Jurnal Kedokteran Hewan ISSN : 1978-225X
I Wayan Suardana, dkk
IDENTIFIKASI Escherichia coli O157:H7 DARI FESES AYAM DAN UJI PROFIL HEMOLISISNYA PADA MEDIA AGAR DARAH Identification of Escherichia coli O157:H7 from Chicken Feces and Test of Hemolytic Profile on Blood Agar Medium I Wayan Suardana1, Iwan Harjono Utama2, dan Michael Haryadi Wibowo3 1
Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar 2 Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar 3 Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan melakukan isolasi dan identifikasi serotipe lokal Escherichia coli (E. coli) O157:H7 dan uji profil hemolisisnya pada media agar darah. Isolasi bakteri dilakukan dengan media eosin methylene blue agar (EMBA), dilanjutkan dengan identifikasi pada media selektif sorbitol MacConkey agar (SMAC) dan uji konfirmasi menggunakan uji aglutinasi lateks O157 serta uji antiserum H7 sebagai konfirmasi akhir dari E. coli O157:H7. Gambaran hemolisis diuji dengan menumbuhkan isolat pada media agar darah domba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 7 isolat (8,54%) dari 82 sampel feses ayam teridentifikasi E. coli O157:H7 dan memperlihatkan profil enterohemolisis seperti halnya isolat kontrol ATCC 43894. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa isolat lokal E. coli O157:H7 hasil isolasi dari feses ayam diketahui memiliki patogenitas yang tinggi terkait dengan dihasilkannya enterohemolisin yang merupakan marka/penanda kemampuan dari isolat untuk menghasilkan faktor virulensi Shiga like toxin. ____________________________________________________________________________________________________________________ Kata kunci: E. coli O157:H7, ayam, enterohemolisin, marka, Shiga like toxin
ABSTRACT The aims of this study were to isolate and identify the local serotype of Escheria coli (E. coli) O157:H7 and its haemolysis profile test on blood agar medium. In this study, the bacteria was isolated by culturing the agent in eosin methylene blue agar (EMBA) medium, followed by cultured in selective medium sorbitol MacConkey agar (SMAC), and proven using O157 latex agglutination test to exactly confirm the E. coli O157 serotype, and finally used H7 antiserum to complete identification of E. coli O157:H7 serotype. Hemolytic properties were tested by culturing the agent in sheep blood agar medium. Results of study showed that 7 isolates (8.54%) out of 82 chicken’s fecal samples were identified as E. coli O157:H7, and all of them were showed enterohaemolysis properties as shown in ATCC 43894 control. The results of the study indícated that E. coli O157:H7 local isolates originated from feces of chickens were highly pathogenic according to their ability to produce an enterohaemolysin substance that known as a marker for the bacteria to produce Shiga like toxin ____________________________________________________________________________________________________________________ Key words: E. coli O157:H7, chickens, enterohaemolysin, marker, Shiga like toxin
PENDAHULUAN Infeksi Escherichia coli O157:H7 pada manusia ditandai dengan manifestasi klinis yang luas mulai dari tanpa menunjukkan gejala klinis/asimtomatis sampai terlihat adanya diare berdarah atau tanpa berdarah serta yang lebih parah berupa hemorrhagic colitis dan hemolytic uremic syndrome (HUS) (Dutta et al., 2011; Peter et al., 2011). Infeksi umumnya terjadi karena adanya kontaminasi bakteri pada air minum atau air kolam, adanya kontak yang dekat dengan hewan terinfeksi atau perpindahan dari orang ke orang juga dapat terjadi (Heuvelink et al., 1999; Karmali, 1989 yang disitasi Rey et al., 2006). Ayam diketahui merupakan salah satu reservoir penting dari bakteri Escherichia coli (E. coli) O157:H7 yang perlu diwaspadai selain sapi sebagai reservoir utamanya (Heuvelink et al., 1999). Sebagai salah satu serotipe E. coli yang bersifat zoonosis, patogenitas dari bakteri ini ditentukan oleh kemampuannya untuk menghasilkan satu atau lebih sitotoksin yang sangat potensial yang dikenal dengan nama Shiga like toxin atau verotoxin, di samping kemampuan bakteri ini untuk melakukan penempelan dan perlekatan terutama
pada sekum dan kolon (Krauss et al., 2003; Barlow et al., 2006). Analisis sifat virulensi dari suatu bakteri selain pengungkapan secara genetika melalui pemahaman substansi kromosom maupun plasmid, menurut Pelczar dan Chan (1988) serta Oxoid (1998) mengemukakan bahwa sifat virulensi dari suatu bakteri dapat diketahui dari fenotipenya berupa kemampuan bakteri melisiskan eritrosit. Bakteri yang mampu melisiskan eritrosit bersifat lebih virulen dibandingkan bakteri yang tidak mampu melisiskan eritrosit. Kemampuan bakteri untuk melisiskan eritrosit ditentukan oleh substansi berupa protein ekstraseluler yang disebut hemolisin (McKane dan Kandel, 1998). Pada media padat agar darah, bakteri yang memproduksi hemolisin akan memper-lihatkan perubahan warna pada zona pertumbuhan bakteri. Bakteri yang memiliki kemampuan untuk merusak eritrosit memperlihatkan zona jernih/bening di sekitar pertumbuhan koloni pada media agar darah dan dikelompokkan sebagai bakteri yang bersifat β-hemolisis dan apabila di sekitar pertumbuhan koloni memperlihatkan zona yang tidak jernih dimasukkan ke dalam kelompok bakteri yang bersifat α-hemolisis serta bakteri yang 1
Jurnal Kedokteran Hewan
tidak memiliki kemampuan untuk merusak eritosit dikelompokkan ke dalam kelompok non-hemolitik (McKane dan Kandel, 1998). Beutin et al. (1989) mengungkapkan adanya jenis hemolisin baru dari strain E. coli tertentu yang dikenal sebagai enterohemolisin. Enterohemolisin sering dijumpai pada beberapa strain yang termasuk dalam pathovar enteropathogenic E. coli (EPEC) dan pada serotipe verocytotoxigenic E. coli (VTEC). Beutin et al. (1989) menemukan adanya kaitan yang erat antara produksi verotoksin (Shiga like toxin) dengan produksi enterohemolisin beberapa strain E. coli. Secara genetika dan serologis terdapat perbedaan antara enterohemolisin dan α-hemolisin. Kedua jenis hemolisin tersebut dibedakan dari penampakan zona lisisnya pada media agar darah serta selang waktu terdeteksinya kedua hemolisin tersebut. Produksi αhemolisin telah terlihat 3 jam setelah inkubasi pada suhu 37 C, sedangkan enterohemolisin baru terlihat setelah inkubasi semalam pada suhu inkubasi yang sama. Di samping itu, zona hemolisis yang dihasilkan oleh enterohemolisin pada umumnya lebih kecil. Beutin et al. (1989) menemukan kaitan yang erat antara kehadiran enterohemolisin (EHEC hemolisin) dengan Shiga like toxin dari E. coli O157. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Schmidt et al. (1995) yang menyatakan bahwa, tingginya insiden ditemukannya EHEC hemolisin pada strain E. coli yang memproduksi Shiga like toxin diprediksi menunjukkan adanya hubungan yang erat di antara kedua protein tersebut di dalam patogenesis hemorrhagic colitis (HC) dan haemolytic uremic syndrome (HUS) sebagai gejala menciri dari infeksi E. coli O157:H7. Didasarkan atas berbagai permasalahan di atas serta mengacu pada hasil penelitian Karmali et al. (2003) yang mengamati adanya perbedaan frekuensi serta keparahan yang ditimbulkan serotipe E. coli O157:H7 terkait dengan adanya perbedaan karakteristik virulensi yang dimiliki, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat insidensi E. coli O157:H7 pada feses ayam, dikaitkan dengan uji profil hemolisisnya pada media agar darah sehingga dari hasil penelitian ini diharapkan dapat mengungkap pola patogenisitas E. coli O157:H7 isolat lokal hasil isolasi dan identifikasi untuk selanjutnya dijadikan bahan kajian dalam langkah-langkah selanjutnya. MATERI DAN METODE Pengambilan Sampel Sampel feses ayam diambil secara asepsis, langsung pada daerah sekum dan kolon dari ayam yang berasal dari Tempat Pemotongan Ayam (TPA) Mekar Sari Jaya Desa Ubung, untuk selanjutnya ditempatkan pada pot sampel dan dibawa dengan termos berisi es untuk analisis laboratorik di laboratorium Biosain dan Bioteknologi Universitas Udayana. Berdasarkan estimasi prevalensi kejadian penyakit sebesar 5% dan derajat kesalahan 5%, maka jumlah sampel yang diperlukan untuk tingkat 2
Vol. 8 No. 1, Maret 2014
kepercayaan 95% adalah minimal sebanyak 76 sampel (Martin et al., 1987). Isolasi dan Identifikasi Sampel feses diencerkan terlebih dahulu dengan buffered peptone water (BPW) 0,1%, sebelum ditumbuhkan pada medium agar atau cair (nutrient broth) sehingga setelah inkubasi akan diperoleh jumlah bakteri yang dapat dihitung. Pemeriksaan E. coli Sebanyak 15 ml media eosin methylene blue agar (EMBA) dimasukkan ke dalam setiap cawan petri untuk disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121 C selama 15 menit. Setelah sterilisasi media diambil dari strerilisator untuk selanjutnya didiamkan pada suhu kamar agar media menjadi padat. Dari pengenceran sampel yang dikehendaki, sebanyak 0,1 ml larutan tersebut dimasukkan ke dalam cawan petri dengan metode sebar menggunakan gelas bengkok. Inkubasi dilakukan pada suhu 37 C selama 18-24 jam. Setelah akhir inkubasi, koloni yang tumbuh dan berwarna hijau metalik dengan titik hitam pada bagian tengahnya dihitung sebagai koloni E. coli. Koloni yang tumbuh dikoleksi dengan cara diinokulasikan pada media nutrien agar miring untuk pemeriksaan selanjutnya. Identifikasi Serotipe E. coli O157 Koloni positif E. coli dari media EMBA yang ditanam pada media nutrien agar miring, selanjutnya diinokulasikan pada media selektif sorbitol MacConkey agar (SMAC). Setelah diinkubasikan pada suhu 37 C selama 20-24 jam, serotipe E. coli O157 dideteksi dari terlihatnya koloni jernih atau tidak berwarna dan dianggap bersifat sorbitol negatif. Uji Serologis dengan Latex Aglutination Test Untuk konfirmasi yang lebih meyakinkan bahwa koloni tersebut adalah serotipe E. coli O157, maka pengujian dilanjutkan dengan menggunakan E. coli O157 Latex Agglutination Test (Oxoid DR620 M). Reaksi positif ditandai dengan terbentuknya presipitasi pada kertas lateks sesuai dengan kontrol. Uji Serologis dengan Antiserum H7 Tahap akhir untuk memastikan koloni yang diisolasi merupakan serotipe E. coli O157:H7, pengujian selanjutnya dilakukan terhadap antigen flagelanya yakni dengan uji antiserum H7. Koloni yang positif pada uji lateks terlebih dahulu ditumbuhkan pada media motil sebanyak 2-3 kali penanaman. Hasil positif pada media ini ditandai dengan adanya penyebaran pertumbuhan dari tempat tusukan. Setelah ditumbuhkan pada media motil, isolat selanjutnya ditumbuhkan pada media brain heart infusion (BHI) yang bervolume 1,5 ml. Isolat diinkubasikan pada suhu 37 C selama 18-24 jam. Isolat yang tumbuh ditandai dengan terjadinya kekeruhan pada media. Isolat pada media BHI selanjutnya diinaktivasi dengan penambahan formalin 40% dengan perbandingan 0,3
Jurnal Kedokteran Hewan
bagian formalin dalam 100 bagian BHI, untuk selanjutnya disebut sebagai antigen. Antigen ini selanjutnya diuji dengan antiserum H7 yang telah diencerkan dengan perbandingan 1:500. Pengujian dilakukan dengan mereaksikan 50 µl antigen dengan 50 µl antiserum di dalam plat. Plat selanjutnya diinkubasikan pada waterbath suhu 50 C selama 1 jam. Hasil positif ditandai dengan terbentuknya butiran pasir (presipitasi) pada dasar plat. Uji Produksi Hemolisin Produksi hemolisin ditentukan berdasarkan adanya zona hemolisis yang dibentuk oleh isolat E. coli O157:H7. Isolat ditanam pada blood agar base (Oxoid CM55) dengan penambahan darah domba 5%, kemudian diinkubasi pada suhu 37 C selama 18-24 jam. Terlihatnya zona bening di sekitar koloni setelah 18 jam inkubasi pada suhu 37 C dianggap sebagai hasil positif produksi hemolisin (Osek, 2004).
I Wayan Suardana, dkk
Dari Gambar 1 memperlihatkan bahwa dari 3 isolat pada plat petri nomor 1 dan 3 isolat pada plat petri nomor 2 tidak memperlihatkan adanya warna seperti halnya pada isolat kontrol ATCC 43894. Hasil ini menunjukkan bahwa 6 isolat dari ke-2 plat tersebut tidak memfermentasikan sorbitol sehingga menghasilkan warna koloni yang tidak berwarna. Di sisi lain, sebagian besar E. coli memfermentasikan sorbitol sehingga memberikan warna koloni merah muda. Sensitivitas medium ini dalam skrining E. coli O157 adalah 100% dengan tingkat spesifisitas 85% (Oxoid, 1998). Koloni bakteri yang tidak berwarna pada media SMAC, selanjutnya diuji dengan O157 Latex Aglutination Test. Koloni E. coli O157 yang benarbenar positif akan memperlihatkan reaksi aglutinasi terhadap uji antiserum O157. Reaksi positif dan negatif dari beberapa koloni bakteri yang diuji disajikan pada Gambar 2.
Analisis Data Data hasil penelitian disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel ataupun gambar (Steel dan Torrie, 1995). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Isolasi dan Identifikasi E. coli O157:H7 Hasil penumbuhan E. coli pada EMBA memperlihatkan koloni berwarna hijau metalik, diameter 2-3 mm dengan titik hitam di bagian tengah koloni. Koloni yang positif E. coli selanjutnya diseleksi dengan menumbuhkan isolat E. coli pada media SMAC untuk menduga adanya koloni E. coli O157. Koloni E. coli O157 dalam media ini memperlihatkan warna koloni yang tidak berwarna sebagai bukti bahwa koloni E. coli O157 hasil isolasi tidak memfermentasikan sorbitol. Hasil uji E. coli pada media SMAC setelah diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 37 C disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Koloni E. coli O157 pada media sorbitol MacConkey agar (Nomor 1 dan 2: Isolat lokal E. coli yang diuji, 3: Kontrol E. coli O157:H7 ATCC4389. Tanda panah ( ) menunjukkan hasil uji positif dari isolat E. coli O157:H7 hasil isolasi)
Gambar 2. Hasil uji O157 latex aglutination test dari isolat MK 35, MK40, MK5, MK19 dan MK41 dan kontrol ATCC 43894 (Tanda panah ( ) menunjukkan hasil uji aglutinasi positif dari isolat MK19)
Gambar 2 memperlihatkan bahwa isolat presumtif E. coli O157 dari media SMAC dengan uji aglutinasi lateks memperlihatkan adanya presipitasi seperti halnya isolat kontrol ATCC 43894. Hasil uji positif ini meneguhkan bahwa isolat yang diuji 100% merupakan isolat E. coli O157. Dugaan ini dikuatkan dengan akurasi dari uji E. coli O157 latex test sebagi uji yang sangat akurat dengan tingkat sensitivitas 100% serta tingkat spesifisitas 99% (Oxoid, 1998). Pengujian lebih lanjut terhadap koloni E. coli O157 untuk menguji adanya antigen flagela H7. Beberapa koloni E. coli O157 yang positif memiliki antigen flagela H7 memperlihatkan adanya aglutinasi pada saat diuji serologis. Dengan berpedoman pada serangkaian uji di atas, maka isolat E. coli O157 yang diperoleh sudah benar merupakan E. coli O157:H7. Adapun jumlah isolat E. coli O157:H7 yang berhasil diisolasi dan diiden-tifikasi dari 82 sampel feses ayam adalah sebanyak 7 isolat atau 8,54%, yaitu isolat dengan kode MK-5/3(5), MK-5/3(8), MK-5/3(8), MK-35, MK-40, MK-41, dan MK-19/8(4). Hasil uji ini menunjukkan 3
Jurnal Kedokteran Hewan
bahwa ternak ayam lokal berpeluang sebagai reservoir alamiah E. coli O157:H7 selain ternak sapi yang dikenal sebagai reservoir utama. Hasil penelitian ini diperkuat oleh hasil penelitian Chinen et al. (2009) yang berhasil menemukan 4 dari 39 (10,3%) sampel karkas ayam diketahui positif mengandung E. coli O157. Hasil Uji Hemolisis Isolat E. coli O157:H7 Hasil uji hemolisis terhadap ke-7 isolat E. coli O157:H7 pada media agar darah, bersama-sama dengan isolat kontrol E. coli ATCC 43894 disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil uji hemolisis isolat E. coli O157:H7 pada media agar darah Karakteristik uji No Isolat E. coli O157:H7 hemolisis 1. ATCC 43894 (Kontrol EntHly positif) 2. MK-41 EntHly 3. MK-35 EntHly 4. MK-5/3(8) EntHly 5. MK-5/10(4) EntHly 6. MK-5/3(5) EntHly 7. MK-40 EntHly 8. MK-19/8(4) EntHly EntHly= enterohemolisin
Gambaran lengkap hasil uji hemolisis dari isolat pada media agar darah disajikan Gambar 3.
Gambar 3. Fenotipe hasil uji hemolisis antara isolat kontrol E. coli ATCC 43894 dengan isolat MK-35, MK-41, MK-40 dan MK-5/3(8) pada media agar darah
Dari Gambar 3 memperlihatkan adanya zona perubahan warna (bening kekeruhan) di sekitar isolat yang diuji dengan kode MK-35, MK-41, MK-40 dan MK-5/3(8) seperti halnya isolat kontrol E. coli ATCC 43894. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa isolat lokal E. coli O157:H7 hasil isolasi dari feses ayam memiliki sifat virulensi yang secara fenotipe sama dengan isolat kontrol. McKane dan Kandel (1998) menyatakan bahwa bakteri yang memiliki kemampuan melisiskan eritrosit secara sempurna sehingga membentuk zona bening di sekitar tempat pertumbuhan kuman digolongkan ke dalam β-hemolisis. Jika kerusakan yang terjadi tidak sempurna dan hanya terjadi kebocoran pada eritrosit sehingga terlihat zona yang tidak terlalu jernih dan sering disertai dengan terjadinya perubahan warna sehingga media menjadi kehijauan sampai kecoklatan dikelompokkan sebagai α-hemolisis. Didasarkan atas rentang waktu ter-lihatnya zona jernih kekeruhan pada 4
Vol. 8 No. 1, Maret 2014
seluruh isolat yang diuji yaitu setelah 24 jam inkubasi, maka dapat disimpulkan bahwa jenis hemolisis yang dihasilkan oleh strain E. coli O157:H7 yang diuji dikelompok-kan ke dalam jenis enterohemolisin. Hasil penelitian yang didapat sesuai dengan hasil penelitian dari Beutin et al. (1989) yang menemukan terbentuknya fenotipe enterohemolisin pada seluruh serotipe O157 yang diuji baik O157:H7 maupun O157:H-. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Osek (2004) yang menemukan semua serotipe O157 asal hewan dan manusia juga positif enterohemolisin setelah 18 jam inkubasi. Leotta et al. (2008) menemukan 98,6% strain E. coli O157 asal feses manusia yang berasal dari Argentina, Australia, dan New Zealand diketahui positif memproduksi enterohemolisin. Nataro dan Kaper (1998) menjelaskan bahwa pada umumnya strain E. coli O157:H7 memiliki sebuah gen pengkode hemolisin yang terdapat pada plasmid dengan berat molekul 60-MDa yang lebih dikenal dengan istilah enterohemolisin. Gen ini hampir dijumpai pada semua strain E. coli O157:H7 dan cukup tersebar luas pada strain E. coli penghasil Stx yang non-O157 seperti strain O111:H. Gen pengode hemolisin berupa gen ehxA, memiliki kesamaan sebesar 60% dengan gen hlyA. Gen yang mengode hemolisin lebih banyak diekspresikan oleh E. coli uropatogenik. Peranan dari enterohemolisin masih sedang diperkirakan yaitu: akibat dari lisisnya eritrosit, maka akan dilepaskan komponen sel darah merah berupa heme dan hemoglobin, dimana komponen ini akan berperanan dalam memacu pertumbuhan E. coli O157:H7, dan dapat juga sebagai sumber zat besi. Di samping itu, Oxoid (1998) menambahkan bahwa hemolisis yang ditimbulkan oleh enterohemolisin umumnya lebih lambat dan kurang luas jika dibandingkan dengan sifat hemolisis yang ditimbulkan oleh α-hemolisis, namun adanya penambahan mitomycin-C dapat meningkatkan kemampuan hemolisis dari isolat baik pada serovar STEC O157 maupun non-O157 (Sugiyama et al., 2001). Beutin et al. (1989) menemukan adanya keterkaitan antara produksi enterohemolisin dengan verotoksin/ Shiga like toxin. Hasil penelitianya menemukan bahwa sebanyak 89% strain yang positif enterohemolisin juga positif Shiga like toxin. Fenomena keterkaitan ini dibuktikan lebih lanjut oleh Schmidt et al. (1996) yang membuktikan bahwa hemolisin EHEC dari O157:H7 memiliki aktivitas repeats-in-toxin (RTX) yang tinggi, dan dibuktikan bahwa hemolisin EHEC dengan kapasitas pembentukan pore-forming yang luar biasa dianggap berperanan penting didalam patogenesis terjadinya hemorrhagic colitis (HC) dan hemolytic uremic syndrome (HUS). Berdasarkan atas hasil penelitian ini maka disimpulkan bahwa ditemukannya enterohemolisin pada strain lokal E. coli O157:H7 merupakan penanda epidemiologi untuk seleksi secara cepat ditemukannya E. coli O157:H7 yang memproduksi verotoksin sebagai faktor virulensi, meskipun masih memerlukan konfirmasi lanjut.
Jurnal Kedokteran Hewan
KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan prevalensi E.coli O157:H7 pada feses ayam adalah 8,54%. Keseluruhan serotipe E. coli O157:H7 hasil identifikasi pada media agar darah domba memiliki fenotipe enterohemolisin. UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah mendanai proyek penelitian ini melalui dana Penelitian Hibah Fundamental Tahun Anggaran 2009 dengan Kontrak No. 1491B.3/H14/HM/2009 tanggal 16 April 2009. DAFTAR PUSTAKA Barlow, R.S., K.S. Gobius, and P.M. Desmarchelier. 2006. Shiga toxin-producing E. coli in ground beef. Int. J. Food Microbiol. 111:1-5. Beutin, L., M.A. Montenegro, I. Orskov, F. Orskov, J. Prada, S. Zimmermann, and R. Stephan. 1989. Close association of verotoxin (Shiga-like toxin) production with enterohemolysin production in strains of Escherichia coli. J. Clin. Microbiol. 27(11):2559-2564. Chinen, I., S. Epsteyn, C.L. Melamed, L. Aguerre, E.M. Espinosa, M.M. Motter, A. Baschkier, E. Manfredi, E. Miliwebsky, and M. Rivas. 2009. Shiga toxin producing E. coli O157 in beef and chicken burgers, and chicken carcass in Buenos Aires, Argentina. Int. J. Microbiol. 132:167-171. Dutta, T.K., P. Roychoudhury, S. Bandyopadhyay, S.A.Wani, and I. Hussain. 2011. Detection and characterization of Shiga toxin producing Escherichia coli (STEC) & enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) in poultry birds with diarrhoea. Indian J. Med. Res. 133:541-545. Heuvelink, A.E., J.T.M. Zwartkruis Nahuis, R.R. Beumer, and E.D. Boer. 1999. Occurrence and survival of verocytotoxin producing Escherichia coli O157 in meats obtained from retail outlets in the Netherlands. J. Food Protect. 62(10):1115-1121. Karmali, M. A., M. Mascarenhas, S. Shen, K. Ziebell, S. Johnson, R. Reid-Smith, J. Isaac-Renton, C. Clark, K. Rahn, and J. B. Kaper. 2003. Association of genomic O island 122 of Escherichia coli EDL 933 with verocytotoxin-producing Escherichia coli
I Wayan Suardana, dkk
seropathotypes that are linked to epidemic and/or serious disease. J. Clin. Microbiol. 41:4930-4940. Krauss, H., A. Weber, M. Appel, B. Enders, H.D. Isenberg, H.G. Schiefer, W. Slenczka, A.V. Graevenitz, and H. Zahner. 2003. Zoonoses. Infectious Diseases Transmissible from Animals to Humans. 3rd ed. ASM Press. USA. Leotta, G.A., E.S. Miliwebsky, I. Chinen, E.M. Espinosa, K. Azzopardi, S.M. Tennant, R.M. Robins-Browne, and M. Rivas. 2008. Characterization of Shiga toxin-producing Escherichia coli O157 strains isolated from humans in Argentina, Australia, and New Zealand. BMC Microbiol. 8:46-61. Martin, S.W., A.H. Meek, and P. Willeberg. 1987. Veterinary Epidemiology. Principles and Methods. Iowa State University Press/Ames. USA. McKane, L. and J. Kandel. 1998. Microbiology. Essentials and Applications. 2nd ed. McGraw-Hill, Inc. Philadelphia. Nataro, J.P., and J.B. Kaper. 1998. Diarrheagenic Escherichia coli. Clin. Microbiol. Rev. 78:142-201. Osek, J. 2004. Phenotypic and genotypic characterization of Escherichia coli O157 strains isolated from human, cattle, and pigs. Vet. Med-Czech. 9:317-326. Oxoid. 1998. The Oxoid Manual. 8th ed. Complied by E.Y.Bridson (former Technical Director of Oxoid). Pelczar, C.J. and E.C.S. Chan. 1988. Elements of Microbiology.. (Diterjemahkan Hadioetomo, R.S., T. Imas, S.S. Tjitrosomo dan S.L. Angka). Edisi ke-1. Indonesia University Press, Jakarta. Peter, C.H., F.T. Councell, C. Keys, and S.R. Monday. 2011. Virulence characterization of Shiga-toxigenic Escherichia coli isolates from wholesale produce. Appl. Environ. Microbiol. 77(1):343-345. Rey, J., S. Sanchez, J.E. Blanco, J. Hermoso de Mendoza, M. Hermoso de Mendoza, A. Garcia, C. Gil, N. Tejero, R. Rubio, and J.M. Alonso. 2006. Prevalence, serotypes and virulence genes of Shiga toxin-producing E. coli isolated from ovine and caprine milk and other dairy products in Spain. Inter. J. Food Microbiol. 107:212-217. Schmidt, H., L. Beutin, and H. Karch. 1995. Molecular analysis of the plasmid-encoded hemolysin of Escherichia coli O157:H7 strain EDL 933. Infect. Immun. 63(3):1055-1061. Schmidt, H., E. Maier, H. Karch, and R. Benz. 1996. Pore-forming properties of the plasmid-encoded hemolysin of enterohemorrhagic Escherichia coli O157:H7. Eur. J. Biochem. 241:594-601. Steel, R.G.D., and J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT. Gramedia Pustaka, Jakarta Sugiyama, K., K. Inoe, and R. Sakazaki. 2001. Mitomycinsupplemented washed blood agar for the isolataion of shiga toxin-producing Escherichia coli other than O157:H7. Letters in Appl. Microbiol. 33:193-195.
5