I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Biji kakao merupakan bahan baku utama pembuatan produk cokelat, dihasilkan dari buah kakao (Theobroma cacao. L) yang tumbuh di berbagai daerah beriklim tropis. Kakao merupakan komoditi ekspor dan banyak digunakan oleh industri makanan berbahan baku coklat. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kakao ketiga terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana dengan pertumbuhan produksi sebesar ± 3,5 % tiap tahunnya. Produksi biji kakao kering di Indonesia pada tahun 2010-2011 mencapai 450.000 ton dan diperkirakan pada tahun 2011-2012 produksi biji kakao kering Indonesia telah mencapai lebih dari 500.000 ton (Anonim, 2012). Meskipun indonesia sebagai produsen kakao ketiga terbesar di dunia namun biji kakao kering Indonesia kurang diminati karena mutu biji kakao kering Indonesia relatif rendah.
Rendahnya mutu biji kakao kering Indonesia lebih
banyak disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: tanaman kakao yang telah tua, penyakit dan hama yang banyak mengganggu tanaman kakao, penerapan teknologi pascapanen yang masih sederhana, dan biji kakao yang sebagian besar dihasilkan tanpa fermentasi. Biji kakao bermutu baik dan memiliki cita-rasa serta aroma yang khas selain ditentukan oleh varietas dan lingkungan budidaya tanaman kakao juga ditentukan oleh teknik pengolahannya, yaitu pengolahan biji dengan fermentasi alami yang didukung oleh pengeringan dan penyangraian. Fermentasi merupakan salah satu
1
tahap penting pengolahan biji kakao untuk menghasilkan senyawa pembentuk aroma dan cita-rasa kakao yang khas Perkebunan kakao di Indonesia sebagian besar dikembangkan oleh perkebunan rakyat. Sebagian besar petani kakao mengolah biji kakao tanpa fermentasi, harga jual biji kakao hasil fermentasi yang relatif rendah serta waktu fermentasi yang lama (5-7 hari) menjadikan petani kakao enggan mengolah biji kakao dengan fermentasi dan lebih memilih menjual biji kakao kering. Biji kakao kering hasil pengolahan tanpa fermentasi tidak menghasilkan senyawa pembentuk flavor khas kakao, hanya membentuk rasa sepat dan pahit pada produk coklat yang dihasilkan (Rohan, 1964). Berdasarkan permasalahan tersebut maka diperlukan upaya pengembangan teknologi pengolahan biji kakao alternatif sebagai pengganti fermentasi. Teknologi pengolahan kakao pengganti fermentasi pertama kali dilakukan oleh Biehl et al., (1977) yaitu dengan mencoba mengganti metode fermentasi konvensional dengan cara perendaman tanpa melibatkan mikroorganisme tetapi meniru fermentasi sebenarnya dalam skala laboratotium. Biji kakao basah sebelumnya dihilangkan pulp-nya kemudian direndam dalam larutan asam asetat (35 – 200 mM) dengan mengendalikan pH dan suhu dalam waktu tertentu, sehingga diharapkan dapat terjadi reaksi enzimatis seperti fermentasi lazimnya. Larutan asam asetat yang digunakan meniru jumlah asam asetat yang dihasilkan pada fermentasi konvensional yaitu 70-170 mM. Metode perendaman menyerupai fermentasi yang dilakukan Biehl ini dapat menyebabkan kematian biji atau biji kakao tidak dapat berkecambah.
2
Lebih lanjut Biehl, et al.,(1985) memaparkan bahwa selama perendaman biji kakao basah dalam larutan asam, terjadi difusi asam kedalam biji kakao sehingga terjadi peningkatan berat biji. difusi asam juga menyebabkan kerusakan subcelluler biji kakao yang mengakibatkan kematian biji dan vacoula protein biji mengembang. Pengembangan vacoula protein ini menyebabkan terjadinya degradasi protein selama perendaman menjadi peptida-peptida dan asam amino (proteolysis) pada biji kakao. Pembentukan senyawa aroma biji kakao bergantung pada lama waktu dan pengasaman biji kakao selama fermentasi dan perendaman fermentasi tiruan yang tentunya akan mempengaruhi proteolysis protein biji. Pengasaman yang tinggi menghasilkan biji kakao dengan senyawa flavor rendah (Biehl et al., 1982). Alternatif
fermentasi
konvensional
dari
biji
kakao
selanjutnya
dikembangkan oleh Bernaert et al (2011) dengan istilah “biokonversi” biji kakao, yaitu dengan cara perendaman biji kakao secara terkendali dalam setidaknya satu media asam cair untuk mengubah pH biji kakao dan dalam kondisi suhu yang terkendali. Metode biokonversi ini disebutkan dapat menghasilkan biji kakao dengan aroma dan cita-rasa yang baik seperti pada biji kakao hasil fermentasi alami walaupun menggunakan media asam asetat dengan konsentrasi tinggi (200 – 600 mM), hal ini bertolak belakang dengan penelitian dari Biehl et al.,(1982, 1985) yang menyebutkan bahwa pengasaman yang tinggi selama perendaman biji kakao akan menghasilkan aroma dan cita-rasa biji kakao yang rendah. Metode biokonversi ini masih baru dan belum banyak diketahui sehingga diperlukan suatu penelitian untuk melihat aplikasinya pada sifat kimia dan sensoris biji kakao dan pasta kakao 3
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dapat diambil suatu perumusan masalah bahwa penggunaan konsentrasi asam asetat yang tinggi pada biokonversi biji kakao masih belum diketahui pengaruhnya pada sifat kimia dan sensoris biji kakao. Masalah yang timbul ialah terdapat kontradiksi antara metode biokonversi Bernaert et al., (2011) yang menyatakan bahwa biji kakao yang dihasilkan biokonversi bercita-rasa baik, dengan penelitian Biehl et al., (1982, 1985) yang menyebutkan bahwa pengasaman tinggi menghasilkan cita-rasa biji kakao yang rendah, sehingga untuk membuktikannya diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan dan penentuan konsentrasi asam asetat yang tepat pada biokonversi, serta melihat bagaimana pengaruhnya sifat kimia dan sensoris biji kakao yang dihasilkan
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini ialah untuk menghasilkan biji kakao dengan senyawa pembentuk flavor yang baik berdasarkan sifat kimia dan sensoris melalui pengolahan biji kakao menyerupai fermentasi (biokonversi). Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh variasi konsentrasi buffer asetat pada senyawa pembentuk flavor biji kakao dan evaluasi sensorisnya. 2. Menentukan konsentrasi buffer asetat yang tepat pada metode pengolahan biji kakao tanpa fermentasi (biokonversi) untuk menghasilkan biji kakao dengan sifat kimia dan sensoris yang disukai
4
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi kemajuan teknologi pengolahan biji kakao di Indonesia, khususnya untuk memberikan informasi bagi para petani kakao, dan membantu upaya peningkatan mutu.
5