Aku dan Ibu
Istimewa Melahirkan anak adalah rahmat yang luar biasa. Rasa sakitnya pun luar biasa. Tapi semua rasa sakit itu bisa hilang dalam sekejap saat aku mendengar suara tangis pertama anakku yang baru saja lahir. Semuanya hilang... tidak berbekas! Aku sedang tidak terlalu sehat saat harus melahirkan anak kedua. Waktu itu aku terus menggigil kedinginan sampai-sampai aku harus diselimuti rangkap empat. Kondisiku juga harus terus diamati supaya kesadaranku bisa terus terjaga. Saat itu yang ada hanya rasa pasrah, antara hidup dan mati. Di saat kritis itu, seandainya ada malaikat di sebelahku dan menanyakan, “Pilih kamu atau anakmu?” Pasti tanpa pikir panjang aku akan memilih anakku untuk tetap hidup. Tapi syukurlah nggak ada malaikat yang menyodorkan pilihan itu, sehingga aku masih bisa hidup bersama anak-anak hingga saat ini. Pengalaman melahirkan ini membuatku merasa begitu berhutang budi dan nyawa pada ibuku. Tanpa kesediaan dan kerelaan beliau, pasti aku tidak akan lahir di dunia ini. Aku percaya bahwa tidak ada keindahan kasih yang lebih indah daripada pengorbanan seorang ibu. Kadang, sebagai seorang anak, kita malah melupakan peristiwa besar ini. Kita sering menuntut ini itu kepada ibu kita. Kita sering tidak bisa memahami mereka. Bahkan sering juga terjadi pertengkaran yang berkepanjangan. Hal yang sebaliknya pun juga sama-sama terjadi. Ibu seringkali lupa kalau dia pernah mempertaruhkan hidup untuk anaknya. Ada juga ibu yang kemudian malah menuntut sang anak untuk membalasnya seumur hidup, dengan kewajiban untuk terus menuruti semua keinginan sang ibu, tanpa sadar bahwa jaman sudah jauh berbeda dan berubah. 2
Sering juga ibu lupa, bahwa anak itu hanyalah ‘titipan Tuhan’. Sebagai orangtua, semestinya kita harus bisa bersyukur karena telah dipercaya Tuhan dan sebagai konsekuensinya, ya kita wajib bertanggung jawab atas kehidupan juga keselamatan hidup anak-anak kita. Anak-anak juga bisa lupa akan hal itu, apalagi mereka memang belum pernah merasakan bagaimana rasanya saat melahirkan. Walaupun suatu saat nanti, anak perempuan akan merasakan sendiri bagaimana menjadi seorang ibu, tapi anak laki-laki hanya bisa sekedar membayangkan ketika istrinya melahirkan. Orang tua juga memiliki tugas membesarkan dan membekali hidup untuk masa depan anak-anak. Dewasa ini, peran pria sebagai bapak sudah sejajar dengan ibu, kecuali dalam hal melahirkan. Sering aku melihat bapak-bapak dengan luwes menggendong bayinya dengan selendang, mengantar anak-anak ke sekolah, dan berbelanja ke pasar atau supermarket sembari bermain dengan anak-anaknya. Bahkan ada temanku di Milis Loyola ‘77 yang bercerita tentang bagaimana dia menikmati saat-saat dia mengganti popok atau membuatkan susu untuk anaknya. Indah sekali... Pengalaman yang luar biasa saat melahirkan juga mengingatkanku untuk menghargai hidup kita. Karena ibu sudah mempertaruhkan nyawanya untuk kita. Aku jarang mendengar cerita dari ibuku tentang keberadaanku sejak aku masih dalam kandungan hingga aku lahir. Yang sempat aku tahu, aku lahir dengan berat 2,9 kg. Menurut ibuku, aku bayi istimewa, karena waktu itu rumah sakit sedang kehabisan kamar biasa, jadi ibu diberikan kamar VIP dan aku boleh tinggal sekamar dengan ibu selama di rumah sakit. How sweet... Big thanks to my mom... Thanks for your unconditional love...
3
I Want Him... Ibuku lahir di tahun 1924. Beliau sempat mengalami masa penjajahan Belanda, masa kemerdekaan RI, dan juga masa penjajahan Jepang. Sebagai istri seorang pegawai PLN, beliau mengikuti ke manapun bapak ditempatkan. Sejak menikah, bapak sudah menjadi kepala PLN di Malang. Di kota itu, ibu melahirkan anak pertama dan kedua. Keduanya laki-laki dengan perbedaan umur 4 tahun. Empat tahun kemudian bapak menjadi kepala PLN di Salatiga. Di sini lahir anak ketiga dan keempat. Keduanya perempuan dengan perbedaan umur 3 tahun. Wah sepertinya ada penurunan perbedaan umur nih, dari 4 tahun menjadi 3 tahun! Mungkin karena situasi damai seusai perang turut membawa kedamaian di hati bapak ibu, sehingga kehamilan ibu menjadi lebih cepat dari kehamilan anak pertama dan keduanya...? Who knows... Sepertinya perkiraanku ini benar, karena setelah kepindahan mereka ke Magelang, ibu melahirkan anak kelima dan keenam. Kali ini perempuan dan laki-laki dan perbedaan usianya hanya 2 tahun! Wow... semakin rapat perbedaan usianya. Nah, ini yang sulit kubayangkan. Aku adalah anak ketujuh yang lahir di Jogjakarta, itu artinya pada saat aku dalam kandungan, kakakku baru berusia sekitar satu tahun. Jadi, ibu dengan keenam anaknya, yang terkecil waktu itu kira-kira berumur satu tahun, mengandung anak ketujuh dan harus pindah ke Jogjakarta. Memang jarak kota Magelang dan Jogjakarta tidak jauh, kalau sekarang, jarak tempuhnya paling hanya memerlukan waktu kira-kira 1 jam, tapi di tahun 60-an... aku tidak bisa membayangkan seperti apa perjalanannya!! Di Jogjakarta, lahirlah anaknya yang ketujuh, anak perempuan, dan itulah aku. Setelah kehamilan ibu yang boleh 4
dibilang berurutan sejak anak ketiga hingga anak ketujuh, ibu kemudian lama tidak mengandung. Empat tahun setelah kelahiranku barulah ibu mengandung lagi. Kalau melihat riwayat perjalanan ibu, aku bisa memahami kalau beliau cukup panik dengan kehamilannya yang kedelapan ini. Aku juga sangat memahaminya saat beliau kemudian bermaksud untuk menggugurkan kandungan karena pertimbangan usia ibu yang sudah 38 tahun, dan mungkin karena ibu juga merasa capek. Secara rasional, semuanya terlihat seperti keputusan yang logis dan benar. Tapi naluri keibuannya masih tetap berusaha menghalangi rencana itu. Menurut cerita beliau, dengan sekuat tenaga dia mencoba berangkat ke dokter untuk menggugurkan janin tersebut. Sesaat sebelum diberi suntikan, dia berkata kepada dokter, “Dok, kalau suntikan pertama ini tidak berhasil, saya tidak mau meneruskan lagi. Biarkan saya memeliharanya...” Dan benar, suntikan itu tidak berhasil! Dan saat itu juga ibu mengambil keputusan bulat untuk tetap mengandung anaknya yang kedelapan. Kali ini, masa kandungan ibu dipenuhi dengan berbagai kekhawatiran. Akankah suntikan tersebut akan mempengaruhi janinnya? Apakah upaya pengguguran itu akan membuat bayinya akan cacat? Aku sungguh bisa membayangkan pergolakan batin ibu dalam masa kehamilan ini. Tapi aku yakin kalau doanya untuk memohon supaya anaknya lahir sehat dan utuh pasti tak henti-hentinya dia panjatkan. Akupun bisa memahami dan membayangkan betapa gundah hatinya ketika saat-saat melahirkan sudah mendekat. Bayi kedelapan itu ternyata seorang laki-laki. Bersih dan tampan. Ibu bercerita kalau saat itu dia menghitung jari-jarinya yang masih kecil dan meneliti seluruh tubuhnya. Setelah meyakinkan diri bahwa semuanya utuh dan sehat, legalah hatinya... 5
Ah... ibu... aku jadi bisa merasakan betapa hancurnya hatimu, ketika lima belas setengah tahun kemudian, anakmu ini dipanggil Tuhan dalam sebuah kecelakaan. Kesedihan mendalam membuatmu tidak lagi bisa meneteskan air mata. Diare turut menyerang terus menerus akibat tekanan perasaan yang sangat berat. Hari-harimu dipenuhi rasa berdosa dan bersalah. Hari-harimu dipenuhi perasaan dihukum Tuhan. Tapi engkau mencoba melewatinya dengan ketabahan luar biasa yang sangat mengharukan. Apalagi dengan ucapanmu yang sangat menyentuh hati, “Kalau memang Tuhan menghendakinya, mengapa Dia tidak mengambilnya sejak aku hamil dulu... Kenapa sekarang, di saat aku sudah bisa memandang wajahnya, sudah lima belas tahun lebih hidup bersama...” Oh ibu tersayang, tidak ada seorang pun yang bisa menjawab pertanyaanmu ini bukan? Setiap kali aku mendengar berita tentang pengguguran kandungan, aku selalu ingat ibu. Benarkah calon-calon ibu itu sudah kehilangan kelembutan hati sehingga tega melenyapkan bagian dari kehidupannya sendiri? Ibu sejati akan siap berkorban apapun untuk anak-anaknya, karena kepercayaan dan rasa syukur mereka yang besar atas kesempatan untuk memiliki seseorang yang merupakan ciptaan Tuhan yang terindah dalam hidup ini.
6