I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian di Indonesia umumnya dilakukan dan diukur dengan indikator meningkatnya pertumbuhan ekonomi, tanpa memperhatikan dampak yang terjadi pada lingkungan. Hal ini telah menimbulkan dampak negatif antara lain terancamnya kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, serta terjadinya perubahan iklim secara global. William Cline dalam Fauzi (2007) menyebutkan, perubahan iklim diperkirakan akan menurunkan produksi pertanian antara 10−15%, sehingga jika tidak ada reorientasi dalam kebijakan ekonomi ke arah pola pembangunan berkelanjutan, maka produktivitas pertanian bisa menurun sampai 40%. Konsep pembangunan pertanian berkelanjutan harus dilaksanakan dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi tanpa mengabaikan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Dalam menghadapi era pembangunan global, Indonesia harus mampu melaksanakan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dalam penggunaan sumberdaya alamnya. Walaupun suatu sumber daya alam tergolong dalam sifat yang terus menerus ada dan dapat diperbaharui oleh alam sendiri maupun dengan bantuan manusia, namun penggunaan sumberdaya alam ini seharusnya seefektif mungkin untuk menjamin manfaatnya secara jangka panjang. Salah satu pemanfaatan sumberdaya alam untuk aktivitas perekonomian adalah usaha budidaya perikanan tambak. Sebagian besar usaha budidaya perikanan tambak dengan komoditas utama ikan bandeng dan udang windu dilakukan di daerah pesisir yang terdapat banyak kawasan mangrove.
1
Adanya kebutuhan tinggi akan pemukiman dan peningkatan kegiatan ekonomi seperti permintaan yang tinggi terhadap komoditas perikanan tambak, terjadilah alih fungsi atau konversi daerah pesisir menjadi tambak. Pada waktu relatif singkat, terjadi perubahan lingkungan pesisir dari wilayah mangrove menjadi areal tambak. Sesungguhnya mangrove memiliki berbagai macam manfaat ekonomis dan manfaat ekologis. Secara ekonomis mangrove berperan menyediakan berbagai macam kebutuhan manusia seperti penyedia kayu bakar, bahan bangunan, penghasil tanin (penyamak kulit) alat penangkap ikan, peralatan rumah tangga serta manfaat non fisik seperti olah raga dan rekreasi dan lainnya. Hutan mangrove memiliki manfaat ekologis sebagai perlindungan bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan; berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya. Selain itu, serasah mangrove (berupa daun, ranting dan biomassa lainnya) yang jatuh di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktivitas perikanan perairan laut. Selain itu, hutan mangrove juga merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis -jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mengrove menyediakan keanekaragaman (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang kehidupan. Perubahan kawasan mangrove di daerah pesisir menjadi areal tambak akan menyebabkan perubahan lingkungan, salah satunya dapat terjadi penurunan fungsi ekologis kawasan pesisir yang akan mempengaruhi keberlanjutan usaha budidaya perikanan tambak yang diusahakan rakyat setempat, misalnya menurunnya kualitas lingkungan perairan akan mempengaruhi produksi budidaya ikan bandeng dan udang
2
windu, sehingga dapat meningkatkan biaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan dan hasil produksi menjadi tidak optimal. Kabupaten 639.570 ha
Sambas
(4,36%
dari
memiliki luas
luas
wilayah
wilayah
Propinsi
6.395,70 km2 Kalimantan
atau Barat),
merupakan wilayah Kabupaten yang terletak pada bagian pantai barat paling utara dari wilayah provinsi Kalimantan Barat. Kabupaten Sambas merupakan salah satu sentra produksi perikanan tambak polikultur yang dikelola tradisional (ekstensif) dengan komoditas utamanya adalah bandeng dan udang windu. Wilayah ini memiliki potensi 6.457,6 hektar yang layak sebagai daerah pengembangan perikanan tambak terutama budidaya udang windu dan bandeng. Estimasi produksi pertahun mencapai kurang lebih 1.937,28 ton pertahunnya (BPS Sambas, 2013). Berdasarkan data BPS Sambas 2013, produksi bandeng dan udang windu mengalami peningkatan setiap tahunnya, seperti diperlihatkan dalam gambar berikut:
1600
Produksi Bandeng & Udang windu
1400 1200
Ton/ha
1000 800 600 400 200 0 2007
2008
2009 bandeng
2010 udang windu Tahun
2011
2012
Gambar 1.1. Produksi Bandeng dan Udang Windu Kabupaten Sambas 2012 Sumber: BPS Sambas, 2013 Peningkatan produksi bandeng dan udang windu salah satunya dikarenakan terjadi peningkatan luas areal tambak, tetapi terdapat hal yang cukup mengkhawatirkan 3
yaitu peningkatan luasan lahan tambak belum diikuti dengan peningkatan produksi yang memadai sehingga terjadi penurunan produktivitas bandeng dan udang windu, seperti terlihat pada gambar 1.2.
Produktifitas
Produktivitas (ton/ha)
1,60 1,40 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00 2007
2008
2009 2010 udang windu Tahun
2011 2012 bandeng
Gambar 1.2. Produktifitas Bandeng dan Udang Windu Kabupaten Sambas 2012 Sumber: BPS Sambas, 2013 Banyak faktor yang mempengaruhi produktifitas bandeng dan udang windu, antara lain adalah kualitas air tambak dan pakan alami yang menjadi sarana utama produksi bandeng dan udang windu. Air di dalam tambak untuk kehidupan bandeng dan udang windu adalah air payau yang berasal dari lingkungan sekitar yaitu sungaisungai kecil dan pesisir laut yang terdapat mangrove. Kualitas air tambak sedikit banyak sangat dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas mangrove yang berada di dalam dan sekitar tambak. Hasil penelitian Martosubroto dan Naamin (1979) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara luasan kawasan mangrove dengan produksi perikanan budidaya, artinya semakin meningkatnya luasan kawasan mangrove maka produksi perikanan pun turut meningkat. Produktivitas tambak sangat tergantung pada kondisi alami ekosistem mangrove di sekitarnya, yang menjadi penyuplai air bersih, bibit, pakan, dan lain-lain (Hamilton dan Snedaker, 1984; Larsson dkk., 1994; 4
Beveridge dkk., 1997). Berdasarkan hal tersebut, menjadikan kawasan mangrove memiliki potensi tinggi sebagai kawasan perikanan tambak, namun pemanfaatan secara besar-besaran dan kurang bertanggungjawab dapat mengurangi pertumbuhannya, bahkan dapat merusak ekosistem mangrove tersebut. Terjadinya degradasi lingkungan akibat dari pengelolaan tambak yang tidak benar, penurunan mutu lingkungan mangrove akan membawa dampak yang sangat serius terhadap produktivitas lahan bahkan dapat menjadi ancaman terhadap keberlanjutan usaha perikanan tambak. Ekosistem mangrove berperan penting dalam mendukung usaha pertambakan ikan/udang windu. Islam et al. (2004) menyatakan bahwa mangrove merupakan ekosistem yang ideal bagi udang, ikan dan kerang-kerangan. Vegetasi mangrove yang subur dapat mencegah erosi, menjaga area dari banjir, badai dan bencana alam lain, sehingga tidak diperlukan biaya tinggi untuk membangun infrastruktur tambak (Setyawan, A.D et al., 2006). Di sisi lain mangrove juga dapat mengurangi tingkat polusi secara alamiah, sehingga mencegah jatuhnya usaha tambak akibat limbah cair yang dihasilkannya, seperti tingginya kadar nitrogen dan fosfor (Ronnback, 1999). Gunawan dan Anwar (2005) menemukan bahwa tambak tanpa mangrove mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali lebih tinggi dari perairan hutan mangrove alami dan 14 kali lebih tinggi dari tambak yang masih bermangrove. Perikanan tambak di Kabupaten Sambas menerapkan jenis tambak wanamina (silvofishery), berlokasi di Kecamatan Pemangkat. Perikanan tambak di kecamatan Jawai dan Jawai Selatan adalah tambak non wanamina yaitu tambak biasa tanpa ditanami tanaman mangrove di tambak. Tambak wanamina merupakan gabungan budidaya tambak dengan tanaman mangrove di dalam tambak, sehingga diperoleh dua
5
manfaat, yaitu ekologis dengan terjaganya mangrove dan lingkungan sekitar, serta manfaat ekonomis melalui produksi bandeng dan udang windu Untuk menjaga keberlanjutan dan mendapatkan manfaaat yang optimal, usaha perikanan tambak di sekitar kawasan mangrove perlu memenuhi kriteria pembangunan berkelanjutan yang menggabungkan kepentingan ekonomi, sosial budaya, dan kelestarian ekologi (Saragih dan Sipayung, 2002). Usaha perikanan tambak yang berkelanjutan, diharapkan dapat menjaga keberlanjutan usaha agribisnis rakyat ini yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan petani tambak dan juga menjaga kelestarian kawasan mangrove.
1.2. Perumusan Masalah Usaha perikanan tambak yang terbentuk dan berkembang dapat menimbulkan keanekaragaman kegiatan ekonomi, yaitu kegiatan produksi dan perdagangan lainnya yang saling mendukung. Usaha perikanan tambak selanjutnya dapat memberikan dampak positif (multiplier effect) bagi perkembangan perekonomian setempat dan berkembang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi daerah. Pengembangan usaha perikanan tambak akan mendorong munculnya budidaya (on farm) dan off farm, seperti usaha minabisnis hulu (pengadaan sarana perikanan) dan jasa penunjang lainnya, sehingga kesenjangan kesejahteraan pendapatan antar masyarakat, kemiskinan dan urbanisasi tenaga produktif dapat dikurangi dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Suatu kegiatan ekonomi seperti pengembangan usaha perikanan tambak akan membawa dampak positif dan negatif terhadap lingkungan. Sering dikatakan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan terkesan kontradiktif. Misalnya
6
kawasan mangrove merupakan kawasan yang memiliki banyak fungsi diantaranya fungsi ekologi (nursery ground, spawning ground, habitat satwa liar dan penahan intrusi air laut), fungsi sosial ekonomi (penghasil kayu untuk bahan baku arang, kayu bakar, tiang pancang, dan wisata alam) serta mempunyai fungsi fisik (penahan erosi/abrasi pantai, penahan angin, dan lain-lain). Perubahan kawasan mangrove untuk aktivitas ekonomi seperti pengusahaan tambak-tambak perikanan akan merubah fungsi-fungsi mangrove, seperti berkurangnya kemampuan sebagai penahan abrasi, terjadinya intrusi air laut, yang selanjutnya di masa mendatang akan mengancam keberlanjutan usaha perikanan tambak di kawasan tersebut. Sesungguhnya kedua kepentingan tersebut bisa saling berinteraksi atau diintegrasikan sehingga kepentingan ekonomi dan lingkungan bisa sama-sama tercapai. Pendekatannya yaitu dengan pembangunan berkelanjutan atau berwawasan lingkungan (sustainable development). Perikanan tambak polikultur yang dikelola secara tradisional dengan komoditas ikan bandeng dan udang windu, yang dibudidayakan di dalam tambaktambak yang tersebar sebagian besar di daerah pesisir tiga kecamatan yaitu Kecamatan Pemangkat, Jawai, dan Jawai Selatan. Pada awalnya wilayah pesisir Sambas sangat banyak dijumpai tanaman mangrove. Adanya pertumbuhan penduduk yang pesat menyebabkan pemenuhan kebutuhan hidup meningkat yang mengakibatkan peningkatan aktivitas ekonomi, yang salah satunya adalah mengkonversi kawasan mangrove beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman, pertanian, perikanan tambak, dan lain-lain. Secara khusus konversi mangrove ke pertambakan dapat meningkatkan aktivitas perekonomian melalui budidaya perikanan tambak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan dalam Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI, 2009, yang
7
menyebutkan pengurangan satu hektar hutan mangrove menjadi tambak akan menghasilkan 247 kg ikan/tahun, tetapi pada sisi lain menyebabkan pengurangan produksi ikan tangkapan sebanyak 840 kg ikan/tahun, yang akan merugikan para nelayan. Dalam jangka panjang pengurangan areal mangrove akan dapat menyebabkan kerusakan ekologis yang pada akhirnya akan menyebabkan terancamnya keberlanjutan budidaya perikanan tambak itu sendiri, sehingga diperlukan pengelolaaan perikanan tambak yang ramah lingkungan. Walaupun demikian, saat ini kawasan pesisir Sambas masih terdapat areal mangrove yang memiliki banyak fungsi, diantaranya melindungi kawasan pemukiman dan tambak-tambak perikanan yang banyak terdapat di bagian daratan. Terdapat perbedaan model atau jenis tambak di Kabupaten Sambas. Tambaktambak yang berlokasi di Kecamatan Pemangkat adalah jenis tambak silvofishery atau disebut tambak wanamina dengan sistem empang parit, yaitu tambak untuk budidaya perikanan dibuat dalam bentuk parit yang mengelilingi tanaman mangrove. Jenis tambak non wanamina, tanpa ditanami mangrove berada di Kecamatan Jawai dan Jawai Selatan. Secara keseluruhan telah terjadi penurunan produktifitas perikanan tambak di Kabupaten Sambas, yang dapat disebabkan oleh penurunan kuantitas dan kualitas lingkungan mangrove di pesisir sekitar tambak, dan dalam jangka panjang akan mengancam keberlanjutan usaha perikanan tambak rakyat ini, sehingga pada penelitian ini akan mengkaji keberlanjutan ekonomi dengan menganalisis kelayakan usaha perikanan tambak secara finansial dan ekonomi saat ini. Keberlanjutan usaha perikanan tambak polikultur di sebuah kawasan yang memiliki fungsi ekologis penting seperti kawasan mangrove perlu dianalisis keberlanjutan ekologisnya untuk melihat apakah
8
daya dukung ekosistem yang ada mampu mendukung usaha perikanan tambak polikultur
ini.
Selain
keberlanjutan
secara
ekonomi
dan
ekologi,
perlu
mempertimbangkan berbagai kajian keberlanjutan secara multidimensi dengan tambahan dimensi sosial budaya, infrastruktur & teknologi, serta hukum dan kelembagaan. Menurut Etkin, 1992 dalam Gallopin, 2003; Dalay Clayton dan Bass, 2002, beberapa pendekatan terkait dengan pembangunan berkelanjutan antara lain melalui pendekatan ekologi, ekonomi, sosial budaya, etika, kelembagaan, politik, dan keamanan. Dimensi ekologi, pengembangan usaha perikanan tambak diharapkan memberikan manfaat positif bagi lingkungan. Dimensi ekonomi, memberikan nilai tambah bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pengembangan komoditas unggulan lokal yang berorientasi pada sektor agribisnis dan agroindustri. Dimensi sosial budaya, pengembangan usaha perikanan tambak membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Kajian penelitian ini secara khusus menganalisis keberlanjutan ekonomis dan ekologis, serta menambahkan analisis keberlanjutan berbagai dimensi lainnya yaitu social, infrastruktur teknologi, serta dimensi hukum dan kelembagaan. Dimensi infrastruktur dan teknologi, serta dimensi hukum dan kelembagaan menjadi tambahan penting dalam penelitian ini karena pengembangan usaha perikanan tambak yang berkelanjutan membutuhkan adanya infrastruktur dan teknologi yang memadai serta dukungan dari sistem kelembagaan petani tambak yang kuat. Disisi lain, dimensi hukum menjadi pertimbangan dalam upaya mengatasi konflik kepentingan yang akan muncul. Identifikasi terhadap status keberlanjutan wilayah berdasarkan lima dimensi tersebut maka akan memudahkan upaya perbaikan terhadap atribut-atribut sensitif yang mempengaruhi status keberlanjutan usaha perikanan tambak polikultur yang berlokasi
9
di sekitar kawasan mangrove tersebut, sehingga menjadi landasan urgensi fokus penelitian pada analisis keberlanjutan usaha perikanan tambak yang mencakup beberapa pertanyaan: 1. Bagaimana kelayakan finansial dan ekonomi usaha perikanan tambak polikultur bandeng – udang windu jenis tambak wanamina dan tambak non wanamina? 2. Bagaimana jejak ekologi dari usaha perikanan tambak polikultur bandeng – udang windu jenis tambak wanamina dan tambak non wanamina? 3. Bagaimana indeks dan status keberlanjutan usaha perikanan tambak polikultur bandeng – udang windu berdasarkan berdasarkan multidimensi yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infrastruktur dan teknologi, hukum dan kelembagaan? 4. Apa saja atribut-atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan usaha perikanan tambak polikultur bandeng – udang windu jenis tambak wanamina dan tambak non wanamina?
1.3. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberlanjutan usaha perikanan tambak polikultur di sekitar kawasan mangrove. Secara spesifik tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Menganalisis kelayakan secara finansial dan ekonomi usaha perikanan tambak polikultur bandeng – udang windu pada jenis tambak wanamina dan tambak non wanamina
10
2. Menghitung nilai jejak ekologis usaha perikanan tambak polikultur bandeng – udang windu jenis tambak wanamina dan tambak non wanamina untuk mengetahui keberlanjutan ekologis usaha perikanan tambak polikultur 3. Menilai indeks dan status keberlanjutan usaha perikanan tambak polikultur bandeng – udang windu berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infrastruktur dan teknologi, hukum dan kelembagaan 4. Mengetahui atribut-atribut sensitif pada dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infrastruktur dan teknologi, hukum dan kelembagaan yang mempengaruhi keberlanjutan usaha perikanan tambak polikultur jenis tambak wanamina dan tambak non wanamina
1.4. Keaslian dan Kebaharuan Penelitian 1.4.1. Keaslian Penelitian Keaslian penelitian didasarkan atas berbagai penelitian terkait keberlanjutan ekonomis dengan analisis kelayakan finansial atau kelayakan ekonomi seperti diuraikan tabel 1.1. Hasil penelusuran penelitian terdahulu untuk analisis finansial cukup banyak dilakukan dengan berbagai kriteria/indikator investasi, sedangkan untuk analisis ekonomi dengan kelayakan investasi tidak ditemukan perhitungan biaya dan manfaat yang menggunakan harga bayangan (shadow price) pada usaha perikanan tambak polikultur bandeng – udang windu yang dikelola secara tradisional untuk tambak wanamina dan tambak non wanamina. Analisis keberlanjutan ekologis pada penelitian ini menggunakan variabel detritus mangrove, energi, air bersih, dan pupuk, karena perikanan tambak ini hanya menggunakan pakan alami yang didorong pertumbuhannya dengan penerapan pupuk anorganik, dan tidak menggunakan pakan
11
pellet yang biasanya merupakan campuran dari ikan dan tanaman tertentu yang berasal dari area laut dan pertanian. Tabel 1.1. Penelitian tentang keberlanjutan ekonomis dan ekologis No 1
Peneliti Tujuan / Tahun Paryon Mengidentifikasi o, TJ. nilai-nilai 1999 pemanfaatan dan non-pemanfaatan ekosistem mangrove; menganalisa aspek ekonomi pengelolaan sistem pertanian terpadu antara hutan mangrove dan tambak
Variabel Nilai manfaat langsung; tidak langsung; pilihan; eksistensi
Alat Analisis Analisis Manfaat Biaya
Hasil nilai manfaat langsung (produk hutan, perikanan, hewan, tambak & pariwisata): nilai manfaat tidak langsung (perlindungan dari intrusi air laut dan penyediaan zat hara): nilai pilihan (keanekaragaman hayati); dan nilai keberadaan eksistensi dengan nilai total ekonomi sebesar Rp. 140.880.427.700.-/th atau Rp. 8.188.980,/ha/thn
2
Sukardi , L. 2012
Menganalisis kelayakan finansial monokultur bandeng dan udang
Produksi, Kriteria biaya, NPV, penerima-an IRR, Net B/C, dan payback period
Indikator kelayakan IRR berada di atas tingkat suku bunga yang berlaku, nilai NPV yang positif, serta nilai net B/C yang lebih dari 1
3
Sadi (2006)
Mengkaji sisi finansial pengelolaan hutan mangrove sebagai tambak tumpangsari sistem empang parit di BKPH Ciasem dan Pamanukan, Purwakarta, Perum Perhutani Unit III Ja-Bar
Biaya investasi, Biaya tetap & variable, produksi, penerima-an
Usahatani pada pola 80:20 memberikan hasil finansial tertinggi yang menguntungkan dan layak untuk diusahakan dengan nilai R/C = 2,81, Kecepatan Pengembalian Modal sebesar 0,56, Laju Keuntungan Bersih sebesar 158,25
12
R/C, BEP, kecepata n pengemb alian modal, keuntung an
Lanjutan Tabel 1.1. Penelitian tentang keberlanjutan ekonomis dan ekologis No
Peneliti Tujuan / tahun Susilo, Analisis H, 2007 ekonomi usaha budidaya tambak udang windu dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
Variabel Pendapatan, biaya, produksi, benur, tenaga kerja, pengalaman usaha
RCR fungsi produksi Cobb Douglas
RCR > 1. Luas tambak, padat penebaran, jumlah tenaga kerja dan lama usaha secara simultan berpengaruh terhadap produksi.
5
Murach man et al, 2010
Menyusun pola manajemen polikultur udang windu (Penaeus monodon Fab.), ikan bandeng (Chanos chanos Forskal) dan rumput laut (Gracillaria sp.)
Padat tebar, kualitas air, kesuburan air, produksi tambak,
Produksi, keuntung-an
Produksi tambak tiga komoditas berupa udang windu, ikan bandeng dan rumput laut adalah lebih tinggi dari produksi tambak dua komoditas berupa udang windu dan ikan bandeng
6
Mahmu d, U et al, 2007
Mengkaji kelayakan usaha budidaya tambak udang windu secara tradisional, baik dengan pola pengembangan polikultur maupun monokultur
Biaya, produksi, nilai jual produk, pendapatan
4
Alat Analisis
13
Analisis pendapatan atau rugi/laba, rentabilitas, survival rate, SWOT dan, B/C ratio
Hasil
Budidaya tambak udang windu tradisional pola monokultur memberikan hasil produksi rataan lebih tinggi (567 kg/ha/ tahun) dari pada pola polikultur (197 kg/ha/tahun), rataan pendapatan dari budidaya pola monokultur atas dasar biaya total lebih tinggi (Rp. 15.489.000/ha/thn) daripada pola polikultur (Rp. .365.000/ha/tahun); nilai rentabilitas lebih tinggi dari suku bunga bank yang berlaku
Lanjutan Tabel 1.1. Penelitian tentang keberlanjutan ekonomis dan ekologis No 7
8
Peneliti Tujuan / tahun Mayu- kondisi din, A, ekonomi 2012 pasca konversi hutan mangrove
Primav era, 1997
Dampak sosial ekonomi budidaya udang
Variabel Manfaat langsung, tak langsung, manfaat alternatif, dan nilai keberadaa n
Alat Analisis NPV, Net B/C IRR; Nilai manfaat ekonomi ekosistem mangrove dan Nilai Manfaat Ekonomi Tambak (NMET).
Valuasi costdan and benefit analisis analysis costbenefit produk & jasa mangro-ve
14
Hasil Manfaat bersih sebesar 8,72 kali lipat dari biaya yang dikeluarkan; IRR 38,82%, > 13%; Nilai total manfaat ekonomi mangrove Rp.14.844.084 /ha/thn atau 1,6 kali lebih besar jika bandingkan dengan nilai ekonomi tambak sebesar Rp.9.401.170 /ha/thn; pendapatan masyarakat meningkat hingga 50%. Budidaya udang memberikan dampak ekonomi lebih buruk dibanding baik; tambak udang dan ikan menyebabkan kerusakan mangrove sebesar 20-50%; panen ikan dari kawasan mangrove lebih bernilai dibanding produk hutan itu sendiri
Lanjutan Tabel 1.1. Penelitian tentang keberlanjutan ekonomis dan ekologis No 9
10
Peneliti / tahun Kridala ksana, et al, 2014
Tujuan Mengetahui hubungan antara luas tambak dengan jumlah mangrove ; pengaruh luas tambak & jumlah mangrove terhadap tingkat produksi tambak tradisional bandeng pada luasan tambak yang berbeda, pengaruh produksi terhadap pendapatan petani tambak
Ditya et Mengestimasi al, dampak ekonomi 2012 dan ekologi dari pembangunan perikanan budidaya; Mengestimasi daya dukung lingkungan pesisir
Variabel Kondisi tambak, kondisi mangrove, produksi tambak, dan pendapatan bersih
Alat Analisis Metode regresi dan korelasi Excel serta analisis SWOT
Neraca Kualitas Lingkungan Hidup Daerah, RTRW Provinsi Banten dan Tabel InputOutput Provinsi Banten
Ecologic al inputoutput dan pendekat an ecologic al footprint (Model Haberl’s)
15
Hasil Luas tambak memiliki hubungan yang siginifikan dengan jumlah mangrove, semakin luas tambak, jumlah mangrove semakin banyak; semakin tinggi perbandingan luas tambak dan jumlah mangrove, tingkat produksi tambak akan semakin besar, maka semakin besar pula tingkat pendapatan petani tambak Pembangunan perikanan budidaya memberikan multiplier ekonomi yang memiliki income multiplier (2,20) lebih tinggi dibandingkan employment multipliernya (1,17); daya dukung dari area pesisir yang tersedia pada level 48.886 ha dengan target permintaan 497.825,59 juta rupiah.
Lanjutan Tabel 1.1. Penelitian tentang keberlanjutan ekonomis dan ekologis No 11
Peneliti Tujuan / tahun Yenni, Evaluasi 2007 keberlanjutan tiga jenis tambak udang windu silvofishery
12
Suryani , S., 2008
Menganalisis lokasi yang sesuai untuk budidaya tambak udang windu dan vannamei berdasarkan kelayakan ekologi
13
Bunting Menilai empat , S.W et strategi model al 2013 untuk budidaya udang di Delta Mahakam: tradisional, ekstensif, BMPsemiintensive dan integrasi udangmangrove
Variabel
Alat Analisis
Detritus mangrove, pakan dari laut, pakan dari area pertanian, energi, air bersih Vegetasi, kualitas tanah, biota air, sumber air, kualitas air, amplitudo pasang surut dan agroklimat
Ecological footprint, Ecological deficit
Hasil Daya dukung ekosistem masih melampaui laju penggunaan sumber daya alam
Analisis vegetasi, kualitas tanah, air, amplitudo pasang surut dan agroklimat
Kondisi ekologi memenuhi syarat untuk tambak udang. Pengembangan tambak ekstensif dan semi intensif dapat dilakukan di desa Karanganyar, Gedangan dan Jatikontal, diperkirakan seluas 78 hektar, dengan produksi 500 kg/ha untuk udang windu atau dan 750 kg/ha untuk vannamei.
biological bioeconomic production, modeling nutrient dynamics and financial returns
Indikator finansial model tambak terintegrasi udang-mangrove menunjukkan nilai NPV dan IRR tertinggi, sedangkan model BMP semiintensive dan ekstensif menggunakan biaya rendah
16
Seperti tertera pada tabel 1.2. penelitian keberlanjutan secara multidimensi dengan memasukkan lima aspek dimensi yaitu ekonomi, ekologi, sosial budaya, teknologi infrastruktur, hukum & kelembagaan juga sejauh yang penulis ketahui belum pernah dilakukan pada usaha perikanan tambak polikultur bandeng-udang windu yang dikelola secara tradisional untuk tambak wanamina dan tambak non wanamina. Tabel 1.2. Penelitian tentang analisis keberlanjutan multidimensi No 1
Peneliti/ tahun Thamrin et al. (2009)
Tujuan keberlanjutan wilayah perbatasan Kalimantan Barat Malaysia untuk pengembangan kawasan agropolitan
Alat analisis Multidi mensio nal scalling (MDS)
Hasil Secara multidimensi, wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang untuk pengembangan kawasan agropolitan termasuk dalam status cukup berkelanjutan dengan indeks keberlanjutan 52,43
2
Bohari, keberlanjutan Ridwan et Wilayah Pesisir al. (2008) Pantai Makassar Sulawesi Selatan
Multidi mensio nal scalling (MDS)
Dimensi ekologi kurang berkelanjutan, sedangkan dimensi ekonomi, dan dimensi lembaga & hukum cukup baik, sementara dimensi sosialbudaya kurang berkelanjutan. dimensi teknologi & infrastruktur tidak berkelanjutan
3
Nababan et al. (2007)
Multidi mensio nal scalling (MDS)
Dimensi ekologi, ekonomi, teknologi, dan hukumkelembagaan semua alat tangkap dalam kondisi kurang berkelanjutan baik untuk jaring rampus, bundes maupun payang gemplo dimana skor yang dimiliki paling rendah.
keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah
17
Lanjutan Tabel 1.2. Penelitian tentang analisis keberlanjutan multidimensi No 4
Peneliti/ tahun Sanusi Sitorus, et al. 2010.
Tujuan Kawasan Agropolitan Merapi – Merbabu (erlu Infrastruktur untuk Lebih Mandiri (Sebuah Kajian Tingkat Kemandirian Terhadap Kawasan Agropolitan Merapi – Merbabu
Alat analisis Multidi mensio nal scalling (MDS)
Hasil Nilai untuk dimensi usaha tani (84,62 %), dimensi infrastruktur 73,26%, dimensi suprastruktur adalah 66,49 %, menunjukkan bahwa suprastruktur secara umum sudah cukup baik, baik itu lembaga keuangan, lembaga sosial, dan lembaga teknis. Alternatif kebijakan pembangunan infrastruktur di KAMM, adalah pembangunan infrastruktur penunjang agroindustri.
1.4.2. Kebaharuan Penelitian Penelitian tentang analisis keberlanjutan suatu usaha umumnya berdasarkan keberlanjutan setiap aspek secara terpisah, misalnya masing-masing pada keberlanjutan aspek ekonomis atau ekologis. Penelitian ini secara khusus menganalisis keberlanjutan ekonomi dan ekologis, dan dilanjutkan dengan aspek multidimensi yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur & teknologi serta dimensi hukum & kelembagaan. Kebaharuan penelitian ini juga terletak pada usaha tambak komoditas polikultur bandeng dan udang windu dengan jenis tambak wanamina dan non wanamina. Pada analisis jejak ekologis, penulis juga memasukkan perhitungan produksi pupuk urea dan TSP yang menghasilkan gas CO2 sehingga diperlukan area hutan untuk menyerap gas CO2 tersebut, sebagai salah satu bagian perhitungan jejak ekoogis usaha perikanan tambak ini.
18
Penelitian ini juga berusaha mengidentifikasi atribut-atribut sensitif pada berbagai dimensi untuk kemudian dapat direkomendasikan alternatif perbaikanperbaikan pada atribut-atribut sensitif untuk meningkatkan produktifitas tambak yang akan meningkatkan perekonomian, juga menjaga kelestarian kawasan mangrove.
19