I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat
strategis d m sangat diandalkan pada saat ini. Pada saat terbatasnya sumbersumber penerimaan negara dari sektor lain seperti migas, pajak menjadi primadona dalam menghimpun penerimaan negara untuk menggerakkan roda pemerintahan. Sejak dua dekade terakhir, pemerintah melakukan reposisi komponen penerimaan APBN yang tadinya mengandalkan hasil ekspor migas kepada penerimaan non migas terutama pajak. Reposisi ini dapat dilihat dari makin besar konstribusi penerimaan pajak terhadap penerimaan APBN setiap tahun, terutama sejak lima tahun terakhir. Sebagai gambarannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini Tabel 1. Perkembangan PDB, APBN dan Penerimaan Pajak Tahun 2000-2004
Sumber : Duektorat Jenderal Pajak, Depkeu FU,bahan sosialisasi SIN 26 Juli 2004, diolah
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa konstribusi penerimaan pajak dalam APBN dari tahun ketahun mengalami kenaikan yang signifikan. Pada tahun 2000 rasio penerimaan pajak terhadap APBN adalah 53,6 % naik menjadi 61,l % tahun 2001, 70,4% tahun 2002, 73,9% tahun 2003 dan 78,0% tahun 2004. Perincian
penerimaan perpajakan dalam APBN tahun 2002 sampai 2004 dapat dilihat pada lampiran IV. Salah satu jenis pajak di Indonesia yang memberikan konstribusi cukup besar terhadap penerimaan pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Penerimaan PPN mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seiring dengan peningkatan penerimaan pajak secara keseluruhan. Di bawah ini dapat diperlihatkan penerimaan pajak per jenis pajak dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004. Tabel 2 Tabel Penerimaan Pajak Per Jenis Pajak Tahun 2000 S.D. 2004 (miliar rupiah) 2003 2002 2004* URAIAN 2000 2001 PPh Non Migas PPN &PPnBm PBB &
53.525,2
69.696,2
87.200,O
104.304,8
120.835,O
42.033,6 5.099,2
55.840,8 6.289,4
67.800,O 7.530,7
75.862.7 10.723,6
86.272,3 10.698,6
* rencana Sumber : Direktorat Jenderal Pajak, Depkeu RI, bahan sosialisasi SIN 26 Juli 2004, diolah
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa konstribusi PPN terhadap penerimaan pajak secara keseluruhan cukup besar, yaitu pada tahun 2000 sebesar 28,6%, naik menjadi 30,4% tahun 2001, tahun 2002 adalah sebesar 31,6%, tahun 2003 sebesar 30,5%, dan tahun 2004 sebesar 31,7%. Dalam
mengoptimalkan penerimaan
pajak,
pemerintah berusaha
melakukan berbagai kebijakan dan strategi, termasuk kebijakan pemerintah dalam membenahi perpajakan nasional menyangkut sistem (system), aturan (regulation) dan kelembagaan (institution) melalui reformasi perpajakan. Namun demikian,
ada juga kebijakan-kebijakan pemerintah yang kurang kondusif terhadap pengembangan dunia usaha, sehingga kebijakan pemerintah tersebut sering mendapat penolakan atau meminta penundaan dari berbagai kalangan. Salah satu contoh kebijakan pemerintah seperti ini adalah dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagai mana diubah terakhir dengan PP Nomor 46 Tahun 2003, yang mengatur penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari PPN. Dalam Bab III Pasal4A ayat 2 UU No. 18 Tahun 2000 mengatur tentang kelompok barang yang tidak dikenakan PPN termasuk didalamnya adalah barangbarang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat banyak (barang strategis) dan yang langsung diambil dari sumbernya, termasuk hasil-hasil pertanian primer, perkebunan dan kehutanan. Pada tingkatan Undang-undang, penyerahan komoditas pertanian, perkebunan dan kehutanan tidak dikenakan PPN 10%. Namun dalam ketentuan selanjutnya, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2001 sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, makna barang kebutuhan pokok yang bersifat strategis tidak dikenakan PPN, hanya pada tingkat petani dan kelompok petani. Sedangkan penyerahan yang dilakukan oleh selain petani dan kelompok petani, dikenakan PPN. Dengan demikian, sejak 1 Januari 2001, penyerahan komoditas pertaniantperkebunan primer seperti kelapa sawit (TBS), kopi biji, kakao biji, lada, kapas, pala, panili, teh, kapuk dan lain sebagainya, yang diserahkan oleh selain petanikelompok petani dikenakan PPN 10%.
Pengenaan PPN tersebut tidak sesuai dengan prinsip "Value Added Tax" dan tidak adil. Ketidakadilm ini disebabkan karena produk-produk primer pertanian tersebut umumnya belum memiliki nilai tarnbah (value added). Kebijakan Pengenaan PPN ini sangat memberatkan sektor pertanian dan perkebunan primer, sehingga berbagai kalangan seperti pengusaha, pihak assosiasi, dan instansi terkait menyampaikan keberatan ke pemerintah agar kebijakan ini dihapuskan, dicabut ataupun ditunda. Permohonan penolakan tersebut dapat diinventarisir sebagai mana diperlihatkan pada lampiran I. Meskipun berbagai pihak terkait telah menyampaikan keberatan dan mengusulkan untuk diapuskannya pengenaan PPN, tetapi sampai saat ini barang hasil pertanian dan perkebunan primer termasuk biji kakao masih tetap dikenakan PPN. Keberatan dari berbagai pihak di atas hanya ditampung sebagai bahan masukan bagi Pemerintah. Salah satu sub sektor usaha hasil pertanianlperkebunan primer yang sangat dipengaruhi kebijakan pengenaan PPN adalah industri pengolahan biji kakao dalam negeri. Sejak diberlakukannya kebijakan pengenaan PPN biji kakao, berakibat kepada penurunan kapasitas terpasang
industri pengolahan dalam
negeri. Bahkan banyak pabrikan pengolah biji kakao ddam negeri menutup usahanya karena kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku biji kakao. Berdasarkan sumber ASKINDO tahun 2003, sejak 1987 - 2000 terdapat industri pengolah biji kakao sebanyak 17 pabrik dengan kapasitas produksi rata-rata sebesar 293.000 MT. Tetapi saat ini tinggal 13 pabrik dan yang beroperasi aktif hanya 5 pabrik dengan kapasitas produksi rata-rata sebesar 149.000 MT. Hal ini disebabkan karena pedagang pengumpul dan eksportir biji kakao lebih cenderung
mengekspor biji kakao ke luar negeri karena tarif PPN sebesar 0% (Pasal7 ayat 2
VV PPN). Kelangkaan bahan baku yang dialami industri pengolah kakao karena kesulitan memperoleh biji kakao kurang masuk akal karena jumlah produksi kakao Indonesia setiap tahun cenderung mengalami peningkatan. Sebagai gambaran dapat diberikan perkembangan hasil produksi kakao Indonesia sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2003. Tabel 3. Luas Areal, Produksi Dan Ekspor, Biji Kakao Tahun 1998 S.D. 2003.
Sumber : Statistik Perkebunan Indonesia, Kakao, Ditjen Bina Produksi Perkebunan, DEPTAN
Dari tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa jumlah hasil produksi kakao dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Produksi kakao (komoditas sebelum dikeringkan) pada tahun 1998 sebesar 448.927 ton, tetapi turun sebesar 18% pada tahun 1999 dibandingkan tahun 1998. Pada tahun 2000 naik sebesar 14,6% bila dibandingkan tahun 1999. dan tahun 2002 naik 6,4% bila dibandingkan tahun 2001. Rincian luas dan hasil perkebunanan kakao tahun 2001, tahun 2002 dan tahun 2003, dapat dilihat pada lampiran V, VI dan VII. Meningkatnya hasil produksi perkebunan kako ini seharusnya menambah pasokan bahan baku terhadap industri pengolahan biji kakao di dalam negeri. Namun yang terjadi adalah sebagian besar hasil produksi kakao tersebut di ekspor
ke luar negeri, sehingga menimbulkan kelangkaan pasokan bahan baku biji kakao bagi industri pengolahan di dalam negeri. Oleh karena itu, untuk menganalisis kebijakan pengenaan PPN atas biji kakao dan penyediaan bahan baku industri pengolah biji kakao dalam negeri, perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam. Faktor-faktor apa yang menyebabkan kelangkaan pasokan bahan baku biji kakao tersebut. Apakah terhambatnya pengembangan industri pengolahan biji kakao dalam negeri karena adanya pengenaan PPN hanya sebagai alasan semata.
1.2.
Rumusan Masalah Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa pengenaan PPN 10% atas biji
kakao menyebabkan berbagai masalah di lapangan. Di satu sisi terjadi kekurangan pasokan bahan baku bagi industri pengolahan biji kakao dalam negeri, tetapi di sisi lain produksi hasil pertanian biji kakao domestik mengalami kenaikan setiap tahun. Hal ini kemungkinan disebabkan kerena pedagang pengumpul dan eksportir lebih cenderung mengekspor biji kakao ke luar negeri, di mana tarif ekspor atas biji kakao sebesar 0%, dari pada menjual di dalam negeri yang penyerahannya dikenai PPN 10%. Kekurangan pasokan bahan baku ini menyebabkan industri pengolahan tidak dapat berproduksi ada kapasitas normal bahkan banyak yang tutup terutama sejak periode diberlakukannya kebijakan pengenaan PPN biji kakao. Oleh karena itu, masalah pokok dalam penelitian ini adalah mengapa setelah adanya kebijakan pengenaan PPN timbul kelangkaan bahan baku pada industri pengolahan biji kakao dalam negeri? .Untuk menjawab permasalahan
pokok ini, maka perlu dilakukan suatu penelitian yang mendalam sehingga tesis ini diberi judul, "Analisis Kebijakan Pengenaan PPN Biji Kakao dan Penyediaan Bahan Baku Industri Pengolahan Biji Kakao Dalam Negeri". Analisis dilakukan untu mencari penyebab kenapa sampai kebijakan PPN ini memberatkan para pelaku industri pengolah biji kakao dalam negeri, kemudian menganalisis apakah PPN ini menjadi penyebab terjadinya kelangkaan pasokan bahan baku biji kakao bagi industri pengolahan biji kakao dalam negeri, sehingga masalah di atas perlu dimmuskan sebagai berikut : 1.
Bagaimana kebijakan pemungutan PPN di lapangan?
2.
Bagaimana perlakuan selisih PPN (Pajak Keluaran - Pajak Masukan) dan prosedur penyelesaian restitusi?
3.
Bagaimana pelaksanaan peraturan PPN biji kakao di lapangan?
4.
Bagaimana pemahaman Wajib Pajak terhadap peraturan PPN?
5.
Apa dampak kebijakan PPN terhadap perusahaan pengolah biji kakao dalam negeri?
1.3.
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan jawaban pertanyaan-
pertanyaan yang ada dalam mmusan masalah di atas, yaitu : 1.
Menganalisis kebijakan pemungutan PPN.
2.
Menganalisis perlakuan selisih PPN dan prosedur penyelesaian restitusi.
3.
Menganalisis pelaksanaan peraturan PPN biji kakao di lapangan.
4.
Menganalisis tingkat pemahaman Wajib Pajak terhadap peraturan PPN.
5.
Menganalisis dampak kebijakan PPN terhadap perusahaan pengolah biji kakao dalam negeri.
1.4.
Manfaat Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada
Wajib Pajak, pengambil kebijakan dan aparat pelaksana, yaitu : Memberikan masukan kepada Wajib Pajak (pabrikan pengolah biji kakao)
1.
tentang mekanisme, pengertian dan pengaruh dari pemungutan PPN biji kakao. Memberikan masukan kepada pembuat kebijakan tentang dampak suatu
2.
kebijakan terhadap kondisi riil di lapangan. Memberikan masukan kepada aparat pelaksana tentang pelaksanaan dan
3.
sosialisasi peraturan pemungutan PPN dalam rangka peningkatan pelayanan bagi Wajib Pajak.
1.5.
Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini dititik beratkan kepada penelitian masalah
yang dihadapi oleh pabrikan pengolah biji kakao dalam negeri, yang berhubungan dengan kebijakan pengenaan PPN. Sedangkan masalah yang dihadapi oleh pihak lainnya seperti petani, pedagang pengumpul dan ekspotir, diasumsikan hanya merupakan akibat dari masalah yang dihadapi oleh pabrikan pengolah biji kakao. Namun demikian, konfirmasi kepada pedagang pengumpul (trader) juga dilakukan untuk mengetahui sikap mereka terhadap kebijakan pengenaan PPN biji kakao. Penelitian ini mencakup dua ha1 pokok yaitu; pertama, penelitian menyangkut kebijakan pengenaan PPN atas biji kakao. Analisis kebijakan disini dimaksudkan untuk mencari jawaban apakah pengenaan PPN biji kakao dapat
memberatkan industri pengolahan biji kakao dalam negeri. Setelah adanya kebijakan PPN, mungkin saja rnenimbulkan kendala-kendala di lapangan misalnya seperti keengganan para pedagang pengumpul menjual biji kakao di dalam negeri karena adanya tarif PPN 0% atas ekspor biji kakao, tidak mudah melakukan prosedur pengenaan PPN, sulitnya proses restitusi, pernahaman Wajib Pajak yang kurang terhadap aturan PPN, dan adanya keengganan Wajib Pajak rnelakukan aturan PPN karena sikap petugas yang dapat mempersulit Wajib Pajak di lapangan. Kedua, penelitian ini juga dilakukan untuk mencari jawaban apakah kebijakan PPN ini menyebabkan terjad'inya kekurangan pasokan bahan baku industri pengolahan biji kakao dalam negeri. Dalam hal ini penelitian diarahkan kepada menganalisis kinerja industri pengolahan biji kakao, apakah ada perbedaan sebelum dan sesudah periode pengenaan PPN, yang tercermin dalam laporan keuangan perusahaan yang bersangkutan.