I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Memasuki abab ke 21 sampai saat ini pengembangan sumber daya manusia (SDM) memberikan perhatian yang sangat kuat terhadap penguasaan kompetensi karyawan baik di sektor jasa, produksi dan kombinasi pada keduanya. Awal lahirnya konsep kompetensi dapat ditelusuri dari awal 1970-an ketika ilmuwan Amerika Serikat menerbitkan sebuah artikel dengan judul “Mengukur Kompetensi Bukannya Inteligensi” (Testing for Competence Rather than Intelligence) yang akhirnya dianggap sebagai awal era berkembangnya konsep kompetensi dalam aliran
psikologi
(Spencer
and
Spencer,
1993).
Projek
pertama
penggunaan metode pengukuran kompetensi dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat untuk penseleksian calon karyawan untuk bagian Pelayanan Informasi ke dunia luar (Foreign Service Information Officer, atau FSIO) juga di awal tahun 1970. Sebelumnya, pertimbangan utama penseleksian calon FSIO lebih didasarkan kepada hasil seleksi intelijensi dan prestasi akademik yang ternyata tidak mampu memberikan perkiraan yang tepat akan keberhasilan FSIO di lapangan disamping seleksi semacam ini ditengarai mengandung bias terhadap minoritas, perempuan dan kalangan sosial ekonomi bawah (McClelland dalam Spencer and Spencer, 1993).
1
Konsep dan metode pengukuran berdasarkan kompetensi terus tumbuh dengan berbagai penelitian dan penerapan di berbagai jenis organisasi. Jika di Amerika Serikat penerapan konsep kompetensi diawali oleh organisasi pemerintah dan kemudian berkembang ke organisasi bisnis, di Indonesia perhatian penerapan konsep kompetensi lebih dahulu ramai di kalangan organisai bisnis di tahun 1990-an, di mana banyak lembaga jasa pelatihan menawarkan berbagai jenis program pelatihan Pengelolaan SDM Berbasis Kompetensi (Competency-based Human Resources System) yang ditawarkan oleh HayGroup sebuah konsultan jasa di bidang SDM. Kemudian pemerintah mulai mengangkat pentingnya masalah penguasaan kompetensi dengan perubahan mendasar pada kurikulum
sekolah
dengan
dikeluarkannya
Kurikulum
Berbasis
Kompetensi (KBK) di tahun 2004 untuk semua jenjang pendidikan. Di tahun 2004 dibentuk Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang bertugas untuk melakukan sertifikasi tenaga kerja dengan cara uji kompetensi. Dengan tugas seperti itu, pada dasarnya BNSP adalah lembaga pengendali mutu/kualitas tenaga kerja di Indonesia. Keberadaan BNSP kurang lebih sama dengan Badan Standardisasi Nasional (BSN). Apabila BSN mengendalikan mutu barang dan jasa, maka BNSP mengendalikan mutu tenaga kerjanya. Kedua badan ini akan saling melengkapi, sehingga peningkatan mutu dan produktivitas nasional Indonesia akan dapat dilakukan lebih cepat. Hal ini penting untuk peningkatan daya saing Indonesia di pasar global. BNSP telah menyusun
2
standardisasi
kompetensi
profesi
untuk
perawat,
pelaut,
tenaga
perhotelan, dan konstruksi guna meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia (TKI) di pasar global. Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi Tenaga Kerja, sudah terstandarisakan sekitar 200 sektor atau bidang pekerjaan dan dari semuanya telah tersusun sekitar 6.000 jenis pekerjaan dengan spesifikasi standar kompetensi yang dipersyaratkan sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia atau SKKNI (Ditjen Binalattas, Depnakertran RI, 2009). Selanjutnya SKKNI inilah yang menjadi dasar pengembangan SDM, baik dalam penyediaan calon tenaga kerja melalui pendidikan dan pelatihan, maupun pengembangan karir selama bekerja. Kementerian Pendidikan Nasional melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi juga memperkenalkan suatu Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang menyatakan sembilan (9) jenjang kualifikasi sumberdaya manusia Indonesia yang produktif (lampiran 2, nomor 9), yang secara komprehensif mempertimbangkan dua sisi penting relevansi pendidikan dan pelatihan yaitu kebutuhan kompetensi kerja dalam ranah dunia kerja serta capaian pembelajaran yang dihasilkan oleh suatu proses pendidikan (Dirjen Dikti, 2010/2011). Pada intinya ke sembilan jenjang dimaksud merupakan perpaduan dari capaian jenjang pendidikan formal, program profesi dan program pengembangan karir di tempat kerja, dari jenjang pertama (1) dengan minimal pendidikan SMU atau SMK sampai dengan jenjang ke sembilan (9) dengan pendidikan S3,
3
ditambah dengan program profesi dan program pengembangan karir yang relevan sesuai jenjangnya. Pada awal era berbasis kompetensi sebagaimana dijelaskan di atas, semua pihak sibuk menyusun daftar kompetensi. Di kalangan pendidikan disibukan oleh berbagai seminar dan lokakarya bagi para guru dan dosen untuk memahami dan mengaplikasikan kurikulum 2004 yang lebih menekankan kompetensi apa yang harus dikuasai siswa/mahasiswa sebagai dasar kelulusan dan bukannya kepada materi apa yang harus diajarkan.
Pada
intinya
perubahan
mendasar
pada
KBK
2004,
dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya terletak pada penekanan proses belajar-mengajar di sekolah. Kurikulum sekolah sebelumnya lebih berorientasi
kepada
materi
dan
proses,
sedangkan
KBK
2004
pembelajaran dituntut untuk mempertimbangkan aspek hasil dan outcome peserta didik. Pada perkembangannya KBK pada sekolah dasar dan menengah diganti dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, karena KBK dianggap kurang tepat untuk tingkat sekolah yang harus melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan demikian pendidikan diharapkan tidak hanya sekedar menghasilkan lulusan dengan kemampuan kognitif terhadap materi yang diberikan (pengetahuan) tetapi juga mampu mencerna dan menerapkan nilai-nilai dari materi tersebut (keterampilan dan sikap) dalam kehidupan sehari-hari (Jamal, 2006).
4
Banyak lembaga baik lembaga pemerintah maupun organisasi bisnis yang menginvestasikan dana besar untuk menerapkan konsep berbasis kompetensi seperti upaya membangun Pusat Pengukuran (Assessment Center) yang juga didasarkan kepada konsep pengukuran kompetensi utama (core competency) yang diharapkan dimiliki oleh seseorang dalam mengisi dan menjalankan tugas pekerjaan tertentu. Secara praktis, Assessment Center dapat dipahami sebagai suatu proses penilaian (evaluation) atau rating yang canggih dan di desain secara khusus untuk meminimalkan kemungkinan timbulnya penyimpangan (bias), sehingga para peserta dalam proses ini memperoleh kesempatan setara yang seluas-luasnya untuk mengungkapkan potensi maupun kompetensinya dalam seperangkat metode assessment atau evaluasi yang terstandadisasi (Prihadi, 2004). Salah satu bukti keseriusan pemerintah dalam mengelola dan mengembangkan SDM berbasis kompetensi misalnya dengan dibangunnya Pusat Penilaian Kompetensi (Assessment Center) di bawah pengelolaan Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang diprioritaskan untuk mengukur potensi dan penguasaan kompetensi utama (core competencies) bagi calon-calon pejabat pada berbagai jenjang eselon di lingkungan lembaga pemerintah. Dari pengukuran
kompetensi
tersebut
keputusan
tentang
kebutuhan
perekrutan, pelatihan dan promosi jabatan dapat dilaksanakan secara lebih efektif.
5
Di kalangan ilmiah, berbagai penelitian tentang kompetensi banyak dilakukan, akan tetapi pada umumnya membahas masalah hubungan atau pengaruh kompetensi terhadap peubah terikat tertentu atau penelitian untuk menghasilkan model kompetensi untuk berbagai jenis pekerjaan. Dari penelitian semacam ini yang dihasilkan adalah sejumlah panduan daftar kompetensi (competency dictionary), baik yang bersifat kompetensi umum yang diperlukan untuk banyak jenis pekerjaan maupun
kompetensi
khusus/fungsional
yang
diperlukan
untuk
menjalankan tugas-tugas pekerjaan khusus/spesialis. Penelitian yang mencoba menghubungkan kompetensi dengan kinerja banyak dilakukan dalam pengertian kompetensi organisasi (strategic competency) dan kinerja perusahaan. Hal ini dapat dipahami karena dari sudut praktis, yang banyak diperlukan adalah identifikasi kompetensi untuk jabatan tertentu (yang dapat dihasilkan melalui penelitian pengembangan model kompetensi), pengukuran kompetensi dengan berbagai metode yang terstandardisasi seperti Assessment Center dan kaitan penguasaan kompetensi dengan kinerja organisasi, karena organisasi telah berinvestasi cukup besar dalam pengelolaan kompetensi, sehingga berkepentingan untuk melihat hasilnya. Banyak upaya di fokuskan pada penyusunan kompetensi untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu, cara pengukurannya dengan metode Assessment Center untuk dasar perekrutan ataupun pengembangan yang pada umumnya mengandalkan program pelatihan untuk menambah
6
penguasaan kompetensi yang masih dirasakan kurang dengan harapan meningkatkan penguasaan kompetensi yang bersangkutan. Di berbagai penelitian juga dapat dibedakan apakah kajian terfokus untuk mengkaji kompetensi pada tingkatan individu ataukah kompetensi pada tingkatan organisasi karena salah satu perspektif kompetensi terletak pada siapa pemilik kompetensi dimaksud (Hamel and Heene, 1994). Organisasi akan memperoleh manfaat dari keduanya, baik kompetensi individu maupun kompetensi organisasi. Kompetensi individu (personal competency) adalah kompetensi yang dimiliki oleh individu tertentu dan akan hilang manfaatnya bagi organisasi, jika individu tersebut keluar dari organisasi. Contohnya, Manajer Penjualan yang baru direkrut yang memiliki keterampilan personal dan motivasi tinggi akan memberikan dampak terhadap hasil penjualan. Ketika Manajer tersebut keluar, maka keterampilan tersebut hilang dari organisasi bersamaan dengan keluarnya pemilik kompetensi khusus tersebut. Kompetensi
organisasi
(corporate
competency)
merupakan
kombinasi dari karakteristik, keterampilan, motivasi dan pengetahuan yang dimiliki oleh organisasi tersebut. Semuanya ini telah menyatu dengan sistem, mekanisme dan proses dan terefleksikan ke dalam semua orang, teknologi dan struktur kerjanya. Contohnya adalah kompetensi dalam peluncuran produk baru yang dimiliki perusahaan yang menjadikan inovasi produk baru sebagai salah satu keunggulaannya. Dengan demikian, kajian tentang kompetensi haruslah jelas pembatasannya
7
apakah mengkaji kompetensi dalam pengertian “personal competency” ataukah “corporate competency”, karena keduanya memberikan implikasi yang berbeda, meskipun pada dasarnya bisa diasumsikan bahwa kompetensi
individu
merupakan
salah
satu
unsur
yang
akan
mempengaruhi kompetensi organisasi, selain dari unsur-unsur sistem, prosedur, teknologi dan budaya. Berkumpulnya banyak orang yang memiliki kompetensi kerja tinggi di bidang pekerjaannya masing-masing di suatu organisasi tidak secara otomatis dapat mengakibatkan kompetensi organisasi yang baik, karena di dalam kompetensi organisasi terdapat unsur penting, yaitu budaya atau nilai-nilai dan sistem kerja yang secara kolektif digerakan bersama dan tidak mungkin dimiliki hanya oleh orang perorang, melainkan harus menjadi sebuah gerakan kolektif dan menjiwai keseluruhan gerak organisasi sebagai suatu sistem dan budaya organisasi. Hal lain yang juga sering dipersoalkan adalah penggunaan istilah kompeten (competence) dan kompetensi (competency). Kompeten digunakan untuk merujuk pada area pekerjaan atau peranan yang mampu dilakukan oleh seseorang dengan kompeten, yang mengacu pada deskripsi tugas-tugas dan output jabatan, misalnya kompeten di bidang pengelolaan sistem informasi manajemen, kompeten dalam bidang pemasaran produk konsumen dan sebagainya. Sedangkan kompetensi digunakan untuk merujuk pada dimensi-dimensi perilaku yang terletak di balik kinerja kompeten, yang berorientasi pada deskripsi perilaku
8
manusia, misalnya mahir mempengaruhi orang lain untuk menjalankan sesuatu,
terampil
melakukan
pekerjaan
pengelasan,
mampu
berkomunikasi dengan baik, terampil mengajar dan sebagainya (Prihadi, 2004). Klasifikasi kompetensi dapat ditinjau dari sudut aplikasinya atau penggunaannya. Ada kompetensi yang bersifat umum dan diperlukan untuk banyak jenis pekerjaan berbeda, misalnya kompetensi “pelayanan prima terhadap pelanggan”, yang harus dimiliki oleh seorang Pramugari. Jika seorang
Pramugari berpindah kerja menjadi seorang “Customer
Service” di sebuah Bank, maka kompetensi tersebut juga diperlukan untuk kesuksesan tugasnya sebagai Customer Service Officer. Banyak pula kompetensi yang bersifat khusus dan diperlukan untuk kesuksesan menjalankan
tugas
tertentu,
misalnya
kompetensi
“melakukan
penyambungan logam dengan mengelas”, yang hanya diperlukan bagi pekerja yang dalam tugas pekerjaannya termasuk melakukan tugas “pengelasan”. Banyak
jenis
pekerjaan
yang
sudah
teridentifikasi
daftar
kompetensi yang diperlukan untuk dikuasai oleh pemegang pekerjaan dimaksud agar mampu menjalankan pekerjaan dengan berhasil dan umumnya daftar kompetensi tersebut meliputi kompetensi umum dan kompetensi khusus. Daftar kompetensi untuk berbagai jenis pekerjaan dihasilkan dari berbagai kajian yang dimaksudkan untuk menyusun kompetensi yang seharusnya dikuasi untuk pelaksanaan tugas pekerjaan
9
dimaksud secara optimal, meskipun tidak banyak kajian yang mencoba merumuskan dengan mendalam faktor-faktor apa yang sebenarnya turut membentuk penguasan kompetensi seseorang untuk menjalankan tugas pekerjaannya. Pemerintah Indonesia juga telah menyiapkan berbagai sarana dan prasarana untuk pengembangan SDM yang berkompetensi tinggi. SKKNI telah ada, lembaga pendidikan profesi dan lembaga pelatihan telah siap menghasilkan orang yang kompeten, lembaga sertifikasi profesi yang memberikan jaminan dan pengakuan atas kompetensi profesi telah tersedia dan semakin banyak jenis pekerjaan yang disertifikasi sesuai standar dan semuanya telah bekerja dalam suatu sistem yang dibangun secara nasional (Bangkona Wahab, 2011). Permasalahannya adalah, dengan begitu banyak kelembagaan dan kegiatan yang fokus kepada identifikasi, pengukuran, dan pengembangan kompetensi seseorang, tidak banyak kajian yang fokus kepada hal-hal yang membentuk dan mempengaruhi
kompetensi
seseorang,
sehingga
seolah-olah
permasalahan kompetensi cukup diatasi dengan berbagai program pendidikan dan pelatihan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa antara kenyataan dalam kehidupan sehari-hari dengan kajian ilmiah masih terdapat jurang yang cukup luas untuk diisi guna menyempurnakan pemahaman konsep kompetensi
dan
efektivitas
pengembangan
kompetensi
untuk
produktivitas SDM. Maka yang tidak kalah pentingnya adalah pemahaman
10
akan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
penguasaan
kompetensi
seseorang dan kaitannya dengan kinerjanya yang belum banyak dibahas dalam kajian ilmiah selama ini, karena banyak upaya difokuskan pada identifikasi,
pengukuran
dan
pengembangan
kompetensi,
serta
pengukuran kompetensi dalam tataran organisasi yang berkaitan dengan kinerja organisasi. Dengan diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan
kompetensi
individu,
sebenarnya
akan
semakin
memudahkan upaya pengembangan kompetensi dan pengalokasian sumber daya dalam pengembangan kompetensi dapat lebih dioptimalkan. Banyak
organisasi
yang
semata
mengandalkan
program
pelatihan untuk meningkatkan kompetensi tertentu karyawannya tanpa didasari oleh suatu pemahaman yang memadai, apakah program pelatihan benar merupakan upaya terbaik dan satu-satunya untuk peningkatan kompetensi karyawan. Terlebih lagi diketahui bahwa kompetensi merupakan karakteristik dasar (underlying characteristic) yang paling tidak mencakup lima jenis karakteristik kompetensi, yaitu motif, sikap, konsep diri, pengetahuan dan keterampilan (Spencer and Spencer, 1993), di mana umumnya pengetahuan dan keterampilan (terutama yang bersifat “keras” seperti pengetahuan/keterampilan tentang pekerjaan) yang dapat ditingkatkan melalui program pelatihan hanyalah sebagai kompetensi dasar atau prasyarat (threshold competencies) yang tidak akan membedakan kinerja unggul antara satu dengan yang lainnya. Yang membedakan kinerja unggul dari seseorang adalah kompetensi pembeda
11
(differentiating competencies), yang biasanya berkaitan erat dengan jenis kompetensi
yang
melekat
pengetahuan/keterampilan
kepada
yang
mutu
bersifat
diri
lunak
seseorang
seperti
dan
fleksibilitas,
komunikasi, dan kreativitas (McBer, 1996). Sebuah penelitian yang mencoba mengkristalisasikan berbagai daftar
kompetensi
menghasilkan
suatu
hirarki
kompetensi
yang
dikelompokan atas sembilan (9) dimensi kompetensi, yaitu (1) Manajerial kuantitatif, (2) Etika, (3) Kepemimpinan, (4) Analisis, (5) Manajemen Kualitatif/Informasi, (6) Kualitas Diri Pekerja, (7) Penyesuaian Diri, (8) Belajar dan Memahami Sesuatu, serta (9) Pencapaian Hasil (Pamela, 2006) dapat kita jadikan sebagai contoh betapa luasnya unsur-unsur yang harus ada dalam keseluruhan kompetensi seseorang agar berhasil dalam tugas pekerjaannya, meskipun tidak semua jenis pekerjaan memerlukan semua dimensi kompetensi dimaksud. Dimensi
manajerial
kuantitatif
mensyaratkan
penguasan
pengetahuan dan keterampilan melakukan penghitungan data/informasi dengan cara kuantitatif dari yang paling sederhana sampai pada yang kompleks sesuai jenis pekerjaan yang dilakukan. Kompetensi manajerial kuantitatif dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti pendidikan, pelatihan, pengalaman dan dasar kemampuan kognitif bersangkutan. Dimensi etika mengindikasikan bahwa untuk semua jenis pekerjaan dapat berhasil dengan baik memerlukan suatu etika tertentu yang harus diperagakan oleh pemegang tugas pekerjaan dimaksud. Etika
12
dapat diartikan sebagai ketaatan mengikuti prosedur kerja dan tatacara kerja yang sudah ditetapkan atau sudah diterima secara umum ataupun etika dalam kontek menjalin hubungan dengan sesama sesuai dengan etika hubungan antar manusia dalam bingkai norma-norma budaya tertentu yang berlaku. Dimensi kepemimpinan lebih tepat berlaku untuk jenis pekerjaan yang dalam struktur organisasi memiliki tanggungjawab menggerakkan dan memimpin tercapainya suatu hasil kerja yang tergantung dari pencapaian beberapa pekerjaan yang dilakukan orang lain yang merupakan bagian dari totalitas keberhasilan pekerjaan dalam lingkup kepemimpinannya. Namun demikian dimensi kepemimpinan dapat juga diartikan
kemampuan
dan
keterampilan
dalam
merencanakan,
mengarahkan, menggerakan dan mengevaluasi hasil pekerjaan yang dilakukan untuk melakukan langkah-langkah perbaikan yang sering diistilahkan dengan memimpin diri sendiri atau self menaging leadership. Dimensi
analisis
menekankan
pentingnya
penguasaan
pengetahuan dan keterampilan dalam mengolah data dan menggunakan hasil olah data untuk mendukung keberhasilan tugas pekerjaannya. Analisis lebih mengutamakan kemampuan dalam memecahkan masalah (problem solving) koqnitif
seseorang
yang sangat dipengaruhi oleh kemampuan dasar dan
diperkuat
dengan
penguasaan
berbagai
pendekatan analisis yang diperoleh dari pendidikan dan pengalaman.
13
Dimensi manajemen kualitatif/informasi sangat erat terkait dengan dimensi analisis yang pada intinya merupakan kemampuan dan keterampilan mengolah dan menggunakan informasi yang relevan untuk menunjang keberhasilan tugas pekerjaan. Dalam dimensi ini termasuk memilih jenis informasi yang diperlukan, cara mengumpulkan informasi tersebut, cara penyimpanan dan cara pengelolaan, serta pengolahannya. Inti dari keterampilan ini adalah bagaimana menjadikan data menjadi suatu informasi yang berguna untuk menunjang keberhasilan tugas pekerjan. Dimensi mutu diri pekerja menekankan bahwa apapun jenis pekerjaan yang dilakukan, tingkat keberhasilan kinerja akan sangat dipengaruhi oleh mutu diri seseorang yang menjalankannya. Mutu diri dapat meliputi berbagai aspek yang mendasar yang melekat pada diri seseorang atau dengan kata lain merupakan karakteristik mendasar kepribadian seseorang yang terbentuk dari lahir diperkuat melalui interaksi dan pembelajaran dalam keluarga dan lingkungan sosial di masa pertumbuhan seseorang ditambah dengan proses pembelajaran baik dari seorang pembimbing (mentor) maupun dari proses pendidikan formal. Dimensi penyesuaian diri merupakan unsur penting yang harus dimiliki seseorang dalam menjalin hubungan dengan pihak lain dan secara
luwes dapat menyesuaikan dirinya dengan tuntutan pekerjaan
demi keberhasilan tugas pekerjaan dimaksud. Dimensi ini juga dikenal
14
dengan istilah dimensi kompetensi lunak yang meliputi kemampuan berkomunikasi dan beradaptasi dengan lingkungannya. Dimensi belajar dan memahami sesuatu dimaksudkan suatu dimensi yang meliputi kemauan untuk belajar, upaya mendapatkan kesempatan belajar dan kemampuan mempelajari/memahami sesuatu. Dimensi ini tidak selalu harus diperoleh melalui proses belajar dalam pendidikan formal melainkan lebih kepada unsur kemauan, upaya mencari kesempatan dan kemampuan belajar seseorang. Dimensi pencapaian hasil adalah dimensi yang menekankan perlunya kemampuan untuk fokus dan secara maksimal mengupayakan terwujudnya hasil kerja sebagaimana diharapkan. Dalam istilah lain sering disebut dengan mengejar hasil terbaik atau drive for result atau result oriented. Dari daftar panjang dimensi kompetensi seseorang yang ditengarai mampu membedakan kinerjanya tersebut, dapat dipertanyakan hal berikut: dari manakah terbentuknya semua kompetensi tersebut ?, atau dengan kata lain, sangat penting memahami faktor-faktor apakah yang
mempengaruhi
tingkat
penguasaan
kompetensi
seseorang.
Penelitian ini bermaksud mengisi kesenjangan pembahasan ilmiah di bidang kompetensi individu dengan mengkaji secara mendalam faktorfaktor apakah yang mempengaruhi terbentuknya kompetensi dan faktorfaktor pembentuk kinerja individu, serta apakah penguasaan kompetensi individu benar-benar mempengaruhi kinerjanya. Penelitian ini fokus
15
kepada menemukan faktor-faktor pembentuk kompetensi karyawan secara umum dan tidak secara spesifik mengukur kompetensi pekerjaan tertentu, sehingga dapat mengkaji faktor pembentuk kompetensi yang mencakup semua dimensi kompetensi untuk kesuksesan pelaksanaan tugas pekerjaan sebagaimana diuraikan di atas. Hal lain yang menguatkan pentingnya pemahaman yang lebih mendalam
tentang
konsep
kompetensi
dan
kaitannya
dengan
pengembangan sumber daya manusia (SDM) secara keseluruhan adalah situasi di berbagai negara yang sedang berkembang yang pada umumnya masalah reformasi di bidang pengelolaan SDM belum menyentuh hal-hal yang fundamental (secara sistem dan komprehensif) dan masih banyak melakukan hal-hal yang bersifat perangkat keras semata, sebagaimana sebuah kajian menyimpulkan sebagai berikut. Untuk keadaan di Asia, sebuah kajian menyimpulkan “hanya ada sedikit upaya di organisasi untuk memainkan peran strategik melalui program pelatihan yang diarahkan untuk pencapaian peningkatan produktivitas”. Lebih jauh diuraikan, meskipun banyak perusahaan di Jepang telah melakukan pembaharuan sistem SDM, tetapi reformasi yang dilakukan masih setengah-setengah. Penekanan selama ini baru pada masalah sistem penilaian dan kompensasi, yang biasa diistilahkan dengan “perangkat keras”. Dalam hal ini, ada jurang lebar dalam proses secara terstruktur dalam kenyataan di lapangan. Bagian dari sistem secara keseluruhan seperti perekrutan, seleksi, penempatan, pelatihan
16
dan perencanaan karir, pembinaan (coaching) dan pengembangan kepemimpinan,
masih
belum
sepenuhnya
dieksplorasi
dengan
pembaharuan (Bucknall and Ohtaki, 2005). Kenyataan ini memberikan gambaran bahwasanya masalah pengembangan kompetensi sebagai salah satu unsur penting dalam pengembangan SDM belum sepenuhnya tertangani secara komprehensif dan masih diperlukan pemahaman yang lebih mendalam.
1.2.
Permasalahan kompetensi dan kinerja di PT. ICI Paints Indonesia. Apa yang dialami oleh organisasi perusahaan di Indonesia dalam hal upaya peningkatan kompetensi dan kinerja karyawannya dapat dikatakan menghadapi permasalahan yang hampir sama. Pertama, kenyataan bahwa kesiapan angkatan kerja yang baru lulus dari pendidikan formal tidak sepenuhnya siap bekerja, karena sistem pendidikan di Indonesia yang kurang terkait langsung dengan dunia kerja dan beberapa sekolah kejuruan belum mendapatkan tempat utama di hati masyarakat karena berbagai hal. Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk mempromosikan sekolah kejuruan dan membangun berbagai Sekolah Politeknik di berbagai propinsi, tetapi kenyataan bahwa masyarakat, dalam hal ini orang tua maupun anak didik sendiri masih memandang bahwa sekolah umum dan pendidikan di Universitas untuk mendapatkan jenjang Sarjana masih menjadi pilihan utama. Dengan kenyataan seperti ini, kalaupun secara kuantitas sudah banyak lulusan
17
sekolah kejuruan dan Politeknik, dapat dikatakan bahwa mutunya masih belum memuaskan, akibat masukannya bukan anak didik terbaik, dimana anak-anak bermutu tinggi masih memilih ke jalur sekolah umum dan jenjang kesarjanaan. Meskipun dapat dipastikan bahwa jika anak didik sekolah kejuruan dinyatakan lulus berarti telah memiliki kemampuan yang dipersyaratkan, tidak dapat dipungkuri bahwa mutu siswa sangat menentukan mutu hasil pendidikan disamping mutu pendidik, kurikulum atau program pendidikan dan sarana pendukung lainnya. Kedua, menyangkut budaya kerja, dimana budaya lokal ditempat seseorang tumbuh dan berkembang terkadang tidak selalu sesuai dengan budaya kerja yang diterapkan di perusahaan, khususnya perusahaan asing yang membawa budaya organisasi dari induk perusahan asalnya. PT. ICI Paints Indonesia, sebuah perusahaan joint venture antara Imperial Chemical Industries (ICI) dari United Kingdom dengan sebuah perusahaan lokal Indonesia, di mana ICI sebagai induk perusahaan tersebut
memegang
mayoritas
dan
mengendalikan
pengelolaan
perusahaan yang didirikan di tahun 1971 di Indonesia dengan produk utama cat tembok dan cat kayu merek Dulux. Pada perkembangannya, PT. ICI Paints Indonesia tidak hanya memproduksi cat merek Dulux, tetapi juga merek-merek lain untuk memenuhi kebutuhan semua kalangan. Merek Dulux dimaksudkan untuk kalangan menengah dan atas, sedangkan untuk kalangan menengah dan bawah diluncurkan produk merek Catylac, Maxilite dan PAR. Secara keseluruhan sampai dengan
18
tahun 2011 ini, posisi PT. ICI Paints Indonesia di pasaran cat tembok dan cat kayu Indonesia adalah di posisi nomor dua dan sangat dekat mendekati ke nomor satu penguasaan pangsa pasar. Dengan dua pabrik, satu pabrik cat kayu di Cimanggis, Depok–Jawa Barat dan satu pabrik cat tembok di Cikarang, Bekasi–Jawa Barat, PT. ICI Paints Indonesia mempekerjakan lebih dari 300 orang karyawan tetap dan sekitar 200 karyawan tidak tetap. Secara umum, budaya kerja yang diterakan di perusahaan adalah budaya kerja dari induk perusahaan, yaitu “tomorrow answers today” yang menekankan pentingnya kreativitas, inovasi dan jiwa kewirausahaan untuk selalu menemukan jawaban pemenuhan kebutuhan pelanggan di masa depan secara lebih cepat dibandingkan dengan pesaing. Di Indonesia, untuk lebih memudahkan pemahaman dan memberikan nuansa lokal sesuai dengan keinginan mengejar untuk segera menjadi nomor satu di bisnis cat tembok dan cat kayu, budaya induk tersebut di luncurkan secara lokal dengan nama “Fire Up”, yang arti sederhananya membakar semangat, bangkit dan bekerja keras meraih cita-cita. Secara lebih terperinci, budaya Fire Up adalah singkatan dari enam nilai yang diinginkan perusahaan, yaitu : F artinya Focus to future consumer’s need (fokus kepada menjawab kebutuhan masa depan bagi pelanggan yang selalu berubah); I artinya Integrity in all actions (menekankan pentingnya integritas dan tanggungjawab kerja); R artinya Responsility to deliver results (tanggungjawab untuk selalu mencapai hasil
19
yang ditargetkan); E artinya Entepreneurship in the work (memiliki jiwa wirausaha, sehingga sangat sadar akan biaya dan nilai tambah yang dihasilkan dari semua kegiatan yang dilakukan); U artinya Unchallenged output (mencanangkan target kinerja dan program kerja yang sangat sulit untuk ditandingi oleh pesaing) dan P artinya People development (melakukan pembinaan peningkatan kompetensi kerja di semua jajaran). Dari budaya perusahaan sebagaimana diuraikan di atas, satu hal yang jelas diinginkan oleh perusahaan adalah upaya peningkatan kompetensi kerja semua karyawannya. Kinerja karyawan diukur secara lebih jelas dan berdasarkan target kerja yang telah di tentukan di awal tahun. Upaya pembinaan dengan berbagai program pelatihan juga dilakukan dan seleksi penerimaan karyawan dengan sistem Assessment Centre menggunakan berbagai metode seleksi dan melibatkan beberapa evaluator dilakukan untuk mendapatkan karyawan sesuai dengan budaya perusahaan. Dari enam (6) nilai budaya perusahaan sebagaimana diuraikan diatas, perusahaan menetapkan enam (6) kompetensi utama yang seharusnya dikuasai karyawan PT. ICI Paints Indonesia dan terus selalu ditingkatkan, yaitu : (1). Pelayanan pelanggan (baik pelanggan dari dalam perusaaan yang dapat berarti rekan kerja, atasan atau bawahan dan pelanggan luar seperti pemasok, penjual, pembeli dan penyalur); (2). Integritas
kerja,
yang
menekankan
kejujuran
dan
tanggungjawab
menyelesaikan pekerjan sesuai dengan aturan dan prosedur kerja; (3). Tanggungjawab hasil, yang artinya selalu berupaya mencapai hasil kerja
20
yang dijanjikan; (4). Kreativitas dan kewirausahaan yang meliputi kompetensi
kreativitas,
pengambilan
keputusan
dan
pemahaman
komersial (untung rugi bagi perusahaan); (5). Suka tantangan dan meraih yang terbaik, yang artinya memiliki mental juara dengan selalu siap bekerja ekstra keras; dan (6). Kepemimpinan dan pengembangan karyawan, yang artinya bagi karyawan yang memiliki anak buah harus mengasah
keterampilan
kepemimpinannya
guna
memberdayakan
anggotanya, sedangkan bagi karyawan yang tidak memiliki anak buah berarti mengembangkan diri sendiri secara maksimal.
1.3.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah dan kecenderungan kajian ilmiah di bidang kompetensi selama ini, serta adanya kesenjangan kajian ilmiah di bidang kompetensi, penelitian ini diarahkan pada identifikasi faktor-faktor yang membentuk penguasaan kompetensi dan kinerja seseorang dan pengaruh penguasan kompetensi pada tingkat kinerja seseorang di dalam tugas pekerjaannya. Untuk itu, beberapa pertanyaan penelitian dapat diketengahkan sebagai berikut : 1. Faktor-faktor
apakah
yang
kompetensi seseorang ?
21
dapat
mempengaruhi
terbentuknya
2. Faktor-faktor apakah yang secara spesifik membentuk setiap kategori kompetensi ? 3. Bagaimanakah
hubungan
masing-masing
kategori
kompetensi
terhadap kinerja karyawan ? 4. Faktor-faktor apakah yang membentuk kinerja karyawan ?
1.4.
Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk melakukan analisis pengaruh (termasuk hubungan) dari faktor-faktor yang membentuk tingkat penguasaan kompetensi seseorang, faktor-faktor yang membentuk kinerja karyawan
dan
hubungan
antara
kompetensi
seseorang
dengan
kinerjanya. Secara rinci tujuan penelitian adalah : 1. Menganalisis faktor-faktor yang membentuk penguasaan kompetensi seseorang. 2. Menganalisis
faktor-faktor
yang
membentuk
setiap
kategori
kompetensi seseorang (kompetensi lunak dan keras). 3. Menganalisis
pengaruh
masing-masing
kategori
kompetensi
seseorang terhadap pencapaian kinerjanya. 4. Menganalisis faktor-faktor yang membentuk kinerja kayawan secara keseluruhan.
22
1.5. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian dapat diperinci menjadi manfaat bagi penentu kebijakan di bidang SDM, manfaat untuk ilmu pengetahuan dan peneliti lain, serta manfaat praktis.
1.5.1. Manfaat bagi Penentu Kebijakan di bidang SDM Hasil penelitian diharapkan sebagai bahan masukan bagi semua pihak yang berkecimpung dalam pengambilan kebijakan di bidang SDM, baik di kalangan pemerintah, utamanya Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan, Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi,
serta
lembaga-lembaga
Pendidikan
dan
Pelatihan (Diklat), maupun kalangan bisnis, utamanya pimpinan puncak organisasi perusahaan yang menangani kebijakan SDM. Dalam hal ini, semua pihak pengambil kebijakan ini akan terbantu dengan diketahuinya semua faktor yang turut mempengaruhi dan membentuk kompetensi dan kinerja seseorang, sehingga akan lebih mudah mengalokasikan sumber daya yang ada untuk kegiatan atau program yang tepat, tidak terbatas pada program pelatihan
sebagaimana
banyak
diprioritaskan
selama
ini,
khususnya terkait dengan meningkatkan penguasaaan kompetensi dan kinerja karyawan.
23
1.5.2. Manfaat Untuk Ilmu Pengetahuan dan Peneliti lain Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
data
pembanding (benchmark data) bagi penelitian lebih lanjut dalam kajian masalah kompetensi pada khususnya dan SDM pada umumnya sebagai upaya lebih memahami konsep tentang kompetensi, sehingga mampu meningkatkan kemanfaatannya bagi upaya pengembangan SDM di Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya.
Dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi yang
berguna bagi para peneliti lainnya
yang ingin mengetahui lebih mendalam mengenai keterkaitan berbagai peubah yang turut menentukan tingkat kompetensi seseorang, kinerja seseorang dan apa yang mempengaruhi kinerja karyawan dengan melakukan penelitian lebih lanjut dengan cara menambah peubah lainnya yang tidak dibahas dalam penelitian ini, atau dengan cara melakukan penelitian yang sejenis untuk pengukuran kompentensi tingkat organisasi atau dengan cara mengkaji penelitian dengan fokus pada kompetensi bidang tertentu.
1.5.3. Manfaat Bagi Praktisi Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang
hubungan
antara
faktor-faktor
yang
membentuk
penguasaan setiap kategori kompetensi secara lebih komprehensif, faktor-faktor yang membentuk kinerja karyawan dan hubungan
24
antara penguasaan kompetensi karyawan dengan kinerjanya. Informasi ini diharapkan berguna bagi semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan SDM, baik di lingkungan pendidikan formal (guru/dosen), lembaga Diklat (pelatih), Organisasi (pengelola SDM/Manajer Personalia), maupun dalam tataran keluarga (orang tua), sehingga nantinya memainkan peran optimal sehubungan dengan
upaya
pembentukan
dan
penguasaan
kompetensi
seseorang dalam lingkup tanggungjawabnya.
1.6. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini meliputi analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan kompetensi dan kinerja karyawan perusahaan di Indonesia dan adanya pengaruh kompetensi terhadap kinerja karyawan bersangkutan. Oleh karena itu, cakupan ruang lingkup penelitian ini dibatasi sebagai berikut : 1.
Pengertian karyawan adalah pegawai tetap yang bekerja di sebuah perusahaan swasta di Indonesia.
2.
Faktor-faktor yang membentuk kompentensi karyawan ditinjau dari berbagai teori yang relevan, seperti teori dimensi kreasi pengetahuan atau dimensions of knowledge creation (Nonaka, 1995), model pengembangan kompetensi (Tate, 1995), model kompetensi gunung es atau the iceberg model in competency (Spencer and Spencer, 1993) dan teori kompetensi adalah situasional (McBer, 1996).
25
Dimensi kreasi pengetahuan memiliki 2 (dua) dimensi, yaitu dimensi ontologi yang mempercayai bahwa pengetahuan itu dibentuk oleh individu itu sendiri, sehingga pihak luar (organisasi) hanya membantu menciptakan lingkungan untuk mendukung/memudahkan proses penguasaan pengetahuan oleh individu. Dalam hal ini nampak jelas bahwa individu mengendalikan proses penguasaan pengetahuan yang merupakan unsur penting dari sebuah kompetensi. Dimensi lainnya adalah dimensi epistemologi yang membedakan antara tacit knowledge, yaitu pengetahuan sangat bersifat personal yang sulit untuk diajarkan; dengan explicit knowledge, yaitu pengetahuan yang terformalisasikan secara formal dan dapat dialihkan kepada pihak lain. Dalam hal ini nampak jelas bahwa ada unsur pengetahuan yang memang
sulit
kemampuan
untuk
individu
diajarkan,
yang
bersangkutan
berarti
dalam
bersumber
dari
mengembangkannya
dengan segala modal karakteristik dasar yang dibawa dari lahir dan ditambah dengan pengalaman selama masa pertumbuhan dan pergaulan
sosialnya.
Sedangkan
pengetahuan
bersifat
explicit
diperoleh dari proses belajar dari orang lain melalui proses pendidikan, bimbingan (mentorship), maupun pelatihan. Teori Gunung Es mengindikasikan bahwasanya dari keseluruhan kompetensi seseorang dapat dikelompokan ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu bagian yang nampak (visible) yang meliputi pengetahuan dan keterampilan ekplisit dan bagian yang tidak nampak (hidden) yang
26
meliputi motif, sikap dan konsep diri. Teori ini senada dengan teori dimensi pengetahuan sebagaimana diuraikan di atas yang mengakui bahwa dalam diri seseorang terdapat unsur pengetahuan dan kemampuan yang tidak nampak dan oleh karenanya, sangat tergantung kepada karakteristik individu yang sulit untuk ditiru oleh orang lain dan terdapat pula unsur pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dapat diamati oleh orang lain, sehingga dapat dipelajari dan ditiru oleh orang lain. Teori situasional menyatakan bahwa kompetensi merupakan fungsi dari individu dan situasi di mana yang bersangkutan berada. Perilaku = f (Individu, Situasi). Teori ini menyimpulkan bahwa lingkungan sosial berperan seseorang,
penting
dalam
disamping
pembentukan
unsur
yang
penguasan
melekat
pada
kompetensi karakteristik
mendasar individu bersangkutan. Teori
model
pengembangan
kompetensi
memformulasikan
pendekatan penyusunan kompetensi suatu pekerjaan tertentu dilihat dari tiga (3) hal, yaitu input, proses dan output. Model input menitikberatkan kepada apa yang dimiliki secara mendasar oleh individu bersangkutan (termasuk konsep diri, sikap dan motif), serta pengetahuan dan keterampilan apa yang harus dikuasai untuk menjalankan pekerjaan dimaksud. Model proses mengutamakan perincian perilaku yang harus diperankan oleh individu bersangkutan untuk melakukan pekerjaan tertentu secara berhasil. Sedangkan
27
model output menggarisbawahi perlunya pengembangan kompetensi disusun dengan memperhatikan hasil akhir apa yang diharapkan dihasilkan oleh individu bersangkutan dalam melakukan tugas pekerjaan tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa pekerjaannya berhasil dengan baik. Dari berbagai pembatasan teori tersebut di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kompetensi akan diidentifikasi secara komprehensif, yang meliputi semua unsur baik unsur terdalam dari individu, maupun unsur lingkungan keluarga dan sosial, serta unsur intervensi dari pihak luar. 3
Kategori kompetensi karyawan dikelompokan menjadi 2 (dua) kategori, yaitu kompetensi lunak dan kompetensi keras, sesuai dengan pengelompokan umum yang dikenal selama ini dan telah banyak dilakukan dalam kajian tentang kompetensi. Dalam hal ini disadari bahwa di dalam kelompok kategori lunak masih terdapat pembedaan antara unsur yang melekat kepada karakter dasar seseorang dan unsur yang dapat dipelajari, meskipun tidak sejelas kompetensi keras.
4.
Pengukuran kinerja karyawan dibatasi pada penilaian hasil kerja karyawan yang meliputi hasil kerja selama 1 (satu) tahun penilaian kinerja dan penilaian akan proses kerja karyawan bersangkutan untuk menjalankan tugas dan tujuan pekerjaannya, disamping indikator penentu kinerja yaitu kepuasaan kerja dan keterlibatan dalam pekerjaan.
Pengukuran demikian sesuai dengan apa yang banyak
28
dilakukan di kalangan organisasi bisnis di mana pengukuran kepuasan kerja
dan
partisipasi
kerja
dengan
metodologi
Gallup
Work
Engagement memberikan gambaran, bahwa baik kepuasan maupun keterlibatan dalam pekerjaan menentukan kinerja karyawan. Senada dengan pengertian ini adalah suatu pendapat bahwa kinerja merupakan fungsi dari pengetahuan, proses dan motivasi (Campbell, 1990). Sedangkan penilaian kinerja tahunan yang sering dikenal dengan istilah performance appraisal atau performance rating memasukan dua (2) unsur utama yang dinilai, yaitu hasil akhir dan proses melakukan pekerjaan untuk menghasilkan hasil dimaksud. Campbell (1990) juga membedakan antara performance dan outcome dalam memahami kinerja. Performance adalah tingkah laku, atau behavior yang ditunjukan atau diperankan dalam menjalankan tugas pekerjaan tertentu, sedangkan outcome adalah hasil akhir dari perilaku kerja. Hal ini menguatkan indikasi bahwa dalam mengukur kinerja tidak cukup melihat hasil akhir semata, melainkan unsur perilaku karyawan dalam mengikuti dan menjalankan proses kerja serta motivasi (yang tercipta dari rasa kepuasaan kerja dan diwujudkan dalam keterlibatan kerja yang tinggi) haruslah diperhitungkan. 5.
Unit populasi dalam penelitian ini adalah semua karyawan tetap PT. ICI Paints Indonesia. Contoh (sample) untuk penelitian ditentukan secara
acak
berjenjang
(stratified
29
random)
guna
memberikan
gambaran yang proporsional mencakup semua fungsi dan jenjang yang ada dalam organisasi PT. ICI Paints Indonesia. 6.
Penelitian ini juga merupakan penelitian studi kasus dengan obyek PT. ICI
Paints
Indonesia,
yang
dipilih
berdasarkan
kemungkinan
kemudahan memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini. 7.
Metode analisis data menggunakan Structural Equation Model (SEM).
8.
Analisa faktor-faktor yang mempengaruhi hasil kinerja karyawan dilakukan dengan analisa Regresi Logistik atau Order Logit guna lebih memastikan kombinasi dan penjelasan yang paling relevan dari semua faktor pembentuk kinerja.
9.
Pengertian kompetensi dalam penelitain ini dibatasi kepada kompetensi tingkat individu karyawan dan mencakup kompetensi secara umum yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan tugas pekerjaannya. Dengan demikian, penelitian ini tidak mengkaji secara khusus faktor-
faktor pembentuk jenis kompetensi khusus tertentu misalnya kompetensi jabatan Sekretaris, kompetensi jabatan Tenaga Penjualan, kompetensi jabatan Tehnisi Pabrik dan sebagainya, melainkan fokus kepada pemetaan semua faktor pembentuk kompetensi secara umum dan pengaruhnya terhadap pencapaian kinerja karyawan.
30
Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan MB-IPB
31