IDENTIFIKASI PATOGENESITAS VIRUS AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5N1 ISOLAT UNGGAS AIR BERDASARKAN SEKUEN ASAM AMINO BAGIAN CLEAVAGE SITE HEMAGLUTININ ABSTRACT Identification of pathotype of Avian Influenza Virus (AIV) subtype H5N1 isolates is very important. This research aimed to identify the pathotype of AIV subtype H5N1 isolated from backyard waterfowls in West Java based on molecular marker of amino acid sequence of the Hemagglutinin (HA) cleavage site. Fragment of HA gene of 21 isolates was amplified using RT-PCR with a primer pair that flanking cleavage site region, and sequenced with dideoxy termination method with ABI automatic sequencer (Applied Biosystems). Multiple alignment of nucleotide and their deduced amino acid sequence were analyzed using ClustalW of MEGA-3.1 program. The result shows that all H5N1 isolates (21 isolate) pose a polybasic cleavage site with 2 pattern amino acid sequence, i.e QRERRRKKR (20 isolates) and QRESRRKKR (1 isolate). This finding indicate that all of the viruses isolated in this research are highly pathogenic avian influenza (HPAI) strains. Key words: cleavage site, waterfowls, HPAI
ABSTRAK Identifikasi patotipe virus avian influenza (VAI) subtipe H5N1 sangat penting dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan patotipe VAI H5N1 isolat unggas air dari peternakan skala rumah tangga di Jawa Barat berdasarkan marka molekuler gen penyandi sekuen asam amino titik pemotongan (cleavage site) fragmen gen hemaglutinin (HA). Fragmen tersebut dari 21 isolat unggas air VAI subtipe H5N1 diamplifikasi dengan metode RT-PCR menggunakan pasangan primer yang mengapit regio yang dinginkan. Produk PCR selanjutnya disekuensing dengan metode dideoksi dengan ABI automatic sequencer (Applied Biosystems). Runutan nukleotida hasil sekuensing dan runutan asam amino turunannya dianalisa dengan program ClustalW dari MEGA 3.1. Identifikasi gen penyandi sekuen asam amino cleavage site menunjukkan bahwa semua virus H5N1 dalam penelitian ini (21 isolat) mempunyai asam amino polibasik dengan 2 pola sekuen yaitu QRERRRKKR (20 isolat) dan QRESRRKKR (1 isolat). Dengan hasil ini, disimpulkan bahwa semua isolat yang dipelajari dalam penelitian ini termasuk strain patogenik tinggi (highly pathogenic avian influenza /HPAI). Kata kunci: cleavage site, unggas air, HPAI
57 PENDAHULUAN Sebagai patogen intraseluler, virus avian influenza (VAI) mempunyai mekanisme untuk menghindar dari respon imun hospes sehingga virus dapat bertahan hidup dan bereplikasi dalam tubuh hospes. Peningkatan kemampuan virus untuk menghindari sistem imun hospes, secara langsung berkorelasi dengan peningkatan patogenesitas virus. VAI mempunyai berbagai mekanisme untuk menghindar dari respon imun bawaan dan adaptif hospes (Coleman 2007). Protein
non-struktural-1
(NS1)
merupakan
faktor
virulensi
VAI,
menghambat respon interferon (IFN) α/β (Hayman et al. 2007), dan menghambat imunitas adaptif melalui penghambatan induksi transkripsi faktor-faktor yang terlibat dalam maturasi sel dendritik, migrasi dan stimulasi sel T (Laudert et al. 1993; Fernandez-Sesma et al. 2006). Disamping NS1, protein polimerase basa 1 frame
2
(PB1-F2)
menurunkan
aktivitas
mampu
menginduksi
penghilangan
apoptosis
(clearance)
makrofag
virus
dari
sehingga
tubuh
dan
meningkatkan infeksi sekunder bakteri oportunistik (Garcia-Sastre 2006; Coleman 2007). Virus AI mempunyai kemampuan untuk menghindar dari respon humoral hospes melalui fenomena yang disebut hanyutan antigenik (antigenic drift). Mutasi yang mengarahkan pada fenomena ini adalah perubahan asam amino glikoprotein permukaan hemaglutinin (HA) (Plotkin & Dushoff 2003). Hanyutan antigenik adalah perubahan secara periodik akibat mutasi genetik struktur protein permukaan VAI sehingga antibodi yang telah terbentuk oleh tubuh akibat vaksinasi sebelumnya tidak dapat mengenali keberadaan virus tersebut (Munch et al. 2001). Konsep hanyutan antigenik ini menuntut produksi vaksin selalu diperbaharui. Ancaman yang lebih besar dari penghindaran respon imun bawaan dan perolehan adalah kemampuan virus untuk reasorsi melalui fenomena yang disebut lompatan antigenik (antigenic shift) (Coleman 2007). Glikoprotein HA, merupakan faktor patogenesitas virus influenza. HA berperan sebagai pengikat reseptor, fusi membran serta target utama netralisasi oleh antibodi sel hospes (Cross et al. 2001; Hulse et al. 2004; Hoffman et al. 2005; Gambaryan et al. 2006). Protein HA disintesis sebagai polipeptida 76 kDa. Setelah translasi di retikulum endoplasmik, HA mengalami maturisasi di aparatus
58 Golgi menjadi homotrimer HA masing-masing 220 kDa. Setiap monomer awalnya merupakan prekursor polipeptida tunggal (HA0) kemudian dipotong menjadi 2 subunit yaitu HA1 dan HA2. Kedua subunit ini dihubungkan oleh ikatan disulfida antara residu asam amino 14 dari HA1 dengan residu asam amino 137 dari HA2. Tanpa proteolisis HA menjadi HA1 dan HA2, proses fusi dengan membran endosom tidak terjadi sehingga virus bersifat non infeksius (Steinhauer 1999). Cleavage site adalah sekuen asam amino sebagai daerah pemotongan prekursor HA (HA0) menjadi HA1 dan HA2 secara enzimatis oleh protease sel hospes, sehingga proses fusi dengan membran endosom pada saat infeksi VAI ke dalam sel hospes dapat terjadi. Daerah pemotongan HA0 tergantung pada keberadaan asam amino basa arginin (R) atau lisin (K). Daerah pemotongan bersifat spesifik dan spesifisitas jenis protease membatasi distribusi jaringan yang dapat diinfeksi virus ini. Kebanyakan VAI non-virulen atau low pathogenic mempunyai satu asam amino basa pada daerah pemotongan, namun strain highly pathogenic mempunyai lebih dari satu asam amino basa (polybasic) pada posisi tersebut (Munch et al. 2001). Sekuen HA dengan daerah pemotongan monobasic (contoh: HA1-PSIQVRGL-HA2) dapat dipotong oleh tryptase yang dihasilkan sel epitel traktus respirasi dan pencernaan (Whittaker 2001; Chen et al. 2004). Secara in vitro, daerah pemotongan HA monobasic juga dapat dipotong oleh trypsin-like enzyme, seperti faktor pembeku darah “Xa”, mini plasmin dan protease bakteri (Murakami et al. 2001). Protease dari Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa juga dilaporkan dapat memotong daerah pemotongan monobasic (Zhirnov et al. 2002). Sekuen HA dengan daerah pemotongan polybasic (contoh: HA1-KKREKRGL-HA2), memungkinkan proses proteolitik dapat dilakukan oleh protease lain seperti furin dan proprotein konvertase 6 (PC6) yang terdapat di aparatus Golgi semua sel (Horimoto et al. 1994). Enzim proteolitik furin mengenal sekuen asam amino motif B-X-B-R (B=asam amino basa, X=asam amino nonbasa) (Walker et al. 1994). Virus AI dengan daerah pemotongan polybasic mempunyai jaringan distribusi yang tidak terbatas dan menyebabkan infeksi sistemik yang fatal (Whittaker 2001; Chen et al. 2004). Daerah pemotongan polybasic pada VAI
59 H5N1 bertanggung jawab terhadap infeksi sistemik sehingga virus dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan feses (WHO et al. 2005). Identifikasi patotipe VAI H5N1 sangat penting dilakukan untuk mengetahui apakah suatu strain/isolat bersifat low pathogenic (LPAI) atau highly pathogenic (HPAI). Patogenesitas VAI dapat ditentukan berdasarkan analisis molekuler atau secara biologis. Secara biologis, VAI disebut patogenik tinggi jika infeksi virus secara intravena pada ayam berumur 4-8 minggu menyebabkan kematian 75% dalam waktu 8 minggu (WHO 2002). Secara molekuler, patogenesitas virus dapat dianalisa secara cepat berdasarkan analisis kurva temperatur melting (Tm) menggunakan real-time RT-PCR. Isolat virus HPAI mempunyai Tm 77,43 oC, sedangkan virus LPAI mempunyai Tm 79,57 oC (Payungporn et al. 2006). Namun kelemahan dari metode tersebut adalah tidak dapat mengetahui pola sekuen asam amino daerah pemotongan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan patotipe VAI H5N1 isolat unggas air di peternakan skala rumah tangga di Jawa Barat berdasarkan gen penyandi sekuen asam amino daerah pemotongan (cleavage site) hemaglutinin dengan metode sekuensing. Primer yang digunakan adalah pasangan primer pengapit regio cleavage site, yaitu H5-1 (5’GCCATTCCACAACATACACCC’3) dan H5-3 (5’CTCCCCTGCTCAT TGCTA’3) (WHO 2005a).
METODE PENELITIAN Sebanyak 21 virus AI subtipe H5N1 isolat unggas air (itik, entok, angsa) dianalisis patotipenya berdasarkan sekuen asam amino daerah pemotongan menggunakan
metode
sekuensing.
RNA
dari
VAI
H5N1
diekstraksi
menggunakan Trizol®LSReagent (Invitrogen) sesuai manual. RT-PCR dilakukan dengan menggunakan SuperscriptTM III One-step RT-PCR system. Reaksi PCR dibuat sebanyak 50 μl dengan komposisi 25 μl 2x reaction mix, 2 μl primer forward (10 μM), 2 μl primer reverse (10 μM), 2 μl Superscript III RT/Platinum Taq Mix, 3 μl sampel RNA dan ultrapure H2O sampai volume 50 μl. Program RTPCR adalah reverse transcription 45 oC selama 60 menit predenaturasi 95 oC 5 menit, 35 siklus terdiri dari denaturasi 95 oC 30 detik, anneling 55 oC 30 detik,
60 ekstensi 72 oC 40 detik, dan post ekstensi 72 oC 10 menit (WHO 2005). Adanya pita DNA spesifik hasil PCR diidentifikasi dengan elektroforesis pada gel agarose 2% (dimodifikasi dari Payungporn et al. 2004). Produk PCR (219bp) dari setiap isolat disekuensing di 1stBASE Malaysia dengan metode dideoksi menggunakan ABI automatic sequencer (Applied Biosystems). Runutan nukleotida hasil sekuensing setiap isolat dan turunan asam aminonya disepadankan dengan program ClustalW dari MEGA 3.1 (Kumar et al. 2004). Patotipe VAI didasarkan pada sekuen asam amino daerah pemotongan. VAI non-virulen atau low pathogenic mempunyai sekuen asam amino daerah pemotongan monobasic (contoh: HA1-PSIQVR-GL-HA2), namun VAI strain highly pathogenic mempunyai sekuen asam amino daerah pemotongan polybasic (contoh: HA1-KKREKR-GL-HA2) (Munch et al. 2001).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil RT-PCR isolat VAI H5N1 menggunakan primer H5-1 dan H5-3 ditampilkan pada Gambar 5. Target dari primer H5-1 dan H5-3 (WHO 2005a) adalah nukleotida 915-1133. Pada sekuen ini terdapat sekuen gen penyandi asam amino daerah pemotongan yang menentukan suatu virus tersebut HPAI atau LPAI. Hasil sekuensing 21 isolat VAI H5N1 menunjukkan bahwa semua isolat termasuk HPAI dengan karakteristik sekuen asam amino polybasic QRERRRKKR (20 isolat) dan QRESRRKKR (1 isolat) pada daerah pemotongannya (Tabel 8). Virus influenza A mempunyai asam amino R pada ujung karboksil HA1 (cleavage site) dan G pada ujung NH2 dari subunit HA2, yang bersifat stabil. Daerah pemotongan HA terletak diantara Q dan G dengan pola asam amino Qxx...xR//G (// = batas antara HA1 dan HA2, x = asam amino basa dan nonbasa dengan jumlah dan pola tertentu) (Senne et al. 1996). Analisis sekuen asam amino daerah pemotongan HA semua VAI H5N1 penyebab kematian manusia dan unggas di Indonesia berdasarkan data dari GenBank (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/) menunjukkan bahwa semua VAI H5N1 yang bersirkulasi di Indonesia menunjukkan karakter molekuler HPAI dengan
61 sekuen daerah pemotongan bervariasi (Tabel 9). Pola sekuen asam amino daerah pemotongan QRERRRKKR adalah khas penyebab wabah kematian unggas di Hong Kong tahun 1997 dan negara-negara Asia (2003-2007) (Guan et al. 2004; Smith et al. 2006a; Stevens et al. 2006). Isolat VAI H5N1 penyebab wabah kematian unggas di Indonesia tahun 2003-2004 mempunyai pola asam amino daerah pemotongan QRERRRKKR, kecuali isolat A/Chicken/Kulonprogo/ BBVet-XIII yang mengalami delesi satu asam amino lisin (K) sehingga mempunyai pola daerah pemotongan QRERRK_R. Mulai tahun 2005, muncul isolat
VAI
H5N1
dengan
sekuen
daerah
pemotongan
QRESRRKKR,
QIERRRKKR, QRERRREKR, QGERRRKKR, QRERRRK_R dan QRE_RRKKR (Tabel 9).
Tabel 8. Sekuen asam amino daerah pemotongan (cleavage site) virus avian influenza subtipe H5N1 isolat unggas air pada penelitian ini No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Isolat A/muscovy duck/Klapanunggal/IPB1-RS/2006 (H5N1)
A/goose/Bojonggenteng/IPB2-RS/2006 (H5N1) A/duck/Leuwiliang/IPB3-RS/2006 (H5N1) A/goose/Leuwiliang/IPB4-RS/2006 (H5N1) A/muscovy duck/Cileungsi/IPB5-RS/2006 (H5N1) A/duck/Nagrak/IPB6-RS/2006 (H5N1) A/goose/Klapanunggal/IPB7-RS/2006 (H5N1) A/duck/Parung/IPB8-RS/2006 (H5N1) A/duck/Parung/IPB9-RS/2006 (H5N1) A/duck/Bojonggenteng/IPB10-RS/2006 (H5N1) A/muscovy duck/Cidahu/IPB11-RS/2006 (H5N1) A/duck/Ciseeng/IPB12-RS/2006 (H5N1) A/duck/Ciseeng/IPB13-RS/2006 (H5N1) A/duck/Ciseeng/IPB14-RS/2006 (H5N1) A/duck/Cileungsi/IPB15-RS/2006 (H5N1) A/duck/Klapanunggal/IPB16-RS/2006 (H5N1) A/duck/Leuwiliang/IPB17-RS/2006 (H5N1) A/duck/Leuwiliang/IPB18-RS/2006 (H5N1) A/muscovy duck/Cibinong/IPB19-RS/2006 (H5N1) A/muscovy duck/Parung/IPB20-RS/2006 (H5N1) A/goose/Parung/IPB21-RS/2006 (H5N1)
Daerah pemotongan
Patotipe
QRERRRKKR/G QRERRRKKR/G QRERRRKKR/G QRERRRKKR/G QRERRRKKR/G QRERRRKKR/G QRERRRKKR/G QRERRRKKR/G QRERRRKKR/G QRESRRKKR/G QRERRRKKR/G QRERRRKKR/G QRERRRKKR/G QRERRRKKR/G QRERRRKKR/G QRERRRKKR/G QRERRRKKR/G QRERRRKKR/G QRERRRKKR/G QRERRRKKR/G QRERRRKKR/G
HPAI HPAI HPAI HPAI HPAI HPAI HPAI HPAI HPAI HPAI HPAI HPAI HPAI HPAI HPAI HPAI HPAI HPAI HPAI HPAI HPAI
62 Tabel 9. Variasi sekuen daerah pemotongan virus avian influenza H5N1 di Indonesia dari tahun 2003-2007 (Data dari GenBank http://www.ncbi.nlm.nih.gov/) No
Daerah Pemotongan
Tahun Isolasi
1 2 3
QRERRRKKR QRESRRKKR QRERRRK_R
2003-2007 2005-2007 2004
4 5 6 7
QIERRRKKR QRERRREKR QRE_RRKKR QGERRRKKR
2005 2005 2005 2005
Spesies/Isolat Manusia, ayam, itik, puyuh, kalkun Manusia, ayam, itik, entok, puyuh A/Chicken/Kulonprogo/BBVet-XIII-1 A/Chicken/Kulonprogo/BBVet-XIII-2 A/Duck/Pali/BVW1358 A/Duck/Bufeleng BPPVI A/Chicken/Wates83 A/Duck/Badung Bali/05
Sejak Juli 2005 sampai 2007, muncul kasus kematian manusia Indonesia akibat VAI H5N1 dengan sekuen daerah pemotongan QRESRRKKR. Namun pada tahun 2006 juga ditemukan VAI H5N1 dengan sekuen daerah pemotongan QRERRRKKR pada isolat manusia. Data isolat VAI H5N1 pada unggas Indonesia di GenBank (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/) menunjukkan bahwa sekuen daerah pemotongan QRESRRKKR paling banyak (86,67%) ditemukan pada isolat dari wilayah Barat Pulau Jawa (Jawa Barat dan Jakarta). Substitusi daerah pemotongan HA virus AI subtipe H5N1 (dari QRERRRKKR menjadi QRESRRKKR) kemungkinan berhubungan dengan adaptasi virus pada hospes mamalia terutama manusia. Hal ini didukung data bahwa kasus kematian manusia akibat VAI H5N1 paling banyak dilaporkan di Jawa Barat (Depkes 2007). Pada penelitian ini ditemukan 1 VAI H5N1 isolat
itik (IPB10-RS) yang
mempunyai pola daerah pemotongan QRESRRKKR. Pola QRESRRKKR ini adalah khas pada VAI H5N1 penyebab kematian manusia di Indonesia 20052007 (CDC 2007). Temuan pola ini pada unggas air yang secara klinis sehat semakin memperkuat dugaan bahwa itik sebagai sumber penularan VAI subtipe H5N1 ke unggas darat dan manusia. Di sisi lain, temuan pola QRESRRKKR pada itik menunjukkan bahwa itik merupakan tempat/hospes evolusi VAI subtipe H5N1. Hasil ini sejalan dengan temuan sebelumnya bahwa VAI H5N1 berevolusi
63 pada itik yang secara klinis sehat di Cina Selatan tahun 1999-2002, dan dari tahun ke tahun menjadi semakin patogenik pada mamalia (Chen et al. 2004).
Patogenesitas Virus Avian Influenza H5N1 Isolat Unggas Air Meskipun sekuen asam amino daerah pemotongan dari 21 virus AI subtipe H5N1 isolat unggas air dalam penelitian ini menandakan highly pathogenic (HPAI), namun secara fenotipe bersifat low pathogenic pada unggas air karena VAI H5N1 ini diisolasi dari unggas air yang sehat dan tidak divaksinasi. Hal ini menunjukkan bahwa unggas air berperan sebagai “Trojan horse” bagi virus HPAI H5N1. Pada unggas air tidak menyebabkan gejala klinis, tetapi shedding virus terjadi terus menerus sehingga berpotensi menyebarkan virus yang bersifat patogenik ke unggas lain dan manusia (Hulse-Post et al. 2005; Xue et al. 2007). Penelitian yang dilakukan Chen et al. (2004) dan Li et al. (2005) juga menunjukkan bahwa isolat VAI H5N1 dari itik sehat secara progresif dapat bereplikasi dan menyebabkan berbagai penyakit pada mencit. Strain VAI H5N1 yang highly pathogenic pada unggas darat, menjadi low pathogenic jika diinokulasikan pada itik (Hulse-Post et al. 2005; FKH IPB 2006). Strain patogenik VAI H5N1 hanya menyebabkan gejala klinis ringan pada itik, tetapi tetap mengekskresikan virus bersama kotorannya, sehingga berpotensi dapat menular pada unggas lain dan (bahkan) juga pada manusia (Kishida et al. 2005; SturmRamirez et al. 2005; Liu 2007). Fenotipe patogenesitas VAI H5N1 isolat unggas air dalam penelitian ini dapat ditentukan dan dikaji lebih lanjut dengan melakukan uji biologis. Uji intravenous pathogenecity index (IVPI) banyak dilakukan untuk menentukan tingkat patogenesitas suatu isolat virus berdasarkan gejala klinis unggas yang diinfeksi virus tersebut. VAI disebut patogenik tinggi jika infeksi virus secara intravena pada ayam berumur 4-8 minggu menyebabkan kematian 75% dalam waktu 8 hari (WHO 2002). OIE (2007) menyebutkan bahwa VAI termasuk HPAI jika mempunyai nilai IVPI lebih dari 1,2. Virus HPAI H5N1 (dengan sekuen daerah pemotongan QRERRRKKR dan QRESRRKKR) pada unggas air dalam penelitian ini tidak menunjukkan gejala klinis. Argumentasi ini mendukung postulasi bahwa VAI telah beradaptasi mendekati sempurna dan tidak menunjukkan gejala klinis (Lipatov et al. 2004;
64 Hulse-Post et al. 2005; Sturm-Ramirez et al. 2005; Webster et al. 2007). Potensi unggas air sebagai reservoir virus HPAI hanya ditunjukkan oleh virus HPAI H5N1 garis Asia (Pantin-Jackwood & Swayne 2007; Webster et al. 2007). Virus HPAI H5N1 garis Asia tidak menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada unggas air (Capua & Marangon 2007). Virus HPAI subtipe H5 dan H7 di Amerika dan Eropa merupakan hasil evolusi dari virus LPAI yang terdapat pada unggas air (Mulatti et al. 2007; Senne 2007). Sebagai hospes alami, unggas air merupakan hospes adaptasi bagi virus influenza (Hulse-Post et al. 2005). Sifat non patogenik virus HPAI H5N1 pada unggas air menunjukkan bahwa evolusi biologik virus telah mencapai ekuilibrium pada hospes alami ini (Horimoto & Kawaoka 2001; Hulse-Post et al. 2005; Sturm-Ramirez et al. 2005). Sebagian besar virus dapat tereliminasi oleh respon imun dalam tubuh unggas air, namun sebagian populasi virus tetap dapat bereplikasi dan dikeluarkan ke lingkungan melalui kotoran (Hulse-Post et al. 2005; Liu 2007). Wabah VAI H5N1 di Hongkong akhir tahun 2002 yang menyebabkan kematian pada burung migratori dan unggas air domestik termasuk itik, merupakan laporan pertama setelah tahun 1961. Pada tahun 1961, infeksi VAI H5N3 bersifat letal pada sekitar 13.000 burung dara laut (Sterna hirundo) di Afrika Selatan (Sturm-Ramirez et al. 2004; Beato et al 2007; Stallknecht & Brown 2007). Virus HPAI H5N1 menyebabkan wabah yang mematikan ribuan unggas air liar (60 spesies) di Danau Qinghai Cina tahun 2005 (Zhou et al. 2006; Stallknecht & Brown 2007). Patogenesitas VAI H5N1 pada unggas air tersebut merupakan proses adaptasi virus pada unggas air, dan terus mengalami mutasi dan/atau reasorsi sampai virus benar-benar dapat beradaptasi pada hospes alami (Hulse-Post et al. 2005). Virus HPAI H5N1 menyebabkan banyak kematian pada unggas dan manusia di Indonesia, sementara pada unggas air tidak menunjukkan gejala klinis. Perbedaan patogenesitas infeksi virus HPAI H5N1 ditentukan oleh faktor spesies hospes, virulensi virus dan infeksi sekunder bakteri (Tashiro & Rott 1996; Horimoto & Kawaoka 2005; Liu 2007). Faktor keturunan dan umur unggas air juga mempengaruhi patogensitas virus. Unggas air berumur muda lebih peka terhadap infeksi dibanding unggas air dewasa/tua (Liu 2007; Swayne 2007).
65 Perbedaan patogenesitas pada unggas air dewasa dan muda tersebut disebutkan berhubungan dengan strain virus, respon imun hospes, maturasi sel hospes dan kapasitas sel hospes untuk mendukung replikasi virus (PantinJackwood & Swayne 2007). Avirulensi infeksi virus HPAI H5N1 pada unggas air kemungkinan juga akibat adaptasi virus pada hospes ini selama bertahun-tahun, karena peran unggas air sebagai reservoir (Webster et al. 1992). Rendahnya patogenesitas virus HPAI H5N1 pada unggas air disebutkan juga berkaitan dengan terbatasnya jumlah dan kemampuan protease sel tubuh unggas air untuk memotong HA0 pada daerah pemotongan (Siegel 2006). Unggas air lebih resisten terhadap virus HPAI H5N1 dibandingkan unggas darat seperti ayam (Liu 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa unggas air yang diinfeksi virus HPAI H5N1 secara signifikan meningkatkan ekspresi sitokin IFNα, IL2, IL4, sementara pada ayam justru mengalami penurunan ekspresi IL2 dan IL4. Peningkatan ekspresi sitokin pada unggas air ini berkorelasi dengan resistensi unggas air terhadap infeksi VAI H5N1. Penekanan respon imun bawaan pada ayam berkorelasi dengan kepekaan ayam terhadap infeksi virus HPAI H5N1 (Kapezynski & Pantin-Jackwood 2007). Rendahnya patogenesitas infeksi VAI pada itik juga disebabkan oleh rendahnya produksi sitokin proinflamasi, sementara pada ayam justru mengalami peningkatan produksi sitokin proinflamasi (Xing et al. 2007). Selain faktor hospes, perbedaan patogenesitas infeksi virus HPAI H5N1 pada hospes juga dipengaruhi oleh infeksi bakteri. Infeksi sekunder bakteri Staphylococccus aureus, Haemophylus influenzae, Streptococcus pneumoniae dan berbagai bakteri Gram negatif selalu menghasilkan protease ekstraseluler yang beraktivitas sebagai proteolitik daerah pemotongan HA monobasic, sehingga meningkatkan penyebaran virus. Beberapa produk bakteri seperti lipopolisakarida juga dapat mengaktivasi plasminogen serta protease inflamasi seperti kalikrein dan faktor Xa. Protease-protease tersebut dapat memotong HA pada daerah pemotongan, mengaktivasi infeksi virus pada paru-paru dan berkembang menjadi pneumonia yang bersifat mematikan (Tashiro & Rott 1996). Virus influenza mempunyai berbagai faktor virulensi seperti protein NS1 (Talon et al. 2000; Fernandez-Sesma et al. 2006; Garcia-Sastre 2006; Hale et al.
66 2006; Coleman 2007), PB1-F2 (Garcia-Sastre 2006; Coleman 2007) dan HA (Hoffman et al. 2005) yang menentukan patogenesitas pada hospes. Disebutkan bahwa selain ditentukan oleh daerah pemotongan HA, patogenesitas virus juga ditentukan oleh residu asam amino HA tertentu (Plotkin & Dushoff 2003; Hulse et al. 2004). Avirulensi virus HPAI H5N1 pada unggas air dalam penelitian ini kemungkinan dipengaruhi oleh penanda molekuler selain daerah pemotongan, yaitu asam amino daerah antigenik, kantong pengikat reseptor dan posisi glikosilasi pada HA1. Daerah antigenik fungsinya berkaitan erat dengan pertahanan terhadap respon imun hospes, sementara kantong pengikat reseptor fungsinya berkaitan dengan daya adaptasi pada hospes dan patogenesitas suatu strain virus. Posisi glikosilasi turut menentukan afinitas ikatan reseptor serta pengenalan daerah antigenik oleh antibodi (Hulse et al. 2004; Gambaryan et al. 2006; Smith et al. 2006a; Stevens et al. 2006).
Implikasi pencegahan dan pengendalian virus HPAI H5N1 Kenyataan bahwa unggas air merupakan sumber infeksi virus HPAI H5N1 menyebabkan penerapan program pencegahan dan pengendalian virus ini menjadi rumit. Air sebagai habitat unggas air merupakan media persistensi sumber infeksi virus HPAI H5N1. Meskipun shedding virus dari itik tidak terjadi terus menerus (hanya 2-4 minggu pasacainfeksi), namun virus tetap bersifat infeksius pada air sungai selama 30 hari pada suhu 0 oC dan 4 hari pada suhu 22 o
C (Spencer et al. 2007). VAI pada feses yang diekskresikan unggas air tetap
bersifat infektif selama 30 hari pada suhu 4 oC, 7 hari pada suhu 20 oC dan 4 hari pada suhu 25 oC (Spencer et al. 2007). Virus HPAI H5N1 garis Asia juga bersifat persisten dalam air suhu 17 oC dan 18 oC (Brown et al. 2007) Mengingat unggas air dapat hidup di perairan, air sebagai tempat unggas air untuk berenang, makan dan minum sangat berisiko sebagai sumber penularan virus HPAI H5N1 ke unggas air lain, unggas darat dan manusia (Hulse-Post et al. 2005; Liu 2007). Transmisi waterborne merupakan mekanisme virus influenza untuk bertahan terus menerus pada unggas air sebagai habitat alaminya (Ito et al. 1995; Liu 2007).
67 Sistem pertanian dan peternakan yang melibatkan berbagai komponen tanaman dan spesies hewan meningkatkan potensi infeksi lintas spesies (Cristalli & Capua 2007). Peternakan berbagai spesies unggas (bahkan dengan mamalia) pada satu lokasi meningkatkan resiko penularan virus lintas spesies serta meningkatkan potensi munculnya strain virus baru akibat reasorsi (Liu 2007). Sistem penggembalaan itik secara bebas, terutama pada saat panen padi dilaporkan juga merupakan faktor yang berperan pada penyebaran virus HPAI H5N1 (Gilbert et al. 2006; Liu 2007). Prevalensi infeksi VAI H5N1 pada ayam domestik berkorelasi dengan distribusi itik yang digembalakan secara bebas (Songserm et al. 2006). Sebanyak 27% flock itik backyard di Thailand positif terinfeksi VAI H5N1. Bahkan pada saat wabah VAI H5N1 pada unggas dan manusia akhir tahun 2004, prevalensi tersebut mencapai 47%. Infeksi VAI H5N1 pada itik tersebut di atas bersifat subklinis, namun virus diekskresikan melalui feses sehingga berpotensi sebagai sumber penularan VAI H5N1 ke unggas lain bahkan (juga) ke manusia (Songserm et al. 2006). Penggembalaan unggas air domestik secara bebas di Asia Timur dan Tenggara menyebabkan terbentuknya 2 sistem ekologi sekaligus, yaitu antara unggas air liar dengan unggas air domestik dan antara unggas air domestik dengan hewan lain dan manusia. Hal ini menyebabkan unggas air domestik menempati posisi yang unik pada ekosistem. VAI H5N1 dapat ditransmisikan dari unggas air liar melalui unggas air domestik ke hewan lain (terutama unggas darat). Unggas air domestik bukan hanya sebagai reservoir virus influenza, namun juga berperan penting pada maintenance dan evolusi virus, transmisi virus interspesies dan penyebab munculnya wabah (Liu 2007). Pemusnahan unggas air sangat tidak mungkin dilakukan dengan alasan logistik, lingkungan dan biodiversitas (FAO 2007). Unggas air berperan penting menjaga biodiversitas ekosistem akuatik, melalui penyebaran pasif invertebrata dan tanaman akuatik. Kemampuan itik sebagai transpor internal invertebrata dan tanaman akuatik berkaitan dengan anatomi saluran pencernaan itik yang memberi lingkungan yang cocok untuk organisme akuatik (Figuerola et al. 2003; Figuerola et al. 2004). Di wilayah-wilayah tertentu di Asia Timur dan Tenggara, unggas air domestik (itik, angsa, entok) merupakan sumber protein utama (Liu 2007). Selain sebagai bagian dari ekosistem, unggas air domestik juga
68 merupakan sumber protein hewani untuk konsumsi manusia, sehingga pemusnahan unggas air akan menimbulkan dampak lingkungan dan dampak perekonomian peternak serta efek sosial yang menyertainya. Pencegahan dan pengendalian virus HPAI H5N1 pada unggas air antara lain dapat dilakukan dengan pengawasan intensif VAI H5N1 pada unggas air, vaksinasi, restrukturisasi peternakan dan penerapan biosekuriti yang ketat pada peternakan unggas air. Restrukturisasi peternakan meliputi perubahan dari penggembalaan unggas air secara bebas menjadi tertutup. Dengan demikian, kontak antara unggas air domestik dengan unggas air liar dapat dicegah. Sistem tersebut juga dapat mencegah transmisi VAI dari unggas air ke unggas darat. Pola peternakan campuran antara unggas air dengan unggas darat di satu lokasi sebaiknya tidak direkomendasikan lagi (Liu 2007). Vaksinasi unggas air merupakan salah satu cara pencegahan penularan virus ke manusia dan unggas darat (Veits et al. 2006). Dilaporkan bahwa vaksinasi konvensional menggunakan VAI H5N1 isolat itik yang dilemahkan mampu menghambat munculnya gejala klinis, shedding virus dan kolonisasi virus dalam daging dan organ internal. Vaksinasi yang dilakukan pada hari ke-0 dan ke-30 sangat cocok diterapkan pada sistem peternakan itik di Asia. Umur 0-30 hari, itik masih dikandangkan dan setelah umur 30 hari baru dilepaskan (Beato et al. 2007). Tindakan pencegahan penularan virus HPAI H5N1 dari unggas air juga dapat dilakukan dengan cara regulasi pasar unggas hidup agar tidak mencampur berbagai jenis unggas dalam satu lokasi (Capua & Marangon 2006; Cristalli & Capua 2007). Transmisi VAI dari unggas air ke unggas lain telah sering terbukti melalui pasar unggas, dimana kontak antara unggas air dan unggas lainnya seperti ayam, puyuh, dan burung-burung lainnya tidak terhindarkan lagi (Capua & Marangon 2006; Gilbert et al. 2006; Xue et al. 2007). Program pencegahan dan pengendalian VAI H5N1 berkaitan dengan peran unggas air tersebut perlu segera dilakukan dan melibatkan berbagai sektor serta peran serta pengambil kebijakan. Instruksi Presiden No. 1 tahun 2007 tentang Penanganan dan Pengendalian Virus Flu Burung (Avian Influenza) belum mengatur secara khusus tentang peternakan unggas air serta penanganan dan pencegahannya.
69 SIMPULAN Semua virus avian influenza subtipe H5N1 (21 isolat) yang diisolasi dari unggas air di peternakan skala rumah tangga di Jawa Barat termasuk highly pathogenic dengan 2 pola sekuen asam amino cleavage site yaitu QRERRRKKR (20 isolat) dan QRESRRKKR (1 isolat).
SARAN 1. Uji biologis perlu dilakukan untuk menentukan fenotipe patogenesitas virus avian influenza subtipe H5N1 isolat unggas air pada unggas air, unggas darat maupun mamalia. 2. Perlu segera dilakukan tindakan pencegahan penularan virus HPAI subtipe H5N1 dari unggas air ke unggas darat atau manusia.