1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Keberhasilan produksi pertanian melalui kegiatan intensifikasi tidak terlepas dari kontribusi dan peranan sarana produksi, antara lain pupuk yang merupakan salah satu faktor penentu produksi. Selama ini untuk mendukung pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor tanaman pangan dan hortikultura, pemerintah menyediakan dana untuk subsidi pupuk tunggal (Urea, SP-36, ZA dan KCl). Namun dengan memburuknya situasi perekonomian di Indonesia, pemerintah akhirnya menerapkan kebijakan penghapusan subsidi pupuk secara bertahap. Akibat langsung yang dihadapi petani adalah melonjaknya harga pupuk secara tidak terkendali dan terjadinya kelangkaan pupuk pada awal musim tanam. Kondisi ini menyebabkan pemerintah melakukan upaya pengamanan dengan cara membuka keran impor bagi masuknya pupuk luar negeri serta membuka peluang bagi produsen pupuk dalam negeri untuk membuat pupuk pengganti yang lebih murah. (Suriadikarta dkk., 2006). Di Indonesia pupuk organik itu sudah lama dikenal para petani. Mereka bahkan hanya mengenal pupuk organik sebagai sumber pupuk sebelum penggunaan pupuk anorganik yang terkenal disebut Revolusi Hijau untuk peningkatan produksi pertanian di Indonesia. Setelah Revolusi Hijau kebanyakan petani lebih
suka menggunakan pupuk buatan karena praktis pemberiannya,
jumlahnya jauh lebih sedikit dari pupuk organik, harganyapun relatif murah karena di subsidi, dan mudah diperoleh. Kebanyakan petani sudah sangat tergantung kepada pupuk buatan, sehingga dapat berdampak negatif terhadap
2
perkembangan produksi pertanian, ketika terjadi kelangkaan pupuk dan harga pupuk naik karena subsidi pupuk tidak diberlakukan lagi.. Tumbuhnya kesadaran penggunaan akan dampak negatif pupuk buatan secara terus- menerus dan sarana pertanian modern lainnya terhadap lingkungan pada sebagian kecil petani telah membuat mereka beralih dari pertanian konvensional ke pertanian organik. Pertanian jenis ini mengandalkan kebutuhan hara melalui pupuk organik dan masukan-masukan alami lainnya. (Simanungkalit dkk., 2006) Pupuk digolongkan menjadi dua, yakni pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk organik adalah pupuk yang terbuat dari sisa-sisa makhluk hidup yang diolah melalui proses (dekomposisi) oleh bakteri pengurai. Contohnya adalah pupuk kompos dan pupuk kandang. Pupuk kompos berasal dari sisa-sisa tanaman, dan pupuk kandang berasal dari kotoran ternak. Pupuk organik mempunyai komposisi kandungan unsur hara yang lengkap, tetapi jumlah tiap jenis unsur hara tersebut rendah. Sesuai dengan namanya, kandungan bahan organik pupuk ini termasuk tinggi, sedangkan pupuk anorganik adalah jenis pupuk yang dibuat oleh pabrik dengan cara meramu berbagai bahan kimia sehingga memiliki kandungan unsur hara dengan persentasi yang tinggi. Contoh pupuk anorganik adalah TSP, dan KCl (Novizan, 2005). Hingga saat ini penggunaan pupuk organik masih dibarengi dengan pupuk anorganik atau pupuk kimia buatan pabrik. Bahkan sebagai petani cenderung lebih banyak menggunakan pupuk kimia dari pada pupuk organik (pupuk kompos). Padahal penggunaan pupuk kimia secara terus menerus akan mengganggu keseimbangan unsur hara di dalam tanah dan produktifitas lahan.
3
Selain itu harga pupuk kimia di pasaran cenderung flukluatif. Jika ketersediaan langka di pasaran maka harganya pun jadi mahal. Oleh karena itu, perlu dilakukan sosialisasi secara terus menerus tentang keunggulan pupuk organik dibandingkan dengan pupuk anorganik untuk menjaga sistem pertanian berkelanjutan. Kompos merupakan pupuk organik yang memiliki kandungan unsur hara yang ramah lingkungan. Unsur hara yang terdapat pada kompos tidak akan merusak tanah seperti pupuk buatan (anorganik). Kompos juga bersifat slow release sehingga tidak berbahaya bagi tanaman, walaupun jumlah yang digunakan cukup banyak (AgroMedia, 2007). Selain itu dengan bertambah luas jumlah tanah kritis akan berakibat rendahnya produksi hortikultura, salah satu upaya meningkatkan produksi komoditi hortikultura di Indonesia adalah dengan meningkatkan kualitas tanah dengan jalan menjaga kesuburannya. Usaha paling mudah dan murah adalah dengan menambahkan pupuk kompos sebagai pupuk organik karena tidak mengandung residu kimia yang berbahaya (Sitepu, 2006). Indonesia telah memiliki standar kualitas kompos, yaitu SNI 19-70302004, di dalam standar ini termuat batas-batas maksimum atau minimum sifatsifat fisik atau kimiawi kompos, termasuk di dalamnya batas maksimum kandungan logam berat. Untuk memastikan apakah seluruh kriteria kualitas kompos ini terpenuhi maka diperlukan analisis laboratorium. Pemenuhan atas standar tersebut adalah penting, terutama untuk kompos yang akan dijual ke pasaran. Standar itu menjadi salah satu jaminan bahwa kompos yang akan dijual benar-benar merupakan kompos yang siap diaplikasikan dan tidak berbahaya bagi tanaman, manusia, maupun lingkungan (Isroi dan Yuliarti, 2009).
4
Sementara itu, standar kualitas kompos menurut SNI (2004) antara lain : Kadar air (<50 %), pH (6,8 – 7,49), kadar N (>0,4 %), C (9,80 – 32 %), P2O5 (>0,10 %), K2O (>0,20 %), C/N rasio (10-20), bahan organik (27 – 58 %), Ca (<25,5%), Mg (<0,6%), Fe (<2%), Al (<2,2 %), dan Mn (0,1%). Pupuk kompos merupakan salah satu pupuk organik yang sangat baik untuk meningkatkan kesuburan tanah. Menurut Sugito dkk. (2005) dan Syekhfani (2005. Peranan pupuk organik juga sebagai pembenah tanah yang didefinisikan sebagai bahan-bahan sintetis atau alami, organik atau mineral, berbentuk padat maupun cair yang mampu memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pembenah tanah perlu diuji standar mutunya dengan melakukan analisis contoh pembenah tanah tersebut pada laboratorium tanah. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka perlu dibuat suatu kriteria untuk menstandarisasi
baku
mutu
dan
pengawasannya.
Pupuk
organik
yang
dikomposkan dan digunakan di lahan pertanian perlu pengawasan dan pengaturan tertentu. Namun apabila kompos tersebut diproduksi dan diedarkan secara luas untuk dijual secara komersial, maka diperlukan suatu regulasi agar kompos yang diperjualbelikan tersebut memenuhi standar mutu yang dapat diterima. Negaranegara di Asia, termasuk Indonesia masing-masing mempunyai peraturan pengawasan yang berbeda-beda terhadap mutu kompos. Saat ini di pasaran telah beredar berbagai jenis pupuk kompos baru hasil rekayasa teknologi yang pengujian kualitasnya sebagian belum dibuktikan. Oleh karena itu, pengguna perlu hati-hati dalam memilih jenis kompos maupun pupuk organik yang akan digunakan agar sesuai dengan kandungan hara yang tercantum pada label. Upaya perlindungan terhadap petani perlu dilaksanakan melalui uji
5
kualitas pupuk organik di laboratorium. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pemalsuan pupuk serta menjamin mutu pupuk sesuai dengan SNI (2004). Pupuk kompos yang beredar (baik yang sudah maupun yang belum terdaftar) jumlah maupun jenisnya sangat banyak, maka perlu adanya uji kuliatas pupuk kompos khususnya untuk daerah Denpasar dan sekitarnya. Jaminan terhadap uji kualitas pupuk kompos terhadap produksi tanaman sangat diperlukan untuk melindungi konsumen serta menggalang kepercayaan terhadap produsen pupuk. 1.2
Rumusan Masalah 1. Bagaimana kualitas pupuk kompos yang beredar di Denpasar? 2. Apakah dari 10 pupuk kompos sampel yang beredar sudah memenuhi standar berdasarkan SNI 19-7030-2004?
1.3
Tujuan Penelitian 1. Mengetahui kualitas sifat fisik dan kimia dari 10 pupuk kompos yang beredar di Denpasar. 2. Mengetahui 10 jenis pupuk sampel kompos yang beredar di Denpasar dan yang memenuhi beberapa kriteria menurut SNI 19-7030-2004?
1.4
Manfaat Penelitian 1. Sebagai saran dan masukan kepada masyarakat petani dalam pemilihan pupuk kompos yang sudah memenuhi standar mutu pupuk kompos yang baik. 2. Diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dan referensi penelitian selanjutnya untuk uji coba pupuk kompos di lapangan.