen terikat pada ikatan rangkap asam lemak dan membentuk perosida aktif. Penurunan kadar peroksida “beras cerdas” setelah minggu ke-3 penyimpanan diduga disebabkan peroksida yang terbentuk telah terurai menjadi hidroperoksida. Hal ini sesuai dengan pendapat Ketaren (1986) bahwa peroksida dapat berubah menjadi hidroperoksida dan senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek berupa aldehida dan keton yang bersifat volatile. Selama penyimpanan, diduga ikatan rangkap dalam asam lemak dapat teroksidasi seluruhnya membentuk peroksida dan peroksida yang terbentuk juga telah mengalami degradasi menjadi hidroperoksida. Dengan demikian, jika semua ikatan rangkap pada “beras cerdas” sudah teroksidasi seluruhnya maka tidak akan ada peroksida yang terbentuk sehingga jumlah peroksida dalam beras cerdas semakin menurun (Ketaren, 1986). Plot perubahan mutu (sumbu y) terhadap lama penyimpanan (sumbu x) dan ln perubahan mutu (sumbu y) terhadap lama penyimpanan (sumbu x) disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2.
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 1-8 Halaman | 5
Pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa nilai R2 ordo nol pada suhu 30 °C, 40 °C, 50 °C, dan 60 °C lebih besar dibanding R2 pada ordo satu. Ordo nol menunjukkan laju reaksi perubahan angka peroksida selama penyimpanan tidak dipengaruhi konsentrasi reaktan. Peningkatan maupun penurunan konsentrasi reaktan angka peroksida akan selalu memberikan pengaruh yang konstan terhadap laju reaksi perubahan angka peroksida, sehingga perubahan angka peroksida selama penyimpanan akan menghasilkan bentuk yang linier pada kurva (Anonymous, 2008; Keusch, 2010). Nilai k dan ln k masing-masing suhu penyimpanan pada orde satu akan ditampilkan pada Tabel 5. Gambar 1. Perubahan kadar peroksida beras cerdas pada suhu penyimpanan 30oC, 40oC, 50oC, dan 60oC
Tabel 5 Nilai konstanta laju reaksi (k) dan ln k angka peroksida “beras cerdas” pada berbagai suhu penyimpanan Suhu °C (K) Nilai k ln k 30 (303) 321,74 5,77 40 (313) 374,64 5,93 50 (323) 401,02 5,99 60 (333) 398,94 5,99
Selanjutnya, plot nilai ln k dan 1/T pada reaksi perubahan angka peroksida “beras cerdas” akan ditampilkan pada Gambar 3.
Gambar 2. Perubahan ln kadar peroksida “beras cerdas” pada suhu penyimpanan
30oC,
40oC
50oC, dan
60oC
Pemilihan kinetika orde reaksi dilakukan dengan cara membandingkan nilai koefisien korelasi (R2) tiap persamaan regresi linier pada suhu yang sama dari reaksi orde nol (A diplotkan terhadap waktu) dan reaksi orde satu (ln A diplotkan terhadap waktu). Orde reaksi dengan nilai R2 yang lebih besar merupakan orde reaksi yang digunakan (Labuza and Riboh, 1982). Selanjutnya hasil perhitungan ditabulasikan pada Tabel 4 yang merupakan persamaan regresi linier parameter angka peroksida pada ordo nol dan ordo satu. Tabel 4 Persamaan regresi linier untuk perubahan peroksida (δe) orde nol dan orde satu pada “beras cerdas” Suhu °C Orde Nol Orde Satu (K) Persamaan R2 Persamaan R2 Linier Linier 30 (303) Y = 321,74x + 0,9426 Y = 0,3016x 0,9354 528,79 + 6,372 40 (313) Y = 374,64x + 0,8972 Y = 0,3124x 0,8854 651,72 + 6,5215 50 (323) Y = 401,02x + 0,8417 Y = 0,3163x 0,7904 802,34 + 6,642 60 (333) Y = 398,94x + 0,8089 Y = 0,3089x 0,7402 883,41 + 6,7049
Gambar 3. Persamaan Arrhenius untuk perubahan angka peroksida (ΔE) “beras cerdas” selama penyimpanan
Persamaan Arrhenius berdasarkan parameter perubahan peroksida pada “beras cerdas” adalah y = -713,25x + 8,1674, dengan nilai R² sebesar = 0,804, sehingga didapatkan nilai energi aktivasi (Ea) = (-713,25K-1) x (1,986 kal/moloK) = 1416,51/mol. 3.4. Kadar asam lemak bebas Asam lemak bebas atau FFA menunjukkan sejumlah asam lemak bebas yang terkandung oleh lemak yang rusak, terutama karena peristiwa oksidasi dan hidrolisis (Gunawan et al., 2003). Laju pembentukan asam lemak bebas “beras cerdas” pada masing-masing suhu selama empat minggu penyimpanan berbeda-beda dapat dilihat pada Tabel 6.
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Citation: Diniyah, N., Giyarto, Subagio, A. & Akhiriani, R. A. (2015) Pendugaan Umur Simpan “Beras Cerdas” Berbasis Mocaf, Tepung Jagung Menggunakan Metode Accelerated Shelf-Life Testing (ASLT) Pendekatan Arrhenius. Warta IHP, 32(1), 1-8.
Halaman | 6 Tabel 6 Laju terbentuknya asam lemak bebas “beras cerdas” pada berbagai suhu penyimpanan Lama Laju Terbentuknya Asam Lemak Penyimpanan Bebas (%) (Minggu ke-) 30 °C 40 °C 50 °C 60 °C 0 2,93 2,93 2,93 2,93 1 2,99 3,01 3,02 3,35 2 3,23 3,38 3,42 3,49 3 3,30 3,47 3,48 4,70 4 3,73 3,73 3,75 4,86
Hasil pengamatan Tabel 6, menunjukkan terjadi peningkatan asam lemak bebas dari awal penyimpanan sampai akhir penyimpanan. Kadar asam lemak bebas tertinggi adalah pada suhu penyimpanan 60 °C yaitu 4,86%, kemudian pada suhu 50 °C sebesar 3,75% dan selanjutnya suhu 30 dan 40 °C sebesar 3,73 %. Kenaikan kadar asam lemak bebas disebabkan proses oksidasi lemak. Asam lemak bebas akan terbentuk selama proses oksidasi yang dihasilkan dari pemecahan dan oksidasi ikatan rangkap. Adanya pemanasan asam lemak tidak jenuh terurai akibat permukaan “beras cerdas” yang panas dan kontak langsung dengan udara. Rantai karbon dalam ikatan rangkap terputus sehingga asam lemak bebas bertambah. Plot data kurva perubahan mutu terhadap lama penyimpanan dan ln perubahan mutu (sumbu y) terhadap lama penyimpanan (sumbu x) disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5.
Ordo reaksi terhadap laju perubahan asam lemak bebas dapat ditentukan berdasarkan determinasi persamaan plot perubahan kadar asam lemak bebas versus waktu. Persamaan dan koefisien determinasi (R2) berdasarkan ordo nol dan ordo satu dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Persamaan regresi linier untuk perubahan asam lemak bebas (δe) orde nol dan orde satu pada “beras cerdas” pada berbagai suhu penyimpanan Suhu °C Orde Nol Orde Satu (K) Persamaan Linier R2 Persamaan R2 Linier 30 (303) Y = 0,1903x + 2,853 0,91 Y = 0,057x + 1,054 0,92 40 (313) Y = 0,2057x + 2,893 0,96 Y = 0,062x + 1,066 0,96 50 (323) Y = 0,209x + 2,900 0,95 Y = 0,063x + 1,068 0,95 60 (333) Y = 0,5218x + 2,822 0,91 Y = 0,135x + 1,062 0,93
Pada Tabel 7, dapat dilihat bahwa nilai R2 ordo satu pada suhu 30 °C dan 60 °C nilai lebih besar daripada ordo nol. Hal ini menunjukkan bahwa pada keempat suhu tersebut laju reaksi kadar asam lemak bebas akan berbanding lurus dengan konsentrasi pereaksi. Hal tersebut cenderung sesuai dengan pendapat Rifkowaty (2010), peningkatan konsentrasi akan meningkatkan laju reaksi, dan penurunan konsentrasi akan menurunkan laju reaksi, sehingga plot perubahan mutu terhadap waktu pada orde satu mengikuti pola natural logaritma (ln). Nilai k dan ln k masingmasing suhu penyimpanan pada orde nol akan ditampilkan pada Tabel 8. Tabel 8 Nilai konstanta laju reaksi (k) dan ln k pada masing-masing suhu penyimpanan Suhu °C (K) Nilai K ln K 30 (303) 0,0579 -2,85 40 (313) 0,0624 -2,77 50 (323) 0,0634 -2,76 60 (333) 0,1400 -2,00
Gambar 4. Perubahan kadar asam lemak bebas “beras cerdas” pada suhu penyimpanan oC,
dan
30 oC,
40 oC,
50
60 oC
Gambar 5. Perubahan ln kadar asam lemak bebas “beras cerdas” pada suhu penyimpanan °C, dan
Selanjutnya, plot nilai ln k dan 1/T pada reaksi perubahan kadar asam lemak bebas “beras cerdas” ditampilkan pada Gambar 6.
30 °C,
40 °C,
Gambar 6. Persamaan Arrhenius untuk perubahan kadar asam lemak bebas (ΔE) “beras cerdas” selama penyimpanan
50
60 °C
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 1-8 Halaman | 7
Persamaan Arrhenius berdasarkan paramater perubahan kadar asam lemak bebas pada “beras cerdas” adalah y = -2554,8x + 5,4525 dengan nilai R² sebesar 0,686, sehingga didapatkan nilai energi aktivasi (-Ea) = (-2554,8 K-1) x (1,986 kal/mol K) = 5073,83/mol. 3.5. Umur simpan Berdasarkan hasil perhitungan dari persamaan Arrhenius untuk parameter angka peroksida dan kadar asam lemak bebas “beras cerdas” berbasis Mocaf dan tepung jagung dapat ditentukan umur simpan pada suhu 30 oC dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Umur simpan “beras cerdas” berdasarkan perubahan mutu selama penyimpanan suhu 30 °C Parameter Persamaan Ea ln k k Umur Kimia Arrhenius “Beras Simpan Cerdas” (Minggu) Angka Y = -713,25x -1416,51 5,81 334,7 3,40 peroksida + 8,167 7 Kadar Y = -2554,8x -5073,83 -2,98 0,05 4,73 asam + 15,452 lemak bebas
Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa parameter perubahan mutu angka peroksida “beras cerdas” memiliki energi aktivasi terkecil. Prediksi umur simpan pada “beras cerdas” didasarkan pada umur simpan yang terkecil berdasarkan perubahan mutu. Parameter perubahan mutu angka peroksida memiliki nilai koefisien korelasi (R2) lebih besar daripada nilai koefisien korelasi (R2) kadar asam lemak bebas serta umur simpan “beras cerdas” dengan perubahan mutu angka peroksida lebih cepat daripada perubahan mutu asam lemak bebas, sehingga umur simpan “beras cerdas” diambil dari parameter angka peroksida (Kusnandar, 2004). Prediksi umur simpan “beras cerdas” pada suhu 30 °C adalah 3,40 minggu. “Beras cerdas” berbasis Mocaf dan tepung jagung memiliki umur simpan yang pendek hal ini disebabkan pada awal penyimpanan “beras cerdas” sudah memiliki angka peroksida dan asam lemak bebas yang tinggi berturut-turut yaitu sebesar 580,93 meq/kg sampel dan 2,93 % yang diduga karena minyak yang digunakan untuk pembuatan “beras cerdas” bukan minyak segar melainkan minyak yang sudah disimpan dalam jangka waktu yang lama. 4. Kesimpulan dan Saran Pendugaan umur simpan “beras cerdas” berbasis Mocaf dan tepung jagung dilakukan selama empat minggu sesuai dengan titik kritis yang ditentukan pada saat 50% panelis menyatakan “beras cerdas” tidak layak dikonsumsi.
Pada parameter angka peroksida orde reaksi yang digunakan yaitu orde nol, sedangkan pada parameter kadar asam lemak bebas orde reaksi yang digunakan yaitu orde satu. Parameter yang sesuai untuk penentuan umur simpan adalah parameter angka peroksida dengan persamaan Arrhenius y = -713,25x + 8,167 dengan umur simpan pada suhu 30 oC sebesar 3,40 minggu. Di dalam pendugaan umur simpan berdasarkan model Arrhenius sebaiknya ditentukan parameter kritis dan skor batas mutu yang tepat untuk menghindari kesalahan dalam pendugaan umur simpan bahan pangan. Selain itu, di dalam pembuatan “beras cerdas” sebaiknya lebih diperhatikan lagi bahan baku yang digunakan, penyimpanannya dan proses pengolahannya agar dihasilkan umur simpan “beras cerdas” yang lebih panjang. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Badan Ketahanan Pangan Kementerian RI dan Provinsi Jawa Timur yang telah memberikan dana dalam penelitian tahun 2012. Daftar Pustaka Anonymous. (2008) Course Chapters: Kinetics. Developed by Shodor Incoorperation Department of Chemistry, The University of North Carolina at Chapel Hill,
[email protected]. Gacula, M. C., & Kubala, J. J. (1975). Statistical Models For Shelf Life Failures. Journal Of Food Science, 40(2), 404–409. Doi:10.1111/J.1365-2621.1975.Tb02212.X. Gumilar, P.L. (2012).Beras Cerdas Modified Cassava Flour (Mocaf) dengan Penambahan Daun Katuk dan Kacang Merah.Jember: Universitas Jember. Gunawan., Mudji Triatmo, M.A & Arianti Rahayu. (2003). Analisis Pangan: Penentuan Angka Peroksida dan Asam Lemak Bebas pada Minyak Kedelai dengan Variasi Menggoreng.Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi,6(3), 1-6. Hermanianto, J., Arpah, M., & Jati, W.K. (2000) Penentuan Umur Simpan Produk Ekstrusi dari Hasil Samping Penggilingan Padi (Menir dan Bekatul) dengan Menggunakan Metode Konvensional, Kinetika Arrhenius dan Sorpsi Isothermis.Buletin Teknol dan Industri Pangan, 10(2). Hough, G., Garitta, L., & Gómez, G. (2006). Sensory shelf-life predictions by survival analysis accelerated storage models. Food Quality and Preference, 17(6), 468–473. doi:10.1016/j.foodqual.2005.05.009 Institute of Food Science and Technology (IFST). (1974). Shelf Life of Food.Journal Food Science, 39:861-865. Kusnandar, F. (2004).Pendugaan Waktu Kadaluarsa (Shelf Life) Bahan dan ProdukPangan : Aplikasi Progam Komputer Sebagai Alat Bantu Penentuan Umur Simpan Produk Pangan Metode Arrehenius. Bogor:Pusat Studi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Labuza, T.P & D. Riboh. (1982). Theory and aplication of Arrhenius kinetics to the prediction of nutrien losses in food.Journal Food Technology, 36, 66-74. Lee, S.-Y., & Krochta, J. M. (2002). Accelerated shelf life testing of whey-protein-coated peanuts analyzed by static headspace gas chromatography. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 50(7), 2022–8.
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Citation: Diniyah, N., Giyarto, Subagio, A. & Akhiriani, R. A. (2015) Pendugaan Umur Simpan “Beras Cerdas” Berbasis Mocaf, Tepung Jagung Menggunakan Metode Accelerated Shelf-Life Testing (ASLT) Pendekatan Arrhenius. Warta IHP, 32(1), 1-8.
Halaman | 8 Nielsen, S.S. (2011) Food Analysis Laboratory Manual.USA: Springer Science Medi. Rifkowaty, E.E. (2010). Penentuan Umur Simpan Tepung Fermentasi dari Sorgum Coklat var Lokal (Sorghum bicolor L. Moench) Menggunakan Metode ASLT (Accelerated Shelf-Life Testing) RH dan Suhu. Tidak Diterbitkan. Tesis. Progam pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang. Samad, M.Y. 2003. Pembuatan Beras Tiruan (Artificial Rice)dengan Bahan Baku Ubi Kayu dan Sagu.Journal Saint dan Teknologi BPPT, 7.
Subagio, A., Nafi, A., Hermanuadi, D., Windrati, W.S. & Witono, Y. (2012). Pengembangan Beras Cerdas Sebagai Pangan Pokok Alternatif Berbahan Baku Mocaf. Jember: Universitas Jember. Sudarmadji., S. Haryono, B. & Suhardi. (1997).Analisa Bahan Makanan dan Pertanian.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 9-15 Halaman | 9
Pengaruh Suhu dan Waktu Maserasi terhadap Komponen Volatil yang Terlibat pada Ekstraksi Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC) Effect of Temperature and Maseration Time on Volatile Aroma Constituents of Andaliman Zanthoxylum acanthopodium DC. Yuliasri Ramadhani Meutia, Ning Ima Arie Wardayanie , Rienoviar , Titin Mahardini, dan Indera Wirawan Balai Besar Industri Agro Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor
[email protected]
Riwayat Naskah: Diterima 03,2015 Direvisi 03, 2015 Disetujui 04, 2015
ABSTRAK: Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) merupakan tanaman rempah khas Sumatera Utara yang banyak digunakan sebagai bumbu masak karena memiliki citarasa yang khas. Selain itu andaliman memiliki beberapa manfaat antara lain sebagai antimikroba, antioksidan dan sebagai immunomodulator. Studi mengenai pengaruh proses ekstraksi terhadap komponen flavor andaliman telah dilakukan, namun belum ada yang melihat pengaruh suhu dan waktu maserasi terhadap komponen flavor pada ekstrak yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh suhu dan waktu maserasi terhadap komponen volatil yang terlibat di dalamnya. Andaliman diekstrak dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol dan etil asetat (1:1) pada suhu ruang dan pada suhu 40 °C selama 2 jam, 4 jam, dan 6 jam. Hasil ekstraksi dianalisis komponen volatilnya dengan menggunakan GC-MS dilanjutkan dengan analisis komponen aroma yang terdeskripsikan dengan GC-O. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen flavor utama yang dihasilkan dari proses ekstraksi andaliman dengan maserasi menggunakan pelarut etanol: etil asetat (1:1) pada suhu ruang didominasi oleh senyawa geranyl acetate meskipun setelah 6 jam maserasi terjadi dominasi D-Limonene menggantikan dominasi geranyl acetate. Maserasi pada suhu 40 °C juga menunjukkan geranyl acetate sebagai komponen volatil dominan pada 2 jam maserasi. Setelah 4 jam maserasi 40 °C, citronellol merupakan komponen volatil dominan, sedangkan setelah 6 jam maserasi 40 °C komponen volatil yang dominan adalah D-Limonene diikuti oleh geranyl acetate. Suhu maserasi dan waktu pada proses maserasi yang berbeda dapat menyebabkan perubahan pada komponen flavor yang dominan pada ekstrak andaliman. Namun komponen flavor yang dominan pada GC-MS tersebut tidak menunjukkan aroma yang terdeskripsikan pada GC-O. Aroma yang terdeskripsikan dari sniffing port pada andaliman yang dimaserasi pada suhu ruang bervariasi dari andaliman-like, green, flowery, sour, dan earthy. Sedangkan pada andaliman yang dimaserasi pada suhu 40 °C adalah aroma flowery, green, sweet, and spicy lebih banyak terdeskripsikan. Hal ini dapat menunjukkan bahwa suhu maserasi dapat mempengaruhi aroma yang terdeskripsikan dengan menggunakan GC-O. Kata kunci: andaliman, komponen volatil, flavor, maserasi, Zanthoxylum acanthopodium
ABSTRACT: Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) is typical of North Sumatra spice plant that is widely used as specific flavor. In other hand andaliman has several benefits such as antimicrobial, antioxidant and as an immunomodulator. Studies on the effect of the extraction of the flavor components or potent odorant of andaliman has been done, but the effect of maceration time and temperature on extraction to the flavor components have not reported yet. This research were conducted to study the effect of temperature and time of maceration of andaliman gainst theirs volatile compounds.. Andaliman extracted by maceration method using ethanol and ethyl acetate (1: 1) for 2 hours, 4 hours, and 6 hours on room © WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Citation: Meutia, Y. M., Wardayanie, N. I. A., Rienoviar, Mahardini, T., Wirawan, I. (2015). Pengaruh Suhu dan Waktu Maserasi terhadap Komponen Volatil yang Terlibat pada Ekstraksi Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC). Warta IHP, 32(1),9-15
Halaman | 10
temperature and 40 °C. The extracts were analyzed using GC-MS followed by GC-O to analyze potential odorants. The results showed that geranyl acetate were the main compound of andaliman extracted using ethanol: ethyl acetate (1: 1) at room temperature while after 6 hours of maceration D-Limonene replaced the dominance of geranyl acetate. Maceration at 40 ° C also show geranyl acetate as the dominant volatile components at 2 hours maceration. After 4 hours of maceration 40 ° C, citronellol played as dominant volatile compound, whereas after 6 hours of maceration at 40 °C D-Limonene played as dominant volatile compound followed by geranyl acetate. That can showed that temperature and time of maceration process of andaliman can affect the dominant flavor compound of the extract. However aroma were described from sniffing port of GC-O on andaliman are macerated at room temperature varies from andaliman-like, green, flowery, sour and earthy. While on andaliman macerated at 40 ° C the aroma described are flowery aroma, green, sweet, and spicy. This may conclude that the process of drying of raw materials could affect aroma that described by using GCO. Keywords: andaliman, flavor, maceration, volatile compound, Zanthoxylum acanthopodium
1. Pendahuluan Indonesia kaya dengan rempah rempah, salah satu rempah yang mempunyai flavor disukai, asli Indonesia dan sering digunakan untuk pengobatan tradisional, yaitu andaliman (Zanthoxylum acanthopodium). Ada 549 spesies Zanthoxylum tersebar luas diseluruh dunia terutama didaerah bersuhu tropis, oleh karena itu senyawa yang dikandung bervariasi. Beberapa khasiat andaliman yaitu untuk pengobatan tradisional bagi orang sakit, sebagai peningkat nafsu makan, juga sering digunakan oleh orang Batak untuk menyembuhkan sakit kepala (Yanti et al., 2011). Andaliman dapat digunakan sebagai aditif pangan fungsional (Irawan dan Wijaya, 2002), dapat digunakan sebagai pengawet pada masakan karena kandungan senyawa anti mikroba (Siswadi, 2001), antioksidan (Tensiska et al., 2003), dan juga dapat berperan sebagai anti bakteri dan anti jamur (Parhusip, 2006). Beberapa permasalahan yang terjadi terkait andaliman antara lain buah andaliman yang mudah rusak dan berjamur dikarenakan buah yang dipanen mengandung kadar air yang tinggi. Masa simpan buah andaliman hanya beberapa hari dalam suhu kamar, dan petani belum mengetahui teknik pengawetan buah andaliman (Napitupulu, 2004). Beberapa metode ekstraksi terhadap andaliman telah dilakukan oleh Wijaya et al. (2002) dan telah diketahui komponen volatil dan komponen kunci aroma dari andaliman. Wijaya et al. (2002) melakukan ekstraksi andaliman dengan metode head space, LickensNickerson, maserasi, dan destilasi vakum dimana dilaporkan bahwa ekstrak andaliman yang memiliki aroma paling menyerupai bahan bakunya adalah metode maserasi dan diikuti dengan metode destilasi vakum. Akyla (2014) melaporkan bahwa
ekstrak andaliman memiliki flavor yang mirip serta memiliki karakteristik trigeminal sebagaimana bahan bakunya pada ekstrak yang diperoleh melalui proses maserasi menggunakan etil asetat: etanol (1:1) sebagai pelarut, dengan rendemen ekstraksi 4,22% dibandingkan dengan jumlah andaliman segar yang digunakan. Namun pada penelitian tersebut belum dilakukan analisis komponen volatil yang terlibat dalam proses tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh suhu dan waktu ekstraksi dengan pelarut terhadap komponen volatil yang terlibat. 2. Bahan dan Metode 2.1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi buah andaliman (Zanthoxyylum acanthopodium) yang diperoleh dari Sumatera Utara, pelarut yang digunakan pada proses ekstraksi ini adalah etil asetat dna etanol dengan perbandingan (1:1), serta natrium sulfat anhidrat. 2.2. Alat Peralatan yang digunakan antara lain neraca, waring blender, peralatan gelas seperti labu ukur, erlenmeyer, dan pipet volumetrik, bejana untuk maserasi, rotary vacuum evaporator, dan gas chromatography-mass spectrometry (GC-MS) (Shimadzu GC 9AM) dan gas chromatography olfactometry (GC-O) (Shimadzu QP).
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 9-15 Halaman | 11
2.3. Metode
3. Hasil dan Pembahasan
2.3.1.
3.1. Hasil ekstraksi andaliman
Ekstraksi andaliman
Pada penelitian ini ekstraksi andaliman dilakukan pada suhu ruang dan suhu 40 °C dengan menggunakan campuran pelarut etanol dan etil asetat dengan perbandingan 1:1, sedangkan waktu proses ekstraksi dilakukan selama 2,4, dan 6 jam. Variabel perlakuan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Variabel perlakuan ekstraksi andaliman Suhu Lama Proses Ekstraksi ekstraksi 2 jam 4 jam 40 °C B2T40 B4T40 T ruang B2TR B4TR (25 °C)
6 jam B6T40 B6TR
Setiap hasil ekstraksi tersebut dipekatkan dengan rotary vacuum evaporator menggunakan suhu 5 °C di atas suhu didih pelarut. Natrium sulfat anhidrat dimasukkan ke dalam hasil ekstraksi untuk menghilangkan air dari ekstrak. Dilakukan penyaringan ekstrak dengan kertas saring sebelum dilakukan analisis dengan GC-MS dan GC-O. 2.3.2.
Analisis dengan GC-MS
GC-MS dengan kolom kapiler DB-5 (30 m, diameter dalam 0,25 mm, tebal film 0,25 µm) dan detektor FID yang digunakan untuk menganalisis komponen volatil dari ekstrak hasil dari berbagai perlakuan pada Tabel 1. Kondisi ekstraksi adalah sebagai berikut: suhu injektor 230 °C, suhu detektor 230 °C, suhu program 40 °C (5 menit), 4°C/ menit, 230 °C (2 menit). Volume injeksi 1 µl. Nilai LRI (Linear Retention Indices) masing-masing peak dihitung berdasarkan data waktu retensi nalkana standar (C8 – C22 tanpa C9 dan C19) yang disuntikkan pada kondisi yang sama dengan kondisi penyuntikan sampel (Wijaya, 2001). 2.3.3.
Hasil ekstrak andaliman dengan proses maserasi yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 1.
Analisis dengan GC-O
Kondisi analisis GC merk Shimadzu GC-9AM, kolom kapiler HP-5 (panjang 30 m, diameter dalam 0,32 mm, ketebalan film 0,25 µm), detektor FID. Gas pembawa Helium dengan aliran 1 ml/menit. Suhu injektor 230 °C, suhu detektor 230 °C (5 menit), suhu program 50 °C (3 menit), 8 °C/ menit, 220 °C (5 menit). Ekstrak volatil andaliman disuntikkan ke dalam kromatografi gas yang dilengkapi dengan sniffing port. Pengujinya adalah 2 orang panelis terlatih. Pemisahan komponen volatil dalam kolom kapiler GC/O dilakukan dengan menginjeksikan 2 µl sampel ke dalam instrumen GC (Wijaya, 2001).
Keterangan : B2TR : Ekstrak andaliman basah dengan proses maserasi pada suhu ruang selama 2 jam B4TR : Ekstrak andaliman basah dengan proses maserasi pada suhu ruang selama 4 jam B6TR : Ekstrak andaliman basah dengan proses maserasi pada suhu ruang selama 6 jam B2T40 : Ekstrak andaliman basah dengan proses maserasi pada suhu 40oC selama 2 jam B4T40 : Ekstrak andaliman basah dengan proses maserasi pada suhu 40oC selama 4 jam B6T40 : Ekstrak andaliman basah dengan proses maserasi pada suhu 40oC selama 6 jam Gambar. 1 Hasil ekstraksi andaliman basah. Dari kiri ke kanan B2TR, B4TR, B6TR, B2T40, B4T40, B6T40.
Berdasarkan penampakan ekstrak secara visual, dapat dilihat bahwa andaliman yang diekstrak menggunakan suhu 40 °C memiliki warna ekstrak yang lebih pekat dibandingkan dengan ekstrak yang dimaserasi pada suhu ruang. Semakin lama waktu maserasi yang dilakukan juga menunjukkan warna ekstrak yang lebih pekat. Sabri et al. (2007) melakukan ekstraksi andaliman dengan menggunakan etanol dan melakukan karakterisasi dari simplisia yang dihasilkan dan aktivitasnya sebagai antifertilitas pada mencit. Namun pada penelitian tersebut tidak dilakukan perbedaan pada bahan baku andaliman. Damanik et al. (2012) melakukan ekstraksi katekin dari daun gambir dengan metode maserasi menggunakan pelarut polar pada berbagai variasi suhu maserasi dimana diperoleh kadar katekin tertinggi pada kondisi maserasi dengan suhu 60 °C dengan waktu maserasi 6 jam menggunakan pelarut etil asetat. Namun perlu digaris bawahi bahwa proses maserasi flavor berbeda dengan proses maserasi untuk komponen aktif lain atau ekstraksi oleoresin karena sifat flavor alami sebagian besar bersifat non polar yang bersifat sangat volatil.
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Citation: Meutia, Y. M., Wardayanie, N. I. A., Rienoviar, Mahardini, T., Wirawan, I. (2015). Pengaruh Suhu dan Waktu Maserasi terhadap Komponen Volatil yang Terlibat pada Ekstraksi Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC). Warta IHP, 32(1),9-15
Halaman | 12
3.2. Analisis komponen volatil Komponen flavor yang terdeteksi pada andaliman yang diekstrak berkisar antara 29 – 46 komponen flavor dimana terdapat 8 – 12 komponen flavor yang mempunyai relative peak area lebih dari 1 % yang mempunyai berkontribusi lebih dari 92 % relative peak area terhadap keseluruhan komponen flavor. Rekapitulasi data komponen flavor dengan relative peak area lebih dari 1 % pada perlakuan maserasi pada suhu ruang dapat dilihat pada Tabel 2, sedangkan andaliman yang diekstrak pada suhu 40 °C dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 2 Komponen volatil (relative peak area > 1%) dari andaliman perlakuan maserasi pada suhu ruang Komponen Volatil Relative Relative Peak Peak Area Area pada pada Maserasi Maserasi 2 jam (%) 4 jam (%) Acetic acid, butyl esther 12,19 7,93 5-hepten-2-one, 6 8,53 4,87 methyl dl-6-Methyl-5-hepten-24,86 3,87 ol D-Limonene 11,87 5,93 (1R)-(-)Myrtenal β-linalool 1,19 (R)-(+)-citronellal 3,87 4,35 Citronellol 15,64 15,21 Geraniol 2,84 3,19 Geranyl acetate 35,12 47,40 N,N-Dimethyltryptamine 1,55 1,28 Total 97,65 94,03
ekstrak Relative Peak Area pada Maserasi 6 jam (%) 2,96 1,92 1,16 54,27 2,76 2,56 4,96 23,97 1,74 96,29
Tabel 3. Komponen volatil (relative peak area > 1%) dari ekstrak andaliman basah perlakuan maserasi pada suhu 40 °C Komponen Volatil Relative Relative Relative Peak Peak Peak Area Area Area pada pada pada Maserasi Maserasi Maserasi 2 jam 4 jam 6 jam (%) (%) (%) Acetic acid 10,67 Acetic acid, butyl esther 5,11 2,48 7,01 2,3-Butanediol 1,38 5-hepten-2-one, 6 methyl 5,61 14,61 2,55 dl-6-Methyl-5-hepten-2-ol 4,38 15,81 1,09 D-limonene 6,45 37,87 (1R)-(-)Myrtenal 3,34 Phenol, 2 –methoxy 1,05 β-linalool 1,06 1,85 (R)-(+)-citronellal 7,04 3,59 Citronellol 15,38 21,63 6,30 Geraniol 3,76 5,38 1,37 Terpin Hydrate 2,39 Geranyl Acetate 44,16 11,67 31,30 (+)-Epi1,54 bicyclosesquiphellandrene N,N-Dimethyltryptamine 1,80 5,93 Total 94,77 94,85 95,96
Komponen volatil dominan pada ekstrak andaliman yang menggunakan bahan baku andaliman segar adalah geranyl acetate baik yang dimaserasi pada suhu ruang maupun suhu 40 °C. Pada andaliman yang dimaserasi pada suhu ruang, geranyl acetate (35,12 %), citronellol (15,64 %), dan D-Limonene (11,87 %) merupakan komponen volatil dominan pada 2 jam maserasi. Setelah 6 jam maserasi terjadi pergeseran dominasi komponen aroma yang dominan yaitu berasal dari D-Limonene (37,87 %) dan diikuti dengan geranyl acetate (23,97 %). Andaliman yang dimaserasi pada suhu 40 °C, geranyl acetate masih menjadi komponen volatil dominan yang teridentifikasi pada 3 jam maserasi (44,16%), namun pada 4 jam maserasi pada suhu 40 °C terjadi perubahan komponen volatil yang dominan yaitu Citronellol (21,63 %), diikuti dengan dl-6-Methyl-5-hepten-2-ol (15,81 %), 5-hepten-2-one, 6 methyl (14,61 %), dan geranyl acetate (11,67 %), sedangkan pada 6 jam maserasi pada suhu 40 °C D-Limonene menjadi komponen volatil yang dominan (37,87 %) diikuti dengan geranyl acetate (31,30 %). Secara umum geranyl acetate merupakan komponen volatil yang dominan pada setiap perlakuan maserasi pada andaliman, namun dengan perubahan suhu dan waktu maserasi dapat mempengaruhi persentase relative peak area terhadap komponen yang teridentifikasi. Penelitian yang terkait dengan waktu maserasi dilakukan oleh Kelebek et al. (2009) yang melihat pengaruh waktu maserasi terhadap kandungan antosianin pada Vitis vinivera yang melaporkan bahwa semakin lama waktu maserasi berbanding lurus dengan peningkatan kandungan antosianin yang terjadi. Komponen flavor utama (yang memiliki relative peak area > 10 %) berbeda-beda tergantung perlakuan yang diberikan, kecuali senyawa geranyl acetate selalu merupakan komponen flavor utama pada setiap perlakuan, dengan relative peak area berkisar antara 11.67 – 48.15 %. Fenomena ini berbeda dengan jenis tumbuhan zanthoxylum yang lain seperti Z. piperitum (Kim et al., 1989), Z simulans (Chyau et.al., 1996) dan Z. bungeaman (Trillini and Stoppini, 1994), dimana limonene merupakan komponen utama seperti pada tanaman rutaceae (contohnya Citrus japonica (Nguyen, et.al., 1996). Namun pada beberapa perlakuan jumlah DLimonene memang lebih tinggi dibandingkan geranyl acetate terutama pada perlakuan maserasi lebih dari 6 jam. Identifikasi aroma selanjutnya diteruskan dengan olfactory unit dari GC-MS-O. Hasil uji olfactory pada ekstrak andaliman hasil maserasi pada suhu ruang dapat dilihat pada Tabel 4.
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 9-15 Halaman | 13 Tabel 4 Hasil uji olfactory dengan GC-O pada andaliman perlakuan maserasi pada suhu ruang Komponen Volatil Perlakuan B2TR B4TR B6TR 2,3-butanediol fruity, sour Acetic acid, butyl sour, ester green unknown (RT 9,79)
sour,green
-
-
Benzaldehyde
-
-
2-Ethyl-2hydroxybutiric acid
-
green, sweet
green, sweet -
flowery, green
-
-
andaliman, sour
-
-
green, sweet
-
-
Phenylethyl alcohol
green, sweet, sour
-
-
p-Menth-8-en-3-ol
andaliman, sour
-
-
2-(4-Methoxyphenyl) ethanol
-
-
green, earthy
Terpin hydrate
-
sweet, sour
-
Methoxycitronellal
green
-
-
N,NDimethyltryptamine
green
-
-
Acetophenone 5-hepten-2-one, 6methyl unknown
Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa aroma yang terdeskripsikan pada ekstrak andaliman yang dimaserasi pada suhu ruang tidak berasal dari komponen volatil dominan yang terdeteksi pada GC-MS (Tabel 2). Komponen volatil yang memiliki relative peak dominan untuk setiap perlakuan adalah geranyl acetate, diikuti dengan limonene dan citronellal. Sementara aroma yang teridentifikasi pada uji olfactory bukan berasal dari komponen volatil yang paling dominan pada GC MS. Aroma yang terdeskripsikan pada andaliman yang dimaserasi pada suhu ruang adalah green, sweet, sour, flowery, dan andaliman-like. Bila membandingkan antara komponen volatil hasil GC MS yang memiliki relative peak area lebih besar dari 1% pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa komponen volatil yang juga terdeskripsikan dengan GC-O adalah 5-hepten-2-one, 6-methyl dengan aroma andaliman dan sour (Tabel 4). Hasil uji olfactory juga menunjukkan bahwa aroma yang terdeskripsikan lebih banyak pada 2 jam pertama maserasi, sedangkan pada 4 jam dan 6 jam maserasi aroma yang terdeskripsikan menjadi lebih sedikit, yang dapat juga diartikan menjadi lebih spesifik. Namun dapat dilihat bahwa waktu maserasi dapat mengubah aroma yang terdeskripsikan pada ekstrak andaliman. Hasil uji olfactory pada ekstrak andaliman hasil maserasi pada suhu 40 °C dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Hasil uji olfactory dengan GC-O pada andaliman basah perlakuan maserasi pada suhu 40 °C Komponen Volatil Perlakuan B2T40 B4T40 B6T40 Acetic acid sour, Sour green unknown (RT 4,92) andaliman, sour Acetophenone flower, sweet 2,3-Butanediol green, sour 2-Ethyl-2flowery, hydroxybutyric acid green unknown sweet, green Butyrolactone andaliman, sour D-limonene Acid β-Linalool green, sweet, sour unknown (RT 23,57) flowery, green Isopulegol green, earthy p-Menth-8-en-3-ol sour, sweet Terpin hydrate sweet, sour Geraniol sweet, green unknown (RT 23,18) green, sweet, spicy spicy Methoxyeugeunol Sour Ethyl cinnamate, sweet, trans flowery
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa andaliman yang dimaserasi pada suhu 40 °C aroma yang terdeskripsikan lebih banyak pada 4 jam maserasi. Namun bila membandingkan antara andaliman basah yang dimaserasi pada suhu ruang dan suhu 40 °C juga tidak dapat menunjukkan adanya korelasi karena dari aroma yang terdeskripsikan dan komponen volatil yang terlibat berbeda satu sama lain. Pada andaliman basah yang dimaserasi pada suhu 40 °C komponen volatil dominan yang terdeteksi pada GC-MS yang juga terdeskripsikan dengan menggunakan GC-O adalah acetic acid. Untuk aroma andaliman yang terdeskripsikan pada jam ke-4 maserasi pada suhu 40 °C berasal dari komponen Butyrolactone. Aroma yang terdeskripsikan dari andaliman yang diekstrak pada suhu 40 °C beberapa berasal dari senyawa yang tidak diketahui yaitu pada waktu retensi 4,92 menghasilkan aroma andaliman dan sour, pada waktu retensi 23,57 menghasilkan aroma flowery dan green pada 4 jam maserasi, serta pada waktu retensi 23,18 menghasilkan aroma green dan spicy pada 4 jam maserasi, dan aroma sweet dan spicy pada 6 jam maserasi. Wijaya et al. (2001) yang melakukan analisis komponen kunci aroma pada andaliman menggunakan metode Aroma Extract Dillution Analysis (AEDA) melaporkan bahwa citronellal merupakan komponen kunci aroma pada
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Citation: Meutia, Y. M., Wardayanie, N. I. A., Rienoviar, Mahardini, T., Wirawan, I. (2015). Pengaruh Suhu dan Waktu Maserasi terhadap Komponen Volatil yang Terlibat pada Ekstraksi Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC). Warta IHP, 32(1),9-15
Halaman | 14
andaliman yang dimaserasi dengan dietil eter dengan memberikan aroma sitrus, kuat dan hangat. Hal ini menunjukkan, perlakuan maserasi yang berbeda (penggunaan pelarut, suhu dan waktu maserasi) dapat menghasilkan aroma yang berbeda yang terdeskripsikan dari sniffing port. Penelitian serupa dilakukan oleh Yang (2008) yang melakukan analisis komponen aroma pada jenis Zanthoxylum lainnya, yaitu Zanthoxylum bungeanum dan Zanthoxylum schinifolium melaporkan bahwa Zanthoxylum bungaeanum terdiri dari linalyl acetate (15%), linalool (13%), dan limonen (12%) sebagai komponen volatil utama, sedangkan Zanthoxylum schinifolium terdiri dari linalool (29%), limonene (14%), dan sabinene (13%) sebagai komponen volatil utamanya. Pada penelitian tersebut terdapat beberapa komponen volatil yang berperan terhadap aroma yang terdeskripsikan pada kedua jenis Zanthoxylum tersebut yaitu linalool, α-terpineol, myrcene, 1,8cineole, limonene, dan geraniol. Chang dan Kim (2008) yang juga melakukan analisis komponen aroma pada Zanthoxylum schinifolium dan Zanthoxylum piperitum AP.DC yang diisolasi dengan metode destilasi vakum menunjukkan bahwa komponen dominan yang teridentifikasi pada Zanthoxylum schinifolium antara lain Phellandrene (22,54%), citronellal (16,48%), dan geranyl acetate (11,39%), sedangkan komponen volatil dominan yang teridentifikasi pada Zanthoxylum piperitum AP.DC antara lain Limonene (18,04%), geranyl acetate (15,33%), dan cryptone (8,52%). Dari dua hasil penelitian tersebut dapat menunjukkan bahwa perbedaan metode ekstraksi pada Zanthoxylum menyebabkan komponen volatil dominan yang terdeteksi pun berbeda. 4. Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah komponen flavor utama yang dihasilkan dari proses ekstraksi andaliman dengan maserasi menggunakan pelarut etanol: etil asetat (1:1) pada suhu ruang didominasi oleh senyawa geranyl acetate meskipun setelah 6 jam maserasi terjadi dominasi D-Limonene menggantikan dominasi geranyl acetate. Maserasi pada suhu 40 °C juga menunjukkan geranyl acetate sebagai komponen volatil dominan pada 2 jam maserasi. Setelah 4 jam maserasi 40 °C, citronellol merupakan komponen volatil dominan, sedangkan setelah 6 jam maserasi 40 °C komponen volatil yang dominan adalah D-Limonene diikuti oleh geranyl acetate. Suhu maserasi dan waktu pada proses maserasi yang berbeda dapat menyebabkan perubahan pada komponen flavor yang dominan pada ekstrak andaliman. Namun komponen flavor yang dominan pada GC-MS tersebut tidak menunjukkan aroma yang terdeskripsikan pada GCO. Aroma yang terdeskripsikan dari sniffing port
pada andaliman yang dimaserasi pada suhu ruang bervariasi dari andaliman-like, green, flowery, sour, dan earthy. Sedangkan pada andaliman yang dimaserasi pada suhu 40 °C adalah aroma flowery, green, sweet, and spicy lebih banyak terdeskripsikan. Hal ini dapat menunjukkan bahwa suhu maserasi dapat mempengaruhi aroma yang terdeskripsikan dengan menggunakan GC-O. Ucapan terima kasih Kami mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Balai Besar Industri Agro (BBIA) yang telah mendukung dan mendanai penelitian ini pada tahun 2014. Ucapan terima kasih juga kami berikan kepada Prof. Hanny Wijaya yang telah memberikan masukan-masukan dalam pelaksanaan penelitian ini. Daftar Pustaka Akyla, C. (2014). Official Effect of Spray Drying Encapsulation Method on Flavor Quality of Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) Powder. Thesis. Food Technology Department, Faculty of Science and Technology. Universitas Pelita Harapan. Chang, Kyung-Mi & Kim Gun-Hee. (2008). Analysis of Aroma Components from Zanthoxylum. Food Science and Biotechnology, 17(3), 669-674. Chyau, C.C., Mau, J.L. & Wu, C.M. (1996). Characteristics of the Stem Distiled Oil and Carbon Dioxide Extract of Zanthoxylum simulans Fruit. Journal of Agriculture and Food Chemistry, 44 (4), 1096 – 1099. Damanik, D.D.P, Surbakti, N. & Hasibuan, R. (2012). Ekstraksi Katekin dari Daun Gambir (Uncaria gambir roxb) Dengan Metode Maserasi. Jurnal Teknik Kimia USU, 3(2), 10 – 14. Kelebek, H., Canbas, A., & Selli, S. (2009). Effects of Different Maceration Times and Pectinolytic Enzyme Addition on the Anthocyanin Composition of Vitis vinifera CV. Kalecik Karasi Wines. Journal of Food Processing and Preservation, 33(3), 296 – 311. Kim et al., J.H., Lee, K.S., Oh, W.T., & Kim, R.R. (1989). Flavour Components of the Peel and Leaf Oil from Ripe Zanthoxylum piperitum DC. fruit. Korean Journal of Food Science and Technology, 21 (4), 562 – 568. Irawan, D. & C.H. Wijaya. (2002). The Potencies of Natural Food Additives as Bioactive Ingredients. Prosiding Kolokium Nasional Teknologi Pangan. Napitupulu, B., Simatupang, S. & Sinaga, M. (2004). Potensi Andaliman sebagai Food Additive Tradisional Etnis Batak Sumatera Utara. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Pangan Tradisional. Nguyen, M.P., Lo, V.N., Nguyen, X.D. dan Leclercq, P.A. (1996). Constituent of the Fruit Peel Oil of Sitrus japonica L. from Vietnam. Journal of Essential Oil Research, 8(4), 415 – 416. Parhusip, A.J.N., Jenie, B.S.L., Rahayu, W.P. & Yasni, S. (2005). Effect of Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC) Extract Upon Permeability and Hidrophobicity of Bacillus cereus. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, 16 (1). Sabri, Emita (2007). Efek Perlakuan Ekstrak Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) pada Tahap Praimplantasi terhadap Fertilitas dan Perkembangan Embrio Mencit (Mus muculus). Jurnal Biologi Sumatera, 2(2), 28 – 32. Siswadi, I. (2001). Mempelajari Aktivitas Anti Mikroba Ekstrak Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium D.C.) Terhadap Mikroba Patogen dan Perusak Makanan. Skripsi
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 9-15 Halaman | 15 Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB Bogor. Tensiska, Wijaya, C.H. & Andarwulan, N. (2003). Aktivitas Antioksidan Ekstrak Buah andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC) dalam Beberapa Sistem Pangan dan Kestabilan Aktivitasnya terhadap Kondisi Suhu dan pH. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Vol. 14(1), 29 – 39. Trillini, B. & Stoppini, A.M. (1994). Volatile Constituents of the Fruit Secretory Glands of Zanthoxylum bungeanum Maxim. Journal of Essential Oil Research, 6(3), 249 – 252. Wijaya, C.H.,. Lioe, H.N, Purnomo, E.H., Widiastuti, B. & Siswadi, I. (1999). Komponen Volatil dan Aktivitas Fisiologis Aktif Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC). Rempah Tradisional Sumatera Utara. Laporan Penelitian Project Grant Perguruan Tinggi. Di dalam Irawan, D. dan C.H. Wijaya. 2002. The Potencies of Natural Food Additives as Bioactive Ingredients. Prosiding Kolokium Nasional Teknologi Pangan.
Wijaya, C.H., Hadiprodjo, I.T. & Apriyantono, A. (2001). Komponen Volatil dan Karakterisasi Komponen Kunci Aroma Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, 12 (2), 117 – 125. Wijaya, C.H., Hadiprodjo I.T., & Apriyantono,A. (2002). Identification of Volatile Compounds of Andaliman Fruit (Zanthoxylum acanthopodium DC). Food Science and Biotechnology, 11 (6), 680 – 683. Yang, Xiaogen. (2008). Aroma Constituents and Alkylamides of Red and Green Huajiao (Zanthoxylum bungeanum and Zanthoxylum schinifolium). Journal of Agriculture and Food Chemistry, 56 (5), 1689 – 1696. Yanti, T.E. Pramudito, Nuriasari, N. & Juliana, K. (2011). Lemon Pepper Fruit Extract (Zanthoxylym acanthopodium DC). Supresses the Expression of Inflamatory Mediators in Lipopolysaccharide – Induced Macrophages In vitro. american Journal of Biochemistry and Biotechnology, 7(4), 190 – 195.
.
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Citation: Sudibyo, A. & Lestari, N. (2015) Kajian Keamanan Pangan Senyawa Ester 3-MCPD dalam Produk Minyak/ Lemak Pangan dan Produk Pangan Lainnya. Warta IHP, 32(1),16-23
Halaman | 16
Kajian Keamanan Pangan Senyawa Ester 3-MCPD dalam Produk Minyak/ Lemak Pangan dan Produk Pangan Lainnya Reviewon Food Safety of 3 – MCPD Esters in Edible Oils/ Fats and in Other Foods Agus Sudibyo dan Nami Lestari Balai Besar Industri Agro (BBIA) Jl. Ir. H. Juanda No. 11, Bogor 16122
[email protected]
Riwayat Naskah: Diterima 05,2015 Direvisi 05, 2015 Disetujui 06, 2015
ABSTRAK: Dalam permintaan produk pangan untuk kesehatan dan keamanan pangan global sekarang ini, konsumen menghendaki dan sedang mencari produk pangan tanpa atau paling sedikit terkena kontaminasi produk. Senyawa ester 2dan 3-monochloropropan-1,2-diol (MCPD) dan ester glisidol diketahui merupakan salah satu komponen kontaminan pada produk hasil olahan minyak makan yang telah banyak digunakan sebagai bahan pangan atau bahan ingredien pangan. Senyawa 3-monochloropropan-1,2-diol atau lebih dikenal dengan 3-MCPD merupakan kontaminan pangan yang diklasifikasikan sebagai bahan yang kemungkinan bersifat karsinogen;oleh karena itu, hanya boleh dikonsumsi dengan dosis/konsentrasi sebesar 2 µg/kg berat badan. Hasil studi terkini menunjukkan adanya senyawa ester 3-MCPD teridentifikasi dalam jumlah cukup tinggi pada produk minyak/lemak pangan, seperti margarin dan minyak goreng serta pangan yang mengandung lemak termasuk produk pangan infant formula dan susu manusia. Senyawa ester-ester lain seperti 2-MCPD dan ester glisidol pun diduga dapat terjadi. Namun, hingga saat ini hanya terdapat sedikit data informasi tentang toksikologi yang dapat diperoleh untuk senyawa ester 3-MCPD pada produk pangan. Tulisan ini akan membahas dan menjelaskan proses terjadinya senyawa 3-MCPD pada produk pangan, faktor-faktor yang memungkinkan menyebakan munculnya pembentukan senyawa ester 3-MCPD pada produk pangan, studi tentang efek beracun senyawa 3-MCPD atau toksikologi dan penentuan senyawa ester 3-MCPD dalam produk pangan. Kata kunci: Kajian, ester 3-MCPD, minyak/lemak pangan, keamanan pangan
ABSTRACT: In today’s global demand for healthy and safe foods, consumers are looking for foods without or with least contaminants. Esters of 2–and 3–monochloro-propane–1.2–diol(MCPD) and glycidol esters are important contaminants of processed edible oils used as foods or food ingredients. 3–mono-chloropropane–1.2–diol (3–MCPD) esters is a food contaminants classified as a possible human carcinogen, so for a tolerable daily intake was established of 2 µ g/kg body weight.Recent studies have identified high levels of 3 – MCPD esters in refined edible fats, such as margarine and oils and in fat containing foods including infant formula and human milk. Other related esters compounds such as 2-MCPD esters and glycidol esters are also expected to occur. Only a little toxicological data are available in 3–MCPD esters. This review describes the occurrence of 3–MCPD esters in food products, possible factors that cause the formation of 3–MCPD esters, toxicological studies and determination of 3–MCPD esters in food products. Keywords: review, 3 – MCPD esters, edible oils, food safety
1. Introduction Food safety has emerged as an important global issue with international trade and health implications. Since food safety hazards can occur at any stage in food chain, it is essential that adequate control measures be put in place to avoid or
minimize food safety hazards (Prati and Mc.Intyre, 2004). In response to the increasing number of foodborne illness, governments all over the world are intensifying their efforts to improve food safety (Sudershan et.al., 2009).
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 16-23 Halaman | 17
Meanwhile, food as a basic need for all people, must be wholesome and safe. Therefore, in today’s global demand for safe foods, consumers are looking for foods without or with least contaminants (Shahrimetal., 2012). Consequently, convenient foods have led to continuous improvements of existing food-processing techniques; all designed to produce safe foods, while maintaining nutritional and sensory qualities. These developments require a more structured approach for the safety evaluation of foods and food ingredients. However, in the production of edible oils and fats from the crude oils; most oils are refined to remove free fatty acids, peroxides and other oxidative compounds which contribute to the aroma of the oils, also resulted in new contaminants, which called esters of 3monochloropropane–1.2–diol (3–MCPD)(Weishaar, 2008). Even, recent studies have identified high levels of 3–MCPD esters in such as margarine and in fat - containing foods including infant formula (both starter and follow-on) and human milk (Larsen, 2009). The 3–Mono-chloro-propane–1.2–diol (3– MCPD) esters was reported has been detected in thermally treated foodstuff such as breadcrumbs and crusts (Dolezalet al., 2009), coffee (Dolezaletal., 2005), baked cereal products (Hamlet and Sadd, 2004), doughnuts and french–fries (Svejkovskaetal., 2004). These esters are part of larger group of chloropropanediols (CPD). Surprisingly, the compound has also been detectedin infant and baby food (Zelinkovaetal., 2009) which triggered further investigation since the compounds is suspected to be a non-genotoxic carcinogen (JECFA, 2002). 3-MPCD has been found to be genotoxic in most in vitro assays, although negative results were obtained in vivo assays (Bakhiya et al., 2011). Evidence of carcinogenic activity in male rats and some evidence of carcinogenicity activity in female rats has been reported (Cho et al., 2008).This concern is justified considering that 3–MCPD has shown nephrotoxic properties as well as having an ability to affect male fertility and induce cancer in experiments with animals. It has been classified as a possible human carcinogen group 2 B (IARC, 2012). For these reasons, this discovery has been considered a priority issue in relation to food safety (Arissetoetal., 2013). Preliminary studies and intake assessment, considering that the levels if 3–MCPD esters found in foods are hydrolized during digestion. This evidence showed that the exposure to free 3–MCPD may exceed the provisional maximum tolerable daily intake (PMTDI) of 2 µg/kg body weight (bw) that currently established for this compound, so it become a potential health risk (B f R, 2007).Experiments recently conducted in rodents have shown that the relative concentration of 3–
MCPD metabolites excreted in urineafter oral administration of equivalent molar doses of 3– MCPD. This indicatethat 3-MCPD ester may be hydrolyzed almost completely as suggested by its high bioavailability oral administration (Abraham et al., 2013).Therefore, for risk assessment purposes, this evidence suggest that the complete hydrolysis of 3–MCPD di-esters should be considered and, thus the determination of the relationship between the concentrations of monoesters and di-esters is highly recommended (Arissetoetal., 2013). The present study was an attempt to review and case study on 3–MCPD esters in edible oils/fats and in other foods as food safety concern.A review on the occurrence of 3 – MCPD esters in food products, possible factors that cause the formation of 3–MCPD esters, toxicological studies and determination of 3–MCPD esters in food products especially in oils/fats will be illustrated. 2. The Occurence of 3-MCPD Esters In Food Products 3–Mono-chloro-propane–1.2–diol (3–MCPD) is well known as food processing contaminant since 1978 (Weishaar, 2008),in various food such as liquid seasoning or bakery goods (Larsen, 2009). 3– MCPD is formed when fat (glycerol or acyl-glycerol) and salt (Chloride ions) – containing foods are processed at high temperature during production (Larsen, 2009). Concentration of free 3 – MCPD in the low μg/kg range are present in many foodstuffs like acid–hydrolized vegetable protein, soy sauces, crackers, bread, toast and other bakery products, malt products and soups (Hamlet etal., 2002). According to the European Union (EU) legislation in 2001 (EC Scientific Committee on Food/SCF) was considered that the tolerable daily intake (TDI) of 3–MCPD is 2 μg/kg body weight for hydrolised vegetable protein (HVP) and soya sauces (SCF, 2001). It was also used by Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additive (JECFA) in 2002 for established a provisional maximum tolerable daily intake for 3–MCPD at 2 μg/kg body weight (JECFA, 2002). Recently, free 3–MCPD has also been detected in foods like bread, toast, noodles and smoked products. Interestingly however, bread and noodles could be important contributors to the total daily intake especially for their strong consumption rather than for their content in 3–MCPD but the same TDI value seems to be applied (Shahrimetal., 2012). Many studies or survey have been carried out on free or bound 3 – MCPD esters in foods until recently, where 3 – MCPD esters are reported have been found in oils and fats. Various papers have documented the presence of free and 3 – MCPD esters in many foods products, such as cereal,
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Citation: Sudibyo, A. & Lestari, N. (2015) Kajian Keamanan Pangan Senyawa Ester 3-MCPD dalam Produk Minyak/ Lemak Pangan dan Produk Pangan Lainnya. Warta IHP, 32(1),16-23
Halaman | 18
roasted coffee, malts, bread, etc (Hamlet and Sadd, 2004; Dolezaletal., 2005; Divinovaetal., 2007). Reported values are between 0.2 and 6.6 mg/kg in most analysedfoodstuffs and the levels of bound 3 – MCPD are generally much higher than the free form. Meanwhile, salami and other meat products also recorded high values of up to 6.4 mg/kg (Reece, 2005; Svejkovskaetal., 2004; Zelinkovaetal., 2006). Further studies showed that in foodstuffs only a small percentage of 3 – MCPD is present as free 3 – MCPD, while the major part is ester – linked with fatty acids (Svejkovskaetal., 2004) especially in vegetable oils (Larsen, 2009). Further investigations have shown that 3 – MCPD is present in food not only in its free form but also in the form of mono – or di–esters with fatty acids; in many foodstuffs most of the 3 – MCPD is actually in ester – linked form (Weishaar, 2011; Crews etal., 2013). High levels of 3 – MCPD esters have been reported in edible refined plant oils and fats, especially palm oil, as well as in other products, such as crisp bread (Svejkovskaetal., 2004; Weishaar, 2011). By the action of lipases, 3– MCPD can be released from the esters invivo (Hamlet andSadd, 2004). Oils and fats are deemed to have a higher potential of forming 3 – MCPD esters upon on high thermal treatments, especially during odorisation where temperatures typically reach 240 ˚C and above (Shahrimetal., 2012).Some oils appear more receptive to the formation of these esters, as was discussed by Weishaar (2011). No 3–MCPD esters, or only traces, were detectable in native and unrefined fats and oils. Deodorisation was clearly identified as the crucial step for 3–MCPD ester formation in the refining process of fats and oils, with almost the total quantity of 3–MCPD esters being formed at the last step of the process (Larsen, 2009). Weishaar (2011) classified refined vegetable oils and fats into three groups according to the levels of 3–MCPD found to be ester – bound, i.e.: (1) Low levels (0.5 – 1.5 mg/kg): rapeseed, soybean, coconut, sunflower oil; (2) Medium level (1.5 – 4 mg/kg): safflower, groundnut, corn, olive, cotton seed, rice bran oil; and (3) High levels (> 4 mg/kg): hydrogenated fats, palm oil and palm oil fractions, solid frying fats. Weishaaralso mentioned that levels of 0.5 – 10.5 mg/kg fat (median: 2.3 mg/kg) have been found in margarine; < 0.1 – 16.9 mg/kg fat (median: 1.5 mg/kg) in the fillings and toppings of cookies, crackers and bars; 2.3 – 10.3 mg/kg fat (median: 4.9 mg/kg) in sweet spreads (hazelnut nougat spreads) and 0.5 – 8.5 mg/kg fat (median: 2.5. mg/kg) in infant formula (powder). It was reported also by Weishaar (2011) that the highest concentrations of 3–MCPD esters (up to 2.7 mg/kg) were found in unused frying fats. In used frying fat, 3–MCPD levels decreased with increasing time of
use. During the deep frying process nearly 240 ˚C no additional 3 –MCPD is formed. Therefore, the levels of 3 – MCPD esters in French fries and other frieds foodstuffs only depends on its concentration in the used frying fat. Although there is a lack of data about 3–MCPD esters for many foodstuffs, it is obvious that thermally processed foods and refined fat and oils (as such or as a component of other foodstuffs) are the most significant sources of 3 – MCPD esters for consumers I particular, refined palm oil in different kinds of foodstuffs is responsible for a significant part of the exposure (Weishaar, 2011). Even so, although palm oils have shown higher values in comparison to other refined vegetable oils, the history and source of oils have to be checked against the methodology used (Shahrimetal., 2012).Raznimetal. (2012) provided details of 3– MCPD esters in refined palm oil, olein and stearin where using the B f R (Bundesinstitutfur Risikobewertung) 008 indirect method used. The highest recorded value was 5.7 mg/kg. Currently, the palm oil industry in Malaysia is taking measures to reduce the formation of 3 – MCPD esters based on research knowledge gained in recent years. The risk of exposure to 3 – MCPD esters has not been fully evaluated as potentially all vegetable oils in the presence of chlorides which are subjected to thermal treatments as in cooking, roasting, baking and frying, will have the probability of forming these components (Shahrimetal., 2012). 3. Possible Factors That Cause The Formation of 3-MCPD Esters The presence of esters in refined oil was first published by Gardner etal. (1983), who detected high amounts of the compound in adulterated Spanish rapeseed oil. Since then several authors have reported the presence of the compound in other types of refined vegetable oils (Zelinkovaetal., 2006; Seefelderetal., 2008; Hrncirik, 2009; Weishaar, 2009). The level of 3–MCPD esters is either not detected or only present in trace amounts in crude or virgin oils, but the level is higher in refined oil (0.5 to 6.0 mg/kg) (Hoenicke, 2009). The factors, which influence the formation of 3– MCPD esters are: the level of chloride, level of acylglycerols (tri, di – and mono-acyl-glycerols), pH, temperature and time. Heat has been identifiedas the major cause (Pudeletal., 2011; Zelinkova, 2006), whilst mono-acyl glycerol, di-acyl-glycerol and chloride are thought to be direct precursors for the formation of 3–MCPD esters (Larsen, 2009; Frankeetal., 2009). Zelinkovaetal. (2006) reported that heat treatment of oilseed during refining could influence the formation of 3 – MCPD.
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 16-23 Halaman | 19
The formation of 3–MCPD esters could only be effected in the presence of chlorides in any food matrix; presence of lipids and at high thermal processing conditions. In oils and fats, these components and factors are clearly available, although chlorides may not have been so evident until now. As for palm oil being more susceptible to the formation of chloro-propane–diol-esters, the reason has not been clearly elucidated, although it could be due to higher levels of di-acyl-glycerols (DAG) compare to other oils (Hamlet etal., 2011). The mechanism for the formation of 3–MCPD esters, outlined by Svejkovskaetal. (2006), shows that all lipids can undergo to nucleolipic substitution of the acyl group by chloride anion, thus forming chloro-propane–diol-esters. Cyclic acyl-oxomium intermediates may be formed in the process. In the presence of Lewis acids or under acidic conditions, cyclic acyl oxomium ions may be fromtri-acyl glycerol (TAG) and di-acyl glycerol (DAG) during refining. Although 3–MCPD esters are prevalent, 2–MCPD esters can also be expected. Hamlet etal. (2011) and Rahnetal. (2011) have elaborated comprehensively on the possible mechanism of the process. Hrncirik (2009) has also tried to show the effect of Free Fatty Acids (FFA) and DAG on the formation of 3–MCPD esters. In this case, enzymatic hydrolysis was applied to increase the FFA and DAG contents in the oil samples. Despite the increase in the FFA and DAG content, there was slight drop in 3–MCPD esters content as observed in sample P2. Hrncirik (2009) concluded that DAG and FFA may play a role in the formation of the compound, but the results were inconclusive due to the poor correlation between the two factors (FFA and DAG) and 3–MCPD esters. A clear link between the precursor (DAG) could not be established by Stadler (2009) too. In a later study by Hrncirik and Ermacora(2010), the authors concluded that partial acyl-glycerols seem to be involved in the formation of 3–MCPD esters, but they are not the critical factors determiningthe final levels. Actually, the temperature of refining, particularly that of deodorization has been suggested as the factors causing the formation of 3– MCPD esters in oils and fats (Franke, 2009; Hrncirik, 2009; Hrncirik and Van Duijin, 2011).Further studies by Ramlietal. (2011) have established that acid degumming and acid activated clays, especially of low pH can contributed to the formation of the esters. They concluded that besides the high deodorization temperature, the acidityof bleaching clays and the dosage of phosphoric acid are also contributing factors of the formation 3–MCPD esters.
4. Toxicology Studies Toxicological animal studies have shown that the main target organ for 3 – MCPD toxicity is the kidney, with chronic oral exposure resulting in nepropathy and tubular hyperplasia and adenomas (as a reviewed by the joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives, JECFA (JECFA, 2002; in particular, Sunaharaetal., 1993). 3–MCPD itself is an animal carcinogen producing tumours at various sites in male F344 rats (mammary tissue, testes and preputial gland) and renal tubular adenomas and carcinoma in both sexes of F344 rats (Sunaharaetal., 1993; Lynch, 1998). 3–MCPD has also been shown to reduce infertility in rats and suppression of the immune function (Leeetal., 2004; Lee etal., 2005). Evidence of carcinogenic activity in male rats and some evidence of carcinogenicity activity in female rats has been reported (Choetal., 2008). However, in a 2008 statement from the European Food Safety Authority Panel in Contaminants in Food Chain (EFSA CONTAM) concluded that: there was no comprehensive toxicological and bioavailability data on 3–MCPD esters available. Nevertheles, the German Federal for Risk Assessment (B f R) based its recent risk assessment on toxicological data on free 3 – MCPD; under the assumption that 100 % of 3 – MCPD are release from the esters. Subsequently, Seefelder and co-workers in 2007, using the intestinal model lipase studies have shown that the release of 3 – MCPD from 3 – MCPD esterswas much shown than from the monoester. Furthermore, it was found that in vegetable oils, only 15 % of 3 – MCPD are in mono-ester forms, while the majority are di-esters. Recently, a 90-days rat study was carried out by the University of Parma (Italy) in response to the European Food Safety Authority (EFSA) call, to evaluate the toxicological profile of 3 – chloropropane – 1.2 – diol (3 – MCPD) esters (mono – and di-ester) compared to that of free (or unesterified) 3–MCPD. This study aimed to compare the toxicity of 3 – MCPD di-palmitate and free 3–MCPD, performed on male and female rats (Barocellietal., 2011). Considering that only a small part (< 15 %) of the 3–MCPD bound in esters is in fact bound in monoesters (Seefelderetal., 2008), the studies were performed using only di-esters form. Palmitic-acid and fatty acid was proposed due to the fact that highest levels of 3 – MCPD were found in palm oil and is the most commonly used di-estertostudy the formation and the composition of 3 – MCPD esters in vitro. This report covers the whole 90 – days study with either 3–MCPD (respectively 29.5, 7.57, and 1.84 mg/kg of body weight per day) or 3 – MCPD di-palmitate (respectively 156.75, 30.9 and 9.78 mg/kg per day). In male rats, Bench Mark Dose (BMD)10 for severe renal and testicular damage
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Citation: Sudibyo, A. & Lestari, N. (2015) Kajian Keamanan Pangan Senyawa Ester 3-MCPD dalam Produk Minyak/ Lemak Pangan dan Produk Pangan Lainnya. Warta IHP, 32(1),16-23
Halaman | 20
induced by 3 – MCPD di-palmitate were 41 and 64.4 mg/kg per day, respectively. The corresponding BMD10 were 17.4 and 44.3 mg/kg per day. The values for damage induced by the free 3 – MCPD were much lower, indicating a higher toxicity level. Research carried out by the MPOB (Malaysian Palm Oil Board) on 3–MCPD esters in palm oil by looking at all stages of the refining process to identify the cause of its formation and conducting collaborative toxicological studies with other research institutions was reported by Shahrimetal. (2012). An acute oral toxicity study was conducted on the effect of 3 – MCPD palmitate – oliate using animal model. This study was undertaker to assess the health hazard potential of 3–MCPD esters by determining adverse effects following an oral administration in rats. In the study, a single dose of acute oral toxicity was performed using Sprague Dowley rats by oral gastric intubation. It was demonstrated that there were no ill effects nor did any death occurred in any of the groups of male and female rats fed with the 3–MCPD palmitate – oliate at 50, 200 and 400 mg/kg of body weight. The 3–MCPD esters which is known to be the most abundant 3 – MCPD esters found in palm oil, show no pattern and unlikely toxicity at every does tested in terms of body weight changes and pathology (Shahrimetal., 2012). However, the International Agency for Research on Cancer (IARC) has classified 3–MCPD as a “possible human carcinogen (group 2 B)” (IARC, 2012).Do to its mutagenic potential practice in the United Kingdom (UK) had previously been to reduce exposure to 3–MCPD to as low a level as practicable (Robjohnsetal., 2003). 5. Determination of 3 – MCPD Esters In Food Products Especially in Oils/Fats The proposed analytical approaches for determining 3–MCPD esters involved both indirect analysis – in which the total concentration of the compounds is measured as free 3 – MCPD obtained after a hydrolysis/methanolysisprocedure; and direct analysis, in which the different spesies of 3– MCPD esters are identified individually.Indirect methods have shown good application for routine tests due to the high sensitivity and the need of a reduced number of analytical standards (Arissetoetal., 2013). These methods are based on indirect determination of bound 3 – MCPD via trans–esterification in acid (B f R Method 008) or in alkali (B f R Method 009 and 010) (DGF, 2009; Weishaar, 2008). The principle of the indirect method involves the conversion of the esters of free 3–MCPD, and then the 3 – MCPD is quantified using Gas Chromatography – Mass Selective Detector (GCMSD).
The analytical protocol of these methods comprises a uniform series of steps: addition of an internal standard (either free or esterified form of isotopically labeled 3 – MCPD) to the sample: transesterification (commonly performed either in acid or alkaline medium), neutralization of the reaction mixture and salting out (using different neutralizing reagents and salts), derivatisation of the cleaved 3– MCPD/2–MCPD and GC-MS analysis (Crew etal., 2012). Crew etal. (2012) has also reported that there has been enormous progress in the development of indirect methods for the determination of MCPD esters in the last decade, and in particular in last four years. Advances in the methodology have led to the improvement of the performance (e.g. sensitivity) of methods used and to better understanding of the limitations of these methods. Substantial effort on the development of methods based on different principles, and their further modifications, has resulted in a large number of different method differ in their scope and their performance is a cause of concerns. It would be highly desirable to harmonize current analytical methodology for MCPD and glycidyl esters and to identify those methods that meet certain performance criteria. Such harmonization will not improve the quality of the results, but also simplify their communication. To achieve this objective, it is seems inevitable that selected methods will be validated within international collaborative studies and ultimately adopted as official methods. Table 1. shows the method of classification of two indirect methods: (a) acidic transesterification, and (b) alkaline trans-esterification. Generally, only two reagents are used for derivatisation, which are phenyl-bromic acid (PBA) and hepta – fluoro – butyrili-midazole (HFBI). The salting out reagents is either sodium chloride (NaCl) or sodium sulphate (Na2SO4) (Razaketal., 2012). Table 1 Method classification for indirect methods (*) TransesteriAcidic Alkaline ficatin Derivatisation PBA HFBI PBA HFBI Salting out NaCl/ NaCl Na2SO4 Na2SO4 Na2SO4 Methods
BfR 82.FC. 008
-
DGF C III. 18 (09)
BfR 82.FC. (009)
BfR 82.FC. (010)
(*) Source : Razak et al., (2012).
The direct quantification of 3–MCPD esters has also been developed using Liquid Chromatography – Time of Fight/Mass Spectrometry (LC-TOF/MS) (Haines etal., 2011). The direct method involves quantification based on the direct determination of
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 16-23 Halaman | 21
individual esters. Direct methods were initially based on GC-MS analysis of fraction isolated by Thin Layer Chromatography (Reece, 2005; Zelinkovaetal., 2007), but the used of liquid chromatography–mass spectrometry (LC-MS) has proved more popular and convenient. Procedures have ranged from direct injection of oils solutions to the incorporation of solid – solid phase extraction clean-up. Glycidyl esters and MCPD esters can be determined simultaneously (Haines etal., 2011). For the independent determination of glycidyl esters, LC-MS is the method of choice, typically with gel permeation chromatography clean-up (Dubois etal., 2011; GranVogl and Schieberle, 2011b). Ultra High Performance Liquid Chromatography (UHPLC) with high resolution time of flight mass spectrometry (UHPLC – TOF MS) analysis with the internal standardization with one isotope – labeled glycidyl ester and two isotope–labeled 3–MCPD esters was performed by Hori etal. (2012) for simultaneous determination of five glycidyl esters, three 3–MCPD mono-esters and six 3–MCPD diesters in edible oils.Their sample preparation encompassed liquid-liquid portioning of the edible oil in n-hexane and acetonitrile, and subsequent solid-phase extraction on silica and C18 cartridges. In contrast to the method described above, the two cartridges were used in parallel. The n-hexane phase was loaded onto the silica cartridges, whereas the acetonitrile phase was applied to the C18 cartridges. The collected eluents were combined, evaporated and reconstituted in acetonitrile prior to the measurement (Crew etal., 2012). A rapid method for the determination of the ratio of 3–MCPD mono-esters and di-esters in fats and oils using GC-MS and isotopically labeled 3– MCPD as internal standard has developed by Seefelderetal. (2008). They demonstrated that 3 – MCPD mono-esters and di-esters have been accepted by intestinal lipase as substrates in vivo using simple intestinal model. The paper also reported that 3–MCPD esters in human is unlikely to be completely hydrolisedinto 3–MCPD, as triglycerides and phospholipids are hydrolised in the intestine liberating 2 – mono-glycerides. From their study, it was found that a maximum of about 15 % of the total amount of 3–MCPD bound in esters is present in the mono-esterified form. In addition, it was also found that the release of 3– MCPD from 3–MCPD di-esters is slower then monoesters, therefore suggesting that 3 – MCPD esters may contribute only marginally to the overall dietary exposure to 3–MCPD. Reports in literature on the direct determination of 3–MCPD esters are very limited. This might be attributable to the lack of suitable commercial reference materials in the early days of the topic.
Laboratories active in this field were until recently obliged to synthesize reference material themselves. Details of the synthesis of glycidyl esters and/or MCPD esters can be taken from general publication (Masukawaetal., 2011). However the commercial supply of reference materials has recently improved significantly. A broad range of both native and stable isotope – labeled glycidyl and MCPD esters is available from different suppliers. A non–exhaustive list of suppliers comprises (in alphabetical order) Chiron AS (Trondheim, Norway), Toronto Research Chemicals (Toronto, Canada) and Wako Pure Chemical Industries, Ltd. (Osaka, Japan) (Crew etal., 2012). Dubois (2011) recently presented the development of two direct analytical methods, the first targeting the direct analysis of intact MCPD mono-esters and the second one targeting direct analysis of MCPD di-esters. MCPD mono- and diesters were isolated via double SPE/Solid Phase Extraction (C18 and silica) or silica gel columns respectively, and analysed by LC-TQFMS. Standard addition quantification was used, with labeled internal standards. The methods was compared with an indirect analytical method for 3– and 2– MCPD esters, which was based on the acid catalyzedtrans-esterification of the MCPD esters (Divinovaetal., 2004). Table 2 shows a list of direct methods reported by various organization/research institutes. A comparison of the indirect and direct method of analysis is described by Razaketal. (2012) and is shown in Table 3. Table 2 Direct methods (*) Method of Analysis LC-TOF/MS
LC-TOF/MS or LC-Q/TQF
LC-MS/MS
LC-MS/MS with stable isotope dilution analysis (*) Source: Razak etal. (2012).
Reference Collison and Haines (AOCS Meeting, 2010) Haines etal. (2010) Mathew (AOCS Meeting, 2011) Pinkston and Stoffolana (AOCS Meeting, 2011) McMahon etal. (AOCS Meeting, 2011) Granvogl and Schieberle (AOCS Meeting, 2011).
6. Conclusion 3–MCPD esters have been found in all refined vegetable oils. 3–MCPD esters are now also widespread in thermally processed foods like French fries, toasted bread, bread crust, donuts, salty crackers, roasted coffee, roasted barley, roasted dark malt and coffee creamer, and fermented foods.
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Citation: Sudibyo, A. & Lestari, N. (2015) Kajian Keamanan Pangan Senyawa Ester 3-MCPD dalam Produk Minyak/ Lemak Pangan dan Produk Pangan Lainnya. Warta IHP, 32(1),16-23
Halaman | 22 Table 3 Summary of methods of analysis (*) Indirect Method Sample to perform
High uncertainly (results are dependent on sample composition Number of methods available
Direct Method Several methods presented (other under development) Provides a full profile, but it is difficult for routine analysis Substancial challenges (standards, instrumentation, sensitivity)
Suitable for routine analysis (total bound 3– MCPD) Good sensitivity Trueness is questionable (*) Source: Razak etal. (2012).
The formation of 3–MCPD esters in oils and fats is a complex integration of multiple factors ranging, i.e. from chlorine donors, levels of free fatty acids, di-acyl-glycerides, acidic conditions of refining and high temperature of deodorization. The indirect methods of analysis avoid the preparation of a series standards; the methods are also sensitive and easy to perform. Quantification is based only on the total content of 3–MCPD (free and bound form). On the other hand, the direct method offers as full profile quantification of the esters, but remains difficult for routine analysis. Based on the observation and data generated and the findings suggest that this 3–MCPD di-ester tested was consider non-toxic. Nevertheless, other less known information regarding overall exposure to different foodstuffs, food preparation methods, bioavailability, metabolism, are in fact warranted before all dietary exposure can be fully determined. Reference Abraham, K., Appel, K. E., Berger-Preiss, E., Apel, E., Gerling, S., Mielke, H., Lampen, A. (2013). Relative oral bioavailability of 3-MCPD from 3-MCPD fatty acid esters in rats. Archives of Toxicology, 87(4), 649–59. doi:10.1007/s00204-0120970-8. Arisseto, AP. Marcolino, P.F.C. Vicente E. & Ozawa, K.S. (2013). Determination of 3 – MCPD di-esters and mono-esters in vegetable oils and fats: Application Note in Food. Aqilent Technologies, Inc. and Instituto de Technologies de Alimentos, Campinas – SP., Brazil. B f R [Bundesinstitute fur Risikobewertung]. (2007). Infant formula and follow-up formula may contain harmful 3 – MCPD fatty acid esters.” B f R Opinion No. 047/2007; 11 December 2007. http://www.bfr.bund.de/cm/349/infantformula.and.../pd f. [Diaksestanggal 14 November 2013]. Bakhiya, N., Abraham, K., Guertler, R., Appel, K.E & Lampen, A. (2011). Toxicological assessment of 3-chloropropane-1,2diol and glycidol fatty acid esters in food. Molecular Nutrition and Food Research, 55, 509 – 521. Barocelli, E., Corradi, A., Mutti, A., & Petromini, P.G. (2011). “Scientific Report of EFSA: Comparison between 3 – MCPD and its palmitic esters in a 90-days toxicological study.”Scientific Report CFP/EFSA/CONTAM/2009/01. Available on line : http
://www.efsa.europa.eu/en/supproting/pub/187e.htm. (Diakses tanggal 19 November 2013). Cho, W.S., Han, B.S., Nam, K.T., Park, K., Choi, M., Kim, S.H., Jeong, J. & Jang, DD. (2008). Carcinogenecity study of 3 – monochloropropane – 1.2 – diol in Sprague_Dowley rats. Food and Toxicology, 46, 3172 – 3177. Crews, C., Choidini, A., Granvogl, M., Hamlet, C., Hrncirik, K., Kuhlmann, J., Lampen, A., Scholz, G., Weishaar, R., Wnzl, T., Jasti, P.R. & Seefelder, W. (2012). Analytical approaches for MCPD esters and glycidyl esters in food and biological samples: A review and future perspectives. Food Additives and Contaminants, Part A: 1 – 35. DGF [Deutsche Gessellschaff fur Fettwissenschaft]. (2009). DGF Standard Method C-III 18 b: Determination of ester – bound 3 – chloropropane – 1.2 – diol (3 – MCPD esters) and 3 – MCPD forming substance in fats and oils by means of GC-MS. DeutsxheEinheitsmethodenzuruntersuchung Von Fetten; Fettprodukten, tensiden und vermandten stiffen, Verlagsgeselischaft, Stuttgart – Germany. Divinova, V., Dolezal, M. & Velisek, J. (2007). Free and bound 3 – mono-chloro-propane – 1.2 – diol in coffee surrogates and malts. Czech Journal Food Science, 25, 39 – 47. Dolezal, M., Chaloupska, M., Divinova, V., Svejkovska, B. & Velisek, J. (2005). Occurrence of 3 – Monochloropropane – 1.2 – diol and its esters in coffee. Journal European Food Research & Technology. 221, 221 – 225. Dolezal, M., Kertisova, J., Zelinkova, Z. & Velisek, J. (2009). Analysis of Bread Lipids for 3 – MCPD esters. Czech. Journal Food Science, 27. Dolezal, M., Chaloupska, M., Divinova, V., Svejkovska, B. & Velisek, J. (2005). Occurrence of 3 – MCPD (3 – Monochloropropane – 1.2 – diol) and its esters in coffee. Journal European Food Research. & Technology, 221, 221 – 225. Dubois, M., Tarres, A., Goldmann, T., Loeffelmann, G., Donaubauer, A. & Seefelder, W. (2011). Determination of seven glycidyl esters in edible oils by gel permeation chromatography extraction and liquid chromatography coupled to mass spectrometry detection. Journal Agriculture Food Chemistry, 59 (33), 12291 – 12301. Franke, K., Strijowski, U., Fleck, G. & Pudel, F. (2009). Influence of chemical refining process and oil type on bound 3 – chloro – 1.2 – propane – diol contents in palm oil and rapeseed oil. LWT Food Science and Technology, 42, 1751 – 1754. Gardner, A.M., Yurawecz, M.P., Cunningham, W.C. & Diachenko, G.W. (1983). Isolation and identification of C-16 and C-18 fatty acid esters of chloropropanediols in adulterated Spanish cooking oils. Bulletin Environment Contamination Toxicology, 31, 625 – 630. Granvogl, M. & Schieberle, P. (2011 b). Development of direct quantification method of glycidyl esters in edible fats and oils via stable isotope dilution analysis. Paper presented at the final conference of the FEI project, 21 Nop.’ 2011. Berlin – Germany. Available from: http://www.bll.de/themen/kontaminanten/aleschlussver antaltung-3MCPD. Haines, T.D., Adlof, K.J., Pierceall, R.M., Lee, I., Venkitasubramaniam, P. & Collison, M.W. (2011). Direct determination of MCPD fatty acid esters and glycidyl fatty acid esters in vegetable oils by LC – TOFMS. Journal of American Oil Chemists Society, 88, 1 – 14. Hamlet, C.G., Sadd, P.A., Crest, C., Velisek, J. & Baxter, D.E. (2002). Occurrence of 3 – Monochloropropane – 1.2 – diol (3 – MCPD) and related compounds in foods: A Review. Food Additives and Contaminants, 13, 619 – 631. Hamlet, C.G. & Sadd, P.A. (2004). Chloropropanols and their esters in baked cereal products. Czech Journal Food Science, 22 (2), 259 – 262. Hamlet, G.C., Asuncion, L., Velisek, J., Dolezal, M., Zelinkova, Z. & Crews, C. (2011). Formation and occurrence of esters of 3 – chloropropane – 1.2 – diol (3 – CPD) in foods: what we know and what we assume. European Journal Lipid Science and Technology, 113, 279 – 303.
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 16-23 Halaman | 23 Hoeniche, K. (2009). 3 – MCPD ester in oils and fats. 100th AOCS Meeting, 6th May 2009. AOCS, Orlando – USA. Hori, K., Koriyama, N., Omori, H., Koriyama, M., Arishima, T. & Tsumura, K. (2012). Simultaneous determination of 3 – MCPD fatty acid esters and glycidol fatty acid esters in edible oils using liquid chromatography time-of-flight mass spectrometry. LWT Food Science Technololgy, 48 (2), 204 – 208. Hrncirik, K. (2009). Investigation of the mechanism of the formation of 3 – MCPD ester during oil refining.7th European Fed Lipid Congress, 18 – 21 Oct. 2009. Graz – Austria. Hrncirik, K. & Ermacora, A. (2010). Formation of 3 – MCPD esters in vegetable oils: Effect of partial acylglycerols. 8th Euro Fed.Lipid Congress. 21 – 24 November 2010. Munich – Germany. Hrncirik, K. & Van Dujin, G. (2011). An initial study on the formation of 3 – MCPD esters during refining. European Journal. Lipid Science and Technology, 113, 374 – 379. IARC [International Agency for Research on Cancer]. (2012). Monographs. Vol. 101, 101 – 110. JECFA [Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives]. (2002). 3 – Mono-chloro-propane – 1.2 – diol, In: Food Safety Evaluation of certain food additives and contaminants” Prepared by 57th meeting of the Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives. WHO Food Additives Series 48.http://www.inchem.org./documents/jecfa/jacmono/v. 48.je18.htm. [Diaksestanggal 13 Des’ 2013]. Larsen, J.C. (2009). 3 – MCPD Esters in Food Products: Summary Report of a Workshop held in February, 2009 in Brussels – Belgium. Org. by the ILSI Europe Process – Related Compounds and Natural Toxins task force and Risk assessment of chemical in food task force in association with the European Commission (EC) and the European Food Safety Authority (EFSA). ILSI Europe, Brussels – Belgium. Lynch, B.S., Bryant, DW., Hook, GJ., Nestman, ER. & Murro, I.C. (1998). Carcinogenecity on monochloro – 1.2 – propane – diol (alpha chlorohydrins, 3 – MCPD). International Journal Toxicology, 17: 47 – 76. Masukawa, Y., Shiro, H., Kondo, N. & Kudo, N. (2011).Generalized method to quantify glycidol fatty acid esters in edible oils. Journal of the American Oil Chemists Society, 88, 15 – 21. Prati, R. & Mc.Intyre, A. (2004). The new iso 22000 norm on food safety management. Ingredienti Alimentori (Chirriotti Editori) 3, 19 -21. Pudel, F., Benecke, P., Fehling, P., Freudenstein, A., Matthaus, B. & Schwaft, A. (2011). On the necessity of edible oil refining and possible sources of 3 – MCPD and glycidyl esters. European Journal Lipid Science Technology, 113, 368 – 373. Ramli, M.R., Siew, WL., Ibrahim, N.A., Hussein, R., Kuntom, A., Razak, R.A.A. & Nesaretnam, K. (2011). Effect of degumming and bleaching on 3 – MCPD esters formation during physical refining. Journal of the American Oil Chemists' Society, 88, 1839 – 1844. Razak, R.A.A., Kuntom, A. & Husein, R. (2012). Analytical Methods for the determination of 3 – MCPD esters in Oils/Fats. Palm Oil Development, 57(12), 11 – 20. Raznim, A.A.R., Kantom, A., Siew, W.L., Nuzul, A.I., Ramli, M., Hussein, R. & Nesaretnam, K. (2012). Detection and
monitoring of 3 – MCPD esters in cooking oils. Food Control, 25, 355 – 360. Rhan, A.K.K & Yaylayan, V.A. (2011). Do what dowe know about the molecular mechanism of 3 – MCPD ester formation. European Journal of Lipid Science and Technology, 113,323 – 329. Robjohns, S., Marshall, R., Fellows, M. & Kowalczyk, G. (2003). In vivo genotoxicity studies with 3 – monochloro – propane – 1.2 – diol.”Mutagenesis Vol. 18. No. 5: p. 401 – 405. Reece, P. (2005). The origin and formation of 3 – MCPD in foods and food ingredients.” http:// www.foodase.org.uk/admintools/reportdocument/4384_final_report.pdf.[Diaksestanggal 10 Sept.’ 2013]. SCF [Scientific Committee in Food].(2001). Opinion on 3–MCPD.” http://www.ec.europa.eu/food/efs/sc/scf/out91en.pdf.European Commission Scientific Committee on Food. Brussels – Belgium. [Diaksestanggal 23 Nop’ 2013]. Seefelder, W., Varga, N., Studer, A., Williamson, G., Scanlan, F.P. & Stadler, R.H. (2008). Esters of 3 – chloro – 1.2 – propane diol (3 – MCPD) in vegetable oils: Significance in the formation of 3 – MCPD. Food Additives and Contaminants, 25, 391 – 400. Stadler, R H. (2009). Food Processing Contaminants – Progress and Challenges in Mitigation Strategies; Food Research in Support to Science – based Regulations: Challenges for Producers and Consumers. 21 – 22 April 2009. Prague Congress Centre.Czech Republic. Shahrim, Z., Tee, V.P., Lin, S.W & Nesaretnam, K (2012). 3 – Monochloropropane – 1.2 – diol (3 – MCPD) Esters in Edible Oils and other Foods: Is there a need for concern? Palm Oil Development, 57(120, 14 – 17. Sudershan, R.V., Rao, P., & Polasa, K. (2009). Food Safety Research in India: A Review. Asian Journal Food Agriculture, 2 (03), 412 – 433. Sunahara, G., Persin, I. & Marchesini, M. (1993). Carcinogenicity study on 3 – MCPD administered in drinking water to Fisher 344 rats. Unpublished report No. RE SR 93003 submitted to WHO byNesteg Ltd; Research and Development Switzerland (Cited in JECFA 2002). Svejkovska, B., Novotny, O., Divinova, V., Reblova, Z., Dolezal, M. & Velisek, J. (2004). Esters of 3 – MCPD (3 – Monochloropropane – 1.2 – diols) in Foodstuffs. Czech Journal Food Science, 22 (5), 190 – 198. Svejkovska, B., Dolezal, M. & Velisek, J. (2006). Formation and decomposition of 3 – chloropropane – 1.2 – diol esters in models simulating processed foods. Czech Journal Food Science, 24 (4), 172 – 179. Weishaar, R. (2008). 3 – MCPD – esters in edible fats and oils – A new and world wide problems (Editorial). European Journal Lipid Science Technololgy, 110, 671 – 672. Weishaar, R. (2009). Fatty acid esters of 3 – MCPD: Overview of occurrence in different types of foods. ILSI Europe Workshop.5 – 6 Feb.’ 2009. Brussels – Belgium. Weishaar, R. (2011). Fatty acid ester of 3 – MCPD: Overview of occurrence and exposure estimates. European Journal Lipid Science and Technology, 113, 304 – 306. Zelinkova, Z., Svejkovska, B., Velisek, J. & Dolezal, M. (2006). Fatty acid esters of 3 – MCPD in edible oils. Food Additives and Contaminants, 23, 1290 – 1298. Zelinkova, Z., Dolezal, M. & Velisek, J. (2009). Occurrence of 3 – Monochloropropane – 1.2 – diol fatty acid esters in infant and baby foods. European Journal Food Research & Technololgy, 208, 571 – 578.
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Citation: Hasibuan, H. A. & Magindrin. (2015) Pengembangan Proses Pengolahan Shortening Berbahan Minyak Sawit pada Skala Industri Kecil Kapasitas 50 kg/Batch.Warta IHP, 32(1),24-32
Halaman | 24
Pengembangan Proses Pengolahan Shortening Berbahan Minyak Sawit pada Skala Industri Kecil Kapasitas 50 kg/Batch Development of Production Process of Palm Oil based Shortening in Small-Scale Industry with Capacity of 50 kg/Batch Hasrul Abdi Hasibuan dan Magindrin Kelompok Peneliti. Pengolahan Hasil dan Mutu, Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Jl. Brigjend Katamso No.51, Medan, Telp: 061 7862477
[email protected]
Riwayat Naskah: Diterima 06, 2015 Direvisi 06, 2015 Disetujui 07, 2015
ABSTRAK: Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan proses pembuatan shortening frying, creaming, baking dan butter oil substitute pada skala industri kecil dengan kapasitas 50 kg/batch. Kondisi proses yang dioptimasi adalah suhu dan waktu pendinginan di dalam reaktor dengan tiga kondisi yaitu 5±2, 12±2, 20±2 °C selama waktu proses 0, 30, 60, 90, 120 menit. Shortening yang dihasilkan pada setiap kondisi dianalisa kadar air, bentuk dan warna serta mutu produk selama penyimpanan 5 minggu meliputi kestabilan emulsi, bentuk dan tekstur. Produk shortening yang dihasilkan dengan ketiga kondisi suhu dan waktu proses hingga 120 menit mengandung kadar air yang memadai (< 0,1%). Pada suhu media pendingin 5±2 °C dan 12±2 °C dengan waktu proses lebih dari 45 menit menghasilkan shortening berbentuk cream dan berwarna pucat hingga putih. Selama penyimpanan, produk berbentuk cream terpisah menjadi dua lapisan yaitu cream dan minyak (oily) kecuali shortening untuk creaming. Kondisi optimum dalam pembentukan tekstur yang baik untuk keempat jenis shortening diperoleh pada suhu media pendingin 5±2 °C atau 12±2 °C selama 30 menit. Pada kondisi tersebut diperoleh produk yang memiliki bentuk semi padat atau padat dengan tekstur lunak atau keras yang relatif stabil selama penyimpanan 5 minggu. Kata kunci: shortening, minyak sawit, tekstur, optimasi kondisi proses, reaktor texturing
ABSTRACT: This research was conducted to develop the manufacturing process of frying, creaming, baking and butter oil substitute shortenings on a small scale industry with a capacity of 50 kg/batch. The process conditions optimized were temperature and time of cooling in the reactor with three conditions, namely 5±2, 12±2, 20±2 °C during the processing time of 0, 30, 60, 90, 120 minutes. Shortening that generated in each condition were analyzed the water content, form and color as well as the quality of the product during storage of 5 weeks include emulsion stability, shape and texture. Shortening products were produced by the three conditions of temperature and processing time up to 120 minutes contained adequate moisture content (<0.1%). At the temperature of the cooling medium 5±2 °C and 12±2 °C with a processing time of more than 45 minutes resulted in shortening shaped and pale cream to white. During storage, the products shaped cream were separated into two layers of cream and oil (oily) except for creaming shortening. The optimum conditions in the formation of a good texture for the four types of shortening the cooling medium were obtained at temperature of 5±2 °C or 12±2 °C for 30 minutes. In these conditions the products were obtained had a semi-solid or solid form with a soft or hard texture that relatively stable during storage of 5 weeks. Keywords: shortening, palm oil, texture, optimization process condition, texturing reactor
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 24-32 Halaman | 25
1. Pendahuluan Shortening merupakan lemak berbentuk plastis yang dapat digunakan sebagai media penggorengan, pemasakan, pembuatan roti dan pengisi pada produk confectionery (Hui, 1996; O’brien, 2004; Hasibuan et al., 2009). Awalnya, shortening dibuat dari lemak hewani namun kini beralih dengan menggunakan minyak nabati melalui proses hidrogenasi, interesterifikasi dan pencampuran 2 atau lebih minyak/lemak (blending) (Lumor and Akoh, 2005; Berger and Idris, 2005; Jin et al., 2008; Sahri and Idris, 2010). Saat ini, shortening yang beredar di pasar lokal Indonesia umumnya berbahan minyak sawit. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan minyak sawit melimpah dan karakteristik unggulnya berbentuk semi padat yang sangat sesuai untuk formulasi shortening (Haryati dan Siahaan, 2007; Hasibuan et al., 2009; Siahaan et al., 2013). Shortening dibuat melalui beberapa tahapan meliputi formulasi lemak/minyak, pendinginan dan tempering. Formulasi merupakan tahapan utama karena formula yang dihasilkan harus sesuai dengan aplikasinya pada produk tertentu. Misalnya, shortening untuk media penggorengan memiliki formula yang berbeda dengan shortening untuk bakery ataupun cakery. Tahapan kedua adalah pembentukan tekstur dengan cara pendinginan. Tekstur dari shortening sengaja dibuat berbentuk semi padat atau padat dan homogen serta tidak mudah mencair pada suhu tertentu. Proses pembentukan tekstur merupakan suatu seni dan sangat dipengaruhi oleh formula dan suhu serta waktu proses pendinginan. Tahapan selanjutnya adalah tempering, merupakan proses finalisasi dalam menyempurnakan pembentukan kristal dari minyak/lemak. Tempering biasanya dilakukan pada ruangan bersuhu 18-22 °C selama 2x24 jam (Hui, 1996; O’brien, 2004; Haryati dan Siahaan, 2007; Siahaan et al., 2013). Di Indonesia, shortening diproduksi secara komersial oleh perusahaan besar dengan teknologi modern dari luar negeri. Sementara itu, industri kecil tidak banyak yang memproduksi shortening disebabkan oleh teknologinya membutuhkan investasi yang cukup besar. Selain itu, diperlukan manajemen pemasaran yang tepat dan dapat menjamin tersedianya pasar agar produksinya berkelanjutan. Di samping itu, industri rumah tangga yang memproduksi beragam produk seperti cakery, bakery, dan produk gorengan (ayam, pisang, keripik, dan lain-lain) tumbuh sangat pesat. Perkembangan ini akan berdampak pada peningkatan penggunaan shortening dengan varian jenis/tipe shortening yang sesuai dengan produk tertentu. Dengan demikian, produksi shortening pada skala industri kecil berpotensi untuk dikembangkan agar pembuatan varian
formula/jenis shortening mudah dilakukan. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk membuat empat jenis shortening untuk gorengan (frying), untuk krim (creaming), untuk kue (baking) dan substitusi lemak butter (butter oil substitute) pada skala industri kecil dengan kapasitas 50 kg/batch. 2. Bahan dan Metode 2.1. Bahan Bahan baku yang digunakan adalah refined bleached deodorized palm oil (RBDPO), refined bleached deodorized palm stearin (RBDPS), refined bleached deodorized palm olein (RBDOL) dan refined bleached deodorized palm kernel oil (RBDPKO) diperoleh dari PT. Wilmar Internasional, masing-masing bahan baku memiliki asam lemak bebas (ALB) sebesar 0,07, 0,08, 0,04, 0,05 %. Red palm oil (RPO) memiliki ALB 0,1% diperoleh dari Laboratorium Oleopangan Kelompok Peneliti Pengolahan Hasil dan Mutu, Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). 2.2. Pembuatan shortening dan optimasi pembentukan tekstur Empat jenis shortening meliputi shortening untuk frying, creaming, baking, dan butter oil substitute diformulasi sesuai dengan formula yang dimiliki oleh PPKS. Formula tersebut merupakan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh PPKS yang disesuaikan dengan karakteristik produk yang diinginkan. Shortening untuk frying diinginkan dalam bentuk semi padat, shortening untuk creaming berbentuk padat dan tidak mudah mencair, shortening untuk baking berbentuk semi padat sedangkan butter oil substitute berwarna kekuningan dan berbentuk semi padat. Shortening untuk frying berbahan RBDPO:RBDPS (90:10), shortening untuk creaming berbahan RBDPO:RBDPS (50:50), shortening untuk baking berbahan RBDPO:RBDPS:RBDPKO (75:20:5) dan butter oil substitute berbahan RBDPO:RPO:RBDOL (87:10:3). Pembentukan tekstur masing-masing jenis shortening dilakukan dalam reaktor texturing yang dirancang bangun oleh PPKS seperti pada Gambar 1. Alat ini terbuat dari stainless stell yang dilengkapi dengan mesin pendingin dan motor pengaduk. Sistem pendingin menggunakan mesin pendingin dengan kemampuan menurunkan suhu media pendingin hingga < 5 °C. Alat ini terdiri atas dua tabung masing-masing untuk minyak dan air pendingin. Uji fungsional alat texturing dilakukan dengan mengoptimasi proses pendinginan dan suhu air yang tercapai dalam waktu tertentu. Kondisi proses yang ditentukan dalam pembuatan shortening adalah suhu dan waktu
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Citation: Hasibuan, H. A. & Magindrin. (2015) Pengembangan Proses Pengolahan Shortening Berbahan Minyak Sawit pada Skala Industri Kecil Kapasitas 50 kg/Batch.Warta IHP, 32(1),24-32
Halaman | 26
proses dengan suhu pendinginan yang divariasikan pada tiga kondisi meliputi 5±2, 12±2, 20±2 °C dan waktu proses selama 0, 30, 60, 90, 120 menit. Shortening yang dihasilkan pada setiap kondisi dimasukkan ke dalam wadah gelas ukur (50 ml) dan plastik (1 kg). Produk dalam wadah ditempering pada suhu 20 °C selama 2x24 jam. Selanjutnya kedua wadah dipindahkan ke ruangan dengan suhu berkisar antara 28-30 °C untuk uji penyimpanan. 2.3. Analisa mutu Mutu produk shortening yang dihasilkan dianalisa kadar air menggunakan metode standar (MPOB, 2004). Analisa warna dari produk selama proses ditentukan secara visual. Analisa juga dilakukan terhadap kestabilan emulsi dengan perubahan oily, bentuk dan tekstur produk shortening selama penyimpanan 5 minggu. Analisa oily dilakukan dengan cara memasukkan shortening ke dalam wadah gelas ukur (50 ml). Banyaknya jumlah oily diukur berdasarkan persentasi volume fraksi minyak terhadap 50 ml produk shortening. Analisa tekstur dilakukan secara visual dengan menentukan bentuk (padat, semi padat, cream) dan tekstur (keras, lunak, berminyak) dari produk shortening dalam wadah plastik 1 kg. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Uji fungsional alat texturing Pada panelitian ini, reaktor yang digunakan untuk pembuatan shortening berkapasitas 50 kg/batch merupakan unit pendingin sebagai pengganti votator. Menurut Reid et al., 1972 dan Hasibuan, 2009 bahwa pada skala industri, pembuatan shortening dilakukan menggunakan unit votator dan worker. Unit votator berfungsi untuk membentuk kristal dan unit worker untuk mencairkan kristal yang memiliki bentuk tidak baik. Sehingga dengan kombinasi keduanya akan diperoleh tekstur shortening yang baik dengan bentuk kristal yang homogen dan halus. Alat ini menggunakan air sebagai media pendingin karena relatif aman dan murah serta sederhana pada skala kecil. Sementara, pada skala industri umumnya menggunakan amoniak sebagai media pendingin (Lenoid et al., 2007). Namun, jika terjadi kebocoran pada alat pembuatan shortening gas amoniak keluar yang dapat menimbulkan bau dan tidak aman bagi pekerja. Pengujian kinerja/uji fungsional alat texturing dilakukan untuk mengetahui pengaruh waktu pendinginan terhadap suhu air dalam reaktor. Hubungan antara waktu pendinginan terhadap suhu air disajikan pada Tabel 1.
Gambar 1. Alat texturing kapasitas 50 kg/batch (Alat ini dirancang bangun oleh PPKS)
Untuk mencapai suhu air sebagai media pendingin 5±2, 12±2, 20±2 °C diperlukan waktu pendinginan masing-masing selama 5-6 jam, 2,5-3 jam dan 1,5-2 jam. Tabel 1 Waktu pendinginan dan suhu air dalam reaktor Waktu (jam) Suhu air (°C) 1 26 2 16 3 10 4 8 5 6 6 2
Menurut Hui, 1996 dan O’brien, 2004 bahwa tekstur produk shortening dibuat menjadi homogen dengan proses pendinginan. Dengan demikian, suhu pendinginan yang mampu dicapai oleh alat texturing ini diharapkan dapat membentuk tekstur shortening sesuai yang diinginkan. Oleh sebab itu, evaluasi dan optimasi kinerja alat teksturing ini dilakukan dengan melihat pengaruh suhu media pendingin dan waktu proses dalam pembuatan empat jenis shortening meliputi shortening untuk frying, creaming, baking, dan butter oil substitute. Evaluasi ini dilakukan dengan mengkaji penurunan suhu minyak selama proses pendinginan, kadar air, warna, oily dan tekstur produk shortening. 3.2. Penurunan suhu minyak selama proses pendinginan Pengujian kinerja alat dalam menurunkan suhu campuran minyak dari produk shortening ditunjukkan pada Tabel 2. Suhu air pendingin 5±2 °C dan 12±2 °C memiliki performa yang relatif sama dalam menurunkan suhu minyak selama proses pendinginan untuk setiap jenis shortening kecuali untuk creaming. Hal ini tampak pada shortening untuk creaming dengan suhu air pendingin 5±2 °C mampu menurunkan suhu minyak menjadi lebih rendah pada setiap waktunya dibandingkan 12±2
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 24-32 Halaman | 27
°C. Untuk seluruh jenis shortening, suhu air pendingin 20±2 °C cenderung menurunkan suhu minyak lebih lambat dibandingkan suhu air pendingin di bawahnya. Hal ini disebabkan oleh kemampuan air pendingin bersuhu 20±2 °C lebih rendah dalam mentransfer suhu dingin dari air ke minyak. Penurunan suhu minyak pada shortening untuk creaming pada setiap waktu dan suhu air pendingin agak sedikit lebih lambat dibandingkan jenis shortening yang lain meskipun suhu awal minyak sama (55 °C). Hal ini disebabkan oleh bahan baku dalam formula shortening berbeda-beda. Shortening untuk creaming mengandung RBDPS lebih banyak (50%) dibandingkan shortening untuk frying (10%) dan baking (20%) sedangkan buttter oil substitute tidak mengandung RBDPS. Menurut Hasibuan, 2012 bahwa RBDPS memiliki asam lemak jenuh rantai panjang berupa asam palmitat tinggi (57,30-66,07%) dan titik leleh tinggi berkisar 48,8-57,6 °C. Karakteristik tersebut menyebabkan RBDPS berbentuk padat dan keras pada suhu ruangan. Ketika didinginkan minyak shortening yang mengandung RBDPS membentuk lapisan/flake pada dinding tabung reaktor yang kontak langsung dengan air dingin yang dapat menyebabkan transfer suhu dingin dari air ke minyak menjadi lambat. Meskipun mengandung RBDPS pada shortening untuk baking, penurunan suhu minyaknya relatif lebih rendah pada setiap suhu dan waktu dibandingkan pada shortening untuk frying. Tabel 2 Penurunan suhu minyak selama pendinginan WakSuhu Air Pendingin/Suhu Minyak (°C) tu 5±2 12±2 20±2 Produk (MeShorte ning untuk frying Shorte ning untuk crea ming Shorte ning untuk baking
Butter oil substi tute
nit)
Air
Minyak
Air
Minyak
Air
Minyak
0 30 45 60 90 120 0 30 45 60 90 120 0 30 45 60 90 120 0 30 45 60 90 120
3 3 4 4 3 3 3 4 4 3 3 4 3 4 5 6 5 4 6 7 8 8 8 7
55 35 31 28 27 27 55 44 38 37 36 36 55 37 34 29 27 25 55 35 31 27 25 24
12 13 14 14 15 17 12 14 15 14 13 14 10 12 12 12 11 11 12 13 13 12 12 11
55 35 31 28 27 27 55 48 40 39 38 38 55 37 33 30 27 25 55 36 33 31 27 25
20 25 26 25 25 24 18 19 19 18 18 18 18 18 19 18 18 18 18 19 18 18 18 18
55 40 37 34 33 33 55 46 44 43 42 40 55 37 36 32 29 27 55 38 33 31 29 27
Hal ini disebabkan adanya campuran lain dari shortening untuk baking yaitu RBDPKO walaupun dalam jumlah kecil. Menurut Hasibuan et al., 2012 bahwa RBDPKO mengandung asam lemak jenuh rantai pendek dan menengah dengan asam laurat tinggi (48,96-53,86 %) dan titik leleh 27,2-28,6 °C serta bentuknya cair pada suhu 30 °C. Sehingga campuran minyak dalam formula shortening untuk baking lebih lunak dan membantu RBDPS tidak banyak membentuk flake pada dinding reaktor. Berbeda dengan 3 shortening lain, butter oil substitute tidak mengandung RBDPS dan dalam formulasinya digunakan RBDPO, RPO dan RBDOL. Menurut Hasibuan dan Siahaan, 2013 bahwa RBDOL mengandung asam oleat tinggi 40,4844,11% dengan titik leleh rendah 19,8-23,0 °C serta berbentuk cair pada suhu > 25 °C. Dari Tabel 2 menunjukkan bahwa suhu minyak untuk keempat jenis shortening dapat menurun dari 55 °C menjadi 24-36 °C selama 120 menit proses pendinginan. Menurut Czyzewski and Greenweel, 1984 bahwa proses pendinginan dalam pembentukan tekstur lemak plastis dilakukan dengan menurunkan suhu minyak dari 54,4-60 °C menjadi 21-30 °C. Dengan demikian alat texturing yang dirancang bangun ini dapat digunakan untuk pembentukan tekstur dari shortening. 3.3. Kadar air Kadar air produk shortening ditunjukkan pada Tabel 3. Perbedaan suhu pendingin memberikan kadar air tidak berbeda nyata pada waktu yang sama. Selain itu, kenaikan waktu proses pendinginan dari 30 hingga 120 menit cenderung meningkatkan kadar air namun tidak berbeda nyata. Kenaikan kadar air ini terjadi disebabkan oleh tabung tempat minyak kontak langsung dengan tabung media pendingin. Air sebagai media pendingin bersuhu rendah sementara minyak bersuhu tinggi yang menyebabkan air terkondensasi ke tabung yang berisi minyak. Dari Tabel 3 juga menunjukkan bahwa kadar air pada produk shortening yang diproduksi hingga 120 menit masih memadai dengan nilai < 0,1%. Adanya air dalam shortening dapat menyebabkan mutunya menjadi rendah yang dapat mempengaruhi stabilitasnya selama penyimpanan. Menurut Haryati dan Siahaan, 2007 bahwa air dapat menyebabkan terjadinya hidrolisis minyak sehingga asam lemak bebas pada produk shortening meningkat. Selain itu, adanya air pada produk shortening khususnya jenis frying dapat mempengaruhi proses penggorengan yang dapat mempercepat perubahan mutu menjadi lebih rendah.
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Citation: Hasibuan, H. A. & Magindrin. (2015) Pengembangan Proses Pengolahan Shortening Berbahan Minyak Sawit pada Skala Industri Kecil Kapasitas 50 kg/Batch.Warta IHP, 32(1),24-32
Halaman | 28 Tabel 3 Kadar air produk shortening selama proses pendinginan Waktu (Menit) 0 30 45 60 90 120
Shortening untuk frying 5±2 0,05 0,06 0,06 0,08 0,09 0,09
12±2 0,05 0,05 0,07 0,06 0,06 0,08
20±2 0,05 0,05 0,06 0,06 0,06 0,06
Kadar Air (%) Shortening untuk Shortening untuk baking creaming 5±2 12±2 20±2 5±2 12±2 20±2 0,03 0,03 0,03 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,05 0,04 0,05 0,05 0,04 0,04 0,05 0,04 0,04 0,04 0,04 0,05 0,06 0,05 0,04 0,05 0,04 0,04 0,05 0,05 0,05 0,06 0,05 0,05
3.4. Warna Warna produk shortening sangat dipengaruhi oleh bahan baku minyak/lemak dan bentuknya. Umumnya minyak dan lemak yang berbentuk padat cenderung berwarna putih dan ketika dicairkan dengan pemanasan berubah warna menjadi agak kekuningan Gambar 2 menampilkan bentuk dan warna dari bahan baku yang digunakan dalam formulasi shortening pada suhu ruangan (28-30 °C). RBDPO berbentuk semi padat dan warnanya kuning muda. RBPKO dan RBDOL berbentuk cair namun warnanya berbeda masing-masing putih kekuningan dan kuning muda. RBDPS berbentuk padat dan berwarna putih. RPO berbentuk semi padat dan berwarna kemerahan. Shortening untuk creaming yang mengandung RBDPS dalam jumlah banyak memberikan warna
Shortening untuk frying
Shortening untuk creaming
Shortening untuk baking
Butter oil substitute
Waktu (menit) 0 30 45 60 90 120 0 30 45 60 90 120 0 30 45 60 90 120 0 30 45 60 90 120
Warna 5±2 kuning muda kuning muda putih kekuningan putih kekuningan Putih Putih putih kekuningan putih Putih Putih Putih Putih kuning muda kuning muda kuning muda putih kekuningan Putih Putih Kuning Kuning kuning pucat kuning pucat kuning pucat kuning pucat
5±2 0,03 0,04 0,04 0,04 0,04 0,05
12±2 0,03 0,03 0,03 0,04 0,04 0,04
20±2 0,03 0,03 0,03 0,04 0,04 0,04
putih pada produk. Butter oil substitute berbeda warnanya dibandingkan shortening jenis lain karena mengandung RPO (sebagai pemberi warna kuning kemerahan). Proses pendinginan formula shortening menimbulkan perubahan warna dari produk (Tabel 4). Semakin rendah suhu pendinginan cenderung menyebabkan warna menjadi pucat atau lebih putih. Hal yang sama juga ditunjukkan bahwa semakin lama proses pendinginan menyebabkan warna juga menjadi pucat atau putih. Hal ini disebabkan juga oleh perubahan bentuk formulasi shortening dari berbentuk cair menjadi semi padat atau padat. Dari Tabel 4 dan Gambar 3 menunjukkan bahwa suhu 5±2 °C dan 12±2 °C selama 30-45 menit memberikan warna produk sesuai yang diinginkan.
Tabel 4 Warna produk shortening selama proses pendinginan Produk
Butter oil substitute
Suhu (°C) 12±2 kuning muda kuning muda kuning muda putih kekuningan putih kekuningan Putih putih kekuningan Putih Putih Putih Putih Putih kuning muda kuning muda kuning muda putih kekuningan Putih Putih kuning kuning kuning pucat kuning pucat kuning pucat kuning pucat
20±2 kuning muda kuning muda kuning muda kuning muda kuning muda Putih putih kekuningan putih putih Putih Putih Putih kuning muda kuning muda kuning muda kuning muda putih kekuningan putih kekuningan kuning kuning kuning kuning pucat kuning pucat kuning pucat
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 24-32 Halaman | 29
Gambar 2. Bentuk dan warna bahan baku formulasi shortening (dari kiri ke kanan: RBDPO, RBDPS, RBDOL, RBDPKO, RPO)
Gambar 3. Bentuk dan warna produk shortening (dari kiri ke kanan: frying, creaming, baking dan butter oil substitue)
3.5. Kadar oily Pembuatan tekstur shortening menjadi bentuk semi padat atau padat dimaksudkan agar produk lebih homogen dan tidak mudah mencair. Pencairan ini juga dapat menyebabkan terjadinya pemisahan antara minyak cair dan minyak padat. Oleh sebab itu, analisa kadar oily perlu dilakukan untuk memastikan tekstur shortening stabil selama penyimpanan. Hasil uji penyimpanan shortening selama 5 minggu ditunjukkan pada Tabel 5. Pembentukan oily dapat disebabkan oleh formula masing-masing jenis shortening. Jika jumlah minyak padat (berupa RBDPS) lebih banyak maka peluang terjadinya oily lebih rendah. Contohnya, shortening untuk creaming tidak terjadi oily pada variasi suhu dan waktu pendinginan. Semakin lama waktu proses cenderung menimbulkan oily pada produk. Hal ini disebabkan produk shortening yang dihasilkan dari kondisi tersebut berbentuk cream yang kurang stabil. Sehingga pada suhu ruangan minyak cair keluar/terpisah dari minyak padat (Gambar 4). Dari uji penyimpanan ini menunjukkan bahwa keempat jenis shortening yang dihasilkan pada kondisi suhu pendinginan 5 ± 2, 12 ± 2, 20 ± 2 °C selama 30 menit relatif stabil (tidak terjadi oily) pada penyimpanan hingga 5 minggu.
dan tekstur dari produk shortening seperti ditunjukkan pada Tabel 6. Pada kondisi awal campuran minyak yang dihomogenkan dengan pemanasan dan didinginkan secara alami tanpa pendinginan bentuk produk semi padat dan padat. Namun kristal-kristal pada produk relatif besar dan ada bagian yang masih berbentuk minyak. Ini menunjukkan bahwa tanpa proses pendinginan pembentukan kristal dari minyak padat maupun cair tidak sama, tidak homogen dan kurang sempurna. Sementara produk shortening diharapkan memiliki tekstur yang keras atau lunak namun kristalnya halus. Pendinginan pada suhu 5±2, 12±2, 20±2 °C selama proses 30-45 menit bentuk produk shortening semi padat dan padat (tergantung jenis shortening). Selain itu teksturnya ada yang keras dan lunak. Namun dengan kenaikan waktu proses > 45 menit bentuknya menjadi cream dan teksturnya lunak.
Oily
3.6. Bentuk dan tekstur Tidak hanya terjadinya oily, selama penyimpanan juga menimbulkan perubahan bentuk
Gambar 4. Produk shortening yang tidak oily dan mengalami oily
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Citation: Hasibuan, H. A. & Magindrin. (2015) Pengembangan Proses Pengolahan Shortening Berbahan Minyak Sawit pada Skala Industri Kecil Kapasitas 50 kg/Batch.Warta IHP, 32(1),24-32
Halaman | 30 Tabel 5 Kadar oily produk shortening pada variasi suhu dan waktu proses pendinginan Kadar Oily (%) Suhu (°C)
5±2
12±2
20±2
Waktu (Menit)
0 30 45 60 90 120 0 30 45 60 90 120 0 30 45 60 90 120
1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Shortening untuk Frying
Shortening untuk Creaming
Penyimpanan (Minggu)
Penyimpanan (Minggu)
2 0 0 0 0 2 4 0 0 0 0 2 2 0 0 0 0 2 4
3 0 0 0 0 4 6 0 0 0 0 4 4 0 0 0 0 4 10
4 0 0 0 0 6 10 0 0 0 2 4 8 0 0 0 2 8 14
5 0 0 0 2 10 12 0 0 0 4 6 10 0 0 0 2 10 18
1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Dari Tabel 6 menunjukkan bahwa shortening berbentuk semi padat atau padat dan tekstur yang keras atau lunak relatif stabil selama penyimpanan hingga 5 minggu tanpa terjadinya pemisahan minyak (produk berminyak). Sementara shortening yang berbentuk cream dan teksturnya lunak berpeluang menyebabkan produk menjadi berminyak (Gambar 5).
Lapisan cream
Lapisan minyak Gambar 5. Produk shortening berbentuk cream membentuk lapisan minyak selama penyimpanan 5 minggu
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa kondisi proses pembuatan shortening pada skala 50 kg/batch dengan kualitas yang baik diperoleh pada 5±2 dan 12±2 °C selama 30 menit. Haryati dan Siahaan, 2007 melaporkan bahwa kondisi proses pembuatan shortening untuk frying skala 3 kg adalah suhu pendingin 3-4 °C atau 7-8 °C dengan waktu 3 jam. Sementara Siahaan et al., 2013 melaporkan kondisi proses pembuatan shortening untuk pastry skala 3 kg adalah suhu pendingin 5 °C dan waktu 25 menit. Kondisi proses dalam
4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Shortening untuk baking Penyimpanan (Minggu) 1 2 3 4 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 4 8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 4 0 0 0 2 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2
Butter oil substitute Penyimpanan (Minggu) 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 2 2
3 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 2 6 0 0 0 0 4 12
4 0 0 0 0 0 6 0 0 0 0 2 8 0 0 0 0 6 13
5 0 0 0 0 0 8 0 0 0 0 2 10 0 0 0 0 8 16
pembuatan shortening dapat berbeda yang sangat dipengaruhi oleh formula dari masing-masing jenis shortening dan kapsitas produksinya. 4. Kesimpulan Alat texturing skala 50 kg/batch telah menunjukkan fungsionalnya yang teruji dalam proses pendinginan untuk pembuatan shortening. Kondisi optimasi proses pembuatan empat jenis shortening meliputi frying, creaming, baking dan butter oil substitute adalah pada suhu 5±2 °C atau 12±2 °C dengan waktu 30 menit. Pada kondisi tersebut diperoleh produk shortening dengan kadar air yang memadai, warna sesuai yang diinginkan, bentuk semi padat atau padat dengan tekstur lunak atau keras sesuai dengan jenis shortening. Selama penyimpanan 5 minggu produk yang dihasilkan pada kondisi optimum tidak menurun kualitasnya seperti tidak berminyak dan tidak lembek. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Deny Simanjuntak dan Aga Prima Hardika atas bantuannya untuk menganalisa produk di Laboratorium Oleopangan Kelti. Pengolahan Hasil dan Mutu sehingga penelitian dapat berjalan dengan baik
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 24-32 Halaman | 31 Tabel 6 Bentuk dan tekstur produk shortening selama penyimpanan Su hu pro ses (°C ) Aw al
W akt u (M eni t)
60
C
90 12 0
0
45
45
3
B t k S p S p S p
T s t
L
C
C
L
C
B
S p S p
B K K
K K
4
B t k S p S p S p
T s t
L
C
C
L
C
B
S p S p
B K K
K K
5
B t k S p S p S p
T s t
L
C
C
B
C
B
S p S p
Shortening untuk creaming
L K K
L L
1
B t k S p S p S p
T s t
B
C
C
B
C
B
S p S p
L K L
L B
2
3
Shortening untuk baking
4
5
1
B t k
T s t
B t k
T s t
B t k
T s t
B t k
T s t
B t k
T s t
P
K
P
K
P
K
P
K
P
K
P
K
P
K
P
K
P
K
P
K
P
K
P
K
P
L
P
L
P
B
C
L
C
L
C
L
C
L
C
B
C
L
C
L
C
L
C
C
B
C
L
C
L
C
L
P
K
P
K
P
P
K
P
K
S p S p
L L L
L B
2 T s t
L
B t k S p S p S p
C
L
C
L
C
L
C
L
C
L
K
P
K
P
K
P
K
P
K
P
K
S p S p
3
4 B t k S p S p S p
5 B t k S p S p S p
1 B t k S p S p S p
2 B t k S p S p S p
3 B t k S p S p S p
4 B t k S p S p S p
5 B t k S p S p S p
B t k S p S p S p
T s t
L
C
L
C
L
C
B
C
B
L
L
L
L
L
L
L
L
L
B
C
L
C
L
C
B
C
B
C
B
C
L
C
L
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
L K K
K K
S p S p
L K L
K K
B t k S p S p S p
Butter oil substitute
S p S p
Tst L K L
K L
S p S p
Tst L K L
L B
S p S p
Tst L K L
L B
S p S p
Tst B K K
K K
S p S p
Tst B K L
K K
S p S p
Tst B K L
K L
S p S p
Tst B L B
L B
S p S p
T s t B L B
L B
60
C
L
C
L
C
B
C
B
C
B
C
L
C
L
C
L
C
L
C
L
C
L
C
L
C
B
C
B
C
B
C
L
C
L
C
B
C
B
C
B
90
C
L
C
B
C
B
C
B
C
B
C
L
C
L
C
L
C
L
C
L
C
L
C
B
C
B
C
B
C
B
C
L
C
B
C
B
C
B
C
B
12 0
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
C
L
C
L
C
L
C
L
C
L
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
30 20 ± 2
2 T s t
30 12 ± 2
1 B t k S p S p S p
30 5 ± 2
Lama penyimpanan (Minggu) Shortening untuk frying
45
S p S p
L L
S p S p
L L
S p S p
L L
S p S p
L B
S p S p
L B
P
K
P
K
P
K
P
K
P
K
P
K
P
K
P
K
P
K
P
K
S p S p
L L
S p S p
L L
S p S p
L L
S p S p
B B
S p S p
B B
S p S p
L L
S p S p
L L
S p S p
L L
S p S p
B B
S p S p
B B
60
C
L
C
B
C
B
C
B
C
B
C
L
C
L
C
L
C
L
C
L
C
L
C
B
C
B
C
B
C
B
C
L
C
B
C
B
C
B
C
B
90
C
L
C
B
C
B
C
B
C
B
C
L
C
L
C
L
C
L
C
L
C
L
C
B
C
B
C
B
C
B
C
L
C
B
C
B
C
B
C
B
12 0
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
C
L
C
L
C
L
C
L
C
L
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
C
B
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Citation: Hasibuan, H. A. & Magindrin. (2015) Pengembangan Proses Pengolahan Shortening Berbahan Minyak Sawit pada Skala Industri Kecil Kapasitas 50 kg/Batch.Warta IHP, 32(1),24-32
Halaman | 32
Daftar Pustaka Berger, K.G., & Idris, N.A. (2005). Formulation of Zero-Trans Acid Shortenings and Maragarins and Other Food Fats with Products of The Oil Palm. JAOCS, 82, 775-780. Czyzewski, T.S., & Greenwell, B.A. (1984). Process for Chilling and Plasticizing Fatty Materials. United States Patent. 4,439,461. Haryati, T., & Siahaan, D. (2007). Pengembangan Proses Pembuatan Frying Shortening dari Fraksi Minyak Sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit, 15, 119-136. Hasibuan, H.A. (2009). Plastic Fat dan Specialty Fat Berbahan Dasar Minyak Sawit dan Minyak Inti Sawit. Monograf. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Hasibuan, H.A., Siahaan, D., Rivani, M. & Panjaitan, F. (2009). Minyak Sawit dan Minyak Inti Sawit Sebagai Bahan Baku Formulasi Plastic Fat dan Specialty Fat. Prosiding Pertemuan Teknis Kelapa Sawit. Jakarta. Hasibuan, H.A. (2012). Kajian Mutu dan Karakteristik Minyak Sawit serta Produk Fraksinasinya. Jurnal Standardisasi, 14, 13-21. Hasibuan, H.A., Siahaan, D., & Sunarya. (2012). Kajian Karakteristik Minyak Inti Sawit Indonesia dan Produk Fraksinasinya Terkait dengan Amandemen Standar Codex. Jurnal Standardisasi, 14, 98-104. Hasibuan, H.A., & Siahaan, D. (2013). Karakteristik CPO, Minyak Inti Sawit dan Fraksinya. Seri Buku Saku. PPKS. Medan. Hui, Y.H. (1996). Oils and Fats in Bakery Products. In Bailey’s Industrial Oil and Fats Products. 5th edition. Vol. 3. John Willey and Sons, Inc. New York. 331-336. Jin, Q., Zhang, T., Shan, L., Liu, Y., & Wang, X. (2008). Melting and Solidification Properties of Palm Kernel Oil, Tallow, and Palm Oleins Blends in the Preparation of Shortening. JAOCS, 85, 23-28. Lenoid, T., Petro, K., Lenoid, U., Stanislav, B., & Andrey, G. (2007). Heat Integration of Ammonia Cooling Unit into the Purification Process of fats and Oils. 17th European Symposium on Computer Aided Process EngineeringESCAPE17. V. Plesu and P.S. Agachi (Editors). Elsevier B.V. Lumor, S.E., & Akoh, C.C. (2005). Enzymatic Incorporation of Stearic Acid into a Blend of Palm Olein and Palm Kernel Oil: Optimization byResponce Surface methodology. JAOCS, 82, 421-426. MPOB. (2004). MPOB Test Method: A Compendium Of Test On Palm Oil Products, Palm Kernel Products, Fatty Acids, Food Related Products And Others. Malaysia. O’Brien, R.D. (2004). Fats and Oils, Formulating and Processing for Application. Technomic Publishing Co. Inc. Lancaster. pp. 15-42. Reid, E.J., Brea, & Morgan, P.W. (1972). Process of Making Aerated Shortening. United Stantes Patent. 3,637,402. Sahri, M.M., & Idris, N.A. (2010). Palm Stearin as Low Trans Hard Stock for Margarine. Sains Malaysiana, 39, 821-827. Siahaan, D., Sianipar, N., & Manurung, H. (2013). Pengembangan Proses Pembuatan Pastry Shortening Berbahan Baku Fraksi-Fraksi Minyak Kelapa Sawit. Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 1, 25-36.
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 33-44 Halaman | 33
Penggunaan Berbagai Cocoa Butter Substitute (CBS) Hasil Hidrogenasi dalam Pembuatan Cokelat Batangan Use of Various Cocoa Butter Substitute (CBS) Hydrogenated in Making Chocolate Bar Mirna Isyanti, Agus Sudibyo, Dadang Supriatna, dan Ade Herman Suherman Balai Besar Industri Agro Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor 16122
[email protected]
Riwayat Naskah: ABSTRAK: Penelitian pemanfaatan Cocoa Butter Substitute (CBS) untuk produk olahan Diterima 05,2015 Direvisi 06,2015 Disetujui 06,2015
cokelat telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan Cocoa Butter Substitute (CBS) hasil hidrogenasi menjadi cokelat batangan, menganalisis berbagai jenis CBS dalam proses pembuatan cokelat batangan, dan mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap produk olahan cokelat batangan tersebut. Analisis yang dilakukan dilakukan yaitu : analisis proksimat, titik leleh, profil trigliserida, profil asam lemak, total padatan lemak (SFC), ukuran partikel, informasi nilai gizi, serta masa simpan (akselerasi). Analisis fisiko kimia cokelat batangan menunjukkan kadar air berkisar 0,98-1,36%, kadar abu 1,43-2,37%, protein 1,90-7,05%, lemak 31,1-37,7%, bilangan iod 4,0-16,9 g iod per 100 g, indeks bias 1,4485-1,4545, dan tidak mengandung lemak trans. Titik leleh cokelat batangan berkisar 32C-40C. Titik leleh produk cokelat batangan terpilih, Fully Hydrogenated Palm Kernel Stearin (FHPKSt) sebesar 32C, dengan kandungan lemak padat meleleh mendekati sempurna pd suhu 40C. Produk cokelat komersial menunjukkan suhu titik leleh yang tinggi, 37C dan 40C. Berdasarkan uji organoleptik, produk cokelat batangan CBS yang terpilih adalah jenis FHPKSt menggunakan 30 persen CBS. Jenis CBS yang cocok untuk cokelat batangan adalah jenis Fully Hydrogenated Palm Kernel Stearin (FHPKSt) dengan proses hidrogenasi sempurna. Profil trigliserida cokelat batangan terpilih (FHPKSt) dan cokelat komersial terlihat dominasi TAG LaLaLa, LaLaM, LaMM/LaLaP dan LMM/LaOM dari minyak inti sawit. Ukuran partikel cokelat batangan hasil penelitian lebih kecil dibandingkan cokelat komersial. Masa simpan produk cokelat batangan selama 35 minggu pada suhu 25C dengan parameter kritis yaitu kadar air. Kata kunci: Cocoa Butter Substitute (CBS), cokelat batangan, hidrogenasi, minyak inti sawit
ABSTRACT: Research utilization of Cocoa Butter Substitute (CBS) for the processed chocolate products have been conducted. This study aims to harness Cocoa Butter Substitute (CBS) hydrogenated into chocolate bars, analyze various types of CBS in the process of making chocolate bars, and determine the level of consumer acceptance of the products processed chocolate bars. Analyze were proximate analysis, melting point, the profile of triglycerides, fatty acid profile, total fat solids (SFC), the particle size, nutritional value information, and expired date (accelerated). Physical and chemical analysis chocolate bars indicate the water content ranged from 0.98 to 1.36%, ash content of 1.43 to 2.37%, from 1.90 to 7.05% protein, fat from 31.1 to 37.7%, numbers iodine 4.0 to 16.9 g iodine per 100 g, the refractive index of 1.4485 to 1.4545, and there were no trans fats found. The melting point of chocolate bar products selected FHPKSt 32C, the solid fat content in the form steep near-perfect start to melt temperature pd 40C. Poduk commercial chocolate showed a high melting point, 37C and 40C. Product acceptance testing CBS chocolate bars with ingredients chosen by the panelists was the type Fully Hydrogenated Palm Kernel Stearin (FHPKSt), with CBS percentage of 30 percent. Based on the origin of the hydrogenation process, CBS types suitable to be made into chocolate bars are CBS types Fully Hydrogenated Palm Kernel Stearin (FHPKSt) with a perfect through the hydrogenation process. Selected triglyceride profiles chocolate bars (types FHPKSt) and commercial chocolate showed a dominance TAG LaLaLa, LaLaM, LaMM/LaLap and LMM/LaOM derived from palm kernel oil. Particle measurement chocolate bars that particle size is smaller than the commercial one. The shelf life of the product is a chocolate bar for 35 weeks with storage at 25oC with the critical parameter is the moisture content. Keywords: Cocoa Butter Substitute (CBS), chocolate bars, hydrogenated, palm kernel oil
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Citation: Isyanti, M., Sudibyo, A. Supriatna, D. & Suherman, A, H. (2015) Penggunaan Berbagai Cocoa Butter Substitute (CBS) Hasil Hidrogenasi dalam Pembuatan Cokelat Batangan Warta IHP, 32(1), 33-44
Halaman | 34
1.
Pendahuluan
Cokelat sebagai bahan pangan telah cukup lama dimanfaatkan dalam pembuatan pastri, bakeri, maupun konfeksioneri. Bentuk, jenis dan flavor yang berbeda dari cokelat yang ada di pasaran terutama ditentukan oleh variasi dalam jumlah dan jenis komponen utama dalam formulasi cokelat. Dalam industri konfeksioneri, khususnya produkproduk cokelat, penggunaan bahan baku yang berkontribusi terhadap sifat tekstural dan sensori sangat penting. Fraksi lemak dalam formulasi cokelat memberikan peranan penting dalam menentukan tekstur, kenampakan, serta penanganan proses dan penyimpanan produknya. Dalam pengembangan produk baru, adalah penting untuk mempertimbangkan peranan lemak dalam mempengaruhi persepsi konsumen terhadap kenampakan, tekstur, nutrisi dan pengananan umumnya produk (Weyland, 1999). Lemak kakao adalah lemak terbaik untuk produk cokelat Namun demikian, untuk menekan biaya produksi dan menghasilkan cokelat yang lebih keras untuk konsumsi di daerah tropis, penggunaan lemak lain sering diperlukan. Banyak digunakan lemak nabati yang memiliki sifat fisik mirip karakteristik lemak kakao tetapi secara kimia tidak ada kemiripan. Dalam industri cokelat, dikenal dengan Cocoa Butter Substitute (CBS). Jenis lemak ini terbagi dalam tipe laurat yang kaya asam lemak laurat dan tipe non-laurat. Penggunaan CBS dalam formulasi cokelat biasanya lebih terbatas, karena kompatibilitasnya lebih rendah (Misnawi, 2008). Fraksi lemak dalam cokelat sebagian besar berasal dari lemak kakao dan lemak susu. Lemak kakao adalah lemak terbaik untuk produk cokelat. Namun demikian, untuk menekan biaya produksi dan menghasilkan cokelat yang lebih keras untuk konsumsi di daerah tropis, penggunaan lemak lain sering diperlukan. Dalam industri cokelat, lemak dimaksud dikenal dengan Cocoa Butter Substitute (CBS). Jenis lemak ini terbagi dalam tipe laurat (lauric type) yang kaya akan asam lemak laurat dan tipe non-laurat (Leong dan Lye, 1992). Penggunaan CBS dalam formulasi cokelat biasanya lebih terbatas, karena kompatibilitasnya lebih rendah. CBS merupakan pengganti (substitusi) untuk lemak kakao, khususnya untuk produk cokelat yang lebih murah (Hariyadi, 2009). Produk CBS laurat dan non-laurat pada awalnya dikembangkan dengan pertimbangan ekonomi untuk menurunkan biaya produksi. Seiring dengan perkembangan kemajuan teknologi dan kebutuhan industri, perkembangan selanjutnya bergeser ke arah peningkatan fungsionalitas dari produk CBS. Berbagai produk CBS laurat maupun CBS non-
laurat dibuat untuk meningkatkan daya tahan terhadap panas, memperbaiki daya tahan terhadap blooming, memperbaiki profil pelelehan, menurunkan resiko flavor sabun dan berlilin, memperbaiki mouthfeel, kerenyahan (crunchiness) dan sebagainya. CBS memiliki kandungan asam lemak C12:0 (asam laurat) tinggi. CBS laurat umumnya dihasilkan dari lemak tinggi laurat yang umumnya dihasilkan dari daerah tropis, seperti minyak kelapa dan minyak inti sawit, walaupun juga ada dalam jumlah kecil yang menggunakan minyak kedelai terhidrogenasi, minyak biji kapas, minyak sawit dan lemak non-laurat lainnya. CBS laurat merupakan lemak konfeksioneri dari lemak berbasis laurat yang tidak kompatibel dengan lemak kakao, tetapi sifat fisiknya mirip dan umumnya lebih menyerupai sifat sensori lemak kakao (Soekopitojo, 2011). Lemak tumbuhan yang digunakan dalam membuat cokelat compound tidak dapat bercampur dengan lemak kakao karena lemak tumbuhan memiliki struktur dan sifat yang jauh berbeda dengan lemak kakao. Jika keduanya bercampur, maka titik leleh campurannya akan lebih rendah dari lemak tumbuhan yang digunakan. Hal ini menyebabkan harga cokelat compound lebih rendah dari jenis cokelat lain. Penggunaan CBS laurat dalam formulasi cokelat memiliki banyak keuntungan. Kelemahan penggunaan cokelat compound adalah rasa dan stabilitas cokelat yang berubah jika disimpan dalam waktu lama (Purwo, 2013). Dari hasil produksi lemak nabati, diciptakan beberapa jenis lemak pengganti lemak kakao yang dapat digunakan sebagai campuran ataupun substitusi lemak nabati pada pembuatan cokelat compound, yaitu : CBS, CBR, CBE, dan CBI (Tanuhadi, 2012). CBS diproduksi melalui proses fraksinasi dan hidrogenasi. Proses produksi CBS terdiri dari beberapa tahap reaksi yaitu degumming, bleaching, hidrolisa, fraksinasi (destilasi) bertahap dan hidrogenasi. Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai cocoa butter substitute (CBS) adalah dilakukan oleh Ratnasari, D (2012), dimana pembuatan cokelat batang terbaik dengan penggunaan CBS sebesar 38%, dengan kadar asam lemak bebas 5,69% dan kadar protein 12,61%. Hidrogenasi minyak atau lemak merupakan proses penambahan molekul hidrogen pada rantai asam lemak tidak jenuh sehingga menyebabkannya menjadi jenuh dengan menambahkan satu molekul hidrogen pada masing-masing ikatan rangkap. Proses hidrogenasi dikembangkan oleh Norman 1902, dengan mengkonversikan minyak cair menjadi bentuk semi padat yang digunakan untuk produk shortening atau margarin (Silalahi, 1999). Tujuan utama dari hidrogenasi ini yaitu untuk meningkatkan stabilitas oksidatifnya dan untuk
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 33-44 Halaman | 35
meningkatkan kandungan lemak padatnya sehingga titik lelehnya meningkat dan dapat memperbaiki tekstur makanan (Kodali, 2005). Hidrogenasi sebagian adalah proses yang merubah sebagian asam lemak tak jenuh menjadi asam lemak jenuh dan berpotensi menghasilkan asam lemak trans. Sedangkan hidrogenasi total adalah proses yang merubah seluruh asam lemak tidak jenuh menjadi asam lemak jenuh (Basiron, 2000). Proses fraksinasi dapat memisahkan minyak atau lemak menjadi fraksi-fraksi yang mempunyai sifat fisika yang berbeda dari bentuk aslinya. Pemisahan fraksi minyak atau lemak didasarkan pada kelarutannya dalam komponen trigliserida. Perbedaan kelarutan secara langsung berhubungan dengan tipe trigliserida didalam sistem lemak. Tipe trigliserida ditentukan oleh komposisi asam lemaknya dan distribusi asam lemak dalam masing-masing molekul trigliserida. Komponen minyak atau lemak yang berbeda titik lelehnya dapat dipisahkan dengan cara kristalisasi dan filtrasi untuk memisahkan minyak atau lemak didasarkan pada jenis produknya. Ada dua tujuan utama dari aplikasi fraksinasi: (i) menghilangkan bentuk fraksi dari minyak dan lemak yang tidak diinginkan dan (ii) menghasilkan fraksi yang bermanfaat dan memiliki sifat yang unik. Ada tiga proses fraksinasi yang umum digunakan yaitu dry fractionation, detergent fractionation, dan solvent fractionation. Pada dry fractionations, prosesnya didasarkan pada pendinginan dibawah kondisi yang dikontrol untuk kristalisasi yang lambat dengan tidak adanya pelarut. Solvent fractionation didasarkan pada perbedaan kelarutan dari gliserida pada suhu yang diberikan (Silalahi, 1999). Dengan proses hidrogenasi ditujukan agar diperoleh karakteristik produk yang berbeda dari sebelumnya, seperti stabilitas yang lebih baik terhadap oksidasi baik selama penyimpanan maupun saat digunakan dan berwujud padat pada suhu ruang serta mencair pada suhu tubuh. Mekanisme hidrogenasi adalah atom-atom H2 mengeliminasi unsaturated fatty acid (carbon ikatan rangkap), dengan pengurangan atau penghilangan unsaturated fatty acid produk menjadi stabil/tahan terhadap oksidasi. Parameter proses hidrogenasi yang dicapai adalah penurunan angka yodium atau IV (iodine value), dengan berkurangnya ikatan rangkat makan angka IV-nya juga semakin turun. Dan sebaliknya nilai slip melting point (SMP) menjadi naik, secara fisik minyaknya menjadi lebih keras/solid (harden fat). Hasil dari proses hidrogenasi banyak diaplikasikan untuk produk coating, substitusi seperti : cokelat, wafer, ice cream, dan lain-lain. Langkah-langkah dari hidrogenasi yaitu : transfer dan/atau difusi, adsorpsi, hidrogenasi/isomerisasi, desorpsi dan transfer.
Hidrogenasi adalah proses eliminasi ikatan rangkap pada minyak dengan penambahan gas H2 (unsaturated) menjadi minyak jenuh (saturated). Indikator untuk mengetahui jumlah ikatan rangkap pada minyak adalah iodine value (IV). Semakin rendah IV maka semakin sedikit ikatan rangkap pada minyak. Proses hidrogenasi dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu : Fully Hidrogenation, Partial Hydrogenation dan Selective Hydrogenation. Fully Hidrogenation adalah proses hidrogenasi untuk menghilangkan ikatan rangkap secara keseluruhan. Target penurunan IV maksimal hingga 0-2. Partial Hydrogenation adalah proses hidrogenasi untuk menghilangkan hanya sebagian ikatan rangkap. Selective Hydrogenation adalah proses hidrogenasi untuk menghilangkan sebagian ikatan rangkap pada posisi selektif sesuai dengan Solid Fat Content (SFC) yang diinginkan. Jenis ini hampir sama dengan Partial Hydrogenation. Ikatan-ikatan rangkap pada lemak dan minyak tak jenuh cenderung membuat gugus-gugus yang ada di sekitarnya tertata dalam bentuk “cis”. Suhu tinggi yang digunakan dalam proses hidrogenasi cenderung mengubah beberapa ikatan C=C menjadi bentuk “trans”. Jika ikatan-ikatan khusus ini tidak dihidrogenasi selama proses, maka mereka masih cenderung terdapat dalam produk akhir lemak membentuk molekul-molekul lemak trans. Pada hidrogenasi terjadi proses pengubahan jumlah ikatan rangkap dalam suatu asam lemak oleh gas hidrogen (H2). Dengan hidrogenasi, terjadi penambahan atom hidrogen ke dalam ikatan rangkap asam lemak sehingga ikatan rangkap tersebut kurang atau ikatan rangkapnya terlepas. Perubahan jumlah ikatan rangkap akan mengarah pada perubahan sifat fisik dan kimia minyak, yang terlihat dari angka yodium atau Iodine Value (IV), kandungan lemak padat (SFC) dan titik leleh (slip melting point) produk. Di pasaran, dikenal produk-produk cokelat seperti cokelat batangan (chocolate bar), baking chocolate, chocolate dipping, chocolate coating, chocolate chips, chocolate chips, chocolate strick, dan sebagainya. Cokelat batangan merupakan produk cokelat berbentuk batang dan dapat langsung dikonsumsi, dengan berbagai variasi seperti dark chocolate, milk chocolate dan white chocolate. Cokelat compound terbuat dari bubuk kakao, lemak tumbuh-tumbuhan, susu dan gula. Faktor utama yang mempengaruhi hasil akhir rasa dan kualitas pada cokelat terutama compound adalah jenis lemak nabati (vegetable fat) yang digunakan. Pada penelitian ini dilakukan pemanfaatan CBS untuk menghasilkan produk cokelat batangan dengan mutu yang baik, dan mengetahui keberterimaan konsumen, dan karakteristik sifat fisiko kimianya.
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Citation: Isyanti, M., Sudibyo, A. Supriatna, D. & Suherman, A, H. (2015) Penggunaan Berbagai Cocoa Butter Substitute (CBS) Hasil Hidrogenasi dalam Pembuatan Cokelat Batangan Warta IHP, 32(1), 33-44
Halaman | 36
2. Bahan dan Metode 2.1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan produk olahan cokelat (cokelat batangan) adalah Cocoa Butter Substitute (CBS) dengan jenis : Fully Hydrogenated Palm Kernel Stearine (FHPKSt), Fully Hydrogenated Palm Kernel Olein (FHPKOlein), Fully Hydrogenated Palm Kernel Oil (FHPKOil), Partially Hydrogenated Palm Olein (PHPOlein), dan Partially Hydrogenated Palm Kernel Oil (PHPKOil) yang diperoleh dari PT. Wilmar Cahaya Indonesia, dan CBS jenis coating fat yang diperoleh dari Jember, cokelat batangan merek CM dan merek CC yang diperoleh dari toko swalayan di Bogor, gula pasir dari toko swalayan di Bogor, cokelat bubuk yang diperoleh dari PT. Bumi Tangerang Mesindotama, emulsifier lesitin dari Brataco, dan vanili merek cap kupu kupu.
bebas dan asam lemak trans, untuk mengetahui kualitas bahan baku yang digunakan. Formulasi yang digunakan mengadopsi dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Lestari dkk (2013). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2013), semakin tinggi kandungan CBS yang digunakan akan mengurangi kualitas rasa, aroma, dan tekstur pada cokelat batangan (compound), dengan formulasi sebagai berikut : CBS (30%), susu bubuk full cream (22,1%), coklat bubuk (10%), Gula (37,5%), vanili (0,1%), dan lesitin (0,3%). 2.3.2. Penelitian utama CBS, Susu bubuk full cream, coklat bubuk, Gula Vanili, Lesitin
Bahan Baku dan Bahan Penolong
2.2 Alat Alat-alat yang digunakan adalah ball mill mini kapasitas 6 kg (milik PT. Kerta Laksana, Bandung), thermometer, neraca analitik terkalibrasi, cetakan cokelat (moulding) refrigerator, alumunium foil, Particle Size Analyzer, Pulsed NMR Analyzer, peralatan analisa lainnya.
Pencampuran dan penghalusan dalam Ball Mill (2 jam)
2.3. Metode
Pencetakan
2.3.1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan yang dilakukan menggunakan alat ball mill dimana proses pengolahannya adalah semua bahan baku dan bahan penolong diproses dalam tangki yang berisi ribuan bola logam dengan suhu tertentu, dan diaduk berputar bersamaan (agitasi). Dengan adanya proses agitasi dan tumbukan antara bola logam, yang akan memberi efek penghalusan dan semua bahan akan tercampur menjadi satu dan homogen. Adonan dicetak menggunakan cetakan cokelat (molding). Setelah seluruh cetakan terisi, kemudian dihentakan ke meja berulang kali untuk menghilangkan gelembung udara yang terperangkap di dalam adonan cokelat, lalu dimasukkan ke dalam lemari pendingin dengan kisaran suhu 5-9C. Pada penelitian pendahuluan dilakukan pengujian bahan baku CBS yang akan digunakan untuk parameter : kadar air, kotoran, warna, titik leleh, bilangan peroksida, bilangan iod, asam lemak
Pendinginan
COKELAT BATANGAN (COKELAT COMPOUND)
Gambar 1. Diagram Alir Proses Pengolahan Cokelat Batangan (Compound)
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 33-44 Halaman | 37
2.3.2. Analisis dan pengamatan
3. Hasil dan Pembahasan
Pengamatan dan analisis yang dilakukan adalah analisis sifat fisiko kimia, yaitu : analisis proksimat (kadar air, kadar lemak, kadar abu, protein, karbohidrat), profil asam lemak, slip melting point (titik leleh), profil trigliserida, particle size, masa simpan (akselerasi), dan total padatan lemak (solid fat content/SFC). Selain itu juga dilakukan pengujian organoleptik (sensori) untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis terhadap warna, aroma, rasa, tekstur cokelat batangan.
3.3.1. Penelitian Pendahuluan
Tabel 1. Hasil analisis fisiko kimia karakteristik CBS yang digunakan dalam penelitian Jenis CBS
Parameter FHPKS t
FHPKO
0,02
0,04
0,06
0,09
0,07
0,06
Kotoran (%)
0,02
0
0,02
0
0
0
Warna (R/Y)
0,5 R 1 Y
0,9 R 3Y
0,5 R 2Y
0,9 R 3Y
2,6 R 3,1 Y
3,1 R 1,4 Y
Titik Leleh (C) Bilangan Peroksida (mek O2/kg) Bilangan Iod (g iod/100 g) Asam lemak bebas (dihitung sebagai asam oleat) % Lemak trans (%)
39
43
49
39
42
38
0
0
0
0
0
1,94
0,36
1,20
0,67
3,69
7,29
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Kadar (%)
Air
FHPK Olein
PHPKO
CFJ
PHPK Olein
Keterangan : FHPKSt = Fully Hydrogenated Palm Kernel Stearin FHPKO = Fully Hidrogenated Palm Kernel Oil FHPK Olein= Fully Hydrogenated Palm Kernel Olein PHPKO = Partially Hydrogenated Palm Kernel Oil PHPK Olein= Partially Hydrogenated Palm Kernel Olein CFJ = Coating Fat Perhitungan kadar air berdasarkan SNI 01-3555-1998, butir 4.1 Perhitungan kotoran berdasarkan SNI 01-2901-2006, butir 5.3 Pengukuran warna dengan menggunakan Lovibond.
Bahan baku CBS yang digunakan dalam pembuatan cokelat batangan dilakukan analisis fisiko kimia terhadap parameter : air, kotoran, warna, titik leleh, bilangan peroksida, bilangan iod, asam lemak bebas (sebagai asam oleat), lemak trans, komposisi asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh (Tabel 1). Titik leleh CBS sebagai bahan baku yang digunakan dalam pembuatan cokelat batangan berkisar antara 38C . sampai dengan 49C. Titik leleh terendah sebesar 38C pada Coating Fat Jember (CFJ) 39C pada PHPKO dan FHPKSt. Sedangkan titik leleh sebesar 42C pada PHPKOlein, 43C FHPKO dan 49C pada FHPKOlein. Pada proses hidrogenasi akan menaikkan titik leleh, mengubah minyak cair menjadi lemak setengah padat sesuai dengan kebutuhan. Titik leleh ditentukan oleh komposisi asam lemak penyusunnya. Tiap asam lemak murni mempunyai titik leleh spesifik dari berbagai asam lemak sebagai trigliserida (seperti stearat, oleat dan linolenat), sehingga tidak memiliki titik cair yang tajam (Lawson, 1995). Stearin memiliki titik leleh 50C, olein 20C sedangkan lemak kakao sebesar 29-31C. Titik leleh asam lemak bervariasi tergantung pada : peningkatkan panjang rantai meningkatkan titik leleh, peningkatan tingkat kejenuhan meningkatkan titik leleh, dan perubahan isomer cis menjadi trans meningkatkan titik leleh. Menurut SNI Lemak Kakao (SNI 3748:2009), titik leleh lemak kakao sebesar 31-35 C, FFA sebagai asam oleat maks 1,75% (b/b), kadar air maks 0,2%, bilangan iod 33-42 g I2/100 g, bilangan peroksida maks 4,0 meq/kg lemak. Hasil analisis bilangan peroksidan untuk semua CBS adalah 0 tetapi untuk CBS jenis Coating Fat sebesar 1,94 meq peroksida/kg lemak. Bilangan Peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan minyak atau lemak, sehingga dibandingkan dengan CBS lainnya, CBS jenis CFJ telah mengalami penurunan mutu. Bilangan iod adalah sifat kimia minyak yang dipakai untuk mengetahui banyaknya ikatan rangkap atau ikatan tidak jenuh dalam minyak. CBS CFJ menunjukkan nilai bilangan iod sebesar 0 g iod/100 g, sedangkan nilai yang tertinggi adalah pada PHPK Olein sebesar 7,29 g iod/100 g. Hal tersebut menunjukkan jumlah ikatan rangkap yang tinggi pada PHPK Olein. CBS memiliki nilai yodium yang rendah (IV), hal itu menunjukkan tingkat asam lemak tak jenuh. Dengan demikian sawit berbasis CBS stabil terhadap kerusakan oksidatif.
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Citation: Isyanti, M., Sudibyo, A. Supriatna, D. & Suherman, A, H. (2015) Penggunaan Berbagai Cocoa Butter Substitute (CBS) Hasil Hidrogenasi dalam Pembuatan Cokelat Batangan Warta IHP, 32(1), 33-44
Halaman | 38
Hasil analisis asam lemak bebas dan lemak trans bahan baku CBS yang akan digunakan dalam pembuatan cokelat batangan menunjukkan tidak adanya kandungan asam lemak bebas dan tidak mengandung lemak trans. Dari hasil analisis fisiko kimia, diperoleh kadar air, kadar asam lemak bebas, bilangan iod, lemak trans yang rendah (nol). Hal ini menunjukkan mutu CBS yang baik. Pada industri minyak dan lemak, produksi asam lemak trans ditekan sekecil mungkin atau tidak ada sama sekali. Pada umumnya hasil hidrogenasi parsial akan terbentuk trans fatty acid yang tidak diinginkan. Asam lemak trans cenderung meningkatkan kadar kolesterol total dalam darah yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit kardiovaskuler (jantung koroner), sehingga asam lemak trans perlu dihilangkan atau diminimalkan. Asam lemak tidak jenuh (memiliki ikatan rangkap) yang terdapat di minyak dapat berada dalam dua bentuk yaitu cis dan trans. Asam lemak tidak jenuh yang terdapat di alam biasanya berada sebagai asam lemak cis, hanya sedikit bentuk trans. Jumlah asam lemak trans dapat meningkat akibat pengolahan seperti hidrogenasi, pemanasan suhu tinggi (Sundari, 2011). Proses pengolahan minyak sawit dan minyak inti sawit menjadi CBS dapat melalui tahap fraksinasi dan hidrogenasi. Proses hidrogenasi yang tidak sempurna dapat
menyebabkan terbentuknya asam lemak trans (Sundari, 2011). 3.3.2. Penelitian utama Berdasarkan hasil analisis komposisi asam lemak yang terkandung dalam CBS yang digunakan dalam pembuatan cokelat batangan (Tabel 2) menunjukkan dominasi kandungan asam laurat pada kelima jenis CBS, kecuali pada CBS jenis PHPKOlein yang lebih dominan adalah asam oleat. Tingginya kandungan asam laurat menunjukkan bahwa jenis CBS yang digunakan adalah CBS lauric yang berasal dari minyak inti sawit atau minyak kelapa yang terhidrogenasi, karena minyak inti sawit (PKO) kaya akan kandungan laurat (4852%). Tabel 2 menunjukkan komposisi asam lemak utama pada CBS adalah laurat (C12:0), miristat (C14:0), palmitat (C16:0) dan oleat (C18:1). Tingginya kandungan asam laurat pada bahan baku CBS menunjukkan jenis CBS lauric yang berasal dari minyak inti sawit atau minyak kelapa terhidrogenasi, karena minyak inti sawit dan minyak kelapa mengandung asam laurat 48-52%. Selain itu juga mengandung MCTs berupa asam kaprilat (C8:0) berkisar antara 0,1 – 0,77 dan asam kaprat (C10:0) berkisar antara 0,03 – 0,09.
Tabel 2 Komposisi asam lemak Cocoa Butter Substitute (CBS)
Parameter Asam lemak jenuh: Kaprilat (C8:0) Kaprat (C10:0) Laurat (C12:0) Miristat (C14:0) Palmitat (C16:0) Stearat (C18:0) Asam lemak tidak jenuh: Oleat (C18:1) Linoleat (C18:2) Linolenat (C18:3) Keterangan : FHPKSt FHPKO FHPK Olein PHPKO PHPK Olein CFJ
Satuan
FHPKSt
FHPKO
FHPK Olein
PHPKO
PHPK Olein
CFJ
% % % % % %
0,31 0,03 87,37 10,17 1,32 0,78
0,66 0,07 86,14 8,75 1,79 2,40
0,89 0,09 86,61 7,80 1,62 2,84
0,77 0,09 84,81 8,56 2,04 2,53
0,10 0 14,86 3,33 22,77 2,41
0,68 0,07 85,6 8,27 1,70 1,46
% % %
0,02 0 0
0,19 0 0
0,04 0 0
1,10 0 0
56,4 0 0
2,11 0,01 0
= Fully Hydrogenated Palm Kernel Stearin = Fully Hidrogenated Palm Kernel Oil = Fully Hydrogenated Palm Kernel Olein = Partially Hydrogenated Palm Kernel Oil = Partially Hydrogenated Palm Kernel Olein = Coating Fat
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 33-44 Halaman | 39
Menurut Hasibuan dkk (2012), minyak inti sawit memiliki asam kaprilat 3,19-6,67% dan asam kaprat 2,93-4,30%. Pada CBS jenis PHPK Olein terlihat kandungan asam lemak oleat yang lebih tinggi sebesar 56,4% dan kandungan asam laurat yang rendah 14,86% dan palmitat 22,77%. Teknologi pembuatan cokelat batangan (compound) ini menggunakan cara yang sederhana, yaitu alat ball mill. Proses pengolahannya adalah semua bahan baku dan bahan penolong diproses dalam tangki yang berisiribuan bola logam dengan suhu tertentu dan diaduk berputar bersamaan (agitasi). Dengan adanya proses agitasi dan tumbukan antara bola logam akan memberikan efek penghalusan dan semua bahan akan teraduk, tercampur menjadi satu dan homogen (Tanuhadi, 2012). Dalam pencampuran lemak kakao dan lemak lain (misalnya CBS, susu bubuk full cream) untuk mendapatkan produk yang lebih keras, adakalanya produk akhir yang dihasilkan justru menjadi lunak. Keadaan tersebut terjadi karena sifat ketidaksesuaian antar lemak yang dicampur. Menurut Bigalli (1988), apabila ada 2 substansi lemak berbeda dicampur, maka campuran tersebut akan memadat dan mencair pada suhu yang lebih rendah dari kedua bahan pencampurnya. Sifat ini dikenal dengan sifat entetic (dari Bahasa Yunani Entektos, mudah mencair). Oleh karena itu, penggunan semacam bahan surfaktan dan pengemulsi seperti lesitin sangat penting dalam pencampuran lemak. bias, titik leleh, lemak trans dilakukan terhadap cokelat batangan yang dihasilkan, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4. Analisis fisiko kimia yaitu analisis kadar air, kadar abu, protein, lemak, bilangan iod, indeks Analisis fisiko kimia cokelat batangan menunjukkan kadar air berkisar antara 0,98% 1,36%, kadar abu 1,43% - 2,37%, protein 1,90 – 7,05%, lemak 31,1% - 37,7%, bilangan iod 4,0 – 16,9 g iod per 100 g, indeks bias 1,4485 – 1,4545. Untuk titik leleh produk berkisar antara 32C –
40C, sedangkan lemak trans tidak ditemukan ada pada semua cokelat batangan. Titik leleh terendah cokelat batangan adalah yang dibuat menggunakan CBS jenis FHPKSt yaitu 32C. Produk cokelat komersial 1 dan 2 menunjukkan nilai titik leleh yang tinggi, yaitu 40C dan 37C. Tabel 3 Formulasi pembuatan cokelat batangan (compound) Bahan CBS Susu bubuk full cream Coklat bubuk Gula halus Vanili Lesitin
Jumlah 30% 22,1% 10% 37,5% 0,1% 0,3%
Titik cair dan titik leleh lemak merupakan salah satu penentu utama tekstur dan kekerasan permen cokelat batangan. Cokelat yang baik adalah cokelat yang tidak mencair dalam suhu ruang, tetapi meleleh ketika di dalam mulut, sehingga memberikan mouth feeling yang lembut. Hal ini dipengaruhi oleh kestabilan lemak kakao dan lemak lain (CBS) bersama komponen penyusun cokelat batangan lain yang berinteraksi memberikan tekstur permen cokelat secara keseluruhan. Kekerasan cokelat merupakan salah satu faktor kunci yang menentukan mutu dan kesempurnaan produk ketika produk berada dalam suhu ruang selama transportasi, pemasaran dan konsumen. Kerusakan cokelat secara langsung berhubungan dengan kekerasan atau titik cair dari lemaknya (Kattenberg, 2001). Menurut Basiron, 2005 di dalam Adimulyo, 2011, minyak sawit memiliki kisaran titik leleh (slip melting point) antara 31,3 – 37,6C dengan nilai rata-rata 34,2C, sedangkan stearin memiliki kisaran titik leleh antara 44,5 – 56,2C. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan produk cokelat batangan dengan menggunakan 6 jenis CBS yang berbeda dan penambahan bahan-bahan pembantu lainnya.
Tabel 4. Hasil analisis fisiko kimia cokelat batangan Cokelat Batangan Kadar air (%) Kadar abu (%) Protein (N x 6,25) Lemak (%) Bilangan Iod (g iod/100 g) Indeks Bias Titik Leleh (C) Lemak Trans (%)
FHPK Olein 1,36 2,25 7,05
FHPKSt
PHPK Oil 1,04 2,37 5,94
FHPKOil
CFJ
Kom 1
Kom 2
1,33 2,36 6,30
PHPK Olein 1,08 2,31 6,17
1,00 2,32 5,38
0,98 2,34 5,46
1,26 1,43 1,90
1,08 1,77 4,56
35,5 16,9
35,5 11,6
37,0 14,2
37,5 36,8
36,7 14,1
37,7 4,0
31,1 7,19
31,4 5,00
1,4510 34 0
1,4502 32 0
1,4510 40 0
1,4545 39 0
1,4510 39 0
1,4518 38 0
1,4498 40 0
1,4485 37 0
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Citation: Isyanti, M., Sudibyo, A. Supriatna, D. & Suherman, A, H. (2015) Penggunaan Berbagai Cocoa Butter Substitute (CBS) Hasil Hidrogenasi dalam Pembuatan Cokelat Batangan Warta IHP, 32(1), 33-44
Halaman | 40
Titik leleh merupakan parameter terpenting dalam menentukan mutu cokelat batangan. Hal ini akan menentukan teknik penyimpanan serta mempengaruhi kesukaan konsumen. Titik leleh pada cokelat batangan sangat dipengaruhi oleh lemak penyusunnya, karena komposisi utama cokelat batangan adalah lemak yaitu sekitar 30%. Menurut Trian (2014), FHPKO merupakan fully hydrogenated hard fats yang tidak mengandung asam lemak trans, berwujud padat pada suhu ruang, memiliki kandungan asam lemak jenuh (asam laurat) yang tinggi, dan nilai bilangan iod yang sangat rendah. Akibatnya, FHPKO sangat stabil terhadap oksidasi selama penyimpanan, 3.3.3. Komposisi asam lemak Produk cokelat batangan yang dihasilkan, dilakukan analisis komposisi asam lemak seperti pada Tabel 5. Dari hasil analisis, komposisi asam lemak laurat, palmitat, stearat, dan oleat terlihat cukup tinggi. Komposisi asam lemak dalam proses pembuatan cokelat batangan sangat menentukan titik cair lemak dan kekerasan lemak. Titik cair lemak sangat ditentukan oleh komposisi asam lemak dan tipe triasilgliserol (TAG) penyusunnya (Arohime dan Garti, 1988). Tipe Stearat-Oleat-Stearat (SOS) memiliki titik cair berbeda dengan Palmitat-Oleat-Stearat (POS) maupun Palmitat-Oleat-Palmitat (POP) (Dimick and Minning, 1987). Bentuk kristal penyusun lemak kakao juga mempengaruhi titik cair, semakin stabil bentuk kristalnya, titik cair lemak semakin tinggi. Terkait dengan bentuk kristal lemak ini, maka dalam pembuatan cokelat, proses tempering mutlak harus dilakukan dengan baik. Struktur trigliserida (TAG) minyak sawit sangat menentukan karakteristik fisik minyak sawit tersebut (Basiron, 2005 di dalam Sinaga,
2011). Titik leleh TAG dan sifat kristalisasi minyak sawit ditentukan oleh struktur dan posisi asam lemak di dalamnya. Pada minyak sawit juga terkandung pecahan dari TAG yang diketahui sangat mempengaruhi kristalisasi minyak sawit. Profil TAG produk cokelat batangan dapat dilihat pada Tabel 6. Dari hasil analisa komposisi trigliserida produk cokelat batangan (Tabel 6), terlihat profil TAG cokelat batangan komersial (CM dan CC) menunjukkan adanya TAG LaLaLa, LaLaM, LaMM/LaLaP, dan LMM/LaOM, begitu pula dengan cokelat batangan yang dibuat dari FHPKSt. Pada cokelat batangan komersial 1 (CC) dibandingkan cokelat batangan komersial 2 (CM) menunjukkan persentase luas area TAG LMM/LaOM sebesar 10.5129%. Jika dilihat dari komposisi yang tertera pada label kemasan, cokelat batangan komersial mengandung lemak nabati yaitu palm kernel fat (hydrogenated). Dominasi asam laurat pada cokelat batangan 1 dan 2 menunjukkan penggunaan Cocoa Butter Substitute (CBS) yang berasal dari minyak inti sawit. PKO kaya akan kandungan asam laurat mirip dengan minyak kelapa (Sambanthamurthi, Sudram dan Tan, 2000). Sumber utama CBS adalah palm kernel stearine (PKS) karena secara alami sudah mempunyai sifat fungsionalitas yang mirip dengan lemak kakao. Sedangkan untuk cokelat yang dibuat dari bahan CBS FHPKOil menunjukkan jumlah komposisi TAG SOO (17,8025%), SOS (11,0423%). CBS CJF menunjukkan jumlah TAG PPP (17,6539%) dan LaLaLa, LaLaM, CBS FHPKOil (SP) LMM, LaMM, dan LaLaLa, CBS FT terdapat semua asam lemak kecuali POS, SOS, dan PHPKOil (CK) menunjukkan dominasi komposisi asam oleat (39,1197%) dan POS (10,7705%).
Tabel 5. Komposisi asam lemak cokelat batangan Parameter Satuan
Asam Lemak Jenuh Kaprilat (C8) Kaprat (C10) Laurat (C12) Miristat (C14) Palmitat (C16:0) Stearat (C18:0) Asam Lemak Tidak Jenuh Oleat (C18:1) Linoleat (C18:2) Linolenat (C18:3)
Cokelat Batangan FHPK Olein
FHPKSt
PHPK Olein
PHPK O
FHPK O
CFJ
% % % % % %
0,75 1,06 11,0 3,23 6,11 9,63
0,57 0,98 14,8 5,19 5,09 6,30
0,68 1,12 13,3 3,69 5,43 8,46
0,47 0,79 8,52 2,66 12,2 6,53
0,69 1,13 15,8 4,27 5,18 6,89
0,97 1,18 12,9 4,55 6,73 5,21
0,52 0,96 13,9 4,43 3,87 6,19
0,32 0,87 15,6 5,54 3,96 3,75
% % %
3,48 0,21 0
2,30 0,18 0
3,37 0,36 0,63
5,83 0,42 0,04
2,05 0,65 0,09
5,45 0,61 0,05
0,89 0,24 0,07
1,09 0,24 0
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Kom 1
Kom2
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 33-44 Halaman | 41 Tabel 6. Hasil analisis komposisi trigliserida (TAG) cokelat batangan Jenis TAG ECN Komposisi TAG (% Luas Area) CC CM FHPKSt FHPKOlein CFJ FHPKOil PHPK (Kom1) (Kom2) Olein CpLaLa 32.0 5.2563 3.0170 3.7910 4.5859 4.8140 5.9395 11.5699 CaLaLa 34.0 7.8819 6.0659 6.1571 6.0939 8.2855 8.9632 15.264 LaLaLa 36.0 24.1102 26.2834 21.0030 13.0609 15.9506 20.8414 35.097 LaLaM 38.0 20.6693 24.9531 18.4359 9.0242 12.2768 16.5123 26.8404 LaMM/LaLaP 40.0 12.4099 15.4211 11.2971 5.2195 8.9689 11.5662 18.1917 LMM/LaOM 41.3/41.4 10.5129 8.3518 10.5438 17.6357 LMO/LaOP 42.7/43.4 12.744 MMM/LaPM 42.0 9.6464 8.4839 6.1569 4.6323 6.9360 MPL/MMO 44.0 7.4387 LaPP/MMP 44.0 5.5939 5.3517 4.9492 10.2205 SOO 46.0 17.8025 3.2424 5.0375 10.6247 OOO 48.0 5.4587 3.5527 3.6628 4.1970 5.5006 10.6238 PPP 48.0 2.9428 3.7488 5.2342 17.6539 7.7664 17.932 POP 48.0 6.2624 4.0203 9.8002 3.2288 5.8900 13.2653 POS 50.0 2.5239 8.6562 2.8339 7.0947 SOS 52.0 5.4023 11.0423 TAG Lainnya Keterangan : ECN : Equivalent Carbon Number S : Stearat (C18:0) M : Miristat (C14:0) Cp : Kaprilat (C18:0) O : Oleat (C18:1) P : Palmitat (C16:0) La : Laurat (C12:0) Ca : Kaprat (C10:0) L : Linoleat (C18:2)
3.3.4. Analisis ukuran partikel Pengujian ukuran partikel produk cokelat batangan dilakukan di Nano Tech Serpong menggunakan Particle Size Analyzer Model DelsaTM Nano dengan hasil seperti yang dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah ini. 3.3.5. Solid Fat Content (SFC) Pengujian SFC pada minyak atau lemak dilakukan untuk mengetahui jumlah padatan lemak pada produk cokelat batangan hasil Tabel 7. Hasil pengujian ukuran partikel produk cokelat batangan No Sampel Run 1 Kom 1 (CC) 1 2 3 3 Kom 2 (CM) 1 2 3 2 PHPKO 1 2 3 4 Coating Fat Jember (CFJ) 1 2 3 5 PHPKOlein 1 2 3 6 FHPKOlein 1 2 3 7 FHPKO 1 2 3 8 FHPKSt 1 2 3
PHPKOil 2.3017 3.7202 7.3491 5.4185 4.0287 3.8539 2.7334 4.4495 3.0676 2.1006 39.1197 2.4684 10.7795 6.0386 2.5710
penelitian di berbagai tingkat suhu observasi. Perbandingan dilakukan pada penggunaan suhu yang sama. Kandungan padatan lemak atau solid fat content (SFC) merupakan proporsi padatan lemak yang terkandung di dalam suatu minyak pada suhu observasi tertentu. Menurut Weiss (1983) di dalam Adimulyo (2011), lemak padat terdiri dari campuran berbagai komponen padatan lemak yang membentuk matriks kristal. Hal ini yang menahan porsi minyak cair di dalamnya seperti sponge yang menahan air.
Polydispersity Index 0.581 0.552 0.509 0.433 0.344 0.086 0.387 0.404 0.380 0.435 0.418 0.324 0.345 0.338 0.372 0.388 0.421 0.376 0.385 0.308 0.264 0.467 0.387 0.422
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Size (nm) 1.122±964.2 895.3±255.7 744.8±219.8 193.8±56.5 223.7±64.3 402.8±99.2 140.5±37.4 122.3±32.2 202.4±56.5 216.2±58.6 224.2±61.4 380.9±107.0 129.9±34.6 175.0±49.3 110.6±116.2 169.5±46.3 171.5±45.6 412.9±120.1 150.7±40.7 226.9±65.0 143.3±164.4 139.1±36.4 169.3±46.9 118.4±31.1
Citation: Isyanti, M., Sudibyo, A. Supriatna, D. & Suherman, A, H. (2015) Penggunaan Berbagai Cocoa Butter Substitute (CBS) Hasil Hidrogenasi dalam Pembuatan Cokelat Batangan Warta IHP, 32(1), 33-44
Halaman | 42
Alat yang digunakan dalam pengujian SFC adalah Nuclear Magnetic Resonance (NMR) dapat dilihat pada Tabel 8 Hasil analisis SFC produk cokelat batangan*) Parameter Satuan Hasil Uji Kom 1 Kom 2 FHPKSt (CC) (CM) % 92,88 86,26 95,71 SFC 10C % 81,30 75,50 90,81 SFC 20C % 22,28 10,32 21,12 SFC 30C % 4,45 0,04 0,12 SFC 40C Keterangan : *) Metode uji menggunakan Nucleic Magnetic Resonance (NMS) Non StabFats (AOCS-Cd 16b-93) CC = Cokelat komersial 1 CM = Cokelat komersial 2 FHPKSt = Cokelat hasil penelitian
Solid Fat Content (SFC) merupakan salah satu parameter khas yang sangat diperlukan dalam bisnis lemak kakao. Industri coklat membutuhkan parameter ini sebagai indikasi sifat pencairan lemak kakao dalam proses pengolahan lemak dan penggunaannya di industri makanan. Secara umum diharapkan pencairan akan terjadi pada suhu tubuh, yaitu pada kisaran 30-35oC, sehingga pada kisaran ini lemak kakao seharusnya mencair dengan cepat. 3.3.6. Uji organoleptik Pengujian organoleptik dilakukan di Laboratorium Pengujian, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta (Tabel 9). Tabel 9 Hasil uji penerimaan produk cokelat batangan
Kode Sampel FHPKSt CFJ PHPKO PHPK Olein FHPKO FHPK Olein CM(Kom 1) CC(Kom2)
Wa rna 4.30 4.20 4.15 4.10
Parameter Aro Ras ma a 3.95 4.00 3.60 3.60 3.55 3.48 3.65 3.28
Tek stur 4.08 3.40 3.45 3.75
Total Ratarata
4.30 3.50
2.90 3.60
3.05 3.08
3.75 3.50
3,50 3,42
3.98 4.30
3.55 2.90
3.73 3.05
3.53 3.75
3,69 3,50
4,08 3,70 3,66 3,69
Parameter sifat umum dan organoleptik yang penting dalam cokelat batangan adalah rasa/flavor, penampakan dan tekstur, sedangkan parameter spesifik yaitu adanya bercak putih (spot) dan kesan meleleh di tangan. Parameter rasa/flavor diantaranya adalah parameter kepahitan (bitterness), kemanisan (sweetness), dan rasa susu
(milk flavor). Keseimbangan rasa, kesan meleleh di mulut dan kesan kehalusan produk cokelat menjadi parameter penting (Zamrudi, 2008). Dari hasil uji organoleptik (Tabel 9), produk cokelat yang disukai oleh panelis dengan skor tertinggi adalah FHPKSt dari segi warna, aroma, rasa dan tekstur. FHPKSt merupakan produk cokelat batangan dengan menggunakan bahan CBS yang dihidrogenasi sempurna (Fully Hydrogenated Palm Kernel Stearin). 3.3.7. Masa simpan Penentuan umur simpan dilakukan pengukuran terhadap produk cokelat batangan di Balai Pasca Panen Cimanggu Bogor dapat dilihat pada Tabel 10 di bawah ini : Tabel 10 Pengukuran masa simpan produk cokelat batangan
Nama Sampel Cokelat Batangan
Jenis Analisis Umur simpan (pada suhu 25C)
Metode
Hasil
Satuan
Akselerasi
35
Minggu
Penentuan umur simpan produk cokelat batangan dilakukan dengan Metode Akseleras menggunakan parameter kondisi lingkungan yang dapat mempercepat penurunan mutu. Dari hasil pengukuran masa simpan menunjukkan umur simpan produk cokelat batangan terpilih dari penelitian ini adalah selama 35 minggu pada suhu penyimpanan 25C. Berdasarkan literatur, cokelat yang tergolong filled chocolate (seperti milk chocolate, sweetened dairy chocolate, nut and almond chocolate dan fondant filled chocolate) disimpan pada shu maksimum 10-18oC, RH 6070%, dan memiliki masa simpan selama 3-5 bulan. 3.3.8. Asam lemak bebas Asam lemak bebas merupakan asam lemak dalam keadaan bebas dan tidak berikatan lagi dengan gliserol. Asam lemak bebas terbentuk karena terjadinya reaksi hidrolisisi terhadap minyak yang akan menyebabkan ketengikan. Keberadaan asam lemak bebas menjadi indikator kualitas minyak, semakin tinggi kadar asam lemak bebas maka mutu minyak akan semakin rendah (Aji, 2010). Hasil analisis kadar asam lemak bebas dalam persentase asam oleat selama penyimpanan 6 minggu (akselerasi) pada produk cokelat batangan terpilih dapat dilihat pada Tabel 11.
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.32 (No.1) 07 2015: 33-44 Halaman | 43 Tabel 11 Kadar asam lemak bebas (FFA) selama penyimpanan (% asam oleat)
Minggu 0 1 2 3 4 5 6
5 C 0,08 0,09 0,13 0,13 0.12 0.24 0,35
Suhu 18 C 0,08 0,11 0,14 0.18 0.27 0.18 0,37
28 C 0,08 0,13 0,22 0.13 0.30 0.35 0,22
Dari data diatas, terlihat adanya peningkatan kadar asam lemak bebas (FFA) selama penyimpanan pada suhu 5C, 18C dan 28C. 4. Kesimpulan Analisis asam lemak menunjukkan kandungan CBS yang digunakan dalam pembuatan cokelat batangan adalah jenis CBS lauric yang berasal dari inti sawit, kecuali jenis PHPKOlein yang didominasi oleh asam oleat. Analisis fisiko kimia cokelat batangan menunjukkan kadar air berkisar 0,98-1,36%, kadar abu 1,43-2,37%, protein 1,90-7,05%, lemak 31,137,7%, bilangan iod 4,0-16,9 g iod per 100 g, indeks bias 1,4485-1,4545, dan tidak ditemukan adanya lemak trans pada semua cokelat batangan. Titik leleh cokelat batangan berkisar 32C sampai dengan 40C, tergantung dari jenis CBS yang digunakan. Titik leleh produk cokelat batangan terpilih jenis FHPKSt sebesar 32C, dengan kandungan lemak padat berbentuk curam mulai meleleh mendekati sempurna pd suhu 40C. Produk cokelat komersial menunjukkan titik leleh tinggi, 37C dan 40C. Uji penerimaan produk cokelat batangan dengan bahan CBS yang terpilih oleh panelis adalah jenis Fully Hydrogenated Palm Kernel Stearin (FHPKSt) dari parameter rasa, aroma, warna, dan tekstur, dengan persentase CBS sebesar 30 persen. Berdasarkan asal proses hidrogenasi, jenis CBS yang cocok untuk dibuat menjadi cokelat batangan adalah CBS jenis Fully Hydrogenated Palm Kernel Stearin (FHPKSt) dengan melalui proses hidrogenasi sempurna. Profil trigliserida cokelat batangan terpilih (jenis FHPKSt) dan cokelat komersial menunjukkan adanya dominasi TAG LaLaLa, LaLaM, LaMM/LaLaP dan LMM/LaOM yang berasal dari minyak inti sawit. Masa simpan produk cokelat batangan adalah selama 35 minggu dengan penyimpanan pada suhu 25C dengan parameter kritis adalah kadar air.
Ucapan terima kasih Ucapan terima kasih disampaikan Bapak Sumadyo Rahardjo yang telah membantu dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini. Penelitian ini dibiayai oleh DIPA Balai Besar Industri Agro melalui kegiatan DIPA Tahun 2013. Daftar Pustaka Adimulyo, P. 2011. Kajian Pencampuran Minyak dan Lemak (Minyak Kelapa Sawit, Stearin, dan Minyak Kelapa) Terhadap Karakteristik Minyak Campurannya di PT. Sinar Meadow International Indonesia. Aji, S. 2010. Pengaruh Jam Kedatangan Buah Terhadap Kinerja PKS Karang Dapo. Jurnal Penelitian STIPAP 1 (2): hal. 11. Aronhime, J. C & N. Garti (1988). Solidification and Polimorphism in Cocoa Butter and the Blooming Problem Crystalization and Polimorphism of Fat And Fatty Acids. Marcel Dekker, Inc. New York. 31, 363–393. Asmawit. 2012. Penelitian Substitusi Lemak Kakao dengan Lemak Kelapa Sawit dalam Pembuatan Coklat Batang. Biopropal Industri Vol. 3 No. 1 Juni 2012. Pontianak. Basiron, Y. 2005. Palm Oil. In Shahidi F (ed). Bailey’s Industrial Oil and Fat Product. Ed. Ke-6, Vol. ke-5. Hoboken : John Willey & Sons Inc. hlm 333-429. Bigalli, GL. 1988. “Practical aspects of the entectic effect on confectionery taste and their mixtures”. The Manufacture and Confectionery. 68:65-80. Dimmick, PS and Minning, DM. 1987. “Thermal and compositional properties of cocoa butter during static crystallization”. J. of American Oil Chemists Society. 64:16631669. Hasibuan, H. A., dan Siahaan, D. 2012. Optimasi Hidrogeasi Minyak Inti Sawit Skala 100 Kg/Batch dan Rafinasi Cocoa Butter Substitute yang Dihasilkan. Prosiding Insinas. Disajikan 29-30 Nopember 2012. Kattenberg, H.R. (2001). Performance of cocoa butter in chocolate. The Manufacture and Confectionery, 2, 49–53. Lawson, H. 1995. Food Oils and Fats : Technology, Utilization, and Nutrition. Champman and Hall, New York. Leong, L.W and Lye, OT. 1992. “New mon lauric cocoa butter substitute from palm oleins”. Journal of Institute of Malaysia. Elaeis 4:65-67. Lestari, N. 2013. Alih Teknologi Pengolahan Minyak Inti Sawit (PKO) Menjadi Cocoa Butter Substitute (CBS) dan Produk Olahan Kakao Skala IKM di PT. Tama Cokelat Indonesia Dalam Mendukung Diversifikasi Produk Hilir Kelapa Sawit. Laporan Penelitian Insentif Riset SINas 2013. Konsorsium BBIA dengan PPKS dan PT. Tama Cokelat Indonesia. Misnawi dan Wahyudi, T. 2008. Pengaruh Konsentrasi Stearin dan Lesitin Terhadap Sifat Fisik Permen Cokelat. Pelita Perkebunan, 2008, 24 (1), 49-61 Nirmala, D. 2011. Rencana Bisnis Industri Cokelat Batangan di Indonesia. Skripsi. FATETA IPB, Bogor. Purwo, S. 2013. Tips Memilih Chocolate Coating untuk Produk Snack. Foodreview Indonesia. Vol. VIII No. 10 Oktober 2013. Purwo, S. 2013. Teknik Pembuatan Cokelat. Food Review Indonesia. Vol. VIII, No. 7, Juli 2013, pp. 52-54. Permatasari, D. 2012. Peningkatan Mutu Cokelat Terhadap Aplikasi Kombinasi Cocoa Butter Substitute dan Soy Powder. Skripsi. Fakultas Teknologi Pangan Universitas Pasundan, Bandung. Silalahi. 1999. Modification of Fats and Oils. Media Farmasi. 7 (1):1-16. SNI 3748:2009. Lemak Kakao. Badan Standardisasi Nasional (BSN). Jakarta. Soekopitojo. 2011. Analisis Komponen Triasilgliserol Minyak dan Lemak Menggunakan HPLC. Food Review Indonesia.
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Citation: Isyanti, M., Sudibyo, A. Supriatna, D. & Suherman, A, H. (2015) Penggunaan Berbagai Cocoa Butter Substitute (CBS) Hasil Hidrogenasi dalam Pembuatan Cokelat Batangan Warta IHP, 32(1), 33-44
Halaman | 44 Sundari, Y. 2011. Analisis Asam Lemak Trans Pada Produk Cocoa Butter Substitute dari Minyak Sawit dan Minyak Inti Sawit. Skripsi. Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Medan. Tanuhadi, L. 2012. Chocology. Grasindo, Kompas Gramedia, Jakarta Weyland, M. 1999. “Confectionery oils and fats-profiling fat functionality”. The Manufacture and Confectionery. 10:53-60. Zamrudi, J. 2008. Identifikasi Langkah Perbaikan Produk Permen Cokelat ‘Jimbarwana’ di Koperasi Wanita Srikandi Jimbarwana, Jembrana, Bali.
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2015, All rights reserved
Halaman | xi
ISSN 0215-1243 VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 – 44
Warta Industri Hasil Pertanian (IHP) (Journal of Agro-based Industry) PEDOMAN PENULISAN WARTA IHP 1. 2. 3. 4. 5.
6. 7.
8.
9. 10.
Makalah merupakan pemikiran sendiri, belum pernah dipublikasikan, mengandung unsur kekinian dan bersifat ilmiah. Judul makalah harus spesifik, jelas, singkat, informatif dan menggambarkan substansi dari tulisan; judul ditulis dalam dua bahasa (bahasa Indonesia dan Inggris); judul diketik dengan huruf besar pada awal kata; judul bahasa lainnya di-italic. Nama penulis ditampilkan dengan jelas; lengkap tanpa menyebutkan gelar; nama asli; penulisan nama sebaiknya tidak disingkat, bila dilakukan penyingkatan nama harus mengikuti kaidah dan konsisten; nama penulis utama berada pada urutan paling depan. Identitas penulis berisi nama instansi/lembaga tempat penulis bekerja dan alamat; alamat e-mail khusus untuk penulis utama. Abstrak ditulis dalam dua bahasa; tidak boleh lebih dari 200 kata. Abstrak harus mencakup tujuan penelitian, bahan dan metode singkat, hasil dan kesimpulan. Hasil dapat didukung dengan data kuantitatif. Pada akhir abstrak seharusnya memperlihatkan kesimpulan akhir/info baru hasil litbang (Font Cambria, 10 pt dan spasi 1). Kata kunci ditulis dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris), ditempatkan di bawah abstrak, dapat berupa kata tunggal dan kata majemuk yang terdiri dari 3 sampai dengan 5 kata (Font Cambria, 8 pt, italic dan spasi 1). Isi makalah penelitian terdiri dari: o Pendahuluan (latar belakang, state of the art, dan tujuan penelitian) o Bahan dan metode o Hasil dan pembahasan (ilustrasi : gambar, tabel, grafik, foto, diagram dll) o Kesimpulan o Ucapan Terima Kasih (opsional) o Daftar Pustaka (paling sedikit 12 referensi). Isi makalah ulasan/ review terdiri dari: o Pendahuluan (latar belakang, tujuan penelitian) o Pembahasan (dapat terdiri dari beberapa bab sesuai kebutuhan) o Kesimpulan o Daftar Pustaka (paling sedikit 25 referensi) Makalah ditulis 1 spasi pada kertas A4 dengan batas atas dan batas bawah 2,5 cm tepi kiri 3 cm dan tepi kanan masing-masing 1,5 cm, huruf Cambria Font 10, dengan jumlah halaman makalah maksimal 10 halaman. Tabel diberi nomer berurutan, judul tabel ditempatkan di atas tabel (rata kiri), ditulis dengan huruf kecil kecuali huruf pertama pada kata pertama ditulis dengan huruf kapital kecuali singkatan (Font Cambria, 8 pt dan spasi 1); Tabel dibuat hanya dengan garis horisontal dan diletakkan rata kiri. Pencantuman sumber dan keterangan diletakkan di bawah tabel rata kiri (Font Cambria, 8 pt dan spasi 1). Contoh: Tabel 2. Perlakuan penyimpanan starter Kode Perlakuan pada Penyimpanan No. Suhu ruang Suhu pendingin 1. RBa1 RBa2 2. RBb1 RBb2 3. RBc1 RBc2 4. RBd1 RBd2
11. Gambar, grafik, foto atau diagram diletakkan ditengah (center) dan diberi nomer berurutan. Judul gambar ditempatkan di bawah gambar (center), ditulis dengan huruf kecil kecuali huruf pertama pada kata pertama ditulis dengan huruf kapital kecuali singkatan (Font Cambria, 8 pt dan spasi 1). Keterangan gambar, grafik, foto atau diagram menyatu dengan judul gambar. 12. Cara dan contoh penulisan kutipan dan daftar pustaka disesuaikan dengan American Psycological Association (APA) style:
Halaman | xii
ISSN 0215-1243 VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 – 44
Warta Industri Hasil Pertanian (IHP) (Journal of Agro-based Industry) Contoh : a. Terbitan buku (satu penulis): Daftar referensi Mandelbaum, M. (2002). The ideas that conquered the world: Peace, democracy, and free markets in the twentyfirst century. New York: Public Affairs. Kutipan : ( Mandelbaum, 2002)
b.
Terbitan buku (beberapa penulis): Daftar referensi Reiter, D., & Stam, A. C. (2002). Democracies at war. Princeton, NJ: Princeton University Press. Jika penulis lebih dari lima maka hanya ditulis penulis pertama dan ditambahkan et al. Kutipan Kutipan (2 orang penulis) : (Reiter & Stam, 2002 ) Kutipan (2-5 orang penulis) ditulis semua penulis pada awal kutipan, kutipan berikutnya hanya ditulis penulis pertama dan ditambahkan et al.
c.
Terbitan buku (beberapa edisi) Strunk,W., Jr., & White, E. B. (2000). The elements of style (4th ed.). New York: Longman. Jika penulis lebih dari lima maka hanya ditulis penulis pertama dan ditambahkan et al. Kutipan Kutipan (2 orang penulis) : (Reiter & Stam, 2002 ) Kutipan (2-5 orang penulis) ditulis semua penulis pada awal kutipan, kutipan berikutnya hanya ditulis penulis pertama dan ditambahkan et al.
d.
Buku online Daftar referensi Reed, J. (1922). Ten days that shook the world. Project Gutenberg. Etext 3076. Retrieved January 12, 2004, from ftp://ibiblio.org/pub/docs/books/gutenberg/etext02/10daz10.txt APA tidak mencantumkan tahun setelah URL, ini membuat APA berbeda dengan model referensi lainnya. Kutipan : (Reed, 1922)
e.
Jurnal (satu penulis) : Daftar referensi Lipson, C. (1991). Why are some international agreements informal? International organization, 45, 495–538. No. volume pada jurnal diketik italic tetapi no. Penerbitan dan halaman halaman tidak. Kata "Volume" (atau "vol.") dihilangkan. Tidak perlu untuk nama penerbitan tertentu jika halaman jurnal diberi nomor berkelanjutan sepanjang tahun. Namun, jika setiap penerbitan dimulai dengan halaman 1, nomor atau bulan penerbitan diperlukan: 45 (2), 15-30. Kutipan : (Lipson, 1991)
f.
Jurnal (beberapa penulis) Daftar referensi Koremenos, B., Lipson, C., & Snidal, D. (2001). Therational design of international institutions.International Organization, 55, 761–799. Hansen, S. S., Munk-Jorgensen, P., Guldbaek, B., Solgard, T., Lauszus, K. S., Albrechtsen, N., et al. (2000). Psychoactive substance use diagnoses among psychiatric in-patients. Acta Psychiatrica Scandinavica, 102, 432–438. Jika penulis lebih dari enam maka ditambahkan et al. Kutipan (Koremenos, Lipson, & Snidal, 2001) (Koremenos et al., 2001)
Halaman | xiii
ISSN 0215-1243 VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 – 44
Warta Industri Hasil Pertanian (IHP) (Journal of Agro-based Industry) g.
Surat kabar/ artikel majalah (tidak mencantumkan nama pengarang) Daftar referensi The United States and the Americas: One history in two halves. (2003, December 13). Economist, 36. Strong aftershocks continue in California. (2003,December 26). New York Times [national ed.], p. A23.
No. Surat kabar : “p” atau “pp”
Kutipan (United States and the Americas, 2003) (Strong aftershocks, 2003)
h.
Surat kabar/ artikel majalah (mencantumkan nama pengarang) Daftar referensi Bruni, F. (2003, December 26). Pope pleads for end to terrorism and war. New York Times [national ed.], p. A21. Kutipan (Bruni, 2003) or, if necessary, (Bruni, 2003, December 26)
i.
Surat kabar/ artikel majalah online Daftar referensi Vick, K. (2003, December 27). Quake in Iran kills at least 5,000: Temblor devastates ancient city; officials appeal for assistance. Washington Post [online], p. A01. Retrieved January 2, 2004, from http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A31539-2003Dec26.html Jehl, D. (2004, January 1). U.S. hunts terror clues in case of 2 brothers. New York Times [online], p. A10. Retrieved February 6, 2004, from ProQuest Newspapers database. Kutipan (Vick, 2003) or (Vick, 2003, December 27) (Jehl, 2004) or (Jehl, 2004, January 1)
j.
Naskah yang tidak diterbitkan (poster, tesis, disertasi) Daftar referensi Tsygankov, A. (2004, February). Russia’s identity and foreign policy choices. Paper presented at the Program on International Politics, Economics, and Security, University of Chicago. Hanya diperlukan bulan dan tahun untuk paper. Cheng, D. T., Smith, C. N., Thomas, T. L., Richards, J. A., Knight, D. C., Rao, S. M., et al. (2003, June). Differential reinforcement of stimulus dimensions during human Pavlovian fear conditioning. Poster session presented at the 9th Annual Meeting of the Organization for Human Brain Mapping, New York, NY. Reid, P. (1998). Beginning therapists and difficult clients: An exploratory study. Unpublished master’s thesis, University of Massachusetts, Amherst. Gomez, C. (2003). Identifying early indicators for autism in self-regulatory difficulties. Unpublished doctoral dissertation. Auburn University, AL. Kutipan (Tsygankov, 2004) (Cheng et al., 2003) (Reid, 1998) (Gomez, 2003)
k.
Abstrak Daftar referensi Kremer, M., & Zwane, A. P. (2005). Encouraging private sector research for tropical agriculture [Abstract]. World Development, 33, 87. Abstrak diambil dari sumber asli/ utama, menggunakan format yang sama seperti mensitasi abstrak dari seminar prosiding yang diterbitkan. Albin, C. (2003). Negotiating international cooperation: Global public goods and fairness. Review of International Studies, 29, 365–85. Abstract obtained from Peace Research Abstracts Journal, 42, 2005, 6, Abstract No. 236625.
Halaman | xiv
ISSN 0215-1243 VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 – 44
Warta Industri Hasil Pertanian (IHP) (Journal of Agro-based Industry) Abstrak diambil dari sumber kedua. Kutipan (Kremer & Zwane, 2005) (Albin, 2003/2005) Jika abstrak yang berasal dari sumber kedua diterbitkan dalam tahun yang berbeda dari sumber utama maka sitasi dengan memisahkan antara dua tahun tersebut dengan garis miring.
l.
Website Daftar referensi Digital History Web site. (2004). S. Mintz (Ed.). Retrieved January 10, 2004, from http://www .digitalhistory.uh.edu/index.cfm? Internet Public Library (IPL) (2003, November 17). Retrieved January 5, 2004, from http://www.ipl.org/ Yale University, History Department home page. (2003). Retrieved January 6, 2004, from http://www.yale.edu/history/
Jika website/ halaman web tidak menampilkan tanggal ketika ditulis/ diperbarui, maka cukup menampilkan tahun.
Kutipan (Digital History, 2004) (Internet Public Library, 2003) or (IPL, 2003) (Yale History Department home page, 2003)
m. Halaman Website (mencantumkan nama pengarang) Daftar referensi Lipson, C. (2004). Advice on getting a great recommendation. Retrieved February 1, 2004, from http://www.charleslipson.com/courses/ Getting-a-good-recommendation.htm Kutipan (Lipson, 2004)
n.
Halaman Website (tidak mencantumkan nama pengarang) Daftar referensi I Love Lucy: Series summary. (2004). http://www.sitcomsonline.com/ilovelucy.html
Sitcoms
Online.
Retrieved
May
4,
2005,
from
Kutipan (I Love Lucy: Series summary, 2004)
a.
Jika sitasi mempunyai satu atau dua penulis maka nama belakang penulis dicantumkan semua (tanpa inisial); apabila penulis ≥ 3 orang maka yang dicantumkan nama penulis pertama (tanpa inisial) ditambah kata et al. b. Apabila kalimat langsung mengacu kepada nama penulis maka yang dalam tanda kurung adalah tahun publikasi; apabila kalimat tidak langsung mengacu kepada nama penulis maka yang didalam tanda kurung adalah nama penulis (tanpa inisial) dan tahun publikasi. 13. Catatan kaki (footnotes) adalah suatu informasi yang merupakan suatu penjelasan tentang sesuatu yang dinyatakan dalam teks. Penjelasan itu diluar konteks dari teks tersebut. Biasanya catatan kaki itu diberi nomor berturut menurut teks. Tempat catatan kaki itu dibagian bawah halaman yang bersangkutan dengan apa yang dijelaskan. Catatan kaki berisi: 1. Keterangan khusus atau tambahan penting, tetapi tidak dimasukkan dalam teks karena uraiannya akan menyimpang dari garis besar karya ilmiah atau karena uraiannya akan bersifat berlarut-larut dan di luar konteks. 2. Komentar khusus mengenai bagian yang bersangkutan dalam teks. 3. Kutipan yang akan mengganggu kelancaran penyajian uraian bila dimuat dalam teks. 4. Penunjuk sumber yang diberi komentar tambahan 14. Didukung minimal 13 (tiga belas) daftar pustaka, 80% mengacu pustaka 10 (sepuluh) tahun terakhir, dan 80% berasal dari sumber acuan primer. 15. Lampiran hanya digunakan sebagai data pendukung dalam penilaian dan tidak dicetak dalam Warta IHP.
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.xx (No.x) mm yyyy: xx-xx
2,5 cm
Halaman | xx
Judul Artikel (Cambria, 17 pt, spasi 1) Judul artikel translasi (Cambria, 13 pt, italic, spasi 1)
1,5 cm
Penulis Utamaa, Penulis ke-2b and Penulis-ke-na (Cambria, 13 pt) a Institusi
penulis (Cambria, 8 pt) alamat (Cambria, 8 pt)
b Institusi
selain penulis utama (Cambria, 8 pt) alamat (Cambria, 8 pt)
e-mail penulis utama (Cambria, 8 pt)
Riwayat Naskah: Diterimaxx,xxx Direvisi xx,xxx Disetujui xx,xxx
ABSTRAK: Abstrak harus dimulai dengan latar belakang singkat, tujuan penelitian, bahan dan metode singkat dan hasil. Hasil dapat didukung dengan data kuantitatif. Pada akhir abstrak seharusnya memperlihatkan kesimpulan akhir/ info baru hasil litbang. Abstrak ini ditulis dalam bahasa sesuai isi artikel (Font Cambria, 10 pt dan spasi 1). Kata kunci: kata kunci 1, kata kunci 2, … kata kunci 5 (Cambria, 8 pt)
ABSTRACT: Abstract should be started with the short background of the study, short material and method, and result. The result may be supported by quantitative data. At the end of the abstract should show the final conclusion of the research/ new information about result. This abstract is written accordance to language of article content (Font Cambria, 10 pt and single space). Keywords: key word1, keyword 2, …keyword 5 (Cambria, 8 pt)
1. Pendahuluan
2. Bahan dan Metode
Pendahuluan harus menunjukkan sitasi pustaka yang mendukung penelitian. Untuk mensitasi pustaka harus mengikuti petunjuk penulisan (Hirsch et al. 2005; Meng & Bentley 2008; Bardi 2009). Format penulisan sitasi dan daftar pustaka mengikuti aturan APA (American Psychological Association). Pendahuluan berbentuk dua kolom dengan huruf Cambria, 10pt dan spasi satu.
2.1. Bahan Tuliskan semua bahan yang digunakan dalam penelitian. 2.2. Alat Tuliskan semua alat yang digunakan pada penelitian ini beserta spesifikasinya. 2.3. Metode 0.85 cm 2.3.1. Bagaimana menulis persamaan contoh persamaan adalah sebagai berikut: k k v f(v)= ( )(k-1) e(-v)/c) c c
(k > 0, v > 0, c > 1)
(1) Gambar 1. A typical power- wind speed curve (kurva kecepatan angin-Jenis kekuatan)
Pada akhir pendahuluan harus menunjukkan tujuan naskah.
Keterangan: k = parameter bentuk, Faktor bentuk k berhubungan dengan perubahan kecepatan angin; oleh karena itu berlokasi ditempat tertentu. c = parameter skala
2,5 cm © WIHP – ISSN: 0215-1243, xxx,, All rights reserved
3 cm
Citation: Author1, Author2., & Author 3 (xxx) Title of your manuscript. Warta IHP, x(x),xx-xx
Halaman | xx
1
n f i vi and v i 1N fi i 1 N
n
f v N
i 1
i
i
v
2
N
f i 1
i
(2)
Keterangan: (v) = mean wind velocity, v = actual wind speed in m/s, N = number of different values of wind speeds observed, fi = the numbers of observations of a specific wind speed vi and n = 1 for arithmetic mean, n = 2 for root mean square, n = 3 for cubic mean cube root. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Cara mendeskripsikan Cara mendeskripsikan dengan cara menggabungkan antara hasil dan pembahasan sekaligus. 3.2. Cara penulisan tabel Tabel harus ditulis secara ilmiah seperti ditunjukkan oleh Tabel 1, Tabel 2. Garis hanya untuk heading dan garis tertutup. Tidak diperbolehkan garis vertikal. Cara penulisan tabel dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: (1) untuk tabel berukuran kecil dapat dibuat dalam format dua kolom seperti pada Tabel 1.; (2) untuk tabel berukuran besar dapat dibuat dalam format satu kolom, dengan ketentuan.
peletakan tabel pada bagian bawah atau atas dari halaman tersebut Tabel 1 Monthly means and standard deviations of wind speed data Cubic Standar Arithmetic Month d Mean v 3 Mean v (m/s) Deviatio (m/s) n January February March April May June July August September October November December
5.1427 5.2659 4.7767 6.2008 9.4697 9.6657 10.5473 9.4452 7.1930 4.5461 6.8517 5.8205
Tabel 2 Weibull Parameters for The Test Site Month k January 3.1085 February 2.4533 March 2.2102 April 2.1894 May 2.7570 June 3.6749 July 3.2969 August 3.3358 September 2.7045 October 2.2725 November 3.6044 December 2.9325
5.7955 6.3556 6.0523 7.8349 10.9003 10.4821 11.7628 10.4108 8.2827 5.6524 7.5004 6.6385
2.0396 2.7814 2.9158 3.8077 4.2843 3.1620 3.9213 3.4333 3.3136 2.6543 2.3033 2.4651
c 6.4796 7.1633 6.8338 8.8468 12.2484 11.6195 13.1139 11.5997 9.3133 6.3811 8.3230 7.4414
3.3. Cara penulisan gambar Cara penulisan gambar dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: (1) untuk gambar berukuran kecil dapat dibuat dalam format dua kolom seperti pada Gambar 1.; (2) untuk gambar berukuran besar dapat dibuat dalam format satu kolom, dengan ketentuan peletakan gambar pada bagian bawah atau atas dari halaman tersebut, seperti pada Gambar 2 dan Gambar . Gambar harus dijelaskan pada kalimat/ pernyataan.
Gambar 2. Keandalan dibandingkan dengan kecepatan angin
© WIHP – ISSN: 0215-1243, xxxx, All rights reserved
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.xx (No.x) mm yyyy: xx-xx Halaman | xx
Gambar 3. Keandalan dibandingkan dengan kekuatan per unit menyapu wilayah/ daerah
4. Kesimpulan Mohon menyampaikan kesimpulan penemuan disini Ucapan terima kasih Mohon memberikan ucapan terima kasih disini Daftar Pustaka A Survey of Canadian Utilities. (1995) Isolated Systems Generating Planning Practices. Abed, K.A. & El-Mallah, A.A. (1997) Capacity Factor of Wind Turbines. Energy, 22, 487-91. Albadi, M.H. & EI- Saadany, E.F. (2010) Optimum Turbine- Site Matching. Energy, 35, 3593-3602. Bardi, U. (2009) Peak Oil: The Four Stages of A New Idea. Energy, 34, 323-6. Billinton, R. & Allan, R.N. (1996) Reliability Evaluation of Power Systems. Plenum Press, 2nd ed. New York. Charles, E.E. (2000) An Introduction to reliability and maintainability engineering, 1st edition , New Delhi; Tata McGraw –Hill Publishing company Ltd. Dong Li, D. & Niu, L.Q. (2008) Reliability Analysis of Electric Distribution System Integrated with Wind Power, IEEE International Conference on Industrial Electronics and Applications ICIEA, Singapore pp 729- 733. Hirsch, R.L., Bezdec, R. & Wendling, R. (2005) Peaking of World Oil Production: Impacts, Mitigation and Risk Management. DOE Report. Available from,
http://www.netl.doe.gov/publications/others/pdf/Oil_Peak ing_NETL.pdf. Jangamshetti, S.H. & Rau, V.G. (1999) Site Matching of Wind Turbine Generators: A Case Study. IEEE Transactions on Energy Conversion, 14(4), 1537-1543. Jangamshetti, S.H. & Rau, V.G. (2001a) Optimum Siting of Wind Turbine Generators. IEEE Transactions on Energy Conversion, 16(1), 8-13. Jangamshetti, S.H. & Rau, V.G. (2001b) Normalized Power Curves as A Tool for Identification of Optimum Wind Turbine Generator Parameters. IEEE Transactions on Energy Conversion, 16(3), 283-288. Johnson & Gary, L. (1985) Wind Energy Systems, Prentice Hall Inc., Englewood Cliffs, NJ 07632. Justus, C.G. (1978) Winds and System Performance, Franklin Institute Press, Philadelphia. Karki, R. & Billinton, R. (2004) Cost- Effective Wind Energy Utilization for Reliable Power Supply. IEEE Transactions on Energy Conversion, 19(2), 435-440. Karki. R. & Po, Hu. (2005) Wind Power Simulation Model for Reliability Evaluation, In Proc.IEEE Can. Con. Electr. Comput. Eng. Saskatoon, 541-544. Manwell, J.F., McGowan, J.G. & Rogers, A.L. (2002) Wind Energy Explained – Theory, Design and Application. West Sussex: John Wiley & Sons Ltd. Meng, Q.Y. & Bentley, R.W. (2008) Global Oil Peaking: Responding to The Case for Abundant Supplies of Oil. Energy, 33, 1179-84. Salameh, Z.M. & Safari, I. (1992) Optimum Windmill-Site Matching. IEEE Transaction on Energy Conversion, 7, 669-76. Srinath, L.S. (2005) Reliability Engineering, 3rd edition, New Delhi. Affiliated East- West Press. Suchitra, G. & Jangamshetti, S.H. (2008) Reliability Evaluation of Wind Power in North Karnataka, India- A Case Study. IEEE International Conference on Sustainable Energy Technologies ICSET Singapore, 24-27, 478-482.
© WIHP – ISSN: 0215-1243, xxx,, All rights reserved
Halaman | xviii
ISSN 0215-1243 VOL 32 No. 1 Juli 2015 Hal 1 – 44
Warta Industri Hasil Pertanian (IHP) (Journal of Agro-based Industry)
UCAPAN TERIMA KASIH Redaksi Warta IHP mengucapkan terima kasih kepada para Redaktur dan Mitra Bestari dalam menelaah naskah yang diterbitkan di Jurnal ilmah ini, sehingga jurnal ini dapat terbit tepat pada waktunya. Mitra Bestari yang telah berpartisipasi dalam terbitan volume 32 No. 1 Juli 2015 adalah:
Prof. Dr. Ono Suparno, S.T.P, M.T.
Prof. Dr. Ing. Misri Gozan, M.Tech
Prof. Dr. Ir. Sutrisno Marjan, M.Eng
Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc
Dr. Ir. Ingrid S. Surono, M.Sc
Dr. Ir. Bambang Hariyanto, M.Si.
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI BALAI BESAR INDUSTRI AGRO Jl. Ir. H. Juanda No. 11 Bogor Telp. 0251-8324068 Fax. 0251-8323339 email :
[email protected] /
[email protected] website : www.bbia.go.id