I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian sampai saat ini masih menjadi prioritas pembangunan di Indonesia. Menurut Nuhung (2006), untuk membangun sosok pertanian yang tangguh dibutuhkan organisasi petani yang berkembang dan memiliki posisi tawar kuat, kelompok tani profesional, penyuluh pertanian swadaya dan swasta menyatu dengan petani. Organisasi petani memiliki fasilitas pertemuan yang layak, berkomunikasi dengan pasar, dengan berbagai sumber teknologi, sumber benih, dan sumber pembiayaan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertaian Nomor 273/Kpts/OT.160/4/2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani, pembinaan kelompok tani diarahkan pada penerapan sistem agribisnis, peningkatan peranan, peran serta petani dan anggota masyarakat lainnya dengan menumbuh-kembangkan kerjasama antar petani dan pihak lainnya yang terkait untuk pengembangan usahataninya. Selain itu pembinaan kelompok tani diharapkan dapat membantu menggali potensi, memecahkan masalah usahatani anggota secara lebih efektif, dan memudahkan dalam mengakses informasi, pasar, teknologi, permodalan dan sumber daya lainnya (Departemen Pertanian, 2007). Petani Jeruk di Kabupaten Jember membutuhkan kelompok tani untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam agribisnis Jeruk.
Kelompok tani
mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengembangan usahatani, namun 40% kelompok tani masih berada pada tingkatan pemula (Wahyuni, 2003). Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kelompok tani Jeruk di Kabupaten Jember.
1
2
Data dari Dinas Pertanian (2010) mengenai kelompok tani Jeruk berdasarkan kelasnya disajikan dalam Tabel 1.1. Tabel 1.1 Jumlah Kelompok Tani Jeruk Berdasarkan Kelasnya No. 1. 2. 3. 4.
Kelas Kelompok Jumlah Kelompok tani Pemula 64 Lanjut 61 Madya 27 Utama 1 Total 153 Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Jember, 2010
Persentase 41,83 39,87 17,65 0,65 100,00
Data tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar kelompok tani Jeruk masih berada pada kelas pemula dan lanjut, padahal Jeruk siam Jember merupakan komoditas unggulan Kabupaten Jember maupun nasional. Jeruk merupakan komoditas buah yang cukup menguntungkan untuk diusahakan saat ini dan mendatang, mulai dapat dipanen pada tahun ke 4. Nilai keuntungan usahataninya sangat bervariasi berdasarkan lokasi dan jenis Jeruk yang diusahakan.
Nilai
ekonomis usahatani Jeruk tercermin dari tingkat kesejahteraan petani Jeruk dan keluarganya yang relatif baik. Buah Jeruk dapat tumbuh dan diusahakan petani di dataran rendah hingga dataran tinggi dengan varietas/spesies komersial yang berbeda, dan dapat dikonsumsi oleh masyarakat berpendapatan rendah hingga yang berpenghasilan tinggi (Departemen Pertanian, 2005). Kelas kelompok tani yang disajikan dalam Tabel 1.1 mengacu pada Peraturan Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian tentang petunjuk pelaksanaan penilaian kemampuan kelompok tani. Klasifikasi kemampuan kelompok tani diarahkan untuk memiliki kemampuan sebagai berikut:
3
1. Kemampuan merencanakan 2. Kemampuan mengorganisasikan 3. Kemampuan melaksanakan 4. Kemampuan melakukan pengendalian dan pelaporan 5. Kemampuan mengembangkan kepemimpinan kelompok tani Klasifikasi kelompok tani berdasarkan penilaian kemampuannya dikategorikan menjadi 4 yaitu: pemula (0-250), lanjut (nilai 251-500), madya (501-750), dan utama (nilai 751-1000). Upaya pengembangan kelompok tani yang lebih dinamis dan mandiri terus dilakukan. Menurut Departemen Pertanian (2007), pengembangan kelompok tani diarahkan pada peningkatan kemampuan kelompok tani dalam melaksanakan fungsinya, peningkatan kemampuan para anggota dalam pengembangan agribisnis, penguatan kelompok tani menjadi organisasi petani yang kuat dan mandiri. Ciri-ciri kelompok tani yang mandiri adalah: 1. Adanya pertemuan/rapat anggota/pengurus yang diselenggarakan secara berkala dan berkesinambungan 2. Disusunnya rencana kerja kelompok secara bersama dan dilakasanakan oleh para pelaksana sesuai dengan kesepakatan bersama dan setiap akhir pelaksanaan dilakukan evaluasi secara partisipatif 3. Memiliki aturan/norma yang disepakati dan ditaati bersama 4. Memiliki pencatatan/pengadministrasian organisasi yang rapi 5. Memfasilitasi kegiatan-kegiatan usaha bersama di sektor hulu dan hilir 6. Memfasilitasi usahatani secara komersial dan berorientasi pasar
4
7. Sebagai sumber serta pelayanan informasi dan teknologi untuk usaha para petani umumnya dan anggota kelompok tani khususnya 8. Adanya jalinan kerjasama antara kelompok tani dengan pihak lain 9. Adanya pemupukan modal usaha, baik iuran dari anggota atau penyisihan hasil usaha/kegiatan kelompok. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka kelompok tani yang mandiri menurut Departemen Pertanian adalah kelompok tani kelas utama. Ciri-ciri tersebut juga mengindikasikan bahwa kelompok tani mandiri memiliki modal sosial yang kuat. Hal ini terlihat dari adanya kepercayaan dalam melaksanakan kegiatan dan usaha bersama dalam kelompok tani, adanya norma yang mengatur hubungan anggota kelompok, dan adanya jaringan sosial yang berupa kerjasama dengan pihak lain. Apabila dikaitkan dengan data pada Tabel 1.1, di Kabupaten Jember ditemukan satu kelompok tani yg mandiri. Kondisi ini masih jauh dari yang diharapkan. Salah satu kelemahan yang mendasar dari pengembangan kelompok tani adalah: (1) tidak dilakukan melalui proses sosial yang matang dan mengabaikan modal sosial (Syahyuti, 2007); (2) bias produksi padi serta cenderung melemahkan perkembangan potensi komoditi unggul lokal (Sumardjo, 2003). Kelompok tani sebenarnya dapat menjadi sistem sosial yang dinamis, yang dengan kekuatan sendiri dapat berusaha mencapai apa yang mereka inginkan (Slamet, 2003). Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh peneliti terdahulu tersebut maka kelompok tani Jeruk diasumsikan dapat dikembangkan menjadi kelompok tani yang dinamis dan mandiri dengan memanfaatkan dan menguatkan modal sosial yang ada dalam kelompok tani Jeruk.
5
Modal sosial merupakan energi sosial. Sebagai energi, modal sosial efektif: (1) memberikan dorongan keberhasilan bagi berbagai kebijakan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh pihak swasta (Hasbullah, 2006), (2) memudahkan pengambilan keputusan yang efisien dengan peluang keberhasilan lebih tinggi (Uphoff, 1999), (3) memiliki efek pada produktivitas komunitas (Putnam, 1993), (4) memungkinkan orang-orang secara bersama menyongsong sumber-sumber
kehidupan
(sources
of
livelihoods)
dengan
lebih
baik
(Dharmawan, 2002), (5) memperlancar tingkat inovasi dan adaptasi kelompok yang tinggi (Fukuyama, 2002), dan (6) memfasilitasi proses produksi yang dicirikan oleh penggunaan sumber daya yang efisien (Barier dkk, 2002). Modal sosial tidak dapat diciptakan oleh seorang individu, namun sangat tergantung kepada kapasitas masyarakat (atau organisasi) untuk membentuk asosiasi dan jaringan baru (Syahyuti, 2008). Modal sosial tidak dapat diciptakan oleh petani secara individual, modal sosial sangat tergantung kepada kapasitas kelompok tani dan lembaga mitra untuk membangun kepercayaan, aturan-aturan (norma) dan jaringan sosial. Hasil penelitian Subekti (2008) menunjukkan bahwa dalam kelompok tani kopi terdapat kerjasama petani dalam merawat tanaman, peremajaan tanaman, dan menjaga keamanan tanaman ketika buah kopi sudah siap panen. Jaringan sosial yang terbentuk adalah dengan Pusat Penelitian Kopi, Universitas Jember, Politeknik Jember, PT Indokom Citra Persada dan Agrikon. Temuan tersebut memberikan gambaran bahwa sebenarnya modal sosial itu sudah ada dalam
6
kelompok tani namun belum dimanfaatkan secara optimal sebagai dasar kemandirian. Modal
sosial
dalam
suatu
masyarakat
dapat
diperkuat,
tetapi
membutuhkan sumber daya tertentu untuk memperkuatnya (World Bank, 1998). Berdasarkan hal tersebut, modal sosial yang sudah ada dalam kelompok tani dapat dikuatkan. Pengutan modal sosial dapat dimanfaatkan untuk mendinamiskan kelompok tani menuju kemandirian. Penelitian ini difokuskan pada kelompok tani yang sudah mandiri agar dapat diamati pemanfaatan modal sosial sebagai dasar kemandiriannya.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan Permentan No. 273/Kpts/OT.160/4/2007, yang dimaksud kelompok tani mandiri adalah kelompok tani kelas utama. Ciri-ciri kelompok tani mandiri dalam Permentan tersebut menunjukkan adanya modal sosial yang kuat dalam kelompok tani. Hasil penelitian Hariadi (2004) menunjukkan bahwa dalam kelompok tani sudah ada modal sosial dengan kondisi yang bervariasi mulai dari yang lemah sampai yang kuat. Kelompok tani kelas utama (mandiri) ternyata mempunyai modal sosial yang paling kuat dibanding dengan kelas yang lain. Temuan Hariadi mengenai ciri-ciri kelompok tani disajikan dalam Tabel 1.1.
7
Tabel 1.2 Ciri-Ciri Kelompok tani Berdasarkan Kelasnya Kelas kelompok Pemula
Ciri-ciri 1. Pertemuan rutin 2. Arisan dan simpan pinjam Lanjut 1. Pertemuan rutin 2. Arisan dan simpan pinjam 3. Pengadaan sarana produksi pertanian 4. Kerja kelompok/arisan kerja 5. Persewaan peralatan non pertanian 6. Kerjasama dalam perbenihan 7. Kerjasama dalam pengendalian hama dan penyakit Madya 1. Pertemuan rutin 2. Arisan dan simpan pinjam 3. Pengadaan sarana produksi pertanian 4. Kerja kelompok/arisan kerja 5. Persewaan peralatan non pertanian 6. Kerjasama dalam perbenihan 7. Kerjasama dalam pengendalian hama dan penyakit 8. Persewaan peralatan pertanian 9. Koperasi Utama 1. Pertemuan rutin 2. Arisan dan simpan pinjam 3. Pengadaan sarana produksi pertanian 4. Kerja kelompok/arisan kerja 5. Persewaan peralatan non pertanian 6. Kerjasama dalam perbenihan 7. Kerjasama dalam pengendalian hama dan penyakit 8. Persewaan peralatan pertanian 9. Koperasi 10.Peternakan milik kelompok 11.Mitra kerja kelompok Sumber: Hariadi, 2004 Berdasarkan informasi dari Dinas Pertanian dan survey pendahuluan ditemukan salah satu kelompok tani kelas madya yang perkembangannya sangat pesat yaitu kelompok tani Sidomulyo IV yang berada di Desa Sidorejo, Kecamatan Umbulsari, Kabupaten Jember. Walaupun menurut penilaian, kelompok tani ini belum mencapai kelas utama, namun dinamika kelompok yang
8
berkembang pesat mengindikasikan bahwa kelompok tani Sidomulyo IV sudah mandiri. Menurut Pranadji (2007), model pemberdayaan masyarakat pedesaan dalam pengelolaan agroekosistem lahan kering (ALK) yang dinilai efektif adalah yang dilandaskan pada penguatan modal sosial setempat. Inti dari pemberdayaan adalah kemandirian. Pengembangan kelompok tani menggunakan basis modal sosial setempat dengan prinsip kemandirian lokal yang dicapai melalui prinsip keotonomian dan pemberdayaan (Syahyuti, 2007). Dua pendapat tersebut dapat dijadikan petunjuk bahwa modal sosial dapat dijadikan dasar untuk kemandirian kelompok tani Jeruk di Kabupaten Jember. Pada penelitian ini secara kualitatif difokuskan pada kelompok tani Sidomulyo IV yang dinamis dalam menunjang agribisnis Jeruk. Berdasarkan
identifikasi
permasalahan
kelompok
tani,
maka
permasalahan utama dalam penelitian ini adalah kelompok tani Jeruk belum megoptimalkan pemanfaatan modal sosial sebagai dasar kemandiriannya. Dari permasalahan penelitian tersebut selanjutnya diuraikan dalam beberapa pertanyaan penelitiannya sebagai berikut: 1. Bagaimana konstruksi kemandirian kelompok tani dalam agribisnis Jeruk? 2. Bagaimana peran modal sosial dalam membentuk kemandirian kelompok tani dalam agribisnis Jeruk? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian mengenai dinamika kemandirian kelompok tani dalam agribisnis Jeruk berbasis modal sosial di Kabupaten Jember bertujuan untuk:
9
1. Menganalisis secara diskriptif tentang konstruksi kemandirian kelompok tani dalam agribisnis Jeruk. 2. Menganalisis peran modal sosial dalam membentuk kemandirian kelompok tani dalam agribisnis Jeruk. 1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian mengenai dinamika kemandirian kelompok tani dalam agribisnis Jeruk berbasis modal sosial di Kabupaten Jember adalah sebagai berikut: 1. Menambah informasi dan pengetahuan mengenai modal sosial dalam kelompok tani. 2. Sebagai bahan informasi bagi para peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian mengenai dinamika kelompok tani. 3. Sebagai bahan informasi bagi petani bahwa penguatan modal sosial dalam kelompok tani dapat mendinamiskan kelompok tani menuju kemandirian. 4. Sebagai masukan bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan dalam pelaksanaan pembangunan, khususnya dalam meningkatkan kemampuan kelompok tani. 1.5 Keaslian penelitian Penelitian terdahulu mengenai kelompok tani antara lain dilakukan oleh Wahyuni (2003), Hariadi (2004), dan Purwanto dkk (2007). Wahyuni (2003) melakukan penelitian dengan judul Kinerja Kelompok tani dalam Sistem Usahatani Padi dan Metode Pemberdayaannya. Kesimpulan dari penelitian adalah: kelompok tani mempunyai peranan penting dalam pengembangan usahatani,
10
namun 40% kelompok tani masih berada pada tingkat pemula. Faktor yang mempengaruhi kinerja kelompok tani diantaranya adalah: jumlah anggota, struktur dan aset kelompok, status anggota kelompok dalam kepemilikan lahan, kredibilitas pengurus, dan kelembagaan penunjang. Hariadi (2004) melakukan penelitian dengan judul Kajian Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Keberhasilan Kelompok tani sebagai Unit Belajar, Kerjasama, Produksi, dan Usaha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) faktorfaktor yang bepengaruh terhadap keberhasilan kelompok tani sebagai unit belajar adalah: interaksi anggota, sikap anggota terhadap profesi petani, kohesi anggota, norma kelompok, dan penyuluhan; (2) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan kelompok tani sebagai unit kerjasama adalah: interaksi anggota, norma kelompok, penyuluhan pertanian, dan pembinaan oleh pamong desa; (3) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan kelompok tani sebagai unit produksi adalah: self efficacy, interaksi anggota, dan pembinaan oleh pamong desa; (4) fakor yang berpengaruh terhadap keberhasilan kelompok tani sebagai unit usaha adalah: self efficacy, interaksi anggota, dan gaya kepemimpinan ketua kelompok. Purwanto, dkk (2007) melakukan penelitian mengenai Penguatan Kelembagaan Kelompok tani dalam Mendukung Pembangunan Pertanian di Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa hal sebagai berikut: kelompok tani pada umumnya dibentuk berdasarkan kepentingan teknis untuk memudahkan pengkoordinasian apabila ada kegiatan atau program pemerintah, sehingga lebih bersifat ”programme oriented”, dan kurang menjamin kemandirian
11
kelompok tani dan keberlanjutan kelompok. Partisipasi dan kekompakan anggota kelompok dalam kegiatan kelompok masih relatif rendah, dimana tingkat kehadiran anggota dalam pertemuan kelompok hanya mencapai 50% dan pengelolaan kegiatan produktif anggota kelompok bersifat individu. Kelompok sebagai forum kegiatan bersama belum mampu menjadi wadah pemersatu kegiatan anggota dan pengikat kebutuhan kebutuhan anggota secara bersama, sehingga kegiatan produktif individu lebih menonjol. Upaya pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok tani perlu diarahkan pada peningkatan kesadaran tentang pentingnya kebersamaan anggota dalam mendukung kegiatan kelompok. Penguatan kegiatan produktif kelompok perlu didukung dengan “channeling” pemasaran (kemitraan) dan akses permodalan yang terjangkau petani. Beberapa penelitian mengenai modal sosial telah dilakukan oleh Elizabeth (2005), Pranadji (2007), Ariana dkk (2006), Kote dan Seran (2007), Wisadirana (2007), dan Syahyuti (2008). Elizabeth (2005) melakukan penelitian mengenai
diagnosa
kemarjinalan
kelembagaan
lokal
untuk
menunjang
perekonomian rakyat di pedesaan. Kesimpulan dari penelitian adalah kemarjinalan kelembagaan lokal di pedesaan dapat ditunjukkan oleh kelemahan dalam pengembangan dan penerapan aspek kepemimpinan. Kombinasi agricultural development dan rural development menjadi rural agricultural development merupakan suatu progam pembangunan yang lebih baik dan komprehensif. Upaya pembangunan perekonomian dan kelembagaan pedesaan seharusnya berbasis sumberdaya setempat, dengan mengembangkan budaya non material untuk
12
meningkatkan daya saing modal sosial dan ekonomi pertanian pedesaan, yang mencerminkan
adanya
penghargaan
azas
keadilan
dan
keberlanjutan.
Transformasi kelembagaan terlihat pada berfungsinya azas keterwakilan, transparansi, akuntabilitas oleh elit politik dan aparat pemerintah di daerah yang menempatkan masyarakat pedesaan sebagai mitra dan pelaku strategis pemberdayaan ekonomi pedesaan. Pranadji (2007) melakukan penelitian dengan mengenai Penguatan modal sosial
untuk
pemberdayaan
masyarakat
pedesaan
dalam
pengelolaan
agroekosistem lahan kering (ALK). Kesimpulan dari penelitian adalah: (1) pada desa yang kerusakan ALK parah, sebagian besar penduduknya mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar; (2) dalam memperbaiki pengelolaan ALK, kedua proyek belum memperhatikan belum memperhatikan pentingnya penguatan modal sosial setempat. Setelah proyek berakhir, hampir semua kegiatan perbaikan pengelolaan ALK ikut berakhir. Desa yang memiliki modal sosial relatif baik cenderung memiliki kemampuan lebih baik dalam mengatasi kerusakan ALK; (3) ketimpangan kekuatan modal sosial antar dukuh bisa dijadikan petunjuk kemungkinan terjdinya gejala ketidakberdayaan masyarakat dalam pengelolaan ALK, dan sekaligus menjadi petunjuk tentang lemahnya kelembagaan masyarakat madani dan penyelenggaraan masyarakat setempat; (4) kerusakan tata nilai masyarakat pedesaan merupakan faktor penting penyebab terjadinya ketidakberdayaan masyarakat dan kemerosotan pengelolaan ALK setempat. Upaya perbaikan pengelolaan ALK tidak saja perlu disejajarkan dengan
13
pemberdayaan masyarakat, namun juga perlu diintegrasikan dengan transformasi sosio budaya dan perekonomian pedesaan. Ariana, dkk (2006) melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Modal Sosial dalam Kemandirian Sentra Industri yang Berlokasi di Daerah Pedesaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam upaya mencapai kemandirian industri, perusahaan selalu berusaha untuk mengembangkan kapasitas industri dengan berbagai kebijakan dan strategi, salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengembangkan pengetahuan agar menyebar luas kepada karyawan. Sebagian besar Usaha Kecil Menengah (UKM) di Indonesia mampu menyebarluaskan pengetahuan tanpa melalui kelembagaan formal, melainkan melalui jaringan sosial yang disebut modal sosial. Hal ini dianggap paling efektif karena mereka tidak memerlukan biaya pengelolaan tenaga kerja yang besar. Adapun beberapa sumber modal sosial yang penting dalam mendukung berbagai kegiatan industri adalah: (1) Adanya kepercayaan (trust) antara pengusaha dengan karyawan, (2) Adanya keyakinan (belief) dari hubungan atau kedekatan keluarga, dan (3) adanya norma-norma yang dipatuhi oleh para pengusaha (informal institution). Kote dan Seran (2007) melakukan penelitian mengenai desain aturan kelompok secara partisipatif dalam mencegah konflik internal kelompok tani. Kesimpulan dari penelitian adalah: (1) kelompok tani yang berkembang secara berkelanjutan harus tumbuh dari dan oleh anggota yang memiliki kesamaan persepsi untuk saling membantu dalam kelompok; (2) dalam menghindari terjadinya konflik sosial internal kelompok maka diterapkan aturan-aturan yang
14
mengikat; (3) kelompok tani diberdayakan dan ditingkatkan kapasitas petani sehingga dapat melakukan kemitraan dengan lembaga lain. Wisadirana
(2007)
dalam
tulisannya
yang
berjudul
Penguatan
sosiokultural sebagai Modal Sosial untuk Mendukung Pembangunan Peternakan Berkelanjutan menyimpulkan bahwa pembangunan peternakan sebagai bagian integral dari pembangunan di Indonesia, juga mengikuti kebijakan top down. Agar pembangunan peternakan berkelanjutan diperlukan peran nilai kearifan dan kualitas sumberdaya manusianya yang bisa dilakukan melalui penguatan sosiokultural. Penguatan sosiokultural pembangunan peternakan bisa dilakukan dengan penataan, pemantapan dan pengembangan ide, nilai, norma, gotong royong, cognitive social capital dan jaringan sosial ekonomi. Syahyuti (2008) melakukan penelitian dengan judul peranan modal sosial (social capital) dalam perdagangan hasil pertanian. Kesimpulan dari penelitian adalah: (1) Modal sosial terbukti tumbuh dan terakumulasi menurut waktu dan secara signifikan mempengaruhi kinerja sistem perdagangan komoditas pertanian. Modal sosial mampu mengurangi dampak dari ketidaksempurnaan pasar yang dihadapi para pelaku perdagangan. Modal sosial mereduksi tingginya biaya transaksi melalui tiga dimensi yaitu relasi dengan pedagang lain yang dapat membantu dalam biaya transaksi, relasi dengan orang-orang yang dapat membantu jika dihadapi kesulitan keuangan, dan relasi keluarga yang mengefisienkan dan mereduki kesalahan-kesalahan dalam penilaian kualitas barang.
15
Beberapa penelilitian terdahulu belum ada yang melihat modal sosial sebagai dasar kemandirian kelompok tani. Penelitian ini melengkapi penelitian Kote dan Seran (2007) serta Ariana (2006). Dalam penelitiannya, Kote dan Seran (2007) mendesain aturan kelompok secara partisipatif dalam mencegah konflik internal kelompok tani. Penelitian Kote dan Seran (2007) secara implisit melihat salah satu unsur modal sosial yaitu norma, tetapi belum melihat kepercayaan dan jaringan sosial yang ada dalam kelompok tani. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti melihat modal sosial secara keseluruhan (kepercayaan, norma, dan jaringan sosial) yang ada dalam kelompok tani. Ariana, dkk (2006) melihat pengaruh modal sosial dalam kemandirian sentra industri
yang berlokasi di
daerah pedesaan. Fokus penelitian Ariana (2006) adalah sentra industri, sedangkan penelitian yang akan dilakukan difokuskan pada kemandirian kelompok tani. Hasil penelitian Subekti, dkk. (2007) menunjukkan bahwa pemerintah Kabupaten Jember telah melakukan langkah nyata untuk menguatkan modal sosial petani dalam kelompok tani, khususnya untuk komoditas Jeruk. Upaya pemerintah yang diwakili oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan untuk mempengaruhi tataniaga Jeruk agar petani memiliki banyak pilihan pasar dan nilai tawar produknya, ditunjukkan dalam kegiatan: (1) mempertemukan petani dengan pengusaha melalui pameran yang diadakan di tingkat propinsi maupun kabupaten. (2) Memfasilitasi terbentuknya asosiasi petani Jeruk siem melalui kelompokkelompok tani yang ada di masyarakat. (3) Memberi bantuan dana bergulir ke kelompok-kelompok tani untuk keperluan pemasaran Jeruk. Penelitian ini
16
melanjutkan penelitian tersebut untuk melihat apakah penguatan modal sosial mampu membentuk kemandirian kelompok tani.