I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Di masa lalu migrasi dari desa ke kota dipandang sebagai sesuatu yang positif. Migrasi dianggap sebagai proses alami di mana surplus tenaga kerja sedikit demi sedikit ditarik dari sektor perdesaan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja bagi perkembangan industri di daerah perkotaan. Proses tersebut dianggap menguntungkan secara sosial karena sumberdaya manusia berpindah dari tempat yang produk marjinal sosial (social marginal product)nya rendah ke tempat yang produk marjinal sosialnya tinggi, dan bertumbuh secara cepat akibat adanya akumulasi kapital dan kemajuan teknologi (Todaro, 1998). Kenyataan yang terjadi di negara berkembang kini bertolak belakang dengan pandangan tersebut. Todaro (1998), mengungkapkan bahwa tingkat migrasi dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan, selalu lebih besar daripada tingkat penciptaan kesempatan kerja di daerah perkotaan. Relatif rendahnya kemampuan kota untuk menyerap pertambahan angkatan kerja di sektor formal, karena pengusaha sektor formal, dalam upayanya meraih keuntungan sebesarbesarnya, cenderung menginvestasikan kembali keuntungan yang diperolehnya untuk membeli alat-alat produksi atau mesin -mesin canggih (padat modal), yang sangat hemat tenaga kerja, untuk meningkatkan produktivitas usahanya. Dalam studi tentang mobilitas, khususnya migrasi desa-kota, McGee (1977) mengamati fenomena migrasi yang berfokus pada sudut pandang regional Asia Selatan dan Tenggara. Kawasan ini memiliki masalah serupa seperti yang dihadapi negara berkembang pada umumnya dengan timbulnya “urban involution”; kota secara terus menerus mengalami peningkatan dalam menyerap
tenaga kerja dar i desa sekalipun hasil akhirnya sering berupa pemerataan produktivitas yang rendah dan pemerataan kemiskinan (shared poverty ). Walaupun
sesampainya di kota kebanyakan dari migran ini hidup dengan
produktivitas yang rendah, namun proses mobilitas desa-kota tetap terus berlangsung. Dalam penelitiannya tentang migran di Wonosobo dan Cilacap, Sutomo (1995), mendapatkan kondisi kehidupan awal migran yang datang ke kota sangat miskin, namun lambat laun keadaan sosial ekonomi mereka semakin berkembang. Di kota-kota negara berkembang setidaknya ada tiga sektor ekonomi yang terlihat jelas dengan makin derasnya arus migrasi, yaitu sektor “tradisional”, yang mencakup bentuk-bentuk kegiatan ekonomi pra-industri, sektor “moderen”, yang meliputi sebagian besar bentuk-bentuk organisasi ekonomi dan fungsi ekonomi abad XX yang umumnya diimpor dari negara maju, dan sektor “peralihan” atau “informal”, yang menjadi jembatan antara sektor moderen dan sektor tradisional (Hauser dan Gardner, 1982). Oleh karena itulah Widarti (1984), menemukan bahwa di daerah perkotaan yang kemudian berkembang bukan sektor sekunder, melainkan sektor tersier yang mengelompok dalam subsektor perdagangan dan jasa pelayanan. Kedua subsektor ini mencapai 86,9% dari keseluruhan sektor tersier. Hampir separuh (46,1%) dari kesempatan kerja sektor tersier di perkotaan tertampung dalam berbagai jenis usaha sektor informal. Karena itu migrasi yang terjadi di negara berkembang dicirikan oleh mengalirnya tenaga kerja dari perdesaan yang menunjukkan tingkat produktivitas marjinal yang rendah ke sektor informal-perkotaan yang memiliki
produktivitas yang rendah pula. Sehingga dengan demikian migrasi adalah proses pemerataan produktivitas rendah desa -kota. Sektor informal di daerah perkotaan memperlihatkan dinamika ekonomi yang sangat tinggi, baik dalam bentuk dan sifat usahanya, dalam memberikan kesempatan kerja bagi para migran. Oleh karena itu, untuk dapat memahami bahwa proses migrasi dari desa ke kota akan terus berlangsung meskipun kesempatan kerja di sektor formal terbatas, maka dipandang perlu melakukan penelitian tentang sektor informal dan migran yang bekerja di dalamnya. Sektor informal1 menjadi salah satu alternatif dalam mencari lapangan kerja, karena sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya, bahwasanya aktivitas ekonomi lebih didasarkan pada dorongan untuk menciptakan kesempatan kerja bagi diri sendiri daripada memperoleh kesempatan investasi (penanaman modal) dalam peningkatan pendapatan. Sebagaimana dipostulatkan oleh Todaro dan Harris, bahwa motivasi migran desa-kota adalah bukan hanya karena perbedaan besarnya upah, tetapi juga pada luasnya kesempatan memasuki berbagai macam segmen ekonomi yang memberikan harapan yang besar untuk dapat mengubah taraf hidup mereka (Koyano, 1996). Sektor informal umumnya terpusat di wilayah kota, dimana merupakan tempat singgah pertama kaum migran baru di kota. Jadi sektor informal yang sering kali dianggap sebagai golongan “rendah” dalam kehidupan ekonomi dan sosial itu, sebenarnya merupakan sektor peralihan baik dalam tata ekonomi maupun tata sosial. Oleh sebab itu sektor peralihan ini dapat dipandang sebagai bidang yang mengandung kesempatan untuk membangun ekonomi dan 1
Sethuraman .Sektor informal adalah semua jenis usaha yang tidak mencantumkan labanya dan struktur pengendalian dan organisasinya tidak formal, tidak mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah. Bulletin of Concerned Asian Scholars. Vol. IV., 1985.
melakukan perubahan sosial menuju kehidupan modern (Hauser dan Gardner, 1982). Sektor informa l kawasan perkotaan dapat juga dilihat sebagai suatu bagian dari mekanisme ekonomi modern, sebagai tempat terciptanya kegiatan ekonomi “baru”, yang sebelumnya terlewatkan. Seperti sampah plastik dan kertas bekas tempat makanan dan minuman serta barang rongsokan, dapat dijadikan komoditas ekonomi. Hal ini terjadi karena adanya permintaan ketersediaan pada kebutuhan bahan baku industri daur ulang dengan biaya yang rendah, dalam pengelolaannya membutuhkan tenaga kerja. Tersedianya layanan jasa (service) yang semakin komplit mulai dari jasa menjinjing barang belanjaan sampai jasa pemindahan perabot rumah tangga dan kantor, yang sebelumnya dapat dilakukan sendiri, sekarang merupakan kegiatan yang bernilai ekonomi. Penawaran jasa ini lahir karena kehidupan kota yang modern membutuhkan pelayanan serba praktis, sehingga oleh sebagian orang terutama orang yang membutuhkan penghasilan untuk hidup, penawaran pelayanan adalah pekerjaan pantas. Menurut Koyano (1996), orang-orang yang beralih ke sektor informal tidak banyak yang mengalami pengangguran, karena kesempatan memperoleh pekerjaan di sektor informal sangat banyak, umumnya didasarkan pada hubungan sosial di antara migran. Hubungan sosial memegang peranan penting dalam mengatasi
penghidupan
di
kota,
yang
mencipt akan
kemudahan
dalam
mendapatkan pekerjaan. Hal ini menjadikan sektor informal berkembang sangat cepat di kota, sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk. Karena kesempatan berusaha untuk memperoleh penghasilan tidak terbatas oleh jumlah jenis pekerjaan.
1.2. Perumusan Masalah Ciri demografi Indonesia seperti jumlah penduduk yang besar, tingkat pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi, struktur penduduk yang cenderung berusia muda, dan distribusi penduduk yang tidak merata dipandang masih merupakan
faktor
penghambat
dalam
usaha
memecahkan
masalah
ketenagakerjaan dewasa ini. Pesatnya pertumbuhan ekonomi kota besar yang jauh melebihi kota -kota kecil, merupakan faktor penarik utama terjadinya aliran tenaga kerja. Terutama kota yang basis ekonominya adalah sektor industri. Berdasarkan PDRB periode tahun 1996 – 2001, didapatkan bahwa sektor industri sangat menonjol perkembangannya di Kota Tangerang. Kota Tangerang karena lokasinya yang berbatasan dan berdekatan dengan DKI Jakarta, merupakan daerah belaka ng (hinterland ) dari DKI Jakarta, sesuai dengan teori Von Thunen (Dicken dan Lloyd, 1990). Akibat pesatnya perkembangan pembangunan DKI Jakarta, maka terjadi pergeseran penduduk ke daerah belakang (Kota Tangerang), karena DKI Jakarta mengalami keterbatasan lahan untuk kegiatan industri dan perumahan. Kota Tangerang mendapat tambahan jumlah penduduk dari limpahan penduduk DKI Jakarta, yang sebagian di antaranya bekerja di Jakarta, atau sedang mencari pekerjaan di Jakarta. Dengan demikian dapat dikatakan, besarnya arus migrasi ke Jakarta, akan mempengaruhi tingginya perpindahan penduduk Jakarta ke wilayah sekitarnya, termasuk Kota Tangerang. Selain itu sebagai kota “seribu industri” yang sedang berkembang, potensi Kota Tangerang, merupakan daya tarik tersendiri bagi para migran untuk mencari
kerja. Akibatnya tiap tahun jumlah penduduk Kota Tangerang meningkat pesat. Pada tahun 2002 laju pertumbuhan penduduk Kota Tangerang sangat tinggi (sebesar 4,62%) dengan kepadatan penduduk yang tinggi (8.611 jiwa/km2 ), khususnya di kecamatan-kecamatan yang berbatasan dengan DKI Jakarta. Ini mengindikasikan tingginya tingkat migrasi ke kota ini. Rustiadi dan Panuju (1999), menemukan bahwa jumlah migran di Kota Tangerang sekitar 10 persen dari jumlah penduduknya, dimana le bih dari separuhnya (5.3 persen) merupakan limpahan dari DKI Jakarta. Karena aktivitas penduduk Kota Tangerang paling banyak di sektor industri, menyusul sektor jasa informal, maka keadaan ini menunjukkan bahwa, sebagian dari migran ini (terutama yang baru masuk) menciptakan pekerjaan sendiri atau bekerja pada perusahaan-perusahaan kecil yang dimiliki keluarga. Orang-orang yang bekerja ini mencari ikhtiarnya sendiri dalam berbagai kegiatan mulai dari penjaja, pedagang kaki lima, penulis surat, pengasah pisau, dan pengumpul barang-barang bekas sampai pada penjual petasan, penjual obat, dan permainan ular, sebagian lainnya menemukan pekerjaan mekanik, tukang cat, pengrajin kecil, tukang cukur, dan pembantu rumah tangga. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, jumlah pencari kerja mengalami lonjakan. Pada tahun 1998-1999, jumlah pencari kerja naik sekitar 38 persen. Bahkan pada tahun 2002 berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja Kota Tangerang, jumlah pencari kerja melonjak hingga mencapai 68 persen. Tinggin ya pencari kerja itu belum dapat diimbangi dengan jumlah kesempatan kerja yang ada. Sepanjang tahun 2002, misalnya jumlah lowongan kerja yang terdaftar mencapai 12.182 orang, dan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja
adalah sektor industri. Saat ini, rasio lowongan pekerjaan dan pencari kerja di wilayah Kota Tangerang mencapai 1: 3 (Republika, 2004). Selama kurun waktu 1995 – 2002 proporsi tenaga kerja di sektor formal menurun dari 23,55% menjadi 19,83%, sementara di sektor industri meningkat perlahan dari 29,43% menjadi 33,78%. Di sektor informal pun tenaga kerja yang terserap melonjak dari 23,55% menjadi 28,18%. Hal ini menunjukkan kecenderungan peningkatan jumlah tenaga kerja yang memasuki sektor pekerjaan informal di kota Tangerang. Hal ini terlihat dari pangsa (share ) tenaga kerja di sektor informal 28,18% per tahun dengan peningkatan sebesar 0,58% per tahun, sedangkan sektor industri adalah 0,54% per tahun, dan sektor jasa formal memperlihatkan penurunan (-3,21% per tahun). Sektor informal di kota Tangerang memperlihatkan kecenderungan yang meningkat sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduknya. Kebanyakan pekerja yang memasuki sektor informal adalah para migran baru dari desa yang tidak mendapatkan tempat di sektor formal. Motivasi mereka biasanya untuk mendapatkan penghasilan agar bisa “hidup” (survive) dan bukan untuk mendapatkan keuntungan
(Todaro, 1988). Akan tetapi jika hanya
dipandang sebagai tempat mendapatkan penghasilan untuk sekedar bertahan hidup di kota, mengapa jumlah pelaku ekonomi informal semakin meningkat, sejalan dengan semakin berkembangnya ekonomi suatu wilayah perkotaan. Relatif masih tingginya pangsa (share) dan pertumbuhan tenaga kerja yang bekerja di sektor informal di Kota Tangerang, dengan tingkat produktivitas yang rendah, serta persaingan usaha yang tinggi, maka dipandang perlu untuk melakukan pengkajian
bagaimana strategi
migran dalam mempertahankan
keberadannya di kota, baik pada tahap awal yang merupakan periode paling kritis bagi mereka untuk berjuang mempertahankan hidup (survival), maupun tahap pengembangan yang merupakan periode setelah saat kritis tersebut dilampaui, untuk dapat meningkatkan status sosial ekonomi migran. Meskipun kebanyakan migran yang memasuki sektor informal di perkotaan pa da awalnya mendapati dirinya hidup dalam produktivitas yang rendah, namun kemudian keadaan sosial ekonomi mereka menunjukkan perkembangan. Artinya ekonomi informal menawarkan kesempatan yang luas pada pelakunya untuk memperoleh
penghasilan yang lebih baik daripada
sebelumnya. Namun dari pengamatan di lapangan tingkat pendapatan pada setiap pelaku ekonomi informal berbeda, meskipun jenis usahanya sama dan berada pada lokasi yang sama. Untuk itu maka perlu penelahaan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan migran pelaku ekonomi informal. Untuk mengetahui itu semua, maka hal-hal yang harus diteliti adalah sebagai berikut : 1. Apa yang menarik bagi migran untuk datang ke Kota Tangerang, dan bagaimana strategi untuk mempertahankan kehidupannya di kota. 2. Bagaimana tingkat kesejahteraan (pendapatan) 2 migran, dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingkat pendapatan migran di sektor informal.
2
Tingkat kesejahteraan yang diukur dalam tingkat pendapatan; Rata -rata penerimaan hasil usaha di sektor informal setelah dikurangi dengan biaya operasional dan modal, yang dihitung dalam per orang per bulan, dengan menjumlahkan hasil perolehan dalam sebulan.
1.3. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan, penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menelaah faktor utama yang menarik migran dan strategi migran sektor informal dalam mempertahankan keberadaaannya di kota. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan migran sektor informal.
1.3.2. Kegunaan Penelitian Dengan memahami perilaku pelaku ekonomi sektor informal, diharapkan dapat mengembangkan kekuatan ekonomi masyarakat kaum marginal, dimana aktivitas ekonomi informal ini memperlihatkan perilaku ekonomi yang sama terjadi pada sektor formal.