I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1. Kebutuhan kayu sebagai kayu energi Penggunaan kayu sebagai salah satu sumber energi memiliki peranan yang besar dalam kehidupan manusia. Seiring dengan kemajuan jaman dan ditemukannya sumber energi lain seperti nuklir, listrik, minyak, sinar matahari dan batu bara, namun ketergantungan manusia terhadap kayu sebagai bahan bakar masih tinggi. Jumlah manusia semakin bertambah dari waktu ke waktu semakin meningkat, begitu juga dengan konsumsi kayu bakar . M enurut laporan FAO (2001), 7% dari total kebutuhan energi dunia dicukupi dari hasil kayu. Di negara berkembang, kebutuhan energi yang berasal dari kayu lebih tinggi dibandingkan dengan negara industri. D i Negara berkembang kurang lebih 15% dari total kebutuhan energi berasal dari kayu bakar, sedangkan pada negara industri hanya 2% saja (FAO, 2001).
Ketergantungan kebutuhan energi saat ini sebagian besar dipenuhi dari bahan bakar fosil, sementara itu dipastikan suatu saat sumber bahan bakar ini akan menipis dan habis. M enurut Alexandrotus (1995) dilaporkan bahwa konsumsi kayu dunia yang digunakan sebagai sumber energi (kayu bakar dan arang) sekitar 1,8 m ilyar m3 dimana jumlah tersebut merupakan separuh dari kebutuhan kayu dunia. Sedangkan konsum si kayu bakar di dunia yang paling tinggi terdapat pada negara berkembang yaitu sekitar 80% dari produksi kayu per tahun atau sebanding dengan 0,4 milyar ton minyak (Alexandrotus, 1995). Word Bank pada tahun 1992 melaporkan bahwa rata -rata kebutuhan kayu dunia akan mengalami
1
peningkatan 2,3% per tahunnya (Jepma,1995). Sejalan dengan pendapat diatas, konsumsi kayu untuk energi di dunia menurut FAO (2001) sebagian besar (50%) diserap oleh negara di A sia dan peringkat kedua 27% oleh negara-negara
di Afrika. Negara berkembang
memiliki tingkat konsumsi kayu energi yang lebih tinggi dibandingkan negara industri. Negara-negara Eropa Timur dan Barat, Amerika Tengah dan Karibia serta Amerika U tara tingkat konsum si kayu bakarnya berkisar 1 - 4% seperti pada gambar 1. dibawah ini: Asia
Africa
Eropa Timur
Eropa Barat
Rusia
Amerika U tara
Am erika Tengah dan Karibia
Amerika Se latan
3% 3% 4% 2%
10% 50%
1% 27%
Sumber: FAO,2001
Gambar 1. Konsumsi kayu dunia tahun 2000
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang menghadapi krisis energi yang semakin mengemuka dari tahun ke tahun. M enurut data sensus penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia adalah 237.641.326 jiwa (BPS,2014) yang tersebar tinggal di perkotaan dan pedesaan. Dari jumlah penduduk tersebut sekitar 50,2% tinggal didaerah pedesaan. Dimana sebagian besar penduduk pedesaan menggunakan kayu bakar dalam mencukupi kebutuhan energi sehari-harinya. M enurut BPPT (2012) konsumsi energi di
2
Indonesia pada tahun 2000 adalah 777,9 juta SBM (Setara Barel M inyak) kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2010 menjadi 1081,4 juta SBM . Dimana penggunaan energi terbesar adalah untuk industri sebesar 32,9%. Sementara kebutuhan rumah tangga menempati peringkat kedua pengguna energi yaitu 30,1%. Secara lengkap proporsi penyerapan energi di Indonesia dapat dijelaskan pada gambar 2. dibawah ini:
2,7
7,7 30,1
Rumah tangga Industri
23,7
komersial transportasi lainnya
3
Pe nggunaan non energi 32,9
Sumber: BPPT, Outlook energy Indonesia 2012
Gambar 2. Proporsi serapan energi di Indonesia
Sesuai dengan gambar 2 diatas, pada tahun 2010 energi yang dikonsum si rumah tangga adalah ± 325,5 juta SBM (30,1% dari 1.081,4 juta SBM ). Dilaporkan untuk tahun 2005, konsumsi energi di sektor rumah tangga mencapai 75 juta SBM untuk minyak tanah, arang, briket, listrik dan LPG, namun untuk kebutuhan kayu bakar saja telah mencapai 210 juta 3
SBM (Nuryanti dan Herdinie, 2007; DESDM , 2006). Diperkirakan sekitar 120.000 m per tahun
kayu bakar dan arang dibutuhkan untuk m encukupi kebutuhan rumah tangga.
3
Sedangkan menurut Kementrian Kehutanan mencatat bahwa konsumsi kayu bakar di Indonesia telah mencapai 0,5-0,9 m3 per kapita atau sekitar 12,5 juta m3 kayu bakar per tahun. Sumardjani dan Waluyo (2007) menyatakan bahwa rata - rata kebutuhan kayu bakar 2,54 m³/kapita/tahun, dengan prediksi kebutuhan kayu bakar nasional 295,502 juta m³/tahunnya dengan asumsi pengguna kayu bakar 116,274 juta jiwa.
Porsi penggunaan energi terbesar adalah BBM (Bahan Bakar M inyak) 31% disus ul kayu bakar 23%, Gas 14%, Batubara 13% dan listrik 9% seperti yang tampak pada gambar 3. Kebutuhan kayu bakar menempati nomor dua terbesar setelah BBM , oleh karena itu kebutuhan akan kayu bakar tidak bisa dipandang sebelah mata dalam konsumsi energi di Indonesia. Kebutuhan kayu bakar ini ada dan menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun seiring dengan jumlah penduduk yang meningkat pula. Kesiapan bahan baku kayu bakar melalui penanaman hutan tanaman untuk tujuan kayu energi sepatutnya direncanakan dan diimplementasikan.
BBM
3% 4% 3%
Kayu Bakar
9%
31%
Batubara Gas Listrik
14%
Biomassa Biofuel
13% 23%
LPG
Sumber: BPPT, Outlook energy Indonesia
Gambar 3. Diagram proporsi energi di Indonesia tahun 2010
4
Selama ini kebutuhan kayu energi dipenuhi dari kayu hutan rakyat, pekarangan dan hutan negara sebagai hasil sampingan. Untuk itu kedepan perlu dibangun plot-plot uji kayu energi diberbagai daerah yang memiliki tingkat konsumsi kayu bakar yang tinggi
baik untuk
kebutuhan industri maupun untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga.
2. Pengembangan hutan sebagai penyedia sumber kayu energi di dataran tinggi
Harga minyak bumi dan produk turunannya di pasar dunia yang tidak stabil menyebabkan sulitnya penetapan harga minyak dalam negeri yang murah bagi masyarakat. Sementara itu negara dihadapkan pada kondisi yang sulit. Dimana beban subdisi negara pada BBM sudah tinggi, selama lima tahun terakhir subsidi BBM mencapai Rp.714 Triliun sedangkan untuk kesehatan hanya Rp. 220 Triliun dan infrastruktur Rp. 574 Triliun (Kompas, 2014). Sebagai catatan untuk tahun 2015 alokasi APBN sebesar Rp. 2.019 Triliun dimana untuk subsidi BBM saja senilai Rp. 330 Triliun. Dapat dibayangkan betapa besarnya subsidi BBM tahun 2015 hampir Rp. 1 Triliun setiap hari (K ompas, 2014).
Sementara apabila
subsidi BBM dikurangi atau dicabut tentu akan menambah kesulitan bagi masyarakat berekonomi kecil.
Tentu saja dengan kondisi ini menyebabkan banyak masyarakat beralih kepada kayu bakar untuk mengganti bahan bakar minyak dalam kehidupan sehari-harinya. Di daerah pedesaan kebutuhan kayu bakar untuk keperluan rumah tangga meningkat mengingat menurunnya daya beli masyarakatnya terhadap BBM . M ereka memanfaatkan kayu bakar yang tersedia di pekarangan mereka maupun menggunakan limbah pertanian yang dihasilkan dari lahan
5
mereka sendiri. Sudah sepatutnya kita mulai berpikir untuk beralih pada sumber -sumber energi yang terbarukan ( renewable energy resource) dan yang lebih ramah terhadap lingkungan. Seiring dengan kemajuan jaman, kebutuhan kayu bakar akan tetap menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat pedesaan (Nuryanti dan Herdinie, 2007). Aktifitas sehari-hari seperti memasak makanan, memasak air, sebagai penghangat badan (di daerah dingin) dan kebutuhan lainnya tidak bisa digantikan dengan menggunakan BBM seperti membakar gerabah, batu bata, genteng dan industri rumah tangga lainnya.
Kebutuhan kayu didataran tinggi berdasarkan penelitian Bhatt and Sachan (2004) menunjukkan kecenderungan semakin tinggi ketinggian tempat, semakin tinggi pula kebutuhan kayunya. Hasil penelitian tersebut membandingkan konsumsi kayu selama 4 musim pada beberapa ketinggian. Rerata konsumsi kayu terendah terletak pada daerah dengan ketinggian 500 m dpl (392,38 kg/capita/tahun) sedangkan pada daerah dengan ketinggian diatas 2000 m dpl rerata konsum si kayunya = 1019,26 kg/kapita/tahun.
Kebutuhan kayu yang semakin tinggi kadang tidak disadari menjadi tantangan bagi keseimbangan lingkungan dan rehabilitasi lahan. Dengan pertimban gan tersebut upaya untuk penyediaan kayu bakar bagi masyarakat harus bersinergi dengan upaya penanaman tanaman yang berpotensi sebagai sumber kayu bakar. Kandungan kalor merupakan salah satu indikator penting dalam memilih tanaman yang memiliki potensi se bagai bahan bakar. Beberapa tanaman hutan dilaporkan
memiliki potensi yang tinggi sebagai bahan bakar
pada dataran tinggi salah satunya adalah Acacia decurrens.
6
Disamping A.decurrens digunakan sebagai kayu energi didataran tinggi, peluang pemanfaatan kayu lain yang habitatnya ada di daerah pegunungan sangat terbuka lebar. Terutama pembuatan wood pellet dari sisa kayu dan serbuk gergaji, yang ketersediaannya sangat melimpah karena selama ini dianggap sebagai lim bah yang tidak berguna. W ood pellet memiliki keunggulan dibandingan dengan kayu bakar biasa, karena memiliki kerapatan kayu yang tinggi dan nilai kalor yang lebih tinggi (Sutapa,2014).
Pengembangan wood pellet di Indonesia diawali di Wonosobo dengan investor dari K orea yang bekerja sama dengan Perhutani sebagai penyedia bahan baku. Perhutani menyiapkan 10.000 ha hutan tanaman untuk tujuan wood pellet ini dengan pembagian 3500 ha di Jawa Timur, 3500 ha di Jawa Tengah dan 3000 ha di Jawa Barat. Pabrik pembuatan wood pellet di W onosobo sendiri sudah beroperasi sejak tahun 2009 dengan kapasitas 5000 ton/bulan yang mengolah limbah kayu sengon dan kaliandra (Bisnis, 2014). Kedepan pengembangan wood pellet di Indonesia perlu diperluas baik di P ulau Jawa maupun di luar Jawa, mengingat potensi kayu energi yang dim iliki Indonesia cukup besar dan permintaan wood pellet di pasar dunia yang cenderung meningkat
3. Potensi Acacia decurrens sebagai bahan baku sumber energi
Keragaman genetik yang luas menjadi sebuah keniscayaan dalam sebuah kegiatan pemuliaan pohon. Keragaman genetik merupakan syarat utama terpeliharanya stabilitas jangka panjang suatu ekosistem, karena jumlah dan pola keragaman geneti k akan menentukan kemampuan spes ies pohon hutan dalam beradaptasi terhadap kondisi
7
lingkungan yang beragam pula. Variasi
genetik juga berada pada posisi kunci dalam
program pemuliaan dikarenakan mampu memaksimalkan perolehan genetik sifat -sifat tertentu akan dapat dicapai (Naiem,2004).
Penelitian nilai kalor A.decurrens pada beberapa sebaran alam diharapkan mampu memberikan gambaran sifat-sifat kayu yang mempengaruhi nilai kalor kayu yang dihasilkan.
Dengan
mengetahui
sifat-sifat
kayu
yang
mempengaruhi
kalor
pada
A.decurrens nantinya dapat diambil langkah-langkah seleksi terhadap nilai tertentu yang akan dilakukan dalam program pemuliaan pohon untuk kayu energi. Dalam penggunaan kayu sebagai sumber energi sebaiknya dipilih dari pohon dengan sifat-sifat pertumbuhan sebagai berikut (Alimah, 2010) : 1. Spesies dengan pertumbuhan cepat dengan percabangan yang lebat dan memiliki berat jenis (BJ) tinggi 2. M emiliki riap yang tinggi 3. Dapat hidup pada berbagai kondisi tempat tum buh 4. M emiliki kemampuan bertunas yang tinggi setelah dipangkas 5. Kalor yang yang dihasilkan oleh kayunya tinggi
M enurut Kasmudjo (2010), kayu untuk tujuan energi memiliki persyaratan antara lain memiliki berat jenis menengah keatas, kadar air cukup rendah, memiliki kadar karbon, lignin dan ektraktif yang cukup tinggi, tingkat kekerasan kayu menengah keatas serta menghasilkan nilai kalor tinggi (diatas 4800 kcal/kg). Kayu energi tidak memerlukan persyaratan batang yang lurus dengan bebas c abang tinggi, justru dicari jenis-jenis yang 8
memiliki percabangan banyak. Semakin banyak percabangannya maka cadangan
kayu
yang dihasilkan per m³/pohonnya semakin tinggi. Salah satu tanaman yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai kayu energi di dataran tinggi adalah A. decurrens.
Berikut adalah informasi beberapa lokasi ditemukannya A. decurrens pada 5 sebaran alam di Pulau Jawa dimana pengambilan sampel kayu A. decurrens dilakukan :
1. Gunung Merapi Kawasan Gunung M erapi ditetapkan menjadi Taman Nasional berdasarkan penunjukkan oleh M enteri Kehutanan berdasarkan SK M enhut 134/M enhut-II/2004 tanggal 4 M ei 2004. Taman Nasional Gunung M erapi memiliki luas kawasan seluas 6.410 ha dimana seluas 1.283,99 ha berada di DIY dan 5.126,01 ha di Jateng. Secara geografis TN Gunung M erapi terletak pada koordinat 07°22'33" - 07°52'30" LS dan 110°15'00" - 110°37'30" BT.
(a)
(b)
Gambar 4. Pengambilan sampel kayu A.decurrens di Bebeng, lereng G unung M erapi (a) dan tegakan A.decurrens (b).
9
Wilayah Taman Nasional G unung M erapi berada pada ketinggian antara 600 - 2.968 m dpl. Topografi kawasan mulai dari landai hingga berbukit dan bergunung -gunung. Kawasan ini memiliki jenis tanah regosol, andosol, alluvial dan litosol. Untuk area TN Gunung M erapi yang berada di wilayah Yogyakarta sebagian besar didominasi oleh jenis tanah regosol.
Tipe iklim di daerah ini termasuk dalam tipe C menurut klasifikasi curah hujan Schmidt dan Ferguson, yakni agak basah dengan nilai Q antara 33,3% - 66%. Rerata curah hujan bervariasi antara 875 - 2527 mm pertahun. Variasi curah hujan di tiap-tiap kabupaten adalah M agelang = 2.252 – 3.627 mm/th, Boyolali = 1.856 – 3.136 mm/th, Klaten = 902 – 2.490 mm/th dan Sleman = 1.869,8 – 2.495 mm/th (BTNGM ,2009).
A. decurrens disini ditemukan menyebar di daerah Bebeng, Cangkringan yang terletak di lereng sebelah selatan G unung M erapi. Pada lereng sebelah utara juga terdapat A.decurrens yang berbatasan dengan G unung M erbabu.
Setelah erupsi M erapi 2010, regenerasi
tanaman A. decurrens di kawasan M erapi ini tum buh dengan cepat. D ilaporkan oleh Gunawan dkk (2013) 16 -18 bulan setelah erupsi 2010 A. decurrens memiliki kerapatan 2697 individu/ha diatas Puspa (Schima walicii) 2632 individu/ha. Hasil analisa vegetasi tanaman pasca erupsi M erapi (Gunawan dkk, 2013), mencatat adanya jenis -jenis tanaman asli yang memiliki kecepatan regenerasi dengan jumlah anakan alam yang melimpah yaitu Puspa (Schima walicii), Anggrung (Trema orientalis), Tutup Ijo (Macaranga triloba), Sengon Gunung (Albizia montana) dan Wilodo (Ficus fistulosa).
10
2. Gunung Merbabu Sampel kayu A.decurrenss diambil dari daerah Cunthel, Kopeng, Salatiga Jawa Tengah yang merupakan lereng sebelah utara Gunung M erbabu. Terletak pada 7°25′36″ LS dan 0
110 25’ 21” BT dengan ketinggian 1800-1850 m. Secara umum merupakan bagian dari wilayah Taman Nasional G unung M erbabu (TN GM ). Taman Nasional Gunung M erbabu memiliki sejarah kelahiran yang bersamaan dengan lahirnya TN G unung M erapi. Taman Nasional ini terbentuk berdasarkan Surat Keputusan M enteri Kehutanan Nomor : 135/M enhut-II/2004. M emiliki luas kawasan seluas ± 5.725 Ha, yang terletak pada tiga kabupaten yaitu Kabupaten M agelang seluas 2160 Ha , Semarang seluas 1150 Ha, dan Boyolali seluas 2415 Ha, Provinsi Jawa Tengah.
(a)
(b)
Gambar 5. Tegakan A.decurrens di Cuntel, lereng utara Gunung M erbabu (a) dan penggunaan kayunya untuk kayu bakar oleh masyarakat (b).
Topografi TNG M erbabu antara bergelombang ringan sampai dengan bergunung, dengan kemiringan mulai dari 8% sampai dengan lebih dari 40% . Jenis tanah didaerah M erbabu didom inasi oleh Andosol pada ketinggian 900 m keatas. Sedangkan pada ketinggian kurang
11
dari 900 m memiliki jenis tanah Lateritic soil. (Taolin, 2002). Tanah A ndosol biasanya terbentuk dari bahan induk abu (ash) dan tuff vulcan. Lokasi di TNG M erbabu bercurah 0
0
hujan rata-rata/tahun sebesar 2000 - 3000 mm dan rata-rata suhu udara antara 5 C - 30 C.
3. Gunung Ciremai Gunung Ceremai
secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten, yakni
Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten M ajalengka, Provinsi Jawa Barat. Posisi geografis puncaknya terletak pada 6° 53' 30" LS dan 108° 24' 00" BT, dengan ketinggian 3.078 m di atas permukaan laut. G unung ini merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat, merupakan gunung berapi soliter yang terpisah dari klaster gunung berapi lainnya di pulau Jawa (TNGC, 2012). G unung ini memiliki kawah ganda. Kawah barat yang beradius 400 m terpotong oleh kawah timur yang beradius 600 m. Pada ketinggian sekitar 2.900 m dpl di lereng selatan terdapat bekas titik letusan yang dinamakan Gowa Walet. Gunung Ceremai termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), yang memiliki luas total sekitar 15.5 00 hektare.
Nama gunung ini berasal dari kata Cereme (Phyllanthus acidus, sejenis tumbuhan perdu berbuah kecil dengan rasa masam), namun seringkali disebut Ciremai, suatu gejala hiperkorek akibat banyaknya nama tempat di w ilayah Pasundan yang menggunakan awalan 'ci-' untuk penamaan tempat. D i daerah Jawa Barat, pengambilan biji dan kayu A.decurrens yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai kayu Kasomala dilakukan pada lahan kebun dan tegalan di lereng Gunung Ciremai pada ketinggian 1 200 s/d 1400 m dpl, dengan kondisi lahan yang relatif curam dan terjal, tanaman yang mendominasi disekitarnya yaitu
12
Kaliandara (Caliandra calotirsus), Kerinyu dan semak belukar. Secara admisintratif lokasi tersebut berada di Desa S ukadana dan Argalingga, Kec Argalingga, Kab
M ajalengka,
Propinsi Jawa Barat. Daerah tersebut menurut Schm it dan Fergusson masuk dalam tipe B dengan curah hujan 2000 – 4000 mm/tahun.
Kawasan TNGC ditemukan ± 32 jenis vegetasi pohon pada ketinggian 1200 – 2400 m dpl, antara lain : Saninten (Castanopsis argentea), Kitandu (Fragraera blumii), Ki pulusan (Villubrunes
rubescens),
Kalimorot
(Castanopsis
javanica),
M ara
(Macaranga
denticulata), Ki keper (Engelhardia spicata), Tangongo (Castanopsis tungurut), Pasang (Lithocarpus spicatus), Kiara (Vicus sp), Ki jalantir, Hamberang (Ficus cf Padana). Beberapa tanaman jenis langka yang terdapat di TNGC antara lain Lampeni ( Ardisia cymosa DC.), Kakanduan (Platea latifolia Blume), Villebrunea rubescent, Prunus javanica, Symplocos theaefoli dan Eurya acuminate (TNGC,2012).
4. Gunung Lawu (Petak 33 RPH Blumbang BKPH Lawu Utara KPH Surakarta) Gunung Lawu memiliki tinggi 3.265 m terletak diantara perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Didalam pengelolaan kawasan, Gunung Lawu dikelola oleh Perhutani dengan pembagian Lawu Utara dikelola KPH Surakarta dan Lawu Selatan dikelola KPH Lawu D s. Sebagian besar w ilayah BKPH Law u Utara merupakan kelas perusahaan Pinus ( Pinus merkusii) yang dimanfaatkan untuk diambil getahnya. D isamping pinus jenis tanaman yang ada di kawasan tersebut antara lain A.decurrens, Damar (Agathis damara), Cemara gunung (Casuarina junghunia) dan Puspa (Schima walicii).
13
(a)
(b)
Gambar 6. Tegakan A.decurrens di lereng Gunung Law u (a) dan (b) pemotongan sampel kayu pada pohon diameter sedang.
Lokasi pengambilan sampel kayu berada di petak 33 RPH B lumbang, BKPH Lawu Utara, KPH Surakarta yang memiliki ketinggian tempat 1800 m dpl. Secara administratif lokasi ini masuk dalam Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar. Berdasarkan data curah hujan BPS Karanganyar (2007), Kecamatan Tawangmangu memiliki curah hujan 1800 – 3000 mm/tahun dengan nilai Q = 41% sehingga menurut klasifikasi Schimdt dan Fergusson masuk dalam tipe C (agak basah).
5. Gunung Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS) Taman nasional yang terdiri dari beberapa gunung ini memiliki luas kawasan 50.267,20 Hektar yang ditetapkan berdasarkan SK M enhut No. 278/K pts-VI/1997. Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru berada pada ketinggian 750 - 3.676 m dpl, dengan
14
keadaan topografinya bervariasi dari bergelombang dengan lereng yang landai sampai berbukit bahkan bergunung dengan derajat kemiringan yang tegak.
(a)
(b)
Gambar 7. Tegakan A.decurrens di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (a) dan tegakan A.decurrens yang sedang berbunga (b).
Secara umum kawasan taman nasional merupakan dataran tinggi yang terdiri dari komplek Pegunungan Tengger di utara dan komplek Gunung Jambangan di sebelah selatan.
Berdasarkan klasifikasi tipe iklim Schmidt dan Ferguson (Tabel 14), iklim di kawasan taman nasional termasuk iklim tipe A meliputi daerah Gunung Semeru, tipe B untuk daerah Bromo dengan nilai Q sebesar 14,36% dan curah hujan rata-rata 6604,4 mm/tahun. Kelembaban udara di sekitar laut pasir cukup tinggi yaitu maksimal mencapai 90 - 97% dan minimal 42 - 45% dengan tekanan udara 1007 - 1015,7 mm Hg. Suhu udara rata-rata berkisar antara 5°C - 22°C. Suhu terendah terjadi pada saat dini hari di puncak musim kemarau antara 3°C - 5°C bahkan di beberapa tempat sering bersuhu di bawah O °C (minus). Sedangkan suhu maksimum berkisar antara 20°C - 22°C.
15
Dari penjelasan diatas dapat diberikan informasi tentang iklim dan lokasi dari 5 lokasi pengujian kalor A.decurrens yang ditampilkan pada Tabel 1. dibawah ini :
Tabel 1. Informasi iklim dan koordinat lokasi pengambilan A.decurrens LOKASI
IKLIM
KETINGGIAN
CURAH HUJAN
(m dpl)
(mm/tahun)
KOORDINAT
M erapi
Tipe C
900 m dpl
1869 – 2495
7°34'36,53'' LS dan 110°26'59,94'' BT
M erbabu
Tipe B
1800 m dpl
2000 – 3000
7°25′36,30″ LS dan 110°25’21,45” BT
Lawu
Tipe C
1800 m dpl
1800 – 3000
7° 39’48,6’ LS dan 111° 10’ 35,5” BT
Cirem ai
Tipe B/C
1800 m dpl
2000 – 4000
6°50'25" LS dan 108°21'35" BT
Brom o
Tipe A/B
2300 m dpl
6600
7° 56' 14,27" LS dan 112°57'11,32" BT
B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. M engetahui nilai kalor kayu A.decurrens pada 5 sebaran alam (Gunung M erapi, M erbabu, Bromo, Ciremai dan Lawu). 2. M engetahui korelasi nilai kalor kayu dengan berat jenis kayu (BJ), kadar abu, kadar lignin dan kadar air dengan nilai kalor yang dihasilkan. 3. M engetahui faktor-faktor yang menyebabkan nilai kalor kayu tersebut menjadi tinggi atau rendah dan bagaimana pula cara memanfaatkanya.
16
C. Hipotesis Dalam penelitian ini hipotesis yang diajukan adalah: 1. Berat jenis kayu, kadar air, kadar abu dan kadar lignin A. decurrens mempengaruhi nilai kalor yang dihasilkan. 2. Nilai kalor kayu lebih dipengaruhi sifat kimia dibandingkan oleh sifat fisika kayunya.
D. Hasil yang D iharapkan Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. M engetahui sebaran nilai kalor yang dihasilkan dari jenis tanaman A.decurrens pada beberapa lokasi sebaran alam. 2. Hasil penelitian kalor kayu A.decurrens ini diharapkan dapat memberikan wawasan bagi stakeholder kayu energi (pemerintah,masyarakat dan swasta) tentang perlunya penyediaan bahan baku kayu bakar di dataran tinggi. Hasil penelitian juga dapat menjadi dasar pemuliaan kayu A. decurrens sebagai kayu energi dimasa mendatang. 3. Diharapkan dapat terbangun hutan tanaman untuk mencukupi kebutuhan kayu energi.
17