1
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten
Takalar merupakan salah satu daerah penangkapan ikan
terbang yang berada antara 5.30 - 5.330 derajat Lintang Selatan dan antara 119.220118.390 derajat Bujur Timur. Kabupaten Takalar dengan ibukota Pattalasang terletak 29 km arah selatan dari Kota Makassar ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Luas wilayah Kabupaten Takalar adalah sekitar 566,51 km2, dimana 240,88 km2 diantaranya merupakan wilayah pesisir dengan panjang garis pantai sekitar 74 km dan dengan luas pantai sekitar 246,99 km2 atau 46,6% luas wilayahnya. Salah satu hasil perikanan tangkap yang ada di Kabupaten Takalar adalah ikan terbang. Ikan terbang ternasuk famili Exocoetidae dan merupakan komponen utama pelagis kecil indonesia, terutama Sulawesi Selatan. Ikan terbang memiliki wilayah sebaran yang luas, sehingga ini hampir diperoleh pada semua perairan tropik dan subtropik. Jaring insang (gill net) merupakan alat tangkap yang prinsipnya menjerat dan membelit, insang pada ikan, dan yang menjadi fishing ground adalah daerah pantai, teluk, dan muara-muara yang mengakibatkan pula jenis ikan yang tertangkap berbagai jenis. Jaring insang ini adalah alat tangkap yang paling efektif untuk menangkap ikan terbang. Alat ini dipakai secara luas di Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah sampai ke Maluku Tenggara. Sedangkan bila menginginkan telurnya, nelayan Sulawesi Selatan menggunakan alat tangkap bubu hanyut yang diberi daun kelapa untuk menarik ikan meletakkan telurnya. Nelayan di Maluku Tenggara menyediakan tempat bertelur ikan terbang berupa daun-daunan yang diapungkan dipermukaan air
2
(Tambunan, 2005). Pasiama (1991) melaporkan penangkapan ikan terbang berlebihan terjadi pada tahun 1979-1984 di sekitar perairan Takalar Hasil tangkapan Ikan terbang di Kabupaten Takalar pada tahun 2005 – 2009 dapat dilihat pada Gambar 1. PRODUKSI IKAN TEBANG 1800.0 1600.0 1400.0 1200.0 1000.0 800.0 600.0 400.0 200.0 0.0 2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 1. Produksi Ikan terbang di Kab. Takalar Dalam Kurun Waktu 5 tahun. Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Takalar tahun 2005 - 2009
Berdasarkan Gambar 1 diatas maka dapat diketahui bahwa produksi ikan terbang di Kabupaten Takalar pada tahun 2005 -2009 berada pada jumlah produksi yang relatif tetap (± 1000 ton).
Didasari oleh hal tersbut maka perlu diadakan
penelitian untuk mengetahui lokasi panangkapan ikan oleh nelayan dan juga jumlah hasil tangkapannya untuk mengetahui lokasi penangkapan yang terbaik.
3
B.Tujuan dan Kegunaan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui hubungan parameter oseanografi dengan hasil tangkapan ikan terbang (exocoetidae) di perairan Kabupaten Takalar. 2. Memetakan daerah potensial penangkapan ikan terbang (exocoitidae) di perairan kabupaten takalar dengan pendekatan Sistem Informasi Geografis.
Sedangkan kegunaan dari penelitian ini sebagai bahan informasi mengenai daerah potensial untuk penangkapan ikan terbang bagi pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan khususnya ikan Terbang di perairan Takalar.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA A. 1.
Ikan Terbang Klasifikasi Dan Morfologi
Menurut Parin (1999) dalam Nurmawati 2007 ikan terbang (Hirundichthys oxycephalus) diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom
:Animalia
Filum
:Chordata
Su Filum
:Vertebrata
Ordo
:Beloniformes
Famili
:Exocoetidae
Genus
:Cyselurus
Sub Genus :Hirundichtys
Spesies
:Hirundichthys oxycephalus
Sumber
: Bleeker 1852 dalam Nurmawati 2007
5
(a)
(b)
Gambar 2. Spesies dominan ikan terbang, Hirundichthys oxycephalus Laut Flores dan Selat Makassar Sulsel.( Bleeker 1852 dalam Nurmawati 2007) Karakter ikan terbang yaitu bentuk tubuh memanjang, silindris, beberapa spesies mempunyai bagian perut yang datar, kepala pendek, dan mulut kecil. Gurat sisi (lateral line) berada tepat menyentuh dasar sirip perut yang berfungsi sebagai alat deteksi terhadap mangsa dari bawah, dan mata yang diadaptasikan untuk melihat, baik di udara maupun di dalam air (Kutschera, 2005). Untuk dapat terbang melayang, diperlukan empat tahap “manouvre” atau olah gerak. Pertama, berenang secepatnya di bawah permukaan air dengan sirip (sayap) rapat ke tubuh. Tahap kedua, sebagian besar tubuhnya telah muncul ke luar dari air tetapi ekornya masih tetap di air. Pada saat ini sayap telah direntangkan,
6
sedangkan ekornya masih mendayung dengan kuat di permukaan dengan gerakan kiri-kanan yang sangat cepat, untuk mendapatkan kecepatan awal yang cukup untuk lepas landas. Jarak atau awalan yang diperlukan untuk dapat terbang berkisar 5-15 m dengan kecepatan ± 36 km/jam. Lamanya terbang dengan terputus-putus dapat mencapai sekitar 30 detik, sedangkan total jarak terbangnya bervariasi, bisa mencapai 100-300 m. Tidak jelas benar apa alasan yang menyebabkan torani terbang, salah satu kemungkinan ialah untuk menghindari musuh yang akan menerkamnya (Nontji, 1987). 2.
Habitat dan Penyebaran Secara alamiah habitat ikan terbang hidup di perairan yang jernih dan
menghindari perairan yang keruh atau berlumpur. Oleh karena itu, tingkat kehidupan dari ikan terbang ini baik secara langsung atau tidak langsung sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan perairan (Tambunan, 2005 dalam Dirhamsyah dkk, 2008). Awal penangkapan induk ikan terbang yang menggunakan jarring insang hanyut tidak bersamaan dengan awal penangkapan telur yang menggunakan balebale di Laut Flores. Walau dalam bulan januari kadang-kadang ada beberapa nelayan yang telah menangkap ikan terbang, namun penangkapan intensif induk ikan terbang dilakukan mulai Februari-Juli. Berdasarkan analisis data pendaratan ikan terbang di Topejawa, Kabupaten Takalar pada periode 2002-2007 menunjukkan bahwa terdapat dua puncak tangkapan pada setiap musimnya. Puncak pertama terjadi pada bulan Februari sedangkan puncak tangkapan kedua terjadi pada bulan Mei sampai dengan Juni pada setiap musimnya dan penangkaapan induk akan berakhir bulan Juli ketika populasi ikan berada pada puncak pemijahan (Dirhamsyah dkk, 2008).
7
Berdasarkan pengamatan di lapangan, di Provinsi Sulawesi Barat terdapat 2 lokasi penangkapan baik untuk telur maupun ikan terbangnya. Berbeda dengan nelayan-nelayan Majene dan Mamuju, nelayan-nelayan di Kabupaten Polewali Mandar (POLMAN) memfokuskan tangkapannya pada telur dan ikan terbangnya, namun lebih besar titik beratnya pada penangkapan telur ikan terbang. Ikan terbangnya sebagai sampingan saja. Secara geografis nelayan-nelayan dari Kabupaten Pare-Pare dan Barru melakukan penangkapannya di wilayah perairan Selat Makassar, sedangkan nelayan dari kabupaten Takalar lebih banyak beroperasi di wilayah Laut Flores (Dirhamsyah, 2008).
B. Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis merupakan sistem berbasis computer yang didesain untuk mengumpulkan, mengelola, memanipulasi, dan menampilkan informasi spasial (keruangan)1. Yakni informasi yang mempunyai hubungan geometric dalam arti bahwa informasi tersebut dapat dihitung, diukur, dan disajikan dalam sistem koordinat, dengan data berupa data digital yang terdiri dari data posisi (data spasial) dan data semantiknya (data atribut). SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis suatu obyek dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting, dan memerlukan analisis yang kritis. Penanganan dan analisis data berdasarkan lokasi geografis merupakan kunci utama SIG. Oleh karena itu data yang digunakan dan dianalisa dalam suatu SIG berbentuk data peta (spasial) yang terhubung langsung dengan data tabular yang mendefinisikan bentuk geometri data spasial. Misalnya apabila kita membuat suatu theme atau layer tertentu, maka secara otomatis layer tersebut akan memiliki data tabular yang berisi
8
informasi tentang bentuk datanya (point, line atau polygon) yang berada dalam layer tersebut . (Aronoff, 1989). 1.
Komponen Sistem Informasi Geografis SIG merupakan sistem yang kompleks dan terintegrasi
dengan lingkungan
sistem-sistem yanglain, baik fungsional maupun jaringan. Komponen penting dalam SIG terbagi atas 5 komponen pelaksana, perangkat keras, perangkat lunak, prosedur dan data. Secara global kelima komponen tersebut dapat disederhanakan menjadi tiga komponen yakni : sistem komputer (perangkat keras, perangkat lunak, dan prosedur) dataa dan organisasi pelaksana
(Eddy Prahasta, 2005).
2. Konsep Sistem Informasi Geografis Sumber data untuk keperluan GIS dapat berasal dari data citra, data lapangan, survei kelautan, peta, sosial ekonomi dan GPS. Selanjutnya diolah dilaboratorium atau studio GIS dengan software tertentu sesuai dengan kebutuhannya untuk menghasilkan produk yang berupa informasi yang berguna dapat berupa peta konvensional maupun peta digital sesuai keperluan user, maka harus ada input kebutuhan yang diiinginkan user, dapat dilihat pada gambar berikut :
9
Gambar 3 : Sistem penginputan data dari Sistem Informasi Geografis (Eddy Prahasta, 3.
2005)
Keunggulan Sistem Informasi Geografis Beberapa keuntungan pengolahan data berbasis komputer yang erat
kaitannya dengan SIG (Salamun, 2001 dalam Hanapi, 2004) antarra lain : a) Penyimpanan data (digital) lebih terjamin dan mudah diatur dibanding penyimpanan data konvensional. b) Penggunaan data yang sama (dari sekumpulan peta) dapat dikurangi sebab data digital punya basis data ssehingga data yang tersimpan dalam basis data dapat digunakan untuk berbagai keperluan dan dalam aspek yang berbeda. Kualitas data digital grafis jauh lebih konsisten. c) Pekerjaan revisi menjadi lebih mudah (karena dapat dilakukan cara terpisah) serta cepat (karena basis data digital mampu menangani
10
data dalam jumlah banyak). Produktivitas para pelaksanan yang bekerja dalam proses pengumpulan, pengelolaan analisis dan distribusi data akan bertambah. d) Analisis, pencarian dan penyajian data menjadi lebih mudah sebab SIG data mempunyai klasifikasi yang jelas (bukan berdasarkan skala dan tema saja). Dengan demikian akan mudah mencari jawaban untuk hal-hal seperti keterdekatan, ada apa (daerah pertanian, permukiman), informasi tentang potensi lahan dan daerah mana yang
potensial
dijadikan
areal
pengembanagan
kota
dan
sebagainya. 4.
Hubungan Aplikasi SIG Untuk Zona Potensi Penangkapan Ikan Masalah yang umum dihadapi adalah keberadaan daerah penangkapan ikan
yang bersifat dinamis, selalu berubah/berpindah mengikuti pergerakan ikan. Secara alami ikan akan memilih habitat yang lebih sesuai,sedangkan habitat tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi oseanografi perairan. Dengan demikian daerah potensi penangkapan ikan sangat dipengaruhi oleh faktor oseanografi perairan. Kegiatan penangkapan ikan akan menjadi lebih efisien dan efektif apabila daerah penangkapan ikan dapat diduga terlebih dahulu, sebelum armada penangkapan ikan berangkat dari pangkalan. Salah satu cara untuk mengetahui daerah potensial penangkpan ikan adalah melalui studi daerah penangkapan ikan dan hubungannya dengan fenomena oseanografi secara berkelanjutan (Priyanti, 1999)Dengan menggunakan SIG, gejala perubahan lingkungan berdasarkan ruang dan waktu dapat disajikan, tentunya dengan dukungan berbagai informasi data, baik melalui
11
survey langsung maupun dengar. Penginderaan Jarak Jauh (INDERAJA). Proses perubahan lingkungan perairan tersebut menjadi studi dalam penentuan ”Daerah Penangkapan Ikan”. C. PARAMETER OSEANOGRAFI 1. Suhu Suhu adalah ukuran energi gerakan molekul. Di samudera, suhu bervariasi secara horizontal sesuai garis lintang dan juga secara vertikal sesuai dengan kedalaman. Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Proses kehidupan yang vital yang secara kolektif disebut metabolisme, hanya berfungsi didalam kisaran suhu yang relative sempit biasanya antara 0-40°C, meskipun demikian bebarapa beberapa ganggang hijau biru mampu mentolerir suhu sampai 85°C. Selain itu, suhu juga sangat penting bagi kehidupan organisme di perairan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas maupun perkembangbiakan dari organisme tersebut. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak dijumpai bermacam-macam jenis ikan yang terdapat di berbagai tempat di dunia yang mempunyai toleransi tertentu terhadap suhu. Ada yang mempunyai toleransi yang besar terhadap perubahan suhu, disebut bersifat euryterm. Sebaliknya ada pula yang toleransinya kecil, disebut bersifat stenoterm. Sebagai contoh ikan di daerah sub-tropis dan kutub mampu mentolerir suhu yang rendah, sedangkan ikan di daerah tropis menyukai suhu yang hangat. Suhu optimum dibutuhkan oleh ikan untuk pertumbuhannya. Ikan yang berada pada suhu yang cocok, memiliki selera makan yang lebih baik. (Nontji, 1993).
12
2. Arus Arus sangat mempengaruhi penyebaran ikan, menyatakan hubungan arus terhadap penyebaran ikan adalah arus mengalihkan telur-telur dan anak-anak ikan petagis dan daerah pemijahan ke daerah pembesaran dan ke tempat mencari makan. Migrasi ikan-ikan dewasa disebabkan arus, sebagai alat orientasi ikan dan sebagai bentuk rute alami; tingkah laku ikan dapat disebabkan arus, khususnya arus pasut, arus secara langsung dapat mempengaruhi distribusi ikan-ikan dewasa dan secara tidak langsung mempengaruhi pengelompokan makanan Ikan bereaksi secara langsung terhadap perubahan lingkungan yang dipengaruhi oleh arus dengan mengarahkan dirinya secara langsung pada arus. Arus tampak jelas dalam organ mechanoreceptor yang terletak garis mendatar pada tubuh ikan. Mechanoreceptor adalah reseptor yang ada pada organisme yang mampu memberikan informasi perubahan mekanis dalam lingkungan seperti gerakan, tegangan atau tekanan. Biasanya gerakan ikan selalu mengarah menuju arus. (Nontji, 1993). 3. Kedalaman Perairan Kedalaman perairan sekitar 50-70 meter, suhu perairan secara alami merupakan lapisan hangat oleh karena mendapat radiasi matahari pada siang hari, hal ini disebabkan karena angin mengakibatkan terjadinya pengadukan hingga lapisan tersebut mendapat suhu hangat (28oC) yang homogen (Nontji, 1987). Menurut Amiruddin (1987) dalam Safruddin (2000) faktor kedalaman perairan tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap hasil tangkapan dan secara parsial
13
memberikan pengaruh positif tidak nyata terhadap hasil tangkapan yang diperoleh pada kondisi kecepatan arus dan suhu perairan konstan. 4. Salinitas Salinitas adalah kadar garam seluruh zat yang larut dalam 1.000 gram air laut, dengan asumsi bahwa seluruh karbonat telah diubah menjadi oksida, semua brom dan lod diganti dengan khlor yang setara dan semua zat organik menga1ami oksidasi sempuma (). Salinitas mempunyai peran penting dan memiliki ikatan erat dengan kehidupan organisme perairan termasuk ikan, dimana secara fisiologis salinitas berkaitan erat dengan penyesuaian tekanan osmotik ikan tersebut Faktor – faktor yang mempengaruhi salinitas : 1. Penguapan, makin besar tingkat penguapan air laut di suatu wilayah, maka salinitasnya tinggi dan sebaliknya pada daerah yang rendah tingkat penguapan air lautnya, maka daerah itu rendah kadar garamnya. 2. Curah hujan, makin besar/banyak curah hujan di suatu wilayah laut maka salinitas air laut itu akan rendah dan sebaliknya makin sedikit/kecil curah hujan yang turun salinitas akan tinggi. 3. Banyak sedikitnya sungai yang bermuara di laut tersebut, makin banyak sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitas laut tersebut akan rendah, dan sebaliknya makin sedikit sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitasnya akan tinggi.. (Nontji, 1987).
14
5. Klorofil- a Klorofil-a
merupakan
produktivitas primer di laut.
salah
satu
parameter
yang
sangat
menentukan
Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a
sangat terkait dengan kondisi oseanografi fisika suatu perairan. Sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara geografis maupun berdasarkan kedalaman perairan. Variasi tersebut diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari, dan konsentrasi nutrien yang terdapat di dalam suatu perairan. Di Laut, sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasi pada perairan pantai dan pesisir, serta rendah di perairan lepas pantai. Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya suplai nutrien dalam jumlah besar melalui run-off dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara langsung (Presetiahadi, 1994). Nilai rata-rata kandungan klorofil di perairan Indonesia sebesar 0,19 mg m-3. Nilai rata-rata pada saat berlangsung musim timur (0,24 mg m-3) menunjukkan nilai yang lebih besar dibandingkan musim barat (0,16 mg m-3). Daerah-daerah dengan nilai klorofil tinggi mempunyai hubungan erat dengan adanya proses penaikan massa air (upwelling). Dengan memperhatikan produktivitas primer dari suatu perairan maka potensial untuk dijadikan lokasi penangkapan dapat ditentukan karena daerah tersebut akan menjadi tempat yang disukai oleh berbagai spesies laut akibat terjadinya proses rantai makanan (Nontji, 2002). D.
Pemetaan Daerah Penangkapan Ikan Terbang Pemanfaatan perkembangan teknologi angkasa luar (satelit) memberikan
dampak yang positif bagi pengelolaan sumberdaya perairan. Salah satunya adalah
15
untuk memetakan daerah penangkapan ikan terbang dengan bantuan GPS (Global Positioning System) dengan menggunakan pendekatan parameter oseanografi yaitu salinitas, kedalaman, suhu dan indeks klorifil-a suatu perairan. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengna menggunakaan SIG bagi pengelolaan sumberdaya perairan (Kam et.al., 1992 dalam Hanapi, 2004) diantaranya adalah mampu mengintegrasikan data dari berbagai format data (grafik, teks, digital dan analog) dari berbagai sumber, selain itu juga mampu melakukan pemodelan, pengujian dan perbandingan beberapa alternatif kegiatan sebelum dilakukan aplikasi di lapangan. Sistem pemetaan yang biasanya dilakukan dapat juga memanfaatkan bantuan penginderaan jauh yang nantinya data dari hasil analisa citra digital dipetakan kedalam format SIG. Salah satu cara untuk mengintegrasikan penginderaan jarak jauh dengan system SIG (Campbell, 1987 dalam Hanapi, 2004) yaitu data digital penginderaan jarak jauh dianalisais dan diklasifikasi secara digital, hasil keluaran dari proses tersebut berupa peta konvensional kemudian didigitasi ke dalam SIG.
E.
Alat Tangkap Menurut Dirhamsyah (2008), penggunaan suatu jenis alat tangkap tidak
hanya ditentukan oleh jenis atau spesies ikan yang akan ditangkap, namun ditentukan juga oleh kondisi geomorfologi serta kedalaman laut tempat menangkap spesies target. Perairan Selat Makassar dan Laut Flores masuk dalam kategori perairan laut dalam (lebih dari 2,000 meter), dengan geomorfologi yang rata-rata curam (drop). Kondisi ini menyebabkan perairan Selat Makassar didiami lebih banyak oleh jenis-jenis ikan pelagis (ikan laut dalam). Oleh karena itu wajar bila alat-
16
alat tangkap yang dipergunakan oleh nelayan-nelayan di sekitar Selat Makassar lebih banyak menggunakan gill net daripada pukat pantai atau bagan (Sturdy Stick) yang dipergunakan untuk menangkap ikan-ikan domersal. Kecuali untuk menangkap atau mengambil telur ikan terbang, alat tangkap yang dipergunakan untuk menangkap ikan terbang adalah jenis-jenis alat tangkap yang sama dipergunakan untuk menangkap ikan di laut pada umumnya. Namun pada umumnya nelayan di Sulawesi mempergunakan beberapa jenis jaring insang (gill nets) untuk menangkap ikan terbang. Panjang rata-rata berukuran lebar (tinggi) sekitar 1.5 meter dan panjang berkisar antara 675 meter sampai 875 meter (25 sampai 32 pieces net).
17
III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2011 disekitar perairan
Kabupaten
Takalar,
dengan
fishing
base
Selatan,Desa Bonto Marannu, Dusun Pa’bottoang.
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian
Kecamatan
Galesong
18
B. Alat dan Bahan Untuk melakukan penelitian ini digunakan alat dan bahan seperti yang disajikan pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Alat yang digunakan dalam penelitian. No
Nama Alat
Kegunaan
1
Satu Unit Alat Tangkap Gill net
2
Global Positioning Sistem (GPS)
3
Salinometer
Mengukur salinitas
4
Layangan arus
Mengukur kecepatan arus
5
Seperangkat Komputer
Mengolah data
6
Kamera Digital
Dokumentasi
7
Timbangan
8
Seperangkat Komputer
9
SPSS 15, Microsoft Excel, Envi 4.7 , Etopo dan Arc View 3.3
Untuk menangkap ikan Menentukan koordinat daerah penangkapan ikan
Untuk menimbang hasil tangkapan Mengolah data
Analisis Data
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yaitu peta rupa bumi, data citra satelit dan data statistik perikanan Kabupaten Takalar, sedangkan data primer yaitu data parameter oseanografi dan hasil tangkapan yang diambil dari lapangan.
19
C. Prosedur Penelitian 1. Tahap persiapan Tahap ini meliputi studi pendahuluan yaitu studi literatur, observasi lapangan, konsultasi dengan beberapa pihak utamanya dosen pembimbing,pengambilan data sekunder, dan menyiapkan peralatan yang digunakan dalam kegiatan. 2. Tahap penentuan stasiun Penentuan stasiun dilakukan berdasarkan titik daerah penangkapan nelayan, dengan berdasarkan informasi daerah dan musim penangkapan dari nelayan setempat, agar daerah yang diamati adalah daerah tempat ikan tertangkap. Melakukan pengambilan titik stasiun dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) 3. Tahap pengambilan data Tahap ini meliputi pengambilan data terhadap parameter oseanografi sepeti suhu, arus, salinitas dan kedalaman serta hasil tangkapan dengan melakukan pengukuran langsung di lapangan. Pengambilan data oceanografi ini dilakukan dilakukan sebanyak 30 kali. Sedangkan untuk kelengkapan data, digunakan Peta Rupa Bumi (RBI) dalam mendukung penentuan stasiun. D. Analisis Data Untuk menyatakan hubungan antara hasil tangkapan dengan parameter oseanografi, perlu dilakukan terlebih dahulu uji kenormalan residu hasil tangkapan, kemudian menggunakan analisis Non Linier Berganda (Cobb Douglas), untuk mengetahui variabel signifikan dari setiap parameter.
20
1. Uji Asumsi Persamaan Regresi Untuk mengetahui uji kenormalan residu hasil tangkapan maka digunakan analisis regresi yang dipakai untuk mendefinisikan hubungan matematis antara variabel dependent (y) dengan satu atau beberapa variabel independent (x), ada beberapa asumsi mendasar dalam analisis regresi, yaitu : a. Residu` mengikuti distribusi normal artinya dilakukan pemeriksaan melalui pengujian normalitas residual, dengan melihat uji statistik Kolmogorov Smirnov dimana nilai p-value > 0,05. Uji kenormalan bisa dilihat juga dari hasil grafik normal P-Plot, dimana pencaran residual harus berada di sekitar garis lurus melintang. b. Varians residu konstan untuk setiap pengamatan (homoskedastisitas) artinya tidak adanya problem heteroskedastisitas, yang dapat dilihat dari hasil scatter plot, dimana data tidak membentuk suatu pola tertentu. c. Tidak Terdapat Autokorelasi antara residu untuk setiapa data pengamatan pengujian dengan melihat tidak adanya problem autokorelasi yang dintunjukkan oleh nilai Durbin Watson, dengan kriteria keputusan : apabila nilai Durbin Watson d < du atau (4 – du),du maka hipotesis nol ditolak, sebaliknya jika du < d < 4- du maka hipotesis nol diterima. d. Tidak terdapat problem multikolineritas antara variabel independen Pemeriksaan ini dapa dilihat dari nilai VIF >10, maka dapat dikatakan terdapat gejala multikolinneritas, tetapi apabila nilai VIF < 10, maka dikatakan tidak adanya problem multikolineritas, yang artinya bahwa tidak terdapat hubungan linear yang sangat tinggi antara variabel independen.
21
2. Analisis Regresi Cobb Douglas Analisis Cobb Douglas ini,maka akan terlihat bahwa variabel bebas (X) mana (suhu,salinitas,arus,kedalaman dan kandungan klorofil-a) yang sangat berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan,sebagai variabel tak bebas (Y). Analisis Non Linier Berganda (Cobb Douglas) diformulasikan sebagai berikut : Y = a X1b1 X2b2 X3b3 X4b4 X b5 e Persamaan ini kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma untuk memudahkan perhitungan, sebagai berikut: Log Y = Log a+ b1 LogX1 + b2 LogX2 + b3 LogX3 + b4LogX4 + b5 LogX5 + e dimana : Y =
Hasil tangkapan/ trip (kg/trip)
a =
Koefisien potongan (Konstanta)
b1 =
Koefisien regresi parameter suhu
b2 =
Koefisien regresi Klorofil-a
b3 =
Koefisien regresi Kedalaman
b4 =
Koefisien regresi salinitas
b5 =
Koefisien regresi Kecepatan arus
X1 =
Suhu perairan (0C)
X2 =
Klorofil-a (mgm-3)
22
3. Analisis Varians (Uji-F) Pengujian
ini
dilakukan
untuk
menguji
pengaruh
variabel
bebas
(independent) secara bersama terhadap variabel tak bebas (dependent). Dari tabel Anova didapatkan nilai significance F dimana jika Fhitung lebih kecil dari Ftabel dari taraf uji 0,05 berarti berpengaruh nyata, dan jika lebih besar dari 0,05 berarti tidak berpengaruh nyata. 4. Analisis Koefisien Regresi (Uji-t) Untuk melihat uji satu-satu dari setiap faktor oseanografi yang diteliti, maka dilakukan uji-t dengan membandingkan thitung dengan ttabel untuk mendapatkan model regresi terbaik dan untuk mengetahui berapa besar pengaruh masing-masing parameter oseanografi. 5. Analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) Tahap ini terdapat beberapa kegiatan yang yang dilakukan : 1. Tahap pertama Melakukan digitasi terhadap hasil scanning dari Peta Rupa Bumi (RBI) wilayah Kabupaten Takalar, peta kedalaman dan peta pendukung lainnya untuk mendapatkan gambaran lokasi penelitian, dan sekaligus penentuan batasan wilayah penelitian yang masuk dalam wilayah tersebut. 2. Tahap kedua Melakukan suatu topologi yakni penyusunan atau pemasukan semua data atribut/database dalam bentuk file DBF(*dbf) berupa data parameter oseanografi (suhu, salinitas, arus dan kedalaman) serta hasil tangkapan (lapangan/prediksi). Hal
23
ini dilakukan untuk membangun hubungan antara data spasial dengan data atribut setiap parameter yang digunakan dengan menggunakan perangkat lunak Arc View 3.3. 3. Tahap ketiga Melakukan interpolasi terhadap hasil tangkapan lapangan dan hasil tangkapan prediksi (hasil analisis) dengan tujuan untuk mendapatkan peta tematik dalam bentuk data spasial 4. Tahap keempat Melakukan permodelan yang meliputi overlay dengan perintah union terhadap setiap layer pada tematik yang sudah dalam bentuk data spasial dan lengkap dengan atributnya. 5.
Tahap kelima Dalam tahap ini, dimana hasil analisis dapat disajikan , berupa grafik, tabel
dan gambar dalam bentuk peta zona potensi penangkapan ikan dan disertai penjelasan deskriptif. Menampilkan peta hasil analisis dengan menggunakan perangkat lunak Arc View 3.3 dan melayoutnya sesuai dengan kaidah kartografi.
24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Luas wilayah Kabupaten Takalar mencapai 566,51 km² dan luas perairan laut mencapai 223,07 km2 dengan rincian wilayah yakni berada di 05,30º – 05,38º Lintang Selatan dan 119,02º – 119,39º Bujur Timur.Kabupaten Takalar sendiri berbatasan dengan Kota Makassar dan Kabupaten Gowa pada sebelah Utara, Kabupaten Jeneponto dan Kabupaten Gowa pada sebelah Timur, Laut Flores pada sebelah Selatan, dan Selat Makassar pada sebelah Baratnya. Kecamatan Galesong selatan merupakan kecamatan yang terletak di sebelah barat dari Kabupaten Takalar,dimana sebagian besar wilayahnya berbatasan langsung dengan lautan.Lokasi fishing base selama penelitian berada di Desa Bontomarannu Dusun Pa’bottoang.Umunya masyarakat Dusun Pa’bottoang bermata pencaharian sebagai nelayan, baik nelayan “Pattorani” maupun nelayan lainnya. Namun sebagian besar
dari mereka adalah nelayan penangkap ikan
terbang atau biasa disebu ”Pa’puka”. B. Deskripsi Alat Tangkap 1. Kapal Gill Net Umumnya kapal yang digunakan saat penelitian terbuat dari kayu damar. Ukuran kapal itu sendiri bervariasi, namun yang digunakan saat penelitian adalah kapal Gill net dengan panjang (P) 17 meter, lebar kapal (L) 2,5 meter dengan tinggi kapal (D) 1,5 meter. Sebagai tenaga penggerak di gunakan mesin diesel yang
25
menggunakan solar sebagai bahan bakar. Adapun kapal yang digunakan dalam penelitian dapat di gunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 4
Gambar 4. kapal Gill net yang digunakan oleh nelayan di perairan Kabupaten Takalar 2. Alat Tangkap Gill Net Alat tangkap yang digunakan selama penelitian adalah jaring insang (Gill net) dengan jenis jaring insang hanyut dengan panjang jaring jaring mencapai 1200 meter dan lebar 2 meter terbuat dari monofilamen dengan ukuran mata jaring 1,5 inci. Pada jaring insang (Gill net) ini di gunakan dua macam pelampung yaitu pelampung utama dan pelampung tanda. Pelampung utama terbuat dari bahan karet sendal tidak menyerap air yang di pasang pada tali ris atas dengan jarak masingmasing antar pelampung 30 cm. Sedangkan pelampung tanda ada dua buah yang terbuat dari styrofoam berbentuk segi empat bujur sangkar yang di pasangi tiang bendera yang berfungsi sebagai tanda kemudian diikatan pada kedua ujung jaring. Sedangkan Pemberat yang digunakan terbuat dari bahan Timah berbentuk silindris
26
yang di pasang pada tali ris bawah dengan jarak masing- masing 30 cm. Gambar alat tangkap yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 5 .
Gambar 5. Alat tangkap Gill net yang dioperasikan di perairan Kabupaten Takalar. 3. Metode Pengoperasian Alat tangkap Gill net yang digunakan selama penelitian di operasikan pada pagi atau siang hari. Pemberangkatan ke lokasi penangkapan dilakukan pada pukul 02.00- 03.00 WITA. Biasanya menempuh waktu 5-6 jam dari Fishing base ke daerah Fishing ground. Setelah sampai di lokasi Fishing ground, maka dilakukan pencarian lokasi pemasangan jaring dengan indikator adanya ikan terbang yang muncul ke permukaan. Apabila punggawa telah menentukan lokasi pemasangan jaring maka jaring pun diturunkan oleh ABK. Adapun urutan operasi penangkapan yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. jaring diturunkan keperairan dimana pada ujung jaring telah diikat dengan pelampung tanda dan bendera sementara kapal tetap dalam posisi terus berjalan dalam kecepatan rendah.
27
b. setelah seluruh jaring telah di turunkan, ujung jaring yang juga diberi pelampung tanda dan bendera diikatkan pada haluan kapal dan mesin kapal dimatikan selama ± 2- 3 jam. c. tiap jam, kapal mengecek posisi keberadaan jaring maupun ikan yang telah terjerat. d. setelah memperkirakan ikan telah banyak terjerat maka jaring kemudian di tarik naik ke atas kapal oleh dua (2) orang ABK dengan posisi kapal yang bergerak secara perlahan menuju ujung jaring yang satunya. e. setelah jaring naik ke atas kapal, hasil tangkapan kemudian di pisahkan dari alat tangkap oleh para ABK. Berdasarkan hasil identifikasi di peroleh bahwa hasil tangakapan dominan umumnya marga cheilopogon sp di antaranya adalah C poecilopterus.
Gambar 6. Jenis ikan terbang yang tertangkap, yaitu C poecilopterus
28
4. Musim Penangkapan Penangkapan ikan terbang di kabupaten Takalar khususnya di Dusun Pa’bottoang dilakukan dari bulan februari sampai bulan juli (musim barat), sedangkan dari bulan agustus sampai bulan desember (musim timur) digunakan nelayan untuk beristirahat dan memperbaiki kapal dan jaring, ini dikarenakan angin yang kuat dan gelombang yang keras, sehingga tidak memungkinkan nelayan untuk turun melaut. C. Analisis Parameter Oseanografi Terhadap Hasil Tangkapan. Untuk mendapatkan hubungan kondisi oseanografi dengan hasil tangkapan pada penelitian ini perlu dilakukan uji kenormalan terhadap hasil tangkapan sebelum melakukan analisis beberapa parameter. Berdasarkan hasil pengukuran parameter suhu (X1), Klorofil (X2), Kedalaman (X3) dan Salinitas (X4) dan Kecepatan Arus (X5) yang kemudian dijadikan variabel bebas (independent) sedangkan hasil tangkapan ikan terbang (Y) dijadikan variabel tak bebas (dependent). Parameter suhu, kedalaman, klorofil-a dan kecepatan arus diduga memiliki hubungan dan pengaruh terhadap hasil tangkapan Ikan Terbang. Berdasarkan hasil uji kenormalan residu hasil tangkapan (Lampiran 2) dapat diketahui bahwa nilai residu hasil tangkapan mengikuti distribusi normal, hasil dari uji LilieFors dapat dilihat dari tabel 2 berikut ini.
29
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov(a) Statistic residu
,097
df
Sig. 52
,200(*)
Shapiro-Wilk Statistic ,978
df
Sig. 52
,442
* This is a lower bound of the true significance. a Lilliefors Significance Correction
Hasi dari Uji LilieFors ( tabel 2), didapatkan nilai signifikasi adalah 0,20 dengan demikian dapat diketahui bahwa nilai residu hasil tangkapan berdistribusi normal dengan mengikuti asumsi bahwa nilai p-value lebih besar dari 0,05, (p-value > 0,05). Uji Pra Model Kedua yaitu tidak adanya problem heteroskedastisitas pada residual. Dari scatter plot yang sudah distandarkan, (lampiran 3) terlihat bahwa data tidak membentuk pola tertentu sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak adanya problem heteroskedastisitas pada residual , yang artinya data tidak di manipulasi. Uji Pra Model ketiga yaitu tidak terdapat autokorelasi antara residu. Dapat diiketahui bahwa nilai summary Durbin Watson d = 1,322 dan tabel Durbin Watson dengan n = 1,7689, yang dilihat dari tabel Durbin Watson dengan n = 53 dan k = 5 . Oleh karena nilai ( 4 – 1,322) > 1,7689, maka hipotesis nol diterima artinya tidak ada autokorelasi antar residu , dengan melihat kriteria keputusan tolak hipotesis nol bila nilai Durbin Watson ( 4 - du ) < du atau terima hipotesis nol bila du < d < 4 - du Uji Pra Model keempat yaitu tidak terdapat multikolineritas antara variabel independen, yang dapat dilihat dari tabel 3.
30
Coefficients(a)
Mod el
Unstandardized Coefficients B
1
(Consta n)
Std. Error
-7,522
8,544
,479
,133
-3,262
suhu
Standardi zd Coefficien ts Beta
Collinearity Statistics t
Sig.
Tolera e
VIF
-,880
,383
,467
3,601
,001
,787
1,271
1,188
-,338
-2,745
,009
,870
1,149
8,858
5,640
,211
1,571
,123
,734
1,363
klorofil
-,033
,261
-,016
-,125
,901
,810
1,234
kedala man
,334
,160
,264
2,089
,042
,826
1,210
arus salinitas
a Dependent Variable: htangkap
Pemeriksaan uji pra model keempat dapat dilihat dari hasil regresi diatas dimana nilai VIF (varian infated factor) < 10. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak adanya problem
multikoloniretas, yang artinya tidak ada hubungan linear
antara variabel independent. Berdasarkan hasil regresi (Lampiran 2), didapatkan nilai korelasi regresi berganda antara variabel hasil tangkapan dengan variabel parameter oseanografi (suhu, klorofil-a kecepatan arus,salinitas dan kedalaman). Untuk korelasi tersebut, dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini.
31
Tabel 4. Nilai Korelasi Regresi Berganda Antara Variabel Hasil Tangkapan Dengan Variabel Parameter Oseanografi Model Summary(b) Model
1
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
R Square Change
F Change
df1
df2
,626(a)
,391
,325
,1369798
a Predictors: (Constant), kedalaman, klorofil, salinitas, arus, suhu b Dependent Variable: htangkap
Model regresi Cobb-douglas, Koefisien korelasi (R) sebesar 0,62 berarti hubungan antara hasil tangkapan dengan suhu, klorofil-a, kedalaman, salinitas, dan arus sebesar 62%. Koefisien determinasi R Square(R2) adalah 0,39 artinya 39% yang terjadi terhadap hasil tangkapan disebabkan variabel klorofil-a, suhu, kedalaman, arus dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain, dengan Standar Error 0.13.
32
Tabel 5. Hasil uji t Coefficients(a) Mode l
Unstandardized Coefficients B
1
(Constant )
Std. Error
-7,522
8,544
,479
,133
-3,262
suhu klorofil
arus salinitas
kedalama n
Standardize d Coefficients Beta
t
Sig.
-,880
,383
,467
3,601
,001
1,188
-,338
-2,745
,009
8,858
5,640
,211
1,571
,123
-,033
,261
-,016
-,125
,901
,334
,160
,264
2,089
,042
a Dependent Variable: htangkap
Berdasarkan hasil uji t pada tabel di atas, maka model yang digunakan adalah model 1 dengan nilai signifikan dari masing-masing yaitu untuk variabel arus (X1), salinitas (X2), dan kedalaman (X3), yang lebih kecil dari 0.05 (p<0.05). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa perubahan variabel arus (X1), salinitas (X2), dan kedalaman (X3) berpengaruh nyata terhadap tingkat hasil tangkapan (Y). Sedangkan untuk variabel, klorofil (X4) dan suhu (X5), diperoleh nilai probabilitas (p)>0.05, artinya perubahan klorofil tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan ikan terbang Dalam analisis ini digunakan metode backward untuk menunjukkan hubungan antara faktor oseanografi sebagai variabel bebas (X) terhadap jumlah hasil tangkapan sebagai variabel tak bebas (Y). Faktor (X) dan (Y) tersebut akan di pasangkan, sehingga hasilnya akan diperoleh perpaduan beberapa faktor (X) yang
33
sangat berpengaruh terhadap faktor (Y), sedangkan faktor lainnya yang tidak berpengaruh tidak akan diperhitungkan Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan nilai koefisien digunakan untuk mengetahui besarnya proporsi variabel independen terhadap variabel dependen. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan analisis regresi Cobb-douglas didapatkan persamaan :
ˆ =- 7.522 +0.479 X1 -3.262 X2+ 0,334 X3 Y Berdasarkan persamaan regresi yang didapatkan, dapat diketahui bahwa: 1. Koefisien arus (X1) yang bernilai positif yakni 0,479 hal ini menunjukkan setiap kenaikan arus 1 cm/s-1 maka hasil tangkapan juga bertambah sebesar 0,479 kg dengan asumsi bahwa konsentrasi arus tetap. 2. Koefisien salinitas (X2) bernilai negatif yakni -3,262, hal ini menunjukkan bahwa setiap penurunan klorofil 1 ppt maka hasil tangkapan juga berkurang sebesar 3,262 kg dengan asumsi bahwa salinitas tetap. 3. Koefisien kedalaman (X3) bernilai positif yakni 0,334 hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan kedalaman 1m maka hasil tangkapan juga bertambah sebesar 0,334 kg dengan asumsi bahwa kedalaman tetap Berdasarkan persamaan yang terbentuk di atas, dimana perubahan lingkungan perairan (arus, salinitas, dan kedalaman) berpengaruh nyata terhadap fluktuasi hasil tangkapan ikan terbang. Sedangkan parameter oseanografi yang lain (konsentrasi klorofil-a dan suhu) menunjukkan tidak berpengaruh nyata.
34
1. Arus Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kisaran arus perairan dimana ikan Terbang tertangkap yaitu antara 2,5 – 17,5 cm/s. Grafik yang menunjukkan hubungan
antara
arus dan hasil tangkapan ikan Terbang, dapat dilihat pada
gambar 6. frekuensi hasil tangkapan (huling)
30 25 20 15 10 5 0 2.50-4.50
5.00-7.00
7.50-9.50 10.00-12.00 12.50-14.50 15.00-17.50 arus (cm/s)
Gambar 7. Grafik hubungan arus pada frekuensi hasil tangkapan ikan terbang Berdasarkan grafik diatas, maka dapat diketahui bahwa arus perairan antara 10,00-12,00 cm/s memiliki hasil tangkapan tertinggi dengan frekuensi tangkapan sebanyak 24 kali hauling.
35
Gambar 8. Grafik hubungan arus pada jumlah hasil tangkapan ikan terbang Berdasarkan grafik diatas, maka dapat diketahui bahwa arus perairan antara 10,00-12,00 cm/s memiliki hasil tangkapan tertinggi dengan total hasil tangkapan sebesar 4.500 kg. Dari hasil uji t (Lampiran 3) dapat diketahui bahwa variabel suhu (X 1) mempunyai korelasi yang signifikan terhadap hasil tangkapan (p <0.05). Hal ini berarti variabel salinitas berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan ikan terbang. Gunarso (1985) mengemukakan bahwa Ikan juga ternyata memanfaatkan arus laut untuk melakukan pemijahan, mencari makan ataupun sehubungan dengan proses-proses pengembangannya. Hal ini dapat dilihat pada larva ikan yang hanyut dari areal pemijahan (spawning ground) menuju areal pembesaran (nursery ground) yang berdekatan dengan areal makan (feeding area) mereka. 2. Salinitas Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kisaran salinitas perairan dimana ikan Terbang tertangkap yaitu antara 25,00 – 32,00 ppt. Grafik yang menunjukkan
36
hubungan
antara
arus dan hasil tangkapan ikan Terbang, dapat dilihat pada
frekuensi hasil tangkapan (hauling)
gambar 9. 30 25 20 15 10 5 0 25-26
26-27
27-28
29-30
31-32
salinitas (ppt)
Gambar 9. Grafik hubungan salinitas pada frekuensi hasil tangkapan ikan terbang Berdasarkan grafik diatas, maka dapat diketahui bahwa kadar salinitas perairan antara 28 – 29 ppt memiliki hasil tangkapan tertinggi dengan frekuensi tangkapan sebanyak 35 kali hauling. jumlah hasil tangkapan (kg)
7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 25-26
26-27
27-28
28-29
30-31
31-32
salinitas (ppt)
Gambar 10. Grafik hubungan salinitas pada jumlah hasil tangkapan ikan terbang
37
Berdasarkan grafik pada gambar 10, maka dapat diketahui bahwa kadar salinitas perairan antara 28 – 29 ppt memiliki hasil tangkapan tertinggi dengan total hasil tangkapan sebesar 6.000 kg. Dari hasil uji t (Lampiran 3) dapat diketahui bahwa variabel salinitas (X 1) mempunyai korelasi yang signifikan terhadap hasil tangkapan (p <0.05). Salinitas berpengaruh pada produksi, distribusi dan lamanya hidup ikan. Hal ini berarti variabel arus berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan ikan terbang. Salinitas berkaitan erat dengan gejala tekanan osmotic antara sitoplasma dari sel-sel di dalam tubuh ikan dengan keadaan salinitas di sekitarnya. Ikan cenderung untuk memilih medium dengan kadar salinitas yang lebih sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya. (Gunarso, 1985). 3. Kedalaman Perairan Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kisaran kedalaman perairan dimana ikan Terbang tertangkap yaitu antara 150 – 900 m. Grafik yang menunjukkan hubungan antara kedalaman dan hasil tangkapan ikan Terbang,dapat dilihat pada
frekuensi hasil tangkapan (hauling)
gambar 11. 20 15 10 5 0 100-150 200-250 300-400 450-550 600-700 750-800 850-900 kedalaman (m)
Gambar 11. Grafik hubungan kedalaman pada frekuensi hasil tangkapan ikan terbang
38
Berdasarkan grafik pada gambar 11, maka dapat diketahui bahwa kedalaman perairan antara 600 – 700 m memiliki hasil tangkapan tertinggi dengan frekuensi tangkapan sebanyak 16 kali hauling. Kedalaman berhubungan erat dengan stratifikasi suhu vertical, penetrasi cahaya, densitas dan kandungan zat – zat hara. Dengan hubungan yang erat tersebut memungkinkan suatu kondisi yang membentuk cirri khas tersendiri dimana ikan – ikan pelagis berkembang habitatnya atau berasosiasi pada jarak kedalaman tertentu (Hutabarat dan Evans, 1985).
jumlah hasi tangkapan (kg)
3000 2500 2000 1500 1000 500 0 100-150 200-250 300-400 450-550 600-700 750-800 850-900 kedalaman (m)
Gambar 12. Grafik hubungan kedalaman pada frekuensi hasil tangkapan ikan terbang Berdasarkan grafik diatas, maka dapat diketahui bahwa kedalaman perairan antara 600-700 m memiliki hasil tangkapan tertinggi dengan total hasil tangkapan sebesar 2.600 kg. Dari hasil uji t (Lampiran 3) dapat diketahui bahwa variabel suhu (X1) mempunyai korelasi yang signifikan terhadap hasil tangkapan (p <0.05). Hal ini berarti variabel arus berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan ikan terbang.
39
4. Klorofil Dari hasil uji t (Lampiran 3), untuk variable klorofil (X4) diperoleh nilai p<0.05, sehingga
dapat
disimpulkan
bahwa
perubahan
variabel
kloroil
(X4)
tidak
berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan ikan Terbang. Berikut ini adalah grafik
frekuensi hasil tangkapan (hauling)
hubungan antara klorofil dan hasil tangkapan ikan Terbang 25 20 15 10 5 0 0.15-0.19
0.20-0.24
0.25-0.29
0.30-0.34
0.35-0.40
klrofil (mg-m3)
Gambar 13. Grafik hubungan klorofil pada frekuensi hasil tangkapan ikan terbang Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kisaran klorofil perairan dimana ikan terbang tertangkap yaitu antara 0,15 -0,40 mg m-3. Berdasarkan grafik diatas, maka dapat diketahui bahwa klorofil perairan antara 0,25 – 0,29 mg m-3 memiliki hasil tangkapan tertinggi dengan frekuensi tangkapan sebanyak 20 kali hauling.
40
jumlah hasil tangkapan (kg)
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 0.15-0.19
0.20-0.24
0.25-0.29
0.30-0.34
0.35-0.40
klorofil (mg m-3)
Gambar 14. Grafik hubungan klorofil pada jumlahi hasil tangkapan ikan terbang Berdasarkan grafik diatas, maka dapat diketahui kisaran klorofil antara 0.250.29 m memiliki hasil tangkapan tertinggi dengan total hasil tangkapan sebesar 3650 kg. Keberadaan konsentrasi klorofil-a di atas 0.2 mg m-3 mengindikasikan keberadaan plankton yang cukup untuk menjaga kelangsungan hidup ikan-ikan ekonomis penting (Zainuddin, 2007). 5. Suhu Permukaan Laut Dari hasil analisis yang diperoleh, dapat diketahui bahwa parameter suhu permukaan laut tidak mempunyai korelasi yang signifikan terhadap hasil tangkapan, hal ini dapat dilihat pada uji t terhadap nilai signifikan variabel yang diatas 0,05 yakni bernilai 0,12. Variabel salinitas ( X5) secara statistik tidak berpengaruh secara nyata terhadap jumlah hasil tangkapan.
41
Gambar 15. Grafik hubungan klorofil pada frekuensi hasil tangkapan ikan terbang Hasil penelitian menunjukkan ikan terbang tertangkap pada suhu permukaan laut antara 29,10-30,29 00C. Ikan Terbang (Exocoetidae) hidup berkelompok pada suhu berkisar 23,92 – 33,33
0
C (www.fishbase.org). Berdasarkan gambar
diatas,dapat diketahui bahwa rata-rata hasil tangkapan ikan terbang tertinggi pada suhu 29,50 – 29,74 00C, Dengan frekuensi tangkapan terbanyak sebanyak 19 kali hauling.
Gambar 16. Grafik hubungan klorofil pada jumlah hasil tangkapan ikan terbang
42
Berdasarkan grafik pada gambar 16, dapat diketahui bahwa jumlah hasil tangkapan ikan terbang tertinggi pada suhu 29,50 – 29,74 00C, dengan total hasil tangkapan sebesar 3.000 kg. 1. Arus
Gambar 11. Peta Kecepatan Arus Dan Hasil Tangkapan Ikan Terbang Bulan April 2011 Berdasarkan pengambilan titik fishing ground sebanyak 21 titik, dengan melihat gambar 11, kecepatan arus di perairan Kabupaten Takalar pada bulan April berkisar antara 2,763 – 11,833 cm/s. Dengan variasi hasil tangkapan berkisar antara 70-216 kg/hauling. Hasil tangkapan tertinggi berada di kisaran arus 7,299-8.053 cm/s. Pada posisi 5,35-5,40o LS dan 118,69-118,78o BT Dari hasil analisis yang diperoleh, dapat diketahui bahwa parameter arus korelasi yang signifikan terhadap hasil tangkapan, hal ini dapat dilihat pada uji t
43
terhadap nilai signifikan variabel yang dibawah 0,05 yakni bernilai 0,001. Dengan demikian faktor arus secara statistik berpengaruh secara nyata terhadap jumlah hasil tangkapan.
Gambar 12. Peta Kecepatan Arus Dan Hasil Tangkapan Ikan Terbang Bulan Mei 2011 Berdasarkan pengambilan titik fishing ground sebanyak 32 titik, dengan melihat gambar 12, kecepatan arus di perairan Kabupaten Takalar pada bulan Mei berkisar antara 4,922-16,093 cm/s. Dengan variasi hasil tangkapan berkisar antara 75-265 kg/hauling. Hasil tangkapan tertinggi berada di kisaran arus 8.692-9.617. Pada posisi 5,47-5,51O LS dan 118,08-118,09o BT.
44
Pada bulan ini terjadi peningkatan kecepatan arus di perairan Kabupaten Takalar dibandingkan bulan sebelumnya. Hal ini diikuti oleh peningkatan hasil tangkapan yang telah mencapai kisaran 227-266 kg/hauling. 2. Salinitas
Gambar 13. Peta salinitas Dan Hasil Tangkapan Ikan Terbang Bulan April 2011 Gambar 13 diatas menunjukkan tingkat salinitas pada bulan April berada di kisaran 25,009-30,998 ppt dengan hasil tangkapan berkisar antara 70-215 kg/hauling. Salinitas tertinggi terdapat pada daerah 118,70o BT dan 5,27o LS yaitu 30,952 ppt. Hasil tangkapan tertinggi berada di kisaran jumlah klorofil 28,003-28,502 ppt, yaitu 158-215 kg/hauling. Pada posisi 5,36-5,39o LS dan 118,71-118,74o BT
45
Dari hasil analisis yang diperoleh, dapat diketahui bahwa parameter salinitas mempunyai korelasi yang signifikan terhadap hasil tangkapan, hal ini dapat dilihat pada uji t terhadap nilai signifikan variabel yang dibawah 0,05 yakni bernilai 0,009. Dengan demikian faktor tingkat salinitas secara statistik berpengaruh secara nyata terhadap jumlah hasil tangkapan.
Gambar 14. Peta salinitas Dan Hasil Tangkapan Ikan Terbang Bulan mei 2011 Gambar 14 diatas menunjukkan tingkat salinitas pada bulan Juni berada di kisaran 28,001-30,991 ppt dengan hasil tangkapan berkisar antara 75-265 kg/hauling. Tingkat salinitas tertinggi terdapat pada daerah 118,64o BT dan 5,68oLS yaitu 30,912 ppt. Hasil tangkapan tertinggi berada di kisaran jumlah klorofil 28,004-
46
28,273 ppt, dengan hasil tangkapan berkisar 227-265 kg/hauling. Pada posisi 5,475,51O LS dan 118,05-118,12o BT Tingkat salinitas pada bulan ini lebih variatif dari bulan sebelumnya,dan di ikuti oleh hasil tangkapan yang bertambah besar pula. 3. Kedalaman
.
Gambar 15. Peta kedalaman Dan Hasil Tangkapan Ikan Terbang Bulan april 2011 Gambar 15 diatas menunjukkan tingkat kedalaman pada bulan april berada di kisaran 314,008-368,579 m dengan hasil tangkapan berkisar antara 70-215 kg/hauling. Tingkat kedalaman tertinggi terdapat pada daerah 118,87o BT dan 5,87oLS yaitu 823,652 m. Hasil tangkapan tertinggi berada di kedalaman 586,544-
47
641,035 m, dengan hasil tangkapan berkisar 158-215 kg/hauling. Pada posisi 5,375,39O LS dan 118,70-118,76o BT. Dari hasil analisis yang diperoleh, dapat diketahui bahwa parameter kedalaman mempunyai korelasi yang signifikan terhadap hasil tangkapan, hal ini dapat dilihat pada uji t terhadap nilai signifikan variabel yang dibawah 0,05 yakni bernilai 0,04. Dengan demikian faktor kedalaman
secara statistik
berpengaruh
secara nyata terhadap jumlah hasil tangkapan.
Gambar 16. Peta kedalaman Dan Hasil Tangkapan Ikan Terbang Bulan meil 2011 Gambar 16 diatas menunjukkan tingkat kedalaman pada bulan mei berada di kisaran 209,889-845,825 m dengan hasil tangkapan berkisar antara 75-265 kg/hauling. Tingkat kedalaman tertinggi terdapat pada daerah 118,61o BT dan
48
5,48oLS yaitu 812,156 m. Hasil tangkapan tertinggi berada di kedalaman 782,2788,012 m, dengan hasil tangkapan berkisar 227-265 kg/hauling. Pada posisi 5,485,50O LS dan 118,06-118,09o BT. Pada bulan ini terjadi peningkatan kedalaman untuk daerah penangkapan ikan terbang di perairan Kabupaten Takalar dibandingkan bulan sebelumnya. Hal ini diikuti oleh peningkatan hasil tangkapan yang telah mencapai kisaran 227-265 kg/hauling. 4. Prediksi Hasil Tangkapan
Gambar 17. Peta Prediksi Hasil Tangkapan Ikan Terbang Pada gambar 17, Prediksi hasil tangkapan terbesar berada 40,21 mil laut dari posisi fishing base dengan prediksi jumlah hasil tangkapannnya sekitar 220-229
49
kg/Hauling dan memiliki luas area penangkapan 514,352 km2 pada posisi 5,31o 5,36o LS dan 118,68o -118,72o BT. Dari gambar 17 diatas dapat ditentukan daerah potensial penangkapan ikan terbang di perairan kabupaten Takalar, sehingga kita bisa menentukan daerah yang potensial untuk penangkapan ikan terbang di perairan kabupaten Takalar
50
V. KESIMPULAN DAN SARAN A.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dengan menguji nilai residual hasil tangkapan
residual
dan analisis Cobb-douglas daerah penangkapan Ikan Terbang dengan
metode Sistem Informasi Geografi di perairan Kabupaten Takalar dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.
Faktor oseanografi yang berpengaruh nyata dengan hasil tangkapan adalah kecepatan arus laut, salinitas dan kedalaman perairan. Sedangkan suhu dan klorofil-a tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah hasil tangkapan ikan terbang.
2.
Daerah Potensi Produktif Ikan terbang memiliki luas area penangkapan 514,352 km2 yaitu pada posisi 5,31o - 5,36o LS dan 118,68o -118,72o BT atau sekitar 40,21 mil laut dari posisi fishing base dengan prediksi jumlah hasil tangkapannnya sekitar 220-229 kg/hauling
B.
Saran Diperlukan penelitian lanjutan dengan daerah fishing ground yang berbeda
sehingga mendapatkan gambaran tentang zona potensial penangkapa ikan Terbang pada daerah fishing ground berbeda. Juga dapat dilakukan panelitian dengan metode analisis yang lain.
51
DAFTAR PUSTAKA
Dahuri R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu, 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradya Paramita. Jakarta. Dinas Kelautan dan Perikanan Gorontalo. 2009. Laporan Statistik Perikanan Provinsi Gorontalo. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Gorontalo. Departemen Pertanian. 1983. Prosiding Rakernas Perikanan Tuna Cakalang. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Departemen Pertanian, Jakarta. Hutabarat, S Dan M.Evans. 1986. Pengantar Oseonografi.Universitas Indonesia. Jakarta James L. And Sumich. 1992. An Introduction to The Biology of Marine Life. Fifth Edition. Wm. C. Brown Publisher. Nakamura, H. 1991. Ditemukan Tujuh Jenis Ikan Tuna. Dalam Bali Pos 12 April 1991. Hal 10 Nakamura. H, 1969. Tuna Distribution and Migration. Fishing News (books) Ltd. London. 76p. Nikijuluw. V.P.H. 2000. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional. PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta Paulus. K, 1986. Penangkapan Cakalang dengan Purse Seine. Diklat AUP Jakarta. Prahasta, E. 2004. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Penerbit Informatika. Bandung Presetiahadi. K, 1994. Kondisi Oseonografi Perairan Selat Makassar Pada Juli 1992 (Musim Timur). Skripsi. Program Studi Ilmu dan Tegnologi Kelautan. Fakultas Perikanan IPB. Bogor.
52
Priyanti, 1999. Study Daerah Penangkapan Rawai Tuna Diperairan Selatan Jawa Timur-Bali Pada Musim Timur Berdasarkan Pola Distribusi Suhu Permukaan Laut Citra Satelit NOAA-AVHRR & Data Hasil Tangkapan.Skripsi. program Study PSP. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Saanin, H. 1984. Taksonomi Dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid I dan II. Bina Cipta. Bogor. Sudirman dan Mallawa, A.2004. Teknik Penangkapan Ikan. Rineke Cipta. Jakarta Sudjana, 1996. Metode Statistik. Tarsito. Bandung Supranto. 2004. Analisis Multivariant Arti & Interpertasi. Rineke Cipta. Jakarta Supadiningsih, C. N dan Rosana, N, 2004. Penetuan Fishing Ground Tuna Dan Cakalang Dengan Teknologi Pengindraan Jauh. Pertemuan Ilmiah Tahunan I. Teknik Geodesi. ITS. Surabaya Uktolseja. J.C.B, Gafa. B, Bahar. S dan Mulyadi. E, 1989. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Lut Perairan Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta. Yousman, Y. 2003. Sistem Informasi Geografis Dengan Mapinfo Profesional. Penerbit Andi. Yogyakarta. Waluyo. A.S, 1987. Pengoperasian Alat Tangkap Purse Seine Tuna. Diklat AUP. Jakarta. Zainuddin, M. 2006. Aplikasi Sistem Informasi Geografis Dalam Penelitian Perikanan Dan Kelautan. Disampaikan Pada Lokakarya Agenda Penelitian COREMAP II Kebupaten Selayar. Selayar Zainuddin, M. dan Safruddin, 2008. Prediksi Daerah Penangkapan Ikan Cakalang Berdasarkan Kondisi Oseonografi Diperairan Kabupaten Takalar Dan Sekitarnya. Jurnal Sains Dan Tegnologi. Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan. Universitas Hasnuddin. Makassar.
53