I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa kawasan konservasi di Indonesia dibedakan menjadi dua yaitu Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. KPA adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Cagar Alam dan Suaka Margasatwa adalah bentuk kawasan konservasi yang termasuk dalam KSA. Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam adalah bentuk kawasan konservasi yang termasuk dalam KPA. Taman Nasional dikelola dengan sistem zonasi. Zonasi taman nasional meliputi zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lainnya. Sistem zonasi tersebut dimaksudkan agar upaya penjagaan terhadap tumbuhan, satwa dan ekosistem yang terancam punah atau rapuh dapat mutlak dilindungi dan tidak mengalami perubahan apapun oleh aktivitas manusia (dalam zona inti). Fungsi pemanfaatan kawasan diletakkan pada zona pemanfaatan (sebagai pusat rekreasi
1
dan kunjungan wisata) dan untuk mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan tersebut maka terdapat zona rimba, serta zona lain seperti zona tradisional, zona rehabilitasi dan zona lainnya. Kawasan konservasi harus memiliki batas yang jelas, terutama kawasan yang berbatasan dengan pemukiman. MacKinnon (1993) menjelaskan bahwa batas kawasan konservasi seharusnya disesuaikan sedemikian rupa agar pemukiman berada di luar. Jika keberadaan pemukiman tidak dapat dihindarkan dari kawasan konservasi maka harus ditetapkan atau dibentuk suatu daerah kantong atau enclave. Taman Nasional Bromo Tengger Semeru memiliki 2 areal enclave, terdiri dari 2 desa yaitu Desa Ngadas dan Desa Ranu Pani. Desa Ngadas telah ada sejak, sedangkan Desa Ranu Pani berdiri sejak tahun 1817 (Mareoli, 2002). Masyarakat yang bermukim di daerah ini merupakan masyarakat Suku Tengger. Bagi masyarakat enclave, hutan merupakan lingkungan tempat mereka melakukan seluruh kegiatan. Hutan dipandang sebagai tempat menggantungkan kehidupan. Sumber daya alam yang terdapat di hutan dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu kehidupan mereka secara terus-menerus pada masa mendatang. Namun perlu diketahui, keberadaan kawasan enclave dapat berbahaya karena akan ada suatu kecenderungan perkembangan keruangan dengan mengorbankan kawasan tersebut, serta masyarakat selalu memiliki akses melintasi daerah tersebut (MacKinnon, 1993). Adanya akses tersebut salah satunya adalah merupakan bagian dari aktivitas pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat enclave. Apabila tidak diatasi dan pengawasan yang ada tidak 2
begitu ketat akan menimbulkan kerusakan dan akhirnya akan memecah-mecah kawasan tersebut. Untuk mengakomodasi pemanfaatan sumber daya alam dan meminimalisir timbulnya kerusakan tersebut, pihak pengelola menerapkan zona tradisional dalam pengelolaan kawasannya dengan letak mengelilingi daerah enclave. Peraturan Menteri Kehutanan No.56 Tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional menyebutkan bahwa zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam. Zona tradisional ini berfungsi untuk pemanfaatan potensi tertentu taman nasional oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. MacKinnon (1993) menjelaskan bahwa pengelolaan taman nasional banyak bergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada masyarakat sekitarnya. Jika kawasan yang dilindungi dipandang sebagai penghalang, penduduk setempat dapat menggagalkan upaya pelestarian. Tetapi bila pelestarian sendiri dianggap sebagai sesuatu yang positif, penduduk setempat sendiri akan bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi kawasan tersebut dari pengembangan yang membahayakan. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan peraturan pemanfaatan sumber daya alam terutama di zona tradisional, aturan tersebut haruslah merupakan hasil dari kesepakatan antara pihak pengelola taman nasional dan masyarakat sekitarnya. Adanya pengaturan pemanfaatan tersebut dimaksudkan untuk tetap menjaga kelestarian sumber daya alam dan untuk
3
memberi batasan-batasan kepada masyarakat mengenai apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan di zona tradisional. Kajian tentang pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat enclave menjadi penting karena masyarakat merupakan salah satu aspek pengelolaan taman nasional. Begitu juga dengan fungsi utama zona tradisional, kajian ini menjadi penting karena di dalam zona ini terdapat pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat. Pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi yang dilakukan di zona tradisional haruslah efektif dan legal sesuai dengan peraturan yang ada. Sangatlah tidak mungkin untuk memisahkan antara masyarakat dengan kawasan taman nasional, karena antara keduanya memiliki hubungan saling ketergantungan baik itu hubungan secara langsung maupun tidak langsung. Wianti (2007) menjelaskan bahwa secara budaya, masyarakat memiliki hubungan yang erat dengan lingkungan alam sekitarnya. Oleh karena itu, dalam tatanan kehidupan masyarakat telah memiliki kearifan lokal yang mengatur hubungan dengan alam, dan mustahil untuk memisahkan keterkaitan masyarakat sekitar dengan kawasan konservasi. Dengan adanya hal tersebut, maka sangat penting sekali untuk diketahui lebih mendalam mengenai bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat enclave dan juga kesesuaian pemanfaatan sumber daya alam tersebut terhadap fungsi utama zona tradisional Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
4
1.2. Rumusan Masalah Zona tradisional Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yang membatasi kawasan taman nasional dengan desa enclave dimaksudkan untuk menjalin hubungan antara pihak pengelola taman nasional dengan masyarakat enclave dan pemberian batasan aktivitas masyarakat enclave ke dalam kawasan taman nasional. Pembatasan pada aktivitas masyarakat enclave tersebut dimaksudkan agar tidak mengganggu zona lain sebagai bentuk akomodasi atas kebutuhan masyarakat memanfaatkan sumber daya alam dari dalam kawasan taman nasional. Perlu diketahui bahwa masyarakat enclave ini akan terus berkembang jumlah penduduknya, sehingga kebutuhan akan akses pemenuhan kebutuhan sehari-hari juga akan menjadi suatu ancaman tersendiri bagi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Apabila pengawasan pada batas-batas zona tradisional tidak dilakukan secara ketat oleh pihak pengelola taman nasional terutama pada aktivitas pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat enclave, maka pada akhirnya akan memecah-mecah kawasan taman nasional. Oleh sebab itu, perlu diteliti bagaimana pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat enclave di zona tradisisonal Taman Nasional Bromo Tengger Semeru? Sesuaikah pemanfaatan tersebut dengan fungsi utama zona tradisional Taman Nasional Bromo Tengger Semeru?
5
1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pola pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat enclave di zona tradisional Taman Nasional Bromo Tengger Semeru 2. Mengetahui kesesuaian pemanfaatan tersebut dengan fungsi utama zona tradisional Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat menginformasikan ancaman – ancaman yang dapat terjadi dari adanya pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat enclave di zona tradisional Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Penelitian ini juga bermanfaat untuk mengetahui bagaimana kesesuaian pemanfaatan seumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat enclave terhadap fungsi utama zona tradisional Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yang ditinjau dari beberapa aturan yang berlaku.
6