TESIS
IDENTIFIKASI IKAN KARANG FAMILI Pseudochromidae (DOTTYBACK) DI KAWASANCORAL TRIANGLE
NI PUTU DIAN PERTIWI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
TESIS
IDENTIFIKASI IKAN KARANG FAMILI Pseudochromidae (DOTTYBACK) DI KAWASANCORAL TRIANGLE
NI PUTU DIAN PERTIWI 1192261001
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
IDENTIFIKASI IKAN KARANG FAMILI Pseudochromidae (DOTTYBACK) DI KAWASANCORAL TRIANGLE
Tesis ini untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Biologi, Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI PUTU DIAN PERTIWI NIM 1192261001
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 5 MARET 2015
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dra. N.L. Watiniasih, M.Sc., Ph.D
Prof. Dr.drh. I.G.N.K. Mahardika
NIP. 196606091991032002
NIP. 196310271989031004
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Biologi
Direktur
Program Pascasarjana
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Universitas Udayana
Ir. Ida Ayu Astarini, M.Sc., Ph.D
Prof. Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp. S(K)
NIP. 196803271993022001
NIP. 195902151985102001
iii
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 20 Pebruari 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No. : 587/UN14.4/HK/2015, Tanggal 18 Pebruari 2015
Ketua
: Dra. N.L.Watiniasih, M.Sc., Ph.D
Anggota
:
1. Prof. Dr. drh. I.G.N.K. Mahardika 2. Prof. Ir. I Wayan Kasa, M.Rur.Sc., Ph.D. 3. Prof. Dr. Drs. I Ketut Junitha, M.S. 4. Prof. Dr. Ir. I Wayan Arthana, M.Sc., Ph.D.
iv
UCAPAN TERIMA KASIH Pertama – tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas karunia-Nya, tesisi ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada Ibu Dra. N.L. Watiniasih, M.Sc., Ph.D dan Profesor. Dr.drh. I.G.N.K. Mahardika selaku Pembimbing I dan II yang telah memberikan dorongan, semangat dan bimbingan serta saran selama penulis mengikuti program master, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika SpPD KEMD. atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat oleh Prof. Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp. S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Master pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada Ir. Ida Ayu Astarini, M.Sc., Ph.D, Ketua Program Studi Ilmu Biologi, Program Pascasarjana, Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program Master. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada pada penguji tesis, yaitu Prof. Ir. I Wayan Kasa, M.Rur.Sc., Ph.D., Prof. Dr. Drs. I Ketut Junitha, M.S., dan Prof. Dr. Ir. I Wayan Arthana, M.Sc., Ph.D. yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar – besarnya pada Indonesia Biodiversity Research Center (IBRC) yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas laboratorium serta analisa data sehingga membantu penulis dalam menyelesaikan studi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan untuk Dr. Mark Erdmann dan Dr. Gerald Allen yang membantu dalam koleksi sampel. Serta terima kasih untuk Aji Wahyu Anggoro dan Dita Cahyani yang memberikan kesempatan untuk
melakukan penelitian di IBRC.
Terima kasih juga penulis sampaikan untuk Christina Laurensia, Frida Yanti, Angka Mahardini, Eka Maya Kurniasih, Masriana serta teman – teman IBRC yang telah membantu dan memberikan motivasi dalam penulisan tesis ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih disertai penghargaan kepada kedua orang tua, adik
v
serta keluarga yang telah memberikan semangat, motivasi, dan dorongan yang besar kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.
vi
ABSTRAK IDENTIFIKASI IKAN KARANG FAMILI Pseudochromidae (DOTTYBACK) DI KAWASANCORAL TRIANGLE
Dottyback (Pseudochromidae) merupakan salah satu famili ikan karang dengan distribusi yang luas di seluruh dunia dan mempunyai biodiversitas tinggi di kawasan Coral Triangle. Pendataan spesies perlu dilakukan untuk menjaga biodiversitas ikan karang. Oleh karena tingginya variasi morfologi pada famili ini, maka identifikasi secara morfologi perlu didukung oleh identifikasi genetik. Sampel ikan Dottyback dikoleksi menggunakan purposive samplingdari kawasan coral triangle, yaitu pada 13 lokasi di Indonesia dan 1 lokasi di Filipina dengan jumlah yang berbeda di masing – masing lokasi, bergantung pada variasi yang ditemukan. Sampel diidentifikasi secara morfologi menggunakan buku identifikasi ikan Reef Fishes of the East Indies. Identifikasi secara genetik dilakukan menggunakan analisis filogenetik Bayesian dari lokus 16S, control region dan sitokrom oksidase I (COI) dari DNA mitokondria. Dari 100 sampel yang dikoleksi, 99 individu berhasil diamplifikasi pada lokus 16S, 49 individu pada lokus control region dan 14 individu pada lokus COI. Hasil analisis filogenetik lokus 16S menunjukkan bahwa terdapat 30 clade, yang terdiri dari 2 subfamili, 8 genus dan 25 spesies yang telah teridentifikasi secara morfologi, serta 5 spesies yang dimungkinkan merupakan spesies baru yang belum teridentifikasi. Spesies yang sudah teridentifikasi secara morfologi dan didukung oleh data genetik, diantaranya Pseudochromis ransonneti, P. perspicillatus, P. erdmanni, P. ammeri, P. cyanotaenia, P. elongatus, P. bitaeniatus, P. andamanensis, P. pylei, P. jace, P. matahari, P. rutilus, Pictichromis paccagnellae, P. diadema, Manonichtys splendens, Cypho zaps, Labracinus cyclopthalmus, Amsichtys knightii, Pseudoplesiops typus, P. rosae dan P. collare.Sementara, beberapa sampel yang termasuk dalam cladePseudochromis fuscus 1, P. fuscus 2, P. marshallensis, P. litus 1, P. litus 2, P. wayag, P. pallenotatus, Lubbockichtys multisquamatus dan L. cendrawasih masih memerlukan kajian lebih lanjut untuk konfirmasi spesies secara genetik dan morfologi; dan beberapa diantaranya dapat diajukan sebagai spesies baru. Kata kunci: Dottyback, Pseudochromidae, Coral Triangle, filogenetik.
vii
ABSTRACT IDENTIFICATION OF CORAL REEF FISH: Pseudochromidae (DOTTYBACK) IN CORAL TRIANGLE AREA
Dottyback (Pseudochromidae) is one of the highly distributed and high abundance reef fish throughout the world, especially in Coral Triangle Area. Species database recording is an important attempt in order to maintain and protect the biodiversity of this reef fish family. However, due to the highly variations of its colormorph, morphological identification become an issue. Genetic identification are needed to support morphological data. Fish samples were collected in Coral Triangle Area, in 13 locations in Indonesia and 1 location in Phillipines; sample number collected depend on morphological variations found on each location. Samples were morphologically identified using identification book of Reef Fishes of the East Indies. Genetic identification were conducted using phylogenetic, with Bayesian analysis. Phylogenetic data were constructed using mitochondrial locus of 16S, control region and cytochrome oxidase I (COI). Among 100 samples collected, 99 were successsfully amplified on 16S locus, while 49 on control region and only 14 on COI. Phylogenetic analysis result of 16S locus indicated 30 clades, with 2 subfamilies, 8 genus and 25 species which were already identified morphologically, and also 5 possible unidentified new species. Morphologically identified species which were also supported by genetic data were: Pseudochromis ransonneti, P. perspicillatus, P. erdmanni, P. ammeri, P. cyanotaenia, P. elongatus, P. bitaeniatus, P. andamanensis, P. pylei, P. jace, P. matahari, P. rutilus, Pictichromis paccagnellae, P. diadema, Manonichtys splendens, Cypho zaps, Labracinus cyclopthalmus, Amsichtys knightii, Pseudoplesiops typus, P. rosae dan P. collare.However, few other samples nested in the clades of Pseudochromis fuscus 1, P. fuscus 2, P. marshallensis, P. litus 1, P. litus 2, P. wayag, P. pallenotatus, Lubbockichtys multisquamatus andL. cendrawasih still need further analysis, with some of the clades may proposed as new species. Keywords : Dottyback, Pseudochromidae, Coral Triangle, phylogenetic.
viii
DAFTAR ISI
Halaman SAMPUL DALAM
……………………………………………
i
PRASYARAT GELAR
……………………………………
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
……………………………………
iii
……………………………
iv
……………………………………
v
ABSTRAK
……………………………………………………
vii
ABSTRACT
……………………………………………………
viii
DAFTAR ISI
……………………………………………………
ix
PENETAPAN PANITIA PENGUJI UCAPAN TERIMA KASIH
DAFTAR TABEL
……………………………………………
xiii
DAFTAR GAMBAR
……………………………………………
xiv
……………………………………
xvi
DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN
………………………………………........
1
1.1 Latar Belakang
……………………………………
1
1.2 Rumusan Masalah
……………………………………
2
1.3 Tujuan Penelitian
…………………………………....
2
1.4 Manfaat Penelitian
……………………………………
3
……………………………………
4
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Area Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle)
……
4
2.2 Ancaman terhadap Ikan Karang …………………………… 6
ix
2.3 Identifikasi dan Klasifikasi Biodiversitas Ikan Karang …… 2.4 Filogenetik Molekular
8
…………………………………… 10
2.5 Dottybacks (Pseudochromidae) ……………………………
11
2.6 Penanda Molekular
…………………………………....
14
BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN ……
18
3.1 Kerangka Berpikir
……………………………………
18
3.2 Konsep Penelitian
……………………………………
19
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian
…………………………………... 20 ……………………………………
20
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
……………………………
21
4.3 Ruang Lingkup Penelitian
…………………………… 23
4.4 Penentuan Sumber Data
…………………………… 23
4.5 Variabel Penelitian
……………………………………
24
4.6 Bahan Penelitian
………………………………….
24
4.7 Instrumen Penelitian
………………………………….
25
4.8 Prosedur Penelitian
………………………………….
25
4.8.1 Pelabelan
………………………………….
25
4.8.2 Ekstraksi
………………………………….
25
4.8.3 Polymerase Chain Reaction (PCR)
………….
26
………………………………….
26
………………………………………….
27
4.8.4 Sekuensing 4.9 Analisis Data
x
BAB V HASIL
……………..…………………………………...
BAB VI PEMBAHASAN
………………………………………….
28 39
6.1 Clade Pseudochromis fuscus
………………………….
44
6.2 Clade Pseudochromis ransonneti
………………………….
49
6.3 Clade Pseudochromis perspicillatus
………………….
50
6.4 Clade Pseudochromis erdmanni
………………………….
52
6.5 Clade Pseudochromis ammeri
………………………….
55
6.6 Clade Pictichromis paccagnellaedan Pictichromis diadema ….
57
6.7 Clade Pseudochromis cyanotaenia
………………….
60
………………………….
62
6.9 Clade Pseudochromis bitaeniatus ………………………….
64
6.10 Clade Pseudochromis andamanensis
………………….
66
………………………….
68
6.8 Clade Pseudochromis elongatus
6.11 Clade Manonichtys splendens
6.12 Clade Pseudochromis marshallensis
………………….
69
6.13 Clade Pseudochromis litus
………………………….
71
6.14 Clade Pseudochromis wayag
………………………….
74
6.15 Clade Pseudochromis pallenotatus 6.16 Clade Pseudochromis pylei
………………….
77
………………………….
78
6.17 Clade Pseudochromis jace, Pseudochromis ………………….
80
………………………………….
83
matahari dan Pseudochromis rutilus
6.18 Clade Cypho zaps
xi
6.19 Clade Labracinus cyclopthalmus
………………….
85
6.20 Clade Lubbockichtys multisquamatus
………………….
88
6.21 Clade Pseudoplesiops typus
………………………….
90
6.22 Clade Amsichtys knightii
………………………….
92
6.23 Clade Pseudoplesiops rosae dan P. collare
………….
93
BAB VI KESIMPULAN
……………..…………………………...
97
DAFTAR PUSTAKA
………………………………………….
98
xii
DAFTAR TABEL
Halaman 4.1 Primer
…………………………………………………………..
24
5.1 Pengelompokkan spesies, lokasi sampling dan assession number di database GenBank
…………………………………..
29
5.2 Nilai identifikasi maksimum (BLAST/Basic Local Alignment Search Tool) dan jarak genetik pada tiap spesies pada lokus 16S
xiii
…………..
36
DAFTAR GAMBAR
Halaman 2.1 Distribusi Pseudochromidae
…………………………………………
12
3.1 Kerangka Konsep Penelitian
…………………………………………
19
4.1 Rancangan Penelitian
…………………………………………
20
…………………………………………………
22
4.2 Lokasi Sampling
5.1 Pohon filogenetik lokus 16S
…………………………………………
34
5.2 Pohon filogenetik lokus control region dan COI …………………………
35
6.1 Variasi morfologi warna P. fuscus
47
…………………………………
6.2 Variasi morfologi warna P. fuscus di lokasi berbeda
…………………
48
…………………………………………………
50
6.4 Morfologi warna P.perspicillatus …………………………………………
52
6.5 Morfologi ikan jantan dan betina P. erdmanni
54
6.3 P. ransonneti di Brunei
6.6 Variasi morfologi warna P. ammeri
…………………………
………………………………… 57
6.7 Variasi morfologi warna P. paccagnellae
…………………………
58
6.8 Variasi morfologi warna P. cyanotaenia …………………………………
62
6.9 P. elongatus yang ditemukan di Raja Ampat
…………………………
64
…………………………………………………………
66
6.11 P. andamanensis …………………………………………………………
67
6.12 M. splendens
…………………………………………………………
69
6.13 P. marshallensis …………………………………………………………
71
6.14 Variasi morfologi warna P. litus …………………………………………
74
6.10 P. bitaenitus
6.15 Variasi morfologi warna P. wayag
………………………………… 76
6.16 Variasi morfologi warna P. pallenotatus
xiv
…………………………
78
6.17 Variasi morfologi warna P. pylei
…………………………………
80
6.18 Variasi morfologi warna P. jace
…………………………………
82
6.19 Variasi morfologi warna P. matahari
…………………………………
83
6.20 Variasi morfologi warna P. rutilus
…………………………………
83
6.21 Variasi morfologi warna C. zaps
…………………………………
85
6.22 Variasi morfologi warna L. cyclopthalmus
…………………………
87
6.23 Variasi morfologi warna L. multiquamatus
…………………………
90
6.24 Variasi morfologi warna P. typus
…………………………………
92
6.25 Variasi morfologi warna A. knightii
…………………………………
93
6.26 Variasi morfologi warna P. rosae dan P. collare
xv
…………………
95
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Jarak genetik antar spesies pada lokus 16S
.………………... 102
Lampiran 2. Jarak genetik antar spesies pada lokus control region ………… 105 Lampiran 3. Jarak genetik dalam satu spesies pada lokus control region
… 106
Lampiran 4. Jarak genetik antar spesies pada lokus sitokrom oksidae I (COI).. 106 Lampiran 5. Variasi genetik pada masing masing clade lokus 16S .………... 107 Lampiran 6. Variasi genetik pada masing masing clade lokus control region .. 108 Lampiran 7. Variasi genetik pada masing masing clade lokus COI .………… 108
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Coral Triangle Areas (Area Segitiga Terumbu Karang) merupakan wilayahyang terletak di kawasan perairan Indonesia, Filipina, Brunei, kepulauan Solomon dan Papua New Guinea serta merupakan wilayahdengan biodiversitas laut tertinggi di dunia (Briggs, 2005; Callum et al., 2002; DeBoer et al., 2008; Malay & Pulay, 2009). Salah satu organisme dengan biodiversitas yang tinggi di wilayahini adalah ikan karang. Selain berfungsi sebagai penyusun ekosistem terumbu karang yang penting, ikan karang juga merupakan organisme yang sangat menarik dan menonjol karena pola dan warnanya yang bervariasi (Allen & Werner, 2002). Perubahan
lingkungan
dan
aktivitas
antropogenik
mengancam
keberlangsungan ekosistem terumbu karang, termasuk di dalamnya jumlah dan keanekaragaman ikan karang(Fotedar & Phillips, 2011; Hoegh-Guldberg et. al., 2009). Famili Pseudochromidae (Dottyback) merupakan ikan karang yang mempunyai distribusi luas, terutama di kawasan coral triangle. Ikan yang berukuran kecil serta mempunyai warna yang bervariasi ini merupakan salah satu ikan karang yang sering diperjual-belikan sebagai ikan hias akuarium (Allen & Erdmann, 2012). Identifikasi ikan famili Pseudochromidaesulit dilakukan hanya dengan menggunakan data
morfologi, karena variasi warna pada Dottyback dapat
1
berbeda baik antar spesies maupun antar jenis kelamin yang berbeda dalam satu spesies yang sama (Allen & Erdmann, 2012). Oleh karena itu, diperlukan suatu metode lain untuk mendukung dan memvalidasi data morfologi.
Filogenetik
merupakan salah satu metode yang menggunakan data genetik untuk identifikasi organisme, sehingga metode ini diharapkan dapat membantu identifikasi spesies dalam famili Pseudochromidaedilihat dari variasi genetiknya (Shearer & Coffroth, 2008). Selain untuk identifikasi, metode ini juga dapat digunakan untuk menunjukkan hubungan kekerabatan antar spesies serta evolusi yang terjadi (Thacker, 2003; Willet et al., 1995). Informasi – informasi tersebut penting bagi penyusunan basis data yang dapat digunakan bagi penyusunan kebijakan kelautan dan konservasi sumber daya laut, terutama bagi ikan karang famili Pseudochromidae (Dottyback).
1.2 Rumusan Masalah “Apakah hasil identifikasi genetik mengkonfirmasi hasil identifikasi morfologi pada sampel ikan famili Pseudochromidae yang ditemukan di kawasan Coral Triangle (Indonesia & Filipina)?”
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkonfirmasi hasil identifikasi morfologi dengan hasil identifikasi genetika molekular, pada sampel ikan famili Pseudochromidae yang ditemukan di kawasan Coral Triangle (Indonesia & Filipina).
2
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian ini adalah sebagai acuan bagi penentuan dan identifikasi spesies dalam famili Pseudochromidae (Dottyback), terutama dalam perdagangan ikan hias dari famili tersebut di Indonesia. Selain itu, sebagai dasar kajian untuk penentuan estimasi spesies dalam suatu lokasi.
3
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Area Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle) Salah satu area dengan tingkat biodiversitas tertinggi di dunia, termasuk biodiversitas terumbu karang adalah area segitiga terumbu karang (Coral Triangle Area), yang meliputi wilayah Filipina, Indonesia, Timor Leste, Malaysia, Papua New Guinea, dan Pulau Solomon (DeBoer et al., 2008; Malay & Pulay, 2009; Sala & Knowlton, 2006). Area ini juga dikenal sebagai area dengan tingkat endemisme tertinggi (Briggs, 2005; Callum et al., 2002). Di dalam area coral triangle terdapat lebih dari 18.500 pulau yang beberapa diantaranya merupakan pulau yang tidak berpenghuni, dengan luasan wilayah mencapai 6,8 juta km2. Topografi area yang berbentuk kepulauan memberi pengaruh bagi karakteristik biologi dan fisiologi bagi area tersebut (Hoegh-Guldberg et. al., 2009). Tingginya biodiversitas pada ekosistemterumbu karang dapat dilihat dari tingginya jumlah spesies per unit area (Sala & Knowlton, 2006). Biodiversitas organisme di kawasanCoral Triangle mencakup hampir 30% dari keseluruhan terumbu karang yang ada di dunia dengan 76% diantaranya merupakan karang pembentuk struktur terumbu. Biodiversitas organisme dalam kawasanini juga mencakup 35% dari keseluruhan spesies ikan karang yang ada di seluruh dunia (Hoegh-Guldberg et. al., 2009). Hingga saat ini, terdapat dua hipotesis yang diajukan untuk menjelaskan mengenai tingginya biodiversitas di kawasan Coral Triangle, yaitu Centre-of-Origin dan Center-of-Overlap. Hipotesis Centre-of-
4
Origin menyatakan bahwa area Coral Triangle merupakan tempat asal mula semua spesies yang ada di seluruh dunia, sedangkan hipotesis Center-of-Overlap menyatakan bahwa area Coral Triangle merupakan area pertemuan dari beberapa area yang mempunyai biodiversitas tinggi (Barber et al.,2006;Briggs, 2007; Hubert et al., 2012). Di dalam area coral triangle, beberapa wilayah menunjukkan tingkat biodiversitas ikan karang yang sangat tinggi, antara lain Filipina tengah, Raja Ampat, pulau Maluku, Sulawesi Utara, serta Filipina Selatan (Allen, 2008). Beberapa penelitian mengenai biodiversitas ikan karang menunjukkan bahwa Indonesia dan Filipina merupakan dua negara dengan tingkat biodiversitas ikan karang tertinggi (megabiodiversitas) (Allen, 2008; Callum et al., 2002). Beberapa penelitian di kawasan Coral Triangle menunjukkan adanya penurunan sumber daya hayati kelautan. Adanya penurunan sumber daya hayati kelautan disebabkan karena ketergantungan masyarakat lokal di kawasan tersebut sangat tinggiterhadap ekosistem terumbu karang, mangrove serta padang lamun sebagai sumber makanan, bahan papan, perlindungan area pesisir serta untuk industri perikanan, pariwisata dan berbagai sumber lainnya. Dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut, masyarakat lokal seringkali melakukan beberapa hal yang dapat merusak ekosistem seperti pencemaran dan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (Hoegh-Guldberg et. al., 2009).
5
2.2 Ancaman terhadap Ikan Karang Terumbu karang merupakan suatu ekosistem laut dangkal yang kaya akan keanekaragaman biota, namun seringkali aktivitas manusia dan perubahan lingkungan di masa sekarang ini memberikan dampak yang buruk bagi keberlangsungan
ekosistem
terumbu
karang
serta
menurunkan
jumlah
keanekaragaman biota yang ada di dalamnya. Penurunan keanekaragaman biota laut berdampak terhadap perubahan fungsi dan peranan ekosistem (Callum et al., 2002; Sala & Knowlton, 2006). Hasil analisis geografis terhadap 3235 spesies ikan karang, karang, siput, dan lobster di kawasan terumbu karang tropis IndoPasifik menunjukkan 53,6% dari masing – masing taksa merupakan taksa endemik sehingga sangat rentan terhadap kepunahan yang disebabkan oleh kerusakan ekosistem (Callum et al., 2002). Penyebab utama dari kerusakan ekosistem terumbu karang, antara lain penggunaan pupuk yang berlebihan pada pertanian tanaman darat, perusakan hutan, serta pengembanganwilayah pesisir yang kemudian mengintroduksi sedimen, nutrien, serta polutan dalam jumlah besar ke dalam perairan (Carpenter et al., 2008; Hoegh-Guldberg et. al., 2009). Aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan racun juga memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan ekosistem perairan dan terumbu karang (Callum et al., 2002). Kawasansegitiga terumbu karang sebagai pusat dari biodiversitas dunia diketahui telah mengalami perusakan ekosistem. Hampir 40% dari total terumbu karang dan mangrove di area tersebut telah mengalami kerusakan dan hilang selama lebih dari 40 tahun. Kerusakan ini membawa pengaruh bagi setidaknya 30
6
- 50% spesies ikan karang yang bergantung pada area tersebut. (Hoegh-Guldberg et. al., 2009). Ancaman tersebut membawa dampak terhadap penurunan jumlah populasi dan variasi genetik, yang akan menghambat kemampuan suatu spesies untuk memulihkan populasinya dan bahkan menimbulkan hilangnya suatu informasi genetik tertentu (Sala & Knowlton, 2006). Selain ancaman pada habitat ikan karang, penurunan biodiversitas dan populasi ikan karang juga disebabkan oleh semakin meningkatnya industri perdagangan ikan karang untuk dijadikan ikan hias dalam akuarium (Fotedar & Phillips, 2011; Hoegh-Guldberg et. al., 2009). Selama lebih dari 50 tahun, perdagangan ikan hias telah berkembang dengan pesat. Industri ini berkembang hampir di seluruh dunia, terutama di kawasan Amerika, Eropa, Asia serta Australia. Pendapatan yang diperoleh dari industri ini sebesar 200-300 juta dollar Amerika per tahun. Tingginya permintaan pasar terhadap ikan – ikan hias menyebabkan tingginya penangkapan ikan secara ilegal di alam. Sementara itu, industri perdagangan ikan hias semakin mengarah pada budidaya yang diharapkan dapat memenuhi permintaan pasar tanpa perlu adanya eksploitasi berlebihan di alam. Budidaya ikan hias membawa dampak buruk bagi biodiversitas genetik suatu spesies karena dapat menimbulkan hibridisasi (Fotedar & Phillips, 2011; Knitweiss, 2009; Steinke et al., 2009). Beberapa famili ikan karang yang diperjualbelikan sebagai ikan hias, antara lain Pseudochromidae (Dottyback), Pomacentridae (Damselfish dan Clownfish), Acanthuridae (Surgeonfish), Balistidae (Trigerfish), Labridae
7
(Wrasse), Pomacanthidae (Angelfish), Chaetodonthidae (Bbutterflyfish) dan Syngnathidae (kuda laut) (Fotedar & Phillips, 2011).
2.3 Identifikasi dan Klasifikasi Ikan Karang Kerusakan terhadap ekosistem terumbu karang membawa dampak terhadap biodiversitas organisme yang hidup di dalamnya, salah satunya biodiversitas ikan – ikan karang. Keanekaragaman biota ini meliputi seluruh tingkat kehidupan yang ada di laut, mulai dari tingkatan spesies sampai ekosistem (Sala & Knowlton, 2006). Keanekaragaman biota merupakan suatu informasi yang penting untuk di data, khususnya pendataan dalam tingkat spesies. Beberapa alasan yang mendasari pentingnya pendataan ini antara lain : (1) adanya kemungkinan bahwa suatu spesies mempunyai beberapa nama yang berbeda karena dideskripsikan oleh peneliti yang berbeda; (2) kemungkinan bahwa taksa yang diyakini sama, ternyata merupakan taksa yang berbeda; (3) masih terdapat banyak spesies yang belum dideskripsikan oleh karena kurangnya ahli taksonomi. Penelitian saat ini menunjukkan bahwa banyak organisme dari berbagai taksa yang belum teridentifikasi dan didata, sehingga akan ada kemungkinan suatu spesies hilang tanpa pernah diketahui. Hilangnya informasi tersebut akan menyulitkan dalam estimasi jumlah spesies yang hilang dalam suatu kurun waktu tertentu (Callum et al., 2002; Sala & Knowlton, 2006). Ikan mencakup setengah dari keseluruhan vertebrata yang ditemukan di seluruh dunia, mencakup hampir 15.700 spesies ikan air laut dan 13.700 spesies ikan air tawar (FishBase: www.fishbase.org, 2007; Ivanova et al, 2007). Ikan
8
karang merupakan salah satu biota yang dapat digunakan dalam penentuan tingkat keanekaragaman hayati laut. Hal ini disebabkan karena ikan karang mudah untuk dikenali, mempunyai data distribusi yang mudah diperoleh serta merupakan perwakilan yang baik dalam menggambarkan keseluruhan biodiversitas yang ada dalam suatu ekosistemterumbu karang (Allen & Warner, 2002; Callum et al., 2002). Ikan karang merupakan indikator keanekaragaman yang baik karena terdapat dalam jumlah banyak, mempunyai wilayah penyebaran yang luas, serta mudah untuk diamati di lapangan dan merupakan organisme yang telah banyak dipelajari sebelumnya. Selain itu, bukti penelitian menunjukkan bahwa keanekaragaman ikan karang berpengaruh terhadap tingkat keanekaragaman organisme lain dalam satu ekosistem (Allen, 2008; Plaisance et al., 2011). Pendataan ikan telah dilakukan melalui identifikasi secara morfologi dan molekular, serta dimasukkan ke dalam suatu basis data (database). Database ini dibuat untuk memperoleh sistem data yang cepat, akurat dan mudah. Selain itu, adanya database molekular juga membantu dalam identifikasi spesies saat identifikasi secara tradisional tidak mampu digunakan, seperti halnya pada tahapan organisme yang belum dewasa ataupun pada identifikasi bagian tubuh. Penyediaan database ini juga dapat menunjang suatu pemahaman mengenai sejarah alam serta interaksi ekologi pada ikan (Ivanova et al., 2007; Plaisance, et. al., 2009).
9
Klasifikasi ikan karang famili Pseudochromidae (Eschmeyer & Fong, 2011), yaitu :domain eukaryota; kingdom animalia; phylum chordata; subphylum vertebrata; class osteichthyes; subclass actinopterygii; order perciformes; family pseudochromidae
2.4 Filogenetik Molekuler Filogenetik merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menggambarkan hubungan kekerabatan antar taksa. Filogenetik dapat disusun berdasarkan
karakter
morfologi
dan
molekular.
Filogenetik
molekular
menggunakan data urutan nukleotida untuk menyusun hubungan kekerabatan serta struktur evolusi suatu taksa (Thacker, 2003; Willet et al., 1995). Filogenetik molekular mempunyai beberapa fungsi penting, antara lain : (1) mengetahui identitas suatu jenis organisme, (2) mengetahui pewarisan keturunan (paternitas dan maternitas), (3) mengetahui hubungan kekerabatan di dalam suatu kelompok atau populasi, (4) mengetahui perbedaan pada populasi atau subspesies yang berbeda geografis, (5) mengetahui hubungan diantara spesies yang terisolasi dalam pohon kehidupan suatu organisme (Malay & Paulay, 2009; Thacker, 2003). Keunggulan filogenetik dengan menggunakan data molekular dibandingkan data morfologi adalah dapat membedakan taksa yang sulit diamati karakteristik morfologinya (Shearer & Coffroth, 2008). Beberapa penelitian filogenetik molekular sebelumnya telah dilakukan pada beberapa ikan karang, antara lain Perciformes (Streelman & Karl, 1997), Gobioidei (Thacker, 2003) dan Labridei (Westneat & Alfaro, 2005). Sementara
10
itu, penelitian filogenetik molekular lain yang sedang dilakukan, diharapkan dapat menjawab pertanyaan mengenai taksonomi, sistematik, dan evolusi dari famili ikan – ikan karang lainnya seperti gobi, blenies, wrasses, grouper dan lainnya (Westneat & Alfaro, 2005).
2.5 Famili Pseudochromidae (Dottyback) Pseudochromidae atau yang sering dikenal dengan nama Dottyback merupakan kelompok famili ikan yang hidup tersembunyi pada celah – celah terumbu karang. Ikan ini menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam sarang dan hanya keluar untuk mencari makan dalam waktu yang sangat singkat. Pada umumnya, ikan dari famili ini berukuran kecil, dengan panjang sekitar 5-10 cm serta mempunyai warna yang bervariasi. Beberapa spesies seperti halnya Royal Dottyback (Pictichromis paccagnellae) merupakan salah satu spesies yang mempunyai pola warna menarik dan merupakan salah satu ikan akuarium yang sangat terkenal. Variasi warna pada Pseudochromidae dapat berbeda antar spesies dan pada beberapa spesies ditentukan oleh jenis kelamin (Allen & Erdmann, 2012). Salah satu spesies dengan variasi warna yang berbeda pada jantan dan betina adalah Cypho purpurascens yang berasal dari Great Barrier Reef (Allen et al., 2003; Fotedar & Phillips, 2011). Sementara itu, beberapa spesies dari genus Manonichtys mempunyai pola warna menyerupai ikan dari jenis damselfish dan angelfish; yang merupakan suatu bentuk mimikri agresif untuk mendekati mangsa (Allen & Erdmann, 2012). Dottyback merupakan karnivora yang bersifat diurnal
11
(aktif di siang hari) serta memakan beberapa jenis crustacea kecil, termasuk zooplankton dan cacing Polychaeta (Allen et al., 2003; Fotedar & Phillips, 2011). Perubahan jenis kelamin merupakan hal yang umum ditemukan karena beberapa spesies dari famili ikan ini terlahir sebagai betina dan dalam siklus kehidupannya dapat berubah kelamin menjadi jantan. Kemampuan untuk melakukan perubahan jenis kelamin ini disebut protoginus hermafrodit (Allen et al., 2003; Fotedar & Phillips, 2011). Ikan betina akan bertelur dalam jumlah yang banyak, sementara ikan jantan bertugas untuk menjaga telur – telur tersebut di dalam mulutnya. Telur – telur ini akan menetas dalam beberapa hari dan mempunyai fase larva pelagik yang sangat singkat (Allen & Erdmann, 2012). Famili Pseudochromidae terdiri dari 4 subfamili, 24 genus, dan 154 spesies (FishBase: www.fishbase.org, 2013). Distribusi Pseudochromidaesangat luas hampir meliputi seluruh terumbu karang yang ada di seluruh dunia, dengan distribusi terbanyak di kawasan perairan Indo-Pasifik Barat (Gambar 2.1).
Gambar 2.1. Distribusi Pseudochromidae (gbif.org)
12
Menurut Allen & Erdmann (2012), beberapa spesies Dottyback yang ditemukan di kawasan Coral Triangleantara lain :
Genus Pseudoplesiops : Pseudoplesiops annae (Anna’s Dottyback), P. collare (collared Dottyback), P. typus ( ring-eyed Dottyback).
Genus Manonichthys : Manonichthys alleni (sabah Dottyback), M. jamali (jamal’s Dottyback), M. paranox (midnight Dottyback), M. scintilla (sparkfin Dottyback), M. polynemus (thread-finned Dottyback), M. splendens (splendid Dottyback), M. winterbottomi (false midnight Dottyback).
Genus Pictichromis : Pictichromis ephippiata (saddled Dottyback), P. paccagnellae (royal Dottyback), P. porphyrea (magenta Dottyback).
Genus Pseudochromis : Pseudochromis alticaudex (spotbreast Dottyback), P. ammeri (raja ampat Dottyback), P. aurulentus (yellowlip Dottyback), P. bitaeniatus (two-lined Dottyback), P. colei (cole’s Dottyback), P. cometes (comet Dottyback), P. cyanotaenia (bluebarred Dottyback), P. eichleri (eichler’s Dottyback), P. elongatus (elongate Dottyback), P. erdmanni (erdmann’s Dottyback), P. flavopunctatus (yellow-spotted Dottyback), P. fowleri (phillippines Dottyback), P. fuscus (browm Dottyback), P. jace (zippered Dottyback), P. litus (plain Dottyback), P. lugubris (mournful Dottyback), P. matahari (solar Dottyback), P. mooi (mooi’s Dottyback), P. moorei (jaguar Dottyback), P. oligochrysus (pale-spotted Dottyback), P. pictus (painted Dottyback), P. pylei (yellow-tailed Dottyback), P. rutilus (orange-spotted Dottyback), P. fuligifinis (soot-tail Dottyback), P. steenei
13
(fiery Dottyback), P. striatus (striated Dottyback), P. tapeinosoma (horseshoe-tailed Dottyback), P. tonozukai (tono’s Dottyback).
Genus lain : Lubbockichthys multisquamatus (many-scaled Dottyback), Amsichthys knighti (knight’s Dottyback), Cypho zaps (chequered Dottyback), Labracinus atrofasciatus (blackbarred Dottyback).
2.6 Penanda Molekular Penanda molekular merupakan suatu potongan DNA yang berasosiasi dengan suatu lokasi dari genom, yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu urutan DNA yang belum diketahui (Parker et al., 1998). Kemampuan untuk meneliti ribuan penanda molekular dengan mudah akan memungkinkan untuk menjawab berbagai pertanyaan mengenai konservasi spesies yang sampai saat ini sulit untuk dijawab (Allendorf et al., 2010). Terdapat dua tipe DNA yang sering digunakan sebagai penanda molekular pada hewan, yaitu DNA inti (nDNA) serta DNA mitokondria (mtDNA). DNAinti (nDNA) biasanya lebih besar daripada DNA organela, berkisar antara <106 basa nukleotida (pada bakteria) - 1011 (pada tanaman dan ikan tertentu). Organisme diploid mempunyai dua cetakan dari tiap lokus (area genetik) pada kromosom homolog, yang disebut alel. Alel dapat dibedakan menjadi area pengkode protein (coding region) dan area yang tidak mengkode protein (noncoding region). Coding region pada nDNA (ekson) biasanya diselingi oleh bagian non-coding yang lebih bervariasi (intron atau area intergenik) (Parker et al., 1998; Klug et al., 2012). Pada nDNA juga terdapat bagian yang mempunyai urutan
14
nukleotida repetitif atau disebut dengan tandem repeat. Penanda molekular yang menggunakan area tandem repeat ini adalah mikrosatelit dan minisatelit. Bentuk lain dari DNA inti yang berulang adalah DNA ribosomal (rDNA) yang mengkode ribosomal RNA. Sebagian besar urutan DNA pada rDNA adalah conserved (tidak banyak mengalami perubahan pada urutan nukleotidanya) pada hampir seluruh taksa, sehingga sangat berguna untuk menentukan hubungan kekerabatan dalam filogenetik; namun, kurang tepat apabila digunakan dalam mempelajari variasi dalam suatu populasi yang sama (Parker et al., 1998;Klug et al., 2012). Tipe DNA lain adalah DNA organela. DNA ini ditemukan pada kloroplas dan mitokondria. Jenis DNA ini merupakan DNA yang diwariskan secara uniparental, sehingga baik digunakan untuk mempelajari pewarisan maternal, faunder effect, hibridisasi, dan introgresi. Molekul DNA dari organela ini biasanya kecil (berkisar antara 120-220 kb pada kloroplas dan 15-17 kb pada mitokondria) dan berbentuk sirkuler. DNA kloroplas (cpDNA) dan DNA mitokondria (mtDNA) pada tanaman tidak digunakan secara umum karena bersifat sangat conserved. Sebaliknya, mtDNA pada hewan mempunyai variasi yang dapat digunakan untuk studi populasi dan bahkan beberapa studi menunjukkan bahwa laju substitusi mtDNA lebih tinggi dibandingkan nDNA (Parker et al., 1998). Kelebihan DNA mitokondria dibandingkan DNA inti dalam penggunaannya untuk analisisa genetik adalah dilihat dari tidak adanya intron, jarang mengalami rekombinasi, terdapat dalam jumlah yang banyak dalam tiap sel, bersifat haploid, serta pewarisan yang bersifat maternal (Bucklin et al, 2011; Thacker, 2003).
15
Berbagai area pada genom nDNA dan mtDNA mengalami tekanan seleksi yang berbeda, bergantung pada produk genetik dan kemampuan DNA untuk bertahan terhadap mutasi. Tekanan seleksi menyebabkan suatu area genom mempunyai tingkat akumulasi variasi genetik yang berbeda. Coding region (area yang mengkode protein) biasanya mempunyai tingkat variasi yang lebih rendah dibandingkan non-coding region (area yang tidak mengkode protein) (Parker et al., 1998). Oleh karena adanya perbedaan tekanan seleksi, maka dalam suatu penelitian digunakan beberapa lokus. Hasil dari beberapa lokus akan meningkatkan kekuatan dan akurasi data, karena diharapkan dapat meminimalkan bias yang timbul dari lokus yang berada di bawah seleksi (Allendorf et al., 2010). Beberapa lokus mitokondria yang sering digunakan dalam penelitian antara lain control region (d-loop), 16S, serta COI (DeBoer et al.,2008;Ivanova et al., 2007). Control region atau yang biasa disebut dengan displacement loop (dloop) merupakan area non-coding pada genom atau DNAmitokondria yang berfungsi sebagai titik awal replikasi. 16S merupakan suatu area non-coding mitokondria yang berfungsi dalam mengkode RNA ribosom yang berperan dalam proses translasi; sedangkan COI (sitokrom oksidase I) merupakan gen mitokondria yang berfungsi dalam mengkode protein yang berfungsi dalam proses metabolisme. Area control region ini merupakan area yang paling bervariasi diantara area lain dalam mitokondria, atau dengan kata lain merupakan area yang memiliki laju mutasi yang paling tinggi; sementara 16S merupakan area yang paling conserved (tidak banyak mengalami mutasi) (Case et al., 2007; Parker et al., 1998).
16
Gen COI banyak digunakan dalam penelitian terutama untuk penelitian identifikasi organisme (metode barcoding) (Bucklin et al., 2011; Knowlton et al., 2010). Beberapa kelebihan dari gen COI antara lain : (1) sifatnya yang conserved dan tidak mempunyai perbedaan yang signifikan diantara metazoa lainnya, sehingga dapat digunakan secara universal di dalam kelompok tersebut, (2) mempunyai sinyal filogenetik yang berguna pada tingkatan takson yang luas. Oleh karena tingginya laju substitusi kodon ketiga pada COI, maka laju evolusi molekular pada COI lebih tinggi dibandingkan rRNA (Bucklin et al, 2011).
17
BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Dottyback(Pseudochromidae) merupakan salah satu famili ikan karang dengan distribusi yang luas di seluruh dunia dan mempunyai biodiversitas tinggi di kawasan Coral Triangle, namun ikan ini juga sering diperjualbelikan sebagai ikan hias karena mempunyai warna yang bervariasi dan sangat menarik (Allen & Erdmann, 2012; Fotedar & Phillips, 2011). Oleh karena itu, upaya untuk menjaga biodiversitas ikan ini perlu dilakukan, salah satunya melalui identifikasi dan pendataan keanekaragaman spesies Dottybackdi kawasan Coral Triangle. Identifikasi spesies dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu identifikasi secara morfologi dan identifikasi secara genetik (Thacker, 2003). Identifikasi secara morfologi dalam tingkat spesies sangat sulit dilakukan untuk ikan famili ini karena variasi warnanya berbeda antar spesies dan jenis kelamin (Allen & Erdmann, 2012). Identifikasi secara genetik merupakan metode yang dapat digunakan untuk identifikasi spesies dengan melihat variasi genetik dan penyusunan filogenetik (Shearer & Coffroth, 2008), sehingga data genetik dapat digunakan untuk identifikasi keseluruhan spesies ikan karang Dottyback yang ditemukan di kawasan Coral Triangle. Data ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar kajian untuk estimasi jumlah populasi spesies dari Dottyback di kawasan Coral Triangle.
18
3.2 Konsep Penelitian Dottyback (Pseudochromidae) : - Ikan karang dengan biodiversitas tinggi di kawasan Coral Triangle - Sering diperjualbelikan sebagai ikan hias - Mempunyai warna yang bervariasi & menarik
Upaya untuk menjaga biodiversitasDottyback : Identifikasi & pendataan keanekaragaman
Identifikasi secara morfologi
Identifikasi secara genetik
Sulit dilakukan : Pola warna berbeda antar spesies dan antar jenis kelamin
Variasi data genetik & penyusunan filogenetik
dKo spesies Konfirmasi
Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian
BAB IV
19
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Dottyback dari Coral Triangle
Identifikasi morfologi
Pengambilan sampel jaringan
Isolasi DNA jaringan (mtDNA)
PCR &Sequencing
Analisis data genetik
Konstruksi pohon filogenetik
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
Koleksi sampel dilakukan di kawasan Coral Triangle, yang meliputi wilayah Indonesia dan Filipina.Identifikasi secara morfologi dilakukan untuk
20
penentuan spesies secara umum berdasarkan buku identifikasi ikan Reef Fishes of the East Indies (Allen & Erdmann, 2012). Selain itu, identifikasi secara morfologi juga telah dilakukan oleh Dr. Mark Erdmann & Dr. Gerald Allen untuk penentuan dugaan sementara spesies. Identifikasi secara genetik dilakukan melalui isolasi DNA mitokondria (mtDNA) pada bagian sirip. DNA hasil ekstraksi kemudian diamplifikasi menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) dan sequencing untuk memperoleh data urutan DNA. Fragmen mtDNA yang digunakan adalah lokus 16S, control region, dan sitokrom oksidase I (COI). Data genetik yang diperoleh dianalisis menggunakan metode analisis berbasis komputerisasi dan dilakukan penyusunan pohon filogenetik.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Sampel dalam penelitian dikoleksi dari wilayah Coral Triangle, yaitu di wilayah perairan Indonesia dan Filipina pada periode tahun 2008 – 2011 oleh Dr. Mark Erdmann dan Dr. Gerard Allen. Total sampel yang dikoleksi sebanyak 100 individu yang ditemukan di kawasan Coral Triangle (Indonesia dan Filipina) (Gambar 4.2). Sampel dikoleksi dalam bentuk potongan jaringan (bagian sirip) dan ikan utuh. Analisis genetika molekuler dilakukan di Laboratorium Indonesian Biodiversity Research Centre (IBRC) Bali dimulai tahun 2012 - 2013.
21
Keterangan: 1. Anambas, 2. Perairan Filipina, 3. Bali, 4. NTT, 5. Alor, 6. Sulawesi Utara, 7. Morotai, 8. Halmahera, 9. Raja Ampat, 10. Ambon, 11. Misool, 12. Laut Banda, 13. Fakfak, 14. Cendrawasih
Gambar 4.2 Lokasi sampling
22
4.3 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini hanya terbatas pada analisa filogenetik ikan karang famili Pseudochromidae (Dottyback) yang dikoleksi di kawasan Coral Triangle, dan hanya terbatas pada analisa genetik terhadap 100 individu sampel ikan Dottybackyang dianalisis menggunakan 3 lokus DNA mitokondria, yaitu lokus 16S, control region, dan sitokrom oksidae I (COI).
4.4 Penentuan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekuennukleotida yang diperoleh dari 100 individu ikan karang famili Pseudochromidae (Dottyback), yang dikoleksi dari kawasan Coral Triangle (Indonesia dan Filipina). Pengumpulan sampel dilakukan oleh Dr. Mark Erdman dan Dr. Gerrard Allen. Identifikasi morfologi dilakukan dengan menggunakan buku identifikasi ikan Reef Fishes of the East Indies (Allen & Erdmann, 2012). Selain itu, identifikasi secara morfologi juga telah dilakukan oleh Dr. Mark Erdmann & Dr. Gerald Allen untuk penentuan dugaan sementara spesies. Isolasi DNA, PCR dan analisis data dilakukan di Laboratotium Indonesian Biodiversity Research Center (IBRC) Bali; sedangkan sekuensing dilakukan di Berkeley Sequencing Facility, Amerika Serikat.
23
DNA sampel
4.5 Variabel Penelitian Dalam penelitian ini digunakan beberapa variabel penelitian, antara lain : faktor pemisah, obyek penelitian, parameter pengamatan, serta respon yang teramati. Faktor pemisah dalam penelitian ini adalah kawasan Coral Triangle yaitu Indonesia dan Filipina. Objek penelitian adalah ikan karang Famili Pseudochromidae atau yang lebih sering dikenal dengan nama umum Dottyback. Parameter yang diamati adalah sekuenDNA pada lokus 16S, control region dan sitokrom oksidase I pada mitokondria (mtDNA); sedangkan respon yang diamati adalah variasi genetik dan filogenetik (hubungan kekerabatan) dalam famili Pseudochromidae.
4.6 Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel jaringan yang diambil dari ikan karang Famili Pseudochromidae, ethanol (EtOH) 95%, perlengkapan ekstraksi dari Chelex dan Qiagen, PCR kit, Sodium boric acid (SB) buffer, Ethidium bromida (EtBr), low mass ladder, dan primer. Tabel 4.1. Primer untuk amplifikasi masing – masing lokus.
16S Ar 5’-cgc ctg ttt atc aaa aac at-3’ 16S Br 5’-ccg gtc tga act cag atc acg t-3’ CRK 5’-agc tca gcg cca gag cgc cgg tct tgt aaa-3’ Control Region CRE 5’-cct gaa gta gga acc aga tg-3’ Fish BCL 5’-tca acy aat cay aaa gat aty ggc ac-3’ Sitokrom Oksidae I (COI) Fish BCH 5’-taa act tca ggg tga cca aaa aat ca-3’ (Lee et al., 1995; Matt Craig, komunikasi pribadi, 2010; Westneat & Alfaro, 2005) 16S
24
4.7 Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : sentrifuge, alat pendingin, tabung eppendorf besar dan kecil beserta rak, gelas ukur, pinset, pipet mikro (microtip), tips, oven, thermocycler Eppendorf Mastercycler personal atau PTC-100™ Programable Thermal Controller MJ Research Inc, elektroforesis, UV reader dan kamera.
4.8 Prosedur Penelitian Metode analisis filogenetik dilakukan dengan metode genetika molekular di dalam laboratorium yang meliputi beberapa tahapan sebagai berikut :
4.8.1. Pelabelan Sampel yang telah dikoleksi, dimasukkan ke dalam tube, sesuai dengan spesies serta wilayah pengambilan, dan kemudian diberi nomor. Potongan jaringan dari sampel diambil dan dimasukkan ke dalam tube yang lebih kecil dan diberi label (subsample).
4.8.2. Ekstraksi Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan larutan chelex 10% (Walsh et al., 1991) Jaringan sampel diambil sebanyak + 2 mm dengan menggunakan pinset dan dimasukkan ke dalam tube yang berisi larutan chelex. Sebelum dan sesudah jaringan
25
diambil, pinset dicelupkan ke dalam ethanol 95% dan dibakar dengan api bunsen. Larutan chelex yang sudah diisi jaringan, divortex dan disentrifuge selama + 20 detik, kemudian dipanaskan dalam heating block dengan suhu 95oC selama + 45 menit. Setelah dipanaskan, tube kembali divortex dan disentrifuge selama + 20 detik. Larutan ekstraksi siap digunakan untuk amplifikasi.
4.8.3. Polymerase Chain Reaction (PCR) Sampel hasil ekstraksi diamplifikasi pada lokus 16S, control region, dan sitokrom oksidase I (COI), dengan metode Hotstart yang telah dimodifikasi. Parameter yang digunakan : denaturasi 94oC selama 30 detik, annealing 50oC selama 30 detik, dan extension 72oC selama 30 detik, diulang dalam 38 siklus PCR (Barber et al., 2006).
4.8.4. Sekuensing Sampel yang sudah diamplifikasi dengan metode PCR, selanjutnya disekuensing untuk memperoleh urutan nukleotidanya. Sampel dikirim ke Berkeley Sequencing Facility di Amerika Serikat untuk disekuens. Metode sekuens yang digunakan adalah metode Sanger dideoksi.
4.9 Analisis Data Data sekuens diedit dan diurutkan (aligned) menggunakan program MEGA5 (Tamura et al., 2011). Kemudian, sekuens dicek di basis data umum (GenBank) untuk
26
memastikan sampel tidak terkontaminasi. Analisa pohon filogenetik dilakukan menggunakan metode Bayesian Inference dengan program BEAST v1.7.5 (Drummond et. al., 2013). Masing – masing lokus dianalisis menggunakan program Jmodeltest (Guindon & Gascuel, 2003; Posada, 2008) untuk menentukan model evolusi terbaik. Pemilihan model dilakukan dengan Akaike Information Criterion (AIC, Akaike, 1974) dan kemudian dibandingkan dengan nilai Bayes Factor (Drummond & Rambaut, 2007). Analisis ini dilakukan dengan 30.000.000 generasi dan sampling data dilakukan setiap 3000 generasi. Hasil dari data yang telah konvergen diverifikasi dengan menggunakan program Tracer v1.4 (Rambaut & Drummond, 2007) dengan melihat nilai probabilitas posterior, log likelihood, dan stabilitas dari seluruh parameter dalam model yang digunakan, serta dengan melihat nilai ukuran sampel efektif (effective sample size/ESS). Nilai parameter yang digunakan sebagai standar adalah nilai yang berada diatas 200. Pohon filogenetik yang diperoleh selanjutnya ditampilkan dengan program FigTree v1.3.1 (Rambaut, 2009).
Penentuan
spesies
dilakukan
dengan
melihat
clade/clustering
(pengelompokkan) pada hasil pohon filogenetik. Clade yang dinyatakan sebagai spesies yang sama mempunyai nilai BLAST diatas 96%. Nilai BLAST ini diperoleh dari perbandingan antar sampel dengan melihat nilai identifikasi maksimum, area tutupan (query cover), serta nilai total (www.blast.ncbi.nlm.nih.gov). Selain nilai BLAST, penentuan spesies juga dilakukan dengan melihat nilai jarak genetik. Analisa variasi genetik dari tiap clade dilakukan menggunakan program MEGA5 dan dnaSp(Librado & Rozas, 2009).
27
BAB V HASIL
Dari total 100 sampel yang dikoleksi, 99 individu berhasil diamplifikasi pada lokus 16S, sementara hanya 14 sampel yang berhasil diamplifikasi pada lokus sitokrom oksidase I (COI) dan 49 sampel pada lokus control region. Panjang lokus 16S yang diamplifikasi adalah 600 base pairs (bp); panjang lokus control region 556 bp, dan panjang lokus COI 654 bp. Data dari sekuens COI ditranslasi ke dalam bentuk kode genetik (kodon) untuk memastikan bahwa data sekuen coding region (area yang mengkode protein) dari COI tersebut merupakan data nukleotida yang tepat. Kode genetik yang digunakan adalah kode mitokondria vertebrata. Seluruh sampel yang berhasil diamplifikasi telah didaftarkan ke dalam database sekuens GenBank (www.ncbi.nlm.nih.gov). Individu yang telah terdaftar akan mendapatkan accession number.Data sampel yang berhasil diamplifikasi, lokasi, dan accession number terlihat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 juga menunjukkan pengelompokkan masing – masing individu ke dalam masing – masing spesies berdasarkan hasil analisis Bayesian, BLAST dan jarak genetik.
28
Tabel 5.1. Pengelompokan spesies, lokasi sampling dan assession number di database GenBank Assession no. Species Pseudochromis fuscus 1
ID
Subfamili
MBS1104501
Pseudochrominae
16S
COI
Control Region
Fakfak, Papua Barat
KP288558
-
-
MBS1104601
perairan Palawan, Filipina
KP288559
-
-
MBS1105001 MBS1105003
Komodo, NTT Komodo, NTT
KP288563 KP288564
-
-
Pseudochrominae
Komodo, NTT
KP288561
-
-
Pseudochrominae
Anambas, Riau Raja Ampat, Papua
KP288612 KP288547
-
KP288654 -
MBS1101401
Morotai, Maluku
KP288548
KP288530
-
MBS1101501 MBS1112001
Komodo, NTT Raja Ampat, Papua
KP288549 KP288625
-
KP288666
MBS1107201
Ambon, Maluku
KP288584
-
-
MBS1107302 MBS1108201
Halmahera, Maluku Misool, Papua
KP288585 KP288593
-
KP288644
MBS1108001
Raja Ampat, Papua
KP288591
-
KP288642
MBS1108203 MBS1108101
Misool, Papua Misool, Papua
KP288595 KP288592
-
KP288646 KP288643
MBS1108202
Misool, Papua
KP288594
-
KP288645
MBS1108701 MBS1103801
Raja Ampat, Papua Fakfak, Papua Barat
KP288598 KF700053
KP288534
-
MBS1103901
Kep. Banda
KF700054
-
-
MBS1104201 MBS1110301
Kep. Banda Anambas, Riau
KF700057 KP288613
-
KP288655
Anambas, Riau
KP288614
-
KP288656
Pseudochromis fuscus 2
MBS1104902
Pseudochromis ransonneti
MBS1110101 MBS1101301
Pseudochromis perspicillatus
Pseudochromis erdmanni
Pseudochromis ammeri
Pictichromis paccagnellae
Pictichromis diadema
Lokasi
MBS1110302
Pseudochrominae
Pseudochrominae
Pseudochrominae
Pseudochrominae
29
Tabel 5.1. Pengelompokan spesies, lokasi sampling dan assession number di database GenBank (lanjutan). Pseudochromis cyanotaenia
Pseudochromis elongatus
Pseudochromis bitaeniatus
MBS1110501
Anambas, Riau
KP288616
-
KP288658
MBS1100101
Raja Ampat, Papua
KP288538
-
-
MBS1100501
Halmahera, Maluku
KP288539
-
-
Halmahera, Maluku Halmahera, Maluku
KP288540 KP288541
KP288524 KP288525
KP288626 KP288627
MBS1100703
Halmahera, Maluku
KP288542
KP288526
KP288628
MBS1101701 MBS1101201
Halmahera, Maluku Cendrawasih, Papua
KP288550 KP288546
KP288529
-
MBS1100901
Misool, Papua
KP288543
-
-
MBS1101001 MBS1101101
Raja Ampat, Papua Halmahera, Maluku
KP288544 KP288545
KP288527 KP288528
KP288629 -
Pseudochrominae
Bali
KF700051
-
KF700069
Pseudochrominae
Bali Morotai, Maluku
KP288618 KP288580
-
KP288660 -
MBS1106503
Morotai, Maluku
KP288582
-
-
MBS1106502 MBS1106801
Morotai, Maluku Misool, Papua
KP288581 KP288583
-
KP288636
Komodo, NTT
KP288560
-
-
MBS1111201
Manguni, Sulawesi Utara
KP288620
-
KP288662
MBS1109501
Cendrawasih, Papua
KP288607
-
KP288651
MBS1109502
Cendrawasih, Papua
KP288608
-
-
MBS1109503
Cendrawasih, Papua
KP288609
-
KP288652
MBS1104701
Pura, Alor,
-
KP288535
-
MBS1100701 MBS1100702
Pseudochromis andamanensis
MBS1103601
Manonichtys splendens
MBS1110901 MBS1106501
Pseudochromis marshallensis
MBS1104901
Pseudochrominae
Pseudochrominae
Pseudochrominae
Pseudochrominae
30
Tabel 5.1. Pengelompokan spesies, lokasi sampling dan assession number di database GenBank (lanjutan). Pseudochromis litus 1
Pseudochromis litus 2
MBS1102201
Raja Ampat, Papua
KF700042
-
KF700061.
MBS1102601
Misool, Papua
KF700046
-
KF700065
MBS1111601
Misool, Papua
KP288621
-
KP288663
MBS1102401
Kep. Banda
KF700044
-
KF700063
MBS1102501
Kep. Banda
KF700045
-
KF700064
MBS1109401
Cendrawasih, Papua
KP288605
-
KP288649
MBS1109402
Cendrawasih, Papua
KP288606
-
KP288650
MBS1109901
Cendrawasih, Papua
KP288610
-
KP288653
Pulau Watubela, Maluku
KF700041
-
KF700060
Halmahera, Maluku Poopoh, Sulawesi Utara
KF700043 KP288617
-
KF700062 KP288659
Raja Ampat, Papua
KP288604
KP288537
KP288648
Bali Bali
KP288552 KP288553
KP288531 KP288532
KP288630 KP288631
Raja Ampat, Papua
KP288556
KP288533
KP288634
Bali Bali
KP288599 KP288600
-
-
MBS1109103
Komodo, NTT
KP288602
-
-
MBS1109201 MBS1107501
S. Pantar, NTT Kep. Banda
KP288603 KP288586
-
KP288637
MBS1107502
Kep. Banda
KP288587
-
KP288638
MBS1107801 MBS1109101
Kep. Banda Komodo, NTT
KP288590 KP288601
-
KP288641 -
MBS1111101
Bali
KP288619
-
KP288661
MBS1107601 MBS1107701
Raja Ampat, Papua Halmahera, Maluku
KP288588 KP288589
-
KP288639 KP288640
Raja Ampat, Papua
KP288551
-
-
MBS1102001
Pseudochrominae
Pseudochrominae
MBS1102301 MBS1110601 MBS1109301 Pseudochromis wayag
MBS1101901 MBS1101902
Pseudochrominae
MBS1102801 Pseudochromis pallenotatus
Pseudochromis pylei
Pseudochromis matahari
MBS1108802 MBS1109001
MBS1101801
Pseudochrominae
Pseudochrominae
Pseudochrominae
31
Tabel 5.1. Pengelompokan spesies, lokasi sampling dan assession number di database GenBank (lanjutan). Pseudochromis jace
Pseudochromis rutilus Cypho zaps Labracinus cyclopthalmus
Lubbockicthys multisquamatus
Lubbockicthys cendrawasih
MBS1102101 MBS1102701
Raja Ampat, Papua Raja Ampat, Papua
KP288554 KP288555
-
KP288632 KP288633
MBS1102901
Komodo, NTT
KP288557
-
KP288635
MBS1111801 MBS1109601
Pseudochrominae
Raja Ampat, Papua Bali
KP288623 KF700059
-
KP288665 KF700074
MBS1108501
Pseudochrominae
Raja Ampat, Papua
KP288596
-
KP288647
MBS1108601 MBS1110401
Pseudochrominae
Morotai, Maluku Anambas, Riau
KP288597 KP288615
-
KP288657
MBS1104903
Pseudoplesiopinae
Komodo, NTT
KP288562
-
-
MBS1105401 MBS1105201
Misool, Papua Raja Ampat, Papua
KP288568 KP288565
KP288536
-
MBS1105202
Raja Ampat, Papua
KP288566
-
-
MBS1105402 MBS1105403
Misool, Papua Misool, Papua
KP288569 KP288570
-
-
MBS1105801
Raja Ampat, Papua
KP288572
-
-
Cendrawasih, Papua Cendrawasih, Papua
KP288567 KP288571
-
-
MBS1110001
Cendrawasih, Papua
KP288611
-
-
MBS1111901 MBS1106001
Watubelas, Maluku Misool, Papua
KP288624 KP288575
-
-
MBS1105301 MBS1105501
Pseudochrominae
Pseudoplesiopinae
Pseudoplesiopinae
Pseudoplesiops typus
MBS1106201
Cendrawasih, Papua
KP288577
-
-
Amsichtys knightii
MBS1111701 MBS1106101
Pseudoplesiopinae
Fakfak, Papua Barat Fakfak, Papua Barat
KP288622 KP288576
-
KP288664 -
MBS1105901
Pseudoplesiopinae
Fakfak, Papua Barat
KP288573
-
-
Fakfak, Papua Barat Misool, Raja Ampat
KP288574 KP288579
-
-
Raja Ampat, Papua
KP288578
-
-
Pseudoplesiops rosae
MBS1105902 MBS1106401
Pseudoplesiops collare
MBS1106301
Pseudoplesiopinae
32
Analisis filogenetik menggunakan metode Bayesian menghasilkan tiga pohon yang mewakili masing-masing lokus yaitu 16S (Gambar 5.1), control region, dan COI (Gambar 5.2). Dalam analisis ini, masing-masing lokus menggunakan model evolusi yang berbeda. Lokus 16S menggunakan model substitusi GTR (General Time Reversible)Gamma Invariant dengan tambahan model waktu Eksponensial; sementara pada lokus control region, model substitusi yang digunakan adalah TN93 (Tamura-Nei 1993) Gamma dan untuk lokus COI menggunakan model TN93 Gamma Invariant. Pengelompokan spesies juga dilakukan berdasarkan hasil BLAST dan jarak genetik, seperti pada Tabel 5.2.
33
Gambar 5.1 Pohon filogenetik famili Pseudochromidae berdasarkan analisis Bayesian pada lokus 16S dengan model substitusi GTR Gamma Invariant dan model waktu Exponential. Angka pada nodus menunjukkan nilai probabilitas posterior.
34
(b)
Gambar 5.2 Pohon filogenetik famili Pseudochromidae (a) lokus control region, (b) lokus sitokrom oksidae I (COI), menggunakan analisis Bayesian. (a)
35
Tabel 5.2. Nilai identifikasi maksimum (BLAST) dan jarak genetik pada tiap spesies pada lokus 16S. Identifikasi maksimum dalam satu species (%)
Jarak genetik dalam satu species
96 - 100 -
0.019 -
-
-
Pseudochromis perspicillatus Pseudochromis erdmanni
97.2 - 100 99.83 - 100
0.018 0.001
Pseudochromis ammeri
99.12 - 100
0.003
100 100
0 0
Pseudochromis cyanotaenia
96.39 - 100
0
Pseudochromis elongatus Pseudochromis bitaeniatus
100 97.8 - 100
0 0.01
Pseudochromis andamanensis
99.83 - 100
0.002
Manonichtys splendens Pseudochromis marshallensis
99.83 - 100 96.92 - 100
0.001 0.015
Pseudochromis litus 1
98.9 - 100
0.006
Pseudochromis litus 2 Pseudochromis wayag
99.82 - 100 99.82 - 100
0 0.001
Pseudochromis pallenotatus
99.3 - 100
0.003
Pseudochromis pylei Pseudochromis matahari
99.63 - 100 -
0.007 -
Pseudochromis jace
99.11 - 100
0.006
Pseudochromis rutilus Cypho zaps
98.26 - 100
0.016
-
-
99.48 - 100
0.002
Lubbockicthys cendrawasih
100
0
Pseudoplesiops typus Amsichtys knightii
100 -
0 -
Pseudoplesiops rosae
99.82 - 100
0
Pseudoplesiops collare
-
-
Spesies Pseudochromis fuscus 1 Pseudochromis fuscus 2 Pseudochromis ransonneti
Pictichromis paccagnellae Pictichromis diadema
Labracinus cyclopthalmus Lubbockicthys multisquamatus
36
Hasil analisis filogenetik dari lokus 16S, control region, dan COI menunjukkan data yang sedikit berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan jumlah sampel yang berhasil diamplifikasi. Dilihat dari hasil genetik lokus 16S, ditemukan 30 clade(Gambar 5.1); sedangkan dari hasil lokus control region ditemukan 20 clade(Gambar 5.2a), dan dari hasil lokus COI ditemukan 8 clade(Gambar 5.2b). Hasil dari keseluruhan clade tersebut, secara taksonomi termasuk ke dalam 2 subfamili, 8 genus dan 25 spesies. Dua subfamili yang ditemukan adalah Pseudochrominae dan Pseudoplesiopinae. Subfamili Pseudochrominae terdiri dari 5 genus dan 20 spesies; sedangkan subfamili Pseudoplesiopinae terdiri dari 3 genus dan 5 spesies. Hasil
analisis
pohon
filogenetik
lokus
16S
menunjukkan
clade
yangmonofiletik pada subfamili Pseudochrominae dan Pseudoplesiopinae. Genus dari subfamili Pseudochrominae antara lain Pseudochromis, Pictichromis, Manonichtys, Cypho dan Labracinus; sementara genus dari subfamili Pseudoplesiopinae terdiri dari Lubbockichtys, Amsichtys dan Pseudoplesiops. Masing – masing clade dari kedua subfamili merupakan clade monofiletik. Namun, apabila dilihat pada tingkat genus, terdapat dua genus yang menunjukkan clade parafiletik, yaitu genus Pseudochromis dan Pseudoplesiops. Berdasarkan hasil filogenetik, nilai BLAST dan jarak genetik, beberapa clade dapat dikonfirmasi menjadi satu spesies yang sama antara lain : Pseudochromis ransonneti, P. perspicillatus, P. erdmanni, P. ammeri, P. cyanotaenia, P. elongatus, P. bitaeniatus, P. andamanensis, P. pylei, P. jace, P. matahari, P. rutilus, Manonichtys splendens,Pictichromis paccagnellae, Pictichromis diadema,Cypho
37
zaps, Labracinus cyclopthalmus, Pseudoplesiops typus, Amsichtys knightii, Pseudoplesiops rosae dan Pseudoplesiops collare. Sementara, beberapa spesies yang lain seperti Pseudochromis fuscus, P. marshallensis, P. litus, P. wayag, P. pallenotatus, Lubbockichtys multisquamatus dan L. cendrawasih masih memerlukan kajian lebih lanjut untuk konfirmasi spesies secara genetik dan morfologi. Salah satu dari clade P. fuscus danP. litus, serta cladeP. wayag, P. pallenotatus dan L. cendrawasih perlu diajukan untuk mendapat nama ilmiah dan diajukan sebagai spesies baru.Selain itu, analisa lebih lanjut secara genetik perlu dilakukan pada clade P. marshallensis untuk mengkonfirmasi spesies tersebut.
38
BAB VI PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil sampel dari 14lokasi yang berbeda, yaitu Anambas, perairan Filipina, Bali, Nusa Tenggara Timur, Alor, Sulawesi Utara, Morotai, Halmahera, Ambon, Laut Banda, Raja Ampat, Misool, Fakfak, serta Cendrawasih. Daerah perairan di lokasi ini termasuk ke dalam area segitiga terumbu karang (Coral Triangle Area), yang merupakan area dengan tingkat keanekaragaman terumbu karang serta ikan – ikan karang yang tinggi (Allen, 2008). Selain itu, beberapa lokasi tersebut juga merupakan area konservasi laut sehingga keanekaragaman dari organisme yang ada di dalamnya harus dilestarikan dan dijaga. Pendataan spesies dan variasi morfologi dari spesies ikan dari famili Pseudochromidae merupakan salah satu cara untuk menjaga keanekaragaman organisme laut (ikan karang) di kawasan konservasi tersebut. Sampel dikoleksi dari masing – masing lokasi dengan jumlah yang berbeda, dan tidak semua spesies ditemukan pada satu lokasi yang sama. Perbedaan lokasi ini disebabkan karena masing – masing spesies mempunyai tempat hidup yang sedikit berbeda, yaitu pada kedalaman serta kondisi terumbu karang yang berbeda. DNA mitokondria dipilih untuk digunakan sebagai dasar penyusunan pohon filogenetik karena (a) mudah diamplifikasi dari berbagai taksa, (b) bersifat haploid, (c) sekuens dapat diperoleh tanpa melalui cloning, (d) mempunyai laju evolusi yang lebih tinggi dibandingkan DNA inti, (e) mempunyai peluang yang sangat kecil terhadap terjadinya rekombinasi sehingga dapat diasumsikan sebagai penanda yang baik untuk menunjukkan garis keturunan yang homolog (berasal dari nenek moyang yang sama), (f) seleksi mutasi bersifat netral dan terdapat dalam jumlah yang banyak dalam tiap sel, (g) replikasi terjadi
39
secara terus – menerus dan tanpa adanya mekanisme perbaikan DNA, serta (h) tidak terdapat intron, sehingga keseluruhan mitokondria merupakan unit transkripsi(Çiftci & Okamus, 2003; Hurst & Jiggins, 2005) Pemilihan ketiga lokus mitokondria (lokus 16S, control region dan COI)dilakukan karena lokus – lokus tersebut telah digunakan dalam beberapa penelitian filogenetik ikan, antara lain Dascyllus trimaculatus(Bernardi et.al, 2002); Chrysiptera rex(Drew et.al., 2010); butterflyfishes(DiBattista et.al., 2012); leopard wrasse (Read et.al., 2006); Pseudochromis fuscus(Messmer et.al., 2005) dan 391 ikan hias lain yang diperdagangkan (Steinke et.al., 2009). Lokus 16S juga diketahui mempunyai fungsi penting dalam mitokondria, dapat ditemukan pada setiap organisme, dan mempunyai laju evolusi yang lambat sehingga dinyatakan sebagai lokus yang conserved (tidak banyak mengalami perubahan nukleotida) (Case et al., 2007); sedangkan lokus COI merupakan lokus yang telah banyak digunakan dalam DNA Barcoding (identifikasi spesies secara genetik dengan menggunakan satu lokus dari DNA mitokondria) serta mempunyai variasi sinyal filogenetik yang dapat digunakan untuk membedakan berbagai tingkatan takson (Bucklin et.al., 2011). Lokus control region merupakan lokus yang sering digunakan untuk studi evolusi dan populasi karena mempunyai laju evolusi yang sangat tinggi sehingga banyak terdapat variasi dalam lokus tersebut dan dapat digunakan untuk membedakan variasi di dalam satu spesies yang sama (McMillan & Palumbi, 1997). Tidak semua sampel berhasil diamplifikasi pada ketiga target lokus dan amplifikasi sulit dilakukan untuk lokus COI. Kesulitan dalam amplifikasi ini dapat disebabkan karena terdapat variasi yang tinggi pada situs penempelan primer lokus COI dan control region,
40
sehingga menyebabkan perbedaan nukleotida dan kesulitan dalam proses annealing primer pada saat PCR (amplifikasi DNA). Analisis filogenetik dilakukan dengan analisis Bayesian dan setiap lokus menggunakan model substitusi yang berbeda. Model substitusi merupakan model yang menunjukkan proses laju substitusi yang terjadi pada percabangan pohon filogenetik. Penentuan model substitusi yang berbeda pada tiap lokus didasarkan pada model terbaik yang menunjukkan data tersebut; dimana dalam analisis hal ini dilakukan dengan program jModeltest menggunakan Akaike Information Criterion (AIC) dan dibandingkan dengan nilai Bayes Factor (BF). Pada analisis filogenetik lokus 16S, digunakan pula penentuan model dengan waktu, yaitu dengan model waktu eksponensial. Penentuan model berdasarkan waktu merupakan pemodelan evolusi yang didasarkan dari estimasi waktu pemisahan spesies. Penentuan ini biasanya ditambahkan ke dalam analisis untuk tujuan mengetahui laju evolusi yang terjadi pada tiap percabangan, dandinyatakan dalam satuan waktu tertentu (Drummond & Rambaut, 2007). Pengelompokkan spesies juga ditentukan dari nilai identifikasi maksimum yang diperoleh dengan BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) serta nilai jarak genetik. Nilai BLAST diperoleh dengan membandingkan sekuens antar sampel, untuk melihat sekuens dengan kemiripan yang paling tinggi. Hasil BLAST akan menunjukkan nilai maksimum (max score), nilai total (total score), persentase kesamaan (query coverage), nilai yang diharapkan (E value), dan nilai identifikasi maksimum (max identity). Nilai identifikasi maksimum merupakan nilai yang digunakan untuk melihat perbandingan yang paling dekat antar sekuens nukleotida dalam sampel. Nilai identifikasi maksimum yang dicantumkan dalam hasil juga telah didasarkan atas penilaian dari nilai – nilai yang lain dari hasil BLAST yang
41
diperoleh.Sekuen yang dinyatakan sebagai satu clade (kelompok) yang sama adalah sekuen yang homolog. Nilai cut-off (standar dasar) digunakan sebagai dasar untuk memasukkan suatu individu ke dalam satu spesies yang sama. Nilai cut-off ini didasarkan atas nilai kesamaan (similaritas) maupun nilai jarak genetik. Dasar justifikasi penentuan spesies secara genetik tampaknya bervariasi, terutama pada beberapa spesies ikan tertentu. Pada beberapa penelitian yang menggunakan nilai similaritas sebagai cut-off, nilai yang digunakan sebagai penentuan satu spesies yang sama adalah 98% pada dekapoda (Leray et. al., 2013) serta 99% pada ikan hiu (Sembiring et al., 2015). Sementara itu, beberapa penelitian lain yang menggunakan nilai jarak genetik sebagai cut-off menyatakan bahwa nilai jarak genetik yang didasarkan sebagai satu spesies yang sama adalah 5.92% pada Centropyge heraldi; 2.19% pada Chrysiptera cyanea; 2.42% pada Chrysiptera starcki; 3.15% pada Elacatinus evelynae; 4.86% pada Forcipiger flavissimus; 4.06% pada Pseudanthias squamipinnis; 6.52% pada Scatophagus argus; 5.13% pada Valenciennea puellaris; 5.92% pada Valenciennea wardii(Steinkeet.al., 2009). Salah satu penelitian pada ikan Dascyllus menunjukkan bahwa nilai cut-off pada satu spesies yang sama adalah 100% (tidak ada perbedaan genetik antar individu dalam satu spesies yang sama), sedangkan nilai jarak genetik antar spesies menunjukkan rata – rata 9.87% (Bernardi et.al., 2002). Penentuan cut-off ini tergantung dari organisme dan spesies yang dipelajari karena setiap organisme mempunyai tingkat variasi genetic yang berbeda, baik dalam satu spesies yang sama maupun antar spesies yang berbeda. Pada hasil filogenetik famili Pseudochromidae, nilai cut-off yang digunakan bervariasi, dengan beberapa individu sampel yang dinyatakan sebagai satu clade dengan nilai ~96% dan beberapa clade dengan
42
nilai cut-off> 99%. Perbedaan ini mengacu juga pada hasil jarak genetik serta variasi morfologi dari masing – masing clade. Pengelompokkan individu ke dalam satu spesies dengan menggunakan jarak genetik didasarkan atas tingkat perbedaan antar sekuens nukleotida dari masing – masing sampel (Mount, 2008). Nilai jarak genetik sangat bergantung pada jenis lokus yang digunakan. Semakin tinggi variasi suatu lokus (hypervariable locus) maka semakin besar nilai jarak genetiknya, dan semakin rendah variasi lokusnya (conserved locus) maka semakin kecil pula nilai jarak genetiknya. Lokus control region merupakan lokus dengan variasi mutasi yang sangat tinggi, diikuti dengan lokus COI dan selanjutnya lokus 16S yang merupakan lokus yang paling conserved. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa nilai jarak genetik yang terbesar pada masing – masing individu dalam satu spesies (intraspesific) maupun antar spesies (interspecific) dalam pohon filogenetik famili Pseudochromidae adalah dari lokus control region dan yang terkecil adalah lokus 16S. Pada beberapa penelitian filogenetik ikan karang, nilai jarak genetik yang diperoleh dalam satu spesies yang sama adalah bervariasi dari 0 – 0.221 (Hubert et al., 2012); <1 (Shearer & Coffroth, 2008); 0.002 – 0.065 (Steinke et al., 2009). Ketiga hasil tersebut diperoleh dari jarak genetik lokus COI, dan nilai 0 – 0.060 diperoleh dari hasil penggabungan (concatenated) lokus COI, 16S, dan gene H3 (Malay & Paulay, 2009). Salah satu penelitian mengenai filogenetik spesies Pseudochromis fuscus menunjukkan nilai jarak genetik 0.146 – 0.254 yang mengindikasikan bahwa spesies tersebut merupakan polikromatik spesies (multispecies) (Messmer et al., 2005). Hal tersebut juga terlihat pada beberapa clade spesies sampel yang dikoleksi. Beberapa spesies mempunyai morfologi warna yang bervariasi dan terbagi menjadi dua clade yang berbeda, dengan nilai jarak genetik yang
43
tinggi; sehingga dapat dimungkinkah bahwa spesies tersebut juga merupakan spesies polikromatik dan dapat dikaji serta diidentifikasi lebih lanjut sebagai spesies baru. Beberapa spesies tersebut antara lain: Pseudochromis fuscus, Pseudochromis litus, serta Lubbockichtys multisquamatus. Clade spesies Pseudochromis fuscus dinyatakan sebagai P. fuscus 1 dan P. fuscus 2; sedangkan clade P. litus dinyatakan sebagai P. litus 1, P. litus 2, dan P. wayag. Clade L. multisquamatus dinyatakan sebagai cladeL. multisquamatus dan L. cendrawasih. Seluruh sampel yang dikoleksi dan diidentifikasi merupakan ikan yang termasuk ke dalam 2 subfamili, 8 genus, 25 spesies dan 30 clade. Jumlah ini merupakan 31.25% dari keseluruhan spesies yang ada di dalam famili Pseudochromidae. Dua subfamili Pseudochromidae yang teridentifikasi adalah Pseudochrominae dan Pseudoplesiopinae, dan masing – masing clade dari subfamili tersebut membentuk clade yang monofiletik (mempunyai nenek moyang yang sama). Clade yang monofiletik juga ditemukan pada sebagian besar genus, namun pada genus Pseudochromis dan Pseudoplesiops, kedua clade tersebut merupakan clade yang parafiletik (mempunyai nenek moyang yang sama, namun tidak semua individu termasuk ke dalam clade genus yang sama). Identifikasi dari 25 spesies menunjukkan terdapat tiga spesies, yang dimungkinkan merupakan spesies polikromatik dan satu clade yang belum diberi penamaan spesies (pada hasil disebut dengan clade Pseudochromis pallenotatus). Berikut merupakan pembahasan secara detail mengenai masing – masing clade yang dinyatakan sebagai satu spesies yang sama : 6.1. Clade Pseudochromis fuscus Hasil pohon filogenetik lokus 16S menunjukkan bahwa sampel yang sebelumnya diidentifikasi secara morfologi sebagai Pseudochromis fuscus, ternyata secara genetik
44
dibedakan menjadi dua clade yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari topologi pohon filogenetik yang menunjukkan bahwa salah satu sampel P.fuscus (MBS1104902) mempunyai percabangan yang berbeda dengan empat sampel P.fuscus lainnya, dan individu dari sampel ini mempunyai percabangan yang lebih dekat dengan P.ransonneti. Oleh karena itu, masing – masing clade ini dinamakan sebagai Pseudochromis fuscus 1 dan Pseudochromis fuscus 2. Keempat individu sampel dinyatakan sebagai satu clade yang sama pada cladeP.fuscus 1 karena didasarkan atas nilai identifikasi maksimum (BLAST) yang menunjukkan kisaran 96% – 100%, dan dengan nilai jarak genetik antar sampel dalam satu clade yang sama adalah 0.019. Semakin kecil jarak genetik, maka semakin dekat kesamaan sekuens pada sampel tersebut. Data P.fuscus hanya berasal dari data lokus 16S, dan tidak terdapat data untuk lokus control region dan COI. Individu sampel MBS1104902 (P.fuscus 2)tidak dinyatakan sebagai satu clade yang sama dengan clade P.fuscus 1, karena nilai identifikasi antar keduanya rendah yaitu sebesar 93%, selain itu jarak genetik antara kedua clade tersebut menunjukkan nilai 0.064. Individu ini tidak dapat dinyatakan sebagai spesiesyang sama dengan P.ransonneti, karena nilai identifikasi antar keduanya menunjukkan nilai yang rendah (91%) dan nilai jarak genetik antar kedua clade spesies menunjukkan nilai 0.084. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa individu yang diidentifikasi secara morfologi sebagai satu spesies yang sama (P.fuscus), secara genetik merupakan dua clade yang berbeda. Selain itu, pada penelitian yang telah dilakukan oleh Messmer et al. (2005) terhadap P. fuscus di kawasan Papua New Guinea dan Great Barrier Reef, diketahui bahwa spesies tersebut membentuk tiga clade yang berbeda; (1) clade dengan warna kuning dan coklat, (2) clade dengan warna merah muda, serta (3) clade dengan campuran ketiga warna tersebut. Oleh
45
sebab itu, spesies P. fuscus disebut sebagai spesies polikromatik yang kompleks dan bukan merupakan spesies dengan penyebaran luas dan mempunyai variasi morfologi warna yang berbeda. Selain dilihat dari hasil filogenetik dan didukung oleh penelitian terdahulu, morfologi warna ikan ini pada masing – masing clade juga menunjukkan perbedaan; dengan cladeP. fuscus 1 ditunjukkan seperti pada Gambar 6.1a dan clade P. fuscus 2 ditunjukkan seperti pada Gambar 6.1b. Oleh karena itu, dimungkinkan individu sampel yang dikoleksi di kawasan perairan Indonesia juga merupakan spesies P. fuscus yang polikromatik, yang kemudian bisa diidentifikasikan sebagai spesies yang berbeda. Karakter morfologi warna yang berbeda juga ditemukan di beberapa tempat, seperti terlihat pada Gambar 6.2. Pola warna pada ikan ini sangat tinggi, mulai dari warna kuning di seluruh tubuhnya sampai mendekati warna hitam. Spesies ikan ini juga disebut sebagai brown Dottyback dan diidentifikasi pertama kalinya oleh Muller & Troschel pada tahun 1849. Spesies ini biasanya ditemukan di kawasan pesisir dan teluk di kedalaman 1 – 30 m, serta hidup soliter, tidak jauh dari tempat tinggalnya (biasanya di sekitar area terumbu karang atau bebatuan karang). Selain ditemukan di Indonesia, spesies ini juga mempunyai distribusi yang sangat luas, dimulai dari kawasan perairan Srilanka sampai Vanuatu dan New Caledonia; disepanjang kawasan perairan Samudra Hindia timur sampai pulau Ryukyu dan Ogasawara di Jepang (Allen & Erdmann, 2012).Sampel P. fuscus 1 dalam penelitian ini, dikoleksi dari kawasan perairan Fakfak (Papua Barat), Filipina, serta Komodo (NTT); sedangkan sampel untuk clade P. fuscus 2 hanya berasal dari perairan Komodo (NTT). Apabila dilihat variasi genetik di dalam clade P. fuscus 1, terlihat bahwa clade tersebut mempunyai 3 haplotipe dari total 4 individu sampel, yang menunjukkan bahwa terdapat dua individu yang mempunyai
46
sekuens identik yang dikoleksi dari Komodo (NTT).Jumlah haplotipe tersebut juga didukung oleh nilai keanekaragaman haplotipe yang tinggi (0.833) dan keanekaragaman nukleotida yang rendah (0.0201), yang berarti bahwa hampir setiap sampel merupakan haplotipe yang berbeda dengan perbedaan nukleotida antar sampelnya sangat kecil.
(a)
(b) Gambar 6.1. Variasi morfologi warna sampel (a) clade P. fuscus 1 dan (b) clade P. fuscus 2 (foto oleh G.Allen).
47
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 6.2. Variasi morfologi warna pada spesies Pseudochromis fuscus yang ditemukan di lokasi yang berbeda. (a). Cendrawasih, Papua (b). Halmahera, Maluku (c). Pulau Pef, Raja Ampat, Papua (d). Raja Ampat, Papua (e). Milne Bay, Papua Nugini (f). El Nido, Filipina (foto diambil oleh G. Allen)
6.2. Clade Pseudochromis ransonneti
48
Sampel dalam clade ini hanya terdiri dari satu individu yang diidentifikasi sebagai Pseudochromis ransonneti. Hasil identifikasi secara genetik memperlihatkan bahwa individu tersebut berbeda dari individu sampel lainnya yang mempunyai percabangan yang dekat pada pohon filogenetik. Apabila dilihat dari pohon filogenetik lokus 16S,clade P. ransonneti mempunyai percabangan terdekat dengan clade P. fuscus 1 dengan nilai identifikasi maksimum 91% dan jarak genetik 0.084. Terdapat perbedaan percabangan pada lokus control region. Pada lokus tersebut, clade P. ransonneti mempunyai percabangan terdekat dengan clade P. erdmanni, dengan nilai identifikasi maksimum 73.73% dan jarak genetik 0.257. Perbedaan nilai yang diperoleh disebabkan perbedaan lokus yang digunakan. Oleh karena lokus control region mempunyai mutasi yang lebih variatif dibandingkan lokus 16S dan COI, maka nilai identifikasi maksimumnya akan lebih rendah dan nilai jarak genetiknya akan lebih tinggi. Ikan P. ransonneti biasanya dikenal juga dengan nama Yellowbelly Dottyback dan diidentifikasi pertama kali oleh Steindachner, pada tahun 1870. Morfologi pada ikan ini secara umum berwarna abu – abu kecuali pada bagian bawah dan samping kepala yang berwarna sedikit kekuning – kuningan (Gambar 6.3). Habitat ikan ini umumnya di wilayah perairan pesisir terumbu karang, dengan kedalaman 1 – 12 m. Ikan spesies ini hidup secara soliter, berpasangan, dan dalam kelompok kecil di sekitar terumbu karang, dan tersebar di hampir seluruh kawasan Samudra Hindia Timur meliputi wilayah bagian tenggara Sumatra, Singapura, daerah timur Semenanjung Malaysia, Brunei, dan Filipina (Allen & Erdmann, 2012).Sampel P. ransonneti yang dikoleksi dalam penelitian ini berasal dari Anambas (Riau).
49
Gambar 6.3.P. ransonneti di Brunei (foto oleh G. Allen)
6.3. Clade Pseudochromis perspicillatus Clade yang teridentifikasi sebagai P. perspicillatus, terdiri dari 3 individu sampel dengan nilai identifikasi maksimum 97.2% - 100% dan jarak genetik 0.018. Apabila clade ini dibandingkan dengan clade lain yang mempunyai percabangan terdekat lainnya (P. fuscus dan P. ransonneti), nilai identifikasi maksimumnya berkisar antara 88% - 91%, dengan jarak genetik antara 0.089 – 0.112; sehingga dari hasil ini dapat dinyatakan bahwa P. perspicillatus merupakan clade yang berbeda dengan clade spesies lain yang mempunyai percabangan yang dekat pada pohon filogenetik di lokus 16S. Data clade P. perspicillatus tidak diperoleh pada lokus control region, namun apabila dilihat pada pohon filogenetik lokus COI, clade P. perspicillatus mempunyai percabangan yang lebih dekat dan monofiletik dengan Pseudochromis wayag dan Pseudochromis litus 2. Nilai perbandingan identifikasi maksimum antar clade tersebut adalah 84.18% - 84.79% dan jarak genetiknya adalah 0.154 – 0.158.
50
Selain dari karakter genetik masing – masing lokus, spesies ini juga diketahui mempunyai variasi morfologi warna yang berbeda. Variasi morfologi warna dari sampel yang dikoleksi adalah seperti terlihat pada Gambar 6.4. Dua dari tiga individu sampel mempunyai variasi warna seperti Gambar 6.4a, dengan tubuh berwarna putih sampai warna kuning muda dengan warna abu – abu kehitaman pada bagian mulut, dahi, serta punggung bagian atas. Terdapat juga garis hitam pada bagian ujung mulut sampai bagian ujung basal sirip dorsal. Pada sampel yang dikoleksi di kawasan Pulau Komodo, variasi warna individu sampel yang ditemukan adalah berwarna kekuning – kuningan sampai coklat dengan penanda hitam yang sama dan seringkali terdapat garis hitam kecil (Gambar 6.4b). Clade ini masih dinyatakan sebagai satu clade spesies yang samawalaupun terdapat perbedaan warna. Ikan ini biasanya ditemukan di kedalaman 3 – 18 m, di daerah pesisir dan hidup soliter di sekitar terumbu karang dan bebatuan berpasir. Distribusi spesies ini meliputi Sabah (Malaysia), Filipina, Indonesia bagian timur (perairan timur laut Kalimantan Timur dan Bali) serta Papua Nugini. Spesies P. perspicillatus juga dikenal dengan nama Bandit Dottyback dan diidentifikasi pertama oleh Gunther pada tahun 1862 (Allen & Erdmann, 2012). Sampel P. perspicillatus yang dikoleksi dalam penelitian ini berasal dari Raja Ampat (Papua), Maluku dan Komodo (NTT). Dilihat dari variasi genetik pada lokus 16S, ketiga sampel merupakan haplotipe yang berbeda sehingga dapat dikatakan bahwa ketiga sampel juga mempunyai sekuens, walaupunperbedaan nukleotida diantara ketiganya sangat kecil. Hal ini ditunjukkan dengan nilai keanekaragaman nukleotida sebesar 0.01985.
51
(a)
(b)
Gambar 6.4. Morfologi warna pada P. perspicillatus. (a). Bentuk warna yang umum ditemukan. (b). Bentuk warna kuning; ditemukan di Pulau Komodo, Indonesia. (foto oleh G. Allen).
6.4. Clade Pseudochromis erdmanni Clade dari spesies ini terdiri dari 3 individu sampel dan monofiletik dengan cladePseudochromis ammeri. Nilai identifikasi maksimum dari clade spesies P. erdmanni adalah 99.83% – 100%, dan jarak genetiknya adalah 0.001. Nilai – nilai tersebut menunjukkan nilai yang sangat tinggi, yang berarti bahwa data sekuens dari masing – masing individu sampel dalam satu clade sangat identik. Hasil tersebut didasarkan dari hasil lokus 16S; sedangkan tidak diperoleh data spesies ini dari lokus COI. Apabila dilihat pola percabangan pada lokus control region, terdapat perbedaan clade yang monofiletik terhadap clade P. erdmanni. Pada lokus 16S, P. erdmanni monofiletik dengan P. ammeri; sedangkan pada lokus control region, clade P. erdmanni monofiletik dengan P. ransonneti. Percabangan clade P. erdmanni dengan clade P. ammeri pada lokus control region sangat jauh dan merupakan clade yang parafiletik. Hal ini dapat dimungkinkan karena terdapat perbedaan jumlah sampel dan spesies yang teridentifikasi dari lokus 16S dan control region.
52
Dilihat dari hasil lokus 16S, nilai identifikasi maksimum antara clade P. erdmanni dan P. ammeri adalah 90.62% – 91.15%; sedangkan jarak genetiknya 0.093. Apabila dilihat dari hasil lokus control region, nilai identifikasi maksimum dari clade P. erdmanni dan P. ransonneti adalah 73.73% dan jarak genetik 0.257; sedangkan bila dibandingkan nilai identifikasi maksimum antaraclade P. erdmanni dengan P. ammeri pada lokus control region, nilainya adalah 76% dengan jarak genetik 0.499. Suatu sekuens dikatakan mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat apabila percabangannya di dalam pohon filogenetik termasuk ke dalam clade monofiletik serta mempunyai nilai identifikasi maksimum yang tinggi dan nilai jarak genetik yang rendah. Lokus control region menunjukkan hubungan kekerabatan yang lebih dekat diantara P. erdmanni dan P. ransonneti, yang ditunjukkan dengan nilai jarak genetik dan nilai identifikasimaksimum yang rendah. Perbedaan percabangan ini dapat disebabkan karena lokus control region mempunyai variasi sekuens yang terlalu tinggi, sehingga menyebabkan perbedaan dalam penentuan clade yang mempunyai hubungan yang lebih dekat antar satu dengan lainnya. Selain tingginya variasi sekuens pada lokus control region, spesies ikan ini juga diketahui mempunyai variasi warna yang berbeda pada jantan dan betina (Gambar 6.5). Ikan jantan mempunyai kepala yang berwarna merah muda dengan sedikit warna oranye dan pada badan bagian anterior terdapat bercak – bercak hitam, dan bagian tubuh posterior berwarna coklat gelap, serta terdapat garis putih pendek di bagian belakang mata, dan tanda coklat kehitaman dibawah operkulum. Ikan betina berwarna coklat gelap dengan tanda putih pendek di belakang mata, dan bercak – bercak berwarna putih di bagian penutup insang serta warna coklat di bagian atas dan bawah batas sirip caudal.
53
Ikan ini biasanya ditemukan di daerah tebing terumbu karang di kedalaman 20 – 40 m, dan biasanya mempunyai kekerabatan yang dekat dengan P.steenei serta terlihat sangat mirip dengan spesies tersebut. Spesies ini hanya diketahui berasal dari Ambon, Halmahera dan Kepulauan Raja Ampat, Papua. Spesies ini mempunyai nama umumErdmann’s Dottyback, dan diidentifikasi oleh Gill dan Allen pada tahun 2011. Sampel dalam penelitian ini dikoleksi dari daerah Raja Ampat (Papua), Maluku, dan Komodo (NTT). Ketiga sampel yang dikoleksi terdiri dari dua haplotipe yang berbeda, sehingga dapat dinyatakan bahwa dua sampel mempunyai sekuens yang identik. Dari variasi genetik lokus 16S, juga terlihat bahwa clade ini mempunyai keanekaragaman haplotipe yang tinggi dan keanekaragaman nukleotida yang rendah.
Gambar 6.5. Ikan jantan (atas) & ikan betina (bawah) spesies P.erdmanni. Ditemukan di perairan Halmahera, Indonesia (foto diambil oleh G. Allen)
54
6.5. Clade Pseudochromis ammeri Clade ini mempunyai percabangan yang monofiletik dengan clade P. erdmanni pada lokus 16S dan parafiletik pada lokus 16S, seperti yang telah dibahas sebelumnya pada clade P. erdmanni. Apabila dibandingkan antar individu dalam satu clade spesies yang sama, nilai identifikasi maksimum berkisar 99.12% - 100% dengan jarak genetik 0.003. Seperti halnya pada P. erdmanni, spesies P. ammeri ini juga mempunyai warna yang bervariasi pada jantan dan betina, dan bahkan perbedaan warna juga terjadi pada ikan dewasa dan juvenil (Gambar 6.6). Ikan jantan dewasa berwarna putih sampai abu – abu pucat dengan bagian coklat keemasan pada bagian tengkuk memanjang sampai bagian punggung dan bagian bawah posterior sirip dorsal, terdapat pula pemanjangan filamen pada masing – masing lobus sirip caudal. Ikan jantan dewasa yang ditemukan di daerah Kokas (di bagian utara semenanjung Fakfak) berwarna kuning keemasan dengan punggung yang berwarna kecoklatan. Ikan betina dewasa mempunyai warna abu – abu di bagian atas kepala dan punggung, terdapat garis berwarna kehitaman sampai coklat kehitaman dari bagian mata sampai di bagian tengah sirip caudal, serta terdapat bagian berwana putih di bagian kepala bawah serta bagian tengah dan warna kekuningan di sampingnya. Ikan juvenil secara keseluruhan berwarna kekuningan, kecuali pada bagian atas kepala yang berwarna kecoklatan. Walaupun terdapat perbedaan warna pada ikan yang ditemukan di kawasan Raja Ampat dan Kokas, namun tidak terdapat perbedaan clade dari sampel tersebut sehingga dapat dinyatakan bahwa perbedaan variasi warna tidak menunjukkan perbedaan spesies dan pengelompokkan tidak dipengaruhi oleh lokasi geografis. Dilihat dari karakter morfologi warna, spesies P. ammeri ini sangat mirip dengan P.eichleri yang ditemukan di Filipina. Namun, spesies P. ammeri hanya diketahui ditemukan
55
di daerah semenanjung kepala burung (Kepulauan Raja Ampat dan bagian utara semenanjung Fakfak) di Papua Barat, Indonesia; dan dari penelitian ini, seluruh sampel dikoleksi dari kawasan perairan Papua (Raja Ampat dan Misool). Ikan ini biasanya ditemukan di perairan dengan kedalaman 10 – 45 m, dan mempunyai nama lokal Raja Ampat Dottyback, serta diidentifikasi pertama kali oleh Gill, Allen, dan Erdmann pada tahun 2012 (Allen & Erdmann, 2012). Analisis variasi genetik lokus 16S menunjukkan bahwa dari 6 sampel yang dikoleksi terdapat 2 haplotipe yang berbeda dengan keanekaragaman nukleotida yang kecil (0.0029) dan hanya terdapat 5 situs yang polimorfik dari total 570 bp nukleotida. Hasil juga menunjukkan bahwa variasi sekuens dari tiap sampel sangat rendah, walaupun terdapat perbedaan variasi warna dan perbedaan lokasi sampling. Terdapat perbedaan jumlah haplotipe dari hasil analisis lokus control region, dimana dari 5 sampel yang berhasil diamplifikasi, seluruhnya merupakan haplotipe yang berbeda dengan perbedaan situs yang bervariasi sebanyak 11 situs dari total 455 bp sekuens. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan karakteristik tiap lokus, dimana lokus control region mempunyai tingkat mutasi yang lebih tinggi dibandingkan 16S.
56
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 6.6. Variasi morfologi warna pada P. ammeri. (a) Juvenil. (b) Ikan betina dewasa. (c) Ikan jantan dewasa ditemukan di Raja Ampat. (d) Ikan jantan dewasa ditemukan di Kokas (foto diambil oleh G. Allen).
6.6. Clade Pictichromis paccagnellae dan Pictichromis diadema Kedua clade ini merupakan clade yang secara genetik sangat dekat, namun telah diidentifikasi menjadi dua spesies yang berbeda secara morfologi berdasarkan perbedaan warnanya (Gambar 6.7). Dilihat dari analisis genetik lokus 16S dari masing – masing clade, nilai identifikasi maksimum dari masing – masing individu dalam tiap clade adalah 100% dan nilai jarak genetiknya adalah 0. Nilai tersebut berarti bahwa tiap individu dalam masing – masing clade tersebut sangat identik, namun apabila dilihat dari percabangan pada pohon filogenetik, nilai probabilitas posterior yang membentuk masing – masing clade tersebut
57
masih menunjukkan angka 0.99, sehingga masih dimungkinkan bahwa sekuens dari individu dalam tiap clade tidak mempunyai kemiripan 100%. Apabila dibandingkan antar kedua clade, nilai identifikasi maksimumnya adalah 98.95% dan nilai jarak genetiknya adalah 0.008.
(a)
(b)
(c) Gambar 6.7. (a) Variasi warna pada P. paccagnellae yang ditemukan di Milne Bay, Papua Nugini. (b) Morfologi warna pada P. porphyreus. (c) P. diadema yang ditemukan di Brunei (foto diambil oleh G.Allen).
Karakteristik warna dari P. paccagnellae adalah warna magenta pada kepala dan setengah bagian tubuh depan dan bagian tubuh belakang berwarna kuning. Proporsi warna magenta dan kuning pada seluruh bagian tubuh bervariasi antar individu yang berbeda (Gambar 6.7a). Pada sampel yang dikoleksi, terdapat sampel yang secara morfologi warna
58
merupakan spesies P.porphyreus (Gambar 6.7b), namun mempunyai nilai identifikasi dan jarak genetik yang sangat kecil untuk dibedakan menjadi spesies yang berbeda dengan P. paccagnellae secara genetik. Oleh karena itu, pada hasil, sampel tersebut disebut sebagai clade P. paccagnellae. Pada genus Pictichromis, morfologi warna dari P. diadema adalah warna kuning terang dengan garis berwarna magenta dimulai dari bagian mulut sampai bagian posterior punggung belakang (Gambar 6.7c). Analisa variasi genetik lokus 16S menunjukkan bahwa seluruh sampel dalam clade P. paccagnellae terdiri dari satu haplotipe yang sama dengan nilai keanekaragaman nukleotida yang menunjukkan nilai 0. Hasil ini juga terlihat dari clade P. diadema yang menunjukkan bahwa sampel terdiri dari satu haplotipe yang sama, sehingga dapat dinyatakan bahwa variasi pada morfologi tidak selalu berkaitan dengan variasi pada sekuens nukleotida. Spesies – spesiesini ditemukan di kawasan terumbu karang dan hidup di celah – celah sempit dan di bagian tebing terumbu. P. diadema biasanya ditemukan di kedalaman 10 – 30 m, sedangkan P. paccagnellae ditemukan di kedalaman 5 – 40 m. Distribusi P. paccagnellae adalah di kawasan perairan Bali sampai Papua Barat, Palau, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon serta ditemukan juga di kawasan pesisir Australia Barat; sedangkan P. diadema terdistribusi di kawasan perairan Semenanjung Malaysia, Pulau Kalimantan bagian utara (Brunei, Sabah, dan Kalimantan Timur) serta Filipina. SampelP. paccagnellaedalam penelitian ini dikoleksi dari kawasan perairan Fakfak (Papua Barat) dan Kepulauan Banda; sedangkan sampel P. diadema seluruhnya dikoleksi dari Anambas (Riau). P. paccagnellae dikenal dengan nama Royal Dottyback dan diidentifikasi pertama kali pada tahun 1973 oleh Axelrod; sedangkan P. diadema dikenal dengan nama Purpletop
59
Dottyback dan diidentifikasi pertama kali oleh Lubbock dan Randall pada tahun 1978 (Allen & Erdmann, 2012).
6.7. Clade Pseudochromis cyanotaenia Data pohon filogenetik lokus 16S dan control region menunjukkan adanya perbedaan pola percabangan pada clade P. cyanotaenia. Pada filogenetik 16S, clade P. cyanotaenia monofiletik terhadap cladeP.paccagnellae dan P.diadema; sedangkan pada pohon filogenetik lokus control region, clade tersebut monofiletik terhadap clade P. rutilus dan P. jace. Hasil lokus 16S menunjukkan nilai identifikasi maksimum serta jarak genetik yang menyusun cladeP. cyanotaenia adalah 96.39% - 100% dan 0; sedangkan apabila dibandingkan nilai identifikasi maksimum dan jarak genetik antara clade P. cyanotaenia dengan clade dari genus Pictichromis, nilainya adalah sebesar 88.12% - 89.1% dan 0.098 – 0.105. Nilai identifikasi maksimum clade P.cyanotaenia dengan clade P. rutilus dan P.jace yang monofiletik pada lokus control region menunjukkan nilai 71.18% - 88.89% dan nilai jarak genetiknya adalah 0.369 – 0.403. Apabila nilai tersebut dibandingkan dengan clade Pictichromis pada lokus control region, kisaran nilainya adalah 79.33% - 80% dengan jarak genetik 0.442. Data control region menunjukkan bahwaclade yang percabangannya lebih dekat dengan P. cyanotaenia berdasarkan nilai identifikasi maksimum adalah clade Pictichromis, sedangkan bila didasarkan dari nilai jarak genetik, clade yang lebih dekat adalah clade P.jace dan P. rutilus. Hal ini dapat disebabkan karena lokus control region yang terlalu variatif, sehingga menimbulkan terjadinya banyak gap (celah – celah) saat dilakukan alignment (pensejajaran sekuens).
60
Selain identifikasi secara genetik, dilihat dari karakter morfologi, spesies ikan P. cyanotaenia merupakan ikan yang mempunyai morfologi warna yang menarik dan warna tersebut berbeda antara ikan jantan dan ikan betina. Ikan jantan mempunyai warna kebiru – biruan dengan warna kuning pada bagian bawah kepala sampai sirip pectoral, dan juga terdapat garis kuning di sepanjang garis lateral tubuh dan terdapat garis – garis berwarna biru pada bagian bawah samping tubuh. Ikan betina berwarna abu – abu kebiruan sampai coklat kemerah – merahan dengan beberapa bintik merah di bagian basal dari ekor yang berwarna kuning. Morfologi warna tersebut ditunjukkan seperti pada Gambar 6.8. Dilihat dari morfologi warna tersebut spesies ini diberi nama Bluebarred Dottyback oleh Bleeker pada tahun 1857, dan sering ditemukan di perairan dengan kedalaman 0 – 10 m, serta di area dangkal yang dipengaruhi oleh ombak. Distribusinya di sekitar perairan Pasifik Barat sampai Laut Cina Selatan ke Vanuatu dan New Caledonia sampai Australia (termasuk Australia Barat), serta Kepulauan Mikronesia dan pulau Ryukyu. Ikan ini juga ditemukan di kawasan bagian timur Samudra Hindia, kecuali di Laut Andaman (Allen & Erdmann, 2012). Dalam penelitian ini, sampel dikoleksi dari kawasan perairan Anambas (Riau), Raja Ampat (Papua) dan Maluku. Variasi genetik lokus 16S menunjukkan ketiga sampel yang dikoleksi terdiri dari 2 haplotipe yang berbeda, sehingga dapat dikatakan bahwa dua individu sampel mempunyai urutan sekuens yang sangat identik. Hal ini berpengaruh pada tingginya keanekaragaman haplotipe dan rendahnya keanekaragaman nukleotida.
61
Gambar 6.8.P. cyanotaenia dengan variasi warna yang berbeda pada jantan (gambar atas) dan betina (gambar bawah) (foto diambil oleh G. Allen).
6.8. Clade Pseudochromis elongatus Individu sampel dinyatakan sebagai satu clade spesies P. elongatus berdasarkan nilai identifikasi maksimum 100% dan jarak genetik 0 pada data lokus 16S. Hasil dari analisis lokus control region menunjukkan bahwa nilai identifikasi maksimum individu dalam clade P. elongatus adalah 96.93% - 100% sedangkan jarak genetiknya adalah 0.023. Apabila dilihat data lokus COI, nilai identifikasi maksimum dan jarak genetiknya adalah 98.93% – 100% dan 0.007. Ketiga data lokus menunjukkan adana perbedaan nilai identifikasi maksimum dan jarak genetik, yang disebabkan karena perbedaan variasi nukleotida pada lokus – lokus tersebut. Lokus dengan variasi terendah (conserved) akan mempunyai nilai identifikasi maksimum yang paling tinggi dan jarak genetik yang paling rendah. Dilihat dari data ketiga lokus, clade P. elongatus monofiletik terhadap cladeP. bitaeniatus, dan P. marshallensis (termasuk juga M. splendens dan P. andamanensis pada
62
lokus 16S dan control region), namun terdapat sedikit perbedaan percabangan pada hasil lokus 16S dengan control region dan COI. Pada hasil 16S, clade P. elongatus merupakan clade terluar, sedangkan pada cladecontrol region dan COI, clade P.marshallensis merupakan clade terluar. Perbedaan clade yang terjadi pada masing – masing lokus disebabkan karena jumlah sampel yang berhasil diamplifikasi dalam tiap lokus berbeda, serta adanya perbedaan variasi pada ketiga lokus tersebut. Identifikasi spesies P. elongatus secara morfologi tidak dibiaskan oleh adanya perbedaan warna yang tinggi pada tiap individu, karena morfologi warna yang ditemukan pada ikan spesies ini hanya satu variasi warna, yaitu merah muda bercampur dengan warna orange sampai pada warna ungu keabu – abuan pada bagian kepala, merah muda pada bagian perut dan dada, serta warna orange dengan warna hitam pada bagian ujung sirip caudal (Gambar 6.9). Ikan ini biasanya ditemukan di gua dan di sekitar perairan berbatu; dengan area distribusi di sekitar Kepulauan Sunda Kecil, Laut Banda, Kepulauan Maluku, Sulawesi, Halmahera, dan Papua Barat. P. elongatus juga dikenal dengan Elongate Dottyback, dan diidentifikasi oleh Lubbock pada tahun 1980 (Allen & Erdmann, 2012). Seluruh sampel dikoleksi dari wilayah perairan Maluku (Halmahera). Variasi genetik menunjukkan terdapat perbedaan haplotipe yang dihasilkan dari masing – masing lokus (16S, control region dan COI), namun menunjukkan karakter keanekaragaman haplotipe dan nukleotida yang sama, yaitu keanekaragaman haplotipe yang tinggi dan keanekaragaman nukleotida yang rendah.
63
Gambar 6.9.P. elongatus ditemukan di Raja Ampat (foto oleh G.Allen)
6.9. Clade Pseudochromis bitaeniatus Individu sampel yang membentuk cladeP. bitaeniatus mempunyai nilai identifikasi maksimum 97.63% - 100% dan jarak genetik 0.010 pada data lokus 16S; sedangkan dari data lokus COI, nilai identifikasi maksimum dan jarak genetik dalam clade tersebut adalah 93.68% - 100% dan 0.042. Clade yang monofiletik dengan clade ini adalah cladeP. elongatus, dan P. marshallensis (termasuk juga M. splendens dan P. andamanensis pada lokus 16S dan control region), seperti yang sebelumnya dijelaskan pada clade P. elongatus. Keunikan morfologi yang dimiliki oleh spesies ikan ini adalah adanya perbedaan warna pada ikan dewasa dan juvenile. Pada ikan dewasa berwarna kekuning – kuningan pada bagian kepala dengan sepasang garis biru keabu – abuan sampai kecoklatan pada bagian tubuh dan warna putih yang lebar di bagian tengah tubuh yang memanjang sampai ujung ekor (Gambar 6.10b); sedangkan pada ikan juvenile, bagian kepala tidak berwarna kuning (Gambar 6.10a). Terdapat satu sampel yang mempunyai morfologi warna yang bervariasi pada sampel yang dikoleksi, yaitu pada sampel yang ditemukan di kawasan perairan Teluk Cendrawasih (Gambar 6.10c). Variasi warna tersebut tidak menunjukkan adanya perbedaan clade spesies.
64
Oleh karena terdapatnya garis – garis pada tubuh ikan ini, maka spesies ini juga disebut two-lined Dottyback, dan diberi nama oleh Fowler pada tahun 1931. Ikan ini ditemukan di celah – celah terumbu karang di perairan Indonesia (kecuali Sumatra), Filipina, Papua Nugini, Palau, Kepulauan Solomon, dan Australia, pada kedalaman 2 – 38 m (Allen & Erdmann, 2012).Sampel dalam penelitian ini dikoleksi dari kawasan perairan Papua (Cendrawasih, Misool, Raja Ampat) dan Maluku. Variasi genetik dari cladeP. bitaeniatus diperoleh dari lokus 16S dan COI. Hasil 16S menunjukkan bahwa terdapat 3 haplotipe dari total 4 sampel yang menyusun clade ini. Hal ini berarti bahwa dua individu mempunyai sekuens yang identik pada lokus 16S; sedangkan pada lokus COI, dari total 3 sampel ditemukan
2
haplotipe
yang
berbeda.
Kedua
lokus
menunjukkan
karakteristik
keanekaragaman haplotipe dan nukleotida yang sama, yaitu keanekaragaman haplotipe yang tinggi dan keanekaragaman nukleotida yang rendah. Bila dibandingkan jumlah situs polimorfik yang terdapat pada kedua lokus tersebut, terlihat bahwa lebih banyak mutasi yang terjadi pada lokus COI dibandingkan lokus 16S.
65
(a)
(c) (b) Gambar 6.10. (a) P. bitaeniatus juvenile. (b) P. bitaeniatus dewasa. (c) Variasi morfologi warna pada individu yang dikoleksi di Cendrawasih (foto diambil oleh G. Allen).
6.10. Clade Pseudochromis andamanensis Nilai identifikasi maksimum dan jarak genetik dari clade ini adalah 99.83% - 100% dan 0 pada lokus 16S; sedangkan pada lokus control regionadalah 98.75% - 100% dan 0.002. Tidak terdapat variasi morfologi warna pada spesies P. andamanensis yang dikoleksi. Secara umum ikan ini berwarna coklat atau keabu – abuan pada bagian anterior kepala, berwarna
66
kuning atau kecoklat – coklatan orange pada bagian posterior kepala dan tubuh bagian anterior, dan berwarna gradasi biru atau abu – abu kebiru – biruan pada sisa bagian tubuh lainnya serta terdapat garis oranye disepanjang dasar dari sirip dorsal dan terdapat garis berwarna orange disepanjang dasar dari sirip pectoral (Gambar 6.11). P. andamanensis diberi nama sesuai lokasi spesies ini ditemukan, yaitu di perairan Andaman, oleh Lubbock pada tahun 1980. Namun, beberapa peneliti juga menemukan ikan ini di kawasan perairan Indonesia dan barat daya Australia, di kedalaman 5 – 25 m (Allen & Erdmann, 2012).SampelP. andamanensis yang dikoleksi dalam penelitian ini berasal dari Bali. Variasi genetik pada kedua sampel dalam clade ini menunjukkan hasil yang konsisten antara lokus 16S dan COI, dimana dari kedua sampel yang dikoleksi menunjukkan terdapat dua haplotipe dengan keanekaragaman nukleotida yang lebih tinggi pada lokus control region.
Gambar 6.11.P. andamanensis (foto diambil oleh G.Allen)
67
6.11. Clade Manonichtys splendens Clade ini terdiri dari empat individu sampeldengan nilai identifikasi maksimum 99.83% - 100% dan jarak genetik 0.001. Data dari spesies ini hanya terdapat dari hasil analisis lokus 16S dan control region. Kedua lokus tersebut menunjukkan bahwa clade ini mempunyai percabangan paling dekat dengan clade P. andamanensis pada data lokus control region; tapi pada data lokus 16S, clade ini berada diantara clade P. bitaeniatus dan P. andamanensis, serta cladeP. elongatus. Seperti halnya beberapa spesies yang termasuk di dalam famili Pseudochromidae, spesies ini juga mempunyai warna yang berbeda pada ikan dewasa dan juvenil. Ikan dewasa berwarna coklat kekuning – kuningan dengan garis abu – abu kebiru – biruan yang pendek (satu pada tiap – tiap barisan sisik longitudinal), terdapat bintik – bintik pucat pada sirip dorsal dan sirip anal, moncong yang berwarna kuning, garis kehitaman pada bagian yang melewati mata serta sirip caudal yang berwarna kekuning – kuningan. Ikan juvenil sama seperti ikan dewasa, namun sebagian besar warna pada tubuhnya adalah warna kuning (Gambar 6.12). Pada sampel hasil koleksi, semua sampel merupakan individu dewasa. Ikan ini juga disebut dengan Splendid Dottyback dan diberi nama oleh Fowler pada tahun 1931. Distribusi dari spesies ikan ini hanya ditemukan di Indonesia, yaitu di Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi Selatan, Kepulauan Maluku, Halmahera, dan Papua Barat. Biasanya ditemukan di kedalaman 3 – 35 m, dan berada di tebing terumbu karang (Allen & Erdmann, 2012). Sampel dalam penelitian ini dikoleksi dari kawasan perairan Maluku (sejumlah 3 individu) dan Papua (satu individu). Hasil menunjukkan terdapat 2 haplotipe pada cladeini, dengan hanya perbedaan satu situs polimorfik dari kedua haplotipe tersebut, dan
68
menunjukkan juga bahwa perbedaan haplotipe tidak dipengaruhi oleh perbedaan lokasi geografis.
(a).
(b) Gambar 6.12.M. splendens juvenil (a) dan dewasa (b). (foto oleh G. Allen).
6.12. Clade Pseudochromis marshallensis Spesies ini dikenal dengan nama Orange-spotted Dottyback, karena mempunyai bintik – bintik yang berwarna kekuning – kuningan. Spesies ini diberi nama oleh Schultz pada tahun 1953, melalui identifikasi morfologi. Melalui hasil identifikasi genetik lokus 16S, terdapat 5 individu sampel yang termasuk ke dalam clade P. marshallensis. Individu ini diidentifikasi ke dalam clade tersebut berdasarkan nilai identifikasi maksimum yang berkisar antara 96.92% - 100% dan jarak genetik 0.015. Pada hasil identifikasi lokus control region,
69
individu yang sebelumnya satu clade, ternyata terpisah menjadi dua clade yang mempunyai percabangan yang jauh. Apabila dilihat dari nilai identifikasi maksimum dan jarak genetik data lokus control region tersebut, maka perbandingan antar kedua clade tersebut adalah 71.13% - 85.96% dan 0.614, yang menunjukkan bahwa kedua clade memang sangat berbeda jauh. Hal ini dapat disebabkan oleh karakter dari lokus control region pada sampel tersebut. Secara umum, spesies ini mempunyai warna coklat sampai coklat keabu – abuan dan kuning pada bagian sirip caudal dengan bintik orange kecil pada sisik – sisik tubuh yang berjajar secara longitudinal di sepanjang tubuh ikan tersebut (Gambar 6.13). Dilihat dari persebarannya, ikan ini ditemukan di daerah pesisir, teluk, dan terumbu pada kedalaman 1 – 15 m. Tersebar di perairan Pasifik Barat (Vietnam sampai Kepulauan Marshall, ke Ryukyu dan Ogasawara, serta Australia dan New Caledonia) dan tersebar pula di area Samudra Hindia bagian Timur (kecuali Sulawesi dan Jawa), dan dalam penelitian ini sampel dikoleksi dari perairan Komodo (NTT), Sulawesi Utara, Papua serta Alor. Keanekaragaman haplotipe pada spesies ini dilihat dari lokus 16S dan control region menunjukkan nilai yang tinggi, sementara keanekaragaman nukleotidanya rendah. Pada lokus 16S, terlihat adanya 4 haplotipe yang berbeda dari 5 sampel; sedangkan pada lokus control region menunjukkan bahwa dari 2 sampel yang berhasil diamplifikasi, keduanya merupakan haplotipe yang berbeda. Selain itu, jumlah situs polimorfik dari lokus 16S dan control region menunjukkan hasil yang berbeda, dengan jumlah situs polimorfik yang lebih tinggi terdapat pada data 16S. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah sampel yang berhasil diamplifikasi pada lokus 16S lebih banyak dibandingkan lokus control region.
70
Gambar 6.13.P. marshallensis (foto oleh G.Allen)
6.13. Clade Pseudochromis litus Pohon filogenetik lokus 16S menunjukkan bahwa clade yang dinyatakan sebagai spesies P. litus dapat dibedakan menjadi dua clade yang berbeda, yang dinyatakan sebagai clade P. litus 1 dan clade P. litus 2. Hasil identifikasi maksimum dari data 16S menunjukkan nilai 98.9% - 100% untuk clade P. litus 1 dan 99.82% - 100% untuk clade P.litus 2; serta jarak genetik kedua clade tersebut adalah 0.006 untuk clade P. litus 1 dan 0 untuk clade P. litus 2. Pemisahan P. litus menjadi dua clade didasarkan atas nilai cut off yang kecil, baik dari nilai identifikasi maksimum maupun dari nilai jarak genetik. Hasil lokus control region juga menunjukkan pemisahan clade diantara kedua kelompok individu tersebut, sedangkan pada hasil COI hanya terdapat data mengenai clade P. litus 2. Hasilcontrol region menunjukkan nilai identifikasi maksimum dan jarak genetik dari masing – masing clade, yaitu clade P. litus 1 (87.85 – 100% dan 0.076) dan untuk clade P. litus 2 (88.89% - 100% dan 0.040). Nilai identifikasi maksimum pada lokus control region berbeda dan mempunyai cut off yang lebih rendah dibandingkan nilai hasil lokus 16S; selain
71
itu, nilai jarak genetik pun menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan hasil dari data 16S. Hal ini disebabkan karena data genetik dari lokus control region lebih variatif dibandingkan hasil lokus 16S. Apabila dibandingkan hasil data genetik antar kedua clade tersebut, data lokus 16S menunjukkan nilai identifikasi maksimum sebesar 97.99% - 98.54% dan jarak genetik 0.015; sedangkan data dari lokus control region menunjukkan nilai identifikasi maksimum sebesar 76.44% - 81.61% dan jarak genetik 0.212. Untuk melihat perbedaan clade ini dengan clade dari spesies lain, maka dibandingkan antara clade P. litus dengan clade P. rutilus yang mempunyai percabangan terdekat pada data lokus 16S. Hasil nilai identifikasi maksimum kedua clade tersebut menunjukkan nilai 97.4% - 98.04% dan jarak genetik 0.020 – 0.026. Pada data lokus control region, clade P.litus monofiletik terhadap clade P. pylei dan clade P. diadema &C. zaps. Nilai identifikasi maksimum P. litus dengan P. pylei adalah 76.05% 80.95% dan jarak genetiknya 0.148-0.222; sedangkan bila dibandingkan antar clade P. litus dengan clade P.diadema & C. zaps, nilai identifikasi maksimumnya adalah
67.08% -
82.29% dan jarak genetiknya 0.245 – 0.328. Percabangan pada lokus control regionmenunjukkan bahwa clade P. litus lebih dekat dengan clade P. pylei. Variasi genetik dari clade P. litus ini mungkin disebabkan karena dalam morfologinya, spesies ini mempunyai variasi morfologi warna yang berbeda (Gambar 6. 14), namun secara umum warna dari spesies ini yang sering ditemukan adalah berwarna kekuning – kuningan sampai abu – abu kebiruan, terdapat gradasi warna sampai keputih – putihan pada bagian bawah perut dengan bintik kuning pada tiap sisik bagian punggung belakang dan basal sirip caudal. Seperti halnya P. fuscus, spesies P. litus juga merupakan spesies polikromatik kompleks, dengan ditemukannya clade yang berbeda yang merupakan spesies yang
72
berkerabat dekat dengan P. litus dan dimungkinkan untuk diidentifikasi dengan nama spesies yang berbeda. Variasi morfologi warna tidak dipengaruhi oleh lokasi geografis. Spesies ini biasanya ditemukan di daerah pantai yang curam dengan substrat bebatuan yang ditumbuhi oleh invertebrata, termasuk diantaranya porifera dan gorgonian; kadang ditemukan juga di dalam gua, dibawah bebatuan besar dan daerah terumbu karang yang bertebing dengan kedalaman 15 – 50 m. Terdistribusi di daerah Kepulauan Sunda Kecil (Bali, Komodo, Flores, dan Wetar), Kepulauan Lucipara, Kepulauan Maluku, Halmahera, dan Papua Barat (Raja Ampat, Fakfak, dan Triton Bay). Ikan ini juga disebut dengan Plain Dottyback, dan diberi nama pertama kali oleh Gill & Randall pada tahun 1998 (Allen & Erdmann, 2012). Sampel P. litus 1 dalam penelitian ini dikoleksi dari perairan Raja Ampat, Misool, Cendrawasih, dan Kepulauan Banda; sedangkan sampel P. litus 2 dikoleksi dari perairan Maluku, Sulawesi Utara dan Raja Ampat (Papua). Dilihat dari variasi genetik pada lokus 16S, clade P. litus 1mempunyai 4 haplotipe dari total 8 sampel; sedangkan pada lokus control region semua sampel merupakan haplotipe yang berbeda. Pada hasil variasi genetik lokus 16S clade P. litus 2, terdapat dua haplotipe dari total 4 sampel; sedangkan pada hasil lokus control region juga terlihat bahwa semua sampel merupakan haplotipe yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa variasi genetik yang ditunjukkan oleh lokus 16S konsisten terhadap hasil yang ditunjukkan oleh lokus control region.
73
(a)
(b)
(c) Gambar 6.14. Variasi morfologi warna pada P. litus (foto oleh G. Allen).
6.14. Clade Pseudochromis wayag Clade ini merupakan salah satu spesies yang menarik karena ditemukan di atap gua di kawasan Wayag, Raja Ampat pada kedalaman 5 – 25m, serta dimungkinkan merupakan spesies yang belum teridentifikasi secara morfologi.Spesies ini sebelumnya diasumsikan sebagai P. litus karena morfologinya yang hampir mirip (Gambar 6. 15) dan dalam bukunya (Reef Fishes of the East Indies), Dr. Mark Erdmann dan Dr. Gerald Allen masih menamai spesies ini sebagai Pseudochromis spp. Oleh karena lokasi ditemukan ikan ini adalah di atap gua, maka ikan ini dinamai dengan Ceiling Dottyback-Wayag. Secara umum, ikan ini mempunyai warna coklat kekuning – kuningan dengan pinggiran sisik berwarna gelap yang
74
membentuk seperti reticulum, sisik gurat sisi berwarna lebih pucat dibandingkan sisik lainnya, serta terdapat bintik berwarna keabu – abuan dengan garis pucat pada operkulum. Apabila dilihat dari hasil genetik, data lokus 16S menunjukkan nilai identifikasi maksimum dan jarak genetik dari ketiga individu sampel di dalam clade tersebut adalah 99.82% - 100% dan 0.001; sedangkan bila dilihat dari data lokus control region, nilai identifikasi maksimum dan jarak genetik menunjukkan nilai 99.56% - 100% dan 0.001. Data dari lokus COI menunjukkan nilai identifikasi maksimum dan jarak genetik berkisar antara 98.32% - 100% dan 0.011. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ketiga individu sampel mempunyai sekuen dengan kemiripan yang tinggi dan dapat dianggap sebagai suatu clade yang sama. Data dari hasil tersebut kemudian dibandingkan dengan data antara clade tersebut dengan clade lainnya yang mempunyai percabangan terdekat, baik pada lokus 16S maupun pada lokus control region dan COI. Data lokus 16S menunjukkan bahwa cladeP. wayag mempunyai percabangan yang paling dekat dengan clade P. pallenotatus; sedangkan data lokus COI menunjukkan percabangan terdekat dengan clade P. litus 2; sementara pada data lokus control region, cladeP. wayag berada pada percabangan terluar dan dekat dengan clade P. typus. Nilai identifikasi maksimum dan jarak genetik antar clade tersebut pada hasil 16S menunjukkan nilai 94.89% - 95.96% dan 0.041; sedangkan data COI menunjukkan nilai 90.78% - 91.09% dan 0.09. Namun, data perbandingan antara kedua clade pada hasil control region menunjukkan nilai identifikasi maksimum yang tidak dapat dibandingkan karena nilai totalnya kecil, sedangkan dari jarak genetik menunjukkan nilai yang tinggi (0,630). Dari hasil genetik, dapat dinyatakan bahwa individu yang termasuk ke dalam clade P. wayag ini bukan
75
termasuk spesies P. litus dan dapat dimungkinkan merupakan spesies baru yang belum teridentifikasi sebelumnya. Sampel ini hanya dikoleksi dari perairan Bali dan Raja Ampat (Papua), dengan jumlah haplotipe yang berbeda bila dibandingkan antar ketiga lokus. Pada lokus COI, semua individu merupakan haplotipe yang berbeda; sementara pada lokus control region dan 16S, menunjukkan terdapat dua individu yang mempunyai sekuens identik.
(a)
(b)
(c) Gambar 6.15. Variasi morfologi warna pada P. wayag. (a) Individu dari lokasi Wayag, Raja Ampat. (b) dan (c) Individu dari lokasi Nusa Penida (foto oleh G. Allen).
76
6.15. Clade Pseudochromis pallenotatus Clade dari spesies ini juga dimungkinkan merupakan suatu spesies yang belum teridentifikasi secara morfologi. Data mengenai spesies ini belum dicantumkan di buku identifikasi ikan Reef Fishes of the East Indies (Allen & Erdmann, 2012), namun dari hasil analisis Dr. Mark Erdmann dan Dr. Gerald Allen, secara morfologi, ikan tersebut merupakan spesies yang belum teridentifikasi secara morfologi. Variasi warna pada spesies ini terlihat pada Gambar 6.16. Data genetik dari lokus 16S menunjukkan bahwa individu sampel dari clade ini mempunyai nilai identifikasi maksimum 99.3% - 100% dan jarak genetik 0.003; sedangkan data mengenai clade ini tidak diperoleh dari lokus control region dan COI karena individu tidak berhasil diamplifikasi. Nilai identifikasi maksimum dan jarak genetik antara clade P. pallenotatus dan clade P.wayag yang mempunyai percabangan terdekat pada hasil 16S menunjukkan nilai 94.89% - 95.96% dan 0.041. Hal ini menunjukkan bahwa kedua clade merupakan clade yang berbeda dan dapat dipisahkan menjadi dua clade, serta dimungkinkan sebagai dua spesies yang berbeda. Analisis variasi genetik menunjukkan bahwa dari 4 sampel yang berhasil dikoleksi dari perairan Bali dan NTT, diketahui bahwa seluruh sampel tersebut merupakan satu haplotipe yang sama dan mempunyai sekuens 16S yang identik. Oleh karena sekuens yang identik tersebut, maka nilai keanekaragaman haplotipe dan nukleotida menunjukkan nilai 0.
77
(a)
(b)
(c) Gambar 6.16. Variasi morfologi warna pada P. pallenotatus. (a) dan (b) Individu yang ditemukan di Nusa Penida, Bali. (c) Individu yang ditemukan di Waituli, Nusa Tenggara Timur (foto oleh G. Allen).
6.16. Clade Pseudochromis pylei Individu sampel yang termasuk ke dalam clade P. pylei mempunyai nilai identifikasi maksimum 99.63% - 100% dan jarak genetik 0.007. Nilai tersebut dilihat dari data lokus 16S, sedangkan pada data lokus control region, nilai identifikasi maksimumnya adalah 92.44% 100% dan jarak genetik 0.042. Hasil lokus COI tidak menunjukkan data mengenai spesies ini karena sampel tidak berhasil diamplifikasi dengan pada lokus tersebut. Dilihat dari perbandingan dengan clade lain pada lokus 16S, clade P. pylei mempunyai percabangan terdekat dengan clade P.wayag dan P. pallenotatus 95.2% - 98.18%
78
dengan jarak genetik 0.043 – 0.080. Hasil pohon filogenetik lokus control region menunjukkan bahwaclade P. pylei mempunyai percabangan terdekat dengan clade P. litus 1 dengan nilai identifikasi maksimum 80% - 87.39% dan jarak genetik 0.148. Hasil analisis juga mengindikasikan bahwa kedua clade (baik pada data lokus 16S maupun control region), merupakan dua clade yang jauh berbeda, dan dapat dikategorikan sebagai clade dari dua spesies yang berbeda. P. pylei disebut juga dengan Yellow-tailed Dottyback, dan diidentifikasi pada tahun 1989 oleh Randall dan McCosker. Dilihat dari morfologi warna, ikan ini mempunyai warna abu – abu pada setengah badan bagian atas dengan bintik abu – abu gelap pada tiap sisik, dan terdegradasi putih pada setengah bagian tubuh bawah; sirip caudal dan bagian pangkal ekor berwarna kuning (Gambar 6.17a). Terdapat individu dengan variasi warna yang sedikit berbeda, seperti yang ditunjukan oleh Gambar 6.17b, pada sampel yang dikoleksi. Distribusi dari ikan ini adalah di kawasan tebing terumbu karang, diantara bebatuan karang yang berdekatan dengan area berpasir di kedalaman 40 – 87 m; dan ditemukan di bagian Indonesia Timur (Flores dan Laut Banda), Halmahera, Palau, dan Papua New Guinea (Allen & Erdmann, 2012). Sampel yang dikoleksi dalam penelitian ini berasal dari perairan Kepulauan Banda, Komodo (NTT), Bali, Raja Ampat (Papua) dan Maluku; dengan total sampel berjumlah 7 individu. Hasil analisis genetik menunjukkan terdapat 4 haplotipe pada lokus 16S, dengan nilai keanekaragaman nukleotida yang kecil (0.00712).
79
(a)
(b)
Gambar 6.17. Variasi morfologi warna pada P. pylei (foto oleh G. Allen).
6.17. Clade Pseudochromis jace, Pseudochromis matahari dan Pseudochromis rutilus Individu sampel yang dimasukkan ke dalam clade P. jace mempunyai nilai identifikasi maksimum 99.11% - 100% dan jarak genetik 0.006 pada data lokus 16S; sedangkan pada lokus control region, nilai identifikasi maksimumnya 84.21% - 100% dengan jarak genetik 0.106. Bila dibandingkan antara clade P. jace, P. matahari dan P. litus; nilai identifikasi maksimum antar ketiga clade tersebut pada lokus 16S adalah 97.09% - 98.17% dengan jarak genetik 0.022 – 0.032; sedangkan bila dilihat dari data lokus control region, nilai identifikasi maksimum dan jarak genetik clade P. jace dengan P. rutilus yang mempunyai percabangan terdekat adalah 75.3% - 78.32% dan 0.323. Hasil tersebut menunjukkan bahwa, walaupun seluruh sampel tersebut terlihat seperti membentuk clade yang monofiletik, namun clade tersebut terdiri dari tiga spesies yang berbeda. P. jace mempunyai warna dominan putih dengan garis berwarna coklat gelap dari ujung moncong sampai mata dan memanjang sampai pangkal sirip dorsal; garis dengan pemanjangan vertikal pendek ini terlihat seperti resleting; sirip dorsal berwarna kuning dengan garis coklat gelap disepanjang bagian pangkal. Oleh karena mempunyai bagian yang
80
terlihat seperti reslesting, maka ikan spesies P. jace juga dikenal dengan Zippered Dottyback. Spesies ini diidentifikasi oleh Allen, Gill, & Erdmann pada tahun 2008. Individu yang berada dalam clade P. jace mempunyai beberapa variasi warna yang berbeda seperti terlihat pada Gambar 6.18. Spesies ini sering ditemukan di kedalaman 38 – 52 m, di kawasan Indonesia Timur (Triton Bay & Pulau Batanta, Papua Barat; serta di Halmahera) (Allen & Erdmann, 2012). Sampel P. jace dalam penelitian ini dikoleksi dari perairan Raja Ampat (Papua) dan Komodo (NTT). Variasi genetik dari clade ini ditunjukkan dari nilai keanekaragaman haplotipe yang tinggi dan keanekaragaman nukleotida yang rendah, yang ditunjukkan dari data lokus 16S dan control region. Pada hasil kedua lokus tersebut, terdapat perbedaan jumlah haplotipe, dimana pada lokus 16S hanya terdapat 2 haplotipe dari total 4 sampel; sedangkan pada lokus control region terlihat bahwa semua sampel (4 individu) merupakan haplotipe yang berbeda. P. matahari mempunyai warna coklat kekuning – kuningan pada bagian kepala atas dan bagian anterodorsal, warna kuning pada bagian kepala bawah dan dada, gradasi warna merah sampai merah muda pada bagian tengah tubuh dan ungu keabu – abuan pada bagian posterior (termasuk sebagian besar sirip caudal); serta terdapat cincin semisirkular pada bagian bawah mata (Gambar 6.19). Spesies P. matahari dapat ditemukan di dalam Xetospongia serta di tebing terumbu karang pada kedalaman 32 – 45 m. Ikan ini ditemukan hanya di Halmahera dan Raja Ampat, Papua. Ikan ini juga disebut dengan Solar Dottyback, dan diidentifikasi pertama kali oleh Gill, Erdmann, & Allen, pada tahun 2009 (Allen & Erdmann, 2012). P. rutilusmempunyai warna coklat pada bagian kepala dan tubuh bagian atas, terdapat gradasi warna oranye kekuningan pada bagian tengah tubuhnya serta terdapat bagian
81
berwarna putih di bagian ventral; terdapat barisan bintik berwarna orange kuning yang sejajar dengan sisik pada bagian atas tubuhnya, serta terdapat corak keabu – abuan pada bagian operkulum dengan bagian garis kuning (Gambar 6.20). Morfologi warna yang didominasi oleh warna oranye tersebut menyebabkan spesies ini diberi nama Orange-spotted Dottyback oleh Gill, Allen, & Erdmann pada tahun 2012. Oleh karena morfologi warnanya yang serupa dengan P. litus, spesies P. rutilus ini sering salah diidentifikasi sebagai P.litus ataupun sebaliknya. P. rutilus merupakan spesies ikan dari famili Pseudochromidae yang ditemukan hanya di perairan Nusa Penida, Bali; dan ditemukan di kedalaman 40 – 70 m (Allen & Erdmann, 2012).
(a)
(b)
(c) Gambar 6.18. Variasi morfologi warna pada P. jace. (a) Ditemukan di Triton Bay, Papua. (b) Ditemukan di Pulau Komodo. (c) Ditemukan di Raja Ampat, Papua (foto oleh G. Allen).
82
Gambar 6.19. Morfologi warna pada P. matahari (foto oleh G. Allen).
Gambar 6.20. Morfologi warna pada P. rutilus (foto oleh G. Allen).
6.18. Clade Cypho zaps Data mengenai cladeC. zaps diperoleh dari hasil lokus 16S dan control region. Data dari lokus 16S diperoleh dari dua individu, sedangkan data dari lokus control region hanya diperoleh dari satu individu sampel. Nilai identifikasi maksimum pada clade tersebut dari lokus 16S adalah 98.26% - 100% dan jarak genetik 0.016. Hasil tersebut menunjukkan bahwa spesies ini mempunyai variasi genetik yang tinggi di dalam satu spesiesnya. Hal tersebut
83
dilihat dari nilai jarak genetik yang hampir mencapai 1% pada lokus 16S yang merupakan lokus yang sangat conserved (sangat jarang mengalami perubahan atau mutasi nukleotida). Hasil juga menunjukkan bahwa hanya ditemukan satu spesies dari genus Cypho dari dua genus Cypho yang sudah diidentifikasi sebelumnya (Allen & Erdmann, 2012), sedangkan hasil pohon filogenetik 16S menunjukkan bahwa percabangan antara clade C. zaps, L. cyclopthalmus, serta clade genus Pseudochromis, Manonichtys&Pictichromis hampir terlihat seperti percabangan politomi, karena percabangan tersebut mempunyai probabilitas posterior yang sangat kecil. Percabangan tersebut menunjukkan bahwa pemisahan antar clade tersebut sangat dekat. Hasil percabangan dari lokus control region berbeda dengan percabangan dari hasil lokus 16S, dengan percabangan pada lokus control region menunjukkan bahwa clade C. zaps monofiletik dan bifurcate (bercabang dua) terhadap clade Pictichromis diadema. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan karakter pada tiap lokus saat dianalisis dengan menggunakan analisis Bayesian. Apabila dilihat dari karakter morfologi warna, ikan jantan berwarna oranye dengan warna merah pada bagian anterior, dan terdapat gradasi warna dari warna sedikit merah ke ungu pada bagian posterior dengan bagian tepi yang halus dan sisik yang berwarna biru; sedangkan ikan betina berwarna abu – abu keunguan pada bagian kepala dan bergradasi dari warna coklat atau merah pada bagian posterior dengan garis berwarna biru oranye pada bagian pipi serta batas sisik berwarna biru pada bagian anterodorsal tubuh (Gambar 6. 21) Ikan ini banyak ditemukan di kawasan terumbu karang dengan kedalaman 5 – 35 m. Distribusinya tersebar di Indonesia (Papua barat, Halmahera, Sulawesi utara), Filipina, Taiwan, dan Pulau Ryukyu. Spesies ini juga dikenal dengan Chequered Dottyback dan
84
diidentifikasi pertama kali pada tahun 2004 oleh Gill (Allen & Erdmann, 2012). Sampel yang dikoleksi dalam penelitian ini berasal dari wilayah Maluku dan Raja Ampat. Hasil analisis variasi genetik menunjukkan terdapat dua haplotipe dari dua sampel yang dikoleksi, sehingga menimbulkan keanekaragaman haplotipe bernilai 1 dan keanekaragaman nukleotida dengan nilai kecil (tidak terdapat banyak perbedaan nukleotida antar kedua haplotipe.
(a)
(b)
Gambar 6.21. Morfologi warna pada ikan betina (a) dan ikan jantan (b) spesies C. zaps (foto oleh G. Allen). 6.19. Clade Labracinus cyclopthalmus Pada hasil pohon filogenetik lokus 16S, spesies ini berada pada percabangan terluar dari cladesubfamili Pseudochrominae, serta mempunyai percabangan yang paling dekat dengan Cypho zaps. Nilai identifikasi maksimum L. cyclopthalmus dengan clade C.zaps adalah 86.81% - 87.85% dan jarak genetik 0.122. Menurut hasil dari pohon filogenetik lokus control region, L. cyclopthalmus dan clade Cypho zaps mempunyai percabangan yang parafiletik dengan nilai identifikasi maksimum 70.73% dan jarak genetik 0.366. Tidak diperoleh data mengenai L. cyclopthalmus dari hasil lokus COI. Spesies ini mempunyai berbagai variasi warna yang berbeda, terutama pada ikan jantan dan betina (Gambar 6.22). Ikan jantan mempunyai warna kecoklatan pada bagian
85
kepala, biasanya dengan garis berwarna biru yang memanjang sampai ke bagian anterior tubuh, serta terdapat bintik – bintik berwarna merah yang menutupi sebagian besar tubuh bagian anterior dan pada bagian posterior tubuh & sirip caudal berwarna coklat. Ikan betina pada seluruh bagian tubuhnya berwarna merah atau terdapat sedikit warna merah muda atau biru pada bagian posterior dengan 8 – 10 garis pendek pada tiap sisi tubuh, serta terdapat garis berwarna biru pada bagian kepala; biasanya ikan betina mempunyai kepala yang berwarna kecoklatan (kadang pada bagian anterior) dan tubuh yang berwarna merah muda. Pada kedua ikan jantan dan betina, seringkali mempunyai dua atau lebih garis samar pada bagian sisi tubuh; jika hanya terdapat dua garis yang terlihat maka ini hanya terdapat di bagian anterior di belakang sirip pectoral. Oleh karena warna ikan ini yang berwarna merah, maka spesies ini diberi nama Red Dottyback dan diidentifikasi pertama kali oleh Muller & Troschel, pada tahun 1848. Populasi spesies ini di Nusa Penida, dikatakan menunjukkan spesies yang berbeda karena tumbuh dengan ukuran yang lebih kecil daripada ukuran yang sering ditemukan (sekitan 12 cm TL), dan ikan betina berwarna merah gelap dengan adanya bintik gelap pada tiap bagian sisi, yang terlihat seperti membentuk garis horizontal dan mirip dengan garis gurat sisi (Gambar 6.22). Sebagian besar spesies ikan ini banyak ditemukan di kawasan perairan Samudra Hindia Timur (kecuali perairan Andaman), bagian Timur sampai bagian Utara Papua Nugini, bagian Selatan sampai Barat laut Australia dan Pulau Ryukyu di Jepang (Allen & Erdmann, 2012).
86
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
Gambar 6.22. Variasi warna pada spesies L. cyclopthalmus. s. (a). Variasi warna pucat pada ikan betina. (b) Variasi warna merah pada ikan betina. (c) Variasi warna orange pada ikan betina. (d) Variasi warna pada ikan jantan yang ditemukan di Filipina. (e) Variasi warna pada ikan jantan yang ditemukan di Komodo (foto oto oleh G. Allen).
87
6.20. Clade Lubbockichtys multisquamatus Data sampel yang teridentifikasi secara genetik sebagai L. multisquamatus, hanya diperoleh dari data lokus 16S, dan satu sampel berhasil diamplifikasi pada lokus COI. Pada data lokus 16S, terdapat 11 sampel yang diduga sebagai spesies ini, namun dari percabangan pohon filogenetik terlihat bahwa sampel tersebut terpisah menjadi dua clade. Pada hasil, kedua clade tersebut diberi nama clade spesies L. multisquamatus dan L. cendrawasih. Kedua clade ini dibedakan karena dilihat dari nilai identifikasi maksimum serta jarak genetik antar kedua clade tersebut yang berkisar 96.69% - 96.89% dan 0.028. Sedangkan apabila dilihat nilai identifikasi maksimum dan jarak genetik dalam masing – masing clade, cladeL. multiquamatus mempunyai nilai 99.48% - 100% dengan jarak genetik 0.002; dan untuk cladeL. cendrawasih mempunyai nilai 100% dengan jarak genetik 0. Oleh karena nilai antar clade-nya tinggi, maka dapat dikatakan bahwa kedua clade tersebut merupakan clade dari dua spesies yang berbeda. Pada L. multisquamatus, morfologi warna yang terlihat pada spesies ini adalah mempunyai warna yang bervariasi antara merah, coklat kemerah – merahan, ungu, atau merah muda, biasanya terdapat warna kuning pada bagian kepala, dada, perut, dan pada bagian kepala bawah biasanya berwarna merah muda, dengan sirip yang berwarna transparan sampai merah atau kuning (Gambar 6.23a). Spesies ini disebut juga dengan Many-scaled Dottyback, dan diidentifikasi oleh Allen pada tahun 1987. Dari data genetik dan morfologi, dapat dinyatakan bahwa spesies L. multisquamatus merupakan spesies polikromatik, dengan dua clade yang berbeda. Ikan ini ditemukan di kedalaman 12 – 60 m, namun seringkali ditemukan di kedalaman lebih dari 20 m; dengan distribusi di kawasan perairan Indonesia, Malaysia
88
(Sabah), Filipina, Papua New Guinea, dan Kepulauan Solomon, dan terdapat juga di kawasan Great Barrier Reef, Pulau Christmas dan Kepulauan Cocos-Keeling. Clade lain yang dinyatakan sebagai L. cendrawasih merupakan salah satu varietas dari spesies Lubbockichtys yang hanya ditemukan di kawasan Teluk Cendrawasih, Papua. Dilihat dari morfologi warna, ikan jantan dan betina dari spesies ini mempunyai warna yang berbeda. Ikan jantan mempunyai warna dominan coklat dengan warna merah muda pada bagian kepala dan anterodorsal tubuh (Gambar 6.23b); sedangkan ikan betina berwarna merah dengan gradasi merah muda dan warna kuning pada pangkal dan sirip caudal (Gambar 6.23c). Spesies ini biasanya ditemukan pada kedalaman 40 – 70 m (Allen & Erdmann, 2012). Dalam penelitian ini, sampel yang termasuk ke dalam clade L. multisquamatus berasal dari Komodo (NTT) dan Papua (Misool dan Raja Ampat); sedangkan sampel yang termasuk ke dalam clade L. cendrawasih berasal dari Cendrawasih (Papua) dan Maluku. Variasi genetik pada lokus 16S menunjukkan bahwa sampel clade L. multisquamatusterdiri dari 5 haplotipe sedangkan clade L. cendrawasih terdiri dari satu haplotipe; dengan nilai keanekaragaman haplotipe dan nukleotida yang menunjukkan nilai 0 karena sekuens yang identik pada clade L. cendrawasih.
89
(a)
(b)
(c)
Gambar 6.23. (a) L. multisquamatus. (b) Ikan L. cendrawasih jantan.(c) Ikan L. cendrawasih betina (foto oleh G. Allen).
6.21. Clade Pseudoplesiops typus Clade ini merupakan salah satu spesies yang termasuk ke dalam genus Pseudoplesiops, namun dilihat dari percabangan pohon filogenetik lokus 16S, spesies ini parafiletik terhadap spesies lain dalam genus yang sama (P. rosae dan P. collare). Walaupun mempunyai percabangan yang parafiletik, pada pohon filogenetik terlihat bahwa percabangan dari clade P. typus mempunyai dukungan probabilitas posterior yang rendah (0.41) yang memungkinkan bahwa terdapat kemungkinan perubahan percabangan apabila sampel Pseudoplesiops dan Amsichtys yang dikumpulkan ditambah. Individu sampel yang termasuk ke dalam cladeP. typus mempunyai nilai identifikasi 100% dan jarak genetik 0; dan apabila dibandingkan dengan spesies A. knightii yang
90
monofiletik terhadap clade P.typus, nilai identifikasi maksimum dan jarak genetiknya adalah 88.95% dan 0.088. Apabila dibandingkan cladeP. typus dengan clade P. rosae dan P. collare, nilai identifikasi maksimum dan jarak genetiknya adalah 86.78% - 87.83% dan 0.08 - 0.096. Dilihat dari karakter morfologi, spesies P. typus mempunyai dua variasi warna (Gambar 6.24), yaitu variasi warna merah dan kuning. Pada variasi warna merah, warna tubuh didominasi oleh warna merah termasuk bagian sirip median; sedangkan pada variasi warna kuning, didominasi oleh warna abu – abu terang dengan warna kuning pada sirip median dan warna kuning pada kepala bagian bawah dan pangkal sirip pectoral. Kedua variasi ini mempunyai warna garis biru pada bagian sirip dorsal dan anal, warna putih pada bagian sirip pelvis, serta terdapat warna cincin hitam di sekitar mata. Spesies ini juga dikenal dengan nama Ring-eyed Dottyback karena adanya cincin hitam di sekitar mata. Spesies ini diidentifikasi pertama kali oleh Bleeker pada tahun 1858. Spesies ini diketahui mempunyai distribusi di sekitar kawasan perairan Indonesia Timur (Komodo dan timur laut Kalimantan), Malaysia (Sabah), Tenggara Filipina, Papua New Guinea, dan Kepulauan Solomon, Great Barrier Reef, Laut Coral, dan Makronesia; serta diketahui menghuni kedalaman 6 – 20 m (Allen & Erdmann, 2012). Sampel P. typus dalam penelitian ini dikoleksi dari daerah Papua (Misool, Cendrawasih, dan Fakfak). Hasil analisis variasi genetik menunjukkan bahwa ketiga sampel menunjukkan satu haplotipe yang sama, sehingga dapat dikatakan bahwa sampel yang dikoleksi merupakan individu dengan sekuens yang identik.
91
(a)
(b)
Gambar 6.24. Variasi warna pada P. typus. (a) Variasi warna merah. (b) Variasi warna kuning (foto oleh G. Allen).
6.22. Clade Amsichtys knightii Pada sampel yang dikoleksi, hanya satu individu yang termasuk ke dalam spesies A. knightii, dan berhasil diamplifikasi hanya pada lokus 16S. Spesies ini mempunyai nilai identifikasi maksimum 88.95% dan jarak genetik 0.088, bila dibandingkan dengan clade P. typus yang mempunyai percabangan terdekat. Dilihat dari morfologi warna, spesies ini mempunyai dua variasi warna, yaitu variasi warna kuning dan coklat (Gambar 6.25). Ikan dengan variasi coklat biasanya mempunyai warna merah muda pada bagian anterior mulut, area kuning disekitar mata serta warna kuning pada sirip caudal. Spesies ikan ini ditemukan di kawasan perairan Indonesia Timur (Komodo dan perairan Timur Sulawesi), Filipina, Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon; Great Barrier Reef dan Coral Sea. Ikan ini merupakan salah satu spesies cryptic (sulit untuk dibedakan dengan spesies lain dan berukuran kecil) serta hanya ditemukan di kedalaman 10 – 30 m, namun kadangkala ditemukan di tempat yang dangkal. Nama
92
umumdari spesies ini adalah Knight’s Dottyback, yang diidentifikasi oleh Alen pada tahun 1987 (Allen & Erdmann, 2012).
(a)
(b)
Gambar 6.25. Variasi morfologi warna pada A. knightii. (a) Variasi warna kuning. (b) Variasi warna coklat (foto oleh G. Allen).
6.23. Clade Pseudoplesiops rosae dan P. collare Hasil mengenai clade P. rosae dan P. collare hanya diperoleh dari lokus 16S, sementara hasil untuk lokus control region dan COI tidak berhasil diamplifikasi. Lokus 16S menunjukkan bahwa tiga individu sampel termasuk ke dalam satu clade yang sama, yaitu clade dari spesies P. rosae. Nilai identifikasi maksimum dan jarak genetik dalam satu clade tersebut adalah 99.82% - 100% dan 0; sedangkan nilai identifikasi maksimum dan jarak genetik antara cladeP. rosae dan P. collare adalah 90.24% dan 0.080. Spesies P. rosae mempunyai morfologi warna dengan dominasi warna coklat kemerah – merahan dan tanda agak gelap pada bagian posterior mata, serta terdapat tanda kebiru – biruan tipis pada bagian sirip dorsal dan sirip anal (Gambar 6.26a). Ikan ini dinyatakan sebagai spesies yang cryptic dan seringkali ditemukan di celah terumbu karang pada kedalaman 3 – 20 m, di kawasan perairan Andaman sampai Mikronesia dan Samoa, tersebar sampai ke Australia Barat dan Great Barrier Reef serta Taiwan dan Ryukyu. Spesies
93
ini juga dikenal dengan nama Rose Island Dottyback, dan diberi nama oleh Schultz pada tahun 1943 (Allen & Erdmann, 2012).SampelP. rosaedalam penelitian ini berasal dari Papua (Fakfak dan Misool). Analisis variasi genetik lokus 16S dari ketiga sampel menunjukkan bahwa sampel tersebut terdiri dari 2 haplotipe yang berbeda, sehingga dapat dinyatakan bahwa terdapat dua sampel yang mempunyai sekuens 16S yang identik. Perbedaan dari kedua haplotipe ini disebabkan karena adanya satu situs yang polimorfik. SpesiesP. collare mempunyai morfologi warna yang didominasi oleh warna merah muda keabu – abuan pucat sampai warna kuning pucat pada bagian badan, serta terdapat garis keputih – putihan yang lebar pada bagian posterior-dorsalis cranium sampai ujung posterior mata dan dan diantaranya terdapat garis berwarna kecoklatan ataupun merah; dengan garis pertama dimulai dari bagian posterior-dorsalis craniumsampai ujung atas mata dan garis kedua dimulai dari sirip dorsal ke bagian pectoral. Terdapat pula sebuah garis keputih – putihan pada bagian tengah dorsal dari dahi sampai ke bagian moncong. Sirip pelvik berwarna putih dan sangat panjang serta berfilamen (Gambar 6.26b dan c). Ikan ini ditemukan ditepian yang berpasir di kawasan terumbu karang, biasanya di sekitar area tutupan bebatuan yang rendah di kedalaman 30 – 70 m. Spesies ini diketahui hanya ditemukan di Indonesia (Bali, Flores, dan Papua Barat), dan dikenal juga dengan nama Collared Dottyback serta diidentifikasi oleh Gill, Randall & Edward pada tahun 1991 (Allen & Erdmann, 2012).
94
(a)
(b)
(c)
Gambar 6.26. (a) Morfologi warna pada spesies P. rosae. (b) Variasi warna coklat pada P. collare. (c) Variasi warna kuning pada P. collare (foto oleh G. Allen).
Keseluruhan hasil pohon filogenetik menunjukkan bahwa terdapat beberapa cladedari spesies – spesies yang ditemukan, yang mempunyai percabangan berbeda pada lokus 16S, control region dan COI; hal ini dapat disebabkan karena tingkat variasi yang berbeda dari tiap lokus sehingga menimbulkan perbedaan pola percabangan dari tree yang paling optimal yang dibentuk saat analisis Bayesian. Pada percabangan pohon filogenetik yang dibentuk, terdapat beberapa cabang yang hanya didukung oleh nilai probabilitas posterior yang kecil, hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya jumlah sampel yang membentuk percabangan tersebut (Mount, 2008).
95
Hasil analisis variasi genetik juga menunjukkan hasil yang konsisten, dimana nilai keanekaragaman haplotipe menunjukkan nilai yang tinggi dan keanekaragaman nukleotida menunjukkan nilai yang rendah. Tingginya nilai keanekaragaman haplotipe disebabkan karena hampir seluruh sampel merupakan haplotipe yang berbeda; dan rendahnya nilai keanekaragaman nukleotida disebabkan karena kecilnya nilai situs polimorfik antar tiap sampel dalam masing – masing clade. Kecilnya keanekaragaman nukleotida juga menunjukkan bahwa masing – masing haplotipe dalam satu clade yang sama, mempunyai perbedaan nukleotida yang sedikit.
96
BAB VII KESIMPULAN
Berdasarkan
analisis
filogenetik
dariDNA
mitokondria
pada
famili
Pseudochromidae, ditemukan total 30 clade yang termasuk ke dalam 2 subfamili, 8 genus dan 25 spesies yang sudah teridentifikasi secara morfologi. Dari hasil tersebut, spesies yang sudah teridentifikasi secara morfologi dan didukung oleh data genetik, diantaranya diantaranya Pseudochromis ransonneti, P. perspicillatus, P. erdmanni, P. ammeri, P. cyanotaenia, P. elongatus, P. bitaeniatus, P. andamanensis, P. pylei, P. jace, P. matahari, P. rutilus, Pictichromis paccagnellae, P. diadema, Manonichtys splendens,
Cypho
zaps,
Labracinus
cyclopthalmus,
Amsichtys
knightii,
Pseudoplesiops typus, P. rosae dan P. collare. Sementara, beberapa sampel yang termasuk dalam cladePseudochromis fuscus 1, P. fuscus 2, P. marshallensis, P. litus1, P. litus 2, P. wayag, P. pallenotatus, Lubbockichtys multisquamatus dan L. cendrawasih masih memerlukan kajian lebih lanjut untuk konfirmasi spesiessecara genetik dan morfologi; dan beberapa diantaranya dapat diajukan sebagai spesies baru.
97
DAFTAR PUSTAKA
Akaike, H. 1974. A new look at the statistical model identification. IEEE Trans. Autom. Control 19 (6), 716-723. Allen, G.R. 2008. Conservation Hotspot of Biodiversity and Endemism for IndoPasific Coral Reef Fishes. Aquatic Conserv: Mar.Freshw.Ecosyst. 18: 541556. Allen, G.R. & M.V. Erdmann. 2012. Reef Fishes of the East Indies. Vol. I-III. Tropical Reef Research. Perth, Australia. Allen, G.R. & T.B. Werner. 2002. Coral Reef Fish Assessment in the ‘Coral Triangle’ of Southern Asia. Environmental Biology of Fishes. 65: 209-214. Allen, G., R. Steene, P. Humann & N. Deloach. 2003. Reef Fish Identification; Tropical Pacific. New World Publications, Inc. USA, pp.268-277. Allendorf,F.W., P.A. Hohenlohe & G. Luikart. 2010. Genomic and the Future of Conservation Genetics. Nature Reviews:Genetics. 11: 697-709. Barber, P.H., M.V. Erdmann & S.R. Palumbi. 2006. Comparative Phylogeography of Three Codistributed Stomatopods: Origins and Timing of Regional Lineage Diversification in the Coral Triangle. Evolution. 60(9): 1825-1839. Bernardi, G., S.J., Holbrook, R.J. Schmitt, N.L. Crane, & E. DeMartini. 2002. Species boundaries, populations and colour morphs in the coral reef three-spot damselfish (Dascyllus trimaculatus) species complex. Proceedings. Biological Sciences / The Royal Society. 269: 599–605. Briggs, J.C. 2005. The Marine East Indies: Diversity and Speciation. Journal of Biogeography. 32: 1517-1522. Briggs, J.C. 2007. Marine Longitudinal Biodiversity: Causes and Conservation. Diversity and Distribution. 13: 544-555. Bucklin,A., D.Steinke, & L.Blanko-Bercial. 2011. DNA Barcoding of Marine Metazoa. Annu. Rev.Mar.Sci. 3:471-508. Carpenter, K.E., M. Abrar, G. Aeby, R.B. Aronson, S. Banks, A. Bruckner, A. Chiriboga, J. Cortes, J.C. Delbeek, L. DeVantier, G.J. Edgar, A.J. Edwards, D. Fenner, H.M. Guzman, B.W. Hoeksema, G. Hodgson, O. Johan, W.Y. Licuanan, S.R. Livingstone, E.R. Lovell. J.A. Moore, D.O. Obura, D. Ochavillo, B.A. Polidoro, W.F. Precht, M.C. Quibilan, C. Reboton, Z.T. Richards, A.D. Rogers, J. Sanciangco, A. Sheppard, C. Sheppard, J. Smith, S. Stuart, E. Turak, J.E.N. Veron, C. Wallace, E. Weil & E. Wood. 2008. One Third of Reef Building Corals Face Elevated Extinction Risk from Climate Change and Local Impacts. Sciences. 321: 560-563. Callum, M.R., C.J. McClean, J.E.N.Veron, J.P.Hawkins, G.R.Allen, D.E.McAllister, C.G. Mittermeier, F.W. Schueler, M.Spalding, F.Wells, C.Vynne, &
98
T.B.Werner. 2002. Marine Biodiversity Hotspots and Conservation Priorities for Tropical Reefs. Sciences. 295: 1280-1284. Case, R.J., Y. Boucher, I. Dahlloff, C. Holmstrom, W.F. Doolittle & S. Kjelleberg. 2007. Use of 16S rRNA and rpoB Genes as Molecular Markers for Microbial Ecology Studies. 2007. Applied and Environmental Microbiology. 73 : 278288. Çiftci, Y., & I. Okamus. 2003. Fish Population Genetics and Molecular Markers : IIMolecular Markers and Their Applications in Fisheries and Aquaculture. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences. 3:51–79. DeBoer, T.S., M.D. Subia, Ambariyanto, M.V. Erdmann, K. Kovitvongsa & P.H. Barber. 2008. Phylogeography and Limited Genetic Connectivity in the Endangered Boring Giang Clam across the Coral Triangle. Conservation Biology. 22 (5): 1255-1266. DiBattista, J.D., L.A. Rocha, M.T. Craig, K.A. Feldheim & B.W. Bowen, 2012. Phylogeography of two closely related Indo-Pacific butterflyfishes reveals divergent evolutionary histories and discordant results from mtDNA and microsatellites. The Journal of Heredity. 103(5): 617–29. Drew, J.A., G.R. Allen, & M.V. Erdmann. 2010. Congruence between mitochondrial genes and color morphs in a coral reef fish: population variability in the IndoPacific damselfish Chrysiptera rex (Snyder, 1909). Coral Reefs. 29: 439–444. Drummond, A.J. & A. Rambaut. 2007. BEAST: Bayesian evolutionary analysis by sampling tree. BMC Evolutionary Biology. 7:214. Drummond, A.J., A. Rambaut, & M. Suchard. 2013. Bayesian Evolutionary Analysis Sampling Trees. BEAST v1.7.5. Eschmeyer, W.N. & J.D. Fong. 2011. Pisces. In Z.-Q. Zhang(ed), Animal biodiversity: An outline of higher-level classification and survey of taxonomic richness. Zootaxa 3148. (Online). Fotedar, R. & B. Phillips. 2011. Recent Advances and New Species in Aquaculture. Blackwell Publ. Ltd. UK, pp. 277-290. Guindon, S. & O. Gascuel. 2003. A Simple, fast and acuurate method to estimate large phylogenies by maximum-likelihood. Systematic Biology 52: 696-704. Hall, B.G. 2008. Phylogenetic Trees Made Easy (A How To Manual) 3rd edition. Sinauer Associates Inc. Publ. USA. Hubert, N., C.P. Meyer, H.J. Bruggemann, F. Guerin, R.J.L. Komeno, B. Espiau, R. Causse, J.T. Williams & S. Planes. 2012. Cryptic Diversity in Indo-Pacific Coral Reef Fishes Revealed by DNA-Barcoding Provides New Support to the Centre of Overlap Hypothesis. PloS ONE. 7(3). Hoegh-Guldberg, O., H. Hoegh-Guldberg, J.E.N. Veron, A. Green, E.D. Gomez, J. Lough, M. King, Ambariyanto, L. Hansen, J. Cinner, G. Dews, G. Russ, H.Z. Schuttenberg, E.L. Peñaflor, C.M. Eakin, T.R.L. Christensen, M. Abbey, F. Areki, R.A. Kosaka, A. Tewfik, & J. Oliver. 2009. The Coral Triangle and Climate Change: Ecosystems, People and Societies at Risk. WWF Australia, Brisbane. 276: 1-40.
99
Hurst, G.D.D., & F.M. Jiggins. 2005. Problems with mitochondrial DNA as a marker in population, phylogeographic and phylogenetic studies: the effects of inherited symbionts. Proceedings. Biological Sciences / The Royal Society. 272, 1525–1534. Ivanova, N.V., T.S. Zemlak, R.H.Hanner & P.D.N.Hebert. 2007. Barcoding; Universal Primer Coctails for Fish DNA Barcoding. Molecular Ecology Notes. Jornal compilation. Blackwe.. Publ. Ltd. Klug, W.S., M.R. Cummings., C.A. Spencer and M.A. Palladino. 2012. Concept of Genetics. 10th edition. Pearson Benjamin Cummings. USA Knitweiss, L., W.E. Kraemer, J. Timm & M. Kochzius. 2009. Genetic Structure of Heliofungia actiniformis (Scleractinia: Fungiidae) Populations in Indo-Malay Archipelago: Implications for Live Coral Trade Management Efforts. Conservation Genetics. 10: 241-249. Knowlton, N., R.E. Brainard, R. Fisher, M. Moews, L. Plaisance & M.J. Caley. 2010. Life in the World’s Ocean. Blackwell Publ. Ltd. USA, 65-77. Lee, W., J. Conroy, W.H. Howell & T.D. Kocher. 1995. Structure and Evolution of Teleost Mitochondrial Control Regions. J.Mol Evol. 41: 54-66. Leray, M., N. Agudelo, S.C. Mills & C.P. Meyer. 2013. Effectiveness of Annealing Blocking Primers versus Restriction Enzymes for Characterization of Generalist Diets: Unexpected Prey Revealed in the Gut Contents of Two Coral Reef Fish Species. PloS ONE. 8(4). Librado, P. & J. Rozas. 2009. DnaSP v5: A software for comprehensive analysis of DNA polymorphism data. Bioinformatics. 25, 1451-1452. Malay, M.D & G. Paulay. 2009. Peripatric Speciation Derives Diversification and Distributional Pattern of Reef Hermit Crabs (Decapoda: Diogenidae: Calcinus). Evolution. 1-29. McMillan, W.O., & S.R. Palumbi. 1997. Rapid rate of control-region evolution in Pacific butterflyfishes (Chaetodontidae). Journal of Molecular Evolution.45:473–484. Messmer, V., L. van Herwerden, P.L. Munday & G.P. Jones. 2005. Phylogeography of colour polymorphism in the coral reef fish Psudochromis fuscus, from Papua New Guinea and the Great Barrier Reef. Coral Reefs. 24:392–402. Mount, D.W. 2008. Choosing a Method for Phylogenetic Prediction. In Cold Spring Harbor Protocols. Cold Spring Harbor Laboratory Press, pp .1–3. Parker, P.G., A.A. Snow, M.D. Schug, G.C. Booton & P.A. Fuerst. 1998. What Molecules Can Tell Us About Populations: Choosing and Using A Molecular Marker. Ecology. 79 (2): 361-382. Plaisance, L., N. Knowlton, G. Paulay & C. Meyer. 2009. Reef-associated crustacean fauna: biodiversity estimates using semi-quantitative sampling and DNA barcoding. Coral Reefs. 28 (4): 977-986. Plaisance, L.M.J. Caley, R.E. Brainard & N. Knowlton. 2011. The Diversity of Coral Reefs: What are We Missing? PLosONE. 6 (10): 1-7.
100
Posada, D. 2008. In Press, jModelTest: Phylogenetic Model Averaging. Molecular Biology and Evolution. Rambaut, A. & A.J. Drummond. 2007. Tracer v1.4. Available from:
Rambaut, A. 2009. FigTree. Tree Figure Drawing Tool Version 1.3.1. Institute of Evolutionary Biology, University of Edinburgh. Read, C.I., D.R. Bellwood, & L. van Herwerden. 2006. Ancient origins of IndoPacific coral reef fish biodiversity: a case study of the leopard wrasses (Labridae: Macropharyngodon). Molecular Phylogenetics and Evolution. 38(3): 808–19. Sala, E., & N. Knowlton. 2006. Global Marine Biodiversity Trends. Annu.Rev.Environ.Resour. 31:93-122. Sembiring, A., N.P.D., Pertiwi, A. Mahardini, R. Wulandari, E.M. Kurniasih, A.W. Kuncoro, N.K.D. Cahyani, A.W. Anggoro, M. Ulfa, H. Madduppa, K.E. Carpenter, P.H. Barber & G.N. Mahardika. 2015. Short Communication DNA barcoding reveals targeted fisheries for endangered sharks in Indonesia. Fisheries Research. 164: 130–134. Shearer, T.L. & M.A. Coffroth. 2008. Barcoding Corals: Limited by Interspecific Divergence, not Intraspecific Variation. Molecular Ecology Resources. 8:247255. Steinke, D., T.S. Zemlak, & P.D.N. Hebert. 2009. Barcoding Nemo: DNA-Based Identifications for the Ornamental Fish Trade. PlosOne. 4 : 1-5. Streelman, J.T. & S.A Karl. 1997. Reconstructing labroid evolution with single-copy nuclear DNA. Proc. R. Soc. Lond. B. 264: 1011-1020. Tamura, K., D. Peterson, N. Peterson, G. Stecher, M. Nei & S. Kumar. 2011. MEGA5: Molecular Molecular Evolutionary Genetis Analysis using Maximum Likelihood, Evolutionary Distance, and Maximum Parsimony Methods. Molecular Biology and Evolution, 1–24. Thacker, C.E. Molecular Phylogeny of the Gobioid Fishes (Teleostei: Perciformes: Gobioidei). 2003. Molecular Phylogenetics and Evolution. 26 : 354-368. Walsh, P.S., D.A. Metzger & R. Higuchi. 1991. Chelex-100 as a medium for simple extraction of DNA for PCR based typing from forensic material. Biotechniques10: 506-513. Westneat, M.W.& M.E. Alfaro. 2005. Phylogenetic Relationship and Evolutionary History of the Reef Fish Family Labridae. Molecular Phylogenetics and Evolution. 36 : 370-390. Willet, C.E., J.J. Cherry & L.A. Steiner. Characterization and Expression of the Recombination Activating Genes (rag1 and rag2) of Zebrafish. 1995. Immunogenetics. 45 : 394-404.
101
LAMPIRAN
Lampiran 1. Jarak genetik antar spesies pada lokus 16S.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
P_cyanotaenia P_elongatus P_bitaeniatus P_perspicillatus P_matahari P_wayag P_litus_02 P_jace P_litus_01 P_andamanensis Picti_paccagnellae P_fuscus_01 P_marshallensis P_fuscus_02 L_multisquamatus L_cendrawasih P_rosae P_typus A_knightii P_collare M_splendens P_erdmanni P_pylei P_ammeri C_zaps P_pallenotatus P_rutilus P_ransonneti Picti_diadema L_cyclopthalmus
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0.119 0.108 0.132 0.084 0.089 0.083 0.088 0.081 0.092 0.098 0.116 0.119 0.112 0.199 0.203 0.193 0.175 0.175 0.194 0.103 0.109 0.083 0.108 0.111 0.081 0.076 0.117 0.105 0.142
0.069 0.113 0.098 0.085 0.098 0.098 0.095 0.056 0.119 0.102 0.101 0.112 0.208 0.209 0.198 0.186 0.192 0.192 0.056 0.121 0.099 0.106 0.128 0.101 0.090 0.117 0.115 0.137
0.131 0.099 0.099 0.103 0.099 0.104 0.050 0.109 0.109 0.091 0.101 0.198 0.209 0.200 0.182 0.195 0.198 0.055 0.131 0.098 0.110 0.137 0.097 0.092 0.119 0.109 0.136
0.097 0.106 0.111 0.117 0.109 0.120 0.130 0.095 0.145 0.089 0.201 0.198 0.192 0.175 0.177 0.194 0.120 0.128 0.112 0.113 0.133 0.109 0.106 0.112 0.132 0.145
0.057 0.031 0.032 0.036 0.075 0.106 0.097 0.109 0.090 0.191 0.192 0.182 0.176 0.172 0.176 0.091 0.094 0.031 0.087 0.079 0.030 0.022 0.110 0.108 0.127
0.052 0.051 0.052 0.082 0.108 0.092 0.103 0.086 0.194 0.194 0.183 0.178 0.176 0.189 0.082 0.090 0.043 0.079 0.101 0.041 0.048 0.106 0.108 0.117
0.031 0.015 0.077 0.100 0.103 0.110 0.094 0.190 0.188 0.172 0.170 0.168 0.176 0.101 0.086 0.027 0.087 0.095 0.031 0.020 0.110 0.102 0.127
0.035 0.080 0.106 0.098 0.106 0.092 0.201 0.199 0.194 0.178 0.181 0.191 0.097 0.092 0.026 0.077 0.091 0.026 0.022 0.111 0.107 0.125
0.078 0.101 0.098 0.111 0.094 0.194 0.192 0.172 0.168 0.173 0.178 0.100 0.084 0.029 0.081 0.095 0.034 0.026 0.105 0.103 0.126
0.109 0.105 0.095 0.097 0.201 0.212 0.201 0.187 0.185 0.197 0.051 0.120 0.074 0.102 0.126 0.080 0.069 0.111 0.105 0.140
102
Lampiran 1. Jarak genetik antar spesies pada lokus 16S (lanjutan)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
P_cyanotaenia P_elongatus P_bitaeniatus P_perspicillatus P_matahari P_wayag P_litus_02 P_jace P_litus_01 P_andamanensis Picti_paccagnellae P_fuscus_01 P_marshallensis P_fuscus_02 L_multisquamatus L_cendrawasih P_rosae P_typus A_knightii P_collare M_splendens P_erdmanni P_pylei P_ammeri C_zaps P_pallenotatus P_rutilus P_ransonneti Picti_diadema L_cyclopthalmus
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
0.115 0.127 0.119 0.204 0.204 0.176 0.170 0.182 0.190 0.103 0.117 0.098 0.108 0.123 0.097 0.100 0.135 0.008 0.160
0.130 0.064 0.214 0.206 0.201 0.177 0.177 0.198 0.107 0.110 0.099 0.088 0.124 0.087 0.099 0.098 0.115 0.137
0.132 0.205 0.213 0.198 0.183 0.191 0.199 0.092 0.123 0.109 0.111 0.129 0.113 0.104 0.137 0.127 0.144
0.204 0.202 0.200 0.192 0.176 0.202 0.099 0.106 0.087 0.082 0.127 0.082 0.086 0.084 0.119 0.125
0.028 0.111 0.096 0.098 0.107 0.212 0.206 0.197 0.206 0.213 0.199 0.188 0.223 0.208 0.186
0.112 0.090 0.100 0.102 0.216 0.204 0.195 0.210 0.209 0.194 0.186 0.225 0.209 0.184
0.112 0.125 0.080 0.208 0.200 0.187 0.194 0.187 0.188 0.182 0.200 0.180 0.180
0.088 0.102 0.195 0.186 0.173 0.194 0.189 0.172 0.170 0.200 0.178 0.182
0.096 0.197 0.172 0.171 0.184 0.190 0.166 0.176 0.194 0.188 0.170
0.210 0.196 0.185 0.208 0.192 0.180 0.178 0.211 0.196 0.170
103
Lampiran 1. Jarak genetik antar spesies pada lokus 16S (lanjutan)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
P_cyanotaenia P_elongatus P_bitaeniatus P_perspicillatus P_matahari P_wayag P_litus_02 P_jace P_litus_01 P_andamanensis Picti_paccagnellae P_fuscus_01 P_marshallensis P_fuscus_02 L_multisquamatus L_cendrawasih P_rosae P_typus A_knightii P_collare M_splendens P_erdmanni P_pylei P_ammeri C_zaps P_pallenotatus P_rutilus P_ransonneti Picti_diadema L_cyclopthalmus
21
22
23
24
25
26
27
28
29
0.126 0.096 0.103 0.120 0.098 0.093 0.113 0.099 0.128
0.092 0.093 0.107 0.096 0.088 0.127 0.117 0.127
0.082 0.095 0.024 0.020 0.111 0.100 0.120
0.118 0.080 0.077 0.103 0.106 0.131
0.091 0.091 0.134 0.123 0.122
0.023 0.107 0.099 0.126
0.104 0.102 0.123
0.135 0.147
0.155
104
30
Lampiran 2. Jarak genetik antar spesies pada lokus control region.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
P_elongatus P_bitaeniatus P_wayag P_litus_02 P_jace P_litus_01 P_andamanensis M_splendens P_pylei P_ammeri Cypho_zaps P_marshallensis_02 P_rutilus P_ransonneti Picti_diadema L_cyclopthalmus P_cyanotaenia P_marshallensis_01 P_typus P_erdmanni
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
0.292 0.677 0.386 0.491 0.373 0.341 0.319 0.341 0.504 0.329 0.612 0.483 0.359 0.381 0.424 0.467 0.360 0.646 0.331
0.677 0.311 0.427 0.322 0.267 0.273 0.300 0.484 0.282 0.596 0.426 0.330 0.328 0.408 0.411 0.331 0.619 0.311
0.643 0.671 0.643 0.649 0.664 0.662 0.681 0.668 0.725 0.661 0.678 0.661 0.689 0.719 0.703 0.630 0.672
0.289 0.212 0.314 0.347 0.222 0.413 0.246 0.547 0.289 0.350 0.328 0.393 0.339 0.350 0.592 0.305
0.299 0.378 0.433 0.331 0.465 0.391 0.581 0.323 0.421 0.437 0.471 0.369 0.426 0.626 0.397
0.297 0.328 0.148 0.414 0.245 0.575 0.270 0.317 0.303 0.390 0.329 0.329 0.578 0.276
0.231 0.311 0.470 0.304 0.594 0.383 0.338 0.363 0.445 0.346 0.316 0.615 0.315
0.303 0.500 0.304 0.618 0.468 0.367 0.357 0.441 0.410 0.316 0.620 0.319
0.448 0.239 0.584 0.330 0.304 0.298 0.404 0.379 0.298 0.596 0.257
0.442 0.588 0.440 0.490 0.489 0.474 0.471 0.516 0.649 0.499
0.586 0.411 0.280 0.202 0.366 0.372 0.326 0.606 0.275
0.579 0.591 0.630 0.634 0.563 0.614 0.657 0.584
0.422 0.472 0.462 0.403 0.437 0.638 0.395
0.341 0.425 0.393 0.353 0.602 0.257
0.438 0.442 0.368 0.612 0.323
0.471 0.408 0.654 0.409
0.445 0.604 0.385
0.632 0.318
0.622
105
20
Lampiran 3. Jarak genetik dalam satu spesies pada lokus control region.
Spesies P elongatus P bitaeniatus
Identifikasi maksimum dalam satu spesies (%) 96.93 - 100 -
jarak genetik 0.023 -
P wayag
99.56 - 100
0.001
P litus 02 P jace
93.84 - 100 84.21 - 100
0.04 0.106
P litus 01
87.85 - 100
0.076
P andamanensis M splendens
98.75 - 100 -
0.013 -
P pylei
92.44 - 100
0.042
98 - 100 -
0.019 -
97.3 - 100
0.027
-
-
-
-
99.56 - 100 -
0.004 -
P cyanotaenia P marshallensis 01 P typus
-
-
-
-
-
-
P erdmanni
-
-
P ammeri Cypho zaps P marshallensis 02 P rutilus P ransonneti Picti diadema L cyclopthalmus
Lampiran 4. Jarak genetik antar spesies pada lokus sitokrom oksidae I (COI).
1 2 3 4 5 6 7 8
P_elongatus P_bitaeniatus P_perspicillatus P_wayag Picti_paccagnellae P_marshallensis L_multisquamatus P_litus_02
1
2
3
4
5
6
7
0.151 0.175 0.192 0.202 0.172 0.227 0.194
0.167 0.170 0.178 0.173 0.225 0.160
0.158 0.183 0.159 0.213 0.154
0.193 0.174 0.217 0.093
0.172 0.211 0.189
0.229 0.167
0.223
106
8
Lampiran 5. Variasi genetik pada masing – masing clade lokus 16S. Keanekaragaman nukleotida
Panjang situs nukleotida
Situs yang bervariasi (polimorfik)
Kandungan GC (%)
T
C
A
G
0.833
0.0201
575
23
50.1
21.7
26.8
28.3
23.3
1
0.01985
572
17
46.8
23.3
23.8
30
22.9
2 2
0.667 0.333
0.00116 0.00292
575 570
1 5
47.9 48
22.6 23.5
26.3 25.2
28.6 28.5
22.5 22.8
3
1
0
0
573
0
51.3
22
27.2
26.7
24.1
P. diadema P. cyanotaenia
2 3
1 2
0 0.667
0 0.01964
573 581
0 17
51.8 48.5
21.6 23.2
27.4 26.2
26.5 28.3
24.4 22.2
P. elongatus
4
2
0.4
0.02882
590
42
51
22.1
27.2
26.7
24
P. bitaeniatus P. andamanensis
4 2
3 2
0.833 1
0.0102 0.00171
590 584
12 1
50.3 50.3
22.9 22.4
27.3 27.2
27 27.3
22.8 23
M. splendens
4
2
0.667
0.00114
586
1
50.9
22.9
27.1
26.2
23.8
P. marshallensis P. litus 1
5 8
4 4
0.9 0.821
0.01784 0.00524
584 573
17 7
50.4 47.7
22.7 23.2
26.9 25.4
27.6 29.1
22.9 22.3
P. litus 2
4
2
0.5
0.00091
574
1
47.4
23.5
25.1
29.2
22.2
P. wayag P. pallenotatus
3 4
2 1
0.667 0
0.00122 0
561 574
1 0
48.7 47
22.2 23.7
25.9 25
29.1 29.3
22.9 22.1
P. pylei
7
4
0.81
0.00712
573
9
47.9
23.6
25
29
22.4
P. jace L. multisquamatus
4 7
2 5
0.667 0.933
0.00606 0.00337
574 574
5 4
47.8 46.9
23.2 22.6
25.3 25.1
28.9 30.5
22.5 21.8
L. cendrawasih
4
1
0
0
574
0
47
22.5
25.6
30.5
21.4
C. zaps P. typus
2 3
2 1
1 0
0.01742 0
574 574
10 0
48.4 46.9
23.3 23
25.5 25.6
28.3 30.1
22.9 21.3
P. rosae
3
2
0.667
0.00117
570
1
45.7
23.5
25.1
30.9
20.5
Jumlah Sampel
Jumlah Haplotipe
Keanekaragaman haplotipe
P. fuscus
4
3
P. perspicillatus
3
3
P. erdmanni P. ammeri
3 6
P. paccagnellae
Clade
107
Persentase Nukleotida (%)
Lampiran 6. Variasi genetik pada masing – masing clade lokus control region. Jumlah Sampel
Jumlah Haplotipe
Keanekaragaman haplotipe
Keanekaragaman nukleotida
Panjang situs nukleotida
P. wayag
3
2
0.667
0.00147
463
1
P. ammeri P. andamanensis
5 2
5 2
1 1
0.01161 0.01247
455 481
11 5
P. elongatus
3
3
1
0.0233
478
13
P. diadema P. litus 2
2 4
2 4
1 1
0.00441 0.04167
454 476
2 26
P. litus 1
8
8
1
0.08341
479
63
P. pylei P. jace
6 4
4 4
0.8 1
0.046 0.10627
476 486
35 78
P. marshallensis
2
2
1
0.02729
513
14
Clade
Situs yang bervariasi (polimorfik)
Persentase Nukleotida (%)
Kandungan GC (%)
T
C
A
G
41
47.6
23.1
11.2
18.1
31.6 33.9
31.2 29.1
21.3 20.4
36.6 35.1
10.9 15.3
36
30.2
21.8
32.7
15.3
36.8 28.6
29.1 32.2
18.9 19.5
34.1 36
17.8 12.3
33.1
29.1
20.7
35.3
14.9
38 34.2
27 30.3
23.5 20
34.5 35.4
15.1 14.3
33.3
29.2
21.8
37.4
11.5
Lampiran 7. Variasi genetik pada masing – masing clade lokus COI. Jumlah Sampel
Jumlah Haplotipe
Keanekaragaman haplotipe
Keanekaragaman nukleotida
Panjang situs nukleotida
Situs yang bervariasi (polimorfik)
Kandungan GC (%)
P. wayag
3
3
1
0.01121
654
11
P. elongatus
3
2
0.667
0.00701
654
P. bitaeniatus
3
2
0.667
0.04213
654
Clade
108
Persentase Nukleotida (%) T
C
A
G
49
28.8
31.5
22.2
17.6
6
49
28.3
28.9
22.7
20.1
40
49.2
28
30.1
23.1
18.9