I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Industri keuangan Islam mengalami perkembangan yang pesat di seluruh dunia. Berdasarkan data Council of Islamic Banks and Financial Institutions (CIBAFI) awal tahun 2005, industri ini meliputi 284 Islamic Financial Institutions (IFIs) yang beroperasi di 38 negara dengan volume usaha sebesar 178.5 miliar dolar Amerika. Jumlah tersebut belum termasuk conventional banks’ Islamic window operations, yang estimasinya mencapai 200 miliar dolar Amerika, dan juga belum termasuk non-banking financial institutions dan kegiatan di pasar modal. Untuk melakukan kapitalisasi pasar dunia yang potensial, sejumlah lembaga keuangan global seperti Citibank, Goldman Sachs, BNP-Paribas dan UBS telah mendirikan bank-bank syariah di beberapa negara (El-Hawary et al. 2003). Islamic Bank of Britain pada tahun 2004 menjadi bank syariah pertama yang berdiri di negara mayoritas non Islam, yaitu di Inggris. HSBC, University Bank dan Devon Bank kemudian juga mendirikan bank syariah di Amerika Serikat (Ben dan Ming, 2005). Perkembangan perbankan Syariah di Indonesia cukup pesat. Dari sisi perundangan, perkembangan tersebut ditunjang dengan dukungan otoritas moneter, yaitu Bank Indonesia. Sejak Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, perbankan di Indonesia memungkinkan menganut dual banking system. UU No. 10 Tahun 1998 sebagai penyempurnaan UU sebelumnya, telah menggunakan istilah “Bank berdasarkan prinsip syariah”, dan pada pasal 1 butir 13 disebutkan berlakunya hukum Islam sebagai dasar transaksi di perbankan
2
syariah. Sedangkan teknis operasional produk dan transaksi syariah yang digunakan bank syariah diatur oleh fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia. Perkembangan terakhir telah selesai undang-undang perbankan syariah yang terpisah dengan undang-undang perbankan secara umum. Klasifikasi jenis dan usaha bank syariah di Indonesia terdiri dari: Bank umum syariah, unit usaha syariah sebagai unit atau divisi syariah di dalam bank konvensional, serta bank perkreditan rakyat syariah. Data statistik lembaga keuangan syariah Bank Indonesia per Juni 2008, menunjukkan bahwa terdapat tiga Bank Umum Syariah (BUS), yaitu: PT. Bank Muamalat Indonesia, PT. Bank Syariah Mandiri, dan PT. Bank Syariah Mega Indonesia, serta Unit Usaha Syariah (UUS) sebanyak 29 bank, selengkapnya ditunjukkan pada Lampiran 1. Bahkan sejak peraturan Bank Indonesia tahun 2006, tentang office chanelling syariah, memungkinkan cabang bank konvensional menjadi kantor layanan syariah, jika cabang tersebut telah memiliki unit usaha syariah di tempat lain. Harapan Bank Indonesia dengan mengeluarkan peraturan tersebut adalah agar terjadi perluasan jaringan, sehingga penghimpunan dana dan pembiayaan bank syariah akan meningkat. Menurut Laporan Perkembangan Perbankan Syariah (LPPS) tahun 2004, industri perbankan syariah mengalami tahap fast growing dengan pertumbuhan aset senantiasa di atas 60 persen per tahun selama empat tahun terakhir, sedangkan sebagai pembanding, industri perbankan konvensional yang telah memasuki tahap mature hanya mengalami pertumbuhan sekitar 5 persen per tahun. Perkembangan usaha bank syariah yang tercermin dari posisi aset, Pembiayaan Yang Diberikan (PYD) dan Dana pihak ketiga (DPK), ditunjukkan pada Gambar 1.
3
Aset
50,000
PYD
PYD
DPK DPK
Aset
25,000
PYD
30,000
DPK
Aset
35,000
DPK = Dana Pihak Ketiga PYD = Pembiayaan Yang
DPK
15,000
DPK
DPK
PYD
PYD
Aset
DPK PYD
10,000 5,000
PYD
Aset
20,000
Aset
DPK, PYD, Aset (Miliar Rupiah)
40,000
Aset
45,000
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Jun-08
Tahun
Sumber : Bank Indonesia, 2002, 2003a, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008a. Gambar 1. Aset, Pembiayaan, dan Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah, Akhir Tahun 2002 - Juni 2008
Selain pertumbuhan aset, pembiayaan, dan dana pihak ketiga yang pesat, kelebihan kinerja perbankan syariah dalam delapan tahun terakhir adalah kemampuannya dalam menyalurkan pembiayaan dari dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun. Persandingan antara kinerja penyaluran pembiayaan perbankan syariah dengan kinerja kemampuan penyaluran kredit bank umum nasional yang tercermin dari indikator Loan to Deposit Ratio (LDR) selama periode penelitian, ditunjukkan pada Gambar 2. Selama periode penelitian, mulai tahun 2002, pada posisi akhir tahun, kemampuan perbankan syariah menyalurkan pembiayaan yang diindikasikan dengan Financing to Deposit Ratio (FDR), menunjukkan angka lebih dari 96.60 persen, artinya perbankan syariah sanggup menyalurkan lebih dari 96.60 persen dana simpanan yang dihimpun dari pihak ketiga.
4
120
100
FDR Bank Syariah
112.30
97.75
96.60
98.90
96.79 FDR, LDR (Persen)
97.76 96.91
80 65.12
60.81 60
48.53
60.61
57.36 40
43.24
73.89
LDR Bank Umum
20
0 2002
2003
2004
2005
2006
2007
06-2008
Tahun
Sumber : Bank Indonesia, 2002, 2003a, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008a. Gambar 2. Financing to Deposit Ratio Perbankan Syariah dan Loan to Deposit Ratio Bank Umum, Akhir Tahun 2002 sampai Juni 2008
Tingginya indikator FDR pada Gambar 2, menunjukkan bank syariah lebih mampu menjalankan fungsi intermediasi perbankan, menyalurkan pembiayaan menjadi investasi produktif yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan berpeluang menciptakan lapangan kerja. Menurut Alamsyah et al. (2005), pentingnya kontribusi perbankan khususnya kredit dan pembiayaan bagi perekonomian Indonesia seperti pada kutipan berikut. Banks are not only the major source of funding to small, medium as well as large corporations, they also determine the business cycle of the economy as a whole. For example, in Indonesia during 2001 - 2004, the flows of credit from the banking sector contributed on average about 77 percent of total financing from major financial institutions (banks, bond markets, and stock markets). As a result, the rise and fall of banks has strong correlation with economic booms and busts in Indonesia. Meskipun dalam periode penelitian, kinerja pembiayaan meningkat pesat dan memiliki indikator FDR yang tinggi, tetapi jika ditinjau dari pangsa pembiayaan perbankan syariah terhadap kredit perbankan secara nasional ternyata
5
masih sangat kecil. Gambar 3 menunjukkan pangsa pembiayaan perbankan syariah, jika disandingkan dengan total kredit dan pembiayaan bank umum. 2.97 3.00
2.79 2.58
2.50
Pangsa (Persen)
2.19 1.93 2.00
1.50
1.16 1.00
0.80
0.50
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Jun-2008
Tahun
Sumber : Bank Indonesia, 2002, 2003a, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008a. Gambar 3. Pangsa Pembiayaan Perbankan Syariah terhadap Bank Umum, Akhir Tahun 2002 sampai Juni 2008
Gambar 3 juga menunjukkan bahwa perkembangan pesat industri perbankan syariah, ternyata hanya mampu meningkatkan pangsa pembiayaan perbankan syariah dari 0.8 persen pada akhir tahun 2002 menjadi sebesar 2.97 persen terhadap total pembiayaan dan kredit perbankan nasional akhir Juni 2008.
1.2. Perumusan Masalah Kontribusi perbankan terhadap perekonomian menurut Levine (1997), antara lain sebagai allocating resources dan facilitating the exchange of goods and service. Sebagai sebuah lembaga keuangan dan financial intermediation, perbankan syariah diharapkan memberikan kontribusi terhadap perekonomian melalui tawaran alternatif jasa perbankan. Faktor pembeda bank syariah dengan bank konvensional seperti yang
6
diungkapkan oleh El Hawary et al. (2003) bahwa: The Islamic financial system as grounded in fourbasic principles: (a) Risk sharing,
(b) Materiality, (c) No
exploitation, and (d) No financing of sinful activities. Kalau pada bank konvensional penyaluran dana kepada deficit unit umumnya dilakukan dengan sistem kredit dan instrumen pokoknya adalah bunga, maka bank syariah melakukan pembiayaan atau penyaluran dana dengan instrumen tanpa bunga, antara lain dengan sistem jual beli dan profit sharing atau bagi hasil. Secara umum faktor yang mempengaruhi penyaluran dana perbankan adalah: kondisi perekonomian, kebijakan pemerintah, posisi permodalan bank, dan stabilitas dana pihak ketiga (Reed, 1989). Selain dipengaruhi faktor-faktor tersebut, perubahan perilaku perbankan bersama-sama dengan perilaku otoritas moneter dan sektor keuangan, berpengaruh pada aktivitas perekonomian, dan membawa perubahan pada kebijakan moneter (Pohan, 2008). Keterkaitan antara kondisi makroekonomi dengan industri perbankan dari sisi permintaan pembiayaan, antara lain dirasakan perbankan syariah ketika terjadi tekanan makroekonomi pada triwulan kedua, tahun 2005. Dalam laporan perbankan syariah tahun 2005, disebutkan bahwa naiknya harga bahan bakar minyak dalam negeri mendorong lonjakan indeks harga konsumen. Di sektor moneter, kemudian Bank Indonesia menetapkan berbagai kebijakan stabilisasi yang dalam jangka pendek bersifat kontraktif terhadap pertumbuhan ekonomi. Perlambatan pertumbuhan yang dihadapi oleh perekonomian terefleksi dalam perkembangan industri perbankan syariah nasional yang tahun 2005 hanya mencapai 36.4 persen, sementara pertumbuhan dua tahun sebelumnya mencapai pertumbuhan di atas 90 persen. Laporan perekonomian tahun 2007 oleh Bank Indonesia menyebutkan
7
bahwa kondisi perekonomian awal tahun 2006 masih dipengaruhi oleh dampak lanjutan kenaikan bahan bakar minyak tahun 2005. Ditandai dengan tingginya inflasi dan suku bunga, kenaikan biaya produksi, serta melemahnya daya beli masyarakat, menciptakan iklim yang kurang kondusif bagidunia usaha termasuk perbankan syariah. Namun sejalan dengan kestabilan makro yang semakin meningkat, pada semester kedua 2006, ekspansi perekonomian secara lebih luas mulai terlihat, sehingga kinerja industri perbankan syariah kembali menemukan momentumnya, ditandai dengan pertumbuhan volume usaha yang tinggi. Dengan berlakunya UU No. 10 Tahun 1998, jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah di Indonesia semakin berkembang sehingga berdampak terhadap peningkatan mobilisasi dana masyarakat. Dengan perkembangan tersebut maka pengendalian moneter oleh Bank Indonesia melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT), yang selama ini melalui perbankan konvensional, diperluas melalui bank-bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Dalam rangka pelaksanaan OPT, maka antara lain dibuat piranti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah bagi bank umum syariah atau unit usaha syariah yang mengalami kelebihan likuiditas. Bukti penitipannya itulah yang disebut dengan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). Perkembangan pasar keuangan syariah juga terjadi di pasar modal. Bursa Efek Jakarta berkerjasama dengan PT. Danareksa Investment Management meluncurkan Jakarta Islamic index (JII), dengan tujuan untuk memandu investor yang ingin menanamkan dananya secara syariah. Dengan hadirnya indeks tersebut, maka para pemodal telah disediakan saham-saham yang dapat dijadikan sarana berivestasi dengan penerapan prinsip syariah. Di Indonesia, prinsip-prinsip penyertaan modal secara syariah tidak diwujudkan dalam bentuk saham syariah
8
maupun non-syariah, melainkan berupa pembentukan indeks saham yang memenuhi prinsip-prinsip syariah. Selain secara makro eksternal yang sebagian besar mempengaruhi sisi permintaan pembiayaan, kondisi mikro internal dari sisi penawaranan pembiayaan syariah juga mempengaruhi kinerja pembiayaan bank syariah. Perkembangan kelembagaan dan jaringan kantor bank syariah meningkat sangat pesat. Meskipun jumlah bank umum syariah baru bertambah satu bank pada tahun 2004 menjadi tiga bank sampai sekarang, tetapi jumlah jaringan kantornya bertambah pesat, dari 146 kantor bank pada akhir tahun 2002, menjadi 619 kantor bank pada Juni 2008. Meskipun dalam perjalanan delapan tahun terakhir, indikator perbankan syariah yang tercermin dari aspek permodalan, kualitas aset, dan rentabilitas menunjukkan kinerja yang baik, perbankan syariah belum dapat memberikan pengaruh yang luas terhadap perekonomian, jika pangsa yang dimiliki perbankan syariah masih sangat kecil. Pada laporan perkembangan perbankan syariah tahun 2004 terdapat proyeksi pertumbuhan aset dan pangsa aset terhadap industri perbankan nasional. Jika disandingkan antara proyeksi dengan kondisi riil pasca tahun 2004, ternyata aset dan proyeksi pangsa yang diharapkan tidak ada yang tercapai. Selain itu Bank Indonesia tahun 2006 melalui Program Akselerasi Pengembangan Perbankan Syariah (PAPBS) menetapkan sasaran, bahwa akhir tahun 2008, target pangsa pasar perbankan syariah sebesar 5.25 persen, padahal sampai Juni 2008 pencapaian pangsa perbankan syariah untuk aset sebesar 2.11 persen, dan untuk pangsa pembiayaan masih sebesar 2.97 persen. Karena itu sangat menarik melakukan analisis faktor-faktor yang menentukan pembiayaan perbankan syariah, mengkaitkan dengan
kondisi
9
makroekonomi, instrumen moneter syariah, pasar modal syariah, industri perbankan, dan indikator internal bank syariah, dalam kondisi dual banking system dan dinamika perekonomian yang terus berubah. Dengan belum terpenuhinya target akselerasi perbankan syariah, kajian diharapkan memberikan masukan berupa implikasi kebijakan untuk meningkatkan kinerja pembiayaan perbankan syariah sehingga pangsa terhadap perbankan nasional menjadi lebih besar dan lebih berperan bagi perekonomian nasional. Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah, maka diajukan empat pertanyaan khusus, yaitu: 1. Bagaimana keterkaitan kinerja internal bank syariah, instrumen moneter syariah, kondisi makroekonomi, kinerja industri perbankan, dan pasar modal syariah dengan pembiayaan bank syariah? 2. Bagaimana respon pembiayaan bank syariah jika terjadi shock atau guncangan pada kinerja internal bank syariah, instrumen moneter syariah, kondisi makroekonomi, kinerja industri perbankan, dan pasar modal syariah? 3. Bagaimana struktur dinamis peubah dalam memberikan kontribusi terhadap pembiayaan bank syariah? 4. Bagaimana rumusan implikasi kebijakan yang memberikan pengaruh positif terhadap kinerja pembiayaan bank syariah?
1.3. Tujuan Penelitian Mengacu
pada masalah
penelitian, tujuan umum
penelitian adalah
menganalisis faktor-faktor penentu pembiayaan perbankan syariah dengan mempertimbangkan deskripsi perkembangan kondisi yang melingkupi perbankan syariah, sedangkan tujuan khusus penelitian:
10
1. Menganalisis keterkaitan kinerja internal bank syariah, instrumen moneter syariah, kondisi makroekonomi, kinerja industri perbankan, dan pasar modal syariah terhadap pembiayaan bank syariah. 2. Menganalisis respon pembiayaan bank syariah jika terjadi guncangan pada kinerja
internal
bank
syariah,
instrumen
moneter
syariah,
kondisi
makroekonomi, kinerja industri perbankan, dan pasar modal syariah. 3. Menganalisis struktur dinamis peubah dalam memberikan kontribusi terhadap pembiayaan bank syariah. 4. Memberikan rumusan implikasi kebijakan yang berpengaruh positif terhadap kinerja pembiayaan bank syariah.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan memberikan manfaat berupa: 1. Pemahaman menyeluruh terhadap faktor-faktor yang menentukan pembiayaan perbankan syariah, secara dinamis dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk memahami keterkaitan antar peubah, dilakukan kajian secara deskriptif perkembangan kondisi yang melingkupi perbankan syariah. 2. Bahan pertimbangan perencanaan kebijakan, sehingga kinerja pembiayaan perbankan syariah di Indonesia bertambah baik. 3. Referensi pembanding dan stimulan bagi penelitian yang berhubungan dengan perbankan syariah, khususnya penyaluran dana atau pembiayaan bagi masyarakat.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Lingkup pembiayaan yang dianalisis adalah pembiayaan bank umum yang terdiri dari pembiayaan bank umum syariah, pembiayaan unit usaha syariah bank
11
umum, dan pembiayaan unit usaha syariah bank pembangunan daerah, jadi tidak termasuk pembiayaan dari Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Karena keterbatasan dan ketersediaan data publikasi perbankan syariah, maka penelitian dimulai sejak November 2002, menggunakan data time series bulanan. Parameter untuk menggambarkan kinerja internal bank syariah adalah jumlah pembiayaan, dana pihak ketiga, laba per aset, dan pembiayaan bermasalah, parameter instrumen moneter syariah adalah Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI), parameter kondisi makroekonomi adalah indeks produksi industri, parameter kinerja industri perbankan adalah jumlah kredit bank umum, dan parameter pasar modal syariah yang digunakan adalah Jakarta Islamic index (JII).