IDENTIFIKASI SPESIES, KARAKTERISTIK KOLONI DAN KUNCI IDENTIFIKASI KUTUDAUN (HEMIPTERA: APHIDIDAE) PADA TANAMAN HIAS DI DAERAH BOGOR DAN CIANJUR
DESY PERMATASARI
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi Spesies, Karakteristik Koloni dan Kunci Identifikasi Kutudaun (Hemiptera: Aphididae) pada Tanaman Hias di Daerah Bogor dan Cianjur adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2013 Desy Permatasari NIM A34090068
ABSTRAK DESY PERMATASARI. Identifikasi Spesies, Karakteristik Koloni dan Kunci Identifikasi Kutudaun (Hemiptera: Aphididae) pada Tanaman Hias di Daerah Bogor dan Cianjur. Dibimbing oleh PURNAMA HIDAYAT. Kutudaun merupakan kelompok serangga hama yang memiliki kisaran inang yang sangat luas. Hampir seluruh tanaman hias merupakan inang dari kutudaun. Kerugian yang ditimbulkan oleh kutudaun sebagai hama berkisar antara 6-25%, sedangkan sebagai vektor virus tanaman dapat mencapai lebih dari 80%. Informasi mengenai taksonomi dan karakteristik koloni kutudaun pada tanaman hias di Indonesia masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan karakteristik kutudaun pada tanaman hias di Bogor dan Cianjur. Pada pengamatan terhadap koloni, jumlah kutudaun bersayap dan tidak bersayap dihitung dan jenis semut yang berasosiasi pada koloni diidentifikasi. Kutudaun yang ditemukan dibuat preparat slide dan diidentifikasi. Gambar karakter morfologi kutudaun yang ditemukan digunakan untuk membuat kunci identifikasi berdasarkan gambar (pictorial key). Sebanyak 10 spesies kutudaun ditemukan pada 29 spesies tanaman hias di Bogor dan Cianjur yaitu Aphis gossypii, Astegopteryx nipae, Aulacorthum solani, Greenidea psidii, Indomegoura indica, Macrosiphum euphorbiae, Myzus persicae, Neomyzus circumflexus, Toxoptera aurantii dan T. odinae. Tiga spesies diantaranya belum pernah dilaporkan pada tanaman hias di Indonesia, yaitu I. indica, M. euphorbiae dan N. circumflexus. Sebagian besar kutudaun yang ditemukan merupakan kutudaun tidak bersayap. A. gossypii adalah spesies kutudaun yang paling sering ditemukan pada tanaman hias. Famili Acanthaceae merupakan tanaman inang yang paling banyak terserang kutudaun. Jenis semut yang ditemukan berasosiasi dengan kutudaun pada tanaman hias adalah Dolichoderus thoracicus, Lepisiota sp., Myrmicaria sp. dan Pheidole sp.. Kunci identifikasi berdasarkan gambar dari 10 kutudaun yang ditemukan pada tanaman hias di Bogor dan Cianjur telah dibuat dan dapat digunakan oleh siapapun yang memerlukan. Kata kunci: kutudaun, tanaman hias, identifikasi morfologi, kunci identifikasi
ABSTRACT DESY PERMATASARI. Identification of Species, Characteristics of Colony and Pictorial Key of Aphids (Hemiptera: Aphididae) on Ornamental Plants in Bogor and Cianjur. Supervised by PURNAMA HIDAYAT. Aphids is a group of insect pest that have a very wide host range. Almost all ornamental plants are the host of aphids. The damage caused by aphids as pests range from 6-25%, while the damage caused by plant viruses transmitted by aphids can reach more than 80%. Information on taxonomy and colony characteristics of aphids associated with ornamental plants in Indonesia is very limited. The research aims to know the species and colony characteristics of aphids associated with ornamental plants in Bogor and Cianjur. The research was done by observation of aphid’s colonies including counting the number of winged and wingless aphids, recording the ants associated with the aphid’s colonies, collecting aphids and ants for identification, preparing microscope slide, identification of host plants, identification of aphid and ants, analyzing the data and building a pictorial key for collected aphids. Ten species of aphids were collected from 29 species of ornamental plants in Bogor and Cianjur, they were Aphis gossypii, Astegopteryx nipae, Aulacorthum solani, Greenidea psidii, Indomegoura indica, Macrosiphum euphorbiae, Myzus persicae, Neomyzus circumflexus, Toxoptera aurantii and T. odinae. Among them, three species were never been reported in Indonesia. They were I. indica, M. euphorbiae and N. circumflexus. Most of aphids were found in the colonies were wingless. A. gossypii was the most abundant aphid species found in the area. Plants belong to the family of Acanthaceae were the host most frequently attacked by aphids. The ants associated with the aphids in ornamental plants were Dolichoderus thoracicus, Lepisiota sp., Myrmicaria sp. dan Pheidole sp.. A pictorial key of 10 aphid species associated with ornamental plants in Bogor and Cianjur was constructed for an identification tool of the aphid in the areas. Keywords: aphids, ornamental plants, identification of morphology, pictorial key.
©
Hak Cipta Milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
IDENTIFIKASI SPESIES, KARAKTERISTIK KOLONI DAN KUNCI IDENTIFIKASI KUTUDAUN (HEMIPTERA: APHIDIDAE) PADA TANAMAN HIAS DI DAERAH BOGOR DAN CIANJUR
DESY PERMATASARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Usulan
Nama Mahasiswa NIM
: Identifikasi Spesies, Karakteristik Koloni dan Kunci Identifikasi Kutudaun (Hemiptera: Aphididae) pada Tanaman Hias di Daerah Bogor dan Cianjur : Desy Permatasari : A34090068
Disetujui oleh,
Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc. Dosen Pembimbing
Diketahui,
Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, Msi. Ketua Departemen Proteksi Tanaman
Tanggal lulus :
PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul Identifikasi Spesies, Karakteristik Koloni dan Kunci Identifikasi Kutudaun (Hemiptera: Aphididae) pada Tanaman Hias di Daerah Bogor dan Cianjur, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih tak terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta serta adik-adik yang senantiasa dengan tulus mendoakan dan menjadi salah satu motivasi selama kegiatan penulisan usulan tugas akhir berlangsung, Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc. selaku dosen pembimbing tugas akhir yang telah banyak memberi arahan serta saran dalam penyusunan usulan tugas akhir ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Giyanto, M.Si. selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan kritik dan saran untuk penyempurnaan penulisan skripsi serta Dra. Dewi Sartiami, M.Si dan Dr. Akhmad Rizali yang telah membantu dalam penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman seperjuangan di Departemen Proteksi Tanaman (Annisa, Kevin, Fathur, Dony, Fahmi, Mansyur, Suryadi, Nadzir dan Mahardika), mbak Yani Maharani, Edithya Pratama, serta semua pihak yang telah mendukung dan membantu dalam penyusunan tugas akhir ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tugas akhir ini masih memiliki keurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak. Semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Bogor, Desember 2013 Desy Permatasari
DAFTAR ISI PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Metode Penelitian Pengambilan Sampel Kutudaun Pembuatan Preparat Mikroskop Kutudaun Identifikasi Kutudaun dan Semut Pembuatan Kunci Identifikasi Bergambar HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengambilan Sampel Kutudaun Karakter Koloni Kutudaun Semut yang Berasosiasi Dengan Koloni Kutudaun Deskripsi Spesies Kutudaun Subfamili Aphidinae Subfamili Greenideinae Subfamili Hormaphidinae Kunci Identifikasi Berdasarkan Gambar KESIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
1 1 2 2 3 3 3 3 3 4 5 6 7 7 8 11 11 11 20 21 22 25 25 26 28
DAFTAR GAMBAR 1 Diagram ilustrasi dari imago kutudaun pada bagian dorsal dan ventral 2 Jenis kutudaun dan jumlah individu bersayap (alatae) dan tidak bersayap (aptera) yang ditemukan di Bogor dan Cianjur 3 Karakter koloni kutudaun pada tanaman hias di Bogor dan Cianjur 4 Gejala kerusakan yang ditimbulkan oleh kutudaun 5 Jenis semut yang berasosiasi dengan kutudaun 6 Karakter morfologi Aphis gossypii 7 Karakter morfologi Toxoptera aurantii 8 Karakter morfologi Toxoptera odinae 9 Karakter morfologi Aulacorthum solani 10 Karakter morfologi Indomegoura indica 11 Karakter morfologi Macrosiphum euphorbiae 12 Karakter morfologi Myzus persicae 13 Karakter morfologi Neomyzus circumflexus 14 Karakter morfologi Greenidea psidii 15 Karakter morfologi Astegopteryx nipae 16 Kunci identifikasi bergambar kutudaun Subfamili Greenideinae, Hormaphidinae dan Aphidinae (Tribe Macrosiphini dan Aphidini) yang ditemukan pada tanaman hias di Bogor dan Cianjur 17 Kunci identifikasi bergambar kutudaun Tribe Macrosiphini dan Aphidini yang ditemukan pada tanaman hias di Bogor dan Cianjur
5 8 9 10 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
23 24
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Hasil pengambilan sampel kutudaun pada tanaman hias di Bogor Hasil pengambilan sampel kutudaun pada tanaman hias di Cianjur Lokasi keberadaan semut pada tanaman inang Lokasi pengambilan sampel kutudaun pada tanaman hias di Bogor dan Cianjur
29 30 31 32
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kutudaun merupakan salah satu kelompok serangga hama penting pada tanaman hias. Kutudaun memiliki ukuran tubuh yang kecil, berbentuk seperti buah pir, dengan tekstur lunak dan rapuh. Imago kutudaun ada yang bersayap dan tidak bersayap. Panjang tubuh imago rata-rata berukuran 1.5-3.5 mm, tergantung dari spesiesnya (Blackman & Eastop 2000). Kutudaun biasanya memiliki dua buah kornikel yang berbentuk seperti tabung di bagian atas abdomen belakang. Serangga ini menghasilkan embun madu dari anus sebagai hasil sekresinya. Di daerah beriklim sedang, kutudaun merupakan penghasil embun madu yang paling penting dan banyak yang berasosiasi dengan semut (Tharp et al. 2005). Serangga hama ini memiliki penyebaran yang sangat luas dan hampir setiap tanaman yang dikenal, baik itu berkayu, pohon dan semak belukar, herbal dan rumput merupakan inang dari satu atau lebih spesies serangga tersebut (Hill 1997). Siklus hidup kutudaun termasuk yang tidak biasa dan kompleks. Sebagian besar kutudaun bereproduksi secara seksual dan berkembang melalui metamorfosis sederhana (melalui tahap telur, nimfa, kemudian imago bersayap atau tidak bersayap). Di Indonesia kutudaun bereproduksi secara aseksual, yaitu secara partenogenesis. Kebanyakan kutudaun mencapai kematangan seksual dalam 4 sampai 10 hari, dengan masa reproduksi sekitar 3 minggu pada kondisi lingkungan yang baik. Usia rata-rata kutudaun dewasa hanya sekitar 1 bulan. Meskipun masa hidup kutudaun tergolong singkat, serangga ini cukup produktif dalam menghasilkan keturunan. Kutudaun dapat bereproduksi lebih cepat dari serangga lainnya (Drees 1997). Kerusakan yang ditimbulkan oleh kutudaun dapat berupa kerusakan langsung dan tidak langsung. Kerusakan langsung disebabkan oleh aktifitas makan kutudaun yang menghisap nutrisi dari bagian tumbuhan, seperti daun, batang, dan akar, sehingga mengakibatkan bagian dari tumbuhan tersebut kekurangan nutrisi bahkan mati (Cranshaw 2004). Kerusakan tidak langsung disebabkan oleh peranan kutudaun sebagai vektor virus tanaman serta timbulnya embun jelaga akibat asosiasi cendawan dengan embun madu yang dihasilkan kutudaun. Pada kenyataannya kerugian yang disebabkan oleh kerusakan tidak langsung jauh lebih besar dibandingkan dengan kerusakan langsung. Menurut Miles (1987), kerugian yang dihasilkan oleh kutudaun sebagai hama hanya berkisar antara 6-25%, sedangkan sebagai vektor dapat mencapai lebih dari 80%. Besarnya nilai kerugian tersebut didukung oleh peranan kutudaun sebagai vektor lebih dari 150 strain virus yang antara lain menyebabkan mosaik, klorosis, daun menggulung dan daun menyempit sampai mengecil seperti pita (Pollard 1971). Indonesia memiliki potensi yang cukup besar dalam pengembangan tanaman hias karena Indonesia memiliki keanekaragaman tanaman hias yang tinggi. Namun hingga saat ini tingkat produktifitas tanaman hias di Indonesia masih rendah. Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat produksi, salah satunya adalah serangan hama. Salah satu kelompok hama yang penting dan membahayakan adalah kutudaun. Sebagian kecil dari spesies kutudaun memiliki saliva yang beracun dan sangat merusak tanaman (Pedigo & Rice 2006). Tanaman hias memiliki ambang ekonomi yang rendah karena aspek terpenting dari tanaman
2
ini adalah nilai estetikanya. Sedikit saja tanaman rusak baik oleh hama maupun penyakit, maka tanaman tidak dapat laku di pasaran, baik pasar domestik maupun pasar Internasional. Van der Goot pada tahun 1917 melaporkan terdapat 180 spesies kutudaun di Pulau Jawa, namun baru 82 yang diidentifikasi. Noordam dan Lambers (1985) mengidentifikasi 5 spesies dari genus Taiwanaphis dan 3 spesies dari Sinomegoura. Noordam (1991) mengidentifikasi sebanyak 56 spesies dari subfamili Hormaphidinae. Pada tahun tahun 1994 ia mengidentifikasi 33 spesies dari subfamili Greenideinae dan pada tahun 2004 ia mengidentifikasi 82 spesies dari subfamili Aphidinae, Lachninae, Neophyllaphidinae dan Pemphiginae. Irsan (1997) melaporkan sebanyak 22 spesies kutudaun pada tanaman Solanaceae di Jawa Barat. Informasi mengenai taksonomi kutudaun di Indonesia, khususnya pada tanaman hias, hingga saat ini masih sangat sedikit. Terdapat sekitar 4700 spesies kutudaun di dunia namun baru 450 spesies yang telah diidentifikasi dan 100 diantaranya merupakan hama penting pada tanaman pertanian (Blackman & Eastop 2006). Hingga saat ini informasi kutudaun pada tanaman hias di Indonesia masih sangat sedikit. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan karakter koloni kutudaun berupa jumlah kutudaun dalam koloni, jumlah kutudaun bersayap dan tidak bersayap, jenis semut yang berasosiasi dan gejala kerusakan yang ditimbulkan pada tanaman hias di wilayah Bogor dan Cianjur. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat tentang keanekaragaman spesies kutudaun, jenis tanaman inang dan jenis semut yang berasosiasi dengan koloni kutudaun. Keluaran yang dihasilkan adalah kunci identifikasi bergambar yang dapat dimanfaatkan oleh siapapun untuk identifikasi kutudaun pada tanaman hias di Bogor dan Cianjur.
3
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada tanaman hias di beberapa lahan budidaya dan pekarangan. Pengambilan sampel dilakukan di tiga lokasi utama, yaitu Kota dan Kabupaten Bogor serta Kabupaten Cianjur. Pada daerah Kota dan Kabupaten Bogor, pengambilan sampel dilakukan di 8 kecamatan yaitu: Kecamatan Tenjolaya, Kecamatan Dramaga, Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Bogor Tengah, Kecamatan Bogor Timur, Kecamatan Bogor Selatan, Kecamatan Tanah Sareal, dan Kecamatan Cisarua. Sedangkan di Kabupaten Cianjur pengambilan sampel dilakukan di dua kecamatan yaitu Kecamatan Pacet dan Kecamatan Sukaresmi. Pengamatan morfologi dan identifikasi kutudaun dan semut dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2013. Alat dan Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel imago kutudaun dan semut, alkohol 50%, 70%, 80%, 95% dan 100%, larutan KOH 10%, akuades, minyak cengkeh, kanada balsam. Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah mikroskop stereo Olympus SZ-ST, mikroskop cahaya Olympus model CX21FS1, kamera Dino-eye AM423U yang dihubungkan langsung dengan komputer merek HP model Pro 2000 MT Business PC, GPS Compass and Altitude, alat tulis, kantung plastik transparan, tabung ependorf, tabung reaksi, jarum mikron, kuas, cawan sirakus, cawan petri, kaca objek serta penutup preparat. Metode Penelitian Pengambilan Sampel Kutudaun Pengambilan sampel kutudaun beserta inangnya dilakukan di 15 desa: Desa Cinangneng Kecamatan Tenjolaya; Desa Dramaga Kecamatan Dramaga; Desa Babakan, Desa Sindangbarang, Desa Gunung Batu, Desa Pasir Kuda Kecamatan Bogor Barat; Desa Sempur Kecamatan Bogor Tengah; Desa Ciheuleut Kecamatan Bogor Timur; Desa Mulyaharja Kecamatan Bogor Selatan; Desa Kedung Badak Kecamatan Tanah Sareal; Desa Cipanas Kecamatan Cisarua; Desa Cibodas, Desa Cimacan, Desa Ciherang Kecamatan Pacet; dan Desa Kawungluwuk Kecamatan Sukaresmi. Posisi lintang geografi dan ketinggian tempat lokasi pengambilan sampel diukur dengan menggunakan GPS. Sampel diambil dengan cara memotong bagian tanaman yang terdapat koloni kutudaun, kemudian dimasukkan ke dalam kantung plastik transparan dan diberi label lokasi dan tanggal pengambilan sampel. Setiap sampel diambil dengan metode pengambilan acak dari tiap tanaman inang yang ditemukan. Setelah itu dilakukan pencatatan terhadap jenis tanaman, keberadaan semut yang
4
berasosiasi, gejala kerusakan akibat kutudaun, koordinat dan ketinggian lokasi di atas permukaan laut. Pencatatan koordinat dan ketinggian lokasi dilakukan dengan menggunakan GPS. Kutudaun beserta tanaman inang yang ditemukan dibawa ke Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor untuk dilakukan pengamatan lebih lanjut terhadap karakter morfologi spesimen hidup dan penghitungan jumlah individu kutudaun bersayap (alatae) dan tidak bersayap (aptera) pada koloni. Selanjutnya kutudaun dibuat menjadi preparat mikroskop. Pembuatan Preparat Mikroskop Kutudaun Pembuatan preparat mikroskop kutudaun dilakukan dengan mengacu pada metode Blackman & Eastop (2000). Jenis preparat mikroskop yang dibuat adalah preparat permanen dengan tujuan agar dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Spesimen kutudaun yang digunakan dalam pembuatan mikroskop adalah fase imago. Bentuk morfologi pada imago telah berkembang seluruhnya sehingga proses identifikasi dapat dilakukan. Tahap pertama dalam pembuatan preparat mikroskop kutudaun yaitu melakukan pemilihan imago kutudaun yang memiliki kelengkapan organ tubuh seperti tungkai, antena, kornikel dan kauda. Spesimen yang sudah dipilih dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisikan alkohol 95% dan direbus selama 3 menit. Spesimen kemudian dituang ke dalam cawan sirakus dan ditusuk bagian abdomen sebelah kanan dengan menggunakan jarum mikro. Penusukan bagian abdomen bertujuan agar pada tahap selanjutnya isi tubuh kutudaun dapat keluar melalui lubang tusukan. Spesimen direbus kembali namun dalam larutan KOH 10% hingga tubuh berwarna transparan. Hal ini bertujuan agar karakter morofologi kutudaun dapat terlihat dengan jelas. Setelah transparan, spesimen dipindah ke dalam cawan sirakus dan dilakukan pengeluaran isi tubuh lebih lanjut dengan cara menekan bagian abdomen. Spesimen yang sudah bersih kemudian dicuci dengan menggunakan akuades sebanyak dua kali. Selanjutnya spesimen direndam dalam alkohol bertingkat, yaitu 50%, 80%, 95% dan 100% masingmasing selama 10 menit. Perendaman dengan alkohol bertingkat bertujuan untuk menghilangkan kadar air dari dalam tubuh kutudaun sehingga spesimen dapat merekat dengan baik pada media. Setelah dilakukan perendaman dengan alkohol bertingkat, spesimen direndam dengan minyak cengkeh selama 10 menit. Spesimen kemudian dikeluarkan dari minyak cengkeh dan diletakkan pada kaca objek untuk dilakukan penataan dengan menggunakan jarum mikro. Tahap terakhir yaitu pembubuhan kanada balsam sebagai media untuk preparat mikroskop permanen. Spesimen lalu ditutup dengan kaca penutup. Preparat mikroskop kutudaun yang telah dibuat dikeringkan di atas hotplate Fisher Scientific Slide Warmer dengan suhu 35-45°C selama 2-4 minggu hingga medium pada preparat benar-benar kering.
5
Identifikasi Kutudaun dan Semut Identifikasi kutudaun dilakukan dengan mengacu pada buku Aphids on The World Crop: An Identification and Information Guide oleh Blackman & Eastop (2000) dan Aphids on The World’s Herbaceous Plants and Shrubs oleh Backman & Eastop (2006). Proses identifikasi kutudaun dilakukan berdasarkan pengamatan beberapa karakter imago. Secara umum, karakter kutudaun yang menjadi ciri identifikasi diantaranya bentuk tuberkel antena, kornikel, kauda, serta ukuran dan jumlah rambut pada bagian tubuh tertentu. Beberapa spesies kutudaun memiliki karakter khusus, seperti adanya tanduk pada bagian kepala, adanya kelenjar lilin dan berbagai bentuk pola sklerotisasi pada abdomen. Pengamatan karakter dilakukan dengan menggunakan mikroskop stereo OLYMPUS CX21FS1. Setiap karakter didokumentasikan dengan kamera Dino-eye AM423U yang ditempatkan pada mikroskop stereo dan dihubungkan langsung dengan komputer merek HP model Pro 2000 MT Business PC. Gambar karakter morfologi dari setiap spesies kutudaun disimpan dalam bentuk file elektronik dan akan digunakan untuk pembuatan kunci identifikasi berdasarkan gambar.
Gambar 1 Diagram ilustrasi dari imago kutudaun pada bagian dorsal dan ventral. (Sumber : Blackman & Eastop 2006)
6
Identifikasi semut dilakukan hingga tingkat genus dengan menggunakan buku Identification Guide to The Ant Genera of Borneo, Hashimoto (2003) dan hingga tingkat spesies apabila memungkinkan.
Pembuatan Kunci Identifikasi Bergambar Kunci identifikasi berdasarkan gambar (pictorial key) dibuat untuk seluruh spesies kutudaun yang ditemukan. Proses pembuatan kunci diawali dengan menganalisa karakter morfologi dari tiap spesies dan kemudian dibuat matriks karakter. Analisis kesamaan karakter morfologi didasarkan pada karakter khusus yang dimiliki oleh tiap spesies. Karakter morfologi yang digunakan meliputi bentuk tuberkel antena, kornikel, kauda, bercak hitam pada tubuh dan beberapa ciri umum lainnya. Kunci identifikasi dibuat dengan metode gambar sederhana dengan tujuan dapat memudahkan peneliti atau masyarakat lain yang tertarik untuk mengidentifikasi kutudaun pada tanaman hias di Bogor dan Cianjur.
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengambilan Sampel Kutudaun Hasil pengamatan dari 40 koloni kutudaun pada 29 spesies tanaman inang yang dilakukan di Bogor dan Cianjur menunjukkan bahwa terdapat 10 spesies kutudaun, yaitu Aphis gossypii (Glover), Astegopteryx nipae (van der Goot), Aulacorthum solani (Kaltenbach), Greenidea psidii (Van der Goot), Indomegoura indica (van der Goot), Macrosiphum euphorbiae (Thomaas), Myzus persicae (Sulzer), Neomyzus circumflexus (Buckton), Toxoptera aurantii (Boyer de Fonsocolombe) dan T. odinae (van der Goot) (Gambar 2). Empat spesies kutudaun ditemukan di Bogor dan delapan spesies ditemukan di Cianjur. Spesies yang ditemukan di daerah Cianjur lebih beragam dibandingkan dengan di Bogor. Hal ini diduga karena keragaman jenis tanaman inang lebih banyak dijumpai di daerah dataran tinggi dibandingkan dengan di dataran rendah. Sehingga jumlah spesies kutudaun yang ditemukan juga lebih beragam. Kutuduan merupakan serangga yang berasal dari negara yang bersuhu sedang sehingga peluang kutudaun untuk dapat hidup di daerah tersebut lebih besar. Menurut Kalshoven (1981) keragaman kutudaun lebih banyak ditemukan pada daerah bersuhu sedang dibandingkan dengan daerah bersuhu tinggi. Tiga dari 10 spesies kutudaun yang ditemukan yaitu I. indica, M. euphorbiae dan N. circumflexus belum pernah dilaporkan sebelumnya pada tanaman hias di Indonesia. Irsan (1997) mengidentifikasi M. euphorbiae dan N. circumflexus pada tanaman Solanaceae di Jawa Barat. Kedua spesies tersebut ditemukan di daerah dengan ketinggian 1000-1360 m dpl dan dalam jumlah yang sedikit, yaitu kurang dari 5 individu/koloni. M. euphorbiae dan N. circumflexus merupakan serangga hama penting di beberapa negara karena selain sebagai hama, keduanya berperan sebagai vektor lebih dari 35 virus tanaman. Sembilan spesies kutudaun yang diidentifikasi merupakan hama yang bersifat polifag. Menurut (Dixon 1985), kutudaun yang polifag memiliki kemampuan mendetoksifikasi cairan tanaman yang dihisapnya. Salah satu spesies yang bersifat polifag yaitu A. gossypii yang merupakan spesies paling dominan ditemukan di lapang. Sebanyak 22 tanaman sampel merupakan inang dari kutudaun ini. Blackman dan Eastop (2000) melaporkan bahwa kutudaun ini menyerang di banyak famili tanaman, termasuk hampir 100 spesies tanaman di seluruh dunia. Di Pulau Jawa, kutudaun ini ditemukan pada 115 spesies tanaman yang sebagian besar merupakan tanaman hias (Noordam 2004). Kutudaun yang bersifat oligofag adalah A. nipae yang ditemukan pada tanaman palem puniks (Pheonix roebelenii). A. nipae bersifat oligofag karena tanaman inangnya hanya berasal dari famili Aracaceae. Kutudaun ini pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tanaman nipah (Nypa fruticans) oleh Van der Goot pada tahun 1913 (Noordam 1991). Tanaman famili Acanthaceae merupakan kelompok tanaman yang paling banyak terserang kutudaun dan sebagian besar terserang oleh A. gossypii.
8
Gambar 2
Jenis kutudaun dan jumlah individu bersayap (alatae) dan tidak bersayap (aptera) yang ditemukan di Bogor dan Cianjur.
Karakter Koloni Kutudaun Terdapat beberapa karakter pada koloni kutudaun yang diamati yaitu ukuran koloni (kecil, sedang, besar), jumlah individu kutudaun bersayap (alatae) dan tidak bersayap (aptera) serta keberadaan semut yang berasosiasi dengan koloni. Menurut Szpeiner (2008), ukuran koloni dibedakan menjadi tiga ketegori, yaitu koloni kecil (1-10 individu), koloni sedang (11-50 individu) dan koloni besar (>50 individu). Sebanyak 12 koloni yang ditemukan merupakan kategori koloni kecil, 22 koloni merupakan kategori koloni sedang dan 6 koloni merupakan kategori koloni besar (Gambar 3). Kategori suatu koloni kutudaun dapat mempengaruhi keberadaan jumlah kutudaun alatae dan aptera. Banyaknya koloni sedang mengindikasikan bahwa sebagian besar koloni yang ditemukan merupakan koloni baru sehingga koloni belum membutuhkan kutudaun alatae untuk melakukan penyebaran. Sebanyak 22 koloni yang ditemukan terdiri dari kutudaun aptera, 2 koloni terdiri dari kutudaun alatae dan 16 koloni lainnya terdiri dari kutudaun alatae dan aptera. Jumlah individu kutudaun alatae yang ditemukan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kutudaun aptera. Kutudaun aptera yang ditemukan mencapai 97.73%, sedangkan kutudaun alatae hanya 2.27% (Gambar 4). Menurut Kawada (1987), kemunculan individu alatae dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, nutrisi dan kepadatan populasi. Ketika suatu koloni mengalami kepadatan populasi yang tinggi, akan terjadi pergesekan antar tubuh kutudaun sehingga meningkatkan suhu dalam koloni. Hal ini akan menstimulasi kutudaun untuk memproduksi individu alatae. Sensitifitas kutudaun terhadap stimulasi dapat berbeda-beda pada tiap spesies. Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi yaitu nutrisi. Beberapa spesies kutudaun akan memproduksi individu alatae ketika nutrisi pada suatu tanaman optimal,
9
tanpa harus ada stimulasi terhadap kepadatan populasi. Pada dasarnya individu kutudaun alatae berfungsi untuk mempertahankan keberadaan spesies dengan melakukan migrasi ke tanaman inang lain. Kutudaun alatae juga berfungsi sebagai salah satu cara penyebaran. Karakteristik koloni kutudaun dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain ketinggian, suhu dan lingkungan. Ketinggian lokasi ditemukannya tanaman inang akan mempengaruhi suhu udara pada lokasi tersebut. Semakin tinggi lokasi tanaman inang maka semakin rendah suhu udaranya. Menurut Lowe (1966), kutudaun yang hidup pada daerah bersuhu tinggi memiliki masa hidup yang lebih singkat sehingga berpengaruh terhadap waktu kematangan organ reproduksinya. Kutudaun akan lebih cepat berkembangbiak dan menghasilkan keturunan. Pada dataran rendah yang memiliki suhu tinggi jumlah individu per koloni yang ditemukan lebih banyak dibandingkan dengan koloni di dataran tinggi. Suhu juga dapat mempengaruhi ukuran tubuh kutudaun. Menurut Blackman & Spence (1994), kutudaun yang hidup di daerah bersuhu rendah memiliki ukuran tubuh yang jauh lebih besar dibandingkan dengan yang hidup di daerah bersuhu tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh nutrisi yang diperoleh kutudaun dari tanaman inangnya. Faktor lingkungan yang mempengaruhi karakter koloni kutudaun daun adalah cuaca. Pengambilan sampel yang dilakukan pada musim hujan mengakibatkan jumlah individu kutudaun yang ditemukan hanya sedikit karena kutudaun hilang tersapu air hujan.
Gambar 3 Karakter koloni kutudaun pada tanaman hias di Bogor dan Cianjur. Karakter lain yang diamati yaitu gejala kerusakan pada tanaman yang disebabkan oleh kutudaun, baik itu berupa kerusakan langsung dan tidak langsung. Sebanyak 38 sampel tanaman yang ditemukan tidak menunjukkan
10
gejala kerusakan yang signifikan. Tidak ditemukannya gejala diduga karena pada saat pengamatan kutudaun tidak sedang berperan sebagai vektor virus tanaman sehingga bentuk kerusakan yang ditimbulkan hanya berupa kerusakan langsung. Kerusakan langsung oleh kutudaun sebagai hama diketahui tidak mengakibatkan kerusakan yang signifikan pada tanaman. Gejala kerusakan hanya terlihat pada tanaman palem puniks (Arecaceae) di daerah Pasir Kuda dan tanaman lili (Hemerocallis fulva) di daerah Cibodas (Gambar 4). Pada palem puniks bagian tanaman yang menunjukkan gejala kerusakan adalah bagian daun. Daun yang terserang menjadi berwarna kekuningkuningan (Gambar 4b). Jumlah individu kutudaun yang ditemukan pada koloni adalah sebanyak 254 individu/helai daun. Gejala kerusakan pada tanaman lili ditunjukkan pada bagian kuncup bunga. Kuncup bunga yang terserang menjadi layu dan menunjukkan gejala kematian (Gambar 4d). Tanaman ini merupakan inang dari kutudaun I. indica. Jumlah individu yang ditemukan pada koloni adalah sebanyak 105 individu/koloni. Koloni kutudaun yang menyerang kedua tanaman tersebut merupakan kategori koloni besar.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 4 Gejala kerusakan yang ditimbulkan oleh kutudaun; tanaman palem puniks (a), gejala kerusakan berupa daun menguning (b), tanaman lili (c), dan gejala kerusakan berupa layu pada kuncup bunga (d).
11
Semut yang Berasosiasi Dengan Koloni Kutudaun Semut dan kutudaun diketahui memiliki hubungan simbiosis yang saling menguntungkan. Koloni kutudaun yang berasosiasi dengan semut akan memiliki kemampuan menyerap nutrisi tanaman, memproduksi individu alatae dan memiliki jumlah individu yang lebih banyak. Sedangkan embun madu yang dikeluarkan oleh kutudaun merupakan bahan makanan bagi semut. Ketika semut ada, kutudaun dapat meningkatkan kemampuannya dalam menyerap nutrisi tanaman dan menghasilkan embun madu hingga 50% lebih banyak (Dixon 1985). Menurut Sudd (1987), kutudaun dan semut memiliki kemampuan interaksi yang baik. Kutudaun dapat menghasilkan embun madu dalam jumlah yang signifikan beberapa detik setelah melakukan kontak dengan semut dibandingkan pada waktu lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa semut secara langsung mempengaruhi jumlah embun madu yang dikeluarkan oleh kutudaun. Kontak juga dilakukan oleh kutudaun dan semut dalam mengusir predator. Semut akan menyentuh bagian tungkai dari kutudaun dengan antena sehingga menimbulkan gangguan yang akan mengusir predator. Selain itu semut juga membantu kutudaun dalam melakukan perpindahan ke tanaman inang lain. Hanya 11 koloni kutudaun yang ditemukan berasosiasi dengan semut dan 29 lainnya tidak berasosiasi dengan semut. Sepuluh dari sebelas koloni yang berasosisasi dengan semut ditemukan di dataran rendah (<1000 m dpl). Jenis semut yang ditemukan yaitu D. thoracicus (Smith), Lepisiota sp., Myrmicaria sp., dan Pheidole sp. (Gambar 5). D. thoracicus merupakan spesies yang paling sering ditemukan berasosasi dengan kutudaun. Semut ini ditemukan pada 5 spesies inang yaitu rowelia tegak, asoka, bunga sepatu, palem puniks dan kerai paying. D. thoracicus berasosiasi dengan 3 spesies kutudaun yaitu A. gossypii, A. nipae dan T. odinae. Menurut Way & Khoo (1992) D. thoracicus memiliki jumlah populasi yang besar di wilayah Asia Tenggara. Spesies ini sering ditemukan berasosiasi dan memiliki simbiosis yang baik dengan kutudaun. Hubungan simbiosis keduanya banyak dimanfaatkan oleh para petani kakao sebagai pengendali hayati hama Helopeltis antonii dan Helopeltis theivora. Spesies kutudaun yang banyak berasosiasi dengan semut adalah A. gossypii.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 5 Jenis semut yang berasosiasi dengan kutudaun; D. thoracicus (a), Lepisiota sp. (b), Myrmicaria sp. (c), Pheidole sp. (d).
Deskripsi Spesies Kutudaun Subfamili Aphidinae Aphis gossypii (Glover) (= A. citri, A. bauhiniae, A. citrulli, A. cucumeris, A. cucurbiti, A. minuta. A. monardae, Cerosypha gossypii, Doralis frangulae) ,
12
Tribe Aphidini. Tubuh imago aptera A. gossypii berukuran 1.2-1.9 mm. Warna tubuh mulai dari kuning hingga hijau kehitaman, namun yang sering dijumpai yaitu warna hijau dengan bercak hijau tua dan bentuk tubuh yang oval. Antena terdiri dari 6 segmen, dengan panjang terminal proses lebih dari 2x panjang basal antena (Gambar 6d). Memiliki tuberkel antena yang tidak berkembang (Gambar 6e). Kornikel cenderung berbentuk lancip, berwarna gelap dan berukuran 1.5-2.5x dari kauda. Kauda berbentuk seperti lidah, berwarna pucat, dan terdapat 4-7 helai rambut. Rambut terpanjang pada femur tungkai belakang berukuran 0.4-0.7x diameter dari trokanter. Kutudaun ini ditemukan pada 20 tanaman inang dari 16 famili yang berbeda yaitu rowelia tegak (Ruellia brittoniana, Acanthaceae); pucuk merah (Syzygium oleina, Myrtaceae); teh-tehan (Acalypha siamensis, Euphorbiaceae); adenium (Adenium obesum, Apocynaceae); zodia (Euodia ridleyi, Rutaceae); asoka (Ixora spp., Rubiaceae); bungur (Lagerstroemia speciosa, Lythraceae); sri rejeki (Dieffenbachia sp., Aracea); melati bintang (Trachelospermum jasminoides, Apocynaceae); bunga sepatu (Hibiscus rosa-sinensis, Malvaceae); krisan (Chrysanthemum sp., Compositae); lisianthus (Eustoma russelianum, Gentianaceae); harendong (Melastoma affine, Melastomataceae), kembang telang (Clitoria ternatea, Leguminosae); golden merah (Aphelandra sinclairiana, Acanthaceae); tibo cina (Melastoma malabratichum, Melastomataceae); dan anggrek tanah (Epidendrum ibaguense, Orchidaceae). A. gossypii ditemukan di Desa/Kelurahan Babakan (Bogor Barat), Sindangbarang (Bogor Barat), Gunung Batu (Bogor Barat), Pasir Kuda (Bogor Barat), Ciheuleut (Bogor Timur), Mulyaharja (Bogor Selatan), Kedung Badak (Tanah Sareal), Dramaga (Dramaga), Kawungluwuk (Sukaresmi), Ciherang (Pacet) dan Cibodas (Pacet). Kutudaun ini memiliki penyebaran wilayah yang sangat luas. Hal tersebut dapat dilihat dari ditemukannya A. gossypii pada spesies tanaman yang sama namun pada lokasi dan ketinggian yang berbeda (Lampiran 1 dan 2). A. gossypii ditemukan pada dataran rendah hingga dataran tinggi (2031299 m dpl). Jenis semut yang ditemukan berasosiasi dengan A. gossypii adalah Dolichoderus thoracicus, Lepisiota sp., Myrmicaria sp., dan Pheidole sp.. Kutudaun ini ditemukan pada bagian pucuk, kuncup bunga, dan bagian bawah daun muda. Tidak ditemukan gejala kerusakan yang signifikan pada saat pengamatan tanaman inang.
13
(a)
(d)
1 mm
(b)
(e)
(c)
(f)
Gambar 6 Karakter morfologi Aphis gossypii; koloni A. gossypii pada bunga E. russelianum (a), tubuh berwarna hijau dengan bercak hijau tua (b), preparat slide imago tidak bersayap (c), terminal proses lebih dari 2x panjang basal antena (d), tuberkel antena tidak berkembang (e), dan rambut pada kauda (f). Toxoptera aurantii (Boyer de Fonsocolombe) (= T. aurantiae, Aphis aurantii, A. camelliae), Tribe Aphidini. Ukuran tubuh imago aptera T. aurantii adalah 1.3-1.5 mm. Warna tubuh mulai dari coklat-kemerahan, coklat-kehitaman hingga hitam dengan bentuk tubuh oval tanpa tanda hitam pada bagian abdomen. Memiliki tuberkel antena yang tidak berkembang (Gambar 7d). Antena terdiri dari 6 segmen, dengan panjang terminal proses lebih dari 3.5x panjang basal antena. Kornikel cenderung berbentuk lancip, berwarna gelap, tidak terdapat zona subapikal dan berukuran 0.9-1.5x dari kauda. Kauda berbentuk seperti lidah, berwarna gelap, dan terdapat 10-20 helai rambut. Pada abdomen dekat pangkal kornikel terdapat stridulatory apparatus (Gambar 7e), yaitu organ untuk mengeluarkan suara. Menurut Blackman & Eastop (2006), pada koloni besar kutudaun ini dapat mengeluarkan suara dengan cara menggesekan tibia tungkai belakang pada stridulatory apparatus jika mengalami gangguan. T. aurantii ditemukan pada 6 tanaman inang, yaitu kemuning (Murraya paniculata, Rutaceae); asoka (Ixora spp., Rubiaceae); bugenvil (Bougainvillea sp., Nyctaginaceae); sri rejeki (Dieffenbachia sp., Araceae); lili (Hemerocallis fulva, Xanthorrhoeaceae) dan beringin benggol (Ficus benjamina, Moraceae). Spesies ini ditemukan pada Desa/Kelurahan Sindangbarang (Bogor Barat), Sempur (Bogor Tengah), Dramaga (Dramaga) dan Cibodas (Pacet). Serangga ini memiliki penyebaran yang cukup luas karena ditemukan pada dataran rendah dan dataran tinggi (206-1299 m dpl). Kutudaun ini ditemukan berasosiasi dengan semut Pheidole sp. di Dramaga pada tanaman Dieffenbachia sp.. Kutudaun ini ditemukan pada bagian pucuk tanaman dan kuncup bunga. Pada saat pengambilan sampel, tidak ditemukan gejala kerusakan yang signifikan pada tanaman inang.
14
1 mm
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 7 Karakter morfologi Toxoptera aurantii; koloni T. aurantii pada daun F. benjamina (a), tubuh berwarna coklat-kehitaman (b), preparat slide imago tidak bersayap (c), tuberkel antena tidak berkembang (d), stridulatory apparatus pada abdomen (e) dan rambut pada kauda (f). Toxoptera odinae (van der Goot) (= Aphis odinae), Tribe Aphidini. Imago aptera T. odinae berukuran 1.3 mm dengan warna tubuh coklat kemerahan. Memiliki bentuk tubuh yang oval tanpa tanda hitam pada bagian abdomen. Tuberkel antena tidak berkembang dan terdapat sedikit rambut pada bagian kepala. Antena terdiri dari 6 segmen dengan panjang terminal proses lebih dari 2.5x panjang basal antena. Pada abdomen dekat pangkal kornikel terdapat stridulatory apparatus. Organ ini diketahui hanya terdapat pada genus Toxoptera (Blackman dan Eastop 1984). Kornikel berbentuk tubular, berwarna gelap dan berukuran jauh lebih kecil dari kauda (Gambar 8f). Kauda berbentuk seperti lidah dan berwarna gelap. Kutudaun ini hanya ditemukan di dataran rendah pada tanaman kerai payung (Filicium decipiens, Sapindaceae) di Desa Ciheuleut, Kecamatan Bogor Timur pada ketinggian 314 m dpl. Jumlah individu yang ditemukan adalah sebanyak 43 individu/koloni dan seluruhnya terdiri dari kutudaun aptera. Bagian tanaman yang terserang adalah daun muda. Kutudaun ini merupakan serangga yang bersifat polifag dengan kisaran inang yang luas namun pada penelitian ini hanya ditemukan pada satu tanaman inang. Noordam (2004) menemukan T. odinae pada lebih dari 30 tanaman inang di Pulau Jawa. Spesies semut yang ditemukan berasosiasi dengan T. odinae adalah Dolichoderus thoracicus. Tidak ditemukan gejala kerusakan yang signifikan pada saat pengamatan tanaman inang.
15
(a)
(d)
1 mm
(b)
(e)
(c)
(f)
Gambar 8 Karakter morfologi Toxoptera odinae; koloni T. odinea pada daun F. decipiens (a), tubuh berwarna coklat-kemerahan (b), preparat slide imago tidak bersayap (c), tuberkel antena tidak berkembang dengan sedikit rambut (d), stridulatory apparatus pada abdomen (e) dan ukuran kornikel yang jauh lebih kecil dari kauda (f). Aulacorthum solani (Kaltenbach) (= A. solani, A. dianthi, Siphonophora solani, Megoura solani), Tribe Macrosiphini. Bentuk tubuh imago aptera A.solani adalah oval, berwarna hijau pucat dengan ukuran 1.4 mm. Tuberkel antena berkembang dengan baik dengan penampakan agak paralel. Terdapat 9-15 rhinaria pada antena segmen ketiga. Pada bagian stilet terdapat 6 helai rambut sensoria (Gambar 9e). Kornikel berbentuk silinder, berwarna pucat namun berwarna gelap pada bagian ujung dan tidak memiliki zona subapikal (Gambar 9f). Selain itu A. solani juga memiliki warna yang gelap pada setiap persendiannya, baik pada tungkai maupun antena. Kutudaun ini hanya ditemukan di dataran tinggi pada tanaman anthurium (Anthurium adreanum, Araceae) di Cibodas, Kecamatan Pacet pada ketinggian 1299 m dpl. Serangga ini ditemukan pada bagian bawah daun muda dengan jumlah 14 individu/koloni. A. solani merupakan kutudaun yang bersifat polifag dan kosmopolitan. A. solani hanya dilaporkan keberadaannya pada beberapa tanaman di daerah dataran tinggi (Noordam 2004 dan Irsan 1997). Tidak ditemukan gejala kerusakan yang signifikan pada tanaman inang dan tidak ditemukan semut yang berasosiasi dengan koloni kutudaun ini.
16
(a)
1 mm
(d)
(b)
(e)
(c)
(f)
Gambar 9 Karakter morfologi Aulacorthum solani; koloni A. solani pada daun A. adreanum (a), tubuh berwarna hijau pucat (b), preparat slide imago tidak bersayap (c), tuberkel antena berbentuk paralel (d), rambut sensoria pada stilet (e) dan ujung kornikel yang berwarna gelap (f). Indomegoura indica (van der Goot) (= Rophalosiphum indicum, Amphorophora indicum), Tribe Macrosiphini. Ukuran tubuh I. indica tergolong besar yaitu 4.5-5 mm. Kutudaun ini memiliki warna tubuh kuning dengan lapisan lilin yang terdapat pada sekujur tubuhnya. Antena, tungkai dan kornikel berwarna hitam (Gambar 10c). Antena terdiri dari 5 segmen dengan panjang hampir sama dengan panjang tubuh. Tuberkel antena tidak berkembang dengan baik. Bentuk kornikel seperti tabung, kokoh dan terdapat zona subapikal dengan pola poligon pada ujungnya (Gambar 10d). Kutudaun ini hanya ditemukan pada tanaman lili (Hemerocallis fulva, Xanthorrhoeaceae) di Cibodas, Kecamatan Pacet pada ketinggian 1299 m dpl. Serangga ini ditemukan pada bagian kuncup bunga dengan jumlah 105 individu/koloni. Koloni I. indica terdiri dari kutudaun aletae dan aptera. Pada bagian tanaman ditemukan gejala kerusakan berupa layu pada kuncup bunga. Tidak ditemukan semut yang berasosiai dengan koloni kutudaun ini. Menurut Blackman & Eastop (2006) penyebaran kutudaun ini meliputi Jepang, Korea, Cina, Taiwan dan India. Belum ada literatur yang menyatakan tentang keberadaan I. indica di Indonesia.
17
(a)
(b)
d 1 mm
(c)
(d)
Gambar 10 Karakter morfologi Indomegoura indica; koloni I. indica pada bunga H. fulva (a), permukaan tubuh ditutupi oleh lilin (b), warna antena, tungkai dan kornikelnya hitam (c), dan zona subapikal pada ujung kornikel (d). Macrosiphum euphorbiae (Thomas) (= Macrosiphon solanifolii, Macrosiphum euphorbiellum, M. tabaci, M. rosaeollae, M. tulipae, Siphonophora euphorbiae), Tribe Macrosiphini. Pada umumya kutudaun ini memiliki tubuh yang berwarna hijau muda dan mata yang merah. Ukuran tubuh imago aptera berkisar antara 1.7-2.1 mm. Bentuk tubuh M. euphorbiae oval dan panjang. Pada kepala tidak terdapat spikula, tuberkel antena berkembang dengan baik, dengan bentuk paralel (Gambar 11d). Kornikel berbentuk silinder, berukuran 1.7-2x dari kauda, berwarna pucat dan terdapat zona subapikal pada ujungnya. Kauda berbentuk seperti lidah, terdapat 8-12 helai rambut (Gambar 11e). Kutudaun ini ditemukan pada 2 spesies tanaman inang, yaitu crosandra (Crossandra infundibuliformis, Acanthaceae) dan mawar (Rosa spp., Rosaceae). Seluruh lokasi ditemukannya kutudaun ini berada di dataran tinggi (1096-1299 m dpl) yaitu pada Desa Cibodas (Pacet) dan Cimacan (Pacet). M. euphorbiae ditemukan pada bagian kuncup bunga dan pucuk tanaman dengan keseluruhan adalah kutudaun aptera. Pada koloni tidak ditemukan semut yang berasosiasi. Tidak ditemukan gejala kerusakan yang signifikan pada tanaman inang. Kutudaun ini berasal dari Amerika Utara, namun penyebarannya sudah meluas hingga hampir di seluruh dunia. M. euphorbiae merupakan salah satu kutudaun yang dapat menyebabkan kerugian yang cukup serius di beberapa negara. Selain sebagai hama M. Euphorbiae merupakan vektor dari 70 virus tanaman (AphID 2013). Irsan (1997) mengidentifikasi kutudaun ini pada tanaman Solanaceae di daerah Cipanas dan Lembang. Belum ada publikasi yang menyatakan keberadaan M. euphorbiae pada tanaman hias di Indonesia.
18
(a)
(c)
1 mm
(d)
(b)
(e)
Gambar 11 Karakter morfologi Macrosiphum euphorbiae; koloni M. euphorbiae pada kuncup bunga Rosa spp. (a), tubuh berwarna hijau dengan mata berwarna merah (b), preparat slide imago tidak bersayap (c), tuberkel antena yang berkembang dan berbentuk paralel (d), rambut pada kauda dan zona subapikal dengan pola poligon pada kornikel (e). Myzus persicae (Sulzer) (= Aphis persicae, Rhopalosiphum persicae, Myzoides dianthi, Myzodes persicae), Tribe Macrosiphini. M. persicae memiliki bentuk tubuh oval dengan warna tubuh hijau terang dan berukuran 3 mm. Tuberkel antena berkembang dengan baik dengan kedua sisi yang hampir menyatu (konvergen) (Gambar 12d) serta terdapat spikula pada kepala (Gambar 13e). Panjang antena sekitar 0.7-1.2x panjang tubuh. Tidak terdapat tanda hitam pada bagian abdomen. Pada umumnya kornikel berbentuk agak menggelembung pada setengah bagiannya, namun pada sebagian kecil M. persicae hanya berbentuk tabung dengan ujung yang agak melebar (Gambar 12f). Kutudaun ini hanya ditemukan di dataran tinggi pada tanaman anggrek tanah (Epidendrum ibaguense, Orchidaceae) di Cibodas, Kecamatan Pacet dengan ketinggian 1299 m dpl. Menurut Noordam (2004), M. persicae memiliki kisaran tanaman inang yang luas yaitu lebih dari 30 spesies tanaman inang.Serangga ini ditemukan pada bagian kuncup bunga dengan jumlah 20 individu/koloni. Jenis kutudaun yang ditemukan adalah kutudaun alatae dan aptera namun didominasi oleh kutudaun aptera. Kalshoven (1981) menyatakan bahwa M. persicae merupakan hama penting di Indonesia pada tanaman tembakau. Pada anggrek tanah tidak ditemukan gejala kerusakan yang signifikan. Kutudaun ini juga tidak ditemukan berasosiasi dengan semut.
19
(a)
1 mm
(d)
(b)
(e)
(c)
(f)
Gambar 12 Karakter morfologi Myzus persicae; koloni M. persicae pada kuncup bunga E. ibaguense (a), tubuh berwarna hijau (b), preparat slide imago tidak bersayap (c), tuberkel antena berkembang baik dengan bentuk konvergen (d), spikula pada kepala (e), kauda dan kornikel dengan ujung yang sedikit melebar (f). Neomyzus circumflexus (Buckton) (= N. circumflexum, Aulacorthum circumflexum, A. circumflexus, Myzus circumflexus), Tribe Macrosiphini. Tubuh imago aptera N. circumflexus berukuran 1.4-1.8 mm. Kutudaun ini berbentuk oval, memiliki warna tubuh hijau terang dengan tanda hitam pada bagian dorsal toraks dan abdomennya. Panjang antena berukuran 1-1.5x dari panjang tubuh. Pada toraks terdapat sepasang tanda hitam di sebelah kanan dan kirinya. Pada bagian tengah dorsum abdomen tanda hitam jauh lebih besar dan berbentuk seperti tapak kuda (Gambar 13c). Tuberkel antena berkembang dengan baik dengan spikula pada bagian kepalanya (Gambar 13e). Kauda berbentuk seperti lidah dan berwarna pucat serta kornikel berbentuk silinder. Kutudaun ini ditemukan pada 3 tanaman inang, yaitu anthurium, (A. adreanum, Araceae); krokot kuning (Alternathera ficoides, Amaranthaceae) dan kecubung (Datura suaveolens, Solanaceae). Seluruh lokasi ditemukannya kutudaun ini berada di Desa Cibodas, Kecamatan Pacet pada ketinggian 1299 m dpl. N. circumflexus ditemukan pada bagian bawah permukaan daun, bunga dan pucuk tanaman. Jenis individu kutudaun yang ditemukan keseluruhannya adalah aptera. Tidak ditemukan semut yang berasosiasi dengan koloni kutudaun ini. Gejala kerusakan juga tidak ditemukan pada tanaman inang. Irsan (1997) mengidentifikasi spesies ini pada tanaman Solanaceae di daerah Cipanas dan Lembang. Belum ada publikasi yang menyatakan keberadaan kutudaun ini pada tanaman hias di Indonesia.
20
(a)
(d)
1 mm
(b)
(e)
(c)
(f)
Gambar 13 Karakter morfologi Neomyzus circumflexus; koloni N. circumflexus pada D. suaveolens (a), tubuh berwarna hijau dengan tanda hitam yang besar (b), preparat slide imago tidak bersayap (c), tuberkel antena berkembang dan berbentuk konvergen (d), spikula pada kepala (e), kauda dan kornikel dengan ujung yang sedikit melebar (f). Subfamili Greenideinae Greenidea psidii (van der Goot) (= G. formosana), Tribe Greenideini. Tubuh imago aptera G. psidii berukuran 1.1 mm dengan bentuk seperti buah pir. Warna tubuh G. psidii adalah kuning-kecoklatan. Kutudaun ini dapat dengan mudah dibedakan dari semua kutu daun lainnya karena adanya seta pada kornikel (Mifsud 2008). Terdapat tanda hitam pada sekujur abdomen namun yang terbesar terletak pada bagian abdomen bawah (Gambar 14d). Tuberkel antena tidak berkembang dengan baik namun banyak ditumbuhi oleh rambut-rambut (Gambar 14e). Bentuk kornikel pada individu aptera dan alatae memiliki perbedaan. Kutudaun aptera memiliki kornikel berukuran tebal dan melengkung menyerupai pedang serta banyak ditumbuhi oleh seta (Gambar 14b). Pada kutuduan aptera kornikel berukuran sangat panjang dan berseta (Gambar 14c). Kauda berbentuk kerucut dan ditumbuhi beberapa helai rambut (Gambar 14f). Kutudaun ini hanya ditemukan di dataran tinggi pada tanaman cemara melalica (Melaleuca bracteata, Myrtaceae) di Cibodas, Kecamatan Pacet pada ketinggian 1299 m dpl. Serangga ini ditemukan pada bagian daun dengan jumlah hanya 3 individu/koloni. Jenis kutudaun yang ditemukan adalah kutudaun bersayap dan tidak bersayap. Pada koloni tidak ditemukan semut yang berasosiasi. Tidak ditemukan gejala kerusakan pada tanaman inang karena jumlah individu yang sangat sedikit. Noordam (2004) mengidentifikasi kutudaun ini di beberapa tanaman hias pada daerah dengan ketinggian yang berbeda, yaitu antara 400-1100 m dpl.
21
(a)
(d)
(b)
(e)
(c)
(f)
Gambar 14 Karakter morfologi Greenidea psidii; spesies hidup G. psidii pada M. bracteata (a), tubuh berwarna coklat kekuningan pada imago tidak bersayap (b), imago bersayap (c), preparat slide imago tidak bersayap (d), tuberkel antena tidak berkembang dan terdapat rambut (e), kauda berbentuk kerucut dan kornikel seperti pedang (f). Subfamili Hormaphidinae Astegopteryx nipae (van der Goot) (= Oregma nipae, Trichoregma nipae), Tribe Cerataphidini. Tubuh imago aptera A. nipae berukuran 1.4 mm dengan bentuk seperti buah pir. Warna tubuh kuning-kecoklatan. Pada bagian kepala terdapat tanduk yang berbentuk segitiga (Gambar 15d). Abdomen dikelilingi oleh lapisan lilin dan setiap segmen pada tubuhnya terlihat jelas (Gambar 15b). Kornikel berukuran pendek dan mengerucut sedangkan kauda berbentuk kenop dengan tonjolan pada kedua sisinya. Kutudaun ini ditemukan di dataran rendah pada tanaman palem puniks (P. roebelenii, Arecaceae) di Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat pada ketinggian 279 m dpl. Serangga ini ditemukan pada bagian bawah daun majemuk tanaman palem dengan jumlah 254 individu/helai daun. Pada tanaman ditemukan gejala kerusakan berupa kekuningan pada daun. Jenis semut yang berasosiai dengan koloni kutudaun ini, yaitu Dolichoderus thoracicus.
22
(a)
(b)
(d)
(c)
(e)
Gambar 15 Karakter morfologi Astegopteryx nipae; koloni A. nipae pada P. roebeleni (a), tubuh berwarna kuning-kecoklatan dan memiliki lapisan lilin (b), preparat slide imago tidak bersayap (c), terdapat tanduk pada bagian kepala (d), kelenjar lilin pada bagian abdomen (e). Kunci Identifikasi Berdasarkan Gambar Pembuatan kunci identifikasi bergambar (pictorial key) dilakukan dengan melakukan pengamatan pada imago kutudaun aptera. Proses pembuatan kunci diawali dengan melakukan analisa terhadap persamaan dan perbedaan karakter morfologi yang dimiliki tiap spesies. Karakter pertama yang digunakan untuk mengklasifikasikan berdasarkan subfamili adalah bentuk kornikelnya. Karakter selanjutnya yang digunakan adalah bentuk tuberkel antena yang berkembang atau tidak berkembang untuk mengklasifikasikan berdasarkan tribe (suku). Selanjutnya tiap spesies diklasifikasikan dan dibedakan menurut karakter khusus yang dimilikinya. Ciri morfologi yang digunakan meliputi bentuk tuberkel antena, kornikel, kauda, bercak hitam pada tubuh dan beberapa ciri umum lainnya.
23
Imago Kutudaun Tidak Bersayap (Aptera)
Kornikel berbentuk seperti pedang dan berseta
Kornikel berbentuk kenop
Kornikel berbentuk tubular
(a)
(b)
(c)
Subfamili Greenideinae
Subfamili Aphidinae
Subfamili Hormaphidinae
Tuberkel antena tidak berkembang dan berambut
(d)
(e)
Tanda hitam pada segmen abdomen ke V-VIII
(h)
(j) Greenidea psidii
Gambar 16
Tuberkel antena berkembang
Tuberkel antena tidak berkembang
(f)
Tribe Macrosiphini (I)
Tribe Aphidini (II)
(lihat halaman selanjutnya)
(lihat halaman selanjutnya)
Terdapat tanduk pada bagian kepala
(g) Kelenjar lilin pada sekeliling abdomen
(i)
(k) Astegopteryx nipae
Kunci identifikasi bergambar kutudaun Subfamili Greenideinae, Hormaphidinae dan Aphidinae (Tribe Macrosiphini dan Aphidini) yang ditemukan pada tanaman hias di Bogor dan Cianjur
24 Tribe Macrosiphini (I)
Kornikel panjang dan ramping
Terdapat spikula pada kepala. Tuberkel antena berbentuk konvergen
Kornikel kokoh dan lebar
Tidak terdapat spikula pada kepala. Tuberkel antena berbentuk paralel.
Terdapat tanda hitam pada abdomen
Antena, tungkai dan kornikel berwarna hitam
Kornikel dengan zona subapikal
(c) Indomegoura indica
(a) Neomyzus circumflexus
(b)
Tidak ada tanda hitam pada Macrosiphum abdomen euphorbiae
Kornikel tanpa zona subapikal
(e)
(d) Myzus persicae
Tribe Aphidini (II)
Terdapat stridulatory apparatus pada abdomen
Aulacorthum solani
Tidak terdapat stridulatory apparatus pada abdomen
(g)
(f) Toxoptera sp.
Aphis sp.
Kornikel berukuran panjang
Kornikel berukuran pendek
(h)
(i)
Kornikel berwarna gelap
(j) Aphis gossypii
(k) Toxoptera aurantii
(l) Toxoptera odinae
Gambar 17 Kunci identifikasi bergambar kutudaun Tribe Macrosiphini dan Aphidini yang ditemukan pada tanaman hias di Bogor dan Cianjur.
25
KESIMPULAN Sepuluh spesies kutudaun ditemukan pada 29 spesies tanaman hias di Bogor dan Cianjur yaitu A. gossypii, A. nipae, A. solani, G. psidii, I. indica, M. euphorbiae, M. persicae, N. circumflexus, T. aurantii dan T. odinae. Tiga spesies dari kutudaun yang ditemukan tersebut belum pernah dilaporkan berasosiasi pada tanaman hias di Indonesia, yaitu I. indica, M. euphorbiae dan N. circumflexus. Sebagian besar kutudaun yang ditemukan tidak bersayap dan bersifat polifag. Spesies kutudaun yang paling banyak ditemukan adalah A. gossypii. Tanaman yang paling banyak menjadi inang kutudaun adalah famili Acanthaceae. Empat jenis semut yang berasosiasi dengan kutudaun pada tanaman hias adalah D. thoracicus, Lepisiota sp., Myrmicaria sp., dan Pheidole sp..
SARAN Perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang jenis virus dan kerugian ekonomi yang disebabkan oleh virus yang disebarkan oleh kutudaun pada tanaman hias.
26
DAFTAR PUSTAKA AphID. 2013. Identification guide for cosmopolitan and polyphagus aphid spesies. [internet]. [diunduh: 2013 Mei 22]. Tersedia pada: http://aphid.aphidnet.org. Blackman RL, Eastop VF. 1984. Aphids on the World Crop: An Identification and Information Guide. First edition. New York (GB): John Wiley & Sons. Blackman RL, Eastop VF. 2000. Aphids on the World Crop: An Identification and Information Guide. Second edition. London (GB): Natural History Museum. Blackman RL, Eastop VF. 2006. Aphids on the World’s Herbaceous Plants and Shrubs. Chichester (GB): John Wiley & Sons. Blackman RL, Spence M. 1994. The effects of temperature on aphid morphology, using a multivariate approach. Eur. J. Entomol. 91(1):7-22. Cranshaw, W. 2004. Aphids on shade trees and ornamental. Insect Series. [internet]. Fort Collins (US): Colorado State University Cooperative Extension. [diunduh 2013 Apr 23]. Tersedia pada http://www.ext.colostate.edu/pubs/insect/05511.html. Dixon AFG. 1985. Aphid Ecology. New York (USA): Blackie. Drees BM. 1998. Aphids in Texas landscape [internet]. College Station (US): Texas Agricultural Extension; [diunduh 2013 Apr 24]. Tersedia pada: https://insects.tamu.edu/extension/bulletins/b-6047.html. Goot VD. 1917. Zur Kenntnis Der Blattlause Java’s. Contributions a la Faune des Indes Neerlandaises. Vol ke-1, Fasc. I. Inst. Sci. Buitenzorg (ID): Instituts Scientifiques de Buitenzorg Lands Platentuin. Hashimoto Y. 2003. Inventory and collection: total protocol for understanding of biodiversity. Identification Guide to The Ant Genera of Borneo. Pp. 89162 in Hashimoto Y, Rahman H. (eds.) 2003. Kinabalu: Research and Education Component, BBEC Programme (Universiti Malaysia Sebah), 310 pp. Hill DS. 1997. The Economis Importance of Insects. London (GB): Chapman & Hall. Irsan C. 1997. Keragaman spesies kutudaun (Homoptera: Aphididae) pada beberapa tumbuhan famili Solanaceae di Jawa Barat [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kalshoven LGE. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta (ID): Ichtiar Baru van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgeassen in Indonesie. Kawada K. 1987. Polymorphism and morph determination. Di dalam: Minks AK, Harrewijn P, editor. Aphids: Their Biology, Natural Enemies and Control. Vol 2A. Amsterdam (NL): Elsevier. hlm 255-266. Kranz J, Schmutterer H, Koch W. 1978. Diseases, Pests and Weeds in Tropical Crops. Chichester (GB): John Wiley & Son.
27
Mifsud D. 2008. A new tree dwelling aphid, Greenidea ficicola Takahashi, 1921 for Malta (Hemiptera: Aphidoidea: Greenideidae). Bulletin of The Entomological Society of Malta. 1(1):39-41. Miles PW. 1987. Feeding process of Aphidoidea in relation of effects on their food plants. Di dalam: Minks AK, Harrewijn P, editor. Aphids: Their Biology, Natural Enemies and Control. Vol 2A. Amsterdam (NL): Elsevier. hlm 321-340. Noordam D. 1991. Hormaphidinae from Java (Homoptera: Aphididae). Zoologische Verhandelingen. 270:1-525. Noordam D. 1994. Greenideinae from Java (Homoptera: Aphididae). Zoologische Verhandelingen. 296:1-284. Noordam D. 2004. Aphids of Java. Part V: Aphidini (Homoptera: Aphididae). Zoologische Verhandelingen. 346:7-83. Noordam D, Lambers DHR. 1985. Aphids of Java. Part I: introduction, five new species of Taiwanaphis Takahashi, 1934, with re-description of the genus (Homoptera: Aphididae). Zoologische Verhandelingen. 219:1-45. Pedigo LP, Rice ME. 2006. Entomology and Pest Management. 5th ed. Upper Saddle River (US): Pearson Education. Pollard E. 1971. Habitat diversity and crops pest: a study of Brevicoryne brassicae and its syrphid predators. J. App. Ecol. 8(1): 751-780. Sudd JH. 1987. Ant aphid mutualism. Di dalam: Minks AK, Harrewijn P, editor. Aphids: Their Biology, Natural Enemies and Control. Vol 2A. Amsterdam (NL): Elsevier. hlm 355-364. Szpeiner A. 2008. Aphididae (Hemiptera) on ornamental plants ini Córdoba (Argentina). Rev. Soc. Entomol. Argent. 67(1-2):49-56. Tharp CI, Blodgett SL, Denke PM. 2005. Aphids of economics importance in Montana [internet]. Bozerman (US): Montana State University Extension Service; [diunduh 2013 Apr 24]. Tersedia pada: http://www.msuextension. org/store/products/Aphids-of-Economics-Importance-in-Montana__MT20 0503AG.aspx. Way MJ, Khoo KC. 1992. Role of ants in pest management. Annu. Rev. Entomol. 37(1): 479-503.
28
LAMPIRAN
Aphis gossypii
Astegopteryx nipae Toxoptera aurantii
Toxoptera odinae
2 3
4
Spesies kutudaun
1
No. 203 250 263 279 314 310 258 206
400 279 246 279 206 314
Babakan Sindangbarang Gunung Batu Pasir Kuda
Ciheuleut
Mulyaharja Kedung Badak Dramaga
Cinangneng Pasir Kuda Sindangbarang Sempur
Dramaga Ciheuleut
Desa/Kelurahan
Ketinggian (m dpl) Rowelia tegak Pucuk merah Rowelia tegak Teh-tehan Rowelia tegak Adenium Zodia Asoka Bungur Sri rejeki Melati bintang Bunga sepatu Bunga sepatu Palem puniks Kemuning Asoka Bugenvil Sri rejeki Kerai payung
Nama umum
Lampiran 1 Hasil pengambilan sampel kutudaun pada tanaman hias di Bogor
R. brittoniana (Acanthaceae) S. oleina (Myrtaceae) R. brittoniana (Acanthaceae) A. siamensis (Euphorbiaceae) R. brittoniana (Acanthaceae) A. obesum (Apocynaceae) E. ridleyi (Rutaceae) Ixora spp. (Rubiaceae) L. speciosa (Lythraceae) Dieffenbachia sp. (Araceae) T. jasminoides (Apocynaceae) H. rosa-sinensis (Malvaceae) H. rosa-sinensis (Malvaceae) P. roebelenii (Arecaceae) M. paniculata (Rutaceae) Ixora spp. (Rubiaceae) Bougainvillea sp. (Nyctaginaceae) Dieffenbachia sp. (Araceae) F. decipiens (Sapindaceae)
Nama ilmiah
Tanaman inang
71 1 8 6 80 26 36 4 94 23 71 13 43 254 19 31 3 30 43
Jumlah individu per koloni
29
29
Aphis gossypii
Aulacorthum solani Greenidea psidii Indomegoura indica Macrosiphum euphorbiae
Myzus persicae Neomyzus circumflexus
Toxoptera aurantii
2 3 4 5
6 7
8
Spesies kutudaun
1
No.
1299
1096 1299 1299
Cimacan Cibodas Cibodas
Cibodas
1299 1299 1311 1299
1299
Cibodas
Cibodas Cibodas Cibodas Cibodas
1200 1127
Kawungluwuk Ciherang
Ketinggian Desa/Kelurahan (m dpl) Krisan Lisianthus Harendong Kembang telang Golden merah Tibo cina Bunga sepatu Harendong Anggrek tanah Anthurium Cemara melalica Lili Mawar Crosandra Mawar Anggrek tanah Anthurium Krokot kuning Kecubung Lili Beringin benggol
Nama umum
Lampiran 2 Hasil pengambilan sampel kutudaun pada tanaman hias di Cianjur
30
Chrysanthemum sp. (Compositae) E. russelianum (Gentianaceae) M. affine (Melastomataceae) C. ternatea (Leguminosae) A. sinclairiana (Acanthaceae) M. malabratichum (Melastomataceae) H. rosa-sinensis (Malvaceae) M. affine (Melastomataceae) E. ibaguense (Orchidaceae) A. adraeanum (Araceae) M. bracteata (Myrtaceae) H. fulva (Xanthorrhoeaceae) Rosa spp. (Rosaceae) C. infundibuliformis (Acanthaceae) Rosa spp. (Rosaceae) E. ibaguense (Orchidaceae) A. adreanum (Araceae) A. ficoides (Amaranthaceae) D. suaveolens (Solanaceae) H. fulva (Xanthorrhoeaceae) F. benjamina (Moraceae)
Nama ilmiah
Tanaman inang
Jumlah individu per koloni 11 5 1 4 30 19 32 27 25 14 3 105 12 43 11 10 16 6 8 20 10
30
Semut
Dolichoderus thoracicus
Lepisiota sp. Myrmicaria sp. Pheidole sp.
No .
1
2 3 4
A. nipae T. odinae A. gossypii A. gossypii A. gossypii A. gossypii T. aurantii
A. gossypii
Spesies kutudaun Bogor Barat (Babakan) Bogor Barat (Pasir Kuda) Bogor Selatan (Mulyaharja) Tenjolaya (Cinangneng) Bogor Barat (Pasir Kuda) Bogor Timur (Ciheuleut) Bogor Timur (Ciheuleut) Pacet (Cibodas) Bogor Timur (Ciheuleut) Dramaga (Dramaga) Dramaga (Dramaga)
Kecamatan (Desa/Kelurahan)
Lampiran 3 Lokasi keberadaan semut pada tanaman inang
203 279 310 400 279 314 314 1299 314 206 206
Ketinggian (m dpl) Rowelia tegak Rowelia tegak Asoka Bunga sepatu Palem puniks Kerai payung Adenium Golden merah Zodia Melati bintang Sri rejeki
Nama umum
R. brittoniana R. brittoniana Ixora spp. H. rosa-sinensis P. roebelenii F. decipiens A. obesum A. sinclairiana E. ridleyi T. jasminoides Dieffenbachia sp.
Nama ilmiah
Tanaman inang
31
31
Kabupaten Cianjur
Kabupaten Bogor
Kotamadya Bogor
Sukaresmi
Bogor Timur Bogor Selatan Bogor Tengah Tanah Sareal Dramaga Tenjolaya Pacet
Bogor Barat
Babakan Sindangbarang Gunung Batu Pasir Kuda Ciheuleut Mulyaharja Sempur Kedung Badak Dramaga Cinangneng Cimacan Cibodas Cibodas Ciherang Kawungluwuk
06°33.34S - 106°44.28E 06°35.10S - 106°46.12E 06°35.27S - 106°46.32E 06°36.34S - 106°46.75E 06°36.41S - 106°48.84E 06°37.60S - 106°47.87E 06°35.41S - 106°28.16E 06°34.21S - 106°48.70E 06°33.73S - 106°44.03E 06°36.11S - 106°42.14E 06°43.06S - 107°01.50E 06°44.30S - 107°00.19E 06°44.57S - 107°00.22E 06°43.57S - 107°01.59E 06°41.48S - 107°02.50E
Lampiran 4 Lokasi pengambilan sampel kutudaun pada tanaman hias di Bogor dan Cianjur Kabupaten Kecamatan Desa/Kelurahan Koordinat
32
Ketinggian (m dpl) 203 250 263 263 314 310 279 258 206 400 1096 1299 1311 1127 1200
32
33
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 8 Desember 1991 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Kunto Wandono dan Ibu Indriana Pramasari. Penulis memiliki dua orang adik yaitu Dynda Novisabrina dan Rizky Yogatama. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 74 Jakarta pada tahun 2009 dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama masa perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan kepanitiaan beberapa acara di dalam dan luar kampus. Pada tahun 2011-2012 penulis bergabung dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA) sebagai Kepala Divisi Bisnis dan Kewirausahaan. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Dasar-dasar Proteksi Tanaman (Dasprotan) pada tahun 2012. Selain mengikuti kegiatan kampus, penulis juga aktif mengikuti seminar dan menjadi penyaji makalah pada Seminar Nasional Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian Indonesia (FKPTPI) 2013.