1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dalam tiga dasawarsa terakhir sektor kehutanan memberikan kontribusi penting bagi perekonomian Indonesia. Selama periode tahun 1980-2005 penerimaan dari sektor kehutanan cukup berfluktuasi, dan mencapai puncaknya pada tahun 1997, sebesar US$ 6.24 milyar. Penerimaan dari sektor kehutanan antara lain berasal dari Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH), Dana Reboisasi (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini dikelompokan dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Realisasi Penerimaan dari PSDH dan DR hingga semester I tahun 2009 mencapai Rp 1.1 triliun atau 40 persen dari target tahun yang sama1, atau sebesar Rp 2.1 triliun pada tahun 2010 (Kementerian Kehutanan, 2011). Penerimaan negara bukan pajak dari sektor kehutanan pada tahun 2010 mencapai Rp 3.1 triliun, dimana dari sektor PSDH dan DR memberikan kontribusi sebesar Rp 2.5 triliun. Penerimaan negara dari sektor kehutanan, khususnya atas dasar penerimaan dari produksi kayu yang dihitung dari Dana Reboisasi sangat berfluktuatif, dari tahun 2006 ke tahun 2007 mengalami penurunan, dari sebesar Rp 1.7 triliun menjadi Rp 1.3 triliun, kemudian kenaikan lagi menjadi Rp 1. 6 triliun, Rp 1.5 triliun dan Rp 1.7 triliun pada tahun 2008, 2009 dan 2010. Sedangkan penerimaan dari Provisi Sumberdaya Hutan relatif mengalami kenaikan dari tahun 2008 sampai 2010, berturut-turut
1
Bisnis Indonesia. 2009. Penerimaan DR & PSDH baru 40%. Selasa 8 September 2009. (http://www.pajakonline.com/engine/artikel/art.php?artid=6403).
2
sebesar Rp 0.62 triliun, Rp 0.67 triliun dan Rp 0.8 triliun (Kementerian Kehutanan, 2011) PSDH dikenakan kepada pemegang izin sebagai pengganti nilai instrinsik hasil hutan yang dipungut dari hutan negara. Kayu bulat yang dikenakan PSDH mencakup kayu bulat yang berasal dari hutan alam dan hutan tanaman. Besarnya PSDH yang harus dibayar sebesar tarif, 10 persen dikalikan harga patokan dan dikalikan dengan jumlah hasil hutan kayu dari Laporan Hasil Produksi (LHP) kayu bulat. LHP merupakan laporan dari ketersediaan stok sesungguhnya di hutan (standing stock) yang siap untuk ditebang. Dana Reboisasi (DR) adalah dana yang dipungut dari kegiatan eksploitasi hutan, digunakan untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya. DR dikenakan kepada pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam, hasil penebangan (land clearing) areal hutan alam, hutan tanaman yang dibiayai negara, dari hasil sitaan, dari penjualan tegakan dan dari hutan desa. Besarnya DR yang dibayarkan oleh perusahaan dihitung atas dasar volume kayu yang diproduksi dikalikan dengan kewajiban yang harus dikeluarkan oleh perusahaan per satuan volume kayu (m3) berdasarkan LHP. Besarnya DR ditetapka antara US$ 13-16 per m3 untuk kelompok kayu jenis meranti dan US$ 10.5-13 per m3 untuk kelompok kayu jenis rimba campuran, tergantung wilayah perusahaan beroperasi. Pembayaran DR oleh perusahaan tidak dimaksudkan bahwa perusahaan bisa melepaskan kewajiban pemegang izin hak pengusahaan hutan untuk memelihara hutan dan melakukan regenerasi hutan. USAID dan Bank Dunia mencatat masih intensifnya produksi kayu bulat untuk bahan baku kayu lapis, kayu gergaji dan pulp. Beberapa kebijakan
3
pemerintah telah menyebabkan industri perkayuan tumbuh cepat dan mengalami perubahan struktur selama periode tahun 1980-2005, peningkatan defisit bahan baku industri kayu gergajian dan kayu lapis (serta veneer) sejak tahun 1997, sementara kapasitas terpasang industri pulp terus meningkat. Persoalan kesenjangan penawaran dan permintaan kayu bulat merupakan persoalan jangka panjang keberlanjutan industri pengolahan kayu (Simangunsong, et al., 2007). Produksi kayu bulat yang berasal dari hutan alam pada tahun 2009 berjumlah kurang dari 5 juta m3 per tahun, dan dari hutan tanaman berjumlah 22 juta m3 pada tahun 2008 serta 18 juta m3 pada tahun 2009 (Kementerian Kehutanan, 2010). Apabila dibandingkan dengan produksi kayu bulat dari hutan alam periode tahun 1997-2000, lebih dari 10 juta m3 per tahun. Produksi kayu bulat dari Hutan Tanaman Industri (HTI) meningkat dari 600 000 m3 pada Tahun 1997 menjadi 11 juta m3 pada tahun 2006. Konsumsi kayu oleh industri perkayuan meningkat tajam dari 11.7 juta m3 pada tahun 1980 menjadi 24.1 juta m3 pada tahun 1985, puncaknya 52.7 juta m3 pada tahun 2003, dan menurun dengan tajam menjadi 44.5 juta m3 pada tahun 2005. Produksi total kayu bulat pada tahun 2005 adalah 24.22 juta m3 yang berasal dari hutan alam sebesar 5.72 juta m3 dan hutan tanaman industri sebesar 12.82 juta m3 disamping sumber lainnya seperti dari hutan tanaman Perum Perhutani. Selisih dari kayu bulat yang dikonsumsi oleh industri kayu olahan dengan produksi kayu bulat resmi sering dipertanyakan, bahkan dianggap sebagai kayu bulat illegal (Simangunsong, et al., 2007). Menurut FAO produksi rata-rata kayu bulat Indonesia tahun 1995 sampai dengan 2009 masih mencapai lebih dari 30 juta m3 (Food Agriculture Organization, 2011). Dalam hal ini terdapat ketidak sesuaian data apabila
4
membandingkan data dari Kementerian Kehutanan dengan data yang dikeluarkan oleh FAO. Indonesia menjadi salah satu negara penghasil terbesar pulp dunia, bersama Cina dan Brazil. Industri pulp Indonesia berada dalam kapasitas pemanfaatan yang sangat tinggi, dengan rata-rata pemanfaatan install capacity lebih dari 80 persen. Berdasarkan data dari Simangunsong et al., (2007) dalam Road Map Revitalisasi Kehutanan Indonesia, terdapat 10 pabrik pulp dan kertas yang terintegrasi dan 3 pabrik pulp tidak terintegrasi dengan total kapasitas terpasang 6.45 juta Adt (airdried ton) pada tahun 2005, dan 86% dari kapasitas terpasang tersebut berlokasi di Sumatera. Berbeda dengan industri pulp, 90 persen anggota Indonesia Sawmill and Woodworking (ISWA) adalah perusahaan kecil menengah dan tidak mempunyai HPH, dari yang terdaftar sekitar 1 600 perusahaan dan berorientasi ekspor, dari tahun ke tahun mulai menurun menjadi 600an perusahaan saja pada tahun 2006. Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) mencatat jumlah anggotanya per Oktober 2006 ada 130 perusahaan, namun yang aktif hanya berjumlah 68 3
perusahaan dengan kapasitas produksi 6.1 juta m /tahun dimana hanya 19 unit 3
yang berproduksi normal (1.54 juta m /tahun). Sedangkan produksi kayu lapis pada tahun 2009 sebesar 3 juta m3 dan produksi kayu gergaji pada tahun yang sama mencapai 0.7 juta m3 (Kementerian Kehutanan, 2010).
1.2. Perumusan Masalah Sinaga (1989) menyebutkan intervensi kebijakan larangan ekspor kayu bulat periode penelitian tahun 1975-1982 berdampak kepada terjadinya penurunan
5
produksi kayu bulat dan penurunan harga kayu bulat domestik. Rusli (1999) menyebutkan ada keterkaitan penerapan kebijakan konservasi di Indonesia dengan pasar kayu lapis, dimana kebijakan konservasi akan terkait dengan pengurangan Jatah Penebangan Tahunan (Annual Allowable Cut/AAC) kayu bulat, yang mempengaruhi produksi industri kayu lapis. Di Barat Laut Pacific Amerika Serikat, peraturan konservasi berdampak kepada penurunan produksi kayu (Wear dan Park, 1994). Karena kualitas hutan semakin menurun, maka ketersediaan bahan baku kayu bulat terus menurun. Apabila memberlakukan kebijakan pembatasan produksi, maka akan mengakibatkan penawaran menurun, dibatasi oleh jumlah produksi yang lebih kecil dari sebelumnya, dengan jumlah permintaan yang konstan, akan terjadi kenaikan harga per satuan volume. Dengan keseimbangan baru ini, akan terjadi penurunan tingkat kesejahteraan produsen dan konsumen (Pindyck, 2005). Penurunan ketersediaan sumber bahan baku kayu bulat merupakan masalah besar yang dihadapi industri pengolahan kayu. Kebijakan pembatasan produksi kayu bulat bisa menjadi kebijakan konservasi yang dapat digunakan untuk mengurangi tekanan terhadap hutan alam. Dampak penerapan instrumen pajak per unit, dapat dilihat melalui perbedaan pajak yang dibayar oleh konsumen dan yang dibayar oleh produsen (Nicholson, 2000). Besarnya kehilangan penerimaan produsen dan konsumen akibat kebijakan pajak akan menjadi bagian penerimaan pemerintah. Beberapa hasil penelitian terkait menunjukkan bahwa kebijakan pajak akan mempengaruhi tingkat produksi kayu bulat. Kebijakan PSDH dan DR berturut-turut merupakan
6
royalti dan dana yang menjadi kewajiban dan yang harus dibayarkan oleh perusahaan kepada pemerintah. Evaluasi dampak kebijakan terhadap kesejahteraan dapat dilakukan dengan melakukan analisis kesejahteraan. Nicholson (2000) menyebutkan bahwa kesejahteraan akan maksimum pada keseimbangan pasar kompetisi (competitive market equilibrium). Just et al. (1982) menyebutkan bahwa surplus konsumen sering digunakan untuk mengukur kesejahteraan konsumen, dan surplus produsen adalah paling umum digunakan untuk mengukur kesejahteraan produsen. Pengelola hutan alam dan hutan tanaman merupakan produsen penghasil kayu bulat penyedia kebutuhan bahan baku utama industri pengolahan kayu primer. Kegiatan eksploitasi kayu bulat yang bearasal dari hutan alam pada masa lalu sangat tinggi, dimana penebangan kayu bulat dari hutan alam jauh melebihi dari kemampuan produksi secara lestari. Tingkat eksploitasi kayu bulat atas dasar kebutuhan bahan baku industri perkayuan belum dapat didukung oleh percepatan riap pertumbuhan kayu. Kondisi sumber bahan baku yang semakin menurun menjadikan ketergantungan industri kayu terhadap sumberbahan baku semakin tinggi. Namun disisi lain kebutuhan untuk memenuhi kapasitas industri perkayuan semakin tinggi, khususnya industri pulp yang akhir-akhir ini semakin meningkat, bertolak belakang dengan industri kayu lapis dan kayu gergaji yang produksi kayu olahannya semakin menurun. Bagaimanapun situasi perkayuan saat ini, perusahaan penyedia bahan baku kayu bulat diwajibkan untuk membayar PSDH dan DR, dan disetor ke kas negara. Dari pemaparan tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan:
7
1. Bagaimana ketersediaan kayu bulat
dapat mendukung
keberlangsungan
industri pengolahan kayu primer? 2. Bagaimana implikasi penerapan kebijakan PSDH dan DR terhadap kesejahteraan produsen, konsumen?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalis model penawaran dan permintaan kayu bulat melalui estimasi elastisitas penawaran dan permintaan pada pasar input kayu bulat dan pasar output produk primer kayu olahan. 2. Menganalisis dampak kebijakan PSDH dan DR terhadap produksi, dan harga kayu bulat serta kayu olahan. 3. Menganalisi berbagai skenario kebijakan PSDH dan DR dan dampaknya terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen.
1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memberikan tambahan informasi mengenai elastisitas penawaran dan permintaan penelitian terkait yang sudah pernah dilakukan, khususnya untuk mendapatkan gambaran model penawaran dan permintaan kayu bulat di Indonesia. Selain itu diharapkan juga dapat digunakan untuk mengetahui dampak penerapan berbagai kebijakan sektor kehutanan, termasuk penerapan kebijakan PSDH dan DR terhadap kesejahteraan, atau kemungkinan kebijakan tarif lainnya di sektor industri kayu primer.
8
Penelitian diharapkan juga dapat digunakan untuk mencari alternatif kebijakan melalui berbagai pilihan skenario kebijakan yang diterapkan, dan bisa digunakan sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam penyusunan kebijakan sektor kehutanan agar dapat mendorong industri perkayuan bisa bersaing di pasar dunia dengan cara memperkuat pondasi pengelolaan kehutanan di dalam negeri, serta bisa bermanfaat bagi perusahaan untuk penyusunan perencanaan bisnis perusahaan yang lebih baik.
1.5. Ruang Lingkup Industri kayu primer yaitu industri kayu lapis, industri kayu gergaji dan industri pulp membutuhkan kayu bulat sebagai bahan baku utama. Kayu bulat diperoleh dari hutan alam dan hutan tanaman. Beberapa faktor yang mempengaruhi perusahaan dalam menyediaan kayu bulat antara lain sumber bahan baku di hutan (tegakan hutan), tingkat harga kayu bulat di pasaran dan kemampuan finansial perusahaan. Kewajiban perusahaan membayar royalti PSDH dan DR merupakan bagian penerimaan negara bukan pajak yang ikut mempengaruhi harga kayu bulat. Ruang lingkup penelitian adalah secara nasional meliputi penelitian sumber bahan baku dari hutan alam dan Hutan Tanaman Industri (HTI). HTI terdiri dari HTI perkakas dan HTI pulp. Produk kayu olahan industri primer meliputi kayu lapis, kayu gergaji dan pulp. Penelitian ini tidak mencakup mengenai penerapan kebijakan Jatah Produksi Tahunan (JPT) yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan pengelola kayu bulat (HPH) dan tidak mencakup mengenai penerapan kebijakan tarif yang dibebankan oleh pemerintah kepada industri kayu primer.