BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan kelompok yang terpenting dalam masyarakat. Secara sosiologis, keluarga dapat diartikan sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum menikah yang berada di dalam ikatan perkawinan, darah dan adopsi (Soekanto, 2009). Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbatas, mempunyai ukuran yang minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan. Dengan kata lain, keluarga tetap merupakan bagian dari masyarakat total yang lahir dan berada di dalamnya, yang berangsur-angsur akan melepaskan ciri-ciri tersebut karena tumbuhnya mereka ke arah pendewasaan di dalam masyarakat. Melalui keluarga juga seorang anak di dalam keluarga akan mempersiapkan diri mereka untuk mulai beranjak dewasa dan memilih untuk membentuk keluarga baru mereka sendiri melalui ikatan perkawinan atau pernikahan. Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Menurut Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 ). Di Indonesia masalah pernikahan dini menjadi masalah yang dapat dikatakan sangat serius. Hukum perkawinan di negeri ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mana salah satu
1 Universitas Sumatera Utara
poin dalam undang-undang tersebut mensyaratkan, batas usia pernikahan adalah minimal 16 tahun untuk perempuan. Poin dalam undang-undang tentang perkawinan itu bertabrakan dengan kampanye Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) dan Badan Penasihat Perkawinan dan Perceraian Kementerian Agama yang justru mengkampanyekan bahwa usia siap menikah ialah pada usia 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Isu pernikahan dini adalah salah satu topik yang menjadi perhatian penting pada kerangka kerjasama Sustainable Development Goals. Pemerintah di seluruh dunia sudah bersepakat menghapus perkawinan anak pada 2030 . Bila berbicara mengenai batasan usia anak/remaja, menurut UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2012, yaitu mereka yang belum berusia delapan belas tahun, maka siapapun yang menikah di bawah batas usia tersebut dapat dikatakan termasuk dalam pernikahan dini. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2010 menunjukkan, angka pernikahan usia dini di bawah usia 19 tahun, sebesar 46,7 persen. Pernikahan di kelompok umur antara 10-14 tahun sejumlah hampir 5 persen. Sementara dari sebuah situs, GirlsNotBrides.org, diperkirakan bahwa 1 dari 5 perempuan di Indonesia menikah di bawah usia delapan belas tahun. Di samping itu, Indonesia menempati urutan ke-37 di di antara negara-negara yang memiliki jumlah pernikahan usia dini tertinggi di dunia (World Fertility Policies, United Nations, 2011). Menurut data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, angka pernikahan dini di Indonesia peringkat kedua di kawasan Asia Tenggara. Ada sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia di bawah
2 Universitas Sumatera Utara
umur 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 3 juta orang di tahun 2030. Melalui data Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKB) jumlah remaja Indonesia yang sudah memiliki anak, cukup tinggi yakni 48 dari 1000 remaja. Angka ini masih jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2015, dalam rangka menekan angka pernikahan usia dini yakni sebesar 38 per 1000 remaja. Berdasarkan data-data tersebut dapat dikatakan bahwa tingkat pernikahan usia muda di Indonesia memang masih sangat tinggi. Dari sisi sosial pernikahan dini merupakan salah satu faktor penyebab tindakan kekerasan terhadap istri, ini timbul karena tingkat berfikir yang belum matang bagi pasangan muda tersebut. Data statistik lengkap mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT atau domistik violence) Mitra Perempuan Women’s Crisis Center di Yogyakarta menyebutkan selama periode 1994 sampai 2004, menerima pengaduan 994 kasus kekerasan yang terdata, selanjutnya Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan menyabutkan 11,4% dari 217 juta penduduk Indonesia atau setara dengan 24 juta perempuan mengaku pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga (Dlori,2005). Fenomena pernikahan di usia muda pada saat ini di masyarakat khususnya Sumatera Utara masih relatif tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari data Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. Jumlah remaja usia 15 - 24 tahun berdasarkan data di Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut tahun 2014, sebanyak 2.514.109 orang. Dari jumlah tersebut, 30-35 persen di antaranya melakukan pernikahan usia dini. Dalam fenomena
3 Universitas Sumatera Utara
pernikahan dini, ada kekerasan yang terjadi secara sadar dan di luar kesadaran yaitu kekerasan simbolik yang (masih) kurang dikaji padahal itu ada dan hidup berkembang di sekitar kehidupan manusia. Kekerasan yang tidak terasa itu adalah kekerasan simbolik. Menurut Bourdieu (dalam Jenkins, 2004: 157) kekerasan simbolik adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna, termasuk dominasi budaya (modal atau habitus budaya) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu yang sah. Legitimasinya meneguhkan relasi kekuasaan yang menyebabkan pemaksaan tersebut berhasil. Selama hal (sesuatu) diterima sebagai sesuatu yang sah, selama itu pula (kebudayaan) melalui relasi (dominasi) kekuasaan memberikan reproduksi yang terus-menerus dan sistematis. Kekerasan simbolik terjadi dalam ruang-ruang sosial kehidupan masyarakat keseharian, tetapi mereka yang terkena kekerasan simbolik tidak merasakannya, karena itu dianggap sah, sebagai bagian dari tugas dan pekerjaan orang bawahan, yang dikuasai dan yang diperintah. Hal ini sering terjadi di hubungan pernikahan dini antara pasangan atau antara pihak keluarga dalam menilai pasangan pernikahan dini di masyarakat tetapi tidak diketetahui oleh mereka bahwa hal yang mereka alami adalah salah satu bagian dari kekerasan simbolik. Hal ini terjadi karena masyarakat kita pada umumnya masih memiliki paham atau budaya patriarki. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Laki-laki memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki dan menuntut subordinasi perempuan.
4 Universitas Sumatera Utara
Fenomena kekerasan simbolik seperti ini, dapat kita temui dalam pernikahan dini yang terjadi di masyarakat saat ini. Banyak hal yang sebenarnya dalam pernikahan dini yang dapat dikatakan menghasilkan kekerasan simbolik yang dapat dilakukan oleh pihak laki-laki atau pihak perempuan tergantung dengan pihak mana yang lebih mendominasi di dalam keluarga ini. Kekerasan simbolik dalam arti tertentu jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik, karena kekerasan simbolik itu melekat dalam setiap bentuk tindakan dan struktur kognisi individual, dan memaksakan momok legitimasi pada tatanan sosial (Jenkins, 2004:157 ). Akibat dari kekerasan simbolik, meskipun tidak langsung mengenai fisik korban, sangat menyakitkan hati dan biasanya berlangsung lama. Berbagai sarana yang dipakai orang untuk berinteraksi dengan orang lain bervariasi. Sarana itu bisa bersifat non linguistik, seperti gerak-isyarat, kontak badan, ekspresi wajah, sikap tubuh, jarak antar badan, benda sebagai alat peraga atau sarana linguistik yang berupa bahasa verbal. Bahasa verbal merupakan sarana yang paing sering sering digunakan untuk menyakiti korban dan sangat efektif dalam melampiaskan kekerasan simbolik (Purwoko,2008). Bahkan tidak jarang kekerasan simbolik ini dapat menjadi awal masuknya kekerasan-kekerasan lainnya seperti tindak kekerasan dalam rumah tangga berupa kekerasan fisik atau psikis. Kekerasan pada dasarnya bisa terjadi dimana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Kekerasan ini bisa terjadi ditengah keramaian, baik itu dipasar maupun di tempat sunyi. Akan tetapi, sangat mengherankan apabila kekerasan itu terjadi dalam sebuah rumah tangga yang seharusnya di dalam rumah tersebut sebagai tempat
5 Universitas Sumatera Utara
curahan kasih sayang antara suami dan istri, orang tua dan anaknya. Kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain, mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik seksual dan psikologis termasuk pula ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan seseorang secara sewenang-wenang atau adanya penekanan secara ekonomis, yang terjadi dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga atau dalam istilah lainnya kekerasan domestik adalah kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga dimana biasanya yang berjenis kelamin laki-laki (suami) menganiaya secara verbal maupun fisik pada kelompok perempuan (istri). Dari pengertian ini maka dapat dilihat lingkup kekerasan domestik meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Laki-laki (suami) biasanya pelaku kekerasan atau subyeknya, sementara perempuan (istri) adalah sebagai sasaran kekerasan atau obyeknya. Pada waktu yang lalu, terdapat dua lembaga yaitu Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yang mengajukan permohonan pada Mahkamah Konstitusi untuk menaikkan usia pernikahan menjadi minimal berumur 18 tahun sesuai dengan peraturan perlindungan anak yang berlaku di Indonesia. Hasil permohonan dan gugatan menaikkan batas usia minimal untuk menikah bagi perempuan di Indonesia ditolak Mahkamah Konstitusi dalam sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Penolakan ini adalah bukti adanya inkonsistensi hukum dengan berbagai instrumen internasional dan nasional yang sudah ada dan tidak berpihak pada anak (the best interest of children). Sementara Indonesia memiliki komitmen nasional dan
6 Universitas Sumatera Utara
internasional yang harus dijalankan untuk melakukan pencegahan dan penghapusan pernikahan anak (dalam Candraningrum, 2016). Selain dari faktor agama yang memperbolehkan terjadinya pernikahan dini di kalangan masyarakat, banyak juga yang menggunakan panduan dari undang-undang ini sehingga angka pernikahan dini tetap berlangsung dan terjadi di beberapa wilayah Indonesia khususnya di wilayah desa Medan Sinembah Tanjung Morawa Deli Serdang Sumatera Utara. Desa Medan Sinembah adalah salah satu desa yang terdapat dalam kecamatan Tanjung Morawa yang dekat dengan wilayah desa Ujung Serdang dan Desa Lau Manis. Desa Medan Senembah adalah salah satu Desa dari 25 Desa dan I kelurahan di Kecamatan Tanjung Morawa. Penduduk Desa Medan Senembah ini mayoritas beragama Islam yang pada umumnya terdiri dari suku Jawa dan berjumlah sekitar 7.500 jiwa. Sebagaimana di Desa – Desa lain, penduduk Desa Medan Senembah ada yang bekerja sebagai PNS, TNI, Polri, Pegawai Swasta, Pedagang, Petani, Pengrajin Sapu Ijuk, Buruh Harian Lepas dan banyak yang bekerja tidak tetap (mocok-mocok) atau pekerjaan lain yang dapat menghasilkan uang sekedarnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya (sumber dari data monografi Desa Medan Sinembah, 2016). Berkaitan dengan masalah pernikahan dini yang tengah dibicarakan, tingkat pernikahan dini di wilayah ini juga tergolong cukup tinggi dan pada umumnya dilakukan oleh masyarakat beragama Islam. Informasi ini di peroleh ketika peneliti melakukan obervasi dan wawancara dengan pemerintahan desa setempat. Tabel di bawah ini adalah sebagian data pernikahan pasangan muda di Desa Medan Sinembah pada tahun 2016 yang masuk dalam kategori pernikahan dini.
7 Universitas Sumatera Utara
Tabel 1.1 Data Pernikahan Dini di Medan Sinembah 2016
No .
Nama
Jenis Kelamin
Agama
1.
Widya Sapitri
Perempuan
Islam
Tahun Kelahira n 1998
2.
Batu Kurniadi
Laki-laki
Islam
3.
Nur Cahyaya
Perempuan
4.
Diki Setiawan
5.
Usia
Pendidikan
Etnis
Pekerjaan
18 Tahun
SMA
Jawa
Belum Bekerja
1997
19 Tahun
SMA
Jawa
Buruh Harian Lepas
Islam
1998
18 Tahun
SMP
Jawa
Ikut Tua
Laki-laki
Islam
1996
20 Tahun
SMA
Melay u
Wiraswasta
YesiSilva ni Nst
Perempuan
Islam
1997
19 Tahun
SMA
Manda iling
Belum Bekerja
6.
Pujiana Rahayu
Perempuan
Islam
1998
18 Tahun
SMA
Jawa
Tidak Bekerja
7.
Yohanes Turnip
Laki-laki
Kriste n
1998
18 Tahun
SMA
Batak Toba
Supir
8.
Novita
Perempuan
Islam
1999
17 Tahun
SMP
Jawa
Belum Bekerja
9.
Siti Mardianti
Perempuan
Islam
1997
19 Tahun
SMA
Jawa
Ikut Tua
Orang
10.
Nur Ulfa
Perempuan
Islam
1999
17 Tahun
SMP
Jawa
Ikut Tua
Orang
11.
Andre Rendika
Laki-laki
Islam
1998
18 Tahun
SMA
Melay u
Buruh Harian lepas
12.
Siti hazar
Perempuan
Islam
2001
15 Tahun
SMP
Jawa
Tidak Bekerja
13.
Juari
Laki-laki
Islam
1994
22 Tahun
SMA
Melay u
Wiraswasta
14.
Icha Syahputri Fitria Anggi
Perempuan
Islam
1998
SMA
Jawa
Perempuan
Islam
1998
18 Tahun 18 Tahun
SMA
Jawa
Tidak Bekerja Tidak Bekerja
15.
Orang
Sumber : data Monografi Desa Medan Sinembah,2016
8 Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Pasal 26 UU Perlindungan Anak dan Pasal 131 ayat (2) UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta point kampanye dalam BKKBN yang menyatakan bahwa perempuan menikah pada usia 21 tahun dan laki-laki pada usia 25 tahun, maka dapat dikatakan bahwa di desa ini sesuai data sementara diatas terjadi pernikahan dini yang cukup tinggi di desa ini. Berdasarkan informasi awal yang di dapat dari pihak pemerintahan desa Medan Sinembah, biasanya terjadi pernikahan dini sekitar 25-30 pasangan muda diantara 100-150 pernikahan setiap tahunnya. Artinya ada perbandingan sekitar 1 : 3 untuk pelaku pernikahan dini dengan pernikahan pada usia semestinya. Untuk itulah desa ini menarik untuk dilakukan penelitian tentang pernikahan dini. Pernikahan usia dini yang terjadi pada para remaja di masyarakat dapat disebabkan oleh faktor sosial budaya yang ada di masyarakat. Selain dari faktor tradisi yang berlangsung dari generasi ke generasi, ada juga faktor rendahnya tingkat pendidikan sehingga tidak mengerti secara benar hal apa saja yang dapat terjadi dan dampak dari pernikahan dini tersebut. Jika kita perhatikan mayoritas kasus pernikahan dini ini kerap terjadi di kalangan masyarakat kelas bawah, dimana sulitnya akses pendidikan dan juga minimnya perhatian orang tua terhadap pentingnya pendidikan. Terkait dengan ini, tidak jarang terjadi dalam pernikahan usia dini pada remaja kerap menimbulkan kekerasan simbolik yang sangat sulit dikenali oleh masyarakat awam. Bila kekerasan fisik dan psikologis wujudnya dapat dengan mudah dikenali, maka kekerasan simbolik ini sebaliknya (Martono, 2012: hal 1).
9 Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian untuk mendeskripsikan pernikahan usia muda serta dampak pernikahan usia muda tersebut dalam kehidupan berumah tangga. Praktik pernikahan dini ini yang akhirnya akan melanggengkan dan mempertahankan praktik kekerasan simbolik yang tertanam dari pemahaman masyarakat patriarkhi dalam rumah tangga yang tidak disadari oleh pelakunya di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang. Dengan melihat kenyataan ini, maka mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul “Kekerasan Simbolik dalam Pernikahan Dini (Studi Deskriptif di desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang) “.
I.2 Rumusan Masalah Penelitian ini berfokus pada fenomena sosial yang terjadi di kelompok masyarakat khususnya para anggota masyarakat baik tua ataupun muda pada saat ini, yang telah melakukan pernikahan dini atau pernikahan usia muda. Dimana para remaja ini dulunya, seharusnya mengisi waktu mereka dengan belajar dan berkreatifitas bersama teman-teman sebayanya hingga dapat tumbuh dewasa dan nantinya mampu untuk membangun rumah tangga sendiri. Ada sebuah hal menarik yang terjadi di Desa Medan Sinembah dimana para remajanya baik laki-laki atau pun perempuan banyak terlibat dalam pernikahan dini. Hal ini yang nantinya akan tetap mempertahankan paham patriarki dan kekerasan simbolik namun hal itu tidak
10 Universitas Sumatera Utara
disadari oleh mereka ataupun masyarakat pada umumnya. Maka peneliti menyimpulkan perumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana praktik kekerasan simbolik dalam rumah tangga pelaku pernikahan dini yang terjadi di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara? 2. Bagaimana pengaruh pernikahan usia dini terhadap kondisi sosial dan munculnya kekerasan simbolik bagi pasangan usia muda di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.
I.3 Batasan Masalah Dari penelitian yang berjudul “Pernikahan Dini dan Kekerasan Simbolik di desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang” ,maka batasan masalah/batasan konsep dari penelitian ini adalah mengenai pernikahan dini yang terjadi pada sebagian masyarakat yang menyebabkan kekerasan simbolik pada pasangan hasil pernikahan dini di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.
11 Universitas Sumatera Utara
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Tujuan penelitian dibuat untuk mengungkap keinginan peneliti dalam suatu penelitian (dalam Bungin, 2007: 77).). Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Agar peneliti dan pembaca dapat mengetahui dan mendeskripsikan praktik kekerasan simbolik dalam rumah tangga pelaku pernikahan dini yang terjadi di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. 2. Agar peneliti dan pembaca dapat mengetahui bagaimana pengaruh pernikahan usia muda terhadap kondisi sosial dan munculnya kekerasan simbolik bagi pasangan usia muda masyarakat yang terjadi di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.
I.4.2 Manfaat 1. Manfaat Teoritis 1. Memberikan pertimbangan bagi para remaja di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara sebelum mengambil keputusan untuk menikah muda.
12 Universitas Sumatera Utara
2. Mengembangkan pemahaman remaja terhadap risiko pernikahan di usia muda di kalangan masyarakat di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. 3. Memberikan masukan kepada para remaja yang merencanakan pernikahan, untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum melangsungkan pernikahan di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. 2. Manfaat Praktis 1. Bagi masyarakat umum, menambah wawasan bagi masyarakat mengenai seluk-beluk pernikahan dini. Serta membentuk keluarga bahagia dengan meminimalkan banyaknya pernikahan dini bagi yang belum matang usianya. 2. Bagi mahasiswa Sosiologi dan kaum akademisi, diharapkan dapat berguna bagi tambahan referensi mengenai fenomena pernikahan dini di masyarakat umum dan terkhusus di masyarakat daerah desa Medan Sinembah kecamatan Tanjung Morawa.
1.5 Defenisi Konsep Dalam sebuah penelitian ilmiah, defenisi konsep sangat diperlukan untuk mempermudah dan memfokuskan penelitian. Konsep-konsep yang penting dalam penelitian ini adalah :
13 Universitas Sumatera Utara
a. Pernikahan Dini Pernikahan dini disini adalah ‘pernikahan dini’ sebagai sebuah pernikahan yang dilakukan oleh mereka yang berusia di bawah usia yang dibolehkan untuk menikah dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974, yaitu minimal 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. b. Remaja Menurut WHO, yang disebut remaja adalah mereka yang berada pada tahap transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Batasan usia remaja menurut WHO adalah 12 sampai 24 tahun. Menurut Menteri Kesehatan RI tahun 2010, batas usia remaja adalah antara 10 sampai 19 tahun dan belum kawin. c. Gender Gender adalah pembedaan peran, perilaku, perangai laki-laki dan perempuan oleh budaya / masyarakat melalui interpretasi terhadap pembedaan biologis laki-laki dan perempuan (Daulay , 2007). Jadi gender, tidak diperoleh sejak lahir tapi dikenal melalui proses belajar (sosialisasi) dari masa anak-anak hingga dewasa. Oleh karena itu, gender dapat disesuaikan dan diubah. d. Kekerasan Simbolik Piere Bourdieu Menurut Bourdieu (Jenkins, 2004: 157) kekerasan simbolik adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna, termasuk dominasi budaya (modal atau habitus budaya) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami
14 Universitas Sumatera Utara
sebagai sesuatu yang sah. Legitimasinya meneguhkan
relasi kekuasaan yang
menyebabkan pemaksaan tersebut berhasil. Selama hal (sesuatu) diterima sebagai sesuatu yang sah, selama itu pula (kebudayaan) melalui relasi (dominasi) kekuasaan memberikan reproduksi yang terus-menerus dan sistematis. e. Dominasi Maskulin Dominasi maskulin adalah penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah, yang dalam hal ini adalah penguasaan oleh maskulin yang berjenis kelamin laki-laki kepada perempuan. Dominasi maskulin ini dianggap sebagai wujud paradigmatik dari kekerasan simbolik yang berupa kekerasan yang tak kasat mata, halus namun pervasive (menembus dan meresap) dan sering kali mendapat persetujuan dari pihak yang akan dikuasai. f. Budaya Patriarki Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Ayah memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki dan menuntut subordinasi perempuan.
15 Universitas Sumatera Utara
1.6 Operasional variabel Operasional variabel adalah suatu batasan yang diberikan kepada suatu variabel dengan cara memberikan arti atau mempersepsikan kegiatan ataupun memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur variabel tersebut. Menurut Umar (2003:63), variabel independent (bebas) adalah variabel yang me jelaskan atau mempengaruhi variabel yang lain, sedangkan variable dependent (tergantung) adalah variable yang yang dijelaskan atau yang dipengaruhi variable independent. Variabel bebas (kekerasan simbolik) antara lain : gerak isyarat, kontak badan, ekspresi wajah, sikap tubuh, jarak antar badan, benda sebagai peraga atau sarana linguistik yang berupa bahasa verbal. Sedangkan variabel terikat X1 (Pernikahan Dini) antara lain : kondisi ekonomi, pendidikan, pergaulan bebas, kebiasaan masyarakat dan budaya patriarki pada masyarakat. Selanjutnya variabel terikat lainnya X2 (Praktik Pernikahan Dini) antara lain : usia menikah, kematangan sosial dan kematangan emosional.
16 Universitas Sumatera Utara
1.7 Kerangka Pemikiran Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2005). Teori menurut Sappiro (2000) Pernikahan dini disebabkan oleh faktor Pengetahuan, pendidikan, dan penghasilan orang tua. Untuk lebih jelasnya maka dapat dilihat pada kerangka konsep sebagai berikut:
Variabel Bebas (X1)
PERNIKAHAN DINI 1. Kondisi Ekonomi 2. Kondisi Pendidikan 3. Pergaulan bebas 4. Budaya Patriarki 5. Kebiasaan Masyarakat
Variabel Terikat (Y)
KEKERASAN SIMBOLIK 1. 2. 3. 4. 5.
Gerak Isyarat Kontak Badan Ekspresi Wajah Tutur Bahasa Sikap Tubuh
Variabel bebas (X2)
PRAKTIK PERNIKAHAN DINI 1. Usia menikah 2. Kematangan sosial 3. Kematangan emosi
Sumber : olahan peneliti
17 Universitas Sumatera Utara
1.8 Bagan Operasional Variabel Konsep
Dimensi
Pernikahan Dini
Kondisi ekonomi
Indikator 1. Pekerjaan 2. Jumlah penghasilan 3. Jumlah tanggungan 4. Tingkat pengeluaran 5. Kepemilikan rumah 6. Kepemilikan lahan
Kondisi Pendidikan
1. Tingkat pendidikan 2. Angka
putus
sekolah Pergaulan Bebas
1. Perilaku seks bebas 2. Hamil di luar nikah
Budaya Patriarki
1. Mengutamakan kepentingan
anak
laki-laki 2. Laki-laki penentu
sebagai keputusan
dalam keluarga 3. pekerjaan domestik dikelola
oleh
perempuan
18 Universitas Sumatera Utara
4. anak sebagai
laki-laki pemegang
hak waris Kebiasaan masyarakat
1. perjodohan 2. Paksaan dari Orang Tua
Dominasi maskulin
1. Perempuan dianggap pada
cocok pekerjaan
domestik,
seperti
pelayanan, pengajaran
dan
pengasuhan 2. Perempuan boleh
tidak memiliki
otoritas
lebih
kepada laki-laki dan menempatkan dirinya
hanya
sebagai
asisten
(posisi tersubordinasi)
19 Universitas Sumatera Utara
3. Dalam
bidang
pekerjaan bersifat
yang publik
seperti teknik dan mesin
selalu
ada
kecenderungan dalam
masyarakat
memberikan
tugas
ini kepada laki-laki 4. Secara tidak sadar dalam
praktiknya,
perempuan
yang
didominasi
ini
menyetujui
dan
bahkan bangga jika ia didominasi
berhasil oleh
laki-laki. Sumber : berbagai sumber
20 Universitas Sumatera Utara
Konsep Praktik Pernikahan Dini
Dimensi Usia Menikah
Indikator 1. Bagi
perempuan,
melakukan pernikahan sebelum umurnya mencukupi seperti yang
disepakati
oleh BKKBN yaitu usia menikah pada perempuan adalah usia 21 tahun ke atas. 2. Bagi
laki-laki
Melakukan pernikahan sebelum umurnya mencukupi seperti yang
disepakati
oleh BKKBN yaitu usia menikah pada laki-laki
adalah
usia 25 tahun ke
21 Universitas Sumatera Utara
atas. 3. Pada usia
umumnya pernikahan
dini dilakukan pada usia 14-20 tahun Kematangan sosial
1. Interaksi
sosial
yang sehat 2. Penghargaan untuk perasaan orang lain 3. Keterampilan dalam
perawatan
diri 4. Sikap netral dalam pengambilan keputusan di dalam dan di luar rumah tangga Kematangan emosional
1. Dapat
melakukan
kontrol diri 2. Menggunakan kemampuan kritis mental
22 Universitas Sumatera Utara
3. Melihat
segala
sesuatunya secara obyektif 4. Dapat mengarahkan energi
emosi
ke
aktivitas-aktivitas yang
sifatnya
kreatif
dan
produktif 5. Mampu membedakan perasaan
dan
kenyataan 6. Tidak
mudah
berubah pendirian Sumber: berbagai sumber Konsep Kekerasan Simbolik
Dimensi Gerakan Isyarat
Indikator Gerakan
tubuh
bertujuan mengancam
yang untuk atau
mengintimidasi
23 Universitas Sumatera Utara
Kontak Badan
Pemaksaan
hubungan
seksual(meraba,memcium, meremas, menghisap) Ekspresi Wajah
Menatap
dengan
sinis,
tatapan genit Tutur Bahasa
Menggunakan
bahasa
kasar, menggunakan nada suara tinggi, membentak pasangan Sikap Tubuh
Membuat yang
tidak
bertujuan mengancam gertakan
posisi
tubuh
wajar
dan untuk
seperti menampar,
menendang, mencekik dsb. Sumber: berbagai sumber
24 Universitas Sumatera Utara