I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Setelah lebih dari 60 tahun bangsa Indonesia merdeka, masih terdapat masalah besar yang belum dapat diatasi oleh pemerintah, yaitu masalah pendidikan. Sampai saat ini, belum semua penduduk di Indonesia memperoleh pendidikan yang memadai, pendidikan tidak dapat dijangkau oleh semua orang, meskipun dalam UUD 1945 pendidikan dinyatakan sebagai hak seluruh masyarakat bahkan semestinya diperoleh secara gratis. Menurut kemerdekaan, keamanan,
Indra terjadi
dan
(2005)
lebih
dari
setengah
perubahan-perubahan
ekonomi
yang
mendominasi
situasi
abad, politik,
program
sejak
perang
pertahanan,
nasional
namun
pembangunan sosial budaya dan pendidikan belum pernah diutamakan, meskipun disadari bahwa manusia berposisi sentral sebagai ujung tombak pembangunan. Pendidikan adalah jalan utama untuk mencapai sebuah pembangunan, karena dengan pendidikan warga masyarakat dapat menjaga unsur-unsur yang aktif dalam membangun masyarakat baru yang lebih baik. Data yang bersumber dari Depdiknas (2006) menunjukkan bahwa ternyata kalayakan mengajar guru SD Negeri di Indonesia pada tahun 2004/2005 masih belum dapat dikatakan baik, sebab hanya 67,46 persen saja yang layak mengajar, sementara sisanya tidak layak mengajar. Ketidaklayakan ini dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah tingkat pendidikan yang dimiliki oleh para guru tersebut masih rendah. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Perkembangan
kondisi
politik,
ekonomi,
dan
sosial
di
Indonesia,
menggeser sistem sentralisasi menjadi desentralisasi dengan diberlakukannya UU No 22 tahun 1999 mengenai Pembagian Kewenangan di Pemerintah Daerah serta UU No 25 tahun 1999 mengenai Pembagian Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Kedua UU ini disempurnakan menjadi UU No 32 dan 33 tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, yang menjadi pijakan utama dalam implementasi kebijakan otonomi daerah di seluruh
Republik Indonesia.
Perubahan sistem pemerintahan ini berpengaruh pada sistem pengembangan pendidikan dasar yang selama ini dilakukan di Pusat yaitu Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Dalam
UU No 32 dan 33 tahun 2004
dinyatakan bahwa salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah adalah yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pengembangan pendidikan dasar. <= D1 32,54%
Tidak Layak 32,54%
S2/S3 0,12%
Layak 67,46% D2 49,26%
S1 Keg 15,12% D3/SM Keg 2,96%
Sumber: Depdiknas 2007 (http://www.depdiknas.go.id/index.php?option=com_wrapper&Itemid=129
Gambar 1. Kepala Sekolah dan Guru SD Menurut Kelayakan Mengajar dan Pendidikan Akhir . Tahun 2004/2005
Pada tahun 2005, terbit UU No 14 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan isinya yang mengatur standar pendidik dan tenaga kependidikan untuk guru SD harus memiliki kualifikasi akademik minimal D-IV atau S1 dan memiliki sertifikat profesi guru untuk SD/MI. Depdiknas juga menyatakan bahwa dalam sepuluh tahun mendatang, guru SD wajib memiliki pendidikan minimal S1. Hal ini tentunya berpengaruh pada kebijakan pemerintah kabupaten/kota dalam meningkatkan pendidikan guru SD yang ada di wilayahnya, karena tidak hanya meningkatkan kualitas pendidikan guru SD menjadi setara dengan DII namun meningkat menjadi S1. Gambar 2 menunjukkan bahwa masih banyak guru SD baik negeri maupun swasta yang memiliki pendidikan di bawah S1 dan memperlihatkan bahwa level DII merupakan pendidikan guru SD yang terbanyak baik di Indonesia maupun di Jawa Barat, kondisi ini merupakan hasil kebijakan sebelum diberlakukan otonomi daerah, karena pada masa itu Depdiknas memiliki program untuk memberi bea siswa (ada yang dilakukan secara swadana, namun sangat sedikit) kepada seluruh guru di Republik Indonesia, untuk ditingkatkan pendidikannya menjadi DII, yang merupakan pendidikan minimal yang harus dimiliki guru saat itu. Kebijakan ini dilaksanakan dengan menggunakan sistem pendidikan jarak jauh (PJJ), mengingat lokasi guru tersebar dari daerah di pusat perkotaan sampai ke daerah pelosok/terpencil yang sulit dijangkau oleh pendidikan tatap muka. Sebelum
otonomi
daerah
pengembangan
pendidikan
guru
SD
dilaksanakan oleh Depdiknas, dan salah satu cara untuk menanggulangi ketidaklayakan dalam mengajar ini dilakukan peningkatan pendidikan guru yang menjangkau ketersebaran guru yang sangat luas di seluruh pelosok negeri (kendala geografis) dengan memberikan pendidikan secara massal yaitu dengan
menggunakan sistem pendidikan jarak jauh (PJJ).
Sistem PJJ juga dapat
menanggulangi kendala waktu yang membatasi guru dalam meningkatkan pendidikannya karena tidak boleh meninggalkan pekerjaannya.
Indonesia Jawa Barat 3%
2%
9%
9%
0%
42%
0% 23%
1%
44% 2%
65%
SLTA
PGSLP/DI
PGSLA/DII
Sarmud/D3
Sarjana
Pasca Sarjana
Sumber : Pusat Data dan Informasi Pendidikan, Balitbang - Depdiknas 2006
Gambar 2. Jumlah Kepala Sekolah dan Guru Menurut Ijazah Tertinggi di Jawa Barat dan Indonesia Tahun 2003-2004 Sukartawi (2005) mengatakan bahwa pembelajaran massal dengan menggunakan sistem belajar jarak jauh, merupakan alternatif yang baik untuk meningkatkan keterjangkauan dan
peningkatan mutu pendidikan,
di seluruh
wilayah Indonesia. Hasil laporan tematik kajian tentang Pelayanan Pendidikan, yang dilakukan oleh German Technical Cooperation (GTZ) dan CLEAN-Urban Project (2001) juga memberi rekomendasi akan perlunya dikembangkan PJJ Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) untuk meningkatkan guru dan sukarelawan yang masih setingkat SPG, usulan ini untuk segera dilaksanakan pada tahun 2001. Meskipun fakta menunjukkan bahwa di Jawa Barat lebih dari 91 persen guru SD belum memiliki kualifikasi pendidikan memadai (belum S1), namun
ternyata tidak semua daerah kabupaten/kota memiliki kebijakan yang sama dalam peningkatan pendidikan untuk guru SD yang ada di wilayahnya. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya bantuan pemerintah daerah baik berupa dana maupun kemudahan akses untuk memperoleh pendidikan kepada guru dalam meningkatkan pendidikannya. Setelah diberlakukan otonomi daerah, kebijakan pengembangan pendidikan guru SD di Kota dan Kabupaten Bogor terlihat masih belum jelas arahnya. Banyak faktor yang perlu diperhatikan oleh pemerintah Kota atau Kabupaten Bogor dalam memutuskan pengembangan pendidikan guru SD, antara lain perbaikan infrastruktur gedung sekolah yang parah, ketiadaan biaya, dan lokasi atau domisili guru SD tidak semuanya berada di daerah perkotaan yang memiliki kemudahan akses untuk masuk perguruan tinggi. Selain itu terdapat aturan yang melarang
guru
untuk
meninggalkan
tugasnya
bila
ingin
melanjutkan
pendidikannya. Keadaan ini sangat tidak mendukung guru-guru SD untuk meningkatkan potensi dirinya sendiri apalagi bila dilakukan secara swadana. Jika pemerintah kabupaten/kota tidak begitu peduli dengan kondisi pendidikan guru yang ada, dan atau mungkin masih mencari sistem pendidikan yang seperti apa yang dapat membantu menanggulangi keadaan guru, usaha pemerintah untuk dapat menjadikan seluruh guru sudah memiliki ijazah S1 dalam sepuluh tahun mendatang akan sia-sia belaka. Kebijakan pendidikan yang merupakan prioritas pemerintah Kota
dan
Kabupaten Bogor adalah untuk penuntasan pendidikan anak usia sekolah dasar, yaitu program nasional wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas). Selain merupakan program nasional, wajar dikdas merupakan salah satu indikator untuk menentukan nilai Indeks Pengembangan Manusia (IPM) dari suatu daerah yang merupakan kegiatan prioritas.
Kondisi peningkatan pendidikan guru SD di Kota dan kabupaten Bogor setelah otonomi daerah dan setelah diberlakukan UU Guru dan Dosen, terlihat ‘berjalan di tempat’. Antara keinginan untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan dengan kendala domisili (ketersebaran lokasi) dan dana, serta sulitnya meninggalkan tempat tugas, membuat perencanaan pengembangan pendidikan guru SD ke jenjang S1 tidak
berjalan seperti yang diharapkan. Hal ini
memunculkan pertanyaan kajian sebagai berikut. Bagaimana memberikan alternatif sistem pendikan yang sesuai untuk peningkatan pendidikan guru SD menjadi S1 di Kota dan Kabupaten Bogor?
1.2. Perumusan Masalah Kualitas SDM suatu bangsa dapat dilihat dari keberhasilan bangsa tersebut dalam mendidik masyarakatnya. Upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu guru yang merupakan gerbang utama pencetak generasi muda
tentu harus
didukung dengan kebijakan, kemampuan, dan fasilitas yang memadai. Banyak guru yang ingin meningkatkan pendidikannya agar menambah nilai kompetensi yang diperlukan dalam mengajar, namun ternyata banyak faktor yang menjadi kendala untuk mewujudkan keinginan tersebut. Faktor yang menjadi kendala di antaranya adalah masalah biaya,
akses untuk masuk
perguruan tinggi yang sesuai, dan ketiadaan waktu atau kesempatan. Waktu yang dimiliki seorang guru habis tersita untuk mengajar dan mencari tambahan untuk biaya hidup. Kendala ini semakin berat bagi guru yang domisilinya jauh dari pusat perkotaan sehingga kemudahan untuk memperoleh fasilitas perguruan tinggi yang sesuai dengan kompetensi yang diperlukan menjadi sangat terbatas.
Sebelum otonomi daerah dilaksanakan, alternatif untuk menanggulangi kendala tersebut adalah dengan mengikuti pendidikan jarak jauh (PJJ). Dengan menggunakan sistem PJJ, guru-guru tersebut dapat tetap bekerja karena tidak harus pergi ke kampus dan waktu kuliah serta program yang ditawarkan pun sesuai dengan yang dibutuhkan oleh guru SD. Selain itu, biaya yang dibutuhkan relatif murah dibandingkan dengan perguruan tinggi tatap muka. Sesuai dengan kewenangan yang dimiliki pemerintah kabupaten/kota setelah diberlakukannya otonomi daerah, diharapkan pemerintah daerah akan lebih mengetahui tentang kondisi guru yang ada sehingga dalam pengembangan pendidikan guru akan lebih terjamin keterlaksanaannya. Namun ternyata tidak semua daerah memiliki kebijakan yang sama dalam meningkatkan pendidikan guru SD. Data dari Balitbang Diknas menunjukkan bahwa 52,2 persen dari guru SD yang layak mengajar di Indonesia pada tahun 2005 belum memiliki pendidikan
S1.
Kondisi
seperti
ini
memunculkan
pertanyaan
spesifik
bagaimanakah kondisi pendidikan guru SD di Kota dan Kabupaten Bogor saat ini? Kondisi guru di setiap wilayah tidaklah sama baik kesejahteraan maupun fasilitas lain yang diperoleh, namun sebenarnya dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 sudah jelas disebutkan bahwa pendidikan adalah hak bagi seluruh rakyat termasuk guru SD. Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengharuskan bagi tenaga pendidik untuk memiliki tingkat pendidikan minimal S1, dan dalam Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan diperlukan uji kelayakan dan sertifikasi kompetensi bagi yang tidak berijazah S1. Dalam Undang-undang No 32-33 tentang Otonomi Daerah, dijelaskan kewajiban dan peran pemerintah daerah dalam meningkatkan dan pembiayaan untuk pendidikan guru. Namun dalam pelaksanaannya, nasib
pengembangan pendidikan guru sepertinya tidak terlalu banyak perubahan, bahkan cenderung semakin menurun. Pemda secara khusus tidak memiliki rencana atau kebijakan yang diperuntukkan untuk menata pendidikan yang dimiliki oleh guru SD di wilayahnya agar sesuai dengan perundangan yang berlaku dan kondisi guru itu sendiri. Bahkan secara finansial masih belum terlihat disediakannya anggaran khusus untuk peningkatan pendidikan guru, meskipun dalam Undang-undang Sisdiknas, maupun UU No 32-33 jelas disebutkan kewajiban
pemda dalam pembiayaan pendidikan.
Dari penjelasan di atas,
permasalah yang timbul adalah faktor-faktor apakah yang mempengaruhi kebijakan pemerintah daerah dalam meningkatkan pendidikan guru SD?
1.3. Tujuan dan Manfaat Tujuan dari kajian ini adalah: 1. Menganalisis kondisi pendidikan guru SD di Kota dan Kabupaten Bogor. 2. Mengidentifikasi
faktor-faktor yang mempengaruhi
kebijakan pemerintah
daerah dalam peningkatan pendidikan guru SD 3. Memformulasikan
alternatif
sistem
pendidikan
yang
sesuai
untuk
meningkatkan pendidikan guru SD Manfaat dari kajian ini adalah 1. sebagai sumbangan pemikiran kepada pemda dalam meningkatkan mutu pendidikan
dengan
sistem
yang
sesuai
terutama
bagi
peningkatan
pendidikan guru SD di Kota dan Kabupaten Bogor 2. sebagai sumbangan pemikiran bagi guru dengan memberi gambaran tentang kondisi guru dan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan pemerintah kabupaten/kota dalam peningkatan pendidikan guru SD.