Asmaranto, Identifikasi Potensi Akuifer Menggunakan Uji Resistivity VES (Vertical Electrical Sounding)
IDENTIFIKASI POTENSI AKUIFER MENGGUNAKAN UJI RESISTIVITY VES (VERTICAL ELECTRICAL SOUNDING) (STUDI KASUS: DESA POHIJO, SAMPUNG-PONOROGO)
Runi Asmaranto1 Jurusan Teknik pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
[email protected] (INDONESIA)
Abstrak: Desa Pohijo Kecamatan Slahung Ponorogo merupakan salah satu desa yang mengalami kekurangan air irigasi, dimana kondisi sekarang mengandalkan irigasi tadah hujan dan irigasi permukaan dari sumber mata air gemblung yang sangat terbatas. Sementara di wilayah ini luas baku sawah cukup tersedia untuk dikembangkan menjadi irigasi lahan basah. Jika ketersediaan air irigasi bisa dicukupi maka pola tanam yang ada bisa dikembangkan menjadi pola tanam Padi-Padi-Palawija. Untuk itu diperlukan penyediaan air irigasi melalui pengembangan irigasi air tanah. Melihat permasalahan yang terjadi di Desa Pohijo maka perlu dilakukan kegiatan berupa pengabdian masyarakat bantuan teknis pendugaan air tanah. Pendugaan air tanah dimaksudkan untuk mengetahui apakah ada potensi aliran bawah permukaan yang nantinya bisa dimanfaatkan untuk air irigasi. Apabila ditemukan potensi di suatu titik penyelidikan, diharapkan dapat dipakai sebagai acuan untuk dilakukan pembuatan sumur bor di titik-titik tersebut oleh Pemerintah Desa. Dari hasil interpretasi geologi dan pengujian geolistrik didapatkan hasil bahwa : Titik duga 2, potensi air tanah ada pada kedalaman 14–25 meter (ketebalan 11 meter), namun dibawah lapisan ini masih terdapat lapisan kedap, dan akuifer tertekan berada pada kedalaman dibawah 62 hingga 200 meter (Transmisivitas = 429,66 m2/ hari). Titik duga 3, potensi kedalaman air tanah pada kedalaman 63–100 meter (semi akuifer tertekan), sedangkan pada kedalaman dibawah 100 meter terdapat lapisan kedap air. Titik duga 4, potensi kedalaman air tanah pada kedalaman 10–20 meter namun potensi yang besar berada pada kedalaman dibawah 40 meter hingga 200 meter dengan koefisien transmisivitas T = 496,0 m2/ hari. Titik duga 5, potensi kedalaman air tanah berada pada kedalaman 27 meter, namun kandungan pasir tertutup material halus (semi akuifer). Dari beberapa titik penyelidikan, titik 4 direkomendasikan sebagai alternatif 1 untuk dibangun irigasi pompa dengan pertimbangan selain potensi air tanahnya juga keberdaannya masih berada pada tanah bengkok desa. Titik 2 direkomendasikan sebagai alternatif 2 melihat potensi air tanah dibandingkan lokasi 5 dan 3. Kata kunci: Akuifer, Transmisivitas, resistivitas, vertical electrical sounding, konfigurasi Abstract: The problems occurred at the Kangkungan-Pohijo are not available surface water irrigation needs. BPP FT-UB as a community service agency conducting a relief estimating groundwater flow wich is done to determine potential for subsurface flow. If found potential of groundwater, useful to development irrigation potential so increasing harvest productivity. The aim of study is determine locations which have groundwater flow potential to support pump irrigation. The result of this study shown that point 4 is the best potential of groundwater flow than other location. This location was also its existence still on the region of “bengkok desa”, so it is recommended as the first alternative. The point-2 was recommended as an a second alternative. The response of residents of Pohijo village was very enthusiastic in order to realize procurement pump groundwater. Keyword: aquifer, transmisivity, resistivity, vertical electrical sounding, configuration
199
199
200
Jurnal Teknik Pengairan, Volume 5, Nomor 2, Desember 2014, hlm 199–206
Pengelolaan irigasi sumur pompa adalah cara penanganan sumur pompa agar dapat meningkatkan hasil produksi pertanian serta dapat menjaga kelestarian mesin dan pompa. Sasaran utama di bidang pengelolaan antara lain meningkatkan produksi pertanian dan menjaga kelestarian mesin pompa beserta perlengkapannya. Sumur pompa dititikberatkan pada pada daerah-daerah yang tidak memperoleh atau kekurangan irigasi permukaan terutaman pada musim kemarau atau daerah yang masih mengandalkan sumber air tadah hujan walaupun jumlah ketersediaan air sangat banyak. (Pabundu, 1990 : 1) Irigasi air tanah sangat menjanjikan untuk meningkatkan produktivitas petani, mengatasi lahan yang kering maupun meningkatkan pendapatan petani. Selain itu menurut Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2006 pasal 2 menyebutkan bahwa irigasi berfungsi untuk mendukung produktivitas usaha tani guna meningkatkan produksi pertanian dalam rangka ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani, yang diwujudkan melalui keberlanjutan sistem irigasi. (Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air, 2008). Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 43 Tahun 2008 tentang air tanah pasal 54 bahwa : “Pemakaian air tanah untuk pertanian rakyat sebagaimana dimaksud hanya dapat dilakukan apabila air permukaan tidak mencukupi”. (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 43 Tahun 2008). Desa Pohijo Kecamatan Sampung Ponorogo merupakan salah satu desa binaan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya dimana sekarang ini mengalami kekurangan air irigasi dimusim kemarau. Irigasi yang ada merupakan irigasi permukaan dimana ketersediaannya tidak mencukupi, kondisi eksisting dengan menyadap air dari sumber Gemblung dimana secara geografis berada di wilayah Kabupaten Wonogiri Propinsi Jawa Tengah. Sementara luas baku sawah cukup tersedia untuk dikembangkan irigasi lahan basah dan meningkatkan pola tanam. Jika ketersediaan air irigasi cukup maka pola tanam yang ada bisa dikembangkan menjadi pola tanam PadiPadi-Palawija. Untuk itu diperlukan penyediaan air irigasi melalui pengembangan irigasi air tanah, sedangkan potensi sawah tadah hujan cukup luas. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi potensi air bawah tanah untuk kebutuhan air irigasi.
METODOLOGI Lokasi Penyelidikan Lokasi penyelidikan dilakukan di Dusun Kangkungan, Desa Pohijo, Kec. Sampung, Kab.
Ponorogo, dengan mengukur di wilayah tanah bengkok desa dan sekitarnya yang memungkinkan secara geologi terdapat aliran air tanah, dan secara topografi bisa mengalirkan air irigasi gravitasi ke hilir setelah dipompa.
Data Primer Data primer yang diambil dalam kegiatan ini meliputi: (1) Panjang jarak antar elektroda (a) dari masing-masing konfigurasi dalam meter. (2) Besar arus yang dialirkan (I) dan besar tegangan (V) dalam mVolt. (3) Besarnya resistivitas yang terukur (R) dalam Wm. (4) Kedalaman sumur gali di sekitar lokasi pengukuran geolistrik. Titik Pengukuran sebagai berikut: Titik A = titik 1(07°48.331'S; 111°18.224'E) Titik B = titik 2 (07°48.360'S; 111°18.223'E) Titik C = titik 3 (07°48.389'S; 111°18.239'E) Titik D = titik 4 (07°48.303'S; 111°18.205'E) Titik E = titik 5 (07°48.339'S; 111°18.193'E)
Gambar 1. Peta lokasi titik pengukuran geolistrik.
Data Sekunder, meliputi data Hidrogeologi peta geologi lokasi. Data hidrigeologi yang dibutuhkan berupa peta geologi untuk mengetahui struktur batuan yang berada di lokasi pengukuran serta peta hidrogeologi untuk mengetahui gambaran secara umum kondisi akuifer lokasi pendugaan. Berdasarkan peta-peta tersebut nantinya dapat diketahui apakah daerah tersebut memiliki akuifer yang produktif atau tidak. Peta Geologi untuk mengetahui jenis batuan yang ada di lokasi penelitian.
Peralatan dan Perlengkapan yang Dibutuhkan Dalam pelaksanaan pendugaan dibutuhkan beberapa peralatan diantaranya: (1) Seperangkat alat
Asmaranto, Identifikasi Potensi Akuifer Menggunakan Uji Resistivity VES (Vertical Electrical Sounding)
pengukur geolistrik; (2) Dua buah elektroda C, dua buah elektroda P, dan satu buah stainless sebagai patok titik tengah pengukuran; (3) ACCU 12 Volt; (4) Empat gulung kabel yang panjangnya disesuaikan dengan kebutuhan; (5) Multimeter; (6) Tiga buah palu; (7) Patok; (8) GPS; (9) HT ( Handy talkie ); (10) Alat tulis; (11) Formulir data; (12) Payung.
KAJIAN PUSTAKA Nilai resistivitas suatu tanah sangat dipengaruhi oleh kandungan air didalamnya. Tanah jenuh mempunyai nilai resistivitas lebih kecil jika dibandingkan dengan tanah tidak jenuh (asmaranto, et al 2013). Pada metode geolistrik tahanan jenis (Resistivitas), arus listrik diinjeksikan kedalam bumi melalui dua elektroda arus. Beda potensial yang terjadi diukur melalui dua elektroda potensial. Dari hasil pengukuran arus dan beda potensial untuk setiap jarak elektrode tertentu, dapat ditentukan variasi harga tahanan jenis masing-masing lapisan di bawah titik ukur. Metode geolistrik tahanan jenis ini banyak digunakan dalam penentuan kedalaman batuan dasar dan pencarian reservoir air. Teknik pengambilan data dalam metode geolistrik tahanan jenis terdiri dari: vertikal sounding dan lateral mapping. (Waluyo, 1984:149) Vertikal sounding. Vertikal sounding merupakan penyelidikan perubahan tahanan jenis bawah permukaan kearah vertikal. Caranya pada titik ukur yang tetap, jarak elektroda arus dan tegangan diubah atau divariasi. Konfigurasi elektroda yang biasanya dipakai adalah konfigurasi Schlumberger. Lateral mapping. Lateral mapping adalah penyelidikan perubahan tahanan jenis bawah permukaan kearah lateral (horizontal). Caranya dengan jarak elektroda arus dan tegangan tetap, titik ukur dipindah atau digeser secara horizontal. Konfigurasi elektroda yang biasa dipakai adalah konfigurasi Wenner atau Dipole-dipole.
Tahanan Jenis Batuan. Tahanan jenis atau resistivitas, dapat ditentukan menggunakkan hukum Ohm (Sumber, Waluyo, 1984 : 149) :
Gambar 2. Arus listrik merata dan sejajar dalam sebuah silinder dengan beda potensial antara kedua ujungnya.
A x V I xL
201
(1)
dimana: = Tahanan Jenis (Ohm-m) V = Tegangan (Volt) I = Arus listrik yang melewati bahan berbentuk silinder (Ampere) A = Luas Penampang (m2) L = Panjang (m) Menurut (Telford et al., 1998) aliran arus listrik di dalam batuan dapat digolongkan menjadi tiga macam besarnya dipengaruhi oleh porositas batuan dan juga dipengaruhi oleh jumlah air yang terperangkap dalam pori-pori batuan, yaitu: (1) Konduksi elektronik jika batuan mempunyai elektron bebas sehingga arus listrik dialirkan oleh elekron-elektron bebas. (2) Kondisi elektrolit terjadi jika batuan bersifat poros dan pori-pori terisi oleh cairan elektrolit. Pada konduksi ini arus listrik dibawa oleh elektrolit. (3) Konduksi dielektrik terjadi jika batuan bersifat dielektrik terhadap aliran arus listrik yaitu terjadi polarisasi saat bahan dialiri arus listrik. Secara teknis hubungan antara besarnya nilai tahanan jenis dengan macam batuan dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Nilai tahanan jenis batuan yang lepas lebih rendah dari batuan yang kompak. (2) Nilai tahanan jenis batuan akan lebih rendah, jika airtanah berkadar garam tinggi. (3) Tidak terdapat batas yang jelas antara nilai tahanan jenis dari tiaptiap batuan. (4) Tahanan jenis batuan dapat berbeda secara menyolok, tidak saja dari lapisan yang satu terhadap lapisan yang lain, tetapi juga didalam satu lapisan batuan. (5) Batuan yang pori-porinya mengandung air, hambatan jenisnya lebih rendah dari yang kering. Kandungan air didalam batuan akan menunjukan harga resistivitas. Ketentuan umum dari sifat kelistrikan batuan adalah besarnya tahanan dinyatakan dengan perantaraan nilai tahanan jenisnya. Tahanan jenis berbanding terbalik dengan daya hantar listrik, sehingga:
1
1
dimana: = Tahanan Jenis (Ohm-meter) = Daya hantar listrik
(2)
202
Jurnal Teknik Pengairan, Volume 5, Nomor 2, Desember 2014, hlm 199–206
Tabel 1.
Harga tahanan jenis berbagai mineral, batuan maupun fluida (Sumber: Waluyo, 1984 : 179).
Gambar 3. Konfigurasi Schlumberger (Telford et al, 1998)
Konfigurasi Schlumberger biasanya dipergunakan untuk profiling dan sounding. Untuk dapat melakukan sounding, elektroda arus dipisahkan oleh AB secara simetris dengan elektroda potensial MN, kemudian elektroda arus diperbesar sehingga k menjadi: (3) Tabel 2.
Harga resistivitas spesifik batuan (Sumber: Sosrodarsono, dkk 1988)
Dengan tahanan jenis semu yang terukur: (4) Kemudian K menjadi : (5)
Tahanan Jenis Semu
Konfigurasi Elektroda Ada beberapa macam model konfigurasi dalam metode geolistrik resistivitas, sesuai dengan susunan elektrodanya antara lain: Konfigurasi Wenner Alpha, Wenner Beta, Wenner Gamma, Dipole-dipole, Pole-dipole, Wenner-Sclumberger, dll Pada penelitian ini akan digunakan model konfigurasi Schlumberger. Pada saat melakukan pengukuran, elektroda disusun sedemikian rupa sehingga membentuk suatu susunan konfigurasi. Faktor geometri (K) disebut sebagai suatu besaran yang berfungsi sebagai faktor koreksi dari berbagai perubahan konfigurasi elektroda. Besarnya faktor geometri untuk tiap-tiap konfigurasi elektroda tidak sama.
Menurut Telford, et al (1990) terdapat beberapa asumsi dasar yang digunakan dalam metode resistivitas (tahanan jenis semu) antara lain: (1) Bawah permukaan tanah terdiri dari beberapa lapisan yang dibatasi oleh bidang batas horizontal serta terdapat perbedaan resistivitas antara bidang batas pelapisan batuan. (2) Lapisan batuan bersifat homogen isotropik dan mempunyai ketebalan tertentu, kecuali untuk lapisan terbawah mempunyai ketebalan yang tidak terhingga. (3) Batas antara dua lapisan merupakan bidang batas antara dua hambatan jenis yang berbeda. (4) Dalam bumi tidak ada sumber arus selain arus listrik searah yang diinjeksikan diatas permukaan bumi. Pada kenyataannya, bumi terdiri dari lapisanlapisan dengan yang berbeda-beda, sehingga potensial yang terukur seolah-olah merupakan harga resistivitas untuk satu lapisan saja (terutama untuk spasi yang lebar). Resistivitas semu ini dirumuskan dengan: (Sumber: Bisri, 1988:10)
Asmaranto, Identifikasi Potensi Akuifer Menggunakan Uji Resistivity VES (Vertical Electrical Sounding)
a K
V I
(6)
dimana: a : resistivitas semu (Ohm-m) K : faktor geometri V : beda potensial pada MN (Volt) I : kuat arus (Ampere) Oleh karena itu resistivitas yang diperoleh dari persamaan (6) bukan merupakan resistivitas yang sebenarnya, melainkan resistivitas semu atau apparent resistivity (a). Untuk jarak antar elektroda arus kecil, akan memberikan nilai a yang harganya mendekati batuan di dekat permukaan. Resistivitas semu yang dihasilkan oleh setiap konfigurasi yang berbeda akan berbeda nilainya walaupun jarak antar elektrodanya sama. Untuk medium yang berlapis, harga resistivitas semu merupakan fungsi jarak antara elektroda arus.
203
kerikilan, mencirikan hubungan menjemari dengan bagian atas Formasi Semilir. Runtunan batuan gunung api ini diduga berumur miosen awal, yang tebentuk di lingkungan darat hingga ke peralihan laut dangkal. Tebal satuan 500 meter. Sebarannya ke barat dapat diikuti hingga lembar Surakarta (Sampurno dan Samodra, 1997).
Hasil pendugaan resistivity dan interpretasi Dari hasil pengujian geolistrik diperoleh bahwa kedalaman air tanah bervariasi yang ditunjukkan oleh kedalaman akuifer sebagai berikut. Tabel 3.
Penentuan Lapisan Akuifer Dari Hasil Pendugaan Susunan Lapisan Geologi Bawah Permukaan pada Titik Duga 2.
Tabel 4.
Penentuan Lapisan Akuifer Dari Hasil Pendugaan Susunan Lapisan Geologi Bawah Permukaan pada Titik Duga 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Desa Pohijo beriklim tropis, dengan musim penghujan pada bulan April–September dan musim kemarau pada bulan Oktober–Maret. Curah hujan di Desa Pohijo berkisar 1900–2000 mm/tahun. Temperatur udara di Desa Pohijo berkisar antara 25300C. Secara umum Desa Pohijo terletak di daaerah perbukitan dengan lereng landai namun sungai-sungai yang mengalir membentuk lembah dengan bentuk huruf V yang cukup dalam dengan kemiringan 15– 60 derajat. Struktur geologi yang berkembang pada daerah Wonogiri - Ponorogo adalah berupa lipatan antiklin, sinklin dan sesar. Lipatan antiklin berarah Barat-Timur, sedangkan sinklin berarah barat daya timur laut. Di daerah ini terdapat 2 jenis sesar yaitu sesar mendatar dan sesar turun. Berdasarkan struktur geologi wilayah lokasi penelitian terletak pada Formasi Nglanggran. Formasi Nglanggran merupakan runtunan batuan Gunung Api bersusunan andesit yang disusun oleh breksi Gunung Api dan batupasir Gunung Api. Komponen andesit di dalam breksi berukuran 50-40 cm, menyudut tanggung hingga menyudut, pemilahan sangat buruk. Tebal rata-rata sekitar 2 m. Setempat breksi berubah secara berangsur mejadi batupasir. Batupasir berwarna coklat, berukuran sedang hingga sangat kasar dan mempunyai tebal 50-100 cm. Setempat tersingkap perselingan breksi dan batupasir. Bagian bawah runtunan yang bersisipan dengan breksi batuapung atau batupasir
KESIMPULAN Dari hasil interpretasi geologi dan pengujian geolistrik didapatkan informasi kedalaman potensi air tanah sebagai berikut. Titik duga 1, didapatkan pembacaan data yang tidak valid dengan error cukup besar tidak bisa diproses lebih lanjut. Titik duga 2, potensi air tanah ada pada kedalaman 14 – 25 meter (ketebalan 11 meter), namun
204
Jurnal Teknik Pengairan, Volume 5, Nomor 2, Desember 2014, hlm 199–206
Tabel 5.
Penentuan Lapisan Akuifer Dari Hasil Pendugaan Susunan Lapisan Geologi Bawah Permukaan pada Titik Duga 4.
Titik duga 5, potensi kedalaman air tanah berada pada kedalaman 27 meter, namun kandungan pasir tertutup materia halus (semi akuifer) Karena keberadaan titik duga 4 adalah masih berada pada tanah bengkok desa maka, titik ini direkomendasikan sebagai alternatif 1 Titik duga 2 direkomendasikan sebagai alternatif 2 melihat potensi air tanah dibandingkan lokasi 5 dan 3.
UCAPAN TERIMA KASIH
Sumber: Analisis
Tabel 6.
Penentuan Lapisan Akuifer Dari Hasil Pendugaan Susunan Lapisan Geologi Bawah Permukaan pada Titik Duga 5.
Sumber: Analisis
dibawah lapisan ini masih terdapat lapisan kedap, dan akuifer tertekan berada pada kedalaman dibawah 62 hingga 200 meter (Transmisivitas = 429,66 m2/ hari) Titik duga 3, potensi kedalaman air tanah pada kedalaman 63 – 100 meter (semi akuifer tertekan), sedangkan pada kedalaman dibawah 100 meter terdapat lapisan kedap air. Titik duga 4, potensi kedalaman air tanah ada pada kedalaman 10 – 20 meter namun potensi yang besar berada pada kedalaman dibawah 40 meter hingga 200 meter (direkomendasikan). Koefisien Transmisivitas T = 496,0 m2/ hari
Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah mendukung kegiatan pengabdian masyarakat ini terutama kepada Badan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat FT UB dan Kepala Desa Pohijo Kecamatan Sampung Kabupaten Ponorogo yang telah mendukung kegiatan ini dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2008. Pedoman umum pelaksanaan kegiatan pengelolaan lahan dan air. Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian. Anonim, 2008. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 43 Tahun 2008. Asmaranto R, et al. 2013. Penentuan Nilai Konduktivitas Hidrolik Tanah Tidak Jenuh Menggunakan Uji Resistivitas di Laboratorium. Jurnal Teknik Pengairan. http://jurnalpengairan.ub.ac.id/ index.php/jtp/article/download/150/148 Asmaranto R, Soemitro R.A.A, Anwar N. 2010. Changes of Soil Erodibility due to Wetting and Drying Cycles Repetitions on the Residual Soil. International Journal of Academic Research, Azerbaijan: Vol 2. No 5. September 2010. Bisri, Muhammad, 1988. Aliran Air tanah. Malang: Himpunan mahasiswa Pengairan. Pabundu, M. 1990. Pengelolaan Irigasi Sumur Pompa. Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Pekerjaan Umum. Pratiwi, Suhermin, 2014. Penerapan Program Resistivity 2D Untuk Analisa Airtanah di Cekungan Airtanah Pasuruan. Skripsi Tidak Diterbitkan. Malang: Jurusan Teknik Pengairan FT Unibraw. Sampurna dan Samodra, 1997. Geologi Lembar Ponorogo, Jawa. P3G. Bandung Soemarto, C.D. 1995. Hidrologi Teknik. Jakarta :Erlangga Sosrodarsono, Suyono dan Kensaku Takeda. 2003. Hidrologi Untuk Pengairan. Jakarta: Pradnya Paramita Telford, W.M., Geldart, L.P. dan Sheriff, R.E. 1998. Applied Geophysics. Second Edition. Cambridge University Press, New York. Waluyo, 1984. Metode Resistivitas. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
Asmaranto, Identifikasi Potensi Akuifer Menggunakan Uji Resistivity VES (Vertical Electrical Sounding)
Gambar 4. Hasil pengolahan apparent resistivity vs electrode spacing pada titik 5.
Gambar 5. Interpretasi data profil tanah di titik 5.
205
206
Jurnal Teknik Pengairan, Volume 5, Nomor 2, Desember 2014, hlm 199–206
Gambar 6. Penyebaran kedalaman akuifer di Dusun Kangkungan Pohijo.
Gambar 7. Profil Pseudosection titik 2, 5 dan 3 arah potongan Barat Laut - Tenggara.