I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penerapan model hidrologi, pada dasarnya merupakan suatu usaha pemanfaatan sumberdaya air secara optimal. Pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan, terutama pembangunan di bidang ekonomi, secara tidak langsung telah mempengaruhi keseimbangan sumberdaya dasar yang paling berharga yakni sumberdaya air dan tanah. Untuk mencapai sasaran dalam memanfaatkan secara optimal, harus dibuat rencana yang terpadu untuk menanganinya. Hal ini merupakan pemahaman sifat-sifat hidrologis sumberdaya air dari waktu ke waktu dan dari kawasan satu ke kawasan yang lain. Lahan dapat dianggap sebagai sistem, yang akan memberikali respons dan menghasilkan suatu keluaran (output), apabila pada sistem diberikan masukan (input). Bentuk atau jenis keluaran ditentukan oleh sifat alami dari jenis masukan maupun karakteristik sistem, tetapi dapat berubah apabila diberikan masukan yaitu perlakuan lainnya dalam bentuk sistem manajemen atau pengelolaan. Satuan sistem atau batas lahan, secara makro dapat dinyatakan sebagai suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Secara sederhana, DAS dianggap suatu sistem ditunjukkan pada Gambar 1.1. Memperhatikan gambar tersebut, nampak bahwa terdapat hubungan yang erat antara hujan sebagai masukan DAS, dan aliran sebagai keluaran. Untuk keperluan perencanaan pengembangan sumberdaya air pada suatu kawasan DAS, diperlukan seperangkat data yang memadai mulai dari data hujan
sebagai masukan, karakteristik DAS sebagai wilayah penampungan, dan debit aliran sungai sebagai keluaran. Karakteristik alami
44444 Input (hujan)
DAS sebagai sistem
Output (aliran)
t t Sistem tt t pengelolaan Gambar 1.1. DAS sebagai sistem
Sebagian besar DAS di Indonesia tidak terdapat stasiun pengukuran, baik stasiun pengukuran hujan maupun pengukuran debit. Apabila tersedia stasiun pengukuran, terutama pada DAS-DAS yang dianggap penting, atau pada DAS yang sedang dilakukan penelitian, setelah kegiatannya selesai alat-alat pengukuran tersebut tidak dipasang lagi. Berdasarkan kondisi DAS di Indonesia tersebut, maka perlu dikembangkan suatu penelitian yang menerangkan hubungan antara hujan sebagai masukan dan aliran sebagai keluaran. Data aliran sungai merupakan salah satu data hidrologi yang penting untuk diketahui, karena data tersebut dapat digunakan sebagai dasar perencanaan pengembangan DAS. Berdasarkan keterbatasan data aliran yakni data debit aliran sungai, maka untuk mendapatkan data aliran tersebut dapat digunakan pendekatan model hidrologi. Salah satu model hidrologi yang dapat digunakan untuk pendugaan debit aliran adalah tank model. Model tersebut mengasunisikan bahwa besarnya limpasan dan infiltrasi merupakan fungsi dari jurnlah air yang tersimpan di dalam
tanah. Masukan tank model berupa data hujan, evapotranspirasi, dan beberapa parameter kalibrasi. Dengan mengetahui debit aliran dari waktu ke waktu, maka potensi sumberdaya air pada kawasan tersebut dapat dihitung dan usaha pemanfaatan sumberdaya air secara optimal dapat terlaksana. Pengelolaan sumberdaya air secara optimal, pada dasarnya merupakan pemanfaatan sumberdaya air secara efisien sesuai dengan peruntukannya. Berbagai kegiatan yang dalam perencanaannya membutuhkan data sumberdaya air, seperti industri, pertanian, pemukiman. Kawasan industri, lahan pertanian, kawasan permukiman dari tahun ke tahun semakin meningkat, sehingga semakin besar pula kebutuhan air yang diperlukan, dan kompetisi pemakaian air tak dapat dihindari. Pembukaan lahan di kawasan hulu DAS untuk kegiatan pertanian dari tahun ke tahun
semakin meningkat, kondisi ini mengakibatkan semakin menurunnya
potensi sumberdaya air, dan semakin meningkatnya lahan kritis. Kegiatan perambahan hutan terjadi pula di kawasan Cidanau Hulu, yakni pemanfaatan kayu untuk bangunan dan bahan bakar kemudian lahannya untuk lahan pertanian. Berdasarkan data tahun 1997, terdapat 300 orang perambah hutan di kawasan tersebut (Sub BKSDA Jabar 1,1998). Akibat perubahan penggunaan lahan tersebut akan berpengaruh terhadap kondisi hidrologi kawasan Cidanau Hulu. Keberadaan hutan berfungsi sebagai penahan laju aliran permukaan; air yang tertahan akan meresap ke dalam tanah dan sebagai masukan sistem air tanah di bagian hilir. Menurunnya kondisi hidrologi DAS Cidanau dapat diidentifikasi dari kondisi aliran sungai Cidanau. Hasil pengukuran aliran di keluaran sungai Cidanau pada
tahun 1980 adalah sebagai berikut: debit rata-rata bulanan 12,97 m3/det., debit maksimutn 62,91 m3/det., dan debit minimum 2,83 m3/det. Sedangkan hasil pengukuran debit pada tahun 1997, debit rata-rata bulanan 5,77 m3/det., debit maksimum 31,94 m3/det., dan debit minimum 0,64 m3/det. (Sub BKSDA Jabar 1,1998). Kondisi rata-rata debit bulanan erat kaitannya dengan hujan .yang terjadi pada tahun pengukuran debit. Rasio debit minimum dan debit maksimum, dapat digunakan sebagai indikasi bahwa daerah tangkapan hujannya mengalami kerusakan, yakni semakin kecil nilai rasio tersebut menunjukkan daerah tangkapan semakin rusak. Berdasarkan data aliran tahun 1980 dan tahun 1997, menunjukkan bahwa rasio debit minimum dan maksimum DAS Cidanau semakin menurun. Air yang berasal dari aliran sungai Cidanau ini, sebagian digunakan untuk kebutuhan industri dan pemukiman di daerah Cilegon. Semakin meningkatnya perkembangan wilayah Cilegon semakin meningkat pula kebutuhan airnya. Pada tahun 1984 kebutuhan air wilayah Cilegon untuk industri dan pemukiman hanya 0,36 m3/det., pada tahun 1989 meningkat menjadi 1,102 m3/det., dan pada tahun 2000 adalah sebesar 2,200 m3/det. (Sub BKSDA Jabar I, 1998). Padahal kondisi aliran sungai Cidanau semakin menurun akibat kerusakan lahan di daerah tangkapan hujannya. Kondisi ini periu segera ditangani, yakni segera dilakukan pengelolaan yang tepat yaitu suatu pengelolaan yang mempertimbangkan aspek hidrologis dan aspek sosial ekonomi masyarakat setempat. Berdasarkan uraian tersebut, dalam pengelolaan dan pengembangan sumbersumber lahan dan air, diperlukar, suatu perencanaan pengelolaan dan teknik kon-
servasi yang terpadu, sehingga kebutuhan sekarang terpenuhi dan menyimpan untuk kebutuhan masa depan. Teknik umum yang menyangkut konservasi dibagi dalam beberapa fase ialah : kontrol terhadap erosi, sedimentasi dan banjir, kontrol drainase dan irigasi terhadap kelembaban tanah. Untuk mengatasi masalah tersebut, dalam pengelolaan lahan dan air dalam suatu DAS kini diperlukan suatu model matematik yang mempunyai skala ruang dan waktu. Dengan pendekatan teknik tersebut diharapkan dapat menjadi penunjang dalam rangka penyusunan Standard Operation
Procedure (SOP) konservasi sumber air di Indonesia. Lahan dan air merupakan suatu komponen lingkungan hidup, ekosistem tidak dapat berfungsi sempurna tanpa komponen tersebut. Sebagai sumberdaya, lahan dan air dinilai dari kemanfaatannya setara dengan keberadaannya untuk memenuhi kebutuhan yang ditentukan oleh pengguna. Pemanfaatan lahan dan air perlu mempunyai aspek kuantitas, kualitas, lokasi, dan waktu. Berbagai peristiwa yang berkaitan dengan sumberdaya lahan dan air adalah kejadian kerusakan !ahan, kekeringan dan banjir yang disebabkan oleh perubahan iklim maupun kerusakan DAS. Analisis keseimbangan air pada suatu DAS menggunakan tank model dapat untuk mengetahui karakteristik DAS, yang dikuantifikasikan dalam bentuk parameter-parameter tank model. Berdasarkan hasil perhitungan parameter-parameter tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk memprediksi ketersediaan air dimasa mendatang. Tank mode! untluk analisis keseimbangan air memerlukan data masukan berupa hujan harian dan evapotranspirasi harian. Data evapotranspirasi yang akurat adalah hasil pengukuran langsung, permasalahan pengukuran evapotranspirasi secara langsung adalah keterbatasan alat.
Untuk mendapatkan data tersebut dapat dihitung berdasarkan pendekatan modelmodel evapotranspirasi dengan masukan parameter iklim. Penelitian ini mengkaji 7 model evapotranspirasi yaitu: model Penman, Penman-Moteith, Jensen-Haise, Hargreaves, Radiasi, Turc, dan model Makkink. Model Penman dan Penman-Monteith relatif rumit, karena membutuhkan parameter iklim yang banyak dan konversi satuan yang kompleks. Model Penman membutuhkan lima parameter iklim yaitu: suhu, kelembaban relatif (relative humidity, RH), kecepatan angin, tekanan uap jenuh (saturation vapor pressure), dan radiasi neto. Sedangkan model Hargreaves, Jensen-Haise, Radiasi, Turc dan model Makkink merupakan model evapotranspirasi yang sederhana, data yang dibutuhkan hanya dua parameter iklim yaitu suhu dan radiasi matahari. Untuk menentukan model yang diterapkan di lokasi penelitian, dilakukan uji model yaitu dengan membandingkan antar model. Radiasi matahari merupakan parameter ikliin yang sangat penting untuk perhitungan evapotranspirasi. Pada umumnya radiasi matahari dihitung berdasarkan lama penyinaran matahari, dan konversi berdasarkan letak lintang stasiun pengamatannya. Masalah yang sering terjadi adalah tidak lengkapnya data parameter iklim tersebut, untuk mengisi data radiasi matahari yang tidak lengkap dapat dibuat suatu model untuk memprediksi radiasi matahari berdasarkan suhu. Salah satu model yang dapat digunakan untuk memprediksi radiasi matahari berdasarkan data suhu adalah model ArtiJicial Neural Network (ANN). Ketersediaan air di masa mendatang dapat diprediksi dengan tank model, setelah didapatkan parameter-parameter model tersebut. Sedangkan masukannya
adalah hujan dan evapotranspirasi, untuk memprediksi hujan dan evapotranspirasi di masa mendatang digunakan model ANN. Berdasarkan uraian tersebut, maka untuk mengetahui hasil penelitian secara keseluruhan disusun suatu penulisan terdiri dari 8 bab sebagai berikut:
1. Pendahuluan 2. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
3. Uji Efektivitas Model Evapotranspirasi 4. Estimasi Radiasi Matahari untuk Perhitungan Evapotranspirasi Menggunakan Model ArtzJicial Neural Network 5. Analisis Keseimbangan Air Menggunakan Tank Model
6. Prediksi Hujan dan Evapotranspirasi Menggunakan Model Artijicial Neural Network
7. Prediksi Ketersediaan Air
8. Pembahasan Umum dan Kesimpulan
1.2. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
,
Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi ketersediaan air sub-DAS Ciriung, secara rinci tujuan penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui kondisi fisik dan sosial-ekonomi lokasi penelitian 2. M e n g ~ j efektivitas i model evapo~ranspirasi
3. Mengestimasi radiasi matahari menggunakan model ANN 4. Mendapatkan parameter tank model dengan program optimasi
5. Memprediksi hujan dan evapotranpirasi menggunakan model ANN
Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan pengelolaan sumberdaya air sub-DAS Cidanau hulu. Disamping itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan pengembanagan model hidrologi dalam
kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam.
1.3. Tinjauan Pustaka 1.3.1. Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah dimana semua airnya mengalir ke dalam suatu sungai yang dimaksud. Daerah ini umumnya dibatasi oleh batas topografi yang ditetapkan berdasarkan aliran permukaan. Batas ini tidak ditetapkan berdasarkan air bawah tanah karena permukan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat kegiatan pemakaian (Sriharto, 1993). Menurut Linsley et a1.(1982) DAS merupakan suatu kawasan yang diairi oleh suatu sistem sungai yang saling berhubungan sedemikian rupa, sehingga aliran-aliran yang berasal dari kawasan tersebut keluar melalui suatu aliran tunggal. Ekosistem DAS mempunyai karakteristik yang spesifik berkaitan dengan kondisi faktor-faktor fisik-biologis seperti curah hujan, evapotranspirasi, infiltrasi, aliran permukaan, aliran bawah permukaan, aliran air bawah tanah dan aliran sungai. Faktor-faktor tersebut erat kaitannya dengan faktor utamanya seperti sifat-sifat taiah, tipe vegetasi penutup, luas dan letak, topografi dan faktor pengelolaan, yang akan memperlihatkan perilaku hidro-orologi yang berbeda dari ekosistem DAS lainnya. Selain merupakan kawasan tata air, DAS juga merupakan suatu ekosistem alami. Di dalam DAS terdapat berbagai faktor penyusun utama yang di satu pihak bertindak
sebagai suatu obyek atau sasaran fisik alamiah, seperti sumberdaya alam, vegetasi dan air. Di pihak lain adalah subyek atau pelaku pendayagunaan faktor-faktor tersebut, yaitu manusia. Antar faktor terjadi proses hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi. Hasil akhir proses tersebut adalah kondisi hidrologis dari wilayah DAS. Tolok ukur kondisi hidrologis tersebut ditentukan dengan kemampuan penyediaan air, baik kualitas, kuantitas, dan distribusinya menurut waktu. Kondisi hidrologi yang baik apabila DAS dapat menjamin penyediaan air dengan kualitas yang baik, kuantitas yang cukup dan distribusi merata sepanjang masa. Seyhan (1990) menyatakan bahwa DAS merupakan lahan total dan permukaan air yang dibatasi oleh suatu batas air topografi serta memberikan sumbangan terhadap debit suatu sungai pada suatu irisan melintang tertentu. Faktor-faktor: iklim; tanah (topografi, geologi, geomorfologi); dan tata guna lahan yang membentuk subsistem dan bertindak sebagai operator dalam mengubah urutan waktu terjadinya hujan secara alami (Pt) menjadi urutan waktu limpasan (Qt) yang dihasilkan. Keragaman dalam keluaran yang berupa limpasan, tergantung pada hubungan timbal balik di antara subsistem-subsistem tersebut. Karakteristik hujan dan aliran permukan di dalam DAS akan mencerminkan potensi penyediaan energi dalam proses hidrologi. Jika dikaitkan dengan faktor-faktor utama DAS, maka akan memperlihatkan perilaku hidrologi yang spesifik seperti L
banjir, erosi, sedimentasi. Potensi sumberdaya yang spesifik akan memungkinkan munculnya berbagai tipe kegiatan ekonomi, sehingga DAS juga merupakan suatu wilayah pengembangan ekonomi. Dengan demikian, DAS dapat ditingkatkan kepentingannya menjadi sentra pengembangan konsep dalam mengumpulkan
sejumlah informasi yang relevan untuk perencanaan, sehingga dapat digunakan sebagai unit pengembangan wilayah.
1.3.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Limpasan (RunofJ) Limpasan adalah bagian dari hujan yang tidak meresap ke dalam tanah, air tersebut menjadi aliran yang mengalir ke jejaring aliran (Linsley, 1949). Arsyad (2000) menyatakan bahwa salah satu karakteristik dari limpasan adalah jumlah aliran permukaan, yakni jumlah air yang mengalir di permukaan tanah untuk suatu masa hujan dan dinyatakan dalam tinggi air. Wilson (1979) mengemukakan bahwa faktor yang meinpengaruhi limpasan dibedakan menjadi dua. Pertama, faktor-faktor yang mempengaruhi volume limpasan adalah: hujan, evaporasi, dan luas DAS. Kedua, faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk hidrograf aliran permukaan adalah : hujan (tipe, intensitas, lama hujan), topografi, geologi, tipe tanah, vegetasi penutup, dan pola aliran.
Arsyad (2000)
menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi sifat limpasan (runofJ) adalah sebagai berikut: curah hujan (jumlah, laju, distribusi), suhu, tanah (tipe, substratum, topografi), tanaman penutup tanah, dan sistem pengelolaan tanah. Hamilton dan King (1983) mendapatkan bahwa hampir setiap percobaan di DAS, menunjukkan kenaikan hasil air sebagai tanggapan terhadap penebangan hutan. Kenaikan tersebut pada umumnya sebanding dengan jumlah tajuk yang dihilangkan, kenaikan berkurang setelah hutannya pulih kembali di DAS tersebut. Savenije (1996) mengemukakan bahwa perlindungan hutan, vegetasi penutup lahan, yang secara umum merupakan perlindungan kapasitas evaporasi adalah suatu ha1 yang penting di dalam pengelolaan
sumberdaya air terutama pada lahan kritis. Chandler et a1.(1999) mendapatkan bahwa daerah kapur tertutup padang rumput yang diolah
mengurangi infiltrasi dan
memperbesar limpasan. Hambatan infiltrasi tersebut disebabkan oleh perubahan struktur tanah dan alkalinitas. Linsley et a1.(1982) menyatakan bahwa jumlah limpasan dipengaruhi kondisi kebasahan daerah alirannya pada saat permulaan hujan dan karakteristik hujan (jumlah hujan, intensitas, lamanya). Griend (1979) menggambarkan hubungan antara aliran permukaan dan hujan pada berbagai kondisi kelembaban tanah yang disajikan pada Gambar 1.2.
1.Sangat basah 2. Basah 3. Normal 4. Kering 5. Sangat kering
Huian (inc) Gambar 1.2. Tipe hubungan hujan aliran permukaan kondisi tanah sebagai parameter (Griend, 1979) ~ i d r o ~ rdiartikan af sebagai suatu diagram yang menggambarkan hubungan debit aliran sungai dari waktu ke waktu (Chow et.al., 1988). Hidrograf merupakan tanggapan menyeluruh suatu DAS terhadap masukan hujan, dan mencirikan watak yang khzs dari DAS. Masing-masing DAS akan memberikan tanggapan yang berbeda terhadap masukan hujan yang sama (Raudkivi, 1 979). Menurut Chow et al. (1988) perjalanan air di dalam DAS dapat digambarkan seperti yang disajikan pada Gambar 1.3. Berdasarkan gambar tersebut nampak bahwa
1
limpasan total (total runof8 terdiri dari limpasan langsung (direct runof8 dan aliran dasar (base flow). Limpasan langsung terdiri dari aliran permukaan (overlandflow) dan aliran bawah permukaan yang mengalir langsung (prompt subsurface flow) serta hujan yang jatuh langsung di atas permukaan sungai (channel precipitation). Sedangkan aliran dasar terdiri dari aliran bumi (groundwaterflow) yang tidak dapat masuk ke saluran, tetapi langsung dengan air perkolasi memperbesar aliran dasar. Aliran dasar dan limpasan langsung akhirnya bersatu menjadi satu menuju ke sungai. Hidrograf aliran terdiri dari: (a) Aliran permukaan (overlandflow);(b) Aliran bawah permukaan (subsurface flow); ( c ) Aliran dasar (base flow); (d) Hujan yang jatuh di atas permukaan sungai (channel precipitation).
::!:I
Lr' Hujan
I
bliran bawah permukaan
I
I Perkolasi I
* Aliran airtanah
Men alir lan sun Limpasan Langsung
Mengalir tertunda
Aliran I Dasar
Gambar 1.3. Proses pengaliran air di DAS (Chow et a1.,1988)
Peugeot et al. (1997) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi limpasan adalah karakteristik hujan, kondisi permukaan (tanah yang mengeras, batuan yang melapisi permukaan, penutupan vegetasi, dan kondisi geomorfologis). Rico et al. (2001) mendapatkan bahwa hujan badai yang terjadi secara konveksi mengakibatkan banjir. Di samping itu, kegiatan manusia seperti pembuatan kompleks perumahan dapat memperbesar terjadinya limpasan,
1.3.3. Evapotranspirasi
Air merupakan komponen fisik ekosistem di alam yang mempunyai sifat khas dan unik, diantaranya adalah kemampuannya untuk tampil bersamaan dalam fase cair, padat dan gas pada suatu kisaran suhu kamar di permukaan bumi. Kondisi yang lebih menarik lagi adalah proses perubahan dari satu fase ke fase lainnya, terutama dari fase cair ke uap, dan dari fase padat ke cair. Perubahan air dari fase padat ke cair membutuhkan energi sebanyak 0,37 MJ kg-', sedangkan perubahan dari fase cair ke gas (uap) membutuhkan energi sebesar 2,45 MJ kg-' pada suhu 20 "C. Energi tersebut dikenal sebagai bahang laten penguapan yang dibutuhkan untuk meningkatkan jarak pemisah antar molekul (Wallace, 1995). Evapotranspirasi merupakan gabungan antara proses evaporasi dan transpirasi
(Asdak, 1995; Sriharto, 1993). McIntosh (1 972) menyatakan bahwa evapo-
transpirasi didefinisikan sebagai proses fisika perubahan air cair dan padat (sublimasi) ke gas (uap). Penguapan air di atmosfer terjadi dari badan-badan air seperti laut, danau, sungai, waduk, genangan, dari permukaan tanah dan dari perlnukaan tumbuh-tumbuhan yang basah. Transpirasi adalah semua air yang diuapkan
oleh tumbuhan, yaitu semua air yang telah melewati tumbuhan dan masuk melalui sistem perakaran terus ke jaringan vaskuler, melalui lubang stomata atau kutikula keluar ke atmosfer pada waktu tertentu. Rosenberg et al. (1983) menyatakan bahwa tidak mudah membedakan evaporasi dan transpirasi. Evaporasi dapat terjadi langsung dari permukaan bumi, sedangkan transpirasi terjadi secara simultan di alam. Untuk itu, digunakan istilah evapotranspirasi sebagai gambaran total proses transfer air dari vegetasi dan permukaan bumi ke atmosfer. Wilson (1979) mengatakan bahwa dalam kondisi lapangan, secara praktis tidak mungkin membedakan antara evaporasi dan transpirasi jika tanah ini ditutupi oleh vegetasi.
Kedua proses ini biasanya di-
kelompokkan bersama dan disebut evapotranspirasi. Evapotranspirasi adalah konversi air dari fase cair ke fase gas yang diuapkan ke atmosfir, yang meliputi :1) penguapan air dari permukaan tanah dan permukaan air bebas (evaporasi), 2) penguapan air yang berasal dari tanah, yang dihisap oleh tumbuhan, setelah melalui jaringan tumbuhan diuapkan melalui stomata dan kutikula (transpirasi), dan 3) penguapan air yang tertahan oleh permukaan vegetasi (intersepsi) dan sarasah sebelum air hujan jatuh mencapai permukaan tanah
(Wilson, 1979;
Seyhan, 1990). Tateishi et a1.(1996) menyatakan bahwa diperkirakan sekitar 60-80% hujan dikembalikan lagi ke atmosfer melalui evapotranspirasi dan akan menjadi sumber airhujan berikutnya.
Berbagai variasi sebaran ke ruangan evapotranspirasi di muka
bumi, akibat pengaruh kegiatan sosio-ekonomi manusia, seperti adanya peningkatan kebutuhan air di luar bidang pertanian akibat pertumbuhan penduduk yang pesat dan industrialisasi yang semakin meningkat.
Jackson (1977) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi evaporasi adalah faktor meteorologi yaitu radiasi surya, suhu permukaan evaporasi, selisih tekanan uap, kecepatan angin, dan turbulensi udara. Radiasi surya merupakan sumber utama energi, sehingga pengaruhnya besar sekali terhadap evaporasi. Suhu permukaan mengendalikan tekanan uap dekat permukaan, pengaruhnya terhadap gradien tekanan uap. Ayoed (1983) menyatakan bahwa laju evaporasi atau evapotranspirasi di atas suatu daerah ditentukan oleh dua kendala utama, yaitu ketersediaan kelengasan pada permukaan evaporasi dan kemainpuan dari atmosfer untuk menguapkan dan memindahkan uap air ke atas. Nieuwolt (1977) mengemukakan bahwa evapotranspirasi dikendalikan oleh tiga kondisi, yaitu kapasitas udara untuk menampung lebih banyak uap air, jurnlah energi yang tersedia untuk digunakan dalam proses evaporasi dan transpirasi sebagai bahang laten. Derajat turbulensi atmosfer bagian bawah dibutuhkan untuk memindahkan lapisan udara yang telah jenuh dengan uap air dekat permukaan dan menggantinya dengan udara yang belum jenuh dengan uap air. Rosenberg et al. (1983) menyatakan bahwa jumlah uap air yang dapat dikandung atmosfer selain dipengaruhi oleh suhu, dipengaruhi pula oleh kelembaban relatif. Pada suhu yang sama, dengan kelembaban relatif lebih rendah, dimungkinkan terjadinya evapotranspirasi yang lebih besar. Giambelluca et al. (1992) menyatakan bahwa kelembaban permukaan
merupakan
besarar, yang dibutuhkan
untuk
estimasi evaporasi.
Berdasarkan hasil penelitiannya di dataran tinggi Hawai, didapatkan bahwa evaporasi meningkat dengan ketinggian tempat. Hal ini disebabkan karena adanya sumber energi selain energi radiasi yaitu energi bahang advektif. Wigmosta et al. (1997)
menyatakan bahwa evapotranspirasi pada segmen lereng perbukitan dihitung berdasarkan fungsi kelembaban dan evapotranspirasi potensial. Hal ini karena air yang terlepas tersebut berasal dari intersepsi kanopi, timbunan permukaan, dan aliran sungai semuanya itu pada laju yang potensial. Besarnya nilai evapotranspirasi untuk suatu daerah pertanaman dipengaruhi oleh iklim setempat seperti temperatur, kecepatan angin, radiasi matahari dan kelembaban udara. Proses transpirasi selain ditentukan oleh iklim, juga dipengaruhi oleh jenis tanaman. Evaporasi dari permukaan tanah ditentukan oleh jenis, sifat dan tingkat kelembaban tanah (Doneen et al., 1988). Evapotranspirasi dapat diukur secara langsung dengan menggunakan alat yang disebut Lysirneter, dengan cara pendugan berdasarkan evaporasi panci dan dengan menggunakan formula empiris berdasarkan data iklim yang tersedia (Wilson, 1979). Cara menentukan evapotranspirasi dengan pendekatan formula empiris adalah untuk menentukan besarnya evapotranspirasi acuan (ETo). Berbagai metode pendugaan evapotranspirasi potensial atau referen beserta masukan data yang dibutuhkan dalam perhitungan disajikan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1. Beberapa metode pendugaan evapotranspirasi potensial dan masukan data yang dibutuhkan dalam perhitungan. No
Model
T
Rs
RH
u
Panjang hari X
Faktor tanaman
X X X X Penman Penman-Monteith X X X X X X Jensen-Haise X X Hargreaves X X Radiasi X X X X X Turc Makkink X X Keterangan: T = suhu; Rs = radiasi surya; RH = kelembaban; u = kecepatan angin
1 2 3 4 5 6 7
1.3.4. Artificial Neural Network ( A N N )
ArtiJicial Neural Network (jaringan syaraf tiruan) merupakan suatu struktur komputasi yang dikembangkan berdasarkan proses sistem jaringan syaraf biologi dalam otak. Lippman (1987) menyatakan bahwa Artijcial Neural Network ( A N N ) merupakan penjabaran fungsi otak manusia (biological neuron) dalam bentuk fungsi matematika yang menjalankan proses perhitungan secara paralel. Pham (1995) menyatakan bahwa ANN bersifat fleksibel- terhadap masukan data dan menghasilkan respon yang konsisten. Jaringan yang terdiri dari beberapa lapisan (multilayer) dapat menunjukkan kapabilitasnya yang sempurna untuk memecahkan berbagai permasalahan. Pembelajaran ANN dapat menyelesaikan perhitungan paralel untuk tugastugas yang rumit, seperti prediksi dan pemodelan; klasifikasi dan pola pengenalan; pengklasteran; dan optimisasi.
ANN pada dasarnya tersusun dari beberapa lapisan yaitu: lapisan masukan (input layer), lapisan tersembunyi (hidden layer), dan lapisan keluaran (output layer). Pada masing-masing lapisan terdapat node yaitu suatu unit komputasi yang paling sederhana dan dihubungkan dengan node pada lapisan berikutnya, hubungan antar
node diekspresikan oleh suatu bilangan yang disebut pembobot (weight). Setiap node pada lapisan masukan menjadi masukan pada lapisan berikutnya sampai akhirnya pada lapisan keluaran (Toth et al., 2002). Dibike et al. (1999) menyatakan bahwa ANN adalah struktur matematik yang fleksibel dan lnampu untuk mengidentifikasi
hubungan nonlinear yang rumit antara masukan dengan keluaran suatu set data. Fu (1994) menyatakan bahwa
konsep dasar teori grafis Neural Network
digambarkan sebagai satu node dan tanda panah (arrow). Sebuah node menaqdakan
sebuah neuron, dan tanda panah merupakan simbol dari arah proses antar neuron. Sifat dinamis dari Neural Network dapat digambarkan secara matematis dan proses kerjanya dapat dilakukan dengan digital komputer maupun analog komputer, tergantung dari jenis datanya. Neural Network mampu menyelesaikan masalah secara self-learning dan selforganization, mempunyai potensi menyederhanakan mekanisme perhitungan pada neuron tunggal. Kelebihan sistem perhitungan Neural Network meliputi (Fu, 1994):
1. Mampu menggeneralisasi, abstraksi, ekstraksi sifat-sifat statistik dari data. 2. Mampu menciptakan sistem kerja secara self-organization. 3. Mampu menghitung secara paralel (parallel-distributedprocessing).
4. Mampu mereduksi tingkat kesalahan secara baik. Sifat-sifat umum dari sistem ANN biasanya tersirat suatu kemampuan untuk belajar. ANN secara matematik merupakan sebuah pendekatan dari fungsi multi variabel aktual h(x) oleh fungsi yang lain H ( W , X ) dengan
X = [x,,x,, ..., xnT
merupakan vektor masukan dan W = [w,, w,, ..., w,,]' adalah vektor pembobot. Pembelajaran bertujuan untuk menentukan nilai W yang merupakan pendekatan paling mungkin, berdasarkan pada contoh-contoh pembelajaran X (Dibike et al., 1999)
1.3.5. Model Hidrologi
Analisis hidrologi dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, untuk analisis tersebut diperlukan data aliran sungai dan parameter iklim. Dalam kaitan ini di-
perlukan pemahaman yang baik terhadap DAS tertentu sebagai sistem yang mengalihragamkan masukan menjadi keluaran debit (Sriharto, 1993). Data hidrologi yang dibutuhkan untuk perencanaan pada sistem sumberdaya air, sering menjadi penghambat karena keterbatasan data tersebut. Pada umumnya hambatan yang ditemui adalah kekurangan data aliran. Data hujan relatif mudah diatasi, karena dengan ekstrapolasi regional dapat mengestimasi hujan pada DAS yang tidak mempunyai pencatat data hujan. Hal ini tidak dapat diterapkan pada data aliran sungai, karena data aliran sungai dipengaruhi parameter-parameter spesifik daerah alirannya. Dengan adanya peralatan komputer dan pemahaman tentang siklus hidrologi serta proses-proses hidrologi, dari penelitian hidrologi didapatkan hujanaliran permukaan. Hasil dari penelitian tersebut meliputi teknik dan model simulasi yang banyak manfaatnya bagi ahli hidrologi. Sriharto (1993) menyatakan bahwa dalam pengertian umum model hidrologi adalah suatu sajian sederhana (simple representation) dari sebuah sistem hidroiogi yang kompleks. Menurut Dooge (1968), sistem diartikan sebagai suatu struktur, alat, skema atau prosedur, baik riil maupun abstrak yang dikaitkan dalam satu referensi waktu tertentu sebuah masukan atau sebab, tenaga atau informasi dengan keluaran, pengaruh atau tanggapan secara menyeluruh. Model hidrologi, secara umum terdapat tiga kategori yaitu (Sriharto 1993): 1, Model fisik (physical model), dibuat sebagai model dengan skala tertentu untuk
menirukan prototipenya. Model ini mempunyai tiga bagian terpenting yaitu simulator hujan, limpasan, dan alat-alat ukur. Apabila limpasan merupakan prototipe yang diperkecil, maka secara hidraulik perlu diperhatikan
dengan I
cermat adanya pengaruh distorsi dalam skala. Model ini relatif sulit diaplikasikan pada proses limpasan, umumnya model ini hanya digunakan untuk mengidentifikasi parameter atau variabel yang berpengaruh dalam pengalihragaman hujan menjadi aliran. Pemakaiannya dalam analisis masih memerlukan pengembangan lebih lanjut.
2. Model analog (analog model), disusun dengan menggunakan rangkaian resistorkapasitor. untuk memecahkan persamaan deferensial yang mewakili proses hidrologi. Dasar analoginya adalah: Hidrologi
Listrik
I = 0 + dS/dt; S = kO
E = V + R C dV/dt; S = R C V
I = masukan, k = konstanta 0 = keluaran S = tampungan
E = tegangan masukan V = tegangan keluaran R = tahanan, C=kapasitor
3. Model matematik (mathematical model) menyajikan sistem dalam rangkaian persamaan, dan kadang-kadang dengan ungkapan-ungkapan yang menyajikan hubungan antar variabel dan parameter. Loi (1988) menyatakan bahwa secara garis besar, model simulasi hidrologi dibedakan menjadi dua kategori, yaitu model simulasi deterministik dan stokastik. Simulasi deterministik pada dasarnya memerlukan diskripsi matematik pada komponen dan respon sistem hidrologi, untuk kejadian seri pada periode waktu yang diinginkan. Model ini berusaha menggambarkan proses-proses fisik siklus hidrologi, dengan cara menirukan (simulate) peristiwa-peristiwa hidrologik yang terjadi, misalnya dengan membuat transformasi dari serangkaian masukan curah hujan ke hidrograf aliran yang dihasilkannya. Model-model hasil simulasi menjelaskan beberapa
fase siklus hidrologi, dengan menggunakan prinsip-prinsip hukum konservasi massa, energi dan momentum. Model stokastik, berusaha mengungkapkan kembali sifat statistik dari serangkaian waktu hidrologis tanpa memperhatikan kejadian yang sebenarnya. Dasar analisis stokastik adalah prosesnya tidak berubah terhadap waktunya. Dengan demikian sifat-sifat catatsn dari kejadian sesungguhnya dapat dipakai untuk membuat rangkaian-rangkaian sintetik yang panjang. Rangkaian-rangkaian tersebut harus memperlihatkan sifat statistik yang serupa dengan rangkaian sesungguhnya. Menurut Loi (1988) yang termasuk di dalam model deterministik antara lain model simulasi sinambung (continuous simulation model), dan simulasi kcjadian tunggal (event simulation model). Model simulasi sinambung mampu untuk membuat hidrograf aliran keluar selama periode waktu yang panjang (seri) dan meliputi algoritma yang memelihara suatu keseimbangan air (water balance) pada daerah alirannya, sehingga dapat untuk mengetahui kondisi-kondisi yang telah berlangsung sebelumnya terhadap tiap-tiap kejadian hujan yang ditelaah. Modelmodel kejadian tunggal dirancang untuk menurunkan suatu peristiwa tunggal, misalnya hidrograf dari hujan tunggal. Pada model ini, kondisi awalnya harus diketahui sebagai bagian dari masukan. Menurut Sriharto (1993) tujuan penggunaan model dalam hidrologi adalah untuk: a) peramalan @recasting),
termasuk untuk sistem peringztzn
dan
pengelolaan; b) perkiraan (prediction); c) sebagai alat deteksi dalam masalah pengendalian, dengan sistem yang telah pasti dan keluaran yang diketahui maka masukan dapat dikontrol; d) sebagai alat pengenal (identijcation tool) dalam
masalah perencanaan, misal untuk melihat pengaruh urbanisasi, pengelolaan tanah dengan membandingkan masukan dan keluaran dalam sisteln tertentu; e) ekstrapolasi data; f) perkiraan lingkungan akibat tingkat perilaku manusia yang berubah; g) penelitian dasar dalam proses hidrologi. Odgen et a1.(2000) menyatakan model hidrologi digunakan untuk menilai sumberdaya air; rancangan irigasi; prediksi erosi dan sedimentasi; evaluasi dampak perubahan iklim dan kontaminasi air bawah permukaan; dan ekologi perairan. Disamping itu, pemodelan hidrologi bermanfaat untuk prediksi respon DAS yang tidak ada stasiun pengamatan sebagai masukan hidrologis, pendugaan banjir, estimasi data yang tidak tercatat. Hubungan antara curah hujan dan limpasan di dalam DAS, yakni hujan sebagai masukan, limpasan sebagai keluaran, dan DAS sebagai pengatur proses nampaknya sederhana, namun sebenarnya merupakan proses yang rumit dan kompleks. Berbagai model dikembangkan untuk memprediksi keluaran limpasan, karena sangat pentingnya data limpasan ini untuk perencanaan pengembangan DAS. Salah satu model yang terkenal dan sering digunakan adalah model hidrograf satuan. Model ini cenderung menganggap hubungan antara hujan dan aliran adalah linier. Padahal menurut para ahli hidrologi, hubungan antara hujan dan limpasan tidak ada yang benar-benar linier. Soemarto (1987) menyatakan bahwa sumber terbesar nonlinearitas ini terletak pada prosedur pengurangan kehi!angan (iosses) dan pengisian (recharge) daerah pengaliran, cara mendapatkan curah hujan net0 yang akan menjadi
aliran permukaan (overland flow) dan meninggalkan daerah pengaliran sebagai limpasan (runofJ) di pelepasaannya (outlet).
Model deterministik non-linier tersebut lebih banyak terjadi di alam, dan telah banyak model yang dikembangkan untuk memecahkan masalah tersebut. Salah satu model yang dapat menyelesaikan hubungan curah hujan dan limpasan non-linier tersebut adalah Tank model. Model ini pada dasarnya suatu model untuk meniru (simulate) DAS dengan menggantinya oleh sejumlah tampungan yang digambarkan
sebagai sederet tank. Tank model ini dikembangkan oleh Sugawara pada tahun 1961. Menurut Sugawara (1961) tank model adalah suatu metode non-linier yang berdasarkan pada hipotesis bahwa aliran limpasan dan infiltrasi merupakan fungsi dari jumlah air yang tersimpan di dalam tanah. Secara skematis, struktur model tangki disajikan pada Gambar 1.4.
41~
'
Gambar 1.4. Skema proses aliran tank model menurut Sugawara (1 96 1) Berdasarkan Gambar 1.4a. dapat dijelaskan proses aliran tank model, proses diawali dengan curah hujan R(t) pada suatu waktu akan mengisi tank paling atas V , . Air yang tertampung pada tank V1 akan mengalir lewat lubang-lubang dinding kanan menjadi aliran permukaan (surfaceJlow) dan sub-permukaan (sub-surface flow), serta
mengalir melalui lubang dasar mengisi tanki V2. Air yang tertampung pada tank VZ, air mengalir lewat lubang-lubang di dinding kanan dan merembes lewat dasar tank masuk ke tank V3. Proses ini terulang sampai tank t e r a l i r . Pada Gambar 1.4a. tersebut bila dihubungkan dengan mekanisme proses aliran di DAS yakni Gambar 1.4b. akan lebih jelas. Hujan yang jatuh di permukaan tanah, membasahi tanah dan bila tanah sudah jenuh akan terjadi aliran. Apabila hujan terus berlangsung, maka aliran permukaan akan bertambah besar. Pada model Gambar 1.4a, air tersebut keluar melalui dinding kanan teratas tank V1 atau disebut aliran permukaan (surfaceflow).Air pada tank V1, disamping keluar melalui dinding kanan sebagian meresap ke bawah lewat lubang dasar tank V1. Air yang turun ke bawah tersebut akan tinggal pada akifer I, bila air yang terkumpul dan melebihi batas tertentu akan mengalir dari akifer I. Pada model Gambar 1.4a., air tersebut digambarkan pada tank V2 yang keluar melalui lubang dinding kanan dan disebut aliran antara
(intermediate flow). Air yang bearada di akifer I sebagian akan turun ke bav~ah mengisi akifer 11, pada ketinggian tertentu air pada akifer I1 ini akan mengalir. Pada Gambarl,4a., air tersebut digambarkan sebagai air yang keluar melalui lubang dinding kanan tank V3, aliran ini disebut aliran sub-dasar (sub-base flow).Air pada akifer I1 sebagian mengalir ke bawah mengisi akifer 111, pada ketinggian tertentu air pada akifer I11 akan mengalir dan pada Gambar 1.4a. air tersebut digambarkan sebagai air yang keluar melalui lubang dinding kanan tank V4. Air yang keluar pada tangki V4 disebut aliran dasar (base flowj.Air dari berbagai sumber tadi akhirnya menjadi satu pada sistem sungai dan merupakan debit total pada kawasan tersebut.
Pada prinsipnya tank model memprediksi limpasan yang keluar dari tank yang besarnya sebanding dengan tinggi air dalam tank yang bersangkutan (storage depth) h(t) di atas lubang yang disajikan pada Gambar 1.5. Limpasan
q(t)
dirumuskan sebagai berikut:
q(t) = limpasan (mmlhari) h(t) = tinggi tampungan (mm) h = koefisien lubang (hari-')
Gambar 1.5. Hubungan p(t),h(t), dan q(t)
Apabila tidak ada penambahan air dari atas tank, maka persamaan kontinyuitas diperoleh sebagai berikut:
Dari persamaan (1.1) dan (1.2) didapatkan: q = qOe-&
............................................................. (1.3)
kondisi qo = q pada saat t = 0 Pada persamaan (1.3) menunjukkan bahwa limpasan akan menurun secara eksponensial dengan bertambahnya waktu, jika tidak ada penambahan air dari atas.
Apabila terdapat penainbahan air dari atas, misal hujan untuk tank teratas atau infiltrasi untuk tank di bawahnya, maka persamaan (1.2) menjadi: dh p(t)=q =dt
.................................................................. (1.4)
p(t) adalah curah hujan atau infiltrasi dari tangki atas Persamaan (1.4) dapat dituliskan sebagai berikut:
Hubungan antara limpasan q(t) dan infiltrasi i(t) dengan tinggi air pada tank h(t) pada kondisi seperti Gambar 1.6.
Gambar 1.6. Hubungan p(t), i(t), h(t), dan H I Hubungan q(t), i(t), h(t), dan HI dapat dinyatakan dengan persarnaan berikut:
dengan syarat h(t) > H i , berdasarkan hukum kontinyuitas didapatkan persamaan: ( t )q(t)-i(t) =
dh
....................................................................... (1.7)
penyelesaian persamaan (1.7) terhadap q(t) dan i(t), jika p(t)
=
0 adalah sebagai
berikut:
jika p(t) rf 0
Persamaan 1.9 dan 1.10 menunjukkan bahwa limpasan q(t) dan infiltrasi i(t) mempunyai koefisien pengurangan (dinzinishing coeflcient) yang ditulis sebagai fungsi eksponensial jumlah ho + h,. Pada tank yang mempunyai lubang dua pada dinding kanan tank seperti pada Gambar 1.7, dengan konstanta lubang masing-masing h , dan h ~ serta , h(t) >HZ dan H2>H1. Besarnya limpasan q(t) dan infiltrasi i(t) mempunyai diminishing coeficient dinyatakan pada persamaan yang didalamnya terdapat faktor fungsi eksponensial +XI +A2. Limpasan yang keluar dari tangki mempunyai diminishing coeflcient dari fungsi eksponensial (ho,ho + hl,ho + h,,h2 +. ........ ...), yang akan bertambah besar dengan membesarnya tampungan. Oleh sebzb itu dalam tank model yang disusun secara seri, jumlah limpasannya dinyatakan sebagai jumlah dari fungsi eksponensial dengan diminishing coefficient yang berbeda-beda untuk masing-masing tank.
......................................
ih(t)
----
)
+
,
HI
1
I I
I I
! I
q
4
a(t) Gambar 1.7. Skema mekanisme aliran pada dinding tank berlubang aua Menurut Soemarto (1987) secara normal tank yang berada di atasnya
mempunyai lubang-lubang limpasan dan infiltrasi dengan konstanta yang lebih besar dibanding dengan tangki di bawahnya. Oleh karena itu selama hujan berlangsung limpasan dari tank yang lebih atas menjadi lebih dominan. Setelah hujan berhenti, tangki atas mengalirkan semua tampungannya dan kemudian limpasan yang berasal dari tank yang lebih bawah berganti menjadi lebih dominan.
1.4. Metode Umum Penelitian Penelitian ini dilakukan di sub-DAS Ciriung, yakni suatu sub-DAS yang terletak di DAS Cidanau Hulu. Pemilihan sub-DAS didasarkan pada variasi penggunaan lahan pada sub-DAS tersebut. Lokasi sub-DAS yang mudah dijangkau, karena penelitian ini dilakukan pengamatan yang intensif, dan mempertimbangkan faktor keamanan alat yang dipasang. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) peta topografi; b) peta penggunaan lahan; c) peta tanah; d) pembuatan penampang sungai utama, alat yang diperlukan adalah meteran dan alat tulis; e) pengamatan
tinggi muka air sungai, alat yang digunakan adalah logger CTD-Diver; 0 pengamatan hujan, digunakan alat pencatat hujan otomatis (logger); g). suhu udara, alat yang digunakan logger; h) pengamatan kelembaban udara digunakan logger; i) pengukuran radiasi matahari, alat yang digunakan adalah logger; j) pengukuran debit, digunakan weir (bangunan air); k) morfometri DAS dihitung dengan program MapInfo dan ArcView; I) komputer untuk analisis data dan penulisan disertasi; n) GPS untuk menentukan batas penggunaan lahan. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu: 1. Analisis kondisi fisik sub-DAS, penentuan batas sub-DAS digunakan peta topografi, peta penggunaan lahan, peta tanah dengan bantuan program MapInfo dan ArcView, serta pengamatan lapangan dapat untuk mengetahui kondisi fisik sub-DAS.
2. Analisis sosial ekonomi, pengumpulan data sosial ekonomi sub-DAS Ciriung untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi daerah penelitian.
3. Analisis data aliran, penentuan lokasi pengukuran aliran kemudian dibuat bendungan (weir) dibuat tipe ambang tajam. Fluktuasi tinggi muka air dari waktu ke waktu diukur dengan logger. Selain pengukuran tinggi muka air dilakukan pula pengambilan sampel air pada musim hujan dan musim kemarau untuk dianalisis kualitas airnya.
4. Analisis hujan, data hujan didapatkan dari pembacaan logger dengan bantuan program Boxcar. Data hujan yang terekam pada logger tersebut untuk masukan model berupa hujan harian (mmlhari), alat ini terpasang di dekat keluaran (outlet) sub-DAS Ciriung.
5. Analisis evapotranspirasi, untuk mendapatkan data evapotranspirasi dilakukan uji efektivitas model evapotranspirasi.
6. Analisis potensi limpasan, digunakan tank model standar . Untuk mendapatkan parameter-parameter tank model dilakukan dengan teknik optimasi.
7. Memprediksi hujan dan evapotranspirasi periode 2003/2004 s/d 2009/2010 menggunakan model ArtrJicial Neural Network (ANhT) untuk memprediksi ketersediaan air periode tersebut.
8. Untuk mengkaji model evapotranspirasi maupun tank model digunakan tiga indikator kesalahan yaitu 1) Root Mean Square Error (RMSE), 2) Mean Absolute Error (MAE), dan 3) Logaritmic RMSE (LOG). Disamping itu digunakan pula tolok ukur koefisien determinasi ( R ~ ) .
DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air.IPB Press. Bogor. Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Ayoed, J.O. 1983. Introduction to Climatology for the Tropics. John Wiley and Sons. New York Chandler, D.G. and J.J. Bisogni Jr.1999. The Use of Alkalinity as a Conservative Tracer in a Study of Near-surface Hydrologic Change in Tropical Karst. J.Hydrol. 2 16,2 14-226 Chow, V.T., D.R. Maidment and L.W. Mays. 1988. Applied Hidrology. McGrawHill. New York Dibike, Y.B., and D.P.Solomatine. 1999. River Flow Forcasting Using Artificial Neural Networks. littp://www.ihe.nl/hi/sol/papers/EGS99-ANNriverflow.vdf [3 Agustus 20031: 13p Doneen, L.D. and Westcot, D.W. 1988. Irrigation Practice and Water Management. Irrigation and Drainage Paper No. 1. FAO, Roma. Fu, L.M. 1994. Neural Network in Computer Intelligence. McGraw-Hi11,Inc. New York. 459p Giambilluca, T.W. and Nullet, D. 1992. Evapotranspiration Hawai. J.Hydro1. 136: 219-235.
at High Elevation in
Griend, H.A. 1979. Modelling Catchment Respons and Runoff Analysis. 1nst.of Erth Sciences free University. Amsterdam. Hamilton, L.S. and P.N. King. 1983. Tropical Forested Watershed, hydrologic and Soil Response to Major Uses of Conservation. WestView Press. Colorado. Jackson, I.J. 1977. Climate, Water and Agriculture in the Tropic. Longman. London Linsley, R.K.1949. Applied Hydrology. Bereau Meteorology and Irrigation. New York. Linsley, R.K., M.A Kohler and J.J.H Paulhus.1982. Hydrology for Engineers. McGraw Hill Inc. New York. Loi, H.K. 1988. Watershed Simulation and Modeling. Forestry Department Penisular Malaysia. Kuala Lumpur. McIntosh, D.H.1972. Meteorological Glossary. Her Majestey's Station Office. London Niuwolt, S. 1977. Tropical Climatology: An Introduction to the Climate of the Low Latitude. John Wiley and Sons. New York.
Ogden, F.E., H.O. Sharif, S.U.S. Senarath, J.A. Smith, M.L. Baeck and J.R. Richardson, 2000. Hydrologic analysis of the Fort Collins, Colorado, flash flood of 1997. J. Hydrol. 228, 82-100 Pham, D.T. 1994. Neural Network for Chemical Engineers. Elsevier Press. Amsterdam. Peugeot, C., M. Esteves, S. Galle, J.L. Rajot and J.P. Vandervaere, 1997. Runoff generation processes: results and analysis of field data collected at the East Central Supersite of the HAPEX-Sahel experiment. J.Hydrol. 188- 189, 179202 Raudkivi. 1979. An Advanced Introduction to Hydrology, Processes and Modeling. Pergamon Press. Oxford. Rosenberg, N.J., Blad, B. and Verma, S.H. 1983. Microclimate: The Biological Environment. John Welley and Sons. New York. Savinije, H.H.G. 1996. The Runoff Coefficient as the Key to Moisture Recycling. J.Hydro1 176,219-225. Seyhan,E. 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta Soemarto, CD. 1987. Hidrologi Teknik. Usaha Nasional. Surabaya Sriharto . 1993. Analisis Hidrologi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Sub BKSDA JABAR I. 1998. Studi Potensi Air dan Evaluasi Pengendalian Gulma Air di Cagar Alam Rawa Danau Tateishi, R. and C.H. Ahn. 1996. Mapping Evapotranspirasion and Water Balance for Global Land Surface. ISPRS Journal of Photogrametry & Remotsensing 5 1, 200-2 15 Toth, E., Brath H. 2002. Flood Forcasting Using Artificial Neural Networks in BlackBox and Conseptual Rainfaal-Runoff Modelling. http:Nwww.iemss.or& iernss2002/proceedin~~/~df/volume%20due/370 toth.pdf [3 Agustus 20031.6~ Wigmosta, M.S. and Burges, S.J. 1997. An Adaptive Modeling and Monitoring Approach to Describe the Hydrologic Behavior of Small Catchments. J.Hydro1. 202: 48-77. Wilson, E.M. 1979. Engineering Hydrology. McMilland and co Ltd. London.